DESKRIPSI TINGKAT RESILIENSI TERHADAP STRES
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK
(Studi Deskriptif pada Mahasiswa Angkatan 2013, Semester 2 Kelas A Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun
Akademik 2013/2014)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh:
Albinus Embu Sella NIM: 101114059
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
DESKRIPSI TINGKAT RESILIENSI TERHADAP STRES
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK
(Studi Deskriptif pada Mahasiswa Angkatan 2013, Semester 2 Kelas A Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun
Akademik 2013/2014)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh:
Albinus Embu Sella NIM: 101114059
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
MOTTO
Firmanmu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku
(Mazmur 119:105)
Tak ada satu pun ciptaan Tuhan
Yang tidak membawa pesan dari-Nya
Tuhan ada di laut ketika aku berenang,
Di udara ketika aku bernafas,
Dalam realitas ketika aku berkembang.
Aku tak menemukan satu hal terkecil sekalipun
Yang tidak berbicara tentang Dia kepadaku.
v
PERSEMBAHAN
Hanya ini yang dapat saya persembahkan untuk kalian semua,
hasil dari perjuangan kuliah selama 4 tahun dan terimalah
skripsi ini yang kupersembahkan untuk :
♥ Tuhan Yesus dan Bunda Maria
♥ Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
♥ Keluarga Besar Prodi BK
♥ Orang tuaku tercinta
♥ Segenap anggota keluargaku
♥ Konfrater Serikat Sabda Allah (SVD)
viii
DESKRIPSI TINGKAT RESILIENSI TERHADAP STRES
DAN IMPLIKASINYA TERHADAP USULAN TOPIK-TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK
(Studi Deskriptif pada Mahasiswa Angkatan 2013, Semester 2 KelasA Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun
Akademik 2013/2014)
Albinus Embu Sella Universitas Sanata Dharma
2014
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tingkat resiliensi terhadap stres pada mahasiswa angkatan 2013, semester 2 kelas A Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tahun akademik 2013/2014. Tujuan lainnya adalah mengusulkan topic-topik bimbingan kelompok, bersasarkan identifikasi resiliensi terhadap stres yang rendah, untuk meningkatkan resiliensi terhadap stres bagi mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konselingangkatan 2013, semester 2 kelas A.
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kuantitatif dengan metode survei.Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling Angkatan 2013, semester 2 Kelas A Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, TahunAkademik 2013/2014 yang berjumlah 40 orang. Instrument penelitian berupa kuesioner resiliensi terhadap stres yang disusun berdasar kanteori (Reivich dan Shatte, 2002) yang terbagi dalam tujuh aspek, yaitu regulasi emosi, control terhadap impuls, optimisme, kemampuan menganalisis masalah, empati, efikasi iri, pencapaian. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner tertutup. Nilai Reliabilitas instrument yang dihitung berdasarkan kriteria Guilford (Masidjo, 1995) sebesar 0.835. Teknik analisis data yang digunakan adalah kategorisasi berdasar distribusi normal dengan model kategori sasijenjang (ordinal) dengan lima jenjang, yaitu sangat tinggi, tinggi sedang, rendah, sangat rendah.
ix ABSTRACT
DESCRIPTION OF STRESS RESILIENCE LEVEL
AND ITS IMPLICATIONS TO THE SUGGESTION OF GROUP GUIDANCE TOPICS
(Descriptive Study on Class A Second Semester Students, Guidance and Counseling Study Program, Sanata Dharma University, Academic Year
2013/2014)
The aim of this study was to describe stress resilience level of class A, second semester students, Guidance and Counseling Study Program of Sanata Dharma University Yogyakarta, Academic Year 2013/2014.The second objective of this study was to propose group guidance topics based on items of the questionnaire which have low scores.
This study was a quantitative descriptive using survey method. The subjects of this research were 40 students of class A, second semester students, Guidance and Counseling Study Program, Sanata Dharma University, Academic Year 2013/2014. The research instrument used in this study was a questionnaire of stress resilience based on the theory of Shatte and Reivich, (2002). The questionnaire was divided into seven aspects, i.e. emotion regulation, impulse control, optimism, ability to analyze problems, empathy, self-efficacy, achievement. The questionnaire used in this research was closed questionnaire. The reliability of the questionnaire is 0.835 and was calculated based on the criteria of Guilford (Masidjo, 1995). The data was analyzed based on normal distribution and was categorized into five levels, i.e. very high, high, moderate, low, and very low.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan kasih karunia-Nya yang sangat luar biasa dilimpahkan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik dan lancer.
Skripsi ini ditulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana pendidikan dari Program Studi Bimbingan dan Konseling,
Jurusan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Di sadari bahwa selama selama penulisan skripsi ini tidak akan berjalan
dengan lancer tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah mendukung dan
mendampingi penulis. Oleh karena itu, secara khusus penulis diucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada:
1. Dr. Gendon Barus, M. Si., selaku Ketua Prrogram Studi Bimbingan dan
Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2. Dr. M.M. Sri Hastuti, M. Si., selaku dosen pembimbing yang dengan penuh
kesabaran, ketulusan dan keterbukaan hati telah memberikan motivasi dan
semangat, meluangkan waktu untuk mendampingi dan membimbing penulis
selama proses penulisan skripsi.
3. Juster Donal Sinaga, M. Pd., selaku dosen Program Studi Bimbingan dan
Konseling yang memberikan dukungan dalam bentuk bimbingan untuk
xi
4. Prias Hayu, M. Pd., selaku dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling
yang telah membantu dan mendukung selama memberikan program
bimbingan kepada mahasiswa angkatan 2013, semester 2 kelas A Program
Studi Bimbingan dan Konseling Sanata Dharma Yogyakarta.
5. Para dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta yang telah memberikan pengetahuan dan ilmu yang bermanfaat
kepada penulis dan menambah wawasan bagi penulis untuk membekali penulis di
masa yang akan datang.
6. St. Priyatmoko atas segala bantuan dan urusan administrasi selama
perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini.
7. Mahasiswa angkatan 2013, semester 2 Kelas A Program Studi Bimbingan dan
Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah bersedia
meluangkan waktu dan kesediaannya sebagai responden dalam melaksanakan
penelitian.
8. Tim Penelitian Payung (Ibu Retha, Pak Donal, Sefin, Binus, Tita dan Yuven
yang telah bekerjasama dalam menjalankan program penelitian dari awal
hingga akhir.
9. Keluarga tercinta: Bapak Nikolaus N. Sella, Ibu Anastasia Pia, Adik Karolus
P. Sella, Silvester Embu Sella, Veronika G, adik ipar Monika Mai dan
xiii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR GRAFIK ... xix
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
xiv
E. Definisi Istilah dan Definisi Operasional Variabel ... 9
BAB II: LANDASAN TEORI ... 11
A. Hakikat Stres pada Mahasiswa ... 11
1. Pengertian Stres ... 11
2. Penyebab Stres pada Mahasiswa ... 14
B. Hakikat Resiliensi ... 16
1. Pengertian Resiliensi ... 16
2. Sifat Dasar Resiliensi ... 22
3. Manfaat Resiliensi ... 23
4. Keterampilan Resiliensi ... 25
5. Prinsip dasar Keterampilan Resiliensi ... 27
6. Aspek-aspek Resiliensi ... 29
7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi ... 34
8. Ciri-ciri Mahasiswa yang Mempengaruhi Resiliensi ... 37
9. Karakteristik Mahasiswa Baru dan Kemampuan Resiliensi ... 39
C. Segi-segi Kehidupan Mahasiswa Baru ... 40
1. Pengertian Mahasiswa ... 40
2. Mahasiswa Baru ... 41
3. Permasalahan yang dihadapi Mahasiswa ... 42
D. Program Peningkatan Resiliensi Melalui Bimbingan Kelompok .... 45
xv
2. Tujuan Bimbingan Kelompok ... 48
3. Bimbingan Sosial Pribadi ... 49
4. Program Peningkatan Resiliensi ... 52
5. Tujuan Program Peningkatan Resiliensi ... 53
6. Isi Program Peningkatan Resiliensi ... 55
7. Keterlaksanaan Program Peningkatan Resiliensi ... 55
BAB III: METODE PENELITIAN ... 57
A. Jenis Penelitian ... 57
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 57
C. Subyek Penelitian ... 58
D. Variabel Penelitian ... 58
E. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ... 59
F. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 63
1. Validitas Instrumen ... 63
2. Reliabilitas Instrumen ... 73
G. Teknik Analisis Data ... 74
H. Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data Penelitian ... 77
BAB IV: HASIL PENELITIAN,, PEMBAHASAN DAN USULAN TOPIK BIMBINGAN KELOMPOK ... 79
A. Hasil Penelitian ... 79
xvi
C. Usulan Topik-topik Bimbingan Kelompok ... 94
BAB V: PENUTUP ... 100
A. Kesimpulan ... 100
B. Saran-saran ... 101
DAFTAR PUSTAKA ... 103
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Penentuan Skor Tiap Alternatif Jawaban ... 61
Tabel 2: Kisi-kisi Kuesioner Resiliensi ... 62
Tabel 3: Rincian Item yang Valid dan Gugur pada Kuesioner Resiliensi ... 66
Tabel 4: Kriteria Guilford ... 74
Tabel 5: Kategorisasi Tingkat Resiliensi ... 75
Tabel 6: Kategorisasi Tingkat Resiliensi Mahasiswa Angkatan 2013, Semester 2 Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ... 77
Tabel 7: Tingkat Resiliensi terhadap Stres pada Mahasiswa Angkatan 2013, Semester 2, Kelas A Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun Akademik 2013/2014 ... 81
Tabel 8: Penggolongan Skor Item Tingkat Resiliensi... 84
Tabel 9: Item-item dalam Kuesioner Resiliensi yang Teridentifikasi Rendah dan Sangat Rendah ... 96
xviii
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1 : Grafik Presentase Frekuensi Tingkat Resiliensi Terhadap Stres pada Mahasiswa Angkatan 2013, Semester 2 Program Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun Akademik 2013/2014 ... 82 Grafik 2 : Tingkat Resiliensi terhadap Stres pada Mahasiswa Angkatan 2013,
Semester 2 Program Studi Bimbingan dan Konseling
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Kuesioner Penelitian ... 110
Lampiran 2: Tabulasi Data Uji Coba Penelitian ... 118
Lampiran 3: Validitas ... 122
Lampiran 4: Reliabilitas ... 129
1 BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini dipaparkan latar belakang masalah, rumusan masalah penelitian,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional variabel penelitian.
A. Latar Belakang Masalah
Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang dituntut untuk terlibat
dan berperan aktif menjadi pribadi yang tangguh dan berkompeten di bidangnya
masing-masing dalam mendukung pembangunan bangsa. Tentunya, hal ini
berlaku juga bagi mahasiswa baru, khususnya mereka yang hendak menempuh
pendidikan pada Program Studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Oleh karena itu, mahasiswa Program Studi Bimbingan dan
Konseling harus membekali dirinya dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan
yang memadai.
Status “Mahasiswa Baru” merupakan predikat yang disandang oleh
mahasiswa di tahun pertama kuliahnya. Seorang memasuki dunia kuliah berarti
ada suatu perubahan besar pada hidupnya (Santrock, 2006; Greenberg, 1999).
Biasanya individu mengalami banyak perubahan di tahun pertama kuliah ketika
memasuki perguruan tinggi. Hal ini terkait dengan penyesuaian diri yang
kuliah (Dyson & Renk, 2006). Penyesuaian diri diperlukan karena adanya
perubahan pada kehidupan individu.
Gunarsa (1995) mengemukakakan bahwa mahasiswa baru memiliki
tantangan tersendiri dalam hidup. Ketika individu masuk dalam dunia kuliah,
individu menghadapi berbagai perubahan, mulai dari perubahan karena
perbedaan sifat pendidikan Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi,
perbedaan dalam hubungan sosial, pemilihan bidang studi atau jurusan, sampai
pada masalah ekonomi. Sedangkan yang biasa terjadi pada mahasiswa baru yaitu
menghadapi tekanan akibat proses akulturasi dengan budaya baru di tempat ia
menuntut ilmu. Mahasiswa baru harus menghadapi perubahan budaya, perubahan
gaya hidup, perubahan lingkungan dan mahasiswa dituntut untuk mampu
mengatasinya dengan baik agar kelangsungan pendidikan juga berjalan dengan
baik.
Setiap manusia, khususnya mahasiswa dalam kehidupannya akan
mengalami proses belajar. Proses belajar ini berlangsung seumur hidup. Selama
proses belajar, manusia tentu tidak akan pernah lepas dari masalah, hambatan,
atau kesulitan-kesulitan. Stoltz (2000) memaparkan bahwa kemampuan
seseorang untuk bertahan menghadapi kesulitan merupakan salah satu kekuatan
yang ada dalam diri individu. Apabila individu mampu bertahan menghadapi
kesulitan dan memiliki kemampuan untuk mengatasinya, maka individu tersebut
Individu pada dasarnya pernah mengalami kesulitan. Suatu situasi atau
keadaan seorang individu ketika mengalami kesulitan atau penderitaan yang
tidak dapat dihindari, maka individu yang memiliki resiliensi mampu mengatasi
berbagai persoalan dengan cara mereka. Artinya, adanya resiliensi akan
mengubah persoalan yang dialami menjadi sebuah tantangan, kegagalan menjadi
kesuksesan, dan ketidakberdayaan menjadi kekuatan.
Masa transisi seseorang dari SMA masuk Perguruan Tinggi dan menjadi
seorang mahasiswa dapat menimbulkan stres bagi individu tersebut. Hal ini
terjadi karena mereka yang biasanya tinggal bersama keluarga dengan budaya
yang dianut sejak kecil, bahasa sehari-hari sekarang harus pindah ke lingkungan
yang baru, jauh dari keluarga, teman-teman, bergabung dengan lingkungan dan
budaya baru yang mereka belum tahu aturan di dalamnya di tempat yang baru
tersebut. Selain itu mereka juga meninggalkan lingkungan akademis sekolah
menengah dan bergabung dengan komunitas pelajar yang baru yakni mahasiswa,
yang menuntut ketrampilan akademik dan dasar pengetahuan yang sangat
berbeda dengan apa yang mereka jalani selama di SMA.
Stres adalah kondisi tegang pada emosi, pikiran dan fisik. Adanya stres
yang berlebihan pada seseorang dapat mempengaruhi kemampuan orang untuk
menghadapi lingkungan. Misalnya saja seperti stres yang banyak dialami oleh
mahasiswa baru berkaitan dengan perkuliahan yaitu mahasiswa tidak bisa
mencapai prestasi, kesukaran dalam bersaing, dan tidak mampu menyelesaikan
tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Mahasiswa merasa terbebani dengan
tugas-tugas yang diberikan oleh dosen karena tugas yang diberikan bukan hanya
satu atau dua melainkan beberapa mata kuliah lain pun diberikan tugas sehingga
mahasiswa berfikir bagaimana harus mengerjakan tugasnya itu semua tanpa
harus mengganggu kegiatan lainnya. Hal ini membuat stres pun muncul pada diri
mahasiswa. Pemberian tugas perkuliahan merupakan hal yang positif agar
mahasiswa mau mengulang pelajaran yang telah diberikan oleh dosen sehingga
mahasiswa tersebut bisa sukses di kemudian hari.
Oleh karena itu, mahasiswa pun terkadang bisa mengalami stres akibat
banyak hal yang dipikirkan; selain masalah di kampus juga masalah di rumah
atau tempat tinggal yang bisa menimbulkan stres. Selain itu hal lain yang bisa
memicu timbulnya stres adalah masalah pergaulan. Jika manusia dengan manusia
lain tidak bisa beradaptasi dan bergaul maka orang tersebut akan mendapatkan
kesulitan dalam pengembangan dirinya. Begitu pula dengan pergaulan terhadap
mahasiswa yang sering mengalami kesulitan akan timbulnya konflik dalam
berelasi dengan sesama. Hal ini sangat mudah memicu timbulnya stres di
kalangan mahasiswa ataupun remaja dewasa lainnya karena mereka berfikir
mengapa mereka tidak bisa bergaul seperti orang lain? Stres juga bisa terjadi
mencapai apa yang ingin dicapainya. Itulah beberapa penyebab timbulnya stres
dalam kehidupn mahasiswa dalam dewasa ini.
Selain itu, peneliti menemukan beberapa fakta berdasarkan hasil observasi
melalui wawancara pada mahasiswa angkatan 2013, semester 2, Program Studi
Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Fakta-fakta
tersebut menggambarkan mahasiswa yang terindikasi tingkat resiliensinya
rendah. Adapun perilaku yang muncul pada mahasiswa berdasarkan hasil
wawancara antara lain: (1) sering putus asa manakala mendapat nilai rendah; (2)
tidak percaya dengan kemampuan diri; (3) susah beradaptasi dengan orang yang
baru dikenal; (4) tidak fleksibel dalam berperilaku; (5) mudah tersinggung atau
emosi tidak stabil; (6) motivasi untuk maju rendah; (7) mudah menyerah dalam
menghadapi tugas yang diberikan oleh dosen. Apabila kondisi tersebut tidak
segera diatasi, maka tidak menutup kemungkinan akan memunculkan dampak
yang lebih luas, seperti mahasiswa tidak memiliki tujuan belajar, mahasiswa
selalu merasa pesimis dalam belajar, mahasiswa tidak memiliki keyakinan atas
kemampuan yang dimilikinya, serta mahasiswa tidak memiliki tanggung jawab
terhadap dirinya.
Penjelasan di atas memberikan pemahaman pada peneliti bahwa,
mahasiswa dalam menjalani kehidupan sehari-hari, baik dalam hal akademis dan
sosial membutuhkan kemampuan resiliensi untuk bisa sukses dalam hidupnya.
dihadapkan kepada situasi yang belum tentu menyenangkan atau menguntungkan
bagi dirinya, termasuk dalam hal stres bagi mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa program studi Bimbingan dan Konseling dapat dikatakan
sebagai kelompok mahasiswa yang heterogen apabila dibandingkan dengan
mahasiswa pada fakultas lainnya, jika dilihat dari usia dan pekerjaan mereka. Di
antara mereka ada yang sudah bekerja sebagai biarawan/wati dan yang baru lulus
SMU. Melihat heterogenitas karakteristik mahasiswa program studi Bimbingan
dan Konseling, maka penelitian dilakukan untuk mengetahui gambaran
kemampuan resiliensi terhadap stres pada mahasiswa angkatan 2013, semester 2
kelas A Program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata Dharma
tahun akademik 2013/2014. Dalam hal ini peneliti memfokuskan pada
mahasiswa angkatan 2013, semester 2 kelas A Program Studi Bimbingan dan
Konseling, Universitas Sanata Dharma Tahun Akademik 2013/2014, dimana
peneliti melihat bahwa mahasiswa baru banyak menghadapi berbagai tantangan
yang membutuhkan resiliensi.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terkait dengan perilaku
resiliensi terhadap stres mahasiswa dapat diidentifikasikan berbagai masalah
1. Seberapa tinggikah tingkat kemampuan resiliensi terhadap stres pada
mahasiswa angkatan 2013, semester 2 kelas A Program Studi Bimbingan dan
Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta?
2. Dalam hal apa sajakah kemampuan resiliensi terhadap stress pada mahasiswa
angkatan 2013, semester 2 kelas A Program Studi Bimbingan dan Konseling
tergolong rendah yang berdampak implikatif terhadap usulan topik-topik
bimbingan kelompok sebagai cara untuk meningkatkan resiliensi terhadap
stres bagi mahasiswa angkatan 2013, semester 2 kelas A Program Studi
Bimbingan dan Konseling untuk mengatasi tingkat resiliensi terhadap stres
yang rendah?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan dalam penelitian ini, maka yang menjadi
tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan tingkat resiliensi terhadap stres pada mahasiswa angkatan
2013, semester 2 kelas A Program Studi Bimbingan dan Konseling
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tahun akademik 2013/2014.
2. Mengidentifikasi hal-hal kemampuan resiliensi terhadap stres yang rendah
yang berdampak implikatif pada usulan topik-topik bimbingan kelompok
yang dapat diusulkan untuk program pendampingan mengenal resiliensi
ke-2 kelas A Program Studi Bimbingan dan Konseling untuk mengatasi
tingkat resiliensi terhadap stress yang rendah.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
Menambah pengetahuan mengenai gambaran resiliensi terhadap stres pada
mahasiswa angkatan 2013, semester ke-2 kelas A Program Studi Bimbingan
dan Konseling Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Tahun Akademik
2013/2014.
2. Secara Praktis
a. Bagi Mahasiswa Program Studi Bimbingan dan Konseling angkatan
2013, semester ke-2 kelas A.
Dapat meningkatkan dan memahami tentang resiliensi dan manfaatnya
sehingga berguna untuk mahasiswa menjadi pribadi yang memiliki
resilien yang tinggi dan mampu untuk bangkit dari masa sulit atau berat
dan dapat beradaptasi dengan kondisi apapun yang dihadapi.
b. Bagi Program Studi Bimbingan dan Konseling
Memberikan pemahaman dan informasi sebagai dasar penyususnan
semester 2 kelas A Program Studi Bimbingan dan Konseling supaya para
mahasiswa mampu mengantisipasi berbagai permasalahan dalam hidup.
c. Bagi Penulis
Penulis dapat mengetahui dan memahami resiliensi terhadap stres pada
mahasiswa BK angkatan 2013 dan menambah pengetahuan serta
wawasan mengenai ketahanan seseorang dalam menghadapi kesulitan dan
hambatan dalam hidup dari resiliensi itu sendiri.
E. Definisi Istilah dan Definisi Operasional Variabel
a. Resiliensi
Kemampuan individu untuk melakukan respon dengan cara yang sehat
dan produktif ketika berhadapan dengan penderitaan (adversity) atau
trauma; merupakan mind-set yang memungkinkan manusia mencari berbagai pengalaman dan memandang hidupnya sebagai suatu kegiatan
yang sedang berjalan.
b. Stres
Stres merupakan hal yang tidak terhindarkan dalam hidup manusia. Setiap
orang pernah, dan akan, mengalaminya. Bahkan, pada saat ini mungkin
tidak sedikit orang yang sedang mengalaminya. Mahasiswa mengalami
stres ketika ada sebuah ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan yang
c. Mahasiswa baru semester ke-2
Mahasiswa baru Program Studi Bimbingan dan Konseling Tahun
Akademik 2013-2014.
d. Bimbingan Kelompok
Suatu rangkaian kegiatan pemberian bantuan kepada mahasiswa angkatan
11
BAB II
LANDASAN TEORI
Pada bab ini, peneliti menguraikan hakikat stres, hakikat resiliensi, segi-segi
kehidupan mahasiswa, dan program peningkatan resiliensi.
A. Hakikat Stres pada Mahasiswa
1. Pengertian Stres
Yusuf dan Nurihsan (2005) menyatakan bahwa stres merupakan
fenomena psikofisik. Stres dialami oleh setiap orang, dengan tidak mengenal
jenis kelamin, usia, kedudukan, jabatan atau status social ekonomi. Stres dapat
berpengaruh positif maupun negative terhadap individu. Pengaruh positif
yaitu mendorong individu untuk melakukan sesuatu, membangkitkan
kesadaran, dan menghasilkan pengalaman baru. Sedangkan pengaruh negative
yaitu menimbulkan perasaan-perasaan tidak percaya diri, penolakan, marah,
atau depresi, dan memicu berjangkitnya sakit kepala, sakit perut, insomnia,
tekanan darah tinggi, atau stroke.
Menurut Dadang Hawari (1997: 44-45) stres tidak dapat dipisahkan
dari distres dan depresi, karena satu sama lainnya saling terkait. Stres
merupakan reaksi fisik terhadap permasalahan kehidupan yang dialaminya.
Apabila fungsi organ tubuh sampai terganggu dinamakan distres. Sedangkan
banyak hal manusia akan cukup cepat untuk pulih kembali dari
pengaruh-pengaruh pengalaman stres. Manusia mempunyai suplai yang baik dan energy
penyesuaian diri untuk dipakai dan diisi kembali bilamana perlu.
Stres dapat diartikan sebagai respon (reaksi) fisik dan psikis, yang
berupa perasaan yang tidak enak, tidak nyaman, atau tertekan terhadap
tekanan atau tuntutan yang dihadapi. Diartikan juga reaksi fisik yang
dirasakannya tidak nyaman sebagai dampak dari persepsi yang kurang tepat
terhadap sesuatu yang mengancam keselamatan dirinya, merusak harga
dirinya, menggagalkan keinginan atau kebutuhannya.
Sementara A. Baum (Shelly E. Taylor, 2003) mengartikan stres
sebagai pengalaman emosional yang negative yang disertai
perubahan-perubahan biokimia, fisik, kognitif, dan tingkah laku yang diarahkan untuk
mengubah peristiwa stres tersebut atau mengakomodasi dampak-dampaknya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa stres
adalah perasaan tidak enak, tidak nyaman, atau tertekan, baik fisik maupun
psikis sebagai respon atau reaksi individu terhadap stressor (stimulus yang berupa peristiwa, objek, atau orang) yang mengancam, mengganggu,
membebani, atau membahayakan keselamatan, kepentingan, keinginan, atau
kesejahteraan hidupnya.
Dunia pendidikan perguruan tinggi atau universitas merupakan masa
harus melalui proses adaptasi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan
lingkungan yang baru. Masa transisi dari lingkungan sekolah ke lingkungan
kampus dapat menyebabkan kekagetan psikologis, akademik dan sosial bagi
mahasiswa karena terdapat banyak perbedaan sistem pendidikan antara lain
model pembelajaran, tuntutan akademik, bentuk hubungan antara mahasiswa
dan dosen, dan hubungan antar mahasiswa itu sendiri.
Stres merupakan gejala yang muncul ketika ada tuntutan dari
lingkungan yang melampaui kemampuan penyesuaian individu (Lazarus,
1976). Stres adalah keadaan individu yang dipengaruhi oleh rangsangan dari
dalam dan dari luar individu. Keadaan inilah yang membuat individu bereaksi,
baik berupa fisik maupun psikologis. Stres terjadi karena adanya faktor-faktor
yang membuat individu berada dalam keadaan yang tidak nyaman dan adanya
ancaman yang tidak sehat yang terjadi pada seseorang.
Greenberg (1999) secara khusus merangkum stressors yang ada pada
mahasiswa baru (yang memasuki perkuliahan setelah lulus SMA), yaitu:
perubahan gaya hidup (masa transisi dari SMA ke Universitas), nilai, jumlah
mata kuliah yang diambil, masalah pertemanan, cinta, rasa malu, dan
kecemburuan. Murphy dan Archer (dalam Duffy & Atwater, 2005)
menambahkan bahwa persaingan antar mahasiswa yang tinggi merupakan
salah satu pemicu stres bagi mahasiswa. Stres yang dialami oleh mahasiswa
Dampak tersebut dapat berupa gejala fisiologis, emosional, kognitif,
hubungan interpersonal, dan organisasional (Rice, dalam Safaria, 2005).
Stres juga dapat mempengaruhi perkembangan dan gejala-gejala
penyakit seperti darah tinggi, sakit kepala, dan demam (Sarafino & Ewing,
1999). Lebih spesifik lagi, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hudd
(Duffy & Atwater, 2005) dampak stres yang dialami oleh mahasiswa sering
kali berupa tingkah laku yang negatif seperti merokok, mengkonsumsi
minuman keras, mengkonsumsi junk food, dan bunuh diri. Sebagai tambahan, mahasiswa yang stres akan berpengaruh buruk terhadap nilai Indeks Prestasi
(IP) dan kesehatannya.
2. Penyebab Stres pada Mahasiswa
Penyebab stres pada mahasiswa sangat beragam diantaranya
tugas-tugas kuliah, kuis, ujian, tidak lulus mata kuliah, dan lain sebagainya.
Adnamazida ( dalam Sehat, 2013) mengungkapkan bahwa mahasiswa banyak
disibukkan dengan berbagai hal seperti urusan kuliah yang padat yang pada
akhirnya menimbulkan stres pada mereka. Simak berbagai penyebab stres
lainnya pada mahasiswa seperti yang dilansir dari All Women Stalk tahun
2013 berikut ini:
a. Prioritas
agak sulit menentukan prioritas. Akhirnya, semuanya terlihat berantakan
dan membuat mahasiswa terserang stres.
b. Makan
Kebiasaan makan mahasiswa cenderung berantakan. Selain itu, mereka
juga sering tidak memenuhi aturan pemenuhan gizi karena terlalu sibuk.
Pola makan buruk akhirnya membuat mahasiswa mudah stres.
c. Kompetisi
Jika kompetisi antar siswa di sekolah bisa dibilang termasuk skala kecil,
mahasiswa dihadapkan pada skala kompetisi yang lebih besar. Misalnya
urusan nilai sampai dengan masalah kelulusan.
d. Tugas kuliah
Salah satu penyebab stres yang pasti dihadapi oleh setiap mahasiswa
adalah adanya tugas yang tak akan ada habisnya. Pengalaman yang
sebelumnya tidak dirasakan di bangku sekolah akhirnya membuat
mahasiswa stres.
e. Organisasi
Jika mahasiswa memiliki aktivitas yang terlalu banyak di luar urusan
akademik, misalnya terlibat aktif dalam organisasi, kesibukan akan
mahasiswa tidak sebaiknya bergabung dalam organisasi, namun butuh
kemampuan keras untuk menyeimbangkan keduanya.
f. Keuangan
Biaya kuliah bisa dibilang mahal; terutama bagi mahasiswa yang berasal
dari luar kota. Usaha untuk memenuhi kebutuhan itu pun terkadang
mengharuskan mahasiswa menjalani pekerjaan sampingan sembari kuliah.
g. Waktu
Kesulitan mengatur waktu juga menjadi penyebab stres pada mahasiswa.
Terutama jika jadwal berantakan dan jatah tidur berkurang, mahasiswa
akan semakin mudah merasa stres.
B. Hakikat Resiliensi
1. Pengertian Resiliensi
Ada beberapa pengertian resiliensi yang dikemukakan para ahli. Secara
umum didefinisikan, demikian:
“... a dynamic process whereby individuals show adaptive functioning in the face of significant adversity”. (Schoon, 2006, h. 6)
Schoon mengutip definisi beberapa ahli dan menyimpulkan bahwa resiliensi
merupakan proses dinamis dimana individu menunjukkan fungsi adaptif
dalam menghadapi masalah yang berperan penting bagi dirinya.
“... the ability to bounce back successfully despite exposure to severe risk”. (Benard dalam Krovetz, 1999, h. 2)
Benard mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bangkit
dengan sukses walaupun mengalami situasi penuh resiko yang tergolong
parah; sedangkan Grothberg (1999) mendefinisikan resiliensi sebagai
kemampuan manusia untuk menghadapi, mengatasi, mendapatkan kekuatan
dan bahkan mampu mencatat transformasi diri setelah mengalami adversity.
Sisi lain, Reivich dan Shatte (2002) mendefinisikan resiliensi sebagai berikut: “Resilience is the capacity to respond in healthy and productive ways and when adversity or trauma, that it is essential for managing the daily stress of life.”(Reivich dan Shatte, 2002;h.26)
Resiliensi merupakan kemampuan individu untuk melakukan respon
dengan cara yang sehat dan produktif ketika berhadapan dengan adversity atau
trauma, dimana hal tersebut sangat penting untuk mengendalikan tekanan
hidup sehari-hari.
Lebih jauh Reivich dan Shatte (2002) mengatakan bahwa resiliensi
merupakan mind-set yang memungkinkan manusia mencari berbagai pengalaman dan memandang hidupnya sebagai suatu kegiatan yang sedang
berjalan. Resiliensi menciptakan dan mempertahankan sikap positif. Resiliensi
memberi rasa percaya diri untuk mengambil tanggungjawab baru dalam
pengalaman yang akan memberi tantangan untuk mempelajari tentang diri
sendiri dan berhubungan lebih dalam dengan orang lain.
Resiliensi merupakan gambaran dari proses dan hasil kesuksesan
beradaptasi dengan keadaan yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat
menantang, terutama keadaan dengan tingkat stres yang tinggi atau
kejadian-kejadian traumatis (Rutter dalam Wolkow, 2001). Jackson (2002)
mengartikan resiliensi adalah kemampuan individu untuk dapat beradaptasi
dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan yang sulit.
Kimberly Gordon (dalam Hutapea, 2006) mengemukakan bahwa
resiliensi merupakan suatu proses tidak hanya memfokuskan pada kesulitan
atau trauma masa lalu melainkan juga pada kesulitan atau trauma masa kini
dan antisipasi terhadap kesulitan atau trauma masa depan sehingga pada
akhirnya seseorang dapat meningkatkan kualitas hidupnya.
Grotberg (1995: 10) menyatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan
seseorang untuk menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun
mengubah dirinya dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup. Karena
setiap orang itu pasti mengalami kesulitan ataupun sebuah masalah dan tidak
ada seseorang yang hidup di dunia tanpa suatu masalah ataupun kesulitan. Hal
senada diungkapkan oleh Reivich dan Shatte (1999: 26), bahwa resiliensi
menghadapi kesulitan atau trauma, dimana hal itu penting untuk mengelola
tekanan hidup sehari-hari.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa resiliensi yaitu merupakan suatu kemampuan untuk tetap
bertahan dalam situasi yang tidak nyaman dan tetap tenang untuk berpikir
positif. Resiliensi merupakan kemampuan seseorang untuk dapat beradaptasi
dalam kesulitan yang dihadapi, sehingga dapat bersikap tenang dan bangkit
dari kesulitan yang dihadapi.
Dengan demikian, resiliensi tidak hanya dikaitkan dengan kemampuan
seseorang yang pernah mengalami suatu pengalaman trauma melainkan suatu
kemampuan yang dimiliki oleh setiap orang, baik yang mengalami
pengalaman traumatik maupun tidak, dengan tingkat kemampuan yang
berbeda-beda. Resiliensi dapat digunakan untuk membantu seseorang dalam
menghadapi serta mengatasi situasi sulit sekaligus dapat digunakan untuk
mempertahankan serta meningkatkan kualitas hidupnya.
Menurut Wolin dan Wolin (1999), ada tujuh karakteristik utama yang
dimiliki oleh mahasiswa yang resiliensi. Karakteristik inilah yang membuat
mahasiswa mampu beradaptasi dengan baik saat menghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Ketujuh karakteristik mahasiswa yang memiliki resiliensi adalah sebagai berikut :
Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri sendiri dan menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu mahasiswa untuk dapat
memahami diri sendiri dan orang lain serta dapat menyesuaikan diri dalam
berbagai situasi. Insight adalah kemampuan yang paling mempengaruhi
resiliensi.
2. Kemandirian.
Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak secara
emosional maupun fisik dari sumber masalah dalah hidup seseorang.
Kemandiran melibatkan kemampuan untuk menjaga keseimbangan antara
jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain.
3. Hubungan.
Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan yang jujur,
saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau memiliki role
model yang sehat.
4. Inisiatif.
Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung jawab atas
kehidupan sendiri atau masalah yang sedang dihadapi. Mahasiswa yang
resilien bersikap proaktif, bukan kreatif, bertanggung jawab dalam
pemecahan masalah, selalu berusaha memperbaiki diri ataupun situasi yang
dapat diubah, serta meningkatkan kemampuan untuk menghadapi hal-hal
5. Kreativitas.
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai pilihan,
konsekuensi, dan alternatif dalam menghadapi tantangan hidup. Mahasiswa
yang resilien tidak terlibat dalam perilaku negatif, sebab ia mampu
mempertimbangkan konsekuensi dari tiap perilakunya dan membuat
keputusan yang benar.
6. Humor.
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang kehidupan,
menertawakan diri sendiri, dan menemukan kebahagiaan dalam situasi
apapun. Mahasiswa yang resilien menggunakan rasa humornya untuk
memandang tantangan hidup dengan cara yang baru dan lebih ringan.
7. Moralitas.
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai dengan keinginan untuk hidup
secara baik dan produktif. Mahasiswa yang resilien dapat mengevaluasi
berbagai hal dan membuat keputusan yang tepat tanpa rasa takut akan
pendapat orang lain. Mereka juga dapat mengatasi kepentingan diri sendiri
dalam membantu orang yang membutuhkan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa
karakteristik resiliensi merupakan kemampuan mental bertanya pada diri
sendiri, kemandirian dalam mengatasi masalah yang dialami mahasiswa,
kreatif yang dimiliki mahasiswa, kemampuan humor yang mahasiswa
dalam menjalani kehidupan serta orientasi nilai yang dimiliki.
2. Sifat Dasar Resiliensi
Penyelidikan tentang resiliensi yang telah berlangsung hampir lima
puluh tahun menunjukkan hasil bahwa proses yang menentukan resiliensi
pada orang dewasa merupakan hal yang dinamis. Sebuah interaksi kompleks
antara elemen dunia eksternal dan internal. Beberapa penyebab internal dari
rendahnya kemampuan resiliensi seperti thinking style, merupakan hal yang dapat diubah, bahkan ditiadakan. Perubahan dalam thinking style dapat
digunakan individu untuk menghentikan konsekuensi negatif yang sedang
berlangsung yang berakar dari kejadian di masa kanak-kanak dan berada di
luar kontrol (Reivich dan Shatte, 2002).
Hasil penelitian juga menyatakan bahwa manusia memiliki empat
penggunaan dasar resiliensi, yakni (1) sebagian individu harus
mengaplikasikan persediaan resiliensinya “untuk menanggulangi to
overcome” hambatan pada masa kanak-kanaknya; (2) bagi semua orang,
resiliensi dibutuhkan “untuk melewati/to steer through” adversity yang
ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Hidup dipenuhi stress dan percekcokan,
akan tetapi, bila individu memiliki resiliensi, maka ia tidak akan membiarkan
kesengsaraan hidup mengganggu produktivitas dan kesejahteraannya; (3)
merasa helpless dan tidak mampu melanjutkan hidupnya, atau justru akan
mampu “untuk bangkit/to bounce back” dan menemukan jalan untuk maju;
dan (4) ketiga penggunaan resiliensi sebelumnya memiliki sifat reaktif, dan
menentukan respon individu terhadap adversity.
Penggunaan resiliensi yang keempat melebihi keinginan individu untuk
melindungi dan mempertahankan diri. Individu memiliki target untuk
menemukan makna baru dan tujuan hidup serta membuka diri terhadap
pengalaman baru dan tantangan yang dapat diaplikasikan pada resiliensi.
Individu memiliki kemampuan “untuk keluar/to reach out” sehingga dapat
melakukan apapun yang mampu ia lakukan (Reivich dan Shatte, 2002). Sifat
resiliensi di atas membantu menjelaskan bagaimana manusia menggunakan
resiliensi untuk menghadapi adversity dalam hidupnya.
3. Manfaat Resiliensi
Universitas Pensylvania – hampir 15 tahun para ahli melakukan
penelitian mengenai peran resiliensi terhadap kehidupan manusia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa resiliensi sangat penting bagi kesuksesan dan
kebahagiaan manusia. Sebagai tindak lanjut dari penelitian tersebut, para ahli
kemudian mengembangkan seperangkat ketrampilan untuk membantu
individu mencapai tujuan hdupnya dengan cara meningkatkan kemampuan
resiliensi. Kemampuan yang membuat mereka bangkit dari tekanan tersebut
Individu yang memiliki resiliensi yang baik mampu bangkit dari
trauma yang mereka alami. Mereka mencari pengalaman baru yang
menantang bagi diri mereka karena mereka telah belajar bahwa hanya melalui
perjuangan yang berat mereka akan mampu memperluas wawasan mereka.
Mereka memahami bahwa kegagalan bukanlah titik akhir. Mereka tidak malu
saat tidak berhasil, tapi justru dapat mengambil makna dari kegagalan dan
mereka menggunakan pengetahuan tersebut untuk mencoba lebh baik dari
yang pernah dilakukan (Reivich dan Shatte, 2002).
Reivich and Shatte (dalam Ryan-Bannerman, 2004) telah merintis dan
menyelesaikan berbagai penelitian dalam menolong anak-anak, pelajar,
mahasiswa, dan karyawan agar mampu mengembangkan resiliensi mereka.
Hasilnya sangat mengesankan, salah satu penelitian menunjukkan bahwa
anak-anak yang menjadi partisipan terus menggunakan ketrampilan yang
diajarkan dan menunjukkan tingkat depresi yang lebih rendah dibandingkan
kelompok kontrol.
Manusia membutuhkan resiliensi agar mampu bangkit dari masalah.
Bila biasanya masalah dapat menyebabkan stres, dengan kemampuan
resiliensi seseorang akan dapat mengambil makna dari kegagalan dan
mencoba lebih baik dari yang pernah ia lakukan, sehingga menurunkan resiko
4. Keterampilan Resiliensi
Reivich dan Shatte (2002) mengatakan bahwa ada tujuh ketrampilan
yang dibutuhkan seseorang agar mampu menilai diri sendiri dan lingkungan
secara akurat. Keterampilan ini bisa dipelajari serta dapat meningkatkan tujuh
aspek dalam kemampuan resiliensi:
a. Pelajari ABC/Learning your ABCS
Individu harus mengetahui masalah dan bagaimana ia menginterpretasi
masalah tersebut. Individu harus belajar mengenali dampak dari pikiran
dan keyakinan sepintas terhadap konsekuensi perilaku dan emosional dari
masalah. Individu harus “mendengarkan pikirannya, mengidentifikasi apa
yang akan ia katakan pada diri sendiri ketika berhadapan dengan masalah,
dan memahami bagaimana pikirannya mampu mempengaruhi perasaan dan
perilakunya. Dengan demikian, tidak terjadi lagi kesalahan dalam
menyikapi masalah yang bersumber dari kesalahannya dalam
menginterpretasi kejadian.
b. Hindari hambatan dalam berpikir/Avoiding thinking traps
Ketika menghadapi masalah, manusia umumnya melakukan delapan
kesalahan yang menurunkan resiliensi karena merupakan penghambat
dalam berpikir, yaitu: terlalu cepat mengambil kesimpulan, mempersempit
pandangan (misalnya hanya fokus pada hal-hal negatif),
sendiri, menyalahkan orang lain, menggeneralisasi, mengasumsikan apa
yang dipikirkan orang lain, penalaran yang didasarkan pertimbangan
emosi. Individu harus belajar mengidentifikasi kebiasaannya dalam
merespon permasalahan dan berusaha mengoreksinya.
c. Deteksi gunung es/Detecting iceberg
Manusia seringkali menilai orang lain maupun dunia berdasarkan
nilai-nilai yang ia yakini dan inginkan sendiri. Individu harus mampu
mengidentifikasi deep belief yang ia miliki dan menentukan kapan hal tersebut membantu dan kapan hal tersebut justru menjerumuskan.
d. Uji keyakinan/Challenging beliefs
Suatu proses untuk meningkatkan pemahaman akan suatu peristiwa
yang mengarahkan pada perilaku yang lebih efektif dan mendukung
perilaku pemecahan masalah karena komponen kunci resiliensi adalah
pemecahan masalah. Individu harus mempelajari bagaimana menguji
accuracy of beliefs yang ia miliki mengenai permasalahan yang dihadapinya dan bagaimana mendapatkan solusi yang tepat.
e. Tempatkan pada perspektif yang tepat/Putting in perspective
Individu harus mampu menghentikan cara berpikir “what-if”
(berandai-andai); cara berpikir yang berputar-putar dan tidak sehat.
Individu harus mengubahnya kepada pikiran yang lebih realistis dan lebih
f. Tenang dan fokus/Calming and focusing
Individu harus mampu tetap tenang dan fokus bila menghadapi suatu
permasalahan. Jangan sampai kondisi emosi mempengaruhi kemampuan
berpikir dan berkonsentrasi. Individu harus menemukan cara menghindari
adversity dan menciptakan kesempatan untuk berpikir lebih resilien.
g. Resiliensi tepat waktu/Real-time resilience
individu harus mampu mengubah counterproductive thoughts menjadi
resilience thoughts dengan cepat. Begitu adversity terjadi, individu segera
berpikir dan bertindak resilien dengan cepat. Namun demikian, harus
dingat bahwa walaupun kadangkala resiliensi membutuhkan tindakan
segera, tetapi seringkali justru tidak. Tidak dibutuhkan waktu untuk
berpikir secara mendalam untuk memilih tindakan yang resilien.
5. Prinsip Dasar Ketrampilan Resiliensi
Empat prinsip dijadikan Reivich dan Shatte (2002) sebagai dasar bagi
ketrampilan resiliensi adalah sebagai berikut:
a. Manusia Dapat Berubah
Filsafat John Locke dan Jean Jacques Rousseau mengatakan
bahwa manusia bukanlah korban dari leluhur atau masa lalunya. Setiap
orang bebas mengubah hidupnya kapan saja memiliki keinginan dan
dorongan. Setiap orang dilengkapi dengan ketrampilan yang sesuai.
penelitian mendukung bahwa manusia dapat berubah secara positif
dan menetap.
b. Pikiran adalah Kunci untuk Meningkatkan Resiliensi
Pendapat Aaron Beck yang mengatakan bahwa kognisi
mempengaruhi emosi. Emosi menentukan siapa yang tetap resilien dan
mengalah. Beck mengembangkan system terapi yang dinamakan terapi
kognitif dimana pasien belajar mengubah pikirannya untuk mengatasi
deprivasi dan kecemasan.
c. Ketepatan Berpikir adalah Kunci
Penelitian menunjukkan bahwa individu yang memiliki
optimisme yang tidak realistis cenderung menyelesaikan resiko yang
akan terjadi pada kesehatan merka, sehingga justru menjadi tidak
tertolong. Optimisme realistis, tidak mengasumsikan bahwa hal-hal
baik akan datang dengan sendirinya. Hal-hal baik hanya akan terjadi
melalui usaha, pemecahan masalah dan perencanaan.
d. Fokus Kekuatan Manusia
Positif psychology memiliki dua tujuan utama, yakni (1) meningkatkan pemahaman tentang kekuatan manusia (human strengths) melalui perkembangan system dan metode klasifikasi untuk
mengukur kekuatan tersebut; dan (2) menanamkan pengetahuan ini ke
membangun kekuatan partisipan daripada untuk memperbaiki
kelemahan mereka. Resiliensi merupakan kekuatan dasar (basic
strength) yang mendasari semua karakteristik positif pada kondisi emosional dan psikologis manusia. Kurangnya resiliensi menjadi
penyebab keberfungsian negatif. Tanpa resiliensi tidak akan ada
keberanian, rasionalitas dan insight (Reivich dan Shatte, 2002). 6. Aspek-aspek Resiliensi
Reivich & Shatte (2002) memaparkan tujuh aspek resiliensi.
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Regulasi Emosi/Emotion Regulation
Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk tetap tenang
meskipun mengalami tekanan. Orang-orang yang resilien
menggunakan seperangkat ketrampilan yang sudah matang yang
membantu mereka mengontrol emosi, perhatian dan perilakunya.
Regulasi diri penting untuk membentuk hubungan akrab, kesuksesan
di tempat kerja, sekolah, kampus dan mempertahankan kesehatan
fisik. Reivich dan Shatte (2002) juga mengemukakan terdapat dua hal
penting yang terkait dengan pengaturan emosi, yaitu ketenangan
(calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola
kedua keterampilan ini dapat membantu mereka dalam meredakan
serta mengurangi stress. Contohnya, dapat mengendalikan dirinya apabila sedang kesal, serta dapat mengatasi rasa cemas, sedih, dan
marah.
b. Kontrol Terhadap Impuls/Impulse Control
Orang yang mampu mengontro dorongannya, menunda
pemuasan kebutuhannya, akan lebih sukses secara sosial dan
akademis. Kontrol terhadap impuls adalah kemampuan individu untuk
mengendalikan impuls atau dorongan-dorongan dalam dirinya, dan
dengan mengontrol impuls akan membawa kepada kemampuan
berpikir yang jernih dan akurat. Kontrol terhadap impuls ini bukan
hanya berhubungan erat dengan pengaturan emosi, tetapi juga
berhubungan dengan kebutuhan ataupun keinginan tertentu dari
individu yang dapat mengganggu serta menghambat
perkembangannya (Reivich & Shatte, 2002). Individu dengan kontrol
terhadap impuls yang rendah pada umumnya percaya pada pemikiran
impulsifnya yang mengenai situasi sebagai kenyataan dan bertindak
sesuai dengan situasi tersebut. Contohnya, individu mudah kehilangan
kesabaran dan mudah marah.
c. Optimisme/Optimism
Orang yang memiliki resiliensi adalah orang yang optimis.
kemungkinan yang kecil untuk mengalami depresi, berprestasi lebih
baik di sekolah, lebih produktif dalam pekerjaan, dan berprestasi di
berbagai bidang. Optimisme berarti individu memiliki kepercayaan
bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih baik. Individu mempunyai
harapan dan kontrol atas kehidupannya. Optimisme berarti bahwa kita
percaya akan adanya kemampuan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan
yang akan menghadang (Reivich & Shatte, 2002). Contohnya,
individu jarang mengalami depresi dan lancar dalam sekolah/kuliah
maupun bekerja.
d. Kemampuan Menganalisis Masalah/Causal Analysis
Kemampuan menganalisis masalah menunjukkan bahwa
seseorang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab
masalahnya secara akurat. Jika seseorang mampu mengidentifikasi
penyebab masalah secara akurat, maka ia tidak akan melakukan
kesalahan yang sama terus menerus (Reivich & Shatte, 2002).
Kemampuan menganalisis masalah dilakukan individu untuk mencari
penjelasan dari suatu kejadian. Individu yang tidak mampu
mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang dihadapi secara
tepat, maka akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama.
Contohnya, tidak menyalahkan orang lain atas masalah yang
e. Empati/Empathi
Empati merupakan kemampuan individu untuk bisa membaca
dan merasakan bagaimana perasaan dan emosi orang lain. Empati
menunjukkan bagaimana seseorang mampu membaca sinyal-sinyal
dari orang lain mengenai kondisi psikologis dan emosional mereka,
melalui isyarat nonverbal, untuk kemudian menentukan apa yang
dipikirkan dan dirasakan orang lain. Empati sangat berperan dalam
hubungan social dimana seseorang ingin dimengerti dan dihargai.
Seseorang yang rendah empatinya, walaupun memiliki tujuan yang
baik, akan cenderung mengulangi pola perilaku yang tidak resilien.
Mereka dikenal memaksakan emosi dan keinginan orang lain. Dengan
kemampuan ini, individu dapat memahami bagaimana cara
menghadapi orang lain sehingga mampu mengatasi permasalahan
yang dihadapinya (Reivich & Shatte, 2002). Oleh karena itu,
seseorang yang memiliki kemampuan berempati cenderung memiliki
hubungan sosial yang baik. Contohnya, individu dapat memahami
orang lain dan mau berbagi dengan sesama.
f. Efikasi Diri/Self Efficacy
Efikasi diri menggambarkan perasaan seseorang tentang
seberapa efektifnya ia berfungsi di dunia ini. Hal ini menggambarkan
mengalami dan memiliki keberuntungan dan kemampuan untuk
sukses. Mereka yang tidak yakin tentang kemampuannya akan mudah
tersesat. Efikasi diri mewakili kepercayaan individu bahwa individu
mampu untuk mengatasi segala permasalahan disertai keyakinan akan
kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
tersebut. Menurut Bandura (1997), individu yang memiliki efikasi diri
yang tinggi akan sangat mudah dalam menghadapi tantangan. Individu
tidak merasa ragu karena ia memiliki kepercayaan yang penuh dengan
kemampuan dirinya. Individu ini akan cepat menghadapi masalah dan
mampu bangkit dari kegagalan yang ia alami. Dengan keyakinan yang
dimiliki individu, ia pasti akan mampu bertahan dan menjadi individu
yang resilien. Efikasi diri merupakan hal yang sangat penting untuk
mencapai resiliensi. Contohnya, individu memiliki komitmen yang
tinggi dan bekerja keras.
g. Pencapaian/Reaching Out
Resiliensi bukan sekedar kemampuan mencapai aspek positif
dalam hidup. Resiliensi merupakan sumber daya untuk mampu keluar
dari kondisi sulit merupakan kemampuan seseorang untuk bisa keluar
dari “zona aman” yang dimilikinya. Pencapaian menggambarkan
kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif
mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam
kehidupannya. Revich dan Shatte (2002) memaparkan resiliensi
merupakan kemampuan yang meliputi peningkatan aspek positif
dalam hidup. Individu yang meningkatkan aspek positif dalam hidup,
mampu melakukan dua aspek ini dengan baik, yaitu: (1) mampu
membedakan risiko yang realistis dan tidak realistis, (2) memiliki
makna dan tujuan hidup serta mampu melihat gambaran besar dari
kehidupan. Individu yang selalu meningkatkan aspek positifnya akan
lebih mudah dalam mengatasi permasalahan hidup, serta berperan
dalam meningkatkan kemampuan interpersonal dan pengendalian
emosi. Contohnya, individu bersikap realistis dan terus berpikir
positif.
7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Resiliensi
Everall dkk. (2006) memaparkan tiga faktor yang
mempengaruhi resiliensi, yaitu :
a. Faktor individual
Faktor individual meliputi kemampuan kognitif, konsep diri,
harga diri, dan kompetensi sosial yang dimiliki individu. Menurut
Holaday (dalam Hutapea, 2006), keterampilan kognitif berpengaruh
penting pada resiliensi individu. Inteligensi sedang atau rata-rata
resiliensi sangat terkait erat dengan kemampuan untuk memahami dan
menyampaikan sesuatu lewat bahasa yang tepat, kemampuan
membaca, dan komunikasi non verbal. Resiliensi juga dihubungkan
dengan kemampuan untuk melepaskan pikiran dari trauma dengan
menggunakan fantasi dan harapan-harapan yang ditumbuhkan pada
diri individu yang bersangkutan.
b. Faktor keluarga
Keluarga merupakan institusi sosial yang bersifat universal dan
multifungsional. Salah satu poin penting bagi keluarga adalah dengan
memperkuat resiliensi keluarga. Kalil (2003:15) mengemukakan
bahwa resiliensi keluarga merujuk kepada proses coping dan adaptasi dalam keluarga sebagai unit yang fungsional. Faktor-faktor keluarga
yang berhubungan dengan resiliensi, yaitu hubungan yang dekat
dengan orangtua yang memiliki kepedulian dan perhatian; pola asuh
yang hangat, teratur dan kondusif bagi perkembangan individu; sosial
ekonomi yang berkecukupan, dan hubungan harmonis dengan anggota
keluarga lain. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam
proses keluarga yang resiliensi merupakan keluarga yang memilih cara
yang positif, efektif, dan tidak menimbulkan efek negative lain yang
saling berkaitan dalam menghadapi tantangan.
Komunitas resilien adalah sebuah komunitas yang terfokus
pada faktor protektif yang mendorong anggotanya untuk memiliki
kemampuan resiliensi yang baik. Komunitas ini memiliki beberapa
sifat, diantaranya yaitu (1) sangat memperhatikan dan memberikan
kasih sayang kepada anggotanya, (2) memiliki harapan dan dukungan
yang tinggi (3) memberikan kesempatan yang selalu terbuka untuk
ikut berpatisipasi seluas-luasnya pada kegiatan-kegiatan yang
dilakukan oleh komunitas tersebut. (Krovetz, 1999).
Melalui komunitas individu merasa dihargai keberadaannya
oleh orang lain. Ketika komunitas memperlihatkan kepedulian
terhadap individu, individu tersebut akan merasakan hubungan dan
dukungan yang membantu mereka dalam beradaptasi dengan kondisi
yang ada dan mengatasi konsekuensi negatif yang sering kali dihadapi
oleh individu.
Faktor komunitas meliputi kemiskinan dan keterbatasan
kesempatan kerja. Isaacson (dalam Rahmawati, 2009) menegaskan
bahwa dukungan sosial yang diberikan oleh komunitas (dalam hal ini
tetangga, teman, penolong) merupakan penanda kesuksesan bagi
individu. Komunitas resilien adalah sebuah komunitas yang terfokus
pada faktor protektif yang mendorong anggotanya untuk memiliki
Sisi lain, faktor komunitas dimaknai sebagai kemampuan yang
dimiliki seseorang untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam
berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam
berbagai latar kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi, dan sosial)
juga mengatur tingkah laku, serta mendapatkan bantuan saat
membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi faktor
komunitas yaitu: 1) Communicate (berkomunikasi), 2) Problem Solve
(pemecahan masalah), 3) Manage My Feelings and Impulses
(mengelola berbagai perasaan dan rangsangan), 4) Gauge The
Temperament Of Myself and Others (mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain), dan 5) Gauge the temperament of myself and
others (mencari hubungan yang dapat dipercaya). 8. Ciri-ciri Mahasiswa yang Memiliki resiliensi
Ciri-ciri mahasiswa yang memiliki resiliensi menurut Sarafino
(1994), yaitu (a) memiliki temperamen yang lebih tenang, sehingga
dapat menciptakan hubungan yang lebih baik dengan keluarga dan
lingkungan; (b) memiliki kemampuan untuk dapat bangkit dari
tekanan dan berusaha untuk mengatasinya.
Grotberg (1995) mengatakan bahwa mahasiswa yang memiliki
resiliensi (a) mempunyai kemampuan untuk mengendalikan perasaan
bangkit dari permasalahan dan berusaha untuk mengatasinya; (c)
mandiri dan dapat mengambil keputusan berdasarkan pemikiran serta
inisiatif sendiri dan memiliki empati dan sikap kepedulian yang tinggi
terhadap sesama.
Reivich (2002), menambahkan bahwa mahasiswa yang
memiliki resiliensi (a) mampu mengatasi stress; (b) bersikap realistik
serta optimistik dalam mengatasi masalah; (c) mampu
mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka dengan nyaman;
sedangkan Grotberg (dalam Suwarjo, 2008:35) menyatakan bahwa
seseorang dengan tingkat resilieni yang rendah tidak akan mampu
menilai, mengatasi, dan meningkatkan diri ataupun mengubah dirinya
dari keterpurukan atau kesengsaraan dalam hidup.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa ciri-ciri mahasiswa yang memiliki resiliensi dapat
mengendalikan perasaan dan mampu mengeskpresikan diri secara
nyaman. Dengan demikian, mahasiswa mampu mengambil keputusan
yang wajar dan tetap bersikap optimis. Mahasiswa juga memiliki sikap
9. Karakteristik Mahasiswa Baru dan Kemampuan Resiliensi
Resiliensi merupakan kemampuan mahasiswa dalam
mengatasi, melalui, dan kembali pada kondisi semula setelah
mengalami kesulitan. Asumsi dasar dari resiliensi adalah bahwa dalam
menghadapi suatu kesulitan atau tantangan, ada mahasiswa yang
berhasil mengatasinya dengan baik (kembali) dan ada juga yang tidak
berhasil (Reivich & Shatte, 2002). Ong dkk (Rinaldi, 2010)
mengemukakan bahwa resiliensi adalah keberhasilan menyesuaikan
diri terhadap tekanan yang terjadi. Menurut Reivich & Shatte (Wielia
& Wirawan, 2005) ciri-ciri orang yang resiliensi mampu
mengendalikan emosi dan bersikap tenang walaupun berada di bawah
tekanan, mampu mengontrol dorongannya dan membangkitkan
pemikiran yang mengarah pada pengendalian emosi, bersifat optimis
mengenai masa depan cerah, mampu mengidentifikasi penyebab dari
masalah mereka secara akurat, memiliki empati, memiliki keyakinan
diri, memiliki kompetensi untuk mencapai sesuatu. Parton dan Wattam
(Sisca & M, Clara, 2008) mengungkapkan bahwa resiliensi dapat
terjadi pada masa dewasa dimana seseorang memiliki banyak
kesempatan, sumber-sumber, dan perubahan-perubahan sosial.
1. Pengertian Mahasiswa
UU No Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi sendiri
memberi pengertian bahwa mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang
Pendidikan Tinggi. Sedangkan UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas
Bab VI bagian ke empat pasal 19 mengemukakan bahwasanya “mahasiswa”
itu sebenarnya hanya sebutan akademis untuk siswa/murid yang telah sampai
pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Sedangkan
Santoso (2012) mengartikan mahasiswa sebagai orang yang belajar di
perguruan tinggi, baik di universitas, institut atau akademi. Definisi lain
tentang mahasiswa menurut kamus lengkap bahasa Indonesia (Kamisa, 1997),
bahwa mahasiswa merupakan individu yang belajar di perguruan tinggi.
Djojodibroto (Sumarno, 2011) mempunyai definisi lain, mahasiswa
merupakan suatu golongan dari masyarakat yang mempunyai dua sifat, yaitu
manusia muda dan calon intelektual, dan sebagai calon intelektual mahasiswa
harus mampu berpikir kritis terhadap kenyataan sosial, sedangkan sebagai
manusia muda, mahasiswa seringkali tidak mengukur resiko yang akan
menimpa dirinya. Lebih jauh, menurut Ganda (2004), mahasiswa adalah
individu yang belajar dan menekuni disiplin ilmu yang ditempuhnya secara
mantap, dimana didalam menjalani seragkaian kuliah itu sangat dipengaruhi
mahasiswa ada yang sudah bekerja atau disibukkan oleh kegiatan organisasi
kemahasiswaan.
2. Mahasiswa Baru
Istilah mahasiswa baru (freshman) menurut Kamus Oxford (Hornby,
1995) adalah pada masa tahun pertama di universitas, sehingga pada
penelitian ini mahasiswa baru selanjutnya disebut sebagai mahasiswa tahun
pertama. Mahasiswa tahun pertama yang tidak berhasil beradaptasi dengan
lingkungan baru tersebut dapat mengalami berbagai masalah, termasuk
masalah dalam membina hubungan dengan orang lain.
Sarwono (2002) mengartikan mahasiswa adalah kelompok masyarakat
yang statusnya terikat dengan Perguruan Tinggi. Ditjen Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (dalam Nugraha, 2001)
mendefinisikan mahasiswa adalah setiap orang yang secara resmi terdaftar
untuk mengikuti pelajaran-pelajaran di Perguruan Tinggi dengan batas usia
18-30 tahun.
Berdasarkan batas usia, Sarwono (dalam Nugraha, 2001) menjelaskan,
mahasiswa berada di tahun pertama perkuliahan ( 18 tahun) pada tahap
perkembangan remaja akhir dan transisi menuju dewasa muda. Oleh sebab itu,
yang menjadi ciri khas dan tugas perkembangan mahasiswa baru adalah