• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Singkat Dusun Menjadi Desa Paluh Pakih Babussalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Singkat Dusun Menjadi Desa Paluh Pakih Babussalam"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Singkat Dusun Menjadi Desa Paluh Pakih Babussalam

Asal mula sejarah desa Paluh Pakih Babussalam berawal dari nama dusun, tepatnya yang dimulai pada tahun 1970 sampai tahun 1996, yang diberi nama dengan sebutan dusun Sembilan Paluh Pakih. Daerah Paluh Pakih sebelum menjadi sebuah dusun, pertama sekali ditemukan oleh Sheh Tuan Guru Babu Rokan, yang pada waktu itu daerah ini merupakan salah satu tempat persinggahannya di waktu ia mencari ikan sambil mendayung sampan.

Pada saat daerah ini ditemukan oleh Sheh Tuan Guru Babu Rokan, daerah tersebut merupakan daerah yang rawan dengan banjir dan penuh dengan rawa. Daerah yang rawan dengan banjir dan penuh rawa itu disebut dengan nama Paluh Pakih, dimana kata “paluh” berarti rawa-rawa, dan “pakih” berarti tempat. Pada saat itu dusun Sembilan Paluh Pakih berada di desa Batang Serangan, kecamatan Padang Tualang, kabupaten Langkat, provinsi Sumatera Utara.

Beberapa waktu kemudian, letak dan luas desa Batang Serangan mulai berkembang, yang disebabkan oleh karena jumlah penduduk yang semakin bertambah. Pada tahun 2004, tepatnya bulan April, yang tadinya Batang Serangan adalah sebuah desa berubah menjadi sebuah kelurahan, yang berada di wilayah kecamatan Batang Serangan, kabupaten Langkat, provinsi Sumatera Utara. Kepemimpinannya dipegang oleh seorang lurah.

(2)

Batang Serangan sebelum menjadi sebuah kecamatan, wilayah Paluh Pakih masih berada di kecamatan Padang Tualang, dan akhirnya pada tanggal 30 September 1999, ada tiga wilayah yang akan menjadi sebuah kecamatan, yaitu kecamatan Padang Tualang, kecamatan Sawit Seberang, dan kecamatan Batang Serangan.

Pada tanggal 17 Maret 2005 mulai terjadinya perubahan dari sebuah desa menjadi sebuah kelurahan yang dibagi menjadi 19 kelurahan. Peresmiannya dilakukan di kecamatan Gebang, sehingga kabupaten Langkat ada 20 kecamatan, di antaranya adalah kecamatan Bahorok, Salapian, Sungai Bingai, Kuala, Selesai, Binjai, Stabat, Padang Tualang, Hinai, Sicanggang, Tanjung Pura, Gebang, Besitang, Pangkalan Susu, Sawit Seberang, Batang Serangan, dan kecamatan lainnya berada dalam kawasan Stabat.

Pada tahun 2006 kelurahan Batang Serangan sudah berada di wilayah kecamatan Batang Serangan, kabupaten Langkat, provinsi Sumatera Utara. Jumlah penduduk yang semakin bertambah di kelurahan Batang Serangan, maka pada bulan April tahun 2006, dusun Sembilan Paluh Pakih keluar dari kelurahan Batang Serangan, dan mulai berdiri sendiri untuk mengembangkan daerah wilayahnya sendiri.

Pada tanggal 24 April 2006 kemudian Paluh Pakih dikukuhkan menjadi sebuah desa baru yang berada di wilayah kecamatan Batang Serangan, kabupaten Langkat, provinsi Sumatera Utara. Peresmian desa ini dilakukan oleh camat Batang Serangan, kapolsek Padang Tualang, dinas instansi Batang Serangan, dan seluruh masyarakat desa itu.

(3)

Desa Paluh Pakih selanjutnya diberi nama desa Paluh Pakih Babussalam, “babussalam” diambil dari nama sebuah jalan, tempat dimana desa itu berada. Kepemimpinan desa Paluh Pakih Babussalam dipegang oleh seorang kepala desa, yang bernama Halimula. Sejak saat itu ada tujuh buah desa, dan satu kelurahan di dalam satu wilayah kecamatan Batang Serangan.

2.2. Lokasi dan Lingkungan Alam

Desa Paluh Pakih Babussalam merupakan daerah yang berada di wilayah kecamatan Batang Serangan, kabupaten Langkat, provinsi Sumatera Utara. Perjalanannya menuju desa ini melewati kota Medan, Binjai, Stabat, dan Tanjung Beringin, apabila dari kota Medan.

Perjalanan dari kota Medan berjarak lebih kurang 88 km, dan jarak dari jalan lintas Sumatera (Medan-Aceh) lebih kurang 30 km ke arah Batang Serangan. Lama tempuh dari kota Medan ke desa Paluh Pakih Babussalam sekitar 3,5 jam. Perjalanan untuk memasuki wilayah desa ini, akan terlebih dahulu memasuki kawasan perkebunan sawit dan karet. Bentuk jalan daerah ini bergelombang dan berbatu, karena jalan aspal yang didapat hanya sampai wilayah Padang Tualang.

Letak desa Paluh Pakih Babussalam sangat terpencil, karena jauh dari pusat kota, dan berada di tengah-tengah areal perkebunan. Desa Paluh Pakih Babussalam memiliki batas-batas sebagai berikut:

a. Sebelah Timur berbatasan dengan desa Sungai Benda.

b. Sebelah Barat berbatasan dengan desa Tebing Tanjung Selamat, kecamatan Padang Tualang.

(4)

c. Sebelah Utara berbatasan dengan desa Alur Hitam.

d. Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Tanggul Sungai Basilam.

Desa Paluh Pakih Babussalam memiliki luas 1200 km2, yang terdiri dari daratan, persawahan, dan rawa. Luas areal persawahan adalah 800 Ha, dan daratan seluas 400 Ha. Desa ini memiliki delapan dusun, di antaranya adalah dusun Makmur, dusun Kelapa Sawit, dusun Benteng, dusun Bukit, dusun Sejahtera, dusun Pekan, dusun Berseri, dan dusun Letter “S”.

Desa Paluh Pakih Babussalam merupakan daerah dataran rendah, karena juga memiliki daratan dan rawa, sehingga sering terjadi banjir, namun sangat cocok untuk dijadikan sebagai tempat bercocok tanam. Desa ini juga merupakan daerah lahan pertanian dan menjadi lumbung padi di wilayah kecamatan Batang Serangan. Potensi sumber daya alam berdasarkan iklim di desa Paluh Pakih Babussalam adalah iklim tropis, yang memiliki curah hujan 0,5 mm, sehingga jumlah bulan hujannya diperkirakan terjadi selama empat bulan dalam setahun, dengan suhu rata-rata harian adalah 250 C.

2.3. Keadaan Penduduk

Penduduk desa Paluh Pakih Babussalam mayoritas merupakan etnis Jawa. Selain etnis Jawa juga terdapat etnis lain, tetapi hanya merupakan etnis yang minoritas, diantaranya yaitu etnis Banten, Etnis Banjar, etnis Karo, dan etnis Batak Toba. Penduduk di desa Paluh Pakih Babussalam terdiri dari dua agama yang dianut, yaitu agama Islam dan agama Kristen Protestan. Mayoritas yang beragama Islam yang merupakan agama asli etnis Jawa. Agama lain yang terdapat di desa ini dibawa oleh etnis pendatang, yaitu agama Kristen Protestan.

(5)

Jumlah penduduk desa Paluh Pakih Babussalam adalah sebanyak 1903 jiwa, dengan penduduk laki-laki berjumlah 995 jiwa, dan penduduk perempuan berjumlah 908 jiwa. Terdapat 424 rumah tangga yang mendiami desa ini.

Jumlah penduduk setiap dusun dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.1

Jumlah Penduduk Per-Dusun Berdasarkan Jenis Kelamin

No Dusun Jenis Kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuan 1. Makmur 57 52 109 2. Kelapa Sawit 69 61 130 3. Benteng 96 81 177 4. Bukit 207 194 401 5. Sejahtera 193 154 347 6. Pekan 143 133 276 7. Berseri 208 198 406 8. Letter “S” 27 30 57

Sumber: Kantor Desa PPB, 2007

Dari tabel 2.1 dapat dilihat bahwa penduduk terpadat di dusun Berseri dengan jumlah penduduk 406 jiwa, yaitu jumlah penduduk laki-laki adalah 208 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 198 jiwa, sedangkan dusun dengan jumlah penduduk paling sedikit yaitu dusun Letter “S”, yang terdiri dari 27 jiwa penduduk laki-laki dan 30 jiwa penduduk perempuan.

2.3.1. Berdasarkan Etnis

Mayoritas penduduk desa Paluh Pakih Babussalam adalah penduduk yang beretnis Jawa, yang juga merupakan etnis asli di desa itu. Jumlah penduduk etnis Jawa adalah 1404 jiwa. Selain etnis Jawa juga terdapat etnis-etnis lain yang

(6)

merupakan etnis pendatang di desa ini, antara lain adalah etnis Karo yang berjumlah 86 jiwa, etnis Batak Toba yang berjumlah 48 jiwa, etnis Banten yang berjumlah 206 jiwa, dan etnis Banjar yang berjumlah 159 jiwa.

Secara terperinci jumlah penduduk desa Paluh Pakih Babussalam berdasarkan etnis dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2

Jumlah Penduduk Berdasarkan Etnis

No Etnis Jumlah Persentase

(%) 1 Jawa 1404 73,78 2 Karo 86 4,52 3 Batak Toba 48 2,52 4 Banten 206 10,82 5 Banjar 159 8,36

Sumber: Kantor Desa PPB, 2007

Berdasarkan tabel 2.2 dapat kita lihat bahwa etnis yang paling mendominasi di Desa Paluh Pakih Babussalam adalah etnis Jawa yang berjumlah 1404 jiwa, diikuti oleh etnis yang terbesar kedua ialah etnis Banten, etnis Banjar, etnis Karo, dan etnis Batak Toba. Desa ini terdiri dari beragam etnis, namun hubungan yang harmonis antar suku bangsa tetap terjalin.

2.3.2. Berdasarkan Agama

Masyarakat desa Paluh Pakih Babussalam menganut dua agama yang diakui oleh negara yaitu agama Islam dan agama Kristen, namun agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat desa ini adalah agama Islam. Berikut ini adalah

(7)

tabel yang menerangkan secara terperinci mengenai jumlah penduduk yang ada di desa Paluh Pakih Babussalam berdasarkan agama yang dianut.

Tabel 2.3

Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama

No Agama Jumlah Persentase (%)

1 Islam 1851 97,27

2 Kristen 52 2,73

Sumber: Kantor Desa PPB, 2007

Pada tabel 2.3 menunjukkan bahwa agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat desa Paluh Pakih Babussalam adalah agama Islam dengan jumlah 1851 jiwa, sedangkan agama Kristen merupakan agama yang minoritas dengan jumlah penduduk yang menganutnya adalah 52 jiwa. Mendominasinya agama Islam di desa ini, namun tidak pernah menghambat terjalinnya kerukunan antar pemeluk agama Islam dengan pemeluk agama Kristen.

2.3.3. Berdasarkan Pendidikan

Pendidikan merupakan hal yang sangat penting pada masa sekarang ini. Penduduk desa Paluh Pakih Babussalam juga menganggap bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting. Setiap orang tua tidak menginginkan anaknya menjadi orang yang tidak berpendidikan nantinya, karena dengan pendidikan setiap orang bisa menjadi sukses. Pendidikan dijadikan faktor yang sangat penting bagi kehidupannya di masa depan. Adapun jumlah penduduk desa Paluh Pakih Babussalam berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut.

(8)

Tabel 2.4

Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase (%) 1. Sekolah Dasar (SD) 1257 73,29

2. SLTP/Sederajat 310 18,08

3. SLTA/Sederajat 137 7,99

4. Perguruan Tinggi 11 0,64

Sumber: Kantor Desa PPB, 2007

Tabel 2.4 menunjukkan bahwa penduduk desa Paluh Pakih Babussalam sudah mempunyai kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi kehidupan di masa depan. Desa ini merupakan desa yang terpencil karena sangat jauh dari pusat kota, namun sudah terdapat 11 jiwa yang kuliah di Perguruan Tinggi yang ada di luar desa tersebut. Desa Paluh Pakih Babussalam juga tidak mempunyai bangunan sekolah untuk Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), dan Perguruan Tinggi, sehingga anak-anak yang ada di desa ini harus pergi bersekolah di luar desa.

Di desa Paluh Pakih Babussalam juga masih terdapat anak-anak yang tidak merasakan pendidikan. Hal ini disebabkan oleh berbagai hal, ada yang memang tidak mau bersekolah, dan ada juga yang karena alasan keuangan keluarga yang kekurangan, yaitu yang dilatarbelakangi oleh pekerjaan masyarakatnya yang mayoritas berprofesi sebagai petani.

2.3.4. Berdasarkan Mata Pencaharian

Penduduk desa Paluh Pakih Babussalam mempunyai mata pencaharian yang beraneka ragam. Sumber mata pencaharian yang paling banyak, yaitu di bidang pertanian. Bidang pertanian bukan merupakan satu-satunya sumber mata

(9)

pencaharian bagi penduduk desa Paluh Pakih Babussalam. Penduduk desa ini juga ada yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan, di bidang sektor perdagangan, dan pengrajin.

Secara terperinci mengenai mata pencaharian penduduk akan dijelaskan pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.5

Sumber Mata Pencaharian Penduduk

No Mata Pencaharian Jumlah Persentase (%)

1 Petani 604 86,29 2 Pedagang 24 3,43 3 Pegawai Negeri/Guru 5 0,71 4 Pengrajin 18 0,58 5 Penggarap 36 5,14 6 Pegawai Perkebunan 13 1,85

Sumber: Kantor Desa PPB, 2007

Tabel 2.5 menunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk yang terbesar adalah sebagai petani. Selain pada sektor pertanian, sektor perdagangan, pengrajin, dan sebagai pegawai negeri/guru. Sebagian penduduk desa Paluh Pakih Babussalam juga menggarap lahan milik perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di dekat desa ini. Penduduk desa ini menggarap sebagian lahan milik perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut dengan menanami padi, kelapa sawit juga tanaman cokelat.

Penggarapan lahan milik perusahaan perkebunan kelapa sawit oleh penduduk desa adalah disebabkan kurangnya modal warga desa untuk membeli tanah dan lahan, karena banyak penduduk desa yang belum memiliki tanah untuk membangun rumah dan lahan untuk bercocok tanam, sehingga banyak penduduk

(10)

yang harus menumpang di lahan milik orang lain. Bagi penduduk yang memiliki uang yang cukup, mereka dapat menyewa lahan bahkan membeli lahan itu untuk dijadikan tempat bertani. Ada sebagian penduduk yang tidak memiliki uang untuk memiliki lahan, maka mereka menggarap sebagian lahan milik perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di dekat desa Paluh Pakih Babussalam itu, yaitu bagian-bagian lahan yang tidak ditanami sawit oleh pihak perusahaan, misalnya yang sudah menjadi rawa.

Memasuki wilayah desa Paluh Pakih Babussalam dan wilayah perkebunan kelapa sawit, kita akan sulit untuk melihat batas-batas wilayahnya. Sulit untuk membedakan mana daerah milik perusahaan perkebunan kelapa sawit dan mana daerah milik desa Paluh Pakih Babussalam, karena desa ini berada di tengah-tengah wilayah perkebunan kelapa sawit itu.

Sebagian besar penduduk desa Paluh Pakih Babussalam juga terpaksa harus membangun rumah kecil yang terbuat dari tepas, kayu, bahkan dari papan di lahan milik perusahaan perkebunan kelapa sawit itu. Hal ini disebabkan oleh karena penduduk desa menganggap bahwa lahan milik perkebunan yang sudah menjadi rawa itu tidak dipergunakan oleh pihak perusahaan, sehingga mereka memiliki kesempatan untuk menggarap lahan kosong itu tanpa harus mengeluarkan uang sewanya, dimana mereka hanya merupakan petani yang tidak memiliki uang yang banyak untuk menyewa.

(11)

2.4. Pola Pemukiman

Masyarakat desa Paluh Pakih Babussalam bermukim di tengah-tengah areal perusahaan perkebunan kelapa sawit, dan di sekitar rumah banyak dikelilingi rawa-rawa dan sawah. Hal ini dikarenakan desa ini merupakan dataran rendah dan dapat dijadikan sebagai tempat untuk bercocok tanam, sehingga mayoritas penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai petani, selain itu juga memiliki mata pencaharian sebagai pedagang. Di wilayah perkebunan kelapa sawit tidak terdapat sebuah pasar untuk membeli kebutuhan makan sehari-hari, sehingga banyak petani yang berasal dari desa Paluh Pakih Babussalam yang juga berprofesi sebagai pedagang untuk menjual hasil pertaniannya ke rumah-rumah yang ada di wilayah perkebunan kelapa sawit itu.

Desa Paluh Pakih Babussalam merupakan wilayah yang terpencil dan jauh dari pusat kota, bahkan tidak memiliki alat transportasi khusus untuk menuju wilayah ini. Di desa ini juga masih ditemui rumah yang berbentuk semi permanen, dan rumah yang terbuat dari bambu.

Tabel 2.6

Jenis Bangunan Rumah

No Jenis Rumah Jumlah

1 Permanen 18

2 Semi Permanen 22

3 Kayu/Papan 135

4 Bambu 234

Sumber: Kantor Desa PPB, 2006

Penduduk desa Paluh Pakih Babussalam semakin bertambah dan bangunan perumahan juga semakin meningkat. Penduduk yang memiliki rumah permanen dan semi permanen banyak dimiliki oleh mereka yang bekerja di perusahaan

(12)

perkebunan kelapa sawit, sedangkan rumah yang terbuat dari kayu, papan, dan bambu dimiliki oleh mereka yang kesehariannya sebagai petani. Hal ini disebabkan karena sebagian penduduk desa tidak mempunyai banyak uang untuk membangun rumah, dan banyak di antara mereka yang membangun rumah yang terbuat dari kayu, papan, dan bambu.

2.5. Sarana dan Prasarana

Beberapa sarana dan prasarana yang telah diberikan oleh pemerintah kepada desa Paluh Pakih Babussalam di antaranya ialah pembuatan irigasi sepanjang 4 km, yaitu yang dialiri dari sungai Basilam. Irigasi ini dilakukan untuk pengairan di sawah, selain itu ada henzetor sebanyak 7 unit untuk sawah, pembibitan ikan seluas 50 rante (2 ha). Pengaliran listrik berasal dari PLN, yang harus dibayar tiap bulannya oleh masing-masing KK. Jumlah sarana dan prasarana yang ada di desa Paluh Pakih Babussalam dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.7 Sarana dan Prasarana

No Sarana dan Prasarana Jumlah Persentase (%)

1 Sekolah Dasar Negeri 1 4,54

2 Mesjid 2 9,09

3 Mushalla 8 36,38

4 TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) 1 4,54

5 Lapangan Bola Kaki 1 4,54

6 Lapangan Voli 1 4,54

7 Puskesmas Pembantu 1 4,54

8 Henzetor 7 31,83

(13)

Dari tabel 2.7 dapat dilihat bahwa sarana pendidikan belum memadai, karena sarana pendidikan yang ada hanya untuk Sekolah Dasar yaitu yang berjumlah 1 (satu) unit. Sarana ibadah yang terdapat di desa Paluh Pakih Babussalam hanya diperuntukkan bagi umat Islam, yaitu berupa 2 (dua) unit mesjid dan 8 (delapan) unit mushalla yang terdapat di setiap dusunnya. Sarana ibadah untuk umat Kristen tidak tersedia sehingga harus melakukan kegiatan agama di sebuah gereja yang letaknya cukup jauh dari desa ini.

Kondisi dari sarana ibadah bagi umat Islam memperihatinkan, karena jarang sekali dilakukan pembangunan untuk memperbaiki sarana ibadah yang ada. Masalah yang paling pokok dalam memperbaiki sarana ibadah tersebut adalah masalah biaya, jangankan untuk memperbaiki bangunan ibadah, untuk biaya kehidupan sehari-hari saja masih kurang. Masyarakat di desa Paluh Pakih Babussalam hanya menunggu waktu dan bantuan dari pihak-pihak lain untuk membantu memperbaiki sarana ibadah yang ada.

Di desa Paluh Pakih Babussalam hanya ditemui 1 (satu) unit sarana penunjang kesehatan, dan bangunannya juga kelihatan memperihatinkan karena hanya terbuat dari papan-papan, serta hanya ada satu orang bidan. Fasilitas kesehatan juga sangat kurang di desa ini. Kegiatan masyarakat yang beragama Islam, seperti pengajian atau kegiatan keagamaan lainnya, yaitu untuk menambah pengetahuan tentang keagamaan Islam khususnya dapat dilakukan di mesjid maupun di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA).

(14)

2.6. Kehidupan Masyarakat Jawa

Sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Jawa adalah bilateral atau parental. Keturunan bilateral atau parental, yaitu keluarga menganut prinsip keturunan yang diperhitungkan secara sama, yaitu melalui garis keturunan ayah dan garis keturunan ibu.

Menurut Hildred Geertz (1985:28), pada masyarakat Jawa ada dua istilah yang dikenal adanya hubungan kekeluargaan. Istilah-istilah tersebut yaitu sedulur cedak dan sedulur adoh. Masing-masing istilah tersebut juga sering disebut dengan kulawarga, sanak sedulur, atau sedulur. Sedulur cedak ialah kakek, nenek, paman, bibi, anak-anak paman dan bibi, atau juga merupakan keluarga kandung dari ayah dan ibu kandung, sedangkan yang dimaksud dengan sedulur adoh ialah orang-orang yang bukan sedarah tetapi sudah dianggap keluarga sendiri, dan bahkan tinggal dalam satu rumah.

Hildred Geertz (1985:28) selanjutnya mengatakan, bahwa seorang sedulur cedak dapat menjadi seperti saudara adoh, karena perpindahan ke kelas lain, adanya percekcokan, atau tempat kediaman yang berjauhan dengan keluarga. Seorang saudara adoh dapat mejadi seperti saudara cedak, karena tempat kediaman yang berdekatan, bersama-sama dalam satu rumah, sehingga dianggap sebagai salah seorang warga somah sendiri.

Orang yang menjadi orang tua kandung dalam satu keluarga pada masyarakat Jawa disebut pak (sebutan untuk orang tua kandung yang laki-laki), dan bu (sebutan untuk orang tua kandung yang perempuan). Saudara kandung yang lebih tua adalah seorang perempuan biasanya disebut mbak ayu atau

(15)

dia disebut mas, tetapi apabila memiliki adik perempuan disebut adik wedok, dan apabila mempunyai adik laki-laki disebut adik lanang.

Pada umumnya perempuan dapat mejaga hubungan yang lebih erat dengan keluarga sedarahnya, sesudah perkawinan dan pindah tempat tinggal, anak-anak perempuan umumnya masih tetap mempunyai hubungan erat dengan keluarga orang tua mereka, sedangkan anak-anak laki-laki tidak demikian. Perempuan-perempuan kakak beradik yang telah menikah berikut dengan anak-anak perempuan mereka, akan tetap berhubungan erat satu sama lain, tetapi tidak demikian halnya antara mereka dan saudara laki-lakinya, atau antara kakak beradik laki-laki mereka (Geertz, 1985:29).

Di pihak lain menantu laki-laki dan menantu perempuan harus selalu hormat terhadap mertua. Tanggung jawab keluarga sebagian besar ada pada perempuan, maka menantu perempuan bila berkediaman dekat agar selalu mengirimkan sesuatu berupa hadiah kecil bagi ibu mertuanya. Sebaliknya, ibu mertua apabila ia berada dekat, akan mengirimkan hadiah yang biasanya diperuntukkan bagi cucu-cucunya (Geertz, 1985:31).

2.6.1. Kehidupan Masyarakat Desa Paluh Pakih Babussalam

Masyarakat desa Paluh Pakih Babussalam menganut dua agama yang diakui oleh negara, masing-masing di antaranya ialah agama Islam dan agama Kristen. Bagi umat yang beragama Kristen mengadakan kegiatan keagamaan yaitu kebaktian Minggu di gereja yang letaknya cukup jauh dari desa, dan kegiatan perwiritan seperti partangiangan dilakukan di rumah warga desa yang sudah ditunjuk jemaat gereja. Hari besar keagamaan, seperti Natal juga diselenggarakan

(16)

di gereja. Letak gereja cukup jauh, dan berada di wilayah perkebunan kelapa sawit, sehingga sebagian umat Kristen harus menaiki sepeda atau berjalan kakia untuk mencapai gereja itu.

Masing-masing warga desa yang menganut agama Islam melaksanakan sholat di mesjid atau di mushalla, yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah masing-masing warga desa. Mereka sembahyang lima kali sehari, pada hari Jumat pergi ke mesjid, dan berpuasa dalam bulan Ramadhan. Hari besar keagamaan seperti sholat Idul Fitri dan sholat Idul Addha juga diselenggarakan di mesjid yang ada.

Bagi umat beragama Islam membentuk sebuah perkumpulan perwiritan dan pengajian di desa Paluh Pakih Babussalam. Hal ini dilakukan oleh karena mereka menginginkan adanya kerukunan di antara warga desa, dan terlebih untuk menambah pengetahuan mengenai keagamaan umumnya.

Perkumpulan perwiritan maupun pengajian juga dianggap sebagai sarana bagi warga desa untuk dapat lebih aktif dalam suatu kegiatan keagamaan. Dari beberapa informan yang penulis tanya bahwa perwiritan dan pengajian dilakukan hanya supaya ada kegiatan masyarakat dalam keagamaan, dan karena banyak warga desa yang sangat sedikit pengetahuannya terhadap keagamaan.

Kegiatan perwiritan biasanya dilaksanakan pada hari Kamis dengan jadwal sebanyak dua kali dalam seminggu. Pertama, dilaksanakan oleh para ibu dan remaja puterinya, yaitu pada pukul 13.00 wib, dan yang kedua dilakukan pada malam hari oleh para bapak dan remaja puteranya, pada pukul 20.00 wib. Kegiatan perwiritan ini biasanya dilakukan di rumah salah satu warga desa yang sudah ditunjuk.

(17)

Kegiatan pengajian dilakukan setiap harinya di Taman Pendidikan Al-Qur’an pada pukul 14.30 wib-15.30 oleh anak-anak yang berumur di bawah 10 tahun, sedangkan bagi para ibu dan remaja puterinya yang berumur 11 tahun ke atas melaksanakan pengajian di mesjid atau mushalla, yaitu dua kali seminggu. Kegiatan keagamaan seperti perwiritan dan pengajian di desa Paluh pakih Babussalam menunjukkan adanya kepedulian masyarakat terhadap pengetahuan keagamaan. Kegiatan seperti ini juga dibentuk sama seperti adanya perkumpulan STM (Serikat Tolong-menolong) dalam suatu daerah, yaitu sebagai sarana untuk membantu warganya yang membutuhkan.

Pada Acara perkawinan umumnya harus dihadiri suatu perkumpulan perwiritan dan pengajian, dimana perkumpulan tersebut akan melantunkan nyanyian, memainkan musik rebana, dan membacakan doa-doa dalam kegiatan perkawinan itu. Artinya, bahwa acara perkawinan tidak akan lengkap tanpa adanya perkumpulan perwiritan dan pengajian dianggap, sebab perkumpulan itu merupakan pelengkap dan dianggap sebagai pembawa acara dalam upacara perkawinan.

Penulis melihat bahwa kegiatan keagamaan seperti perwiritan dan pengajian rutin dilaksanakan, baik oleh para laki-laki maupun perempuan. Mereka sangat antusias untuk melakukan kegiatan tersebut, namun dari wawancara penulis dengan beberapa informan ternyata ada sebagian dari warga desa yang jarang, bahkan tidak mengikuti kegiatan perwiritan dan pengajian itu, yang disebabkan memiliki kesibukan tersendiri.

(18)

Penulis juga melihat bahwa mereka sangat mempertahankan status mereka sebagai umat yang beragama, dan menunjukkan bahwa mereka akan selalu mengikuti dan mematuhi ajaran agama yang mereka anut. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan keagamaan yang mereka bentuk dan mereka ikuti di desa itu, namun penulis tidak melihat banyaknya orang yang menggunakan penutup kepala seperti jilbab atau peci dalam kegiatan sehari-harinya. Mereka menggunakan jilbab dan peci tersebut hanya pada hari-hari tertentu, yaitu pada saat perwiritan dan pengajian.

Adanya perbedaan agama, etnik, dan bahasa, namun masyarakat Desa Paluh Pakih Babussalam tetap hidup rukun. Hal ini terlihat dari adanya kegiatan yang dilakukan bersama-sama, seperti gotong-royong untuk membersihkan lingkungan desa dan membantu warga desa lain yang ingin membangun rumah atau ingin melaksanakan sebuah pesta, adanya kegiatan perkumpulan STM (Serikat Tolong-menolong). Kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh para bapak dan para ibu yaitu pergi ke ladang atau sawah, dan para anak laki-laki biasanya pergi memancing untuk mencari ikan yang dapat dimasak dan menjadi lauk untuk makanan keluarganya daripada harus membeli ikan, sedangkan para anak perempuan biasanya tinggal di rumah untuk membersihkan dan menjaga rumah.

2.7. Penghulu

Desa Paluh pakih dipimpin oleh seorang kepala desa. Keseluruhan dari hal-hal yang menyangkut keadaan desa merupakan pertanggungjawaban bersama di bawah pimpinan kepala desa. Kepala desa adalah seorang yang ditunjuk oleh

(19)

pemerintah dan juga merupakan orang yang terpilih dalam suatu kampung, yaitu orang yang dianggap tepat untuk memegang jabatan itu.

Seorang kepala desa dalam melaksanakan tugas-tugasnya di dalam pemerintahan desa, dibantu oleh perangkat-perangkat desa lainnya. Apalagi di dalamnya ada suatu permasalahan mengenai warga desanya, maka sering terdapat beberapa atau seorang tokoh agama yang diakui pengaruhnya oleh masyarakat sekitarnya sebagai juru bicara dan yang juga sangat dihormati keberadaannya.

Tokoh agama yang dianggap dapat membantu masyarakat dalam menyelesaikan masalah yang ada di desa, bersama dengan seorang kepala desa ialah penghulu, sehingga penghulu dapat dianggap sebagai seseorang yang memimpin suatu desa selain kepala desa. Penghulu sering juga disebut sebagai

tuan kadhi, dan yang diangkat dengan musyawarah mufakat warga desa, atau pun yang diangkat oleh bupati, yaitu seseorang yang dianggap banyak mengetahui mengenai keagamaan Islam khususnya dan dapat bertanggung jawab dalam melaksanakan tugasnya.

Seorang yang terpilih dan menjabat sebagai seorang penghulu di dalam adat hendaknya mempunyai sifat sebagai berikut:

1. Benar, lurus dan jujur, bertanggung jawab, berani atas kebenaran. 2. Cerdas, berpendidikan, dan memiliki pengetahuan.

3. Jujur dan dapat dipercaya, tidak memiliki sifat yang jelek seperti penipu, penjudi, pemboros, dan sebagainya.

4. Fasih berbicara, bisa meyakinkan orang lain akan maksud yang baik dalam suatu rencana yang dilakukan, dan meyakinkan orang tentang suatu kebaikan pekerjaan yang akan dilaksanakan dan rencana yang akan

(20)

dikerjakan dalam perbaikan segala bidang dalam masyarakat (Sutisna dalam Jaih Mubarok, 2004:29).

Penghulu terkadang juga disebut sebagai imam mesjid, yang juga memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan. Penghulu memegang peranan utama dalam musyawarah adat dan agama, oleh karena itu tugas dari seorang penghulu

adalah:

1. Sebagai mufti (penasehat hukum Islam). Dalam hal ini penghulu harus menghadiri sidang-sidang pengadilan.

2. Sebagai kadhi atau hakim dalam Pengadilan Agama.

3. Sebagai imam mesjid. Dalam hal ini penghulu mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan mesjid raya di tempat kediamannya.

4. Sebagai wali hakim. Dalam hal ini penghulu bertugas mengawinkan wanita yang tidak mempunyai wali, dan pada perkawinan lain membantu demi keabsahan perkawinan.

Menurut Latif (dalam Aos Sutisna, 2004:34) ada enam fungsi dari seorang

penghulu, yaitu:

1. Sebagai imam mesjid.

2. Sebagai Kepala Pegawai Pencatat Nikah. 3. Sebagai wali hakim.

4. Sebagai penasehat pada Pengadilan Agama.

5. Sebagai Penasehat Bupati dalam masalah keagamaan. 6. Sebagai Ketua Pengadilan Agama.

(21)

Tugas seorang penghulu di desa Paluh Pakih Babussalam adalah memimpin kegiatan keagamaan, selain itu ia juga memimpin suatu acara perkawinan dan perceraian dalam suatu desa bersama dengan seorang kepala desa. Tanpa seorang penghulu, maka suatu perkawinan masih belum dapat dilaksanakan meskipun ada seorang kepala desa. Sepasang pengantin yang hendak menikah, terlebih dahulu harus melakukan pernikahannya secara agama di hadapan seorang

penghulu, dimana pengantin laki-laki harus mengucapkan ijab kabul, namun lain halnya dalam masalah perceraian, tanpa seorang penghulu, perceraian dapat diselesaikan meskipun hanya dipimpin oleh seorang kepala desa saja.

2.8. Sistem Perkawinan Menurut Orang Jawa

Perkawinan dalam sistem bilateral yang dianut oleh masyarakat Jawa bukan hanya perkawinan antara dua orang yang berlainan jenis saja, tetapi juga merupakan perkawinan yang menyatukan dua keluarga di antara kedua belah pihak. Perkawinan menurut orang Jawa menjadi pertanda terbentuknya sebuah

somah baru, yaitu yang akan segera memisahkan diri baik secara ekonomi maupun tempat tinggal, dan lepas dari orang tua untuk membentuk sebuah rumah tangga baru. Adanya sebuah perkawinan, maka tali ikatan antara dua kelompok kerabat pihak pengantin perempuan dengan kelompok kerabat pihak pengantin laki-laki menjadi sedulur.

Perkawinan sering juga disebut dengan istilah “nikah”, yaitu merupakan suatu masa dimana seseorang dengan pasangannya sudah memiliki kedewasaan berpikir dan bertindak serta memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam kehidupannya. Menikah berarti melepaskan masa lajang dan masa gadisnya, dan

(22)

juga adanya ikatan di antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang melakukan hubungan yang bersifat kekal, baik secara jasmani dan rohani.

Orang yang ingin melakukan perkawinan berarti orang yang sudah mandiri dan sanggup menyediakan wisma bagi keluarganya kelak, sehingga orang yang sudah menikah disebut dengan omah-omah. Seorang isteri dianggap juga sebagai

simah, selanjutnya seorang seorang suami dan seorang isteri akan disebut laki dan

bini.

Adapun tujuan dari sebuah perkawinan, yaitu: pertama, untuk memenuhi kebutuhan manusia akan teman hidup; kedua, untuk mengungkapkan dan mengekspresikan rasa sayang yang dimiliki seseorang terhadap pasangannya; ketiga, adanya permintaan dari orang tua untuk menikah; keempat, untuk memiliki keturunan (anak); kelima, untuk meneruskan dan memperbaiki ekonomi keluarga, terutama apabila menikah dengan salah satu anggota dari keluarga yang ekonomi menengah ke atas; keenam, untuk menambah dan mempererat hubungan

sedulur.

Menurut orang Jawa dikenal perkawinan yang ideal, yaitu: pertama, seorang perempuan kawin dengan anak laki-laki dari saudara perempuan ayah; kedua, kawin dengan seseorang yang sesama etnis Jawa, tetapi tidak jarang juga ditemukan bahwa orang Jawa menikah dengan seorang yang di luar etnis Jawa; ketiga, kawin dengan seorang yang berada di dalam satu desa maupun di luar desa tempat dimana orang tersebut tinggal.

Perkawinan apabila dilakukan dengan sesama orang Jawa sangat disenangi, tetapi bukan berarti perkawinan yang dilakukan dengan orang lain yang berasal dari luar etnis Jawa menjadi tidak disenangi, justru orang Jawa akan lebih

(23)

bangga dan menghormati seorang pasangannya yang berasal dari enits lain untuk menjadi anggota keluarganya. Jarang terjadi ada kecenderungan untuk mencari pasangan pengantin dari kalangan keluarga dekat, karena mereka masih dianggap

kulawarga, sanak sedulur, atau sedulur.

Menurut Hildred Geertz (1985:59), calon pengantin perempuan, perkawinan pertama dapat dipersiapkan sesudah haidnya yang pertama, dan benar-benar sudah menunjukkan rasa cinta dan sayangnya terhadap laki-laki. Setelah acara perkawinan, pengantin perempuan tersebut akan dibawa ke rumah suami dan diasuh oleh suami dan ibu mertuanya serta akan menjadi tanggungan bagi keluarga barunya, dan bukan lagi menjadi tanggungan orang tuanya sendiri. Adapun calon pengantin laki-laki biasanya tidak menikah sampai sesudah benar-benar dewasa dan dapat menafkahi rumah tangganya kelak dengan layak.

Perkawinan pada orang Jawa ada anggapan bahwa seorang adik laki-laki atau adik perempuan hendaknya menunda perkawinannya sampai sesudah saudara tua, terutama kakak perempuannya telah menikah. Si adik apabila ingin menikah terlebih dahulu ia harus mendapatkan ijin dari kakaknya itu.

Ada sebuah aturan pada orang Jawa, yaitu bahwa perkawinan sedulur juga dianggap tidak boleh dilakukan, apalagi jika calon pengantin perempuan menikah dengan anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah, karena anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah sebagai sepupu calon pengantin perempuan. Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah bisa dianggap sebagai wali bagi si calon pengantin perempuan, yaitu jika si calon pengantin perempuan tidak memiliki saudara kandung laki-laki dan ayahnya sudah meninggal, maka saudara laki-laki ayahnya yang menjadi wali, tetapi apabila saudara laki-laki ayahnya itu sudah meninggal,

(24)

maka anak laki-laki dari saudara laki-laki ayahnya yang akan menjadi wali baginya, terutama dalam upacara perkawinan.

Perkawinan yang dilarang apabila dilakukan akan mendapat sanksi adat masyarakat setempat. Sanksi adat yang diberikan tergantung kepada keputusan yang diambil dalam musyawarah sesuai ajaran hukum. Biasanya sanksi yang diberikan antara lain membatalkan perkawinan, diusir dari kampung, dan dikucilkan dari pergaulan, dan dapat dikeluarkan dari kelompok kerabat.

Orang Jawa mengenal beberapa bentuk perkawinan, yaitu:

1. Kawin gantung. Kawin gantung disebabkan oleh berbagai hal, yaitu salah satu atau kedua pasangan yang sudah menikah belum cukup umur atau karena dijodohkan; pihak keluarga pengantin perempuan belum sanggup melakukan pesta besar-besaran, karena menurut adat Jawa, pihak keluarga pengantin perempuan yang mengadakan pesta perkawinan; dan pengantin laki-laki belum memiliki pekerjan sehingga kedua pasangan pengantin masih tinggal menetap bersama orang tua.

2. Cina buta. Perkawinan cina buta merupakan perkawinan yang dianggap unik. Sepasang suami isteri yang telah menikah tiga kali kawin cerai tidak diperbolehkan rujuk kembali dengan mantan suami/isteri yang pertama. Apabila ingin rujuk kembali, maka perempuan yang sudah menjadi janda harus telah menikah dan telah bercerai dengan laki-laki lain terlebih dahulu. Perkawinan oleh janda dilakukan dengan cara mencari laki-laki lain untuk menikahinya, tetapi tidak menggaulinya. Setelah mereka sah menikah secara agama, selanjutnya laki-laki tersebut melakukan perceraian dengan janda itu, maka laki-laki yang menikahi janda itu

(25)

melakukan perjanjian cina buta, sehingga si janda itu dapat kawin lagi dengan mantan suaminya yang pertama.

3. Kawin wakil atau kawin wali. Kawin wali terjadi apabila salah satu pengantin laki-laki atau pengantin perempuan tidak dapat hadir pada waktu pernikahan secara agama di depan penghulu. Pengantin laki-laki apabila tidak dapat hadir, ia akan mengucap ijab kabul atas namanya di hadapan penghulu yang diwakilkan oleh seseorang yang diutusnya. Pengantin perempuan apabila tidak dapat hadir ke pernikahannya, maka ia akan diwakilkan oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, atau walinya dengan sebuah surat dan foto yang menyatakan dirinya bersedia untuk menikah. 4. Kawin sirri. Kawin sirri atau yang disebut juga kawin kampung oleh

masyarakat desa Paluh Pakih Babussalam, disebabkan perkawinan yang dilakukan secara agama dan hanya mengucap ijab kabul di hadapan

penghulu tanpa memberitahukan dan mencatatkan pernikahannya ke Kantor Urusan Agama. Perkawinan sirri merupakan perkawinan karena percampuran antara hukum agama dan hukum adat masyarakat, yang keduanya saling mempengaruhi, sehingga perkawinan semacam ini dianggap sebagai suatu perkawinan yang sah secara agama, tetapi belum sah secara hukum negara.

Ada beberapa tahap yang akan dilaksanakan sebelum memasuki pernikahan. Tahap-tahap yang dilalui tidak hanya menyangkut kedua belah pihak yang akan melakukan perkawinan, tetapi juga bersangkutan dengan keluarga besar kedua belah pihak.

(26)

Suatu tahap dimana sebelum memasuki suatu perkawinan, ada kalanya melakukan suatu lamaran, dilanjutkan dengan acara pertunangan. Pertunangan

dimaksudkan untuk mengikat hubungan di antara calon pengantin laki-laki dengan calon pengantin perempuan supaya lebih erat lagi. Lamaran dilakukan oleh pihak keluarga calon pengantin laki-laki kepada pihak keluarga calon pengantin perempuan, yaitu yang bertujuan untuk menikahkan anak laki-lakinya dengan anak perempuan tuan rumah yang dikunjungi, dan mereka mengajukan permintaan untuk menjadi besan.

Orang tua calon pengantin laki-laki akan mengirim utusannya ke rumah orang tua calon pengantin perempuan untuk melamar anak perempuan mereka, namun terkadang ada juga orang tua pihak calon pengantin laki-laki yang datang secara langsung untuk melakukan suatu lamaran. Pada saat lamaran akan dilakukan, calon pengantin laki-laki ikut bersama keluarganya ke rumah calon pengantin perempuan, tetapi tidak diperkenankan untuk bertemu dengan calon pengantin perempuannya, karena mereka belum waktunya untuk bertemu sebelum upacara perkawinan yang sesungguhnya.

Pada saat acara lamaran berlangsung, pihak keluarga calon pengantin laki-laki akan memberikan dua hadiah bagi calon pengantin perempuan dan keluarganya. Hadiah-hadiah yang diberikan oleh pihak keluarga calon pengantin laki-laki kepada keluarga calon pengantin perempuan berupa peningset, yang berasal dari kata singset yang berarti ikatan, dan sebuah sasrahan atau srah-srahan, yaitu yang berarti sesuatu yang diserahkan. Hadiah-hadiah peningset dan

sasrahan diserahkan kira-kira seminggu sebelum perkawinan berlangsung. Hadiah-hadiah berupa peningset dan sasrahan dari pihak keluarga calon

(27)

pengantin laki-laki dapat berupa perhiasan maupun peralatan dapur, beberapa ekor kerbau atau sapi, beras, dan uang kepada pihak keluarga calon pengantin perempuan sebagai tanda sesuatu yang mengikatnya erat-erat.

Pertemuan dua keluarga selama lamaran berlangsung disebut nontoni, yang berarti melihat-lihat, apabila kedua pihak keluarga dari calon pengantin laki-laki dan pihak keluarga dari calon pengantin perempuan sudah menyetujui lamaran itu, maka sehari atau dua hari kemudian akan dilakukan acara pertunangan dengan “tukar cincin” antara calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan.

Setiap orang tua yang kita ketahui mempunyai kewajiban yang tidak bisa dielakkan, yaitu untuk menyelenggarakan suatu pesta besar bagi setiap anaknya, kecuali jika si anak yang bersangkutan sudah memiliki modal untuk membiayai semua acara pesta perkawinan baginya sendiri. Menurut adat Jawa, pihak keluarga calon pengantin perempuanlah yang harus menanggung semua biaya pesta perkawinan bagi anak perempuannya itu, kecuali apabila ada kesepakatan sebelumnya bahwa pihak-pihak pengantin laki-laki yang akan membuat pesta perkawinan.

Acara “tukarcincin” selesai dilaksanakan, maka dilanjutkan acara siraman

yang bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga. Pesta siraman biasanya diadakan di siang hari, sehari sebelum pengucapan ijab kabul. Pada saat acara

siraman selesai dilakukan, calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan akan memberitahukan kepada pihak penghulu untuk memimpin acara perkawinan untuk pengucapan ijab kabul. Pengucapan ijab kabul dilakukan oleh pengantin laki-laki di hadapan penghulu dan wali serta saksi-saksi lainnya.

(28)

Pengucapan ijab kabul dilaksanakan sebelum pesta perkawinan dan dianggap merupakan syarat yang paling penting dalam mensahkan suatu perkawinan secara agama.

Pengucapan ijab kabul sudah selesai dilakukan, selanjutnya suatu tahap yang tidak dapat dihindari adalah pendaftaran atau pencatatan perkawinan di Kantor Urusan Agama. Tata cara ini tidak dapat dihilangkan, tetapi oleh beberapa orang Jawa di desa Paluh Pakih Babussalam tidak dianggap sebagai suatu hal yang paling penting, karena menurut sebagian orang bahwa perkawinan sudah dianggap sah apabila dilakukan secara agama. Tata cara perkawinan dalam adat Jawa ada dua, yaitu menurut agama dan menurut adat. Perkawinan telah selesai dilakukan dan dianggap sah apabila telah melakukan perkawinan secara agama dan secara adat.

Pemberian “mas kawin” atau “mahar” dari pihak pengantin laki-laki kepada wali pengantin perempuan dengan disaksikan oleh beberapa orang saksi, dilakukan setelah pengucapan ijab kabul. Penghulu selanjutnya menyatakan bahwa perkawinan itu dianggap sah secara agama dan kedua pengantin sah sebagai laki dan bini. Upacara perkawinan itu dilanjutkan dengan melaksanakan acara makan bersama secara keagamaan, yang disebut selametan atau

kenduren/kenduri, kemudian ada tradisi salam-salaman dengan kedua pengantin dan orang tua dari kedua pengantin bersama dengan para tamu.

(29)

2.8.1. Perkawinan yang Dicatat Di Kantor Urusan Agama (KUA)

Perkawinan masyarakat Jawa yang ada di desa Paluh Pakih Babussalam masih sedikit yang didaftar di Kantor Urusan Agama. Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa informan di desa Paluh Pakih Babussalam terdapat 27 pasangan suami isteri yang mencatatkan perkawinannya di Kantor Urusan Agama.

Dari 27 pasangan suami isteri yang mencatatkan perkawinannya di Kantor Urusan Agama adalah yang perkawinannya monogami. Adapun alasan bagi pasangan-pasangan suami isteri yang mencatatkan perkawinannya di Kantor Urusan Agama adalah:

a. Pasangan suami isteri akan mendapat akte nikah dari Kantor Urusan Agama, dengan begitu status pasangan sebagai suami isteri menjadi jelas dari segi hukum negara. Pasangan suami isteri itu akan memiliki bukti yang nyata dari akte nikah yang mereka miliki.

b. Melalui akte nikah yang dimiliki, pasangan suami isteri itu akan mendapat perlindungan hukum terhadap perkawinannya, dan akte nikah dapat dijadikan pegangan apabila ada persoalan-persoalan rumah tangga, seperti perceraian, pembagian harta gonogini, dan pengasuhan anak. Beberapa informan mengatakan, bahwa dengan akte nikah, maka segala sesuatu bentuk perceraian akan dipersulit sehingga kemungkinan jarang terjadi.

c. Adanya pernikahan di Kantor Urusan Agama dengan bukti akte nikah, maka status anak pun menjadi jelas, dan anak tidak dianggap sebagai anak haram, serta akte kelahiran anak selanjutnya juga dapat langsung diurus.

(30)

2.8.2. Perkawinan yang Tidak Dicatat Di Kantor Urusan Agama (KUA)

Hukum negara bukanlah satu-satunya acuan hukum bagi seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinannya. Selain hukum negara, ada pula hukum agama, dan hukum adat dalam suatu masyarakat, yang dianggap mempengaruhi para warga pendukungnya, sesuai dengan persepsi masyarakat yang melakukannya.

Pada perkembangannya yang sekarang ada banyak cara seseorang untuk melaksanakan perkawinannya tanpa dicatat di Kantor Urusan Agama. Salah satunya adalah dengan kawin sirri, yang menurut masyarakat Jawa di desa Paluh Pakih Babussalam adalah merupakan kawin kampung. Kawin sirri dalam hal ini, yaitu terjadinya percampuran antara hukum agama dan hukum adat masyarakat, yang kedua hukum tersebut saling berinteraksi dan mempengaruhi. Kawin sirri ini dilakukan secara agama di hadapan penghulu.

Di desa Paluh Pakih Babussalam masih ditemukan perkawinan sirri, yang pada umumnya dilakukan oleh etnis Jawa. Dari data lapangan, penulis menemukan sebanyak 36 pasangan suami isteri yang melakukan perkawinan sirri, yaitu yang perkawinannya banyak dilakukan secara poligami, baik itu perkawinan yang pertama, kedua, ketiga, bahkan yang keempat kalinya.

Berdasarkan persepsi masyarakat mengenai perkawinan sirri, bahwa kawin sirri itu sebagai sesuatu perkawinan yang sah, karena pelaksanaannya tetap dilakukan berdasarkan agama. Ada beberapa alasan bagi pasangan suami isteri yang melakukan kawin sirri, yaitu yang tidak mencatatkannya di Kantor Urusan Agama, dan dapat kita lihat di bawah ini:

(31)

a. Pemerintah lokal memberikan kemudahan-kemudahan untuk terjadinya kawin sirri.

b. Pada umumnya masyarakat menganggap bahwa kawin sirri sebagai suatu cara untuk mencegah dosa, misalnya ada sepasang suami isteri yang sudah sah menikah secara agama dan hukum negara, namun salah satu dari pasangan itu telah mencintai orang lain lagi, karena daripada selingkuh dan akhirnya memiliki anak haram dari hubungan selingkuhnya itu, maka dilakukan saja perkawinan sirri.

c. Untuk memiliki keturunan (anak), misalnya ada sepasang suami isteri yang tidak pernah bisa memiliki anak, sedangkan semua pihak keluarga menginginkan kehadiran seorang cucu, tetapi pasangan suami isteri itu tidak mau bercerai atau pisah, maka dilakukan kawin sirri

dengan seorang yang lain.

d. Tidak ada persetujuan dari isterinya pertamanya untuk menikah lagi dengan seorang perempuan yang dicintai suaminya itu.

e. Masalah waktu dan biaya yang harus banyak dikeluarkan pada saat ingin mendaftar dan mengurus pernikahannya di KUA, apalagi jika dikaitkan dengan latar belakang mata pencaharian masyarakat desa Paluh Pakih Babussalam yang mayoritas sebagai petani. Selain itu, jauhnya letak KUA dari desa mereka dan tidak adanya alat transportasi.

f. Sulitnya prosedur pengurusan dan pencatatan perkawinan melalui KUA, bahkan ada beberapa dari mereka yang tidak mengerti prosedur pernikahan yang sebenarnya. Banyaknya syarat yang dikeluarkan oleh

(32)

pihak KUA untuk mengeluarkan akte nikah, dan hal itu dianggap sangat merepotkan masyarakat, bahkan dianggap bertele-tele.

g. Apabila terjadi perceraian tidak berpredikat janda, dan bisa bebas melakukan perkawinan yang selanjutnya dengan orang lain.

Dari 8 (delapan) pasangan suami isteri yang penulis wawancarai sebagai informan, yaitu yang melakukan kawin sirri adalah perempuan yang dalam perkawinan itu berstatus sebagai isteri kedua dan ketiga, namun ada juga yang merupakan isteri pertama. Mereka yang berstatus sebagai isteri kedua dan ketiga merupakan isteri-isteri yang suaminya melakukan poligami.

Perkawinan banyak dilakukan tanpa ada didaftarkan di Kantor Urusan Agama, namun hanya pihak-pihak yang menikah secara agama dan juga dicatat di Kantor Urusan Agama yang akan mendapat kepastian dan perlindungan hukum negara, terutama mengenai anak dan harta gonogini. Hal ini sangat jelas meskipun pernikahan sudah dilakukan secara agama, tetapi juga lebih penting apabila perkawinan dilakukan secara hukum negara, yaitu dengan mendaftarkannya di Kantor Urusan Agama, maka status sahnya hubungan suami isteri maupun status anak mendapat kepastian dan perlindungan dari hukum negara.

Gambar

tabel yang menerangkan secara terperinci mengenai jumlah penduduk yang ada di  desa Paluh Pakih Babussalam berdasarkan agama yang dianut
Tabel 2.5 menunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk yang terbesar  adalah sebagai petani
Tabel 2.7  Sarana dan Prasarana

Referensi

Dokumen terkait

Selain bahasa, etnik Bali di Pegajahan juga melakukan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pegajahan lainnya, misalnya dengan mengikuti

Pada saat itu masyarakat yang tinggal di Kampung Kubur ini selalu berkumpul atau mungkin hanya untuk sekedar berbicara atau bercanda di depan rumah di sekitar tempat tinggal

3) Pengefektifan fungsi dan peran pemerintah lokal. 4) Peningkatan kualitas dan kuantitas prasarana sarana sosisal dasar dan ekonomi masyarakat.. 5) Pengembangan

a. Mengamankan Penerimaan PAD dan Bagi Hasil Pajak/Bukan Pajak yang ditetapkan dalam APBD baik yang menjadi Tugas dan Tanggung Jawab Dinas Pendapatan Daerah

Fakultas Syariah dan Hukum merupakan satu dari delapan fakultas yang ada di Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau yang pada awalnya yaitu IAIN Sultan Syarif

Sebagai bagian dari koran kota (city news paper), Pekanbaru Pos juga memiliki rubrik yang berisi keluhan masyarakat akan penyelenggaraan pelayanan publik. Tidak hanya

Menurut data yang diperoleh dari kantor desa Tanjung Jati, jumlah penduduk desa ini tahun 2007 adalah 5.694 jiwa dari jumlah tersebut masyarakat di desa ini diklasifikasikan

PTPN IV memiliki 30 (tiga puluh) Unit Kebun mengelola budidaya Kelapa Sawit dan Teh, dan 3 (tiga) unit Proyek Pengembangan Kebun Inti Kelapa Sawit, 1 (satu) unit Proyek