BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Deskripsi Konseptual
1. Kemandirian Belajar
Menurut Desmita (2009) kemandirian adalah kemampuan untuk mengendalikan dan mengatur pikiran, perasaan dan tindakan sendiri secara bebas serta berusaha sendiri untuk mengatasi perasaan-perasaan malu dan keragu-raguan. Sedangkan menurut Jacob Utomo dikutip dari Basir (2009), kemandirian adalah mempunyai kecenderungan bebas berpendapat. Kemandirian diri sendiri merupakan suatu untuk menyelesaikan suatu masalah secara bebas, progresif, dan penuh dengan inisiatif. Pendapat ini dapat diartikan bahwa seseorang yang mempunyai kemandirian akan bertanggung jawab dan tidak bergantung pada orang lain.
seseorang. Dengan demikian belajar itu sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga, psiko-fisik untuk menuju ke perkembangan pribadi manusia seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Kemandirian belajar bukan berarti bukan belajar seorang diri, tetapi belajar dengan inisiatif sendiri, dengan bantuan orang lain ataupun tanpa bantuan orang lain. Menurut Moore (dalam Rusman, 2014) mengatakan bahwa kemandirian belajar peserta didik adalah sejauh mana dalam proses pembelajaran itu siswa dapat ikut menentukan tujuan, bahan dan pengalaman belajar, serta evaluasi pembelajarannya. Menurut Good (Slameto, 2010), kemandirian belajar adalah belajar yang dilakukan dengan sedikit atau sama sekali tanpa bantuan dari pihak lain. Dalam pendapat ini kemandirian belajar siswa bertanggung jawab atas pembuatan keputusan yang berkaitan dengan proses belajarnya dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan keputusan yang diambilnya
Menurut Desmita (2009) kemandirian biasanya ditandai dengan kemampuan menentukan nasib sendiri, kreatif dan inisiatif, mengatur tingkah laku, bertanggung jawab, mampu menahan diri, membuat keputusan-keputusan sendiri, serta mampu mengatasi masalah tanpa ada pengaruh dari orang lain.
Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa indikator kemandirian belajar adalah sebagai berikut :
a. Memiliki kemampuan menentukan nasib sendiri b. Kreatif dan inisiatif
c. Bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya d. Mampu menahan diri
e. Membuat keputusan-keputusan sendiri f. Mampu mengatasi masalah yang dihadapi. 2. Kemampuan Komunikasi Matematis
Menurut NCTM (2000), komunikasi metematis merupakan sebuah cara dalam berbagi ide-ide dan memperjelas suatu pemahaman. Komunikasi matematis adalah suatu proses penting untuk mempelajari matematika karena melalui komunikasi siswa dapat memperjelas, memperluas dan memahami ide-ide matematis (Ontario Ministry of Education, 2010). Menurut The Intended Learning Outcomes (dalam Husna, 2013) komunikasi matematis adalah suatu keterampilan penting dalam matematika yaitu kemampuan untuk mengekspresikan ide-ide matematika secara koheren kepada teman, guru dan lainnya melalui bahasa lisan dan tulisan. Komunikasi matematis terdiri dari komunikasi secara lisan dan tulisan. Dalam NCTM (2000), menyatakan bahwa standar komunikasi matematis adalah penekanan pengajaran matematika pada kemampuan dalam hal:
a) Mengorganisasikan dan mengkonsilidasi berfikir matematis (mathematical thinking) mereka melalui komunikasi.
b) Mengkomunikasikan mathematical thinking mereka secara koheren (tersusun secara logis) dan jelas kepada teman-temannya, guru dan orang lain.
c) Menganalisis dan mengevaluasi berfikir matematis (mathematical thinking) dan strategi yang dipakai orang lain.
Menurut Sumarmo (Susanto, 2013), komunikasi matematis meliputi kemampuan:
a) Menghubungkan benda nyata, gambar dan diagram ke dalam ide matematika.
b) Menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar.
c) Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.
d) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika.
e) Membaca presentasi matematika tertulis dan menyusun pertanyaan yang relavan.
f) Membuat konjektur, menyusun argument, merumuskan defenisi dan generalisasi.
g) Menjelaskan dan membuat pertanyaan matematika yang telah dipelajari.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam berkomunikasi matematika yang dituangkan dalam bentuk lisan dan tulisan yaitu meliputi kemampuan mengungkapkan ide-ide matematika melalui grafik atau gambar, diagram, ataupun dengan bahasa sehari-hari, dan membuat argumen yang meyakinkan. Namun, pada penelitian ini peneliti hanya meneliti kemampuan komunikasi matematis siswa secara tulisan saja.
Adapun indikator kemampuan komunikasi matematis yang digunakan dalam penelitian ini adalah komunikasi matematis secara tertulis yaitu sebagai berikut:
a) Menghubungkan ide-ide matematika ke dalam gambar atau grafik. Dalam hal ini, siswa mampu menjelaskan ide-ide matematika dan mampu menyajikan data dalam bentuk gambar atau grafik.
Contoh soal:
Diketahui dua buah garis yaitu garis k dengan persamaan y = 2x – 4 dan garis h dengan persamaan 2x – y = 1. Gambar kedua garis k dan h pada koordinat cartesius dan tenentukan gradien garis k dan h?
Contoh soal:
Seorang peneliti mengukur suhu dengan menggunakan termometer Fahrenheit dan termometer Reamur. Grafik di bawah ini memperlihatkan antara suhu dalam Fahrenheit dan Reamur. Titik potong terhadap sumbu y adalah 32, yang menunjukkan air membeku. Pada suhu R setara dengan F. Reamur menunjukkan sumbu x dan Fahrenheit menunjukkan sumbu y.
Tentukan gradien garis tersebut dengan titik (0, 32) yang menunjukkan titik beku diberi nama titik A dan titik (40, 122) menunjukkan suhu yang setara Reamur dan Fahrenheit. Bila gradiennya sudah didapat dan titik (0, 32) yang menunjukkan titik beku, tentukan persamaan garisnya.
c) Merespon suatu pertanyaan dalam bentuk argument tertulis yang meyakinkan. Siswa diharapkan dapat memberikan penjelasan dari suatu pertanyaan permasalahan matematika.
0
F
Contoh soal:
Diketahui garis g melalui titik (-1,5) dan titik (2,-4) dan garis h melalui titik (3,-2) dan (6,-1). Selidiki apakah garis g tegak lurus garis h. Berikan penjelasanmu!
3. Problem Based Learning (PBL)
Pengertian Problem Based Learnig (PBL) pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1970-an di Universitas MC Master Fakultas Kedokteran Kanada, sebagai suatu upaya menemukan solusi dalam diagnosis degan membuat pertanyaan-pertanyaan sesuai situasi yang ada. Menurut Tan (dalam Rusman, 2014) Problem Based Learning (PBL) merupakan inovasi dalam PBL kemampuan berpikir siswa betul-betul dimaksimalkan melalui proses kerja bersama atau kerja kelompok, yang nantinya siswa mampu mengasah, menguji, dan mengembangkan kemampuan berpikirnya secara terus menerus.
model ini pembelajaran dimulai dengan menyajikan permasalahan nyata yang penyelesaiannya membutuhkan kerjasama diantara siswa-siswanya.
Menurut Kunandar (2009) ciri-ciri pembelajaran PBL adalah sebagai berikut:
a) Mengajukan pertanyaan atau masalah
PBL bukan hanya mengorganisasikan prinsip-prinsip atau keterampilan akademik tertentu. Pembelajaran ini,mengorganisasikan pengajaran disekitar pertanyaan atau masalah yang kedua-duanya secara social penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata yang autentik, menghindari jawaban sederhana dan memungkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.
b) Berfokus pada keterkaitan antara disiplin ilmu
Meskipun pengaharan PBL mungkin berpusat pada pembelajaran tertentu, masalah yang telah dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa bisa meninjau dari banyak mata pelajaran.
c) Penyelidikan autentik
mengumpulkan informasi, melaksanakan eksperimen, membuat kesimpulan, dan menggambarkan hasil akhir.
d) Menghasilkan hasil karya dan memamerkannya
Pembelajaran ini menuntut peserta didik untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah mereka temukan. Produk itu dapat berupa transkip debat, laporan, model fisik, video.
Berdasarkan pendapat Arends (dalam Trianto, 2014), pada dasarnya Problem Based Learnig (PBL) memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
a) Mengorientasikan siswa kepada masalah autentik dan menghindari pembelajaran terisolasi.
b) Berpusat pada siswa dalam jangka waktu yang lama. c) Menciptakan pembelajaran interdisiplin.
d) Penyelidikan masalah autentik yang terintegrasi dengan dunia nyata dan pengalaman praktis.
e) Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya.
f) Mengajarkan kepada siswa untuk mampu menerapakan apa yang mereka pelajari di sekolah dalam kehidupannya yang panjang. g) Pembelajaran terjadi pada kelompok kecil (kooperatif).
i) Masalah diformulasikan untuk memfokuskan dan merangsang pembelajaran.
j) Masalah adalah kendaraan untuk pengembangan keterampilan pemecahan masalah.
k) Informasi baru diperoleh lewat belajar mandiri.
Adapun kelebihan dan kekurangan dari Problem Based Learning (PBL) yaitu :
1) Kelebihan Problem Based Learning (PBL)
a) Siswa lebih memahami konsep yang diajarkan, sebab mereka sendiri yang menemukan konsep tersebut.
b) Melibatkan secara aktif memecahkan masalah dan menuntut keterampilan berpikir siswa yang lebih tinggi.
c) Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki siswa sehingga pembelajaran lebih bermakna.
d) Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah yang diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa terhadap bahan yang dipelajari.
f) Pengondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pembelajaran dan temannya, sehingga pencapaian ketuntasan belajar siswa dapat diharapkan.
2) Kekurangan Problem Based Learning (PBL)
a) Manakala siswa tidak memiliki memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasakan enggan untuk mencoba. b) Keberhasilan pembelajaran melalui problem based learning ini
membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
c) Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang ingin mereka pelajari.
Menurut Kunandar (2009) tujuan Problem Based Learning (PBL) adalah sebagai berikut:
a) Membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada peserta didik.
b) Membantu peserta didik mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan entelektual.
c) Pengajaran berbasis masalah membantu siswa untuk berkinerja dalam situasi kehidupan nyata.
Menurut Kunandar (2009) pembelajran Problem Based Learning (PBL) mempunyai lima tahap utama yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan situasi maslah yang diakhiri dengan penyajian dan analisa hasil kerja siswa. Kelima tahapan tersebut disajikan dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 2.1 Tahap-Tahap Pembelajaran PBL
Tahapan Kegiatan Guru
Tahap 1:
Orientasi siswa kepada masalah
Guru menjelaskan tujuan pembelajran, menjelaskan perangkat yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas penyelesaian masalah yang dipilihnya.
Tahap 2:
Mengorganisir siswa untuk belajar
Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisirkan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut. Tahap 3:
Membimbing
penyelidikan individual dan kelompok
Guru mendorong siswa mengumpulkan informasi yang sesuai dan melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan serta pemecahan maslahnya. Tahap 4:
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Guru membantu siswa untuk merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses yang digunakan.
4. Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray
Kagan (dalam Huda, 2013). Menurut Huda (2013) bahwa model pembelajran ini dapat diterapkan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan umur. Pembelajran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TS-TS) memungkinkan setiap kelompok untukberbagi informasi dengan kelompok lain.
Menurut Huda (2013), langkah-langkah melakukan pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TS-TS) adalah sebagai berikut. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok (tiap kelompok terdiri 4 orang). Pengelompokan bersifat heterogen. Kelompok heterogen memperhatikan keanekaragaman gender, agama, sosial-ekonomi, dan kemampuan akademis. Siswa bekerja dalam kelompok seperti biasa untuk menyelesaikan tugas yang ada. Setelah selesai, dua orang dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya dan bertamu ke dua kelompok yang lain yang disebut sebagai tamu. Dua orang yang tinggal dalam kelompok disebut tuan rumah bertugas memaparkan hasil kerja kelompok dan informasi yang mereka miliki kepada tamu. Tamu memberikan umpan balik yang positif sesuai dengan hasil kelompok mereka kepada tuan rumah. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain. kelompok mencocokan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.
masing-masing bertamu ke dua anggota kelompok yang lain; 3) Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan informasi mereka ke tamu mereka; 4) Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan temuan mereka dari kelompok lain; 5) Kelompok mencocokan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.
Menurut Suprijono (2012) langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TS-TS). Pembelajaran kooperatif tipe ini di awali dengan pembagian kelompok. Setelah terbentuk guru memberikan tugas berupa permasalahan-permasalahan yang harus mereka diskusikan jawabannya. Setelah diskusi intrakelompok usai, dua orang dari masing-masing kelompok meninggalkan kelompoknya untuk bertamu ke dua kelompok yang lain. Anggota kelompok yang tidak mendapat tugas sebagai tamu mempunyai kewajiban menerima tamu dari suatu kelompok. Tugas mereka adalah menyajikan hasil kerja kelompoknya kepada tamu tersebut. Jika mereka telah selesai menyelesaikan tugasnya, mereka kembali ke kelompoknya masing-masing. Setelah kembali ke kelompok asal, baik peserta didik yang bertugas bertamu maupun mereka yang bertugas menerima tamu mencocokkan dan membahas hasil kerja yang telah mereka tunaikan.
5. Problem Based Learning (PBL) Dengan Setting Kooperatif Tipe Two
Stay Two Stray (TS-TS)
Based Learning, dan pada saat membimbing kelompok dalam menyelesaikan masalah menggunakan setting kooperatif tipe Two Stay Two Stray. Dengan adanya setting kooperatif tipe TS-TS (Two Stay Two Stray), memberikan kesempatan kepada siswa untuk aktif mendiskusikan
permasalahan dalam kelompok, selanjutnya aktif sebagai tamu dan tuan rumah untuk menyampaikan informasi antar kelompok. Melalui problem based learning (PBL) dengan setting kooperatif tipe two stay two stray (TS-TS) siswa dapat lebih aktif bertanya kepada teman sendiri dan kepada guru dan bertukar informasi sesama temannya. Sehingga didapat sintaks Problem Based Learning (PBL) dengan setting kooperatif tipe Two Stay Two Stray (TS-TS) yang disajikan dalam tabel:
Tabel 2.2 Sintaks Problem Based Learning dengan setting Two Stay Two Stray
Tahapan Kegitan Guru
Orientasi siswa pada masalah
1. Guru menyampaikan topik dan tujuan pembelajaran
2. Guru menyampaikan model / strategi yang akan digunakan dalam pembelajaran 3. Memotivasi siswa untuk terlibat aktif
5. Guru menjelaskan langkah-langkah kooperatif TS-TS yang akan digunakan 6. Guru membagikan Lembar Kerja
Kelompok (LKK)
7. Guru meminta siswa untuk mempelajari dan mengamati permasalhan yang ada di LKK
8. Guru memberi kesempatan kepada siswa
untuk menanya hal-hal yang belum dipahami.
setting kooperatif tipe TS-TS
10. Guru membimbing kelompok dalam menyelesaikan masalah dengan setting
kooperatif tipe TS-TS:
a. Guru membimbing siswa dalam menyelesaikan masalah
b. Guru menginformasikan dua anggota bertamu ke dua kelompok lain
c. Guru menginformasikan dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagi hasil kerja dan menyajikan hasil kerja dan informasi kepada tamu mereka
d. Guru menginformasikan dua anggota yang menjadi tamu kembali ke kelompok semula dan melaporkan hasil temuan mereka dari kelompok lain
Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
11. Guru meminta salah satu perwakilan kelompok untuk menyajikan hasil diskusi di depan kelas
Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
12. Guru memberi kesempatan kepada kelompok lain untuk menganalisis,
menambah atau menanggapi jawaban 13. Guru membantu siswa melakukan
refleksi atau evaluasi terhadap langkah penyelesaian yang digunakan oleh siswa 14. Guru bersama dengan siswa
menyimpulkan materi yang telah dipelajari
6. Materi Pembelajaran
Penelitian ini dilakasanakan pada semester ganjil kelas XI tahun ajaran 2015/2016 pada materi persamaan garis lurus. Materi yang digunakan merujuk pada kompetensi dasar yang telah ditetapkan, yaitu:
4.7 Menganalisis kurva-kurva yang melalui beberapa titik untuk menyimpulkan berupa garis lurus, garis-garis sejajar, atau garis-garis tegak lurus.
Kompetensi dasar tersebut digunkan dalam 3 siklus yang mana tiap siklusnya terdiri dari 2 pertemuan. Berdasarkan kompetensi dasar yang ada, maka indikator-indikator pembelajaran pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 2.3 Indikator Pembelajaran
Siklus Pertemuan Indikator
1
1
3.10.1 Mendefenisikan pengertian persamaan garis lurus dan gradien dengan menghubungkan gambar atau grafik ke dalam ide-ide matematika
4.7.1 Menggambar grafik persamaan garis lurus
dengan menghubungkan gambar atau grafik ke dalam ide-ide matematika. pertanyaan dalam bentuk argumen tertulis yang meyakinkan
2
1
3.10.2 Menemukan konsep gradien garis-garis yang sejajar dengan menghubungkan gambar atau grafik ke dalam ide-ide matematika
4.7.4 Menentukan gradien garis-garis yang sejajar dengan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika
2
3.10.3 Menemukan konsep gradien garis-garis yang saling tegak lurus dengan menghubungkan gambar atau grafik ke dalam ide-ide matematika
yang meyakinkan.
3
1
3.10.4 Menemukan konsep persamaan garis lurus melalui sembarang titik (x,y) dan bergradien m dengan menhubungkan gambar atau grafik kedalam ide-ide matematika
4.7.6 Menentukan persamaan garis lurus melalui sembarang titik (x,y) dan bergradien m dengan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika.
2
4.7.7 Menentukan persamaan garis lurus melalui dua titik dengan merespon terhadap suatu pertanyaan dalam bentuk argumen tertulis yang meyakinkan
B. Penelitian Yang Relavan
Ada beberapa penelitian yang relevan dengan peneleitian ini yaitu sebagai berikut:
Penelitian Astuti (2014), dalam peneltiannya diperoleh hasil bahwa Problem Based Learning (PBL) dapat meningkatkan kemandirian belajar dan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VII SMP Negeri 2 Yogyakarta. Shalikhah (2013), dalam peneltiannya diperoleh hasil bahwa pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray dapat meningkat kemampuan komunikasi matematis dan kemandirian siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Suyatmi (2008), dalam penelitiannya diperoleh hasil bahwa problem based learning (PBL) dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika pada kelas VII F SMP Negeri 1 Binangun.
Learning dengan setting kooperatif tipe Two Stay Two Stray untuk meningkatkan kemandirian belajar dan kemampuan komunikasi matematis.
C. Kerangka Pikir
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan bahwa kemandirian belajar dan kemampuan komunikasi siswa kelas XI APHPP 1 SMK N 1 Kalibagor masih kurang. Pembelajran yang diharapkan dapat meningkatkan kemandirian belajar dan kemampuan komunikasi matematis adalah problem based learning dengan setting kooperatif tipe two stay two stray. Problem based learning dengan setting kooperatif tipe two stay two stray terdiri dari:
Tahap II adalah mengorganisasikan siswa untuk belajar. Pada tahap ini, dilakukan pembentukan kelompok kecil dan pembagian LKK. Siswa diharapkan dapat bersikap tanggung jawab dalam kelompok yang telah ditentukan, serta siap menerima tantangan baru berupa permasalahan dalam LKK dan mampu mengatasi masalah yang dihadapi, mengamati permasalahan di LKK dan menanya hal-hal yang belum dipahami, sehingga siswa akan saling merespon pertanyaan dalam membentuk argumen yang menyakinkan.
tamu, dan menghargai berbagai pendapat teman saat mencocokan hasil diskusi yang diperoleh dari hasil bertamu.
Tahap IV adalah mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Melalui tahap ini siswa dapat dilatih berani menerima tantangan untuk mengungkapkan pendapatnya di depan kelas, mempertahankan pendapat, mampu menerima kekeliruan, kritik, dan sanggahan dari teman, berani mengajukan pertanyaan/ sanggahan dihadapan orang banyak dan tidak mudah putus asa saat menjawab berbagai pertanyaan dari teman.
Tahap V adalah menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan maslah. Proses hasil diskusi diskusi dianalisis dan dievaluasi untuk mempengaruhi sejauh mana siswa mampu menyelesaikan masalah dengan proses yang benar. Tahap ini dapat membangun kemampuan berpikir siswa dalam menyimpulkan inti dari materi yang telah dipelajari, apa saja yang sudah mereka pahami dan apa yang masih perlu ditanyakan pada guru, dan menerima kekliruan yang dilakukan pada saat menyelesaikan masalah. Pada tahap ini, dapat menumbuhkan kreatif dan inisiatif yaitu siswa mencatat kesimpulan materi yang telah dipelajari tanpa disuruh oleh guru.
D. Hipotesis Penelitian