• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Perilaku Bullying. atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggungjawab, berulang dan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. A. Perilaku Bullying. atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggungjawab, berulang dan dengan"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Perilaku Bullying

1. Pengertian Perilaku Bullying

Rigby (2003) mendefinisikan bullying sebagai hasrat untuk menyakiti yang diperlihatkan dalam aksi yang menyebabkan seseorang yang disebut korban menjadi menderita. Aksi ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat, tidak bertanggungjawab, berulang dan dengan perasaan senang dari si pelakunya. Sementara itu, perilaku bullying menurut Cowie dan Jennifer (2008) adalah perilaku yang ditujukan untuk menyakiti individu lain, terjadi berulang-ulang tidak hanya dalam sekali waktu saja, dan ada kesenjangan kekuatan. Biasanya korban merupakan individu yang memiliki kekuatan lebih lemah dari si pelaku. Olweus (1993) menuturkan bahwa bullying berbeda dengan perilaku agresif karena bullying tidak hanya dilakukan sekali saja tetapi repetitif atau berulang kali.

Perilaku bullying menurut Coloroso (2007) adalah perilaku intimidasi yang dilakukan pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah dan dapat mengambil beberapa bentuk, artinya ada kedua belah pihak yang memiliki ketidaksetaraan kekuatan, terjadi berulang, berbentuk kekerasan sistematik untuk mengintimidasi dan memelihara dominasi. Cara dan gaya pelaku tindakan bullying mungkin berbeda tetapi para pelaku bullying

(2)

commit to user

memiliki karakteristik yang sama (Coloroso, 2007). Karakteristik yang dimaksud adalah:

a. Suka mendominasi orang lain.

b. Suka memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.

c. Sulit melihat situasi dari titik pandang orang lain.

d. Hanya peduli pada keinginan dan kesenangan mereka sendiri, bukan pada kebutuhan, hak-hak, dan perasaan-perasaan orang lain.

e. Cenderung melukai anak-anak lain ketika orangtua atau orang dewasa lainnya tidak ada di sekitar mereka.

f. Memandang saudara-saudara atau rekan-rekan yang lebih lemah sebagai mangsa.

g. Menggunakan kesalahan, kritikan dan tuduhan yang keliru untuk memproyeksikan ketidakcakapan mereka pada targetnya.

h. Tidak mau bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka.

i. Tidak memiliki pandangan terhadap masa depan yaitu tidak mampu memikirkan konsekuensi jangka pendek, jangka panjang, serta yang mungkin tidak diinginkan dari perilaku mereka saat itu.

j. Haus perhatian.

Karakteristik pelaku bullying juga terlihat secara afektif (Field, dalam Rigby, 2003) yaitu:

a. Tidak stabil secara emosional.

(3)

commit to user

c. Kurang kepedulian terhadap orang lain. d. Moody dan tidak konsisten.

e. Mudah marah dan impulsif

f. Tidak memiliki perasaan bersalah atau menyesal.

Berdasarkan uraian diatas, perilaku bullying dapat didefinisikan sebagai perilaku yang ditujukan untuk mendominasi individu atau sekelompok individu yang dilakukan secara berulang kali oleh individu atau sekelompok individu yang lebih kuat.

2. Unsur-unsur Perilaku Bullying

Unsur-unsur perilaku bullying menurut Coloroso (2007) ada empat yaitu ketidakseimbangan kekuatan, niat untuk mencederai, ancaman agresi lebih lanjut atau berulang dan teror. Unsur-unsur tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Ketidakseimbangan kekuatan

Individu yang melakukan perilaku bullying biasanya memiliki kecenderungan lebih tua secara usia, lebih besar, lebih kuat, lebih mahir secara verbal, lebih tinggi secara status sosial dan adanya perbedaan gender. Individu atau kelompok individu yang berkumpul bersama-sama untuk memulai tindakan penindasan dapat menciptakan ketidakseimbangan. Penindasan lebih dipandang sebagai sesuatu perselisihan yang melibatkan dua pihak yang setara.

(4)

commit to user

b. Niat untuk mencederai

Perilaku bullying berakibat kepedihan emosional dan/atau luka fisik, diperlukan tindakan dari pelaku bullying untuk melukai korbannya dan perilaku pelaku tersebut menimbulkan rasa senang dihati si pelaku bullying terlebih ketika korbannya menunjukkan rasa tertindas. Tidak ada unsur ketidaksengajaan dalam perilaku bullying.

c. Ancaman agresi lebih lanjut/berulang

Perilaku bullying yang termasuk salah satu bentuk agresi dapat tercipta ketika dilakukan berulang kali. Pelaku ataupun korban bullying mengetahui bahwa peristiwa penindasan tersebut dapat dan akan terjadi kembali.

d. Teror

Salah satu tujuan dari perilaku bullying adalah didapatkannya kekuasaan yang mendominasi korban. Teror yang dirasakan oleh korban bullying bukan hanya merupakan sebuah cara untuk mencapai tujuan penindasan, teror itu sendirilah yang menjadi tujuan penindasan.

3. Aspek Perilaku Bullying

Coloroso (2007) membagi perilaku bullying menjadi tiga aspek, yaitu bullying dari aspek verbal, fisik, dan sosial. Aspek perilaku bullying tersebut diuraikan sebagai berikut:

a. Bullying verbal

Bullying verbal merupakan perilaku bullying yang paling umum dilakukan, baik oleh laki-laki ataupun perempuan mulai dari usia muda

(5)

commit to user

hingga tua. Karakteristik bullying verbal adalah cepat dan tidak menyakitkan sang penindas tetapi dapat sangat melukai sang korban. Perilaku yang digolongkan sebagai bullying verbal adalah pemberian julukan nama, celaan, fitnah, kritik kejam, penghinaan dan pernyataan yang bernuansa seksual. Selain itu bullying secara verbal dapat pula berupa perampasan uang jajan atau barang, telepon yang kasar, e-mail yang mengintimidasi, surat kaleng yang berisi ancaman kekerasan, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, dan kasak-kusuk yang keliru atau gosip. Dari ketiga aspek bullying, bullying verbal merupakan hal yang paling mudah dilakukan dan kerap menjadi pintu masuk menuju kedua jenis bullying lainnya.

b. Bullying fisik

Walaupun bullying fisik lebih mudah diidentifikasi dan tampak daripada jenis perilaku bullying yang lain, namun kejadian perilaku bullying fisik tidak lebih banyak daripada kejadian bullying verbal dan sosial. Perilaku yang termasuk dalam bullying fisik adalah memukul, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, memiting, mencakar, meludahi korban, menekuk anggota tubuh korban yang ditindas, dan merusak serta menghancurkan barang sang korban.

c. Bullying sosial atau relasional

Bullying sosial ini paling sulit diidentifikasi dari luar. Bullying sosial mengarah pada pelemahan harga diri korban penindasan secara sistematis melalui pengabaian, pengucilan, pengecualian, atau penghindaran.

(6)

commit to user

Penghindaran sendiri merupakan suatu tindakan penyingkiran dan merupakan alat penindasan terkuat. Bullying sosial atau relasional ini dapat digunakan untuk mengasingkan atau menolak teman atau sengaja dilakukan untuk merusak persahabatan. Perilaku ini mencakup sikap-sikap terselubung seperti pandangan yang agresif, lirikan mata, helaan nafas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek, dan bahasa tubuh yang kasar. Bullying sosial adalah bullying yang paling sering terjadi pada masa remaja.

Cowie dan Jennifer (2008) mengungkapkan bullying menjadi tiga aspek yaitu bullying fisik, bullying verbal dan bullying tidak langsung yang diuraikan sebagai berikut:

a. Bullying fisik yang terdiri dari tindakan mendorong, memukul, memiting dan menendang

b. Bullying verbal yang terdiri dari tindakan mengejek, mengolok-olok, memberi sebutan nama.

c. Bullying tidak langsung yang terdiri dari tindakan menyebarkan rumor, mengucilkan seseorang dari kelompok, dan menyingkap rahasia seseorang pada orang yang lain.

Berdasarkan uraian diatas, penelitian ini menggunakan aspek perilaku bullying yang dikemukakan oleh Coloroso (2007) yaitu bullying verbal, fisik dan sosial dengan alasan bahwa aspek-aspek yang dikemukakan oleh Coloroso lebih spesifik dan komprehensif dalam mengungkap perilaku bullying serta sesuai dengan karakteristik subjek penelitian.

(7)

commit to user

4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying

Faktor yang mempengaruhi perilaku bullying menurut Novianti (2008) adalah faktor keluarga, kepribadian dan sekolah. Uraiannya adalah sebagai berikut:

a. Faktor keluarga

Remaja yang tumbuh dalam keluarga yang agresif dan berlaku kasar akan cenderung meniru kebiasaan tersebut dalam kesehariannya. Kurangnya perhatian dari keluarga terhadap remaja juga dapat menyebabkan terbentuknya perilaku bullying.

b. Faktor kepribadian

Komponen pembentuk kepribadian terdiri dari integrasi antara aspek kognitif, afektif, konatif dan psikomotorik. Salah satu pembentuk kepribadian individu dari aspek afektif adalah temperamen. Temperamen sendiri merupakan karakteristik atau kebiasaan yang terbentuk dari respon emosional. Kemampuan individu dalam mengatur emosinya akan mengarahkan perilaku individu tersebut kearah yang konstruktif. Ketika emosi individu tidak dapat dikontrol maka perkembangan tingkah laku personalitas dan interaksi sosial individu tersebut dapat terganggu. Individu dengan kepribadian yang positif akan menunjukkan perilaku yang positif pula dilingkungannya.

c. Faktor sekolah

Tingkat pengawasan guru disekolah menentukan angka kejadian bullying di sekolah. Semakin guru menaruh perhatian dan pengawasan terhadap

(8)

commit to user

perilaku siswa-siswanya terutama perilaku negatif akan mempengaruhi angka kejadian bullying disekolah.

Faktor lain yang mempengaruhi perilaku bullying menurut Kalat (2007) adalah faktor genetik, perbedaan gender, keluarga dan lingkungan, serta efek kekerasan di media yang akan diuraikan sebagai berikut:

a. Genetik

Lyons dengan penelitiannya mengenai agresivitas dengan subyek anak kembar menunjukkan hasil bahwa kesamaan gen akan menghasilkan kemiripan sifat juga, termasuk sifat agresif (dalam Kalat, 2007).

b. Perbedaan gender

Penelitian oleh Thomas (dalam Kalat, 2007) menunjukkan bahwa laki-laki lebih cenderung secara frontal melakukan perilaku bullying daripada wanita, dan perilaku bullying pria lebih merujuk pada bentuk bullying fisik sedangkan wanita lebih merujuk pada bentuk bullying secara sosial. c. Keluarga dan lingkungan

Keluarga sebagai tempat anak merasa aman dan nyaman terkadang tidak dapat memberikan fungsinya dengan baik, sehingga anak cenderung menunjukkan perilaku kurang tepat alih-alih untuk mendapatkan perhatian. Ketika indikasi perilaku bullying sudah muncul, terkadang keluarga dan lingkungan sekitar kurang memperhatikan sehingga tidak tertangani dengan baik dan memberikan dampak negatif bagi anak tersebut.

(9)

commit to user

d. Efek kekerasan yang dimuat media

Media seringkali memuat konten perilaku bullying tanpa memikirkan dampak kedepannya bagi anak-anak. Pengkaburan nilai-nilai dan norma sosial dalam bentuk penyimpangan perilaku banyak ditampilkan, sehingga anak-anak cenderung menangkap hal tersebut sebagai suatu hal yang normal dan selanjutnya akan mereka contoh salah satu manifestasinya adalah dalam perilaku bullying yang terutama marak terjadi di sekolah.

Berdasarkan faktor-faktor tersebut dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying dipengaruhi oleh faktor internal yaitu genetik, kepribadian, dan perbedaan gender serta faktor eksternal yaitu keluarga, sekolah, lingkungan dan efek kekerasan yang dimuat media.

B. Regulasi Emosi

1. Pengertian Regulasi Emosi

Hude (2006) mendefinisikan regulasi emosi sebagai suatu proses integral yang memiliki empat komponen yaitu objek, penilaian, fisiologis, kecenderungan aksi dan ekspresi. Pada kenyataannya kita sering mengendalikan emosi secara otomatis atau spontan. Menurut Hurlock (2002) regulasi emosi adalah mengarahkan energi emosi ke saluran ekspresi yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial. Mengendalikan emosi sebelum melakukan suatu tindakan adalah hal yang sulit tetapi dapat menghentikan

(10)

commit to user

atau mengatur emosi yang muncul sebelum melakukan aksi dalam peristiwa-peristiwa tertentu (Hude, 2006).

Gross (2008) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses yang bermacam-macam dimana individu dipengaruhi secara sadar dan suka rela oleh emosi yang mereka alami, kapan dan bagaimana mereka mengalami dan bagaimana mereka mengekspresikan emosi yang dialami tersebut. Proses tersebut meliputi menurunkan (decreasing), memelihara (maintaining) dan menaikkan emosi negatif dan emosi positif, dengan menggunakan proses-proses kognitif seperti rasionalisasi, penilaian kembali (reappraisal) dan penekanan (suppression).

Thompson (1994) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung jawab memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosi secara intensif dan khusus untuk mencapai suatu tujuan. Individu harus dapat mengontrol emosi negatifnya sehingga reaksi emosi negatif dapat diminimalisir. Gross (2008) mengemukakan bahwa regulasi emosi sebagai hasil pemikiran dan perilaku yang dipengaruhi oleh emosi, ketika individu mengalami emosi dan bagaimana cara individu tersebut mengekspresikan emosi. Menurut Campos (dalam Putnam, 2005) mendefinisikan regulasi emosi sebagai modifikasi dari beberapa proses yang membangkitkan emosi atau proses manifestasi emosi dalam perilaku.

Gross (2008) mengatakan bahwa setiap individu memiliki emosi positif maupun emosi negatif. Emosi positif lebih menguntungkan individu dibandingkan dengan emosi negatif yang cenderung merugikan psikis

(11)

commit to user

ataupun fisik. Emosi terutama emosi negatif yang dialaminya seperti perasaan sedih, marah, benci, kecewa, atau frustasi membutuhkan pengendalian agar dalam penyalurannya tidak menimbulkan permasalahan. Selanjutnya kemampuan regulasi emosi berperan penting bagi individu untuk melakukan coping terhadap berbagai masalah yang mendorong individu mengalami kecemasan.

Thompson (1994) menunjukkan proses regulasi emosi berperan penting dan berkedudukan pada fungsi yang utama yaitu untuk memperoleh emosi yang adaptif dan perilaku yang terorganisir. Peran efektif regulasi emosi antara lain menanggapi emosi secara fleksibel, merespon sesuai dengan situasi, menaikkan penampilan dan merubah secara cepat dan efektif respon emosi untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.

Berdasarkan pendapat para ahli maka dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi adalah proses pengendalian emosi dengan cara memonitor, mengevaluasi dan memodifikasi reaksi emosi secara intensif agar dapat diterima secara sosial untuk mencapai suatu tujuan.

2. Aspek-aspek Regulasi Emosi

Aspek regulasi emosi menurut Thompson (1994) adalah emotions monitoring, emotions evaluating dan emotions modifications yang akan diuraikan sebagai berikut:

a. Memonitor emosi (emotions monitoring)

Memonitor emosi artinya individu benar-benar menyadari dan memahami proses yang terjadi di dalam dirinya secara komprehensif,

(12)

commit to user

baik perasaannya, pikirannya, dan tindakannya. Individu tersebut mampu mengenali hubungan antara emosi dan pikirannya kemudian mampu membuat individu memahami setiap emosinya yang muncul sehingga aspek ini mendasari aspek lainnya.

b. Mengevaluasi emosi (emotions evaluating)

Mengevaluasi emosi yaitu individu mengelola dan menyeimbangkan emosi-emosi yang dirasakannya. Ketika individu memiliki kemampuan mengelola emosi, khususnya emosi negatif seperti kemarahan, kesedihan, kecewa, dendam, dan benci maka akan membuat individu tidak terbawa dan terpengaruh emosi negatifnya sendiri, sehingga mengakibatkan kelumpuhan individu untuk berpikir rasional. Tidak hanya sebatas mengelola emosi, individu tersebut juga harus mampu menyeimbangkan emosi dengan cara yang dikenal yaitu memprediksi dan mengontrol syarat-syarat terjadinya emosi seperti tempat dan situasi yang biasa ditemui.

c. Memodifikasi (emotions modifications)

Individu memiliki kemampuan merubah emosi sedemikian rupa sehingga mampu memotivasi diri terutama ketika individu berada dalam keadaan putus asa, cemas dan marah (Thompson, 1994). Memodifikasi meliputi pemilihan respon yang adaptif yaitu pemilihan ekspresi emosi dengan cara yang sesuai dengan tujuan dan situasi, karena individu berarti mempelajari adaptasi respon yang sesuai maka kemampuan ini akan

(13)

commit to user

membuat individu dapat bertahan dalam persoalan yang dihadapi dan tidak mudah putus asa.

Gratz dan Roemer (2004) menyatakan bahwa regulasi emosi memiliki empat dimensi yaitu menyadari dan memahami emosi, menerima emosi, kemampuan berperilaku mencapai tujuan dan menahan diri dari perilaku impulsif, serta mampu menentukan strategi mengelola emosi yang dirasa efektif. Dimensi-dimensi ini berkembang menjadi 6 indikator kesulitan dalam regulasi emosi yaitu:

a. Nonacceptance of emotional responses (Nonacceptance)

Kecenderungan untuk memiliki respon emosi negatif yang lebih besar ketika menghadapi permasalahan dan tidak dapat menerima atau reaksi penolakan terhadap stress.

b. Difficulties engaging in goal-directed behaviour (Goals)

Kesulitan berkonsentrasi dan menyelesaikan tugas ketika berada dalam emosi negatif.

c. Impulse control difficulties (Impulse)

Kesulitan mengontrol perilaku ketika menghadapi emosi negatif. d. Lack of emotional awareness (Awareness)

Kecenderungan individu untuk sulit mengakui dan merasakan emosinya. e. Limited access to emotion regulation strategies (Strategies)

Kepercayaan bahwa ada keterbatasan dalam mengelola emosi secara efektif ketika individu dihadapkan pada situasi dengan emosi negatif.

(14)

commit to user

f. Lack of emotional clarity (Clarity)

Kesulitan untuk memperluas apa yang individu ketahui dari pengalaman emosi yang pernah dihadapi.

Penelitian ini menggunakan aspek regulasi emosi menurut Gratz dan Roemer (2004) hal ini dilakukan dengan dasar pertimbangan menurut peneliti aspek-aspek tersebut mengungkap kemampuan individu dalam merubah emosi yang dialami sehingga dapat mengekspresikan emosi secara intensif dan dapat diterima secara sosial.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi

Faktor-faktor yang mempengaruhi regulasi emosi adalah perbedaan gender, usia, kognitif, sosial, budaya, motivasi dan norma yang akan diuraikan sebagai berikut:

a. Perbedaan gender

Goldin, McRae, Ramel dan Gross (2008) dalam penelitiannya mengenai regulasi emosi secara neural menyatakan bahwa perbedaan jenis kelamin berpengaruh dalam regulasi emosi seseorang. Hal ini terkait dengan respon amygdala yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Dibanding perempuan, laki-laki memperlihatkan lebih sedikit peningkatan dalam area prefrontal yang berhubungan dengan reappraisal, selain itu laki-laki mengalami penurunan yang lebih besar dalam amygdala yang berhubungan dengan respon emotional, lalu perluasan area ventral striatal nya lebih sedikit dibanding perempuan. Hal ini berkaitan dengan reward processing yang merupakan

(15)

commit to user

mekanisme stimulus dengan valensi appetitive yaitu menimbulkan perasaan menyenangkan dan menimbulkan emosi positif.

b. Usia

Calkins (dalam Gross, 2008) menyatakan bahwa lobus frontalis bertanggungjawab dalam perilaku menghindar atau mendekat terhadap stimulus yang menimbulkan emosi. Kemampuan ini semakin berkembang seiring usia, dari kemampuan instrumental hingga bersifat afektif dan kognitif. Implikasi lain dari faktor biologis ini adalah bahwa kemampuan regulasi emosi pada seseorang pada awal-awal usia kehidupan lebih dilakukan secara ekstrinsik dalam arti lebih diregulasi oleh pihak eksternal dirinya yaitu pengasuh dan figur lekatnya. Seiring meningkatnya usia bentuk regulasi emosi dari yang bersifat interpersonal atau lebih dipengaruhi faktor eksternal menjadi lebih bersifat intrapersonal atau bersifat internal, dilakukan secara mandiri baik instrumental maupun kognitif.

c. Kognitif

Philippot (2004) menyatakan bahwa regulasi emosi melibatkan seluruh domain penting dari kognisi seperti persepsi, perhatian (attention), memori, pembuatan keputusan dan kesadaran (consciusness), kemudian dengan konsep dual memory modelnya, ia menyebutkan bahwa regulasi emosi dapat dicapai secara tidak langsung dengan melakukan feedback loops yang memelihara dan meningkatkan aktivasi schema.

(16)

commit to user

d. Sosial

Keluarga dan teman sebaya dianggap dapat menjadi komponen dalam konstruksi sosial pada berbagai keadaan individu. Begitu pula regulasi emosi dibentuk oleh berbagai pengaruh ekstrinsik yang berinteraksi dengan pengaruh intrinsik dari sudut perkembangan. Thompson dan Meyer (dalam Gross, 2008) menyatakan bahwa regulasi emosi dipengaruhi oleh keluarga dan teman sebaya. Teman sebaya penting dalam perkembangan kemampuan regulasi emosi pada konteks di luar rumah dan keluarga dalam konteks di dalam rumah. Pada faktor keluarga, kualitas hubungan orangtua dan anak menjadi dasar utama yang berpengaruh terhadap regulasi emosi. Anak yang memiliki secure attachment dengan orangtuanya cenderung lebih sadar diri secara emosional, menerima pemahaman emosi yang lebih besar dan mengembangkan kapasitas untuk mengatur emosi yang tepat di lingkungannya, menyediakan sumber dukungan yang dapat diandalkan. Sebaliknya, anak dengan insecure relationship yang mempunyai ibu kurang sensitif dan memiliki respon yang tidak konsisten terhadap perasaan anaknya, serta kurang membuat nyaman ketika berbicara tentang kesulitan emosi yang dialami sang anak tersebut, anak ini cenderung terbatas dalam memahami emosi dan sulit dalam melakukan regulasi emosi terutama dalam keadaan stress, hal ini terjadi karena kurangnya support dalam hubungan orangtua dan anak. Anak ini dapat

(17)

commit to user

memperlihatkan disregulasi emosi dengan memperlihatkan peningkatan emosi negatif yang tidak teratur.

e. Budaya

Mesquita dan Markus (2004) menyatakan bahwa cultural models theory menekankan bahwa proses sosial dan psikologis bermakna secara bervariasi di berbagai budaya dan begitu pula dalam hal regulasi emosi. Regulasi emosi tidak hanya berkaitan dengan proses intrapersonal, akan tetapi emosi di regulasi sesuai dengan dimana dan bagaimana cara individu tersebut menjalani kehidupan. Regulasi emosi terjadi pada tataran budaya praktis melalui penstrukturan situasi sosial dan dinamika interaksi sosial, usaha orang terdekat untuk memodifikasi situasi individu yang bersangkutan, fokus perhatian seseorang atau makna yang diambil dalam berbagai situasi, dan kesempatan yang tersedia dalam perilaku emosional dalam hal ini regulasi emosi. Kemudian dalam tataran kecenderungan psikologis individu menunjukkan perbedaan budaya melalui orientasi yang berbeda seperti menghindari atau menghadapi suatu situasi tertentu, perspektif umum tentang situasi dan makna yang menonjol didalamnya, dan kecenderungan perilaku yang berkaitan dengan emosi yang ada. Aspek budaya ini menjadi berhubungan pula dengan motivasi, regulasi emosi dimotivasi oleh kebutuhan untuk menjaga hubungan baik dengan orang lain.

(18)

commit to user

f. Motivasi

Motivasi berperan dalam terbentuknya regulasi emosi, hal ini sebetulnya terkait juga dengan aspek budaya, selanjutnya motivasi sosial bisa membentuk regulasi emosi yang dilakukan. Menurut Fischer (Philipot, 2004) orang cenderung menginginkan situasi yang nyaman dan kemudian ia menghindari keadaan negatif dalam arti hubungan interpersonal. Selanjutnya Fischer membedakan tiga perbedaan tipe motivasi pada level interpersonal yaitu: Impression management, dalam tipe ini individu melakukan regulasi emosi dengan menghindari penilaian yang tidak menyenangkan atau tidak menguntungkan yang dikarenakan potensial terjadinya ketidaktepatan emosi mereka. Prosocial motive, tipe ini menunjukkan bahwa individu termotivasi untuk tidak melukai orang lain atau bahkan melindungi orang lain. Influence, tipe ini merupakan tipe dimana seseorang ingin mempengaruhi orang lain.

g. Norma

Norma sebenarnya berkaitan dengan aspek lain yang telah dibahas sebelumnya seperti budaya, motivasi dan gender, akan tetapi Fischer (dalam Philippot, 2004) menyebutkan bahwa norma berperan penting dalam regulasi emosi yaitu dalam usaha pemeliharaan harmoni sosial dengan menekan emosi negatif terhadap orang lain dilingkungannya.

(19)

commit to user

C. Self-Esteem

1. Pengertian Self-esteem

Baron et al (dalam Sarwono, 2009) mendefinisikan self-esteem adalah sesuatu yang menunjukkan keseluruhan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, baik positif maupun negatif. Jika seseorang menilai dirinya secara positif maka orang tersebut akan menjadi percaya diri dalam hal yang dikerjakannya dan mendapatkan hasil yang positif juga, begitu pula sebaliknya. Pendapat lain dari McKay dan Fanning (2000) yaitu self-esteem merujuk pada penerimaan dan tindakan tidak menghakimi pada diri sendiri dan orang lain.

Self-esteem juga disebut sebagai self-worth tetapi bukan merupakan self-love karena self-esteem lebih menitik beratkan pada evaluasi individu pada dirinya sendiri (Frey dan Carlock, 1984). Individu dengan self-esteem yang tinggi menghargai dirinya sendiri, mengetahui kebermaknaan dirinya dan memandang dirinya setara dengan orang lain. Individu tersebut tidak memaksa dirinya menjadi sempurna, menyadari keterbatasannya dan selalu berusaha untuk mengembangkan diri. Berkebalikan dengan itu, individu dengan self-esteem yang rendah pada umumnya melakukan penolakan pada dirinya sendiri, ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri dan meremehkan dirinya sendiri. Senada dengan pernyataan itu, Santrock (2007) menyebutkan bahwa self-esteem merupakan evaluasi diri yang bersifat global atau menyeluruh.

(20)

commit to user

Coopersmith (1967) mendefinisikan self-esteem sebagai penilaian atau evaluasi terhadap diri sendiri yang didapatkan individu dari interaksinya dengan orang-orang yang ada disekitarnya, serta dari penerimaan, penghargaan dan perlakuan orang lain yang didapatkan oleh individu tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa self-esteem merupakan penilaian atau evaluasi individu terhadap dirinya sendiri dalam dimensi positif sampai negatif atau tinggi sampai rendah yang diperoleh dari interaksi individu tersebut dengan orang-orang disekitarnya, serta dipengaruhi pula dengan perasaan yakin pada kemampuannya, berharga dan bermakna.

2. Aspek-Aspek Self-esteem

Rosenberg (dalam Coopersmith, 1967) menjelaskan empat aspek self-esteem yang meliputi keberartian, kekuatan, kompetensi dan kebajikan. Keempat aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Keberartian

Keberartian dari individu dirasakan dari adanya penerimaan, penghargaan, kasih sayang dan perhatian dari orang-orang disekitar individu tersebut. Perhatian dan penerimaan akan ditunjukkan dengan adanya sikap hangat dari lingkungan, popularitas dan dukungan dari keluarga. Lingkungan tanggap akan keberadaan individu tersebut, tertarik akan kehadirannya, dan menyukai individu tersebut apa adanya. Semakin banyak ekspresi kasih sayang yang diterima individu, maka individu tersebut akan semakin merasa berarti tetapi apabila individu tidak atau

(21)

commit to user

jarang mendapatkan stimulasi positif dari orang-orang disekitarnya, maka kemungkinan besar individu tersebut akan merasa tidak diterima oleh lingkungannya dan cenderung akan mengisolasi dirinya sendiri.

b. Kekuatan

Kekuatan dari individu yang digunakan untuk mempengaruhi dan mengontrol perilakunya sendiri ataupun orang lain. Kekuatan disini lebih ditunjukkan dengan adanya penghargaan dan penghormatan dari orang lain. Individu yang memiliki kekuatan biasanya akan menunjukkan sikap asertif dan memiliki semangat yang tinggi.

c. Kompetensi

Kompetensi ditunjukkan dengan adanya kemampuan yang cukup sesuai dengan usia individu tersebut. individu yang memiliki kompetensi diri yang baik akan merasa bahwa orang lain disekitarnya akan memberikan dukungan kepadanya, sehingga individu tersebut lebih percaya diri mengatasi setiap permasalahan yang ia hadapi dalam kehidupan dan lingkungannya.

d. Kebajikan

Kebajikan ditunjukkan dengan adanya kesesuaian perilaku individu dengan moral, norma dan etika yang berlaku dilingkungannya. Kebajikan tidak terlepas dari hal-hal yang terkait peraturan dan norma yang berlaku dalam masyarakat serta hal-hal yang terkait dengan nilai kemanusiaan dan ketaatan dalam beragama. Kesesuaian perilaku individu dengan moral dan standar etika dipelajari individu dari nilai-nilai yang

(22)

commit to user

ditanamkan oleh orangtua sehingga individu dapat memiliki penilaian perilaku yang benar dan yang salah. Ketika individu melakukan perilaku yang benar dan sesuai dengan norma yang berlaku dilingkungannya maka ia akan cenderung dianggap baik oleh lingkungannya dan memunculkan penilaian positif terhadap dirinya sendiri sebagai individu.

Aspek self-esteem menurut Brown (dalam Santrock, 2003) yaitu global self-esteem, self-evaluation dan emotion yang akan diuraikan sebagai berikut:

a. Global self-esteem

Variabel keseluruhan dalam diri individu dan relatif menetap dalam berbagai waktu dan situasi.

b. Self-evaluation

Cara seseorang dalam mengevaluasi variabel dan atribusi yang terdapat pada diri mereka.

c. Emotion

Keadaan emosi sesaat terutama seseuatu yang muncul sebagai konsekuensi positif dan negatif. Hal ini terlihat ketika seseorang menyatakan bahwa pengalaman yang terjadi pada dirinya meningkatkan self-esteem atau menurunkan self-esteem mereka.

Penelitian ini menggunakan aspek self-esteem yang dikemukakan oleh Rosenberg (dalam Coopersmith, 1967) yaitu keberartian, kekuatan, kompetensi dan kebajikan karena menurut peneliti aspek-aspek tersebut dapat

(23)

commit to user

menunjukkan keseluruhan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, baik positif maupun negatif.

3. Tingkatan Self-esteem

Baron dan Bryne (2004) mengemukakan bahwa self-esteem memiliki rentang dimensi positif hingga negatif atau tinggi hingga rendah. Individu yang memiliki self-esteem tinggi menyukai dirinya sendiri dan ia memiliki evaluasi diri yang positif baik berdasarkan dirinya sendiri maupun yang ia dapatkan dari opini orang lain. Browne (dalam Baron dan Byrne, 2004) mengemukakan bahwa seseorang cenderung menilai dirinya sendiri atas perbandingan sosial dan norma sosial. Individu dengan self-esteem yang tinggi cenderung memfokuskan diri pada kekuatan diri mereka dan mampu mengingat peristiwa menyenangkan dengan lebih baik, sehingga akan membantu individu tersebut untuk mempertahankan evaluasi diri positifnya. Individu yang memiliki self-esteem rendah cenderung memiliki kemampuan sosial yang kurang, merasa kesepian, merasa depresi dan hasil pekerjaan yang kurang baik. Individu dengan self-esteem rendah lebih mudah mengekspresikan kemarahannya secara terbuka sehingga akan mempertahankan evaluasi dirinya yang negatif. Kemis (dalam Baron dan Bryne, 2004) mengemukakan bahwa self-esteem rendah berhubungan dengan determinasi diri yang rendah, konsep diri yang kurang jelas dan memiliki ketegangan dalam mencapai tujuannya.

Menurut Coopersmith (1967) individu dengan self-esteem yang tinggi akan menunjukkan ciri perilaku sebagai berikut:

(24)

commit to user

a. Menganggap diri sendiri sebagai orang yang berharga dan sama baiknya dengan orang lain dan menghargai orang lain.

b. Dapat mengontrol tindakannya terhadap lingkungan dan dapat menerima kritik dengan baik.

c. Menyukai tugas baru dan menantang serta tidak cepat bingung bila sesuatu berjalan diluar rencana.

d. Berhasil dibidang akademik, aktif dan dapat mengekspresikan dirinya dengan baik.

e. Tidak menganggap dirinya sempurna, tetapi tahu keterbatasan diri dan mau mengembangkan diri.

f. Memiliki nilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. g. Lebih bahagia dan efektif menghadapi tuntutan dari lingkungan.

Individu dengan self-esteem yang rendah akan menunjukkan ciri perilaku sebagai berikut:

a. Sulit mengontrol tindakan dan perilakunya terhadap lingkungan dan kurang dapat menerima kritik serta saran dari orang lain.

b. Kurang dapat membina hubungan sosial dengan orang lain. c. Sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan.

d. Tidak yakin akan kemampuan diri sendiri. e. Kurang mengekspresikan diri dengan baik.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa individu dengan self-esteem yang tinggi memiliki konsekuensi perilaku yang positif,

(25)

commit to user

sebaliknya individu dengan self-esteem yang rendah memiliki konsekuensi perilaku yang cenderung negatif.

4. Faktor yang mempengaruhi Self-esteem

Faktor yang mempengaruhi self-esteem dibagi menjadi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi self-esteem menurut Coopersmith (1967) adalah lingkungan keluarga dan lingkungan sosial yang diuraikan sebagai berikut:

a. Lingkungan keluarga

Self-esteem dipengaruhi oleh hubungan dengan orang tua atau orang tua pengganti dan bagaimana orang-orang disekeliling individu memperlakukan individu itu selama masa-masa perkembangannya. Harapan, cita-cita, kasih sayang, kehangatan dan penerimaan merupakan faktor yang penting dalam mencapai self-esteem positif. Self-esteem positif merupakan hasil dari penerimaan atau dukungan orang tua dan kebebasan individu untuk berperilaku dalam cara yang realistis.

b. Lingkungan sosial

Pembentukan self-esteem tidak terlepas dari pengaruh lingkungan sosial karena self-esteem terbentuk dari interaksi dengan lingkungan. Lingkungan memberikan dampak yang besar terhadap seseorang melalui interaksi yang baik antara individu satu dengan individu yang lain dalam lingkungan sosialnya. Ketika lingkungan memberikan respon yang positif terhadap seseorang, maka dalam diri individu tersebut akan muncul rasa

(26)

commit to user

aman dan nyaman berada dalam lingkungan sosialnya dan membentuk self-esteem yang positif bagi dirinya.

Faktor internal yang mempengaruhi self-esteem menurut McKay dan Fanning (2000) adalah permasalahan terkait kondisi psikologis seseorang yang lebih lanjut diuraikan sebagai berikut:

a. Emosi

Kesulitan mengendalikan dan mengatur emosi sangat berpengaruh pada pikiran yang selanjutnya akan termanifestasikan dalam self-esteem individu. Emosi negatif yang tidak dapat tertangani dengan baik biasanya akan memberikan konsekuensi negatif pula.

b. Overgeneralization

Ketika menghadapi sekali kegagalan, individu terkadang cenderung menjadi patah semangat lalu menyamaratakan bahwa setiap usaha yang akan dilakukannya juga pasti akan gagal lagi.

c. Global labeling

Mengkotak-kotakkan pikiran dengan memberikan stereotip pada diri sendiri dan orang lain berdasakan kelas sosial, perilaku dan pengalaman. Individu dengan self-esteem rendah biasanya memposisikan dirinya dalam masyarakat sebagai tokoh yang negatif (orang jahat atau orang yang tolol).

d. Filtering

Kekakuan individu dalam menerima kritik atau saran dari orang lain. Individu tersebut cenderung menolak untuk menerima kriktikan orang

(27)

commit to user

lain atau hal yang tidak ia sukai dan ketika ia menerima kritikan tersebut hal itu akan membuatnya patah semangat dan berfokus pada kekurangannya saja.

e. Polarized thinking

Memiliki pola berpikir yang beragam dalam sekali waktu namun bertentangan satu sama lain. Pola berpikir ini akan membuat individu merasa kebingungan akan sikap yang harus ia tentukan.

f. Self-blame

Sikap menyalahkan diri sendiri atas setiap permasalahan yang dihadapi, baik tindakannya benar ataupun salah, individu tersebut selalu menempatkan diri sebagai orang yang bertanggung jawab pada permasalahan yang terjadi. Sikap seperti ini membuat individu tidak dapat melihat sisi positif dan kualitas dari dirinya sendiri.

g. Personalization

Kebiasaan mengukur dan membanding-bandingkan segala sesuatu dengan diri sendiri.

h. Mind reading

Menganggap orang lain memiliki pikiran sesuai dengan yang ia kehendaki, pada individu dengan self-esteem rendah biasanya ia cenderung menganggap orang lain selalu menyetujui setiap opini negatif individu tersebut terhadap dirinya sendiri.

(28)

commit to user

D. Hubungan Antara Regulasi Emosi Dan Self-Esteem Dengan Perilaku

Bullying

1. Hubungan antara Regulasi Emosi dan Self-esteem dengan Perilaku

Bullying

Remaja mengalami perubahan yang besar dari masa peralihannya dari masa anak menjadi masa dewasa, baik perubahan fisik, perubahan sosial dan terutama perubahan emosi. Menurut Mulyono (1995) emosi remaja sedang dalam masa strung und drang yang ditunjukkan dengan ketidakstabilan dan belum mencapai kematangan pribadi secara dewasa. Hal ini membuat remaja sulit mengendalikan emosinya terutama emosi negatif yaitu benci, tertekan dan marah. Remaja yang sulit mengendalikan emosinya akan kesulitan pula mengendalikan perilakunya (Gratz dan Roemer, 2004).

Bonanno dan Mayne (2001) berpendapat bahwa ketidakmampuan meregulasi emosi terjadi ketika individu tidak dapat kritis terhadap pengalaman emosinya, tidak mampu mengatur emosinya dan tidak dapat mengekspresikan emosinya dengan tepat. Konsekuensinya individu tersebut pun menjadi kesulitan mengendalikan perilakunya, perilaku prososialnya rendah, kecenderungan agresinya tinggi, dan lemah dalam mengelola emosi negatif (Strongman, 2003).

(29)

commit to user

Kesulitan remaja dalam mengelola emosinya, mempengaruhi kondisi self-esteem, sejalan dengan penelitian dari Nezlek dan Kuppens (2008) yang menunjukkan bahwa kesulitan mengelola emosi berhubungan dengan penurunan emosi positif, self-esteem, penyesuaian psikologis, dan peningkatan emosi negatif. Disamping itu, self-esteem yang negatif memberikan konsekuensi perilaku yang negatif pula. Self-esteem negatif seringpula dihubungkan dengan keterampilan membangun hubungan atau interaksi sosial yang kurang memadai dan unjuk kerja yang lebih buruk (Baron dan Byrne, 2004).

Self-esteem dan regulasi emosi saling berhubungan, ditunjukkan oleh McKay dan Fanning (2000) bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi tinggi atau rendahnya self-esteem adalah faktor emosi. Kesulitan mengendalikan dan mengatur emosi sangat berpengaruh pada pikiran yang selanjutnya akan termanifestasikan dalam self-esteem individu. Emosi negatif yang tidak dapat tertangani dengan baik biasanya akan memberikan konsekuensi negatif pula. Ketidakmampuan remaja untuk mengelola emosi terutama emosi negatif salah satunya dapat diekspresikan dengan perilaku agresif yang kemudian mengarah pada terjadinya perilaku bullying. Remaja menjadi sulit mengendalikan diri dengan baik, hal ini juga merupakan akibat dari regulasi emosi yang tidak berjalan dengan baik (Wilton, Craig dan Peppler, 2000).

(30)

commit to user

Nunn dan Thomas (dalam Baron dan Byrne, 2004) menunjukkan hasil penelitiannya yang menemukan bahwa tindakan menganiaya dan tingkah laku agresif disebabkan oleh self-esteem yang rendah. Wright (1995) memberikan bukti nyata melalui penelitiannya bahwa tingkat serotonin dalam darah berhubungan dengan self-esteem, kemudian self-esteem yang lebih rendah dan tingkat serotonin yang rendah berhubungan dengan impulsivitas dan agresivitas yang merupakan salah satu karakteristik bullying.

Individu yang memiliki kemampuan regulasi emosi yang baik akan cenderung memiliki self-esteem yang positif karena remaja menjadi dapat berperilaku adaptif dan prososial dilingkungannya dalam mencapai tujuannya. Hal ini secara praktis menekan kecenderungan remaja melakukan perilaku agresif dan impulsif yang mengarah kepada perilaku bullying.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa individu yang memiliki regulasi emosi yang baik serta self-esteem yang positif memiliki kecenderungan perilaku bullying yang lebih rendah, sebaliknya individu yang memiliki regulasi emosi yang buruk serta self-esteem yang negatif memiliki kecenderungan perilaku bullying yang lebih tinggi.

(31)

commit to user

2. Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Perilaku Bullying

Regulasi emosi adalah cara individu mengekspresikan emosi dengan mengarahkan energi emosi ke dalam ekspresi yang dapat mengkomunikasikan perasaan emosionalnya dengan cara yang dapat diterima secara sosial (Gross, 2008). Menurut Thompson (1994) regulasi emosi adalah kemampuan penting yang akan membantu individu menghadapi permasalahannya secara efektif. Individu yang memiliki regulasi emosi yang baik akan dapat mengatur pengekspresian emosi yang muncul dengan tepat dan sesuai terutama dalam emosi negatif seperti kemarahan, kebencian dan kekecewaan. Emosi negatif yang tidak terkontrol akan memberikan konsekuensi terbentuknya perilaku prososial yang rendah dan kecenderungan melakukan agresi yang tinggi (Strongman, 2003).

Individu dituntut dapat mengatur dan mengelola emosinya sehingga dapat bereaksi secara adaptif dan sesuai dengan tujuannya. Regulasi emosi yang baik akan menghasilkan emosi yang adaptif dan perilaku yang terorganisir (Thompson, 1994). Sebaliknya, ketika individu tidak mampu mengelola emosinya dengan baik maka ia cenderung memiliki perilaku yang tidak terorganisir yang akan mengarah ke perilaku negatif, pada remaja kebanyakan ditunjukkan dengan kenakalan remaja salah satunya yaitu perilaku bullying (Kartono, 1992).

(32)

commit to user

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan regulasi emosi yang baik akan menurunkan kecenderungan perilaku bullying, sebaliknya kemampuan regulasi emosi yang buruk akan menaikkan kecenderungan perilaku bullying.

3. Hubungan antara Self-esteem dengan Perilaku Bullying

Self-esteem dipahami memiliki dimensi positif hingga negatif berdasarkan evaluasi diri dari hasil opini atau pandangan orang lain dan pengalaman pribadi individu. Individu dengan self-esteem positif memiliki keterampilan sosial di lingkungannya yang baik (Baron dan Byrne, 2004).

Individu dengan self-esteem tinggi menghargai dirinya dengan baik, memandang positif dirinya dan menyukai dirinya sendiri, ia memiliki ideal self yang baik (Strauman, dalam Baron dan Byrne, 2004). Nezlek dan Kuppens (2008) mengatakan bahwa self-esteem yang negatif berhubungan dengan determinasi diri yang rendah, konsep diri yang kurang jelas dan ketegangan dalam mencapai tujuan seseorang. Individu dengan self-esteem rendah cenderung memiliki perilaku antisosial yang sudah pasti bertentangan dengan norma di lingkungannya (Baron dan Byrne, 2004).

Cowie dan Jennifer (2008) mengemukakan bahwa individu yang melakukan perilaku bullying biasanya memiliki self-esteem yang negatif sehingga memiliki kecenderungan untuk mengekspresikan kemarahan mereka secara terbuka dilingkungannya. Individu dengan self-esteem negatif memiliki kecenderungan tidak peduli akan pandangan orang lain terhadap dirinya, sehingga perilakunya dalam masyarakat pun terkadang tidak konstruktif.

(33)

commit to user

Perilaku Bullying Regulasi Emosi

Self-esteem

Uraian di atas menunjukkan bahwa self-esteem yang positif akan menurunkan kecenderungan perilaku bullying, sebaliknya self-esteem yang negatif akan menaikkan kecenderungan perilaku bullying.

E. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan penjelasan dan teori yang telah dijabarkan, dapat digambarkan kerangka pemikiran, sebagai berikut:

Gambar 1

Kerangka Pemikiran Hubungan antara Regulasi Emosi dan Self-esteem dengan Perilaku Bullying

F. Hipotesis

Berdasarkan dari beberapa teori yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam penulisan ini adalah:

1. Terdapat hubungan antara regulasi emosi dan self-esteem dengan perilaku bullying.

2. Terdapat hubungan antara regulasi emosi dengan perilaku bullying. 3. Terdapat hubungan antara self-esteem dengan perilaku bullying.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan apakah gaya belajar berkorelasi secara signifikan dengan pemahaman membaca oleh siswa SMA Negeri 1 Nalumsari Jepara tahun

人々の道徳心を維持して安寧を保つの点に至ては人なる差違あることなし一とご吊ぶ引 Iす %るよ 9うなことを述べて

Hal tersebut sesuai dengan komposisi sampah yang terdapat di Kabupaten Gunungkidul dimana jenis sampah organik merupakan jenis sampah tertinggi dengan presentase sebesar 77.66

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Walikota tentang Penerimaan Peserta Didik Baru pada

berbagai unsur yang masuk dalam pelaksanaan suatu program, setidaknya ada variabel utama yang masuk dalam evaluasi ini, yaitu masyarakat (peserta program), tim atau

Jenis elektroda ini adalah jenis elektroda selaput selulosa yang dapat dipakai untuk pengelasan dengan penembusan yang dalam. Pengelasan dapat pada segala posisi dan terak yang

Pemilihan respirator harus berdasarkan pada tingkat pemaparan yang sudah diketahui atau diantisipasi, bahayanya produk dan batas keselamatan kerja dari alat pernafasan yang

Survey jentik nyamuk berkala adalah kegiatan untuk memantau Survey jentik nyamuk berkala adalah kegiatan untuk memantau situasi kepadatan jentik pada tempat