BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Subjective Well Being
1. Pengertian Subjective Well Being
Ryan dan Deci (2001) menyebutkan bahwa dalam menjelaskan
subjective well-being dapat dilihat dari dua pendekatan yaitu pendekatan
eudaimonic dan pendekatan hedonic. Aliran eudaimonic yang merupakan
aliran yang menekankan pada kesejahteraan diri yang melibatkan pemenuhan
atau pengidentifikasian diri individu yang sebenarnya. Di sisi lain, aliran
hedonic menjelaskan kesejahteraan diri yang melibatkan kebahagiaan secara
subjektif. Aliran tersebut juga memperhatikan pengalaman menyenangkan
versus tidak menyenangkan yang didapatkan dari penilaian baik buruknya
hal-hal yang ada dalam kehidupan individu.
Konsep yang banyak dipakai pada penelitian dengan pandangan
hedonic adalah subjective well being, sedangkan konsep psychological well
being dipakai untuk penelitian dengan pandangan eudaimonic. Subjective
well being lebih menekankan bahwa individu dinilai sejahtera apabila ia
menggunakan potensi yang ada dalam dirinya. Subjective well being
dikatakan oleh Diener (dalam Ahmad, 2012) lebih unggul dalam menjelaskan
Definisi subjective well-being menurut Compton (2005), adalah proses
kognitif individu mengenai penilaian yang global tentang penerimaan hidup
individu. Sedangkan Diener dan Lucas (1999), adalah evaluasi individu
tentang kehidupan, termasuk penilaian kognitif terhadap kepuasan hidup serta
evaluasi afektif dari mood dan emosi-emosi. Snyder dan Lopez (2002)
mendefinisikan subjective well being sebagai sebuah konsep luas yang
mencakup emosi menyenangkan mengalami, rendahnya tingkat suasana hati
negatif, dan kepuasan hidup yang tinggi.
Stock menyebutkan bahwa subjective well being didefinisikan sebagai
suatu evaluasi positif mengenai kehidupan individu yang diasosiasikan
dengan diperolehnya perasaan menyenangkan (Pinquart & Sorenson, 2000).
Diener (2007) menambahkan, individu yang merasakan subjective well being
yang melimpah dan hanya sedikit perasaan tidak nyaman, ketika terlibat
dalam kegiatan yang menarik dan ketika individu merasakan banyak
kesenangan dan sedikit rasa sakit, dan ketika individu puas dengan hidup.
Ed Diener, et al (1997) menyebutkan bahwa subjective well-being
mengacu pada bagaimana individu mengevaluasi hidup. Di dalamnya
meliputi variabel-variabel seperti kepuasan dalam hidup dan kepuasan
pernikahan, tidak adanya depresi dan kecemasan, serta adanya suasana hati
(mood) dan emosi yang positif. Lebih lanjut disimpulkan oleh Compton
dilihat dari skor dua variabel utama, yaitu kebahagiaan dan kepuasan dalam
hidup.
McGilivray dan Clarke (dalam Coceao & Bandura, 2007) menjelaskan
bahwa subjective well being melibatkan evaluasi multidimensional
kehidupan, termasuk penilaian kognitif dari kepuasan hidup dan evaluasi
afektif emosi dan suasana hati. Area subjective well being terdiri dari analisis
ilmiah tentang bagaimana individu mengevaluasi kehidupan individu, baik di
saat ini dan telah lalu. Evaluasi ini termasuk emosional individu tentang suatu
peristiwa, suasana hati, penilaian mereka tentang bentuk kepuasan hidup,
pemenuhan kebutuhan kepuasan pada domain seperti pernikahan dan
pekerjaan. Dengan demikian, subjective well being merupakan studi yang
mana individu awam menyebutnya sebagai kebahagiaan dan kepuasan.
Perasaan tiap individu, emosi, dan evaluasi diri dinyatakan fluktuatif dari
waktu ke waktu dimana membicarakan tentang tingkat perbedaan yang ada
antara individu dan masyarakat (Diener, dkk, 2002).
Beberapa ahli teori berpendapat bahwa penyebab subjective well being
secara fundamental sama untuk semua individu. Ryff dan Singer (dalam
Diener, 2007) mengemukakan bahwa tujuan hidup, hubungan kualitas,
menganggap diri, dan rasa penguasaan adalah fitur universal kesejahteraan.
Penentuan nasib sendiri teori mempertahankan bahwa dasar subjective well
being pada pemenuhan kebutuhan psikologis bawaan seperti otonomi,
universal, individu memberikan dimensi sepanjang yang kita dapat
membandingkan masyarakat.
Penelitian yang memeriksa secara psikometri perilaku subjective well
being telah menunjukan bahwa skala self-report cenderung dapat diandalkan
dan valid. Sebagai contoh, tindakan multi-item kepuasan hidup, kepuasan
domain, dan skala positif dan negatif mempengaruhi semua menunjukan
reiabilitas tinggi, terlepas dari apakah reliabilitas dinilai dengan
menggunakan korelasi inter-item atau tes-ulang korelasi jangka pendek
(Diener, et al, 1999).
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa
subjective well being adalah suatu bentuk pengukuran kualitas hidup individu
mengenai kepuasan dan kebahagiaan dalam hidupnya yang membuat
individu sering kali merasakan emosi yang positif dan jarang sekali
mengalami emosi yang negatif. Individu yang merasakan subjective well
being akan merasakan kebahagiaan dan kepuasan hidup.
2. Teori Subjective Well Being
Subjective well being dapat dimaknai melalui teori dari beberapa ahli
yang berkorelasi dengan hasil penelitian yang dilakukan. Teori yang
dikemukakan para ahli yang dikutip dalam Diener (1987), antara lain :
a. Telic theory
Telic theory menjelaskan bahwa subjective well being terdiri dari
kebutuhan yang telah tercapai. Salah satu postulat teoritis yang
ditawarkan Wilson (1960) adalah bahwa “pemenuhan kebutuhan
menyebabkan kebahagiaan dan sebaliknya, kebutuhan yang tidak
terpenuhi menyebabkan ketidakbahagiaan”. Banyak penelitian mengenai
subjective well being tampaknya didasari pada implicit model yang
berkaitan dengan kebutuhan dan tujuan.
b. Activity Theory
Activity theory memandang kebahagiaan sebagai hasil samping
dari aktivitas individu. Individu memiliki kemampuan tertentu dan
kebahagiaan akan datang ketika kemampuan tersebut ditunjukan dengan
cara yang sangat baik. Salah satu tema yang dalam teori ini yang sering
muncul adalah kesadaran diri akan mempengaruhi kebahagiaan dan ada
beberapa penjelasan empiris untuk ini (Csikszentmihalyi & Figurski,
1982).
c. Bottom Up vs Top Down Theories
Diener (Compton, 2005) mengemukakan bahwa kepuasan dalam
hidup dan kebahagiaan dapat dijelaskan dengan menggunakan dua
pendekatan umum, yaitu bottom up theory dan top down theory :
Bottom up theory memandang bahwa kebahagiaan dan kepuasan
hidup yang dirasakan dan dialami individu tergantung dari banyaknya
kebahagiaan kecil serta kumpulan peristiwa-peristiwa bahagia. Secara
pengalaman-pengalaman positif yang terjadi dalam kehidupan individu.
Semakin banyaknya peristiwa menyenangkan yang terjadi, maka semakin
bahagia dan puas individu tersebut. Untuk meningkatkan kesejahteraan
subjektif, teori ini beranggapan perlunya mengubah lingkungan dan
situasi yang akan mempengaruhi pengalaman individu, misalnya:
pekerjaan yang memadai, lingkungan rumah yang aman, pendapatan/gaji
yang layak.
Top down theory melihat subjective well being yang dialami
individu tergantung dari cara individu tersebut mengevaluasi dan
menginterpretasi suatu peristiwa/kejadian dalam sudut pandang yang
positif. Perspektif teori ini menganggap individu yang menentukan atau
memegang peranan apakah peristiwa yang dialaminya akan menciptakan
kesejahteraan psikologis bagi dirinya. Pendekatan ini mempertimbangkan
jenis kepribadian, sikap, dan cara-cara yang digunakan untuk
menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga untuk meningkatkan
kesejahteraan subjektif diperlukan usaha yang berfokus pada mengubah
persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian individu.
d. Association Theory
Salah satu pendekatan kognitif terhadap kebahagiaan mempunyai
keterkaitan dengan jaringan dalam memori. Bower (1981), menunjukan
bahwa individu akan mengingat kenangan yang sesuai dengan kondisi
menunjukan bahwa individu dapat mengembangkan banyak jaringan
memori yang positif, dan terbatas, serta terisolasi dari yang negatif. Pada
individu tersebut, banyak peristiwa dapat memicu afeksi dan pemikiran
positif. Sehingga individu dengan suatu jaringan yang dominan positif
akan cenderung bereaksi terhadap peristiwa dengan cara yang lebih
positif.
Berdasarkan penjabaran teori-teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa
teori subjective well being meliputi dipandang terdiri telic theory, activity
theory, bottom up vs uop down theories, association theory. Subjective well
being dapat diraih dari kebahagiaan yang diperoleh dengan tercapainya
tujuan atau kebutuhan individu. Aktivitas individu juga dapat mempengaruhi
subjective well being ketika individu mampu menunjukan kemampuannya
dengan sangat baik. Menurut bottom up theories, subjective well being dapat
dirasakan tergantung dari kumpulan peristiwa bahagia, sedangkan perspektif
top down theories memandang subjective well being tergantung individu
menginterpretasi suatu peristiwa dalam sudut pandang positif. Sedangkan
dalam pendekatan kognitif, ketika individu dengan jaringan memori yang
positif akan cenderung bereaksi terhadap peristiwa dengan cara yang lebih
positif.
3. Aspek-aspek Subjective Well Being
Menurut Diener et al, (1999), aspek yang menimbulkan subjective
judgement) yang terdiri dari kepuasan hidup dan kepuasan domain, serta
afektif (emosional) yang terdiri dari afeksi positif dan afeksi negatif.
Aspek-aspek yang saling berhubungan tersebut adalah:
a. Kepuasan Hidup
Kepuasan hidup adalah kondisi subjektif dari keadaan pribadi
individu sehubungan rasa senang atau tidak senang sebagai akibat dari
adanya dorongan atau kebutuhan yang ada dari dalam dirinya dan
dihubungkan dengan kenyataan yang dirasakan (Caplin, 1999).
b. Kepuasan Domain
Kepuasan domain adalah penilaian individu dalam membuat
evaluasi dalam ranah kehidupannya, biasanya meliputi kesehatan fisik
dan mental, pekerjaan, santai, hubungan sosial, dan keluarga.
c. Afeksi Positif
Individu dapat dikatakan memiliki subjective well being yang
tinggi jika individu sering kali merasakan emosi yang positif (Diener dan
Larsen, 1984) memiliki prediktor: penuh perhatian, tertarik, waspada,
bersemangat, antusias, terinspirasi, bangga, ditentukan, kuat dan aktif
d. Afeksi Negatif
Individu dapat dikatakan memiliki Subjective Well-Being yang
dan Larsen, 1984) memiliki prediktor: sedih, bermusuhan, mudah
marah-marah, takut, malu, bersalah, dan gelisah.
Berbagai penelitian telah menemukan beberapa aspek yang berkaitan
dengan kebahagiaan dan kepuasan hidup. Berbagai tinjauan dan literatur
secara menyeluruh oleh para ahli menghasilkan kesepakatan mengenai
prediktor terkuat subjective well being (Compton, 2005). Aspek-aspek
subjective well being adalah sebagai berikut :
a. Harga Diri Positif
Campbell (dalam Compton, 2005) menyatakan bahwa harga diri
merupakan prediktor yang menentukan kesejahteraan subjektif. Harga
diri yang tinggi membuat individu memiliki beberapa kelebihan termasuk
pemahaman mengenai arti dan nilai hidup. Harga diri yang tinggi akan
menyebabkan individu memiliki kontrol yang baik terhadap rasa marah,
jarang melakukan pelanggaran, mempunyai hubungan yang baik dengan
individu lain, perhatian terhadap individu lain, serta mempunyai kapasitas
produktif dalam pekerjaan.
b. Pengendalian Diri
Perasaan untuk memiliki pengendalian personal dapat diartikan
sebagai kepercayaan bahwa individu memiliki beberapa tolak ukur
pengendalian atas kejadian-kejadian dalam hidup yang penting bagi
dirinya. Sebagai tambahan, tanpa adanya rasa ini, hidup akan dipenuhi
akan menjadi tertekan karenanya. Kebutuhan akan pengendalian yang
dapat diterima mungkin menjadi kebutuhan sejak dini (Ryan & Deci,
dalam Compton, 2005). Kontrol diri yaitu termasuk proses emosi,
motivasi, perilaku dan aktifitas fisik. Dengan kata lain, kontrol diri akan
melibatkan proses pengambilan keputusan, memahami konsekuensi dari
keputusan yang telah diambil serta mencari pemaknaan atas peristiwa
tersebut.
c. Keterbukaan
Individu dengan kepribadian ekstravert akan tertarik pada hal-hal
yang terjadi di luar dirinya, seperti lingkungan fisik dan sosialnya.
Penelitian Diener dkk. (dalam Compton, 2005) mendapatkan bahwa
kepribadian ekstavert secara signifikan akan memprediksi terjadinya
kesejahteraan individual. Individu-individu dengan kepribadian ekstravert
biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak, merekapun
memiliki sensitivitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada
individu lain (Compton, 2005).
d. Optimisme
Secara umum, individu yang optimis mengenai masa depan
merasa lebih bahagia dan puas dengan kehidupannya. Individu yang
mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol
yang baik terhadap hidupnya, sehingga melihat masa depan dengan
menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis akan tercipta bila sikap
optimis yang dimiliki oleh individu bersifat realistis.
e. Hubungan Positif
Salah satu ciri individu sebagai makhluk sosial adalah adanya
kebutuhan interaksi sosial agar menjadi individu seutuhnya. Relasi sosial
positif dalam meraih subjective well being dapat dilihat melalui kepuasan
dalam keluarga dan teman, serta adanya dukungan sosial.
f. Nilai Makna dan Tujuan Hidup
Sejumlah studi telah menemukan bahwa individu-individu dengan
iman terhadap agama yang lebih kuat, yang lebih memandang penting
agama dalam hidupnya dan yang lebih sering mengikuti ibadah
keagamaan dilaporkan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi.
Tentu saja, salah satu alasan dari penemuan ini adalah karena agama
memberikan arti pada tiap individu.
g. Penyelesaian Konflik Diri
Individu yang memiliki subjective well being yang tinggi secara
nyata mempunyai lebih sedikit konflik psikologi. Kepribadian yang
terintegrasi menandakan koordinasi yang baik antara aspek dari diri, dan
berhubungan pula dengan toleransi yang baik mengenai aspek-aspek
yang berbeda pada individu. Individu mampu menyelesaikan konflik
dalam dirinya, mampu bekerja keras dalam mencapai tujuan, dan
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan aspek yang
subjective well being yaitu kepuasan hidup, kepuasan domain, afeksi positif,
dan afeksi negatif. Semua aspek tersebut harus memiliki nilai yang positif,
yaitu memiliki kepuasan hidup, memiliki kepuasan domain, sering merasakan
emosi positif, dan jarang mengalami emosi negatif. Selain itu aspek lain
subjective well being adalah harga diri positif, pengendalian diri,
keterbukaan, optimis, hubungan positif, nilai makna dan tujuan hidup, serta
penyelesaian konflik diri.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well Being
Menurut Diener (2007), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
subjective well being antara lain :
a. Faktor Genetik
Diener dkk (2005) menjelaskan bahwa walaupun peristiwa di
dalam kehidupan mempengaruhi subjective well being, individu dapat
beradaptasi dengan perubahan tersebut dan kembali kepada „set point’
atau „level adaptasi‟ yang ditentukan secara biologis. Adanya stabilitas
dan konsistensi di dalam subjective well being terjadi karena ada peran
yang besar dari komponen genetis, jadi ada sebagian individu yang
memang lahir dengan kecenderungan untuk bahagia dan ada juga yang
tidak. Faktor genetik tampaknya mempengaruhi respon emosional
individu pada kondisi kehidupan tertentu.
Kepribadian dianggap berpengaruh terhadap kebahagiaan.
Sejumlah penelitian telah dilakukan dam beberapa tahun terakhir yang
meneliti pengaruh kepribadian terhadap subjective well being. Karena
studi ini biasanya dilakukan dengan skala sedikit lebih luas dan sampel
representatif daripada penelitian yang meneliti faktor-faktor demografi,
dengan kesimpulan harus diberikan kepercayaan jika hasilnya tidak
direplikasi di sejumlah penelitian dengan berbagai jenis sampel. Ketika
individu menerima kriteria ini, beberapa variabel kepribadian
menunjukkan hubungan yang konsisten untuk subjective well being.
c. Umur dan jenis kelamin
Umur dan jenis kelamin berhubungan dengan subjective well being,
namun efek tersebut juga kecil, dan tergantung kepada komponen mana
dari subjective well being yang diukur. Penelitian yang ada mengenai
hubungan jenis kelamin dan subjective well being menunjukan bahwa
perempuan sama bahagianya dengan laki-laki, bahkan mungkin lebih
bahagia daripada laki-laki.
d. Menikah dan Keluarga
Beberapa studi skala besar menunjukan bahwa individu yang
menikah dilaporkan memiliki subjective well being yang lebih besar
daripada individu yang belum menikah (Andrews et al, dalam Diener,
mengalami gejala stres yang lebih besar, tetapi mereka juga mengalami
kepuasan yang lebih besar.
e. Pendidikan
Campbell (dalam Diener 2007) memberikan data bahwa pendidikan
memiliki pengaruh terhadap subjective well being di AS selama kurun
waktu 1957-1978. Namun, efek dari pendidikan tidak muncul menjadi
signifikan (Palmore; Palmore & Luikart, dalam Diener 2007). Korelasi
pendidikan dengan subjective well being umumnya kecil. Pendidikan
berhubungan dengan subjective well being apabila ditengahi oleh status
dalam pekerjaannya. Apabila pendapatan yang dikonstankan, maka
pendidikan mempunyai efek yang negatif, karena pendidikan memberi
ekspetasi akan didapatkannya pendapatan yang lebih besar.
f. Agama
Karena religiusitas telah dioperasionalkan dengan cara yang
berbeda, maka tidak mengherankan bahwa penemuan tersebut digabung.
Keyakinan agama, pentingnya agama, tradisionalisme agama umumnya
berhubungan positif dengan subjective well being (Cameron et al; dalam
Diener, 2007)
g. Pekerjaan
Campbell, dkk (dalam Diener, 2007) menemukan bahwa individu
yang pengangguran adalah kelompok individu yang tidak sejahtera dan
ini menunjukan bahwa pengangguran memiliki dampak buruk pada
subjective well being, untuk kebanyakan individu individu adanya
kesulitan keuangan yang mereka alami.
h. Hubungan Sosial
Wilson (Diener, 2007) menyimpulkan bahwa individu ekstrovert
lebih bahagia, dan bukti-bukti sejak saat itu telah menguatkan
kesimpulan ini, walaupun perbedaan dengan introvert mungkin kecil.
Namun, ini tidak berarti bahwa kontak sosial dapat meningkatkan
subjective well being. Bisa jadi, bahwa individu ekstrovert yang
bersosialisasi lebih bahagia dari individu tanpa ada kegiatan sosial.
Penelitian lain yang dilakukan secara luas, menemukan faktor-faktor
yang mempengaruhi subjective well being individu termasuk faktor
demografis dan faktor lingkungan (Eddington & Shuman, 2005):
a. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih mudah
menerima perasaan negatif, sedangkan laki-laki menolak serupa. Oleh
karena itu, pengalaman masing-masing antara laki-laki dan perempuan
berada di level afek negatif dan depresi yang hampir sama.
b. Usia
Usia diketahui mempunyai hubungan dengan keadaan sekitar
Meskipun demikian, beberapa studi sepakat bahwa usia hanya sedikit
mempengaruhi dalam kepuasan hidup.
c. Pendidikan
Hubungan antara pendidikan dan subjective well being merupakan
hasil dari korelasi antara pendidikan dengan status pekerjaan dan
pendapatan. Namun, pengaruh antara pendidikan dan subjective well
being adalah kecil meskipun signifikan.
d. Pendapatan
Pendapatan dengan standar pendapatan nasional dan strata
individu, menunjukkan sangat sedikit pengaruh terhadap subjective well
being. Beberapa teori mencoba menjelaskan mengapa materi merupakan
prediktor negatif subjective well being, dalam pencapaian materi
terkadang menjadi tidak produktif karena mengganggu tindakan pro-sosial
dan aktualisasi diri.
e. Perkawinan
Individu yang menikah memiliki subjective well being lebih tinggi
dibandingkan dengan individu yang tidak pernah menikah, bercerai,
berpisah, atau janda. Pada beberapa negara, pasangan yang hidup bersama
(kohabitasi) secara signifikan lebih bahagia dibandingkan dengan individu
yang tinggal individu diri (Kurdek, Mastekaasa dalam Eddington &
f. Kepuasan Kerja
Individu yang bekerja akan mempunyai subjective well being
dibandingkan dengan individu yang tidak bekerja. Individu yang tidak
bekerja mempunyai tingkat stress yang lebih tinggi, kepuasan hidup yang
lebih rendah dan kemungkinan bunuh diri yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang bekerja.
g. Kesehatan
Hubungan yang kuat antara kesehatan dan subjective well being
muncul pada pengukuran kesehatan melalui self-report, tidak pada
penilaian secara objektif oleh ahli. Maka dapat disimpulkan bahwa
persepsi akan kesehatan menjadi lebih penting daripada kesehatan secara
objektif dalam mempengaruhi subjective well being.
h. Agama
Banyak survey yang menunjukkan bahwa subjective well being
berkorelasi secara signifikan dengan agama, hubungan individu dengan
Tuhan, pengalaman doa dan partisipasi di dalam aspek keagamaan.
i. Waktu luang
Veenhoven et al (dalam Eddington & Shuman, 2005) menunjukan
luang dan tingkatan aktivitas di waktu luang. Kegiatan yang dilakukan
pada waktu luang dapat meningkatkan subjective well being, seperti
aktivitas menyenangkan bersama teman, kegiatan olah raga, dan liburan.
Sedangkan kegiatan menonton televisi di waktu luang terutama tontonan
yang berat kurang dapat meningkatkan bahagia (Eddington & Shuman,
2005).
j. Peristiwa kehidupan
Intensitas peristiwa positif yang terjadi tidak banyak
mempengaruhi subjective well being sebagian karena jarang terjadi
(Eddington & Shuman, 2005).
k. Kompetensi
Penelitian menunjukkan bahwa korelasi antara kompetensi
inteligensi dan subjective well being sangat kecil tetapi positif. Subjective
well being juga berhubungan dengan kerja sama, kepemimpinan dan
kemampuan heteroseksual (Eddington & Shuman, 2005)
Berdasarkan uraian di atas, subjective well being dipengaruhi oleh
berbagai faktor baik dari faktor kepribadian maupun faktor demografis.
Faktor- faktor tersebut antara lain faktor genetik, kepribadian, usia, jenis
kerja, hubungan sosial, pendapatan, kesehatan, waktu luang, peristiwa
kehidupan, serta kompetensi. Meskipun demikian, prosentase faktor tersebut
dalam mempengaruhi subjective well being bervariasi mulai dari sedikit
mempengaruhi hingga sangat mempengaruhi.
B. Kebersyukuran (Gratitude) 1. Pengertian Kebersyukuran
Sepanjang sejarah pemikiran, kebersyukuran telah didefinisikan
dalam banyak cara (McCollough et al, 2004), Adam Smith mendefinisikan
kebersyukuran sebagai perasaan yang mendorong / mengarahkan individu
dengan segera dan cepat untuk memberikan penghargaan. Demikian pula
Weiner dan Graham mendefinisikan kebersyukuran sebagai stimulus untuk
membalas kebaikan hati individu lain dengan demikian menjadi seimbang
kembali.
Lazarus dan Lazarus (McCollough et al, 2004), memberikan konsep
mengenai kebersyukuran sebagai salah satu “emosi simpati” yang
mencerminkan penghargaan atau apresiasi dari pemberian altruistik. Dalam
nada yang sama, Emmons dan Clumper menulis, minimal, kebersyukuran
adalah respon emosi untuk menanggapi suatu pemberian. Apresiasi ini
dirasakan setelah individu menerima tindakan altruistik.
Emmons dalam kamus bahasa Inggris Oxford, mendefinisikan
kebersyukuran sebagai sifat atau kondisi berterimakasih; apresiasi sebuah
Kebersyukuran dikenal dengan istilah gratitude (Ahmad, 2012). Pruyser
(Emmons & McCullough, 2003) menjelaskan bahwa kata gratitude diambil
dari akar Latin gratia, yang berarti kelembutan, kebaikan hati, atau berterima
kasih dan gratus yang berarti menyenangkan. Semua kata yang terbentuk
dari akar Latin ini berkaitan dengan kebaikan, kedermawanan, pemberian,
keindahan dari memberi dan menerima, atau mendapatkan sesuatu tanpa
tujuan apapun.
Solomon (Fluhler, 2010) mendefinisikan kebersyukuran sebagai
kebaikan, sifat karakter, dan emosi. Definisi kebersyukuran yang seringkali
dikutip yaitu, “an estimate of gain coupled with the judgement that someone
else is responsible for that gain”. Emmons & McCullough (2003)
menambahkan kebersyukuran merupakan sebuah bentuk emosi atau
perasaan, yang kemudian berkembang menjadi suatu sikap, sifat moral yang
baik, kebiasaan, sifat kepribadian, dan akhirnya akan mempengaruhi
individu untuk menanggapi/ bereaksi terhadap sesuatu atau situasi. Emmons
juga menyebutkan bahwa syukur itu membahagiakan, membuat perasaan
nyaman, dan bahkan dapat memacu motivasi.
Menurut Klein (1957), kebersyukuran sangat penting untuk menjalin
hubungan dengan sesuatu yang baik dan mendasari apresiasi kebaikan di
dalam diri individu dan individu lain. Kebersyukuran berakar di dalam emosi
dimiliki individu berasal setelah individu mempunyai asimilasi dengan objek
yang baik sehingga mampu untuk berbagi dengan yang lain.
Beberapa tokoh psikologi dalam Seligman (2002) mendefinisikan
kebersyukuran sebagai suatu perasaan terima kasih dan menyenangkan atas
respon penerimaan hadiah, dimana hadiah itu memberikan manfaat dari
individu atau suatu kejadian yang memberikan kedamaian. Wood (2009)
menyatakan kebersyukuran adalah sebagai bentuk ciri pribadi yang berpikir
positif, mempresentasikan hidup lebih positif.
McCullough, dkk (2001) dalam tulisannya yang berjudul “Is
Gratitude a Moral Affect” menyebutkan bahwa kebersyukuran sebagai
perasaan moral, yaitu sebagai sebuah reaksi afektif untuk menerima
pertolongan dari individu lain dan berfungsi sebagai barometer, motif, dan
penguat moral. Kebersyukuran merupakan respon emosional untuk tindakan
moral individu lain atas kepentingan yang ditolong (beneficiary).
Kebersyukuran dialami ketika individu menerima sebuah pemberian yang
bernilai atau kebaikan yang dengan sengaja telah disediakan oleh individu
(benefactor), biasanya beberapa penghargaan untuk individu tersebut.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan para ahli, maka dapat
disimpulkan kebersyukuran dalam konsep barat adalah suatu emosi perasaan
bahagia / menyenangkan ketika individu mengakui adanya pihak lain yang
turut andil atas bantuan atau pemberian pihak lain, yang kemudian
kepribadian, dan akhirnya akan mendorong individu untuk memberi ucapan
terimakasih atau dalam berbagai bentuk apresiasi sebagai penghargaan
kepada pihak yang membantu.
2. Teori Kebersyukuran
McCullough, dkk (2001) menyebutkan bahwa lebih dari 200 tahun
yang lalu, para teoritikus dan ilmuwan telah mempunyai teori mengenai
dasar psikologis kebersyukuran. Hasil penelitian dari beberapa ahli
mengkonsepkan kebersyukuran dalam berbagai teori, antara lain sebagai
berikut :
a. The theory of moral sentiments
Dalam teori ini, Adam Smith mengungkapkan bahwa
kebersyukuran menjadi salah satu emosi sosial paling dasar.
Kebersyukuran adalah salah satu motivator utama perilaku kebaikan.
Smith juga mengungkapkan tiga faktor psikologis yang paling
berpengaruh bagi individu untuk mengalami dan mengekspresikan
kebersyukuran kepada individu lain yang (1) maksud kebaikannya,
benar-benar menolong secara sukarela, (2) berulang kali dalam memberi
kebaikan, (3) mampu bersimpati dengan perasaan kebersyukuran yang
ditolong.
Dipelopori oleh Simmel dan Gouldner. Teori ini merupakan
perluasan dari teori yang diungkapkan Smith. Simmel dan Gouldner
mengkonsepkan kebersyukuran sebagai sebuah kekuatan untuk
membantu individu dan menjaga kewajiban timbal bailk mereka. Simmel
menyebut kebersyukuran sebagai memori moral umat individu. Karena
struktur sosial formal seperti hukum dan kontrak sosial tidak cukup
untuk mengatur dan memastikan timbal bailk dalam semua bentuk
interaksi yang dilakukan individu.
Schwartz menganggap kebersyukuran sebagai sebuah kekuatan
yang menyebabkan hubungan sosial untuk mempertahankan orientasi
prososial. Trives menambahkan bahwa kebersyukuran sebagai sebuah
adaptasi revolusioner yang mengatur respon individu-individu untuk
bertindak altruistik.
c. Cognitive-emotion theories of gratitude
Konteks teori ini menetapkan bahwa kognisi sebagai penyebab
respon emosional individu-individu untuk peristiwa dalam kehidupan
sosialnya. Konsisten dengan teori umumnya yang menghubungkan
proses kognitif dengan perilaku sosial, Heider berargumen bahwa
individu merasa bersyukur ketika mereka menerima sebuah kebaikan
dari individu yang diharapkan kebaikannya. Rasa kesukarelaan adalah
atas motivasi internal yang akan berefek bagi individu yang ditolong
maupun yang menolong.
Berdasarkan ketiga teori-teori kebersyukuran dari para ahli di atas,
dapat disimpulkan bahwa teori kebersyukuran ada tiga yaitu the theory of
moral sentiments, the moral memory of mankind (Refinements to Smith’s
formulation), cognitive-emotion theories of gratitude. Teori tersebut
menyatakan bahwa kebersyukuran merupakan emosi sosial yang paling
dasar sehingga dapat menghasilkan motivasi internal bagi individu untuk
melakukan kebaikan, kebersyukuran juga merupakan kekuatan untuk
membantu sesama dan melakukan timbal balik atas bantuan tersebut dan
pada dasarnya disebabkan proses kognitif yang terkait dengan perilaku
sosial.
3. Komponen Kebersyukuran
McCullough, dkk (2002) mengungkapkan empat komponen yang
menimbulkan kebersyukuran, yaitu:
a. Intensity, the depth of the feeling, from a slight emotional tug to
overflowing tears. Dapat diartikan sebagai kedalaman perasaan, sebuah
emosi yang berasal dari yang paling dalam sehingga dapat membuat air
mata mengalir.
b. Frequency, the ease with which grateful feelings are elicited. Individu
Individu yang memiliki kecenderungan bersyukur akan merasakan
banyak perasaan bersyukur setiap harinya dan syukur bisa menimbulkan
dan mendukung tindakan dan kebaikan sederhana atau kesopanan.
c. Span, the number of different things for which a person can be grateful
for at the same time. Rentangan dimana individu mensyukuri beberapa
hal atau sesuatu yang terjadi secara bersamaan/ sekaligus dalam satu
waktu.
d. Density, the number of different people for which a person can be
grateful for a single positive outcome. Maksud yang terkandung adalah
jumlah individu-individu yang merasa bersyukur terhadap sesuatu hal
yang positif. Individu yang bersyukur mempunyai lebih banyak
nama-nama individu yang dianggap telah membuatnya bersyukur, termasuk
orangtua, teman, keluarga, dan mentor (Sulistyarini,2010)
Wood (2008) mengembangkan kombinasi dari pengukuran
kebersyukuran sebelumnya dalam penelitian yang mengungkapkan
komponen-komponen kebersyukuran, yaitu :
a. Penghargaan Orang Lain
Kebersyukuran terhadap keberadaan individu lain membuat
individu memiliki motivasi instrinsik untuk melakukan berbagai
tindakan untuk membangun hubungan yang positif. Salah satu contoh
dari tindakan tersebut yang sederhana adalah menghabiskan waktu
b. Kepemilikan
Individu menghargai atas semua yang diterima individu tersebut,
baik berwujud maupun tidak berwujud. Individu mengakui kebaikan di
dalam kehidupan. Menghargai terhadap apa yang telah diterima individu
dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui tindakan ekspresif dan di
dalam batin.
c. Momen Pemberian
Kebersyukuran dapat ditunjukan dengan menghargai segala
sesuatu yang timbul dalam kehidupan individu atau pada momen-momen
yang dianggap berharga. Individu biasanya merasakan hal yang luar
biasa yang membuat individu mengingat momen tersebut.
d. Ritual
Individu melakukan kegiatan yang dilakukan secara rutin untuk
mengekspresikan kebersyukuran atas kebaikan-kebaikan yang diterima
dalam kehidupan. Individu biasanya fokus sejenak untuk merenungkan
kebaikan yang diterimanya.
e. Rasa akan Kekaguman
Sebuah studi menunjukan bahwa kekaguman perasaan dapat membuat
seolah-olah individu memiliki lebih banyak waktu. Kekaguman
sesuatu yang berarti, atau kompleksitas yang membuat individu dapat
memahami kehidupan.
f. Pembandingan Diri / Sosial
Perasaan positif yang dimiliki individu ketika mengevaluasi
bagaimana kegagalan atau kesalahan dalam hidup dapat terjadi. Secara
internal, individu merasa bahwa dengan menerima maka akan muncul
kedamaian yang dirasakan.
g. Kekhawatiran Eksistensial
Individu seringkali dihadapkan pada kekhawatiran-kekhawatiran
tertentu yang dapat berupa kerugian, perubahan yang mendadak dan
signifikan, dilema, serta kehidupan ambiguitas. Oleh karena itu, individu
perlu untuk memahami bahwa tidak ada yang permanen dalam
kehidupan.
h. Perilaku Kebersyukuran
Mengekspresikan kebersyukuran secara penuh dan mendalam
adalah salah satu jalan yang secara positif mempengaruhi sikap dan
perilaku, baik diri sendiri maupun individu lain. individu biasanya
melakukan perilaku tertentu untuk menunjukkan penghargaan terhadap
apa yang diterima individu tersebut.
Penjelasan di atas memberikan sebuah kesimpulan bahwa komponen
pula komponen penghargaan orang lain, kepemilikan, momen pemberian,
ritual, perasaan akan kekaguman, pembandingan diri / sosial, kekhawatiran
eksitensial, perilaku kebersyukuran. Komponen-komponen tersebut
menunjukan adanya keberadaan dan gambaran kebersyukuran pada individu.
4. Fungsi Kebersyukuran
McCullough, dkk (2001) mendeskripsikan bahwa terdapat tiga fungsi
kebersyukuran sebagai perasaan moral, yaitu sebagai barometer moral, motif
moral, dan penguat (reinforcer) moral (ketika individu mengekspresikan
emosi syukur dalam kata atau tindakan).
a. Kebersyukuran sebagai barometer moral
Mengacu pada kebersyukuran sebagai barometer moral,
kebersyukuran merupakan pengaruh sensitif yang tampak untuk sebuah
fakta perubahan dalam hubungan sosial-ketetapan kebaikan yang
dilakukan oleh penerima yang dapat meningkatkan well-being. Pengaruh
lain sebagai barometer moral bisa dari perilaku yang tak bermoral.
Perilaku ini menjadi kekuatan fungsi barometer moral kebersyukuran.
b. Kebersyukuran sebagai motif moral
Emosi kebersyukuran bisa bernilai motivasi. Rasa syukur individu
dapat menjadikannya berkelakuan prososial secara sukarela. Dalam hal
ini, kebersyukuran dapat dikatakan menjadi salah satu mekanisme
motivasi yang mendasari timbal balik sikap altruistik. Data fakta
tindakan penolong secara sukarela akan mengkontribusikan untuk
kesejahteraan penolong di masa mendatang. Lebih dari itu, individu yang
dibuat bersyukur akan berusaha untuk tidak melukai penolong.
c. Kebersyukuran sebagai penguat moral
Fungsi moral kebersyukuran yang terakhir adalah kebersyukuran
sebagai penguat perilaku moral. Ekspresi kebersyukuran pada individu
untuk tindakan prososial penolong menghasilkan lebih besar usaha
penolong untuk berkelakuan secara moral (tindakan positif) di masa
mendatang, dengan demikian kebersyukuran adalah sebuah perasaan
dengan penyesuaian tinggi untuk mengekspresikan kebahagiaan.
Dapat disimpulkan bahwa fungsi kebersyukuran adalah sebagai
barometer moral, sebagai motif moral, dan sebagai penguat moral.
Kebersyukuran dapat mengukur apakah individu mempunyai perilaku yang
bermoral atau tidak, dan dapat menjadi motivasi bagi individu untuk
berperilaku prososial atau mendasari timbal balik sikap altruistik sekaligus
menjadi penguat motivasi perilaku tersebut.
5. Jenis Kebersyukuran
Peterson dan Seligman (dalam Nadhiroh, 2012) membedakan
bersyukur menjadi dua jenis, yaitu :
a. Personal, adalah rasa berterima kasih yang ditujukan kepada individu
lain yang khusus yang telah memberikan kebaikan atau sebagai adanya
b. Transpersonal, adalah ungkapan terima kasih kepada Tuhan, kepada
kekuatan yang lebih tinggi, atau kepada dunianya. Maslow menyatakan
bahwa bentuk dasarnya dapat berupa pengalaman puncak (peak
experience), yaitu sebuah momen pengalaman kebersyukuran yang
melimpah.
Kebersyukuran dapat diartikan sebagai bentuk penghargaan atau
apresiasi terhadap bantuan pihak lain yang dapat dikategorikan menjadi
kebersyukuran personal kepada sesama dan kebersyukuran transpersonal
kepada Tuhan yang berupa pengalaman puncak.
C. Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus
1. Pengertian Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus
Pengertian orangtua dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan
bahwa orangtua artinya ayah dan ibu. Sedangkan menurut Miami yang
dikutip oleh Kartini Kartono, dikemukakan bahwa orangtua adalah pria dan
wanita yang terikat dalam perkawinan dan siap sedia untuk memikul
tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya
(Kartono, 1982).
Orangtua adalah dua individu yang berbeda memasuki hidup bersama
dengan membawa pandangan, pendapat dan kebiasaan- kebiasaan sehari-hari
(Gunarsa, 2003). Pendapat yang dikemukakan oleh Nasution (1986) bahwa
keluarga atau tugas rumah tangga yang dalam kehidupan sehari-hari yang
disebut sebagai bapak dan ibu.
Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, orangtua
adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu dan memiliki
tanggung jawab mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya.
2. Peran Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Gunarsa ( 1995) dalam keluarga yang ideal (lengkap) maka
ada dua individu yang memainkan peranan penting yaitu peran ayah dan peran
ibu, secara umum peran kedua individu tersebut adalah :
a. Peran ibu adalah sebagai berikut :
1) Memenuhi kebutuhan biologis dan fisik
2) Merawat dan mengurus keluarga dengan sabar, mesra dan konsisten
3) Mendidik, mengatur dan mengendalikan anak
4) Menjadi contoh dan teladan bagi anak
b. Peran ayah adalah sebagai berikut :
1) Ayah sebagai pencari nafkah
2) Ayah sebagai suami yang penuh pengertian dan memberi rasa aman
3) Ayah berpartisipasi dalam pendidikan anak
4) Ayah sebagai pelindung atau tokoh yang tegas, bijaksana, mengasihi
keluarga
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat terlihat bahwa orangtua yakni
mempunyai peran untuk merawat dan mengurus keluarga sedangkan ayah
sebagai pelindung keluarga.
3. Fungsi Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus
Menurut Soelaeman (1994) orangtua dalam melaksanakan tanggung
jawab dalam keluarga mempunyai delapan fungsi, yaitu :
a. Fungsi Edukasi
Pelaksanaan fungsi edukasi keluarga merupakan realisasi salah satu
tanggung jawab yang dipikul orangtua, dengan salah satu momen dari tri
pusat pendidikan, keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang
pertama dan utama bagi anak dalam kedudukan ini wajar kehidupan
keluarga sehari-hari. Pada saat-saat tertentu beralih menjadi situasi
kehidupan keluarga yang dihayati si terdidik sebagai iklim pendidikan
yang mengundangnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang
mengarah kepada tujuan pendidikan.
b. Fungsi Sosialisasi
Tugas keluarga dalam mendidik anak tidak saja mencakup
perkembangan individu anak agar menjadi pribadi yang mantap, akan
tetapi meliputi pula upaya membentuknya mempersiapkannya menjadi
anggota masyarakat yang baik.
Dalam rangka melaksanakan fungsi sosialisasi, keluarga menduduki
norma-norma sosial yang meliputi penerangan dan penafsiran ke dalam bahasa
yang dapat dimengerti dan ditangkap maknanya oleh anak, selanjutnya
pelaksanaan fungsi sosialisasi anak memerlukan fasilitas, pola
komunikasi, serta iklim psikologis yang memadai sesuai dengan tujuannya
c. Fungsi Proteksi/ Fungsi Lindungan
Fungsi ini melindungi anak dari ketidakmampuannya bergaul dengan
lingkungan pergaulannya, melindunginya dari pengaruh yang tidak baik
yang mungkin mengancamnya dari lingkungan hidupnya.
d. Fungsi Afeksi
Pada saat ini masih kecil afeksi memegang peranan yang sangat
penting, secara inisiatif dia bisa merasakan atau mencakup suasana
perasaan orangtua saat berkomunikasi. Fungsi afeksi lebih banyak
menggunakan suasana kejiwaan dari orangtua.
e. Fungsi religius
Keluarga terutama orangtua berkewajiban memperkenalkan,
mengajak, serta memberikan pengertian sedini mungkin terhadap anak dan
anggota keluarga lainnya kepada kehidupan beragama. Tujuannya bukan
sekedar untuk mengetahui kaidah-kaidah agama, melainkan agar anak
memiliki keyakinan yang kuat untuk menjadi insan beragama.
Dalam kaitannya dengan fungsi ekonomi keluarga memberikan
pengertian kesadaran dan sikap anak dan seluruh anggota keluarga
terhadap uang dan harta kekayaan pada umumnya yaitu uang dan harta
sekedar alat yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan hidup.
g. Fungsi Rekreasi
Fungsi rekreasi diartikan sebagai pemberian rasa aman dan nyaman
yaitu suasana yang tenang, damai, jauh dari ketegangan batin, segar dan
santai yang dapat dirasakan oleh anggota keluarga.
h. Fungsi Biologis
Dalam kehidupannya individu memiliki berbagai kebutuhan, salah
satunya adalah kebutuhan biologis. Fungsi biologis keluarga, berhubungan
dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan biologis antara anggota
keluarga, di antara kebutuhan biologis ini, adalah kebutuhan akan
keterlindungan fisik guna melangsungkan kehidupannya, keterlindungan
kesehatan, keterlindungan dari rasa lapar, haus, kelelahan, bahkan juga
kenyamanan dan kesegaran fisik termasuk juga kebutuhan biologis ialah
kebutuhan seksual.
Berdasarkan penjelasan tersebut, orangtua dalam keluarga mempunyai
delapan fungsi yang harus dipenuhi. Fungsi tersebut antara lain fungsi
edukasi, fungsi sosialisasi, fungsi proteksi/ fungsi lindungan, fungsi religius,
fungsi ekonomis, fungsi rekreasi, fungsi biologis.
Menurut Hadits (2006), anak berkebutuhan khusus yang dulu disebut
sebagai anak luar biasa didefinisikan sebagai anak yang memerlukan
pendidikan dan layanan khusus untuk mengembangkan potensi keindividuan
mereka secara sempurna. Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang
dalam proses pertumbuhan atau perkembangan mengalami kelainan atau
penyimpangan fisik, mental-intelektual, sosial dan atau emosional dibanding
dengan anak-anak lain seusianya, sehingga mereka memerlukan pelayanan
pendidikan khusus (Jannah dan Darmawanti, 2006).
Anak berkebutuhan khusus juga didefinisikan sebagai anak yang
secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan baik fisik,
mental-intelektual, sosial maupun emosional dalam proses pertumbuhan atau
perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga
mereka memerlukan pelayanan pendidikan khusus (www.ditplb.or.id)
Geniofam (2010) mengemukakan, anak berkebutuhan khusus adalah
anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya
tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik,
yang termasuk kedalam anak berkebutuhan khusus antara lain : tunanetra,
tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan
perilaku, anak berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan, autis dan
ADHD (Attention Deficit Hyperactive Disorders).
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus
emosi atau fisik. Perkembangan anak berkebutuhan khusus juga lebih lambat
dari anak seusianya sehingga membutuhkan layanan yang khusus. Anak
berkebutuhan khusus dapat meliputi tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat dan
anak dengan gangguan kesehatan, autis dan ADHD (Attention Deficit
Hyperactive Disorders).
5. Tahapan Reaksi Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus
Wardhani (dalam Purwanta, 2005) menyatakan ada 5 rentang tahapan
reaksi orangtua ketika mengetahui anaknya mengalami kekhususan, yaitu :
a. Shock / Terkejut
Shock atau terkejut, merupakan reaksi paling awal ketika orangtua
menerima hasil diagnosis anaknya yang disampaikan oleh ahli. Periode ini
relatif lama, karena dapat tumpang tindih dengan reaksi lanjutan yang
muncul, yaitu penolakan akan apa yang didiagnosiskan pada anaknya.
Pengalaman orangtua, banyaknya informasi dan tingkat kesehatan jiwa
orangtua akan mempengaruhi proses lamanya tahapan terkejut.
b. Penolakan
Penolakan merupakan reaksi emosional. Dinamika yang terjadi adalah
ketika secara rasional sesungguhnya orangtua dapat melihat dan
menyadari realita keberadaan anak mereka dengan segala keterbatasannya.
Namun, secara emosional masih kuat pengharapan akan kondisi yang
menolak hal tersebut. Kondisi ini dapat berlangsung untuk rentang waktu
yang relatif lama. Reaksi ini biasanya disertai dengan keinginan untuk
mencari informasi dan pembenaran lainnya. Tindakan yang ada seringkali
disertai dengan pencarian data-data pendukung sebanyak mungkin
sehingga dapat melihat lebih detail sesungguhnya apa terjadi pada internal
anaknya.
Pada tahap ini seringkali orangtua mencari opini lain dengan harapan
diagnosis yang muncul akan berbeda atau bahkan mungkin salah. Semakin
orangtua dapat berfikir lebih jernih dan memiliki pandangan yang positif,
maka semakin cepat berkurang penolakan ini.
c. Sedih dan marah
Akhir dari tahap penolakan akan muncul perasaan sedih dan marah.
Perasaan sedih terjadi karena kecemasan yang mendalam terhadap kondisi
anaknya.
Orangtua merasa bersalah terhadap hal-hal yang terjadi pada anaknya,
Kadangkala, pada tahap ini orangtua juga timbul rasa marah sebagai reaksi
“berontak” terhadap kondisi anaknya. Rangkaian perasaan sedih, cemas,
marah, dan disertai perasaan bersalah ini akan diikuti dengan reaksi
menarik diri, karena sebagai orangtua tidak ingin individu lain mengetahui
kondisi anaknya. Hal inilah yang pada akhirnya akan membatasi ruang
gerak anak mereka.
Tahap berikutnya setelah sedih dan marah adalah tahap keseimbangan.
Pada tahap ini merupakan tahapan penerimaan awal mengenai keberadaan
anak dan lebih realistis memandang kondisi anak. Pada tahap ini orangtua
mulai lebih dapat memahami kebutuhan anak, merasa empati terhadap
anaknya.
e. Reorganisasi
Tahap akhir dari reaksi orangtua adalah reorganisasi. Pada tahap ini
orangtua lebih mulai terbuka dan kooperatif untuk menerima dan menata
pola pendekatan terhadap anaknya sesuai dengan kebutuhan anak.
Interaksi timbal balik antara orangtua, lingkungan praktisis, dan pihak lain
yang terkait dalam memberikan dukungan pada anak akan lebih dapat
terjadi dan tertata.
Dapat disimpulkan bahwa ketika orang tua mengetahui anak memiliki
kekhususan terdapat rentang tahapan yang dilalui, antara lain yaitu shock atau
terkejut, penolakan, sedih dan marah, keseimbangan serta reorganisasi.
D. Pengaruh Kebersyukuran terhadap Subjective Well Being Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus di SLB YAKUT Purwokerto
Kedudukan dan fungsi orangtua di dalam keluarga sangat penting dan
fundamental. Orangtua sebagai individu yang paling bertanggung jawab terhadap
perkembangan anak perlu menyiapkan diri untuk memberikan pelayanan yang
serta menyiapkan masa depan anak. Oleh karena itu, menjadi orangtua bukanlah
sesuatu yang mudah, terlebih lagi jika anak memiliki kebutuhan khusus.
Orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus tentu saja harus
memberikan perhatian yang lebih besar dalam merawat anaknya. Selain
memenuhi tanggung jawab dalam menyiapkan masa depan anak, orangtua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus sebenarnya mempunyai beban psikologis
dalam menerima kondisi kehidupannya. Somantri (2006) mengatakan beban
psikologis yang dirasakan oleh para orangtua dan keluarga anak berkebutuhan
khusus berupa beban emosional, perasaan kasihan yang berlebihan, perasaan
bersalah, kurang percaya diri, perasaan berdosa, bingung, dan malu serta masih
banyak beban psikologis yang lain.
Tidak menutup kemungkinan bahwa dengan kondisi kehidupan yang
tidak sesuai dengan harapan, orangtua anak berkebutuhan khusus dipandang bisa
bangkit dari segala ketidakberdayaan dan memaksimalkan potensi diri untuk
meraih kesejahteraan subjektif atau subjective well being. Subjective well being
merupakan evaluasi individu terhadap kehidupannya sendiri, baik secara afektif
maupun kognitif.
Orangtua anak berkebutuhan khusus akan mampu memandang kehidupan
dengan cara yang lebih positif, memiliki kepuasan hidup, kepuasan domain,
seringkali merasakan emosi positif dan jarang merasakan emosi negatif.
Sehingga orangtua anak berkebutuhan khusus akan mampu menjalani kehidupan
Ketika orangtua anak berkebutuhan khusus memiliki subjective well
being yang tinggi, maka orangtua tersebut pada umumnya akan memiliki
sejumlah kualitas hidup yang mengagumkan karena akan lebih mampu
mengontrol emosinya dan menghadapi berbagai peristiwa dalam hidup dengan
lebih baik.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa kebersyukuran merupakan
karakter positif yang lebih dominan dibandingkan karakter lain dan dikaitkan
secara positif dengan berbagai macam ukuran subjective well being.
Kebersyukuran merupakan sifat, emosi, atau kondisi berterimakasih atas
kebaikan yang diterima sehingga membuat individu memiliki kecenderungan
untuk menghargai dan membalas kebaikan tersebut
Emmons & McCullough (2003) menambahkan kebersyukuran
merupakan sebuah bentuk emosi atau perasaan, yang kemudian berkembang
menjadi suatu sikap, sifat moral yang baik, kebiasaan, sifat kepribadian, dan
akhirnya akan mempengaruhi individu untuk menanggapi/ bereaksi terhadap
sesuatu atau situasi.
McCullough, dkk (2002), menyebutkan bahwa individu yang bersyukur
cenderung mengalami emosi positif lebih sering, menikmati kepuasan di dalam
hidupnya, banyak berharap, dan cenderung kurang mengalami depresi,
kecemasan, serta iri hati. Individu cenderung lebih empati, memaafkan,
Di Indonesia, penelitian yang dilakukan oleh Arbiyah dkk (2008),
menitikberatkan pada hubungan antara bersyukur dengan subjective well being
pada penduduk miskin. Penelitian ini mempunyai partisipan yang berada pada
rentang usia 18 hingga 55 tahun dengan kategori penduduk miskin berdasarkan
pendapatan serta mempunyai wilayah tempat tinggal di DKI Jakarta dan
sekitarnya. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini membuktikan bahwa ada
hubungan positif yang signifikan antara kebersyukuran dengan subjective well
being pada penduduk miskin, dimana menurut Arbiyah dkk, mayoritas partisipan
ini memiliki tingkat bersyukur dan subjective well being yang sedang dan
cenderung melakukan bersyukur transpersonal.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Emmons dan McCullough (2003)
menunjukkan bahwa kelompok yang diberikan treatment kebersyukuran,
memiliki skor subjective well being yang lebih tinggi dibandingkan kelompok
lainnya. Penelitian tersebut juga membuktikan bahwa kebersyukuran
memberikan keuntungan secara emosi dan interpersonal.
Emosi negatif dan beban psikologis yang dirasakan oleh orang tua anak
berkebutuhan khusus dapat di eliminir dengan kebersyukuran, sesuai dengan
berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa kebersyukuran
merupakan faktor penting yang harus dimiliki orangtua anak berkebutuhan
khusus dalam menerima dan menghargai segala bentuk kondisi kehidupannya.
Ketika orangtua anak berkebutuhan khusus mampu menerima dan menghargai
mampu mampu merasakan kepuasan dalam hidupnya baik kepuasan hidup secara
menyeluruh atau domain dan lebih sering merasakan emosi positif dibandingkan
emosi negatif dan mencapai subjective well being.
Penilaian yang positif atas kehidupan orangtua anak berkebutuhan khusus
dapat mengindikasikan adanya subjective well being, orangtua anak
berkebutuhan khusus akan terlihat mempunyai harga diri yang positif,
pengendalian diri yang baik, keterbukaan, hubungan sosial yang positif, memiliki
arti dan tujuan dalam memandang kehidupan, dan dapat mengatasi konflik
psikologis.
E. Kerangka Berfikir
Gambar 1. Kerangka Berfikir
Pada uraian latar belakang telah dipaparkan bahwa orangtua mempunyai
peran yang utama dan pertama di dalam keluarga, khususnya bertanggung jawab
terhadap perkembangan anak perlu menyiapkan diri untuk memberikan pelayanan
yang optimal kepada anaknya termasuk dalam memenuhi hak dan kebutuhan anak Subjective Well Being :
Harga Diri Positif Pengendalian Diri Keterbukaan Optimis
Hubungan Positif
Nilai Makna Dan Tujuan Hidup Penyelesaian Konflik Diri
Orangtua Anak Berkebutuhan Khusus
Rendah Tinggi
Beban Psikologis
Kebersyukuran : Penghargaan Orang Lain Kepemilikan
Momen Pemberian Ritual
Perasaan Akan Kekaguman Pembandingan Diri / Sosial Kekhawatiran Eksitensial Perilaku Kebersyukuran
serta menyiapkan masa depan anak. Setiap orang tua pasti mendambakan anaknya
sehat, cerdas, berhasil dalam pendidikannya, dan sukses dalam hidupnya.
Orangtua merasa bangga dan bahagia ketika harapan tersebut menjadi kenyataan.
Namun, tidak semua individu dilahirkan sesuai keinginan dan harapan orangtua,
beberapa di antaranya lahir dengan keterbatasan baik secara fisik maupun psikis
atau anak berkebutuhan khusus.
Somantri (2006) mengatakan beban psikologis yang dirasakan oleh para
orangtua dan keluarga anak berkebutuhan khusus berupa beban emosional,
perasaan kasihan yang berlebihan, perasaan bersalah, kurang percaya diri,
perasaan berdosa, bingung, dan malu serta masih banyak beban psikologis yang
lain. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan orangtua yang memiliki
anak berkebutuhan khusus dipandang tetap bisa untuk meraih subjective well
being dengan berbagai latar belakang kehidupan yang ada. Subjective well being
dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal.
Sesuai dengan fenomena yang diperoleh dalam studi pendahuluan,
kebersyukuran diindikasikan menjadi faktor yang dapat mempengaruhi subjective
well being yang timbul secara internal dari dalam diri individu. Jika
kebersyukuran orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus rendah maka
subjective well being yang dimiliki orangtua rendah, begitu pula sebaliknya, jika
kebersyukuran yang dimiliki orangtua yang memiliki anak berkebutuhan khusus
tinggi maka subjective well being yang dimiliki juga tinggi.
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada pengaruh
kebersyukuran terhadap subjective well being orangtua anak berkebutuhan