• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA KAKAO UNTUK MENDUKUNG GERNAS KAKAO DI PROVINSI GORONTALO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA KAKAO UNTUK MENDUKUNG GERNAS KAKAO DI PROVINSI GORONTALO"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 453

KAJIAN PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA KAKAO UNTUK

MENDUKUNG GERNAS KAKAO DI PROVINSI GORONTALO

Muh. Asaad1 dan Agus Hasbianto2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Gorontalo

Jl. Kopi 270, Tilong Kabila, Bone Bolango

2

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kalimantan Selatan Jl. P. Batur Barat No. 4 Banjarbaru – Kalimantan Selatan

e-mail : asaad_bptpsulsel@yahoo.co.id

ABSTRAK

Kendala yang dihadapi dalam pengembangan komoditas kakao di provinsi Gorontalo adalah produktivitas yang rendah. Tingkat produktifitas yang rendah disebabkan oleh teknologi budidaya yang belum memadai serta tanaman kakao rakyat sebagian besar bukan berasal dari klon unggul. Tujuan kajian ini adalah untuk memperoleh paket teknologi budidaya spesifik lokasi pada tanaman kakao di sentra tanaman kakao di Provinsi Gorontalo. Kajian dilaksanakan di Desa Bongo, Kecamatan Wonosari dari bulan Januari sampai Desember 2013 menggunakan rancangan acak kelompok yang terdiri dari empat perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuannya adalah A. Pemangkasan 3 kali dalam setahun + pemupukan spesifik lokasi dengan formulasi 220 gr Urea, 180 gr SP-36, 170 gr KCl dan 180 gr kapur dolomit per pohon + Pengelolaan hama terpadu (PHT) + sanitasi kebun, B. Pemangkasan 4 kali dalam setahun + pemupukan spesifik lokasi dengan formula 250 gr Urea, 250 gr SP-36, 180 gr KCl dan 10 kg pupuk kandang per pohon + PHT + Panen sering, C. Pemupukan cara petani + PHT + sanitasi kebun + pemangkasan 5 kali dalam setahun, dan D. Pemangkasan 6 kali dalam setahun + PHT + Sanitasi kebun. Hasil kajian sampai panen keempat setelah penerapan teknologi menunjukkan bahwa jumlah buah dipanen per pohon tertinggi pada perlakuan B (3,87 buah) dan perlakuan A (3,75 buah), berat buah per pohon tertinggi pada perlakuan B (1,69 kg) dan perlakuan A (1,49 kg), sementara berat biji basah per pohon juga tertinggi pada perlakuan B (0,47 kg) dan perlakuan A (0,44 kg).

Kata kunci: kakao, teknologi, budidaya

Pendahuluan

Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Perkebunan kakao didominasi oleh perkebunan rakyat (93,1%) dengan jumlah petani yang terlibat secara langsung lebih dari 1,5 juta KK. Dengan produksi 795.581 ton, Indonesia merupakan produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (1,38 juta ton). Sejalan dengan peluang yang besar tersebut terdapat kendala pada tanaman kakao. Tanaman kakao yang ada saat ini ditanam sekitar tahun 1980-an sehingga produktivitasnya telah menurun dan sudah saatnya dilakukan peremajaan, rehabilitasi, dan intensifikasi. Berdasarkan hasil identifikasi, pada tahun 2008 kurang lebih 70 ribu ha kebun kakao dalam kondisi tanaman telah tua, rusak, tidak produktif, dan

(2)

Muh. Asaad dan Agus Hasbianto : Kajian penerapan teknologi budidaya Kakao | 454 terserang hama dan penyakit sehingga perlu diremajakan. Sekitar 235 ribu ha kebun kakao kurang produktif dan terkena serangan hama dan penyakit sehingga perlu direhabilitasi. Sementara itu, 145 ribu ha kebun kakao tidak terawat sehingga perlu dilakukan intensifikasi. Berdasarkan hasil identifikasi lapangan di sentra-sentra produksi kakao Gorontalo, pada umumnya petani masih menempatkan komoditas kakao sebagai komoditas agribisnis unggulan yang dinilai masih lebih baik dibanding komoditas lainnya dalam meningkatkan kesejahteraan. Komoditas tersebut dianggap lebih mudah dijual karena telah didukung oleh kelembagaan pemasaran yang mampu menjangkau sampai ketingkat rumah tangga dengan harga yang relatif lebih stabil dari tahun ketahun. Berdasarkan hasil identifikasi lapangan di sentra-sentra produksi kakao Gorontalo, pada umumnya petani masih menempatkan komoditas kakao sebagai komoditas agribisnis unggulan dalam meningkatkan kesejahteraan karena didukung oleh kelembagaan pemasaran dan harga yang baik. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan komoditas kakao di provinsi Gorontalo terutama di daerah pengembangan seperti kabupaten pohuwato, boalemo, gorontalo dan bone bolango adalah produktivitas yang rendah (kurang dari 800 kg per ha per tahun), sementara potensi hasilnya bisa mencapai 2.000 kg/ha/tahun. Tingkat produktifitas yang rendah disebabkan oleh teknologi budidaya yang belum memadai serta tanaman kakao rakyat sebagian besar bukan berasal dari klon unggul.

Meskipun tanaman kakao masih ditempatkan sebagai komoditas utama dalam peningkatan kesejahteraan, namun petani telah menyadari bahwa dari tahun-ketahun produksi kakao yang dihasilkan telah mengalami penurunan produksi yang sangat nyata. Hasil survey lapangan menunjukkan bahwa rendahnya produksi kakao di Gorontalo disebabkan oleh beberapa faktor antara lain 1. penggunaan bahan tanaman yang tidak sesuai. Pada umumnya petani memperbanyak tanaman kakao dengan biji yang berasal dari pohon induk yang telah ditanam beberapa tahun lamanya sehingga tingkat keragaman tanaman di lapangan berbeda- beda, 2. selain itu juga disebabkan adanya serangan hama penggerek buah kakao (PBK) dan busuk buah (Phytoptora palmivora) menyebabkan produksi dan kualitas hasil menurun secara signifikan, 3. kondisi tanaman sebagian besar telah memasuki usia tua sehingga dianggap sudah kurang produktif dalam menghasilkan buah sesuai yang diharapkan petani, dan 4 teknologi intensifikasi tanaman kakao dalam meningkatkan produktivitas belum banyak diketahui oleh petani sehingga produksi yang dihasilkan masih jauh dari potensi genetik tanaman yang telah diusahakan.

Mencermati keadaan diatas maka telah dilakukan berbagai upaya untuk memperbaiki mutu kakao, seperti pemberdayaan petani melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT) dan Sistem Kebersamaan Ekonomi (SKE), serta penerapan teknologi pengendalian PBK dan VSD dengan metode PSPsP (pemupukan, sanitasi, panen sering dan pemangkasan) serta penyediaan bibit unggul. Namun, pelaksanaannya masih parsial dalam skala kecil sehingga hasilnya belum optimal. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan tersebut perlu dilakukan secara serentak, terpadu, dan menyeluruh melalui suatu gerakan yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan maupun sumber daya yang ada. Untuk meningkatkan produktivitas dan mutu kakao, pemerintah meluncurkan program Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional yang disingkat GERNAS Kakao.

Untuk lebih menunjang Program Gernas Kakao di Provinsi Gorontalo dibutuhkan teknologi yang tepat dengan memperhatikan spesifik lokasi. Kondisi yang perlu diperhatikan dalam perlakuan intensifikasi adalah kebun dengan kondisi tanaman masih muda (< 10 tahun) tetapi kurang terpelihara, jumlah tegakan/populasi tanaman > 70 % dari jumlah standar, produktivitas tanaman rendah dan masih mungkin ditingkatkan, pohon pelindung > 20 % dari standar, terserang OPT utama dan lahan memenuhi syarat.

(3)

Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 455 Teknologi Intensifikasi pada tanaman yang kondisinya kurang terawat dapat dilakukan dengan cara perbaikan manajemen yang meliputi: (1) pengembangan bertahap yang terfokus pada optimasi pemanfaatan sumber daya pertanian, (2) pemilihan teknologi yang disesuaikan fase pertumbuhan dengan kondisi pertanaman dan permintaan pasar, (3) penggunaan input yang dapat menekan biaya produksi, (4) peningkatan peranan kelembagaan usahatani pedesaan dan (5) peningkatan partisipasi pengusaha swasta (Teguh, et al., 2008). Pemilihan teknologi yang tepat pada fase pertumbuhan perlu dilakukan seperti pemupukan seimbang, pengendalian hama terpadu pada tanaman kakao, pemeliharaan, pemangkasan, sanitasi kebun dan pemanenan. Untuk itu dibutuhkan kajian teknologi yang spesifik lokasi yang tepat dan mudah diikuti oleh petani. Tujuan kegiatan ini adalah untuk memperoleh paket teknologi budidaya spesifik lokasi pada tanaman kakao di sentra tanaman kakao di Provinsi Gorontalo

Metodologi

Pengkajian dilaksanakan dari bulan Januari sampai Desember 2013 dengan pemilihan lokasi secara sengaja pada beberapa petani kooperator. Kajian menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang terdiri atas empat perlakuan dan tiga ulangan. Rancangan perlakuan sebagai berikut :

Tabel 1. Rancangan perlakuan

Kode Perlakuan

A Pemangkasan 3 kali dalam setahun + Pemupukan spesifik lokasi dengan formulasi 220 gr Urea, 180 gr SP-36, 170 gr KCL dan 180 gr kapur dolomit per pohon + Pengelolaan hama terpadu (PHT) + Sanitasi kebun

B Pemangkasan 4 kali dalam setahun + Pemupukan Spesifik Lokasi dengan formula 250 gr Urea, 250 gr Sp-36, 180 gr KCL dan 10 Kg pupuk kandang per pohon + Pengelolaan hama terpadu (PHT) + Panen sering

C Pemupukan cara petani + Pengelolaan hama terpadu (PHT) + Sanitasi kebun + Pemangkasan 5 kali dalam setahun

D Pemangkasan 6 kali dalam setahun + Pengelolaan hama terpadu (PHT) + Sanitasi kebun

Pengendalian hama dan penyakit dilakukan berdasarkan pengamatan mingguan dengan menggunakan cara pengendalian mekanis, penempatan semut hitam sebagai predator dan penggunaan pestisida anjuran.

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah buah, bera buah, berat biji basah dan persentase serangan hama penggerek buah kakao (PBK). Data keragaan produksi dan persentase serangan PBK dianalisis menggunakan analisis ragam dan dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait dan dianalisis secara deskriptif.

(4)

Muh. Asaad dan Agus Hasbianto : Kajian penerapan teknologi budidaya Kakao | 456

Hasil dan Pembahasan

Jumlah Buah di Panen

Buah kakao yang dipanen adalah buah yang telah masak, adapun indikasinya buah yang semula berwarna hijau bila masak akan berubah menjadi berwarna kuning, sedang untuk buah yang semula berwarna merah maka akan berubah menjadi berwarna oranye (merah kekuning-kuningan). Buah kakao yang kurang masak akan menghasilkan biji yang kurang berisi/kempis sebaliknya buah kakao yang terlampau masak (overrife) memberikan biji yang banyak berkecambah, mempunyai pulp yang mudah menguning, dan aroma biji yang berkurang (Supriatna, 2004).

Tabel 2. Jumlah buah kakao di panen per pohon sampai empat kali panen Kode

Perlakuan Panen I Panen II Panen III Panen IV

A 1,33 a 2,52 a 3,34 a 3,75 a

B 1,42 a 1,84 a 2,92 a 3,87 a

C 1,83 a 2,21 a 1,92 b 3,06 a

D 1,65 a 3,22 a 2,52 ab 3,57 a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji Duncan 5%

Dari tabel diatas diketahui bahwa perlakuan memberikan dampak pada perubahan jumlah buah yang dipanen setelah panen ketiga, dimana pada perlakuan A dan B terdapat kenaikan jumlah buah yang dipanen secara bertahap, sementara pada perlakuan C dan D terlihat bahwa jumlah buah yang dipanen tidak stabil, dimana terjadi penurunan pada pemanenan ketiga walaupun ada sedikit kenaikan pada pemanenan keempat. Pada perlakuan A dan B dilakukan penambahan pupuk Kalium, menurut Maskar (2000) pemupukan kalium pada tanaman kakao memberikan respon relatif lambat terhadap produksi buah, namun tanaman yang dipupuk kalium cenderung lebih tinggi produksinya dibanding tanpa pupuk. K juga dapat memperkuat tubuh tanaman agar tidak roboh serta mencegah gugurnya bunga dan buah (Prihmantoro dalam Wahidah, 2000)

Pemangkasan dilakukan pada semua perlakuan namun masih memberikan, pemangkasan produksi dilakukan dengan memangkas daun-daun agar tidak terlalu rimbun sehingga sinar matahari dapat masuk ke seluruh bagian daun, sehingga proses fotosintesa dapat berjalan lancar dan sirkulasi makanan dari daun ke seluruh organ makanan juga lancar (Prawoto, 2008). Sementara frekuensi pangkasan dilakukan 6-8 kali dalam setahun (Disbun Jatim, 2013).

Berat Buah

Buah tanaman kakao merupakan buah buni yang daging bijinya sangat lunak, buah yang dipetik adalah buah yang telah masak, berumur 5-6 bulan yang ditandai dengan perubahan warna kulit buah. Dalam pemanenan dihindari pemetikan buah yang belum matang atau lewat masak sebab biji sering sudah berkecambah di dalam buah (Disbun Jatim, 2013).

(5)

Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 457 Tabel 3. Berat buah kakao per pohon sampai empat kali panen

Kode

Perlakuan Panen I Panen II Panen III Panen IV

A 0,327 a 1,045 a 1,415 a 1,489 ab

B 0,437 a 0,859 a 1,291 a 1,686 a

C 0,596 a 0,884 a 0,804 b 1,143 c

D 0,636 a 1,335 a 1,136 ab 1,374 bc

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji Duncan 5%

Dari tabel diatas diketahui bahwa pada mulai dari panen pertama sampai kedua masih belum terdapat perbedaan berat buah kakao per pohon akibat dari perlakuan. Pada panen ketiga mulai terdapat perubahan berat buah kakao per pohon, perlakuan A dan B menghasilkan berat buah kakao yang berbeda secara signifikan dibanding berat buah kakao yang dihasilkan pada perlakuan C dan D, namun untuk semua perlakuan terdapat kenaikan berat buah kakao per pohon untuk setiap tahap panen.

Pada perlakuan A dan B digunakan dosis pupuk yang berimbang antara pupuk urea, KCl dan SP 36, sementara pada perlakuan C dan D tidak menggunakan pupuk KCl. Menurut Maskar (1999), takaran pemberian pupuk urea untuk mendapatkan hasil kakao yang optimum masih diatas 300/gr/pohon/thn. Pemberian pupuk KCl memberikan peningkatan berat buah kakao bila dibanding tanpa pemberian KCl, hal ini sebagaimana diungkapkan Bukit (2008) bahwa pemberian pupuk KCl yang cukup akan diserap tanaman dan berperan dalam proses pembentukan karbohidrat sehingga menghasilkan umbi kentang yang besar, unsur kalium diperlukan tanaman dalam sintesa protein dan karbohidrat serta translokasi karbohidrat lebih lancar.

Berat Biji Basah

Buah kakao yang telah dipetik dikumpulkan dan dibelah untuk diambil bijinya, sedangkan kulitnya dimasukkan ke dalam lubang di areal pertanaman sebagai pupuk organik (Supriatna, 2004). Warna kotiledon kakao ada yang berwarna putih (pada jenis criollo) dan ada yang berwarna ungu (pada jenis forester).

Tabel 4. Berat biji basah kakao per pohon sampai empat kali panen Kode

Perlakuan Panen I Panen II Panen III Panen IV

A 0,10 b 0,28 a 0,40 a 0,44 a

B 0,13 b 0,25 a 0,35 a 0,47 a

C 0,17 ab 0,25 a 0,21 b 0,34 a

D 0,23 a 0,37 a 0,29 ab 0,42 a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji Duncan 5%

Dari tabel diatas terlihat bahwa pada panen pertama perlakuan D memberikan berat basah biji kakao yang paling tinggi dibanding perlakuan lainnya, akan tetapi pada perlakuan

(6)

Muh. Asaad dan Agus Hasbianto : Kajian penerapan teknologi budidaya Kakao | 458 C dan D tidak terlihat kestabilan berat basah biji kakao sementara pada perlakuan A dan B didapatkan kenaikan berat basah biji kakao secara bertahap setiap kali panen dilaksanakan.

Berat basah biji kakao dipengaruhi oleh pemberian pupuk urea, unsur N adalah unsur penting dalam tanaman karena akan mengatur penggunaan kalium, fosfor dan hara penyusun lainnya. Hariyono (2008) menyatakan bahwa berat biji jarak pagar dipengaruhi oleh dosis pupuk N, tanpa pemberian pupuk N maka biji jarak pagar menjadi ringan. Biji kakao hasil pengupasan buah kakao dilapisi oleh pulpa berwarna putih, lapisan pulpa memiliki berat antara 30-40% dari berat biji total, sementara kadar air biji kakao basah mencapai 40-50% (Puslitkoka, 2013).

Persentase Serangan Penggerek Buah

Persentase serangan penggerek buah kakao diamati pada saat pemanenan buah dengan melihat gejala serangan yang baru tampak dari luar saat buah masak, kulit buah berwarna pudar dan timbul belang berwarna jingga serta akan tampak berwarna hitam, biji-biji lengket satu sama lainnya berwarna hitam, keriput dan ringan.

Tabel 5. Persentase serangan PBK Kode

Perlakuan Panen I Panen II Panen III Panen IV

A 35,47 a 22,90 a 12,12 b 8,91 b

B 31,79 a 17,76 a 16,31 b 18,21 a

C 43,29 a 22,00 a 28,63 a 28,64 ab

D 24,31 a 18,48 a 17,13 b 33,73 a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata berdasarkan uji Duncan 5%

Dari Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase serangan PBK terendah pada perlakuan A sebesar 8,91 dan tertinggi pada perlakuan D sebesar 33,73. Persentase serangan PBK memiliki kecenderungan menurun pada tiap panen dapat dilihat pada perlakuan A dan B, sedangkan perlakuan C dan D relatif tidak stabil. Persentase serangan PBK yang rendah diduga akibat dari perlakuan yang dipadukan antara lain dengan melakukan pemupukan yang seimbang, pemangkasan, panen sering, pembuatan rorak, penggunaan pestisida sesuai anjuran dan sanitasi kebun. Cara pengendalian hama PBK yang dianjurkan saat ini adalah dengan memadukan antara metode pemangkasan, panen sering, pemupukan dan pengendalian dengan insektisida piretroid (Sulistyowati et al.1995).

Pengelolaan kebun yang baik dapat dilakukan dengan melakukan pangkasan pemeliharaan/ produksi setiap 2 – 4 bulan sekali, karena dengan pangkasan naungan dan sanitasi dapat menekan perkembangan hama dan penyakit pada tanaman kakao. Altieri (1999) dalam rangka pengelolaan agroekosistem secara berkelanjutan yang ditunjukkan dengan adanya keseimbangan antar habitat (niche) kehidupan akan dapat menekan perkembangan hama tertentu pada suatu ekosistem. Sulistyowati (2003) mengemukakan bahwa kondisi kebun kakao yang terlalu rimbun/kurang sinar matahari dengan kelembaban yang tinggi akan rentan terhadap ledakan hama dan penyakit.

Tingkat persentase serangan PBK yang relatif tinggi dapat disarankan untuk melakukan pengendalian dengan sistem stop spot yaitu menyeprot pada tempat yang terserang dengan menggunakan pestisida anjuran yang tepat jenis, dosis, waktu, dan aplikasi agar serangan tidak meluas. Sulistyowati (2003) mengemukakan bahwa intensitas serangan

(7)

Prosiding Seminar Nasional “Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi”, Banjarbaru 6-7 Agustus 2014 | 459 Helopeltis spp lebih dari 15% harus dilakukan tindakan pengendalian secara menyeluruh pada pertanaman kakao dan apabila kurang dari 15% belum perlu dikendalikan, kalaupun dikendalikan sebaiknya terbatas pada tanaman yang serangannya tinggi. Sulistyowati (2003) melaporkan bahwa pengendalian hama Helopeltis spp pada tanaman kakao sebaiknya dilaksanakan secara terpadu yaitu dengan mengimplentasikan dari berbagai komponen pengendalian yang kompatibel antara yang satu dengan yang lain.

Kesimpulan

1. Penerapan teknologi budidaya yang tepat memberikan pengaruh yang baik terhadap jumlah buah dipanen, berat buah, hasil biji basah dan persentase serangan PBK

2. Sampai panen keempat setelah penerapan teknologi menunjukkan bahwa jumlah buah dipanen per pohon tertinggi pada perlakuan B (3,87 buah) dan perlakuan A (3,75 buah), berat buah per pohon tertinggi pada perlakuan B (1,69 kg) dan perlakuan A (1,49 kg), sementara berat biji basah per pohon juga tertinggi pada perlakuan B (0,47 kg) dan perlakuan A (0,44 kg).

3. Persentase serangan PBK lebih rendah pada perlakuan A dan B

Daftar Pustaka

Ditjenbun. 2010. Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian.

Teguh Wahyudi, T.R. panggabean dan Pujiyanto. 2008. Panduan Lengkap Kakao, Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, Jember.

Slamet, A.R.; Subarna, T.; Nurawan, A., Samsisaputra, W; Salmin, M.; Triantoro, Perakitan teknologi spesifik lokasi untuk kakao di Jawa Barat. Prosiding seminar hasil penelitian/pengkajian dan diseminasi hasil penelitian/pengkajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) , 1998 p. 87-99 10 tables; 18 ref.

Biri, J. dan Tandisau, P. Teknik perbaikan mutu dan hasil kakao rakyat di Sulawesi Selatan . Prosiding seminar nasional hasil pengkajian dan penelitian teknologi pertanian menghadapi era otonomi daerah. 1999 p. 531-535 1 table; 12 ref.

Limbongan, J.; Ardjanhar, A.; Maskar; Kindangen, J.G.; Chatijah. Pengkajian sistem usahatani dan perbaikan mutu kakao (Theobroma cacao L.) di Sulawesi Tengah. Prosiding seminar nasional hasil pengkajian dan penelitian teknologi pertanian menghadapi era otonomi daerah. 1999 p. 598-609 11 tables; 20 ref.

Maskar; Syafruddin Pengaruh takaran pupuk urea terhadap produktivitas tanaman kakao di Sulawesi Tengah. Prosiding seminar nasional hasil pengkajian dan penelitian teknologi pertanian menghadapi era otonomi daerah. 1999 p. 393-398 4 tables; 8 ref.

(8)

Muh. Asaad dan Agus Hasbianto : Kajian penerapan teknologi budidaya Kakao | 460 Sunantara, IM.M.; Sutedja, IN.; Sunanjaya, IW.; Sugianyar, I.M. Pengkajian sistem

usahatani kakao di daerah Bali. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Denpasar. Denpasar: IP2TP, 2000 44 p.

Maskar; Syafruddin; Slamet Pengaruh takaran pupuk kalium terhadap produksi tanaman kakao rakyat di Sulawesi Tengah. Prosiding seminar regional pengembangan teknologi pertanian spesifik lokasi di Sulawesi Selatan. 2001 p. 263-269 6 tables; 7 ref.

Rubiyo; Alam, M.T.S.; Suprapto. Penelitian waktu pangkas dan pemberian pupuk alternatif terhadap mutu hasil kakao Lindak di Bali. Prosiding seminar nasional pengembangan teknologi pertanian: Teknologi pertanian berbasis sumberdaya lokal dan ramah lingkungan dalam menunjang otonomi daerah. 2001 p. 221-225 2 tables; 14 ref.

Altieri AM. 1999. The ecological role of biodiversity in agroecosystems. Agric Ecosys and Environ. 74: 19 – 31.

Sulistyowati E. 2003. Pengenalan hama utama, teknik pengamatan dan pengendaliannya pada yanaman kakao. Materi pelatihan: Teknik budidaya dan pengolahan hasil tanaman kakao. Jember: 15 – 29 September 2003.

Gambar

Tabel 2. Jumlah buah kakao di panen per pohon sampai empat kali panen
Tabel 4. Berat biji basah kakao per pohon sampai empat kali panen
Tabel 5. Persentase serangan PBK

Referensi

Dokumen terkait

Digunakan oleh aplikasi mobile government sebagai opsi yang diberikan kepada pengguna untuk dilakukan pemilihan akan layanan pengajuan surat yang diinginkan oleh pengguna dan

Dalam menyelesaikan laporan Tugas Akhir yang berjudul Perancangan Pusat Dokumentasi Arsitektur Nusantara di Kota Malang ini, saya menyadari bahwa banyak pihak yang telah ikut

Salah satu agen sosialisasi adalah media massa yang memiliki pengaruh cukup dominan dalam perkembangan anak dan film merupakan salah satu media massa yang akrab dengan

Bimbingan dan konseling Islami adalah upaya membantu individu belajar mengembangkan fitrah dan atau kembali kepada fitrah, dengan cara memberdayakan (enpowering) iman, akal,

Dalam edisi “SASI” kali ini beberapa permasalahan hukum yang menjadi sorotan adalah Peraturan Mahkamah Agung Dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Menurut Jenis Peraturan

Pengaruh langsung Program Kesehatan Kerja (X2) ke Faktor Penyakit Akibat Kerja (Y1) dan pengaruh langsung antara Faktor Penyakit Akibat Kerja (Y1) keFaktor

Bentuk rumusan gagasan Trisakti yang ter- diri dari 1). berdaulat dalam politik, 2). berdikari dalam ekonomi dan 3). berkepribadian dalam bu- daya. Kemudian diperluas dalam

Pada bagian ini dijelaskan mengenai identifikasi kekuasaan untuk setiap komunitas melalui aktor yang berperan, kepentingan terhadap hutan, mekanisme akses dan bundle of