• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well Being 1. Pengertian Subjective Well Being - PENGARUH KEBERSYUKURAN TERHADAP SUBJECTIVE WELL BEING ORANG TUA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH LUAR BIASA YAYASAN KESEJAHTERAAN USAHA TAMA (SLB YAKUT) PURWOKERTO - r

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Subjective Well Being 1. Pengertian Subjective Well Being - PENGARUH KEBERSYUKURAN TERHADAP SUBJECTIVE WELL BEING ORANG TUA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH LUAR BIASA YAYASAN KESEJAHTERAAN USAHA TAMA (SLB YAKUT) PURWOKERTO - r"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Subjective Well Being

1. Pengertian Subjective Well Being

Ryan dan Deci (2001) menyebutkan bahwa dalam menjelaskan

subjective well-being dapat dilihat dari dua pendekatan yaitu pendekatan

eudaimonic dan pendekatan hedonic. Aliran eudaimonic yang merupakan

aliran yang menekankan pada kesejahteraan diri yang melibatkan pemenuhan

atau pengidentifikasian diri individu yang sebenarnya. Di sisi lain, aliran

hedonic menjelaskan kesejahteraan diri yang melibatkan kebahagiaan secara

subjektif. Aliran tersebut juga memperhatikan pengalaman menyenangkan

versus tidak menyenangkan yang didapatkan dari penilaian baik buruknya

hal-hal yang ada dalam kehidupan individu.

Konsep yang banyak dipakai pada penelitian dengan pandangan

hedonic adalah subjective well being, sedangkan konsep psychological well

being dipakai untuk penelitian dengan pandangan eudaimonic. Subjective

well being lebih menekankan bahwa individu dinilai sejahtera apabila ia

menggunakan potensi yang ada dalam dirinya. Subjective well being

dikatakan oleh Diener (dalam Ahmad, 2012) lebih unggul dalam menjelaskan

(2)

Definisi subjective well-being menurut Compton (2005), adalah proses

kognitif individu mengenai penilaian yang global tentang penerimaan hidup

individu. Sedangkan Diener dan Lucas (1999), adalah evaluasi individu

tentang kehidupan, termasuk penilaian kognitif terhadap kepuasan hidup serta

evaluasi afektif dari mood dan emosi-emosi. Snyder dan Lopez (2002)

mendefinisikan subjective well being sebagai sebuah konsep luas yang

mencakup emosi menyenangkan mengalami, rendahnya tingkat suasana hati

negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi.

Stock menyebutkan bahwa subjective well being didefinisikan sebagai

suatu evaluasi positif mengenai kehidupan individu yang diasosiasikan

dengan diperolehnya perasaan menyenangkan (Pinquart & Sorenson, 2000).

Diener (2007) menambahkan, individu yang merasakan subjective well being

yang melimpah dan hanya sedikit perasaan tidak nyaman, ketika terlibat

dalam kegiatan yang menarik dan ketika individu merasakan banyak

kesenangan dan sedikit rasa sakit, dan ketika individu puas dengan hidup.

Ed Diener, et al (1997) menyebutkan bahwa subjective well-being

mengacu pada bagaimana individu mengevaluasi hidup. Di dalamnya

meliputi variabel-variabel seperti kepuasan dalam hidup dan kepuasan

pernikahan, tidak adanya depresi dan kecemasan, serta adanya suasana hati

(mood) dan emosi yang positif. Lebih lanjut disimpulkan oleh Compton

(3)

dilihat dari skor dua variabel utama, yaitu kebahagiaan dan kepuasan dalam

hidup.

McGilivray dan Clarke (dalam Coceao & Bandura, 2007) menjelaskan

bahwa subjective well being melibatkan evaluasi multidimensional

kehidupan, termasuk penilaian kognitif dari kepuasan hidup dan evaluasi

afektif emosi dan suasana hati. Area subjective well being terdiri dari analisis

ilmiah tentang bagaimana individu mengevaluasi kehidupan individu, baik di

saat ini dan telah lalu. Evaluasi ini termasuk emosional individu tentang suatu

peristiwa, suasana hati, penilaian mereka tentang bentuk kepuasan hidup,

pemenuhan kebutuhan kepuasan pada domain seperti pernikahan dan

pekerjaan. Dengan demikian, subjective well being merupakan studi yang

mana individu awam menyebutnya sebagai kebahagiaan dan kepuasan.

Perasaan tiap individu, emosi, dan evaluasi diri dinyatakan fluktuatif dari

waktu ke waktu dimana membicarakan tentang tingkat perbedaan yang ada

antara individu dan masyarakat (Diener, dkk, 2002).

Beberapa ahli teori berpendapat bahwa penyebab subjective well being

secara fundamental sama untuk semua individu. Ryff dan Singer (dalam

Diener, 2007) mengemukakan bahwa tujuan hidup, hubungan kualitas,

menganggap diri, dan rasa penguasaan adalah fitur universal kesejahteraan.

Penentuan nasib sendiri teori mempertahankan bahwa dasar subjective well

being pada pemenuhan kebutuhan psikologis bawaan seperti otonomi,

(4)

universal, individu memberikan dimensi sepanjang yang kita dapat

membandingkan masyarakat.

Penelitian yang memeriksa secara psikometri perilaku subjective well

being telah menunjukan bahwa skala self-report cenderung dapat diandalkan

dan valid. Sebagai contoh, tindakan multi-item kepuasan hidup, kepuasan

domain, dan skala positif dan negatif mempengaruhi semua menunjukan

reiabilitas tinggi, terlepas dari apakah reliabilitas dinilai dengan

menggunakan korelasi inter-item atau tes-ulang korelasi jangka pendek

(Diener, et al, 1999).

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa

subjective well being adalah suatu bentuk pengukuran kualitas hidup individu

mengenai kepuasan dan kebahagiaan dalam hidupnya yang membuat

individu sering kali merasakan emosi yang positif dan jarang sekali

mengalami emosi yang negatif. Individu yang merasakan subjective well

being akan merasakan kebahagiaan dan kepuasan hidup.

2. Teori Subjective Well Being

Subjective well being dapat dimaknai melalui teori dari beberapa ahli

yang berkorelasi dengan hasil penelitian yang dilakukan. Teori yang

dikemukakan para ahli yang dikutip dalam Diener (1987), antara lain :

a. Telic theory

Telic theory menjelaskan bahwa subjective well being terdiri dari

(5)

kebutuhan yang telah tercapai. Salah satu postulat teoritis yang

ditawarkan Wilson (1960) adalah bahwa “pemenuhan kebutuhan

menyebabkan kebahagiaan dan sebaliknya, kebutuhan yang tidak

terpenuhi menyebabkan ketidakbahagiaan”. Banyak penelitian mengenai

subjective well being tampaknya didasari pada implicit model yang

berkaitan dengan kebutuhan dan tujuan.

b. Activity Theory

Activity theory memandang kebahagiaan sebagai hasil samping

dari aktivitas individu. Individu memiliki kemampuan tertentu dan

kebahagiaan akan datang ketika kemampuan tersebut ditunjukan dengan

cara yang sangat baik. Salah satu tema yang dalam teori ini yang sering

muncul adalah kesadaran diri akan mempengaruhi kebahagiaan dan ada

beberapa penjelasan empiris untuk ini (Csikszentmihalyi & Figurski,

1982).

c. Bottom Up vs Top Down Theories

Diener (Compton, 2005) mengemukakan bahwa kepuasan dalam

hidup dan kebahagiaan dapat dijelaskan dengan menggunakan dua

pendekatan umum, yaitu bottom up theory dan top down theory :

Bottom up theory memandang bahwa kebahagiaan dan kepuasan

hidup yang dirasakan dan dialami individu tergantung dari banyaknya

kebahagiaan kecil serta kumpulan peristiwa-peristiwa bahagia. Secara

(6)

pengalaman-pengalaman positif yang terjadi dalam kehidupan individu.

Semakin banyaknya peristiwa menyenangkan yang terjadi, maka semakin

bahagia dan puas individu tersebut. Untuk meningkatkan kesejahteraan

subjektif, teori ini beranggapan perlunya mengubah lingkungan dan

situasi yang akan mempengaruhi pengalaman individu, misalnya:

pekerjaan yang memadai, lingkungan rumah yang aman, pendapatan/gaji

yang layak.

Top down theory melihat subjective well being yang dialami

individu tergantung dari cara individu tersebut mengevaluasi dan

menginterpretasi suatu peristiwa/kejadian dalam sudut pandang yang

positif. Perspektif teori ini menganggap individu yang menentukan atau

memegang peranan apakah peristiwa yang dialaminya akan menciptakan

kesejahteraan psikologis bagi dirinya. Pendekatan ini mempertimbangkan

jenis kepribadian, sikap, dan cara-cara yang digunakan untuk

menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga untuk meningkatkan

kesejahteraan subjektif diperlukan usaha yang berfokus pada mengubah

persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian individu.

d. Association Theory

Salah satu pendekatan kognitif terhadap kebahagiaan mempunyai

keterkaitan dengan jaringan dalam memori. Bower (1981), menunjukan

bahwa individu akan mengingat kenangan yang sesuai dengan kondisi

(7)

menunjukan bahwa individu dapat mengembangkan banyak jaringan

memori yang positif, dan terbatas, serta terisolasi dari yang negatif. Pada

individu tersebut, banyak peristiwa dapat memicu afeksi dan pemikiran

positif. Sehingga individu dengan suatu jaringan yang dominan positif

akan cenderung bereaksi terhadap peristiwa dengan cara yang lebih

positif.

Berdasarkan penjabaran teori-teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa

teori subjective well being meliputi dipandang terdiri telic theory, activity

theory, bottom up vs uop down theories, association theory. Subjective well

being dapat diraih dari kebahagiaan yang diperoleh dengan tercapainya

tujuan atau kebutuhan individu. Aktivitas individu juga dapat mempengaruhi

subjective well being ketika individu mampu menunjukan kemampuannya

dengan sangat baik. Menurut bottom up theories, subjective well being dapat

dirasakan tergantung dari kumpulan peristiwa bahagia, sedangkan perspektif

top down theories memandang subjective well being tergantung individu

menginterpretasi suatu peristiwa dalam sudut pandang positif. Sedangkan

dalam pendekatan kognitif, ketika individu dengan jaringan memori yang

positif akan cenderung bereaksi terhadap peristiwa dengan cara yang lebih

positif.

3. Aspek-aspek Subjective Well Being

Menurut Diener et al, (1999), aspek yang menimbulkan subjective

(8)

judgement) yang terdiri dari kepuasan hidup dan kepuasan domain, serta

afektif (emosional) yang terdiri dari afeksi positif dan afeksi negatif.

Aspek-aspek yang saling berhubungan tersebut adalah:

a. Kepuasan Hidup

Kepuasan hidup adalah kondisi subjektif dari keadaan pribadi

individu sehubungan rasa senang atau tidak senang sebagai akibat dari

adanya dorongan atau kebutuhan yang ada dari dalam dirinya dan

dihubungkan dengan kenyataan yang dirasakan (Caplin, 1999).

b. Kepuasan Domain

Kepuasan domain adalah penilaian individu dalam membuat

evaluasi dalam ranah kehidupannya, biasanya meliputi kesehatan fisik

dan mental, pekerjaan, santai, hubungan sosial, dan keluarga.

c. Afeksi Positif

Individu dapat dikatakan memiliki subjective well being yang

tinggi jika individu sering kali merasakan emosi yang positif (Diener dan

Larsen, 1984) memiliki prediktor: penuh perhatian, tertarik, waspada,

bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga, ditentukan, kuat dan aktif

d. Afeksi Negatif

Individu dapat dikatakan memiliki Subjective Well-Being yang

(9)

dan Larsen, 1984) memiliki prediktor: sedih, bermusuhan, mudah

marah-marah, takut, malu, bersalah, dan gelisah.

Berbagai penelitian telah menemukan beberapa aspek yang berkaitan

dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup. Berbagai tinjauan dan literatur

secara menyeluruh oleh para ahli menghasilkan kesepakatan mengenai

prediktor terkuat subjective well being (Compton, 2005). Aspek-aspek

subjective well being adalah sebagai berikut :

a. Harga Diri Positif

Campbell (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa harga diri

merupakan prediktor yang menentukan kesejahteraan subjektif. Harga

diri yang tinggi membuat individu memiliki beberapa kelebihan termasuk

pemahaman mengenai arti dan nilai hidup. Harga diri yang tinggi akan

menyebabkan individu memiliki kontrol yang baik terhadap rasa marah,

jarang melakukan pelanggaran, mempunyai hubungan yang baik dengan

individu lain, perhatian terhadap individu lain, serta mempunyai kapasitas

produktif dalam pekerjaan.

b. Pengendalian Diri

Perasaan untuk memiliki pengendalian personal dapat diartikan

sebagai kepercayaan bahwa individu memiliki beberapa tolak ukur

pengendalian atas kejadian-kejadian dalam hidup yang penting bagi

dirinya. Sebagai tambahan, tanpa adanya rasa ini, hidup akan dipenuhi

(10)

akan menjadi tertekan karenanya. Kebutuhan akan pengendalian yang

dapat diterima mungkin menjadi kebutuhan sejak dini (Ryan & Deci,

dalam Compton, 2005). Kontrol diri yaitu termasuk proses emosi,

motivasi, perilaku dan aktifitas fisik. Dengan kata lain, kontrol diri akan

melibatkan proses pengambilan keputusan, memahami konsekuensi dari

keputusan yang telah diambil serta mencari pemaknaan atas peristiwa

tersebut.

c. Keterbukaan

Individu dengan kepribadian ekstravert akan tertarik pada hal-hal

yang terjadi di luar dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya.

Penelitian Diener dkk. (dalam Compton, 2005) mendapatkan bahwa

kepribadian ekstavert secara signifikan akan memprediksi terjadinya

kesejahteraan individual. Individu-individu dengan kepribadian ekstravert

biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, merekapun

memiliki sensitivitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada

individu lain (Compton, 2005).

d. Optimisme

Secara umum, individu yang optimis mengenai masa depan

merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya. Individu yang

mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol

yang baik terhadap hidupnya, sehingga melihat masa depan dengan

(11)

menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis akan tercipta bila sikap

optimis yang dimiliki oleh individu bersifat realistis.

e. Hubungan Positif

Salah satu ciri individu sebagai makhluk sosial adalah adanya

kebutuhan interaksi sosial agar menjadi individu seutuhnya. Relasi sosial

positif dalam meraih subjective well being dapat dilihat melalui kepuasan

dalam keluarga dan teman, serta adanya dukungan sosial.

f. Nilai Makna dan Tujuan Hidup

Sejumlah studi telah menemukan bahwa individu-individu dengan

iman terhadap agama yang lebih kuat, yang lebih memandang penting

agama dalam hidupnya dan yang lebih sering mengikuti ibadah

keagamaan dilaporkan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.

Tentu saja, salah satu alasan dari penemuan ini adalah karena agama

memberikan arti pada tiap individu.

g. Penyelesaian Konflik Diri

Individu yang memiliki subjective well being yang tinggi secara

nyata mempunyai lebih sedikit konflik psikologi. Kepribadian yang

terintegrasi menandakan koordinasi yang baik antara aspek dari diri, dan

berhubungan pula dengan toleransi yang baik mengenai aspek-aspek

yang berbeda pada individu. Individu mampu menyelesaikan konflik

dalam dirinya, mampu bekerja keras dalam mencapai tujuan, dan

(12)

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan aspek yang

subjective well being yaitu kepuasan hidup, kepuasan domain, afeksi positif,

dan afeksi negatif. Semua aspek tersebut harus memiliki nilai yang positif,

yaitu memiliki kepuasan hidup, memiliki kepuasan domain, sering merasakan

emosi positif, dan jarang mengalami emosi negatif. Selain itu aspek lain

subjective well being adalah harga diri positif, pengendalian diri,

keterbukaan, optimis, hubungan positif, nilai makna dan tujuan hidup, serta

penyelesaian konflik diri.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well Being

Menurut Diener (2007), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

subjective well being antara lain :

a. Faktor Genetik

Diener dkk (2005) menjelaskan bahwa walaupun peristiwa di

dalam kehidupan mempengaruhi subjective well being, individu dapat

beradaptasi dengan perubahan tersebut dan kembali kepada „set point’

atau „level adaptasi‟ yang ditentukan secara biologis. Adanya stabilitas

dan konsistensi di dalam subjective well being terjadi karena ada peran

yang besar dari komponen genetis, jadi ada sebagian individu yang

memang lahir dengan kecenderungan untuk bahagia dan ada juga yang

tidak. Faktor genetik tampaknya mempengaruhi respon emosional

individu pada kondisi kehidupan tertentu.

(13)

Kepribadian dianggap berpengaruh terhadap kebahagiaan.

Sejumlah penelitian telah dilakukan dam beberapa tahun terakhir yang

meneliti pengaruh kepribadian terhadap subjective well being. Karena

studi ini biasanya dilakukan dengan skala sedikit lebih luas dan sampel

representatif daripada penelitian yang meneliti faktor-faktor demografi,

dengan kesimpulan harus diberikan kepercayaan jika hasilnya tidak

direplikasi di sejumlah penelitian dengan berbagai jenis sampel. Ketika

individu menerima kriteria ini, beberapa variabel kepribadian

menunjukkan hubungan yang konsisten untuk subjective well being.

c. Umur dan jenis kelamin

Umur dan jenis kelamin berhubungan dengan subjective well being,

namun efek tersebut juga kecil, dan tergantung kepada komponen mana

dari subjective well being yang diukur. Penelitian yang ada mengenai

hubungan jenis kelamin dan subjective well being menunjukan bahwa

perempuan sama bahagianya dengan laki-laki, bahkan mungkin lebih

bahagia daripada laki-laki.

d. Menikah dan Keluarga

Beberapa studi skala besar menunjukan bahwa individu yang

menikah dilaporkan memiliki subjective well being yang lebih besar

daripada individu yang belum menikah (Andrews et al, dalam Diener,

(14)

mengalami gejala stres yang lebih besar, tetapi mereka juga mengalami

kepuasan yang lebih besar.

e. Pendidikan

Campbell (dalam Diener 2007) memberikan data bahwa pendidikan

memiliki pengaruh terhadap subjective well being di AS selama kurun

waktu 1957-1978. Namun, efek dari pendidikan tidak muncul menjadi

signifikan (Palmore; Palmore & Luikart, dalam Diener 2007). Korelasi

pendidikan dengan subjective well being umumnya kecil. Pendidikan

berhubungan dengan subjective well being apabila ditengahi oleh status

dalam pekerjaannya. Apabila pendapatan yang dikonstankan, maka

pendidikan mempunyai efek yang negatif, karena pendidikan memberi

ekspetasi akan didapatkannya pendapatan yang lebih besar.

f. Agama

Karena religiusitas telah dioperasionalkan dengan cara yang

berbeda, maka tidak mengherankan bahwa penemuan tersebut digabung.

Keyakinan agama, pentingnya agama, tradisionalisme agama umumnya

berhubungan positif dengan subjective well being (Cameron et al; dalam

Diener, 2007)

g. Pekerjaan

Campbell, dkk (dalam Diener, 2007) menemukan bahwa individu

yang pengangguran adalah kelompok individu yang tidak sejahtera dan

(15)

ini menunjukan bahwa pengangguran memiliki dampak buruk pada

subjective well being, untuk kebanyakan individu individu adanya

kesulitan keuangan yang mereka alami.

h. Hubungan Sosial

Wilson (Diener, 2007) menyimpulkan bahwa individu ekstrovert

lebih bahagia, dan bukti-bukti sejak saat itu telah menguatkan

kesimpulan ini, walaupun perbedaan dengan introvert mungkin kecil.

Namun, ini tidak berarti bahwa kontak sosial dapat meningkatkan

subjective well being. Bisa jadi, bahwa individu ekstrovert yang

bersosialisasi lebih bahagia dari individu tanpa ada kegiatan sosial.

Penelitian lain yang dilakukan secara luas, menemukan faktor-faktor

yang mempengaruhi subjective well being individu termasuk faktor

demografis dan faktor lingkungan (Eddington & Shuman, 2005):

a. Jenis Kelamin

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih mudah

menerima perasaan negatif, sedangkan laki-laki menolak serupa. Oleh

karena itu, pengalaman masing-masing antara laki-laki dan perempuan

berada di level afek negatif dan depresi yang hampir sama.

b. Usia

Usia diketahui mempunyai hubungan dengan keadaan sekitar

(16)

Meskipun demikian, beberapa studi sepakat bahwa usia hanya sedikit

mempengaruhi dalam kepuasan hidup.

c. Pendidikan

Hubungan antara pendidikan dan subjective well being merupakan

hasil dari korelasi antara pendidikan dengan status pekerjaan dan

pendapatan. Namun, pengaruh antara pendidikan dan subjective well

being adalah kecil meskipun signifikan.

d. Pendapatan

Pendapatan dengan standar pendapatan nasional dan strata

individu, menunjukkan sangat sedikit pengaruh terhadap subjective well

being. Beberapa teori mencoba menjelaskan mengapa materi merupakan

prediktor negatif subjective well being, dalam pencapaian materi

terkadang menjadi tidak produktif karena mengganggu tindakan pro-sosial

dan aktualisasi diri.

e. Perkawinan

Individu yang menikah memiliki subjective well being lebih tinggi

dibandingkan dengan individu yang tidak pernah menikah, bercerai,

berpisah, atau janda. Pada beberapa negara, pasangan yang hidup bersama

(kohabitasi) secara signifikan lebih bahagia dibandingkan dengan individu

yang tinggal individu diri (Kurdek, Mastekaasa dalam Eddington &

(17)

f. Kepuasan Kerja

Individu yang bekerja akan mempunyai subjective well being

dibandingkan dengan individu yang tidak bekerja. Individu yang tidak

bekerja mempunyai tingkat stress yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang

lebih rendah dan kemungkinan bunuh diri yang lebih tinggi dibandingkan

dengan individu yang bekerja.

g. Kesehatan

Hubungan yang kuat antara kesehatan dan subjective well being

muncul pada pengukuran kesehatan melalui self-report, tidak pada

penilaian secara objektif oleh ahli. Maka dapat disimpulkan bahwa

persepsi akan kesehatan menjadi lebih penting daripada kesehatan secara

objektif dalam mempengaruhi subjective well being.

h. Agama

Banyak survey yang menunjukkan bahwa subjective well being

berkorelasi secara signifikan dengan agama, hubungan individu dengan

Tuhan, pengalaman doa dan partisipasi di dalam aspek keagamaan.

i. Waktu luang

Veenhoven et al (dalam Eddington & Shuman, 2005) menunjukan

(18)

luang dan tingkatan aktivitas di waktu luang. Kegiatan yang dilakukan

pada waktu luang dapat meningkatkan subjective well being, seperti

aktivitas menyenangkan bersama teman, kegiatan olah raga, dan liburan.

Sedangkan kegiatan menonton televisi di waktu luang terutama tontonan

yang berat kurang dapat meningkatkan bahagia (Eddington & Shuman,

2005).

j. Peristiwa kehidupan

Intensitas peristiwa positif yang terjadi tidak banyak

mempengaruhi subjective well being sebagian karena jarang terjadi

(Eddington & Shuman, 2005).

k. Kompetensi

Penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara kompetensi

inteligensi dan subjective well being sangat kecil tetapi positif. Subjective

well being juga berhubungan dengan kerja sama, kepemimpinan dan

kemampuan heteroseksual (Eddington & Shuman, 2005)

Berdasarkan uraian di atas, subjective well being dipengaruhi oleh

berbagai faktor baik dari faktor kepribadian maupun faktor demografis.

Faktor- faktor tersebut antara lain faktor genetik, kepribadian, usia, jenis

(19)

kerja, hubungan sosial, pendapatan, kesehatan, waktu luang, peristiwa

kehidupan, serta kompetensi. Meskipun demikian, prosentase faktor tersebut

dalam mempengaruhi subjective well being bervariasi mulai dari sedikit

mempengaruhi hingga sangat mempengaruhi.

B. Kebersyukuran (Gratitude) 1. Pengertian Kebersyukuran

Sepanjang sejarah pemikiran, kebersyukuran telah didefinisikan

dalam banyak cara (McCollough et al, 2004), Adam Smith mendefinisikan

kebersyukuran sebagai perasaan yang mendorong / mengarahkan individu

dengan segera dan cepat untuk memberikan penghargaan. Demikian pula

Weiner dan Graham mendefinisikan kebersyukuran sebagai stimulus untuk

membalas kebaikan hati individu lain dengan demikian menjadi seimbang

kembali.

Lazarus dan Lazarus (McCollough et al, 2004), memberikan konsep

mengenai kebersyukuran sebagai salah satu “emosi simpati” yang

mencerminkan penghargaan atau apresiasi dari pemberian altruistik. Dalam

nada yang sama, Emmons dan Clumper menulis, minimal, kebersyukuran

adalah respon emosi untuk menanggapi suatu pemberian. Apresiasi ini

dirasakan setelah individu menerima tindakan altruistik.

Emmons dalam kamus bahasa Inggris Oxford, mendefinisikan

kebersyukuran sebagai sifat atau kondisi berterimakasih; apresiasi sebuah

(20)

Kebersyukuran dikenal dengan istilah gratitude (Ahmad, 2012). Pruyser

(Emmons & McCullough, 2003) menjelaskan bahwa kata gratitude diambil

dari akar Latin gratia, yang berarti kelembutan, kebaikan hati, atau berterima

kasih dan gratus yang berarti menyenangkan. Semua kata yang terbentuk

dari akar Latin ini berkaitan dengan kebaikan, kedermawanan, pemberian,

keindahan dari memberi dan menerima, atau mendapatkan sesuatu tanpa

tujuan apapun.

Solomon (Fluhler, 2010) mendefinisikan kebersyukuran sebagai

kebaikan, sifat karakter, dan emosi. Definisi kebersyukuran yang seringkali

dikutip yaitu, “an estimate of gain coupled with the judgement that someone

else is responsible for that gain”. Emmons & McCullough (2003)

menambahkan kebersyukuran merupakan sebuah bentuk emosi atau

perasaan, yang kemudian berkembang menjadi suatu sikap, sifat moral yang

baik, kebiasaan, sifat kepribadian, dan akhirnya akan mempengaruhi

individu untuk menanggapi/ bereaksi terhadap sesuatu atau situasi. Emmons

juga menyebutkan bahwa syukur itu membahagiakan, membuat perasaan

nyaman, dan bahkan dapat memacu motivasi.

Menurut Klein (1957), kebersyukuran sangat penting untuk menjalin

hubungan dengan sesuatu yang baik dan mendasari apresiasi kebaikan di

dalam diri individu dan individu lain. Kebersyukuran berakar di dalam emosi

(21)

dimiliki individu berasal setelah individu mempunyai asimilasi dengan objek

yang baik sehingga mampu untuk berbagi dengan yang lain.

Beberapa tokoh psikologi dalam Seligman (2002) mendefinisikan

kebersyukuran sebagai suatu perasaan terima kasih dan menyenangkan atas

respon penerimaan hadiah, dimana hadiah itu memberikan manfaat dari

individu atau suatu kejadian yang memberikan kedamaian. Wood (2009)

menyatakan kebersyukuran adalah sebagai bentuk ciri pribadi yang berpikir

positif, mempresentasikan hidup lebih positif.

McCullough, dkk (2001) dalam tulisannya yang berjudul “Is

Gratitude a Moral Affect” menyebutkan bahwa kebersyukuran sebagai

perasaan moral, yaitu sebagai sebuah reaksi afektif untuk menerima

pertolongan dari individu lain dan berfungsi sebagai barometer, motif, dan

penguat moral. Kebersyukuran merupakan respon emosional untuk tindakan

moral individu lain atas kepentingan yang ditolong (beneficiary).

Kebersyukuran dialami ketika individu menerima sebuah pemberian yang

bernilai atau kebaikan yang dengan sengaja telah disediakan oleh individu

(benefactor), biasanya beberapa penghargaan untuk individu tersebut.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan para ahli, maka dapat

disimpulkan kebersyukuran dalam konsep barat adalah suatu emosi perasaan

bahagia / menyenangkan ketika individu mengakui adanya pihak lain yang

turut andil atas bantuan atau pemberian pihak lain, yang kemudian

(22)

kepribadian, dan akhirnya akan mendorong individu untuk memberi ucapan

terimakasih atau dalam berbagai bentuk apresiasi sebagai penghargaan

kepada pihak yang membantu.

2. Teori Kebersyukuran

McCullough, dkk (2001) menyebutkan bahwa lebih dari 200 tahun

yang lalu, para teoritikus dan ilmuwan telah mempunyai teori mengenai

dasar psikologis kebersyukuran. Hasil penelitian dari beberapa ahli

mengkonsepkan kebersyukuran dalam berbagai teori, antara lain sebagai

berikut :

a. The theory of moral sentiments

Dalam teori ini, Adam Smith mengungkapkan bahwa

kebersyukuran menjadi salah satu emosi sosial paling dasar.

Kebersyukuran adalah salah satu motivator utama perilaku kebaikan.

Smith juga mengungkapkan tiga faktor psikologis yang paling

berpengaruh bagi individu untuk mengalami dan mengekspresikan

kebersyukuran kepada individu lain yang (1) maksud kebaikannya,

benar-benar menolong secara sukarela, (2) berulang kali dalam memberi

kebaikan, (3) mampu bersimpati dengan perasaan kebersyukuran yang

ditolong.

(23)

Dipelopori oleh Simmel dan Gouldner. Teori ini merupakan

perluasan dari teori yang diungkapkan Smith. Simmel dan Gouldner

mengkonsepkan kebersyukuran sebagai sebuah kekuatan untuk

membantu individu dan menjaga kewajiban timbal bailk mereka. Simmel

menyebut kebersyukuran sebagai memori moral umat individu. Karena

struktur sosial formal seperti hukum dan kontrak sosial tidak cukup

untuk mengatur dan memastikan timbal bailk dalam semua bentuk

interaksi yang dilakukan individu.

Schwartz menganggap kebersyukuran sebagai sebuah kekuatan

yang menyebabkan hubungan sosial untuk mempertahankan orientasi

prososial. Trives menambahkan bahwa kebersyukuran sebagai sebuah

adaptasi revolusioner yang mengatur respon individu-individu untuk

bertindak altruistik.

c. Cognitive-emotion theories of gratitude

Konteks teori ini menetapkan bahwa kognisi sebagai penyebab

respon emosional individu-individu untuk peristiwa dalam kehidupan

sosialnya. Konsisten dengan teori umumnya yang menghubungkan

proses kognitif dengan perilaku sosial, Heider berargumen bahwa

individu merasa bersyukur ketika mereka menerima sebuah kebaikan

dari individu yang diharapkan kebaikannya. Rasa kesukarelaan adalah

(24)

atas motivasi internal yang akan berefek bagi individu yang ditolong

maupun yang menolong.

Berdasarkan ketiga teori-teori kebersyukuran dari para ahli di atas,

dapat disimpulkan bahwa teori kebersyukuran ada tiga yaitu the theory of

moral sentiments, the moral memory of mankind (Refinements to Smith’s

formulation), cognitive-emotion theories of gratitude. Teori tersebut

menyatakan bahwa kebersyukuran merupakan emosi sosial yang paling

dasar sehingga dapat menghasilkan motivasi internal bagi individu untuk

melakukan kebaikan, kebersyukuran juga merupakan kekuatan untuk

membantu sesama dan melakukan timbal balik atas bantuan tersebut dan

pada dasarnya disebabkan proses kognitif yang terkait dengan perilaku

sosial.

3. Komponen Kebersyukuran

McCullough, dkk (2002) mengungkapkan empat komponen yang

menimbulkan kebersyukuran, yaitu:

a. Intensity, the depth of the feeling, from a slight emotional tug to

overflowing tears. Dapat diartikan sebagai kedalaman perasaan, sebuah

emosi yang berasal dari yang paling dalam sehingga dapat membuat air

mata mengalir.

b. Frequency, the ease with which grateful feelings are elicited. Individu

(25)

Individu yang memiliki kecenderungan bersyukur akan merasakan

banyak perasaan bersyukur setiap harinya dan syukur bisa menimbulkan

dan mendukung tindakan dan kebaikan sederhana atau kesopanan.

c. Span, the number of different things for which a person can be grateful

for at the same time. Rentangan dimana individu mensyukuri beberapa

hal atau sesuatu yang terjadi secara bersamaan/ sekaligus dalam satu

waktu.

d. Density, the number of different people for which a person can be

grateful for a single positive outcome. Maksud yang terkandung adalah

jumlah individu-individu yang merasa bersyukur terhadap sesuatu hal

yang positif. Individu yang bersyukur mempunyai lebih banyak

nama-nama individu yang dianggap telah membuatnya bersyukur, termasuk

orangtua, teman, keluarga, dan mentor (Sulistyarini,2010)

Wood (2008) mengembangkan kombinasi dari pengukuran

kebersyukuran sebelumnya dalam penelitian yang mengungkapkan

komponen-komponen kebersyukuran, yaitu :

a. Penghargaan Orang Lain

Kebersyukuran terhadap keberadaan individu lain membuat

individu memiliki motivasi instrinsik untuk melakukan berbagai

tindakan untuk membangun hubungan yang positif. Salah satu contoh

dari tindakan tersebut yang sederhana adalah menghabiskan waktu

(26)

b. Kepemilikan

Individu menghargai atas semua yang diterima individu tersebut,

baik berwujud maupun tidak berwujud. Individu mengakui kebaikan di

dalam kehidupan. Menghargai terhadap apa yang telah diterima individu

dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui tindakan ekspresif dan di

dalam batin.

c. Momen Pemberian

Kebersyukuran dapat ditunjukan dengan menghargai segala

sesuatu yang timbul dalam kehidupan individu atau pada momen-momen

yang dianggap berharga. Individu biasanya merasakan hal yang luar

biasa yang membuat individu mengingat momen tersebut.

d. Ritual

Individu melakukan kegiatan yang dilakukan secara rutin untuk

mengekspresikan kebersyukuran atas kebaikan-kebaikan yang diterima

dalam kehidupan. Individu biasanya fokus sejenak untuk merenungkan

kebaikan yang diterimanya.

e. Rasa akan Kekaguman

Sebuah studi menunjukan bahwa kekaguman perasaan dapat membuat

seolah-olah individu memiliki lebih banyak waktu. Kekaguman

(27)

sesuatu yang berarti, atau kompleksitas yang membuat individu dapat

memahami kehidupan.

f. Pembandingan Diri / Sosial

Perasaan positif yang dimiliki individu ketika mengevaluasi

bagaimana kegagalan atau kesalahan dalam hidup dapat terjadi. Secara

internal, individu merasa bahwa dengan menerima maka akan muncul

kedamaian yang dirasakan.

g. Kekhawatiran Eksistensial

Individu seringkali dihadapkan pada kekhawatiran-kekhawatiran

tertentu yang dapat berupa kerugian, perubahan yang mendadak dan

signifikan, dilema, serta kehidupan ambiguitas. Oleh karena itu, individu

perlu untuk memahami bahwa tidak ada yang permanen dalam

kehidupan.

h. Perilaku Kebersyukuran

Mengekspresikan kebersyukuran secara penuh dan mendalam

adalah salah satu jalan yang secara positif mempengaruhi sikap dan

perilaku, baik diri sendiri maupun individu lain. individu biasanya

melakukan perilaku tertentu untuk menunjukkan penghargaan terhadap

apa yang diterima individu tersebut.

Penjelasan di atas memberikan sebuah kesimpulan bahwa komponen

(28)

pula komponen penghargaan orang lain, kepemilikan, momen pemberian,

ritual, perasaan akan kekaguman, pembandingan diri / sosial, kekhawatiran

eksitensial, perilaku kebersyukuran. Komponen-komponen tersebut

menunjukan adanya keberadaan dan gambaran kebersyukuran pada individu.

4. Fungsi Kebersyukuran

McCullough, dkk (2001) mendeskripsikan bahwa terdapat tiga fungsi

kebersyukuran sebagai perasaan moral, yaitu sebagai barometer moral, motif

moral, dan penguat (reinforcer) moral (ketika individu mengekspresikan

emosi syukur dalam kata atau tindakan).

a. Kebersyukuran sebagai barometer moral

Mengacu pada kebersyukuran sebagai barometer moral,

kebersyukuran merupakan pengaruh sensitif yang tampak untuk sebuah

fakta perubahan dalam hubungan sosial-ketetapan kebaikan yang

dilakukan oleh penerima yang dapat meningkatkan well-being. Pengaruh

lain sebagai barometer moral bisa dari perilaku yang tak bermoral.

Perilaku ini menjadi kekuatan fungsi barometer moral kebersyukuran.

b. Kebersyukuran sebagai motif moral

Emosi kebersyukuran bisa bernilai motivasi. Rasa syukur individu

dapat menjadikannya berkelakuan prososial secara sukarela. Dalam hal

ini, kebersyukuran dapat dikatakan menjadi salah satu mekanisme

motivasi yang mendasari timbal balik sikap altruistik. Data fakta

(29)

tindakan penolong secara sukarela akan mengkontribusikan untuk

kesejahteraan penolong di masa mendatang. Lebih dari itu, individu yang

dibuat bersyukur akan berusaha untuk tidak melukai penolong.

c. Kebersyukuran sebagai penguat moral

Fungsi moral kebersyukuran yang terakhir adalah kebersyukuran

sebagai penguat perilaku moral. Ekspresi kebersyukuran pada individu

untuk tindakan prososial penolong menghasilkan lebih besar usaha

penolong untuk berkelakuan secara moral (tindakan positif) di masa

mendatang, dengan demikian kebersyukuran adalah sebuah perasaan

dengan penyesuaian tinggi untuk mengekspresikan kebahagiaan.

Dapat disimpulkan bahwa fungsi kebersyukuran adalah sebagai

barometer moral, sebagai motif moral, dan sebagai penguat moral.

Kebersyukuran dapat mengukur apakah individu mempunyai perilaku yang

bermoral atau tidak, dan dapat menjadi motivasi bagi individu untuk

berperilaku prososial atau mendasari timbal balik sikap altruistik sekaligus

menjadi penguat motivasi perilaku tersebut.

5. Jenis Kebersyukuran

Peterson dan Seligman (dalam Nadhiroh, 2012) membedakan

bersyukur menjadi dua jenis, yaitu :

a. Personal, adalah rasa berterima kasih yang ditujukan kepada individu

lain yang khusus yang telah memberikan kebaikan atau sebagai adanya

(30)

b. Transpersonal, adalah ungkapan terima kasih kepada Tuhan, kepada

kekuatan yang lebih tinggi, atau kepada dunianya. Maslow menyatakan

bahwa bentuk dasarnya dapat berupa pengalaman puncak (peak

experience), yaitu sebuah momen pengalaman kebersyukuran yang

melimpah.

Kebersyukuran dapat diartikan sebagai bentuk penghargaan atau

apresiasi terhadap bantuan pihak lain yang dapat dikategorikan menjadi

kebersyukuran personal kepada sesama dan kebersyukuran transpersonal

kepada Tuhan yang berupa pengalaman puncak.

C. Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus

1. Pengertian Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus

Pengertian orangtua dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan

bahwa orangtua artinya ayah dan ibu. Sedangkan menurut Miami yang

dikutip oleh Kartini Kartono, dikemukakan bahwa orangtua adalah pria dan

wanita yang terikat dalam perkawinan dan siap sedia untuk memikul

tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya

(Kartono, 1982).

Orangtua adalah dua individu yang berbeda memasuki hidup bersama

dengan membawa pandangan, pendapat dan kebiasaan- kebiasaan sehari-hari

(Gunarsa, 2003). Pendapat yang dikemukakan oleh Nasution (1986) bahwa

(31)

keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari yang

disebut sebagai bapak dan ibu.

Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, orangtua

adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu dan memiliki

tanggung jawab mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya.

2. Peran Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus

Menurut Gunarsa ( 1995) dalam keluarga yang ideal (lengkap) maka

ada dua individu yang memainkan peranan penting yaitu peran ayah dan peran

ibu, secara umum peran kedua individu tersebut adalah :

a. Peran ibu adalah sebagai berikut :

1) Memenuhi kebutuhan biologis dan fisik

2) Merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, mesra dan konsisten

3) Mendidik, mengatur dan mengendalikan anak

4) Menjadi contoh dan teladan bagi anak

b. Peran ayah adalah sebagai berikut :

1) Ayah sebagai pencari nafkah

2) Ayah sebagai suami yang penuh pengertian dan memberi rasa aman

3) Ayah berpartisipasi dalam pendidikan anak

4) Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana, mengasihi

keluarga

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat terlihat bahwa orangtua yakni

(32)

mempunyai peran untuk merawat dan mengurus keluarga sedangkan ayah

sebagai pelindung keluarga.

3. Fungsi Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus

Menurut Soelaeman (1994) orangtua dalam melaksanakan tanggung

jawab dalam keluarga mempunyai delapan fungsi, yaitu :

a. Fungsi Edukasi

Pelaksanaan fungsi edukasi keluarga merupakan realisasi salah satu

tanggung jawab yang dipikul orangtua, dengan salah satu momen dari tri

pusat pendidikan, keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang

pertama dan utama bagi anak dalam kedudukan ini wajar kehidupan

keluarga sehari-hari. Pada saat-saat tertentu beralih menjadi situasi

kehidupan keluarga yang dihayati si terdidik sebagai iklim pendidikan

yang mengundangnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang

mengarah kepada tujuan pendidikan.

b. Fungsi Sosialisasi

Tugas keluarga dalam mendidik anak tidak saja mencakup

perkembangan individu anak agar menjadi pribadi yang mantap, akan

tetapi meliputi pula upaya membentuknya mempersiapkannya menjadi

anggota masyarakat yang baik.

Dalam rangka melaksanakan fungsi sosialisasi, keluarga menduduki

(33)

norma-norma sosial yang meliputi penerangan dan penafsiran ke dalam bahasa

yang dapat dimengerti dan ditangkap maknanya oleh anak, selanjutnya

pelaksanaan fungsi sosialisasi anak memerlukan fasilitas, pola

komunikasi, serta iklim psikologis yang memadai sesuai dengan tujuannya

c. Fungsi Proteksi/ Fungsi Lindungan

Fungsi ini melindungi anak dari ketidakmampuannya bergaul dengan

lingkungan pergaulannya, melindunginya dari pengaruh yang tidak baik

yang mungkin mengancamnya dari lingkungan hidupnya.

d. Fungsi Afeksi

Pada saat ini masih kecil afeksi memegang peranan yang sangat

penting, secara inisiatif dia bisa merasakan atau mencakup suasana

perasaan orangtua saat berkomunikasi. Fungsi afeksi lebih banyak

menggunakan suasana kejiwaan dari orangtua.

e. Fungsi religius

Keluarga terutama orangtua berkewajiban memperkenalkan,

mengajak, serta memberikan pengertian sedini mungkin terhadap anak dan

anggota keluarga lainnya kepada kehidupan beragama. Tujuannya bukan

sekedar untuk mengetahui kaidah-kaidah agama, melainkan agar anak

memiliki keyakinan yang kuat untuk menjadi insan beragama.

(34)

Dalam kaitannya dengan fungsi ekonomi keluarga memberikan

pengertian kesadaran dan sikap anak dan seluruh anggota keluarga

terhadap uang dan harta kekayaan pada umumnya yaitu uang dan harta

sekedar alat yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan hidup.

g. Fungsi Rekreasi

Fungsi rekreasi diartikan sebagai pemberian rasa aman dan nyaman

yaitu suasana yang tenang, damai, jauh dari ketegangan batin, segar dan

santai yang dapat dirasakan oleh anggota keluarga.

h. Fungsi Biologis

Dalam kehidupannya individu memiliki berbagai kebutuhan, salah

satunya adalah kebutuhan biologis. Fungsi biologis keluarga, berhubungan

dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis antara anggota

keluarga, di antara kebutuhan biologis ini, adalah kebutuhan akan

keterlindungan fisik guna melangsungkan kehidupannya, keterlindungan

kesehatan, keterlindungan dari rasa lapar, haus, kelelahan, bahkan juga

kenyamanan dan kesegaran fisik termasuk juga kebutuhan biologis ialah

kebutuhan seksual.

Berdasarkan penjelasan tersebut, orangtua dalam keluarga mempunyai

delapan fungsi yang harus dipenuhi. Fungsi tersebut antara lain fungsi

edukasi, fungsi sosialisasi, fungsi proteksi/ fungsi lindungan, fungsi religius,

fungsi ekonomis, fungsi rekreasi, fungsi biologis.

(35)

Menurut Hadits (2006), anak berkebutuhan khusus yang dulu disebut

sebagai anak luar biasa didefinisikan sebagai anak yang memerlukan

pendidikan dan layanan khusus untuk mengembangkan potensi keindividuan

mereka secara sempurna. Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang

dalam proses pertumbuhan atau perkembangan mengalami kelainan atau

penyimpangan fisik, mental-intelektual, sosial dan atau emosional dibanding

dengan anak-anak lain seusianya, sehingga mereka memerlukan pelayanan

pendidikan khusus (Jannah dan Darmawanti, 2006).

Anak berkebutuhan khusus juga didefinisikan sebagai anak yang

secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan baik fisik,

mental-intelektual, sosial maupun emosional dalam proses pertumbuhan atau

perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga

mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus (www.ditplb.or.id)

Geniofam (2010) mengemukakan, anak berkebutuhan khusus adalah

anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya

tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik,

yang termasuk kedalam anak berkebutuhan khusus antara lain : tunanetra,

tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan

perilaku, anak berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan, autis dan

ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders).

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus

(36)

emosi atau fisik. Perkembangan anak berkebutuhan khusus juga lebih lambat

dari anak seusianya sehingga membutuhkan layanan yang khusus. Anak

berkebutuhan khusus dapat meliputi tunanetra, tunarungu, tunagrahita,

tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat dan

anak dengan gangguan kesehatan, autis dan ADHD (Attention Deficit

Hyperactive Disorders).

5. Tahapan Reaksi Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus

Wardhani (dalam Purwanta, 2005) menyatakan ada 5 rentang tahapan

reaksi orangtua ketika mengetahui anaknya mengalami kekhususan, yaitu :

a. Shock / Terkejut

Shock atau terkejut, merupakan reaksi paling awal ketika orangtua

menerima hasil diagnosis anaknya yang disampaikan oleh ahli. Periode ini

relatif lama, karena dapat tumpang tindih dengan reaksi lanjutan yang

muncul, yaitu penolakan akan apa yang didiagnosiskan pada anaknya.

Pengalaman orangtua, banyaknya informasi dan tingkat kesehatan jiwa

orangtua akan mempengaruhi proses lamanya tahapan terkejut.

b. Penolakan

Penolakan merupakan reaksi emosional. Dinamika yang terjadi adalah

ketika secara rasional sesungguhnya orangtua dapat melihat dan

menyadari realita keberadaan anak mereka dengan segala keterbatasannya.

Namun, secara emosional masih kuat pengharapan akan kondisi yang

(37)

menolak hal tersebut. Kondisi ini dapat berlangsung untuk rentang waktu

yang relatif lama. Reaksi ini biasanya disertai dengan keinginan untuk

mencari informasi dan pembenaran lainnya. Tindakan yang ada seringkali

disertai dengan pencarian data-data pendukung sebanyak mungkin

sehingga dapat melihat lebih detail sesungguhnya apa terjadi pada internal

anaknya.

Pada tahap ini seringkali orangtua mencari opini lain dengan harapan

diagnosis yang muncul akan berbeda atau bahkan mungkin salah. Semakin

orangtua dapat berfikir lebih jernih dan memiliki pandangan yang positif,

maka semakin cepat berkurang penolakan ini.

c. Sedih dan marah

Akhir dari tahap penolakan akan muncul perasaan sedih dan marah.

Perasaan sedih terjadi karena kecemasan yang mendalam terhadap kondisi

anaknya.

Orangtua merasa bersalah terhadap hal-hal yang terjadi pada anaknya,

Kadangkala, pada tahap ini orangtua juga timbul rasa marah sebagai reaksi

“berontak” terhadap kondisi anaknya. Rangkaian perasaan sedih, cemas,

marah, dan disertai perasaan bersalah ini akan diikuti dengan reaksi

menarik diri, karena sebagai orangtua tidak ingin individu lain mengetahui

kondisi anaknya. Hal inilah yang pada akhirnya akan membatasi ruang

gerak anak mereka.

(38)

Tahap berikutnya setelah sedih dan marah adalah tahap keseimbangan.

Pada tahap ini merupakan tahapan penerimaan awal mengenai keberadaan

anak dan lebih realistis memandang kondisi anak. Pada tahap ini orangtua

mulai lebih dapat memahami kebutuhan anak, merasa empati terhadap

anaknya.

e. Reorganisasi

Tahap akhir dari reaksi orangtua adalah reorganisasi. Pada tahap ini

orangtua lebih mulai terbuka dan kooperatif untuk menerima dan menata

pola pendekatan terhadap anaknya sesuai dengan kebutuhan anak.

Interaksi timbal balik antara orangtua, lingkungan praktisis, dan pihak lain

yang terkait dalam memberikan dukungan pada anak akan lebih dapat

terjadi dan tertata.

Dapat disimpulkan bahwa ketika orang tua mengetahui anak memiliki

kekhususan terdapat rentang tahapan yang dilalui, antara lain yaitu shock atau

terkejut, penolakan, sedih dan marah, keseimbangan serta reorganisasi.

D. Pengaruh Kebersyukuran terhadap Subjective Well Being Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus di SLB YAKUT Purwokerto

Kedudukan dan fungsi orangtua di dalam keluarga sangat penting dan

fundamental. Orangtua sebagai individu yang paling bertanggung jawab terhadap

perkembangan anak perlu menyiapkan diri untuk memberikan pelayanan yang

(39)

serta menyiapkan masa depan anak. Oleh karena itu, menjadi orangtua bukanlah

sesuatu yang mudah, terlebih lagi jika anak memiliki kebutuhan khusus.

Orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus tentu saja harus

memberikan perhatian yang lebih besar dalam merawat anaknya. Selain

memenuhi tanggung jawab dalam menyiapkan masa depan anak, orangtua yang

memiliki anak berkebutuhan khusus sebenarnya mempunyai beban psikologis

dalam menerima kondisi kehidupannya. Somantri (2006) mengatakan beban

psikologis yang dirasakan oleh para orangtua dan keluarga anak berkebutuhan

khusus berupa beban emosional, perasaan kasihan yang berlebihan, perasaan

bersalah, kurang percaya diri, perasaan berdosa, bingung, dan malu serta masih

banyak beban psikologis yang lain.

Tidak menutup kemungkinan bahwa dengan kondisi kehidupan yang

tidak sesuai dengan harapan, orangtua anak berkebutuhan khusus dipandang bisa

bangkit dari segala ketidakberdayaan dan memaksimalkan potensi diri untuk

meraih kesejahteraan subjektif atau subjective well being. Subjective well being

merupakan evaluasi individu terhadap kehidupannya sendiri, baik secara afektif

maupun kognitif.

Orangtua anak berkebutuhan khusus akan mampu memandang kehidupan

dengan cara yang lebih positif, memiliki kepuasan hidup, kepuasan domain,

seringkali merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif.

Sehingga orangtua anak berkebutuhan khusus akan mampu menjalani kehidupan

(40)

Ketika orangtua anak berkebutuhan khusus memiliki subjective well

being yang tinggi, maka orangtua tersebut pada umumnya akan memiliki

sejumlah kualitas hidup yang mengagumkan karena akan lebih mampu

mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup dengan

lebih baik.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa kebersyukuran merupakan

karakter positif yang lebih dominan dibandingkan karakter lain dan dikaitkan

secara positif dengan berbagai macam ukuran subjective well being.

Kebersyukuran merupakan sifat, emosi, atau kondisi berterimakasih atas

kebaikan yang diterima sehingga membuat individu memiliki kecenderungan

untuk menghargai dan membalas kebaikan tersebut

Emmons & McCullough (2003) menambahkan kebersyukuran

merupakan sebuah bentuk emosi atau perasaan, yang kemudian berkembang

menjadi suatu sikap, sifat moral yang baik, kebiasaan, sifat kepribadian, dan

akhirnya akan mempengaruhi individu untuk menanggapi/ bereaksi terhadap

sesuatu atau situasi.

McCullough, dkk (2002), menyebutkan bahwa individu yang bersyukur

cenderung mengalami emosi positif lebih sering, menikmati kepuasan di dalam

hidupnya, banyak berharap, dan cenderung kurang mengalami depresi,

kecemasan, serta iri hati. Individu cenderung lebih empati, memaafkan,

(41)

Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah dkk (2008),

menitikberatkan pada hubungan antara bersyukur dengan subjective well being

pada penduduk miskin. Penelitian ini mempunyai partisipan yang berada pada

rentang usia 18 hingga 55 tahun dengan kategori penduduk miskin berdasarkan

pendapatan serta mempunyai wilayah tempat tinggal di DKI Jakarta dan

sekitarnya. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini membuktikan bahwa ada

hubungan positif yang signifikan antara kebersyukuran dengan subjective well

being pada penduduk miskin, dimana menurut Arbiyah dkk, mayoritas partisipan

ini memiliki tingkat bersyukur dan subjective well being yang sedang dan

cenderung melakukan bersyukur transpersonal.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Emmons dan McCullough (2003)

menunjukkan bahwa kelompok yang diberikan treatment kebersyukuran,

memiliki skor subjective well being yang lebih tinggi dibandingkan kelompok

lainnya. Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa kebersyukuran

memberikan keuntungan secara emosi dan interpersonal.

Emosi negatif dan beban psikologis yang dirasakan oleh orang tua anak

berkebutuhan khusus dapat di eliminir dengan kebersyukuran, sesuai dengan

berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa kebersyukuran

merupakan faktor penting yang harus dimiliki orangtua anak berkebutuhan

khusus dalam menerima dan menghargai segala bentuk kondisi kehidupannya.

Ketika orangtua anak berkebutuhan khusus mampu menerima dan menghargai

(42)

mampu mampu merasakan kepuasan dalam hidupnya baik kepuasan hidup secara

menyeluruh atau domain dan lebih sering merasakan emosi positif dibandingkan

emosi negatif dan mencapai subjective well being.

Penilaian yang positif atas kehidupan orangtua anak berkebutuhan khusus

dapat mengindikasikan adanya subjective well being, orangtua anak

berkebutuhan khusus akan terlihat mempunyai harga diri yang positif,

pengendalian diri yang baik, keterbukaan, hubungan sosial yang positif, memiliki

arti dan tujuan dalam memandang kehidupan, dan dapat mengatasi konflik

psikologis.

E. Kerangka Berfikir

Gambar 1. Kerangka Berfikir

Pada uraian latar belakang telah dipaparkan bahwa orangtua mempunyai

peran yang utama dan pertama di dalam keluarga, khususnya bertanggung jawab

terhadap perkembangan anak perlu menyiapkan diri untuk memberikan pelayanan

yang optimal kepada anaknya termasuk dalam memenuhi hak dan kebutuhan anak Subjective Well Being :

Harga Diri Positif Pengendalian Diri Keterbukaan Optimis

Hubungan Positif

Nilai Makna Dan Tujuan Hidup Penyelesaian Konflik Diri

Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus

Rendah Tinggi

Beban Psikologis

Kebersyukuran : Penghargaan Orang Lain Kepemilikan

Momen Pemberian Ritual

Perasaan Akan Kekaguman Pembandingan Diri / Sosial Kekhawatiran Eksitensial Perilaku Kebersyukuran

(43)

serta menyiapkan masa depan anak. Setiap orang tua pasti mendambakan anaknya

sehat, cerdas, berhasil dalam pendidikannya, dan sukses dalam hidupnya.

Orangtua merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut menjadi kenyataan.

Namun, tidak semua individu dilahirkan sesuai keinginan dan harapan orangtua,

beberapa di antaranya lahir dengan keterbatasan baik secara fisik maupun psikis

atau anak berkebutuhan khusus.

Somantri (2006) mengatakan beban psikologis yang dirasakan oleh para

orangtua dan keluarga anak berkebutuhan khusus berupa beban emosional,

perasaan kasihan yang berlebihan, perasaan bersalah, kurang percaya diri,

perasaan berdosa, bingung, dan malu serta masih banyak beban psikologis yang

lain. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan orangtua yang memiliki

anak berkebutuhan khusus dipandang tetap bisa untuk meraih subjective well

being dengan berbagai latar belakang kehidupan yang ada. Subjective well being

dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.

Sesuai dengan fenomena yang diperoleh dalam studi pendahuluan,

kebersyukuran diindikasikan menjadi faktor yang dapat mempengaruhi subjective

well being yang timbul secara internal dari dalam diri individu. Jika

kebersyukuran orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus rendah maka

subjective well being yang dimiliki orangtua rendah, begitu pula sebaliknya, jika

kebersyukuran yang dimiliki orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus

tinggi maka subjective well being yang dimiliki juga tinggi.

(44)

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh

kebersyukuran terhadap subjective well being orangtua anak berkebutuhan

Referensi

Dokumen terkait

Antikodon merupakan sekuens tiga nukleotida pada tRNA yang berperan untuk menerjemahkan kodon yang dibawa oleh mRNA dalam proses sintesis protein.. ENZIM

Peneliti mengasumsikan bahwa terdapat perbedaan subjective well being pada ibu apabila ditinjau dari stuktur keluarga dimana ibu yang tinggal pada struktur

Apabila melihat dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan pada anak korban pelecehan seksual dan melihat keterkaitan dengan domain- domain dalam children well-being,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi terbaik hidrolisis enzim yaitu pada konsentrasi enzim selulase 5% v/v selama 12 jam pada hidrolisat asam sulfat 1%

Manfaat dari kerja sama yang saling ketergantungan antarsiswa di dalam pembelajaran kooperatif berasal dari empat faktor diungkapkan oleh Slavin (dalam Eggen dan Kauchak, 2012:

Pada prinsipnya, analisis penetapan signifikan bahaya pada proses produksi wafer roll coklat terdapat pada tahap magnetting adonan dan cream serta deteksi sinar

[r]

Kesimpulan dari hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan uji proksimat tepung berbahan limbah ikan berdasarkan jenis ikan tuna, ikan cakalang, ikan teri dan ikan