• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Efisiensi Pembakaran

Efisiensi pembakaran menunjukkan sampai sejauh mana suatu bahan dapat terbakar dalam satuan persen. Bila pembakaran tidak sempurna, sebagian dari hasil pembakaran akan tetap mengendap sebagai tetesan cairan yang sangat kecil (Pyne et al. 1996 dalam Syaufina. 2008). Dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efisiensi pembakaran maka pelaksanaan pembakaran terkendali dapat berlangsung dengan baik karena dampak kebakaran dapat diminimalkan (DeBano et al. 1998 dalam Syaufina. 2008). Terdapat beberapa faktor penting yang berpengaruh pada efisiensi pembakaran sebagai berikut :

1. Kadar Air bahan bakar

Kandungan air bahan bakar meningkatkan jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu pada suatu titik dimana gas-gas yang mudah terbakar dihasilkan. Air tersebut akan menyerap sebagian panas yang tersedia untuk pirolisis dan melarutkan gas-gas yang dihasilkan. Oleh karena itu, kadar air bahan bakar meningkatkan waktu penyalaan dan menurunkan laju pembakaran (Countryman 1976b dalam DeBano et al. 1998). Pada dasarnya, bahan bakar kering akan terbakar sempurna dan cepat, sementara bahan bakar basah mungkin lambat terbakar dengan suhu yang rendah. Pengaruh kadar air dalam bahan bakar pada emisi total pada pembakaran bisa berasal dari pembakaran sempurna (bersih) bahan kering dengan tingkat emisi yang rendah sampai proses smoldering yang lebih lama daripada bahan bakar basah yang bersamaan dengan tingkat emisi yang lebih tinggi, tetapi juga bahan yang tidak terbakar dengan sempurna juga mengarah pada tingkat emisi yang rendah.

2. Suplai Oksigen

Faktor utama yang mempengaruhi efisiensi proses pembakaran adalah suplai udara. Apabila pergerakan udara ke dalam dan di sekitar pembakaran flaming tidak cukup memadai untuk pencampuran O2 dengan

(2)

gas-gas yang mudah terbakar yang dilepaskan dengan pirolisis kurang baik maka oksidasi menjadi tidak sempurna dan efisiensi pembakaran akan menurun. Gejala ini menghasilkan produk emisi CO yang lebih besar. 3. Laju dan arah penjalaran api

Efisensi pembakaran juga dipengaruhi oleh laju dan arah penjalaran api. Umumnya, semakin cepat nyala api menembus tumpukan bahan bakar, semakin rendah efisiensi pembakaran. Pembakaran permukaan dapat bergerak lebih cepat searah angin menembus permukaan bahan bakar yang banyak akan menghasilkan zona smoldering yang besar di belakang zona zona utama pembakaran. Sebaliknya, pembakaran terbalik biasanya bergerak lambat ke arah angin, menghasilkan pembakaran bahan bakar yang sempurna.

4. Tipe, susunan, dan muatan bahan bakar

Tipe, susunan, dan muatan bahan bakar merupakan faktor-faktor lain yang mempengaruhi efisiensi pembakaran. Kebakaran yang terjadi pada bahan bakar yang ringan seperti rerumputan dan serasah segar akan lebih mudah menyala dan terbakar dengan sempurna daripada bahan bakar yang berat seperti kayu. Kunci utamanya adalah ukuran bahan bakar. Menurut (Pyne et al. 1996 dalam Syaufina. 2008), efisiensi pembakaran dalam kebakaran hutan tidak akan pernah mencapai 100% tetapi berkisar antara 50% sampai 95%. Pengukuran efisiensi pembakaran didasarkan pada rasio karbon aktual yang terkandung dalam emisi karbon dioksida terhadap nilai teori karbon yang mungkin dilepaskan dalam bentuk karbon dioksida. Umumnya, efisiensi pembakaran terendah terjadi pada pembakaran smoldering dan tertinggi terjadi pada pembakaran dengan rongga udara yang baik dan pembakaran flaming.

2.2 Hasil Pembakaran

Proses pembakaran menghasilkan produk utama berupa emisi asap yang secara langsung atau tidak dapat berdampak pada lingkungan, baik lokal, nasional, maupun global. Asap dapat menurunkan kualitas udara, memperburuk jarak pandang, dan menimbulkan masalah kabut asap (Pyne et al. 1996 dalam Syaufina.

(3)

2008). Menurut Levine (1994) dalam Syaufina (2008), sebagai produk pembakaran, asap dapat mengandung campuran gas dan partikel yang kompleks, bergantung pada tipe bahan bakar, kandungan kimia bahan bakar, dan perilaku api. Proses pembakaran yang sempurna menghasilkan karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O). Akan tetapi, proses pembakaran pada kebakaran hutan dan lahan tidak pernah terjadi pembakaran sempurna.

Menurut Brown dan Davis (1973) dan Fuller (1991) dalam Syaufina (2008), klasifikasi bahan bakar berdasarkan lokasinya di dalam hutan terdiri dari :

1. Bahan Bakar Bawah (Ground Fuels)

Merupakan bahan bakar serasah (di bawah permukaan tanah), duff atau humus, bagian-bagian kayu dan akar pohon, bahan organik yang membusuk atau mati, gambut dan batu bara. Kebakaran dapat berjalan terus dan berawal dari kebakaran permukaan.

2. Bahan Bakar Permukaan (Surface Fuels)

Merupakan bahan bakar yang berada di lantai hutan, antaralain berupa bahan bakar mati, serasah, log-log sisa tebangan, tunggak pohon, kulit kayu, cabang kecil dan tumbuhan bawah yang berada di lantai hutan. 3. Bahan Bakar Atas (Aerial Fuels)

Disebut juga crown fuels atau bahan bakar tajuk, yaitu bahan bakar yang berada diantara tajuk tumbuhan bawah sampai tajuk tumbuhan tingkat tinggi. Contohnya antara lain cabang-cabang pohon, daun pohon dan semak pohon mati yang masih berdiri. Pohon atau semak belukar lebih tinggi dari 1 - 2 meter di atas tanah.

Menurut Brown dan Davis (1973) dalam Saharjo (2003), terdapat tiga kebakaran hutan berdasarkan atas tipe bahan bakarnya, yaitu:

1. Kebakaran Bawah (Ground Fire)

Tipe kebakaran bawah ini biasanya mengkonsumsi bahan bakar berupa material organik yang terdapat di bawah permukaan tanah/lantai hutan. Yang paling mudah dan klasik adalah pada hutan gambut. Kebakaran

(4)

hutan ini dipengaruhi oleh kecepatan angin. Tanda areal itu terbakar adalah adanya asap putih yang keluar dari bawah permukaan tanah. Kebakaran dengan tipe ini pada kebakaran tahun 1997/1998 yang terjadi di lahan gambut yang terdapat di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan beberapa daerah lainnya. Karena berada di bawah permukaan tanah, maka banyak pohon mati karena akarnya hangus terbakar. Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan.

2. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)

Kebakaran permukaan mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di lantai hutan, baik berupa serasah, jatuhan ranting, dolok-dolok bergelimpangan di lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang berada di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah. Tipe kebakaran ini merupakan tipe kebakaran yang paling sering terjadi dalam tegakan, hutan sekunder dan hutan alam, terkecuali di daerah rawa gambut dimana yang dominan adalah kebakaran bawah. Kebakaran permukaan biasanya merupakan langkah awal menuju kebakaran tajuk, dengan cara terbakarnya tanaman pemanjat yang menghubungkan sampai ke tajuk pohon atau akibat api loncat yang mencapai tajuk pohon.

3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)

Kebakaran tajuk biasanya bergerak dari satu tajuk ke tajuk pohon lainnya dengan cara mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di tajuk pohon tersebut baik berupa daun, cangkang biji, ranting bagian atas pohon, dan sebagainya. Kebakaran tajuk ini biasanya bermula dari adanya api loncat yang berasal dari tajuk tumbuhan bawah/semak yang terbakar atau karena adanya tumbuhan epifit/liana sepanjang batang pohon yang terbakar, kulit pohon yang berminyak, atau karena pemanasan dari permukaan. Kadangkala bara api yang berasal dari tajuk pohon akan jatuh menimpa lantai hutan, sehingga menimbulkan

(5)

kebakaran permukaan. Kebakaran ini sangat sulit untuk ditanggulangi karena menjalar sangat cepat.

2.3 Karbon

Umumnya karbon menyusun 45-50% bahan kering dari tanaman. Sejak kandungan karbondioksida meningkat secara global di atmosfer dan dianggap sebagai masalah lingkungan, berbagai ekolog tertarik untuk menghitung jumlah karbon yang tersimpan di hutan. Hutan gambut merupakan salah satu hutan yang memiliki potensi dalam penyimpanan karbon. Karbon dapat tersimpan dalam material yang sudah mati sebagai serasah, batang pohon yang jatuh kepermukaan tanah, dan sebagai material sukar lapuk di dalam tanah (Whitmore. 1985).

Karbon juga merupakan komponen penting penyusun biomasa tanaman melalui proses fotosintesis. Adanya peningkatan kandungan karbondioksida di atmosfer secara global telah menyebabkan timbulnya masalah bagi lingkungan. Hal ini mempengaruhi kebijakan negara-negara di dunia untuk mempertahankan keberadaan hutan yang dianggap sebagai buffer terhadap kandungan karbon. Karbondioksida merupakan penyerap inframerah yang kuat dan sifat ini membantu mencegah radiasi inframerah meninggalkan bumi. Dengan demikian CO2 memainkan peranan penting dalam mengatur suhu permukaan bumi. Efek "rumah kaca" ini dipengaruhi oleh proporsi karbondioksida dalam atmosfer bumi (Salim. 2005)

Semua tipe hutan mempunyai kemampuan untuk mengabsorpsi karbon. Adapun lokasi utama cadangan karbon terbesar adalah di hutan tropika. baik di permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah. Hutan tropika merupakan tipe hutan yang mengandung biomassa dalam jumlah yang besar sehingga memiliki cadangan simpanan karbon yang sangat penting. Pada umumnya potensi pertumbuhan di hutan tropis lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan tipe hutan lain, sehingga dapat mempercepat akumulasi karbon di dalam tanaman. Vegetasi hutan mempunyai kemampuan untuk menyerap CO2. Hutan mampu menyerap karbon sekitar 16,5 juta metrik ton

(6)

karbon selama 40 tahun melalui pertambahan bersih dari biomassa karbon dan inventarisasi tegakan dan penyerapan melalui tegakan hutan (Whitmore. 1985). Pada ekosistem daratan karbon tersimpan dalam tiga komponen pokok (Hairiah dan Rahayu 2007) yaitu:

a. Biomasa yaitu masa dari bagian vegetasi yang masih hidup yaitu tajuk pohon, tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim.

b. Nekromasa yaitu massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih tegak di lahan atau telah tumbang tergeletak di permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang belum terlapuk.

c. Bahan organik tanah yaitu sisa makhluk hidup (tanaman. hewan dan manusia) yang telah mengalami pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari tanah. Ukuran partikel biasanya lebih kecil dari 2 mm.

2.3.1 Karbon Tanah

Kandungan karbon tanah secara umum akan menurun sejalan dengan kedalaman tanah. Kecenderungan ini disebabkan oleh masukan bahan organik yang terutama disimpan di permukaan tanah atau topsoil. Hendri (2001) melaporkan bahwa kandungan karbon tanah di KPH Cepu pada kedalaman 60 cm lebih rendah bila dibandingkan dengan kandungan karbon pada kedalaman 20 cm. Van Noordwijk et al. (1997) melaporkan kecenderungan yang sama yakni kandungan karbon tanah bagian atas (topsoil) lebih tinggi dibandingkan bagian bawah (subsoil) di daerah dataran rendah Sumatera. Adapun variabel-variabel yang berpengaruh pada kandungan karbon tanah antara lain : kedalaman tanah, kerapatan massa tanah (bulk density) dan konsentrasi karbon organik (Eggleston et al. 2006).

Jumlah CO2 di atmosfer tetap sangat stabil pada tingkat sekitar 280 µmol/mol selama ribuan tahun belakangan ini, dan cukup stabil antara 200 dan 300 µmol/mol selama 150.000 tahun sebelum itu. Sejak sekitar tahun 1850, CO2 di atmosfer meningkat secara eksponensial sampai mencapai 352

(7)

µmol/mol pada tahun 1990. CO2 meningkat sekitar 1,4 µmol/mol/tahun selama 15 tahun terakhir tetapi pada tahun 1988 peningkatannya lebih dari 2 µmol/mol, sebuah lompat terbesar dan lebih dari 0.5% dari kandungan CO2 saat ini. Alasan utama peningkatan sejak tahun 1850 ini ialah pembakaran bahan bakar fosil, tetapi pembukaan lahan khususnya pembakaran hutan tropika juga ikut berperan (Salisbury. 1995).

Peningkatan CO2 di atmosfer di seluruh dunia mendapat perhatian karena CO2 dan beberapa gas lainnya yang disebut gas rumah kaca seperti metan, menyerap lebih banyak energi cahaya pada panjang gelombang panjang daripada panjang gelombang pendek. Panjang gelombang pendek terdapat dominan pada cahaya matahari dan menembus atmosfer, memanaskan bumi dan apa saja yang ada di atas bumi. Bumi kemudian memancarkan panjang gelombang yang lebih panjang (karena bumi jauh lebih dingin daripada matahari) yang diserap oleh gas rumah kaca, yang selanjutnya memancarkan sebagian energi (pada panjang gelombang panjang) kembali ke bumi, sehingga lebih memanaskan bumi lagi (Salisbury. 1995).

2.3.2 Siklus Karbon

Karbon yang berada di atmosfer bumi bagian terbesarnya adalah gas karbon dioksida (CO2). Meskipun jumlah gas ini merupakan bagian yang sangat kecil dari seluruh gas yang ada di atmosfer (hanya sekitar 0.04% dalam basis molar, meskipun sedang mengalami kenaikan), namun memiliki peran yang penting dalam menyokong kehidupan. Gas-gas lain yang mengandung karbon di atmosfer adalah metan dan kloroflorokarbon atau CFC (CFC ini merupakan gas artifisial atau buatan). Gas-gas tersebut adalah gas rumah kaca yang konsentrasinya di atmosfer telah bertambah dalam dekade terakhir ini dan berperan dalam pemanasan global.

Siklus karbon di dalam biosfer meliputi dua bagian siklus penting, di darat dan di laut. Keduanya dihubungkan oleh atmosfer yang berfungsi sebagai fase antara. Hutan mempunyai peranan penting sebagai salah satu reservoir karbon di darat . hutan tropis dengan luasan sekitar 17,6 x 106 km2 mengandung karbon

(8)

sebesar 428 Pg (1Pg = Petagram = 1 milyar ton) yang disimpan dalam vegetasi dan tanah. Di kawasan tropis Asia, dapat diperkirakan bahwa penanaman hutan, agroforestry, regenerasi dan kegiatan-kegiatan menghindari deforestasi mempunyai potensi menyerap karbon yang bervariasi dari 0,50;2,03;3,8 – 7,7 dan 3,3 – 5,8 Pg antara 1995 sampai 2050 (Brown el al. 1996).

Tempat penyimpanan karbon adalah biomasa (meliputi batang, daun, ranting, bunga, buah dan akar), bahan organik mati (nekromas) dan tanah. Atmosfer berperan sebagai media perantara dalam siklus karbon. Aliran C biotik antara atmosfer dan hutan adalah fiksasi netto C melalui proses fotosintesis dan respirasi. Fotosintesis disebut juga asimilasi zat karbon, dimana zat-zat CO2 di udara dan di air diubah menjadi molekul C6H12O6 dengan bantuan cahaya matahari dan klorofil. Fotosintesis didefinisikan sebagai proses pembentukan gula dari dua bahan baku sederhana yaitu karbondioksida dan air dengan bantuanklorofil dan cahaya matahari sebagai sumber energy (Gardner et al. 1991 dalam Hariyadi. 2005). Secara umum produksi berbagai macam gula pada proses fotosintesis diwakili oleh persamaan sebagai berikut :

6CO2 + 12H2O C6H12O6 + 6H2O + O2 cahaya dengan pigmen

Proses fotosintesis di atas hanya menggunakan sebagian kecil radiasi matahari yang diterima oleh tumbuhan tingkat tinggi, karena sebagian besar radiasi tersebut segera ditransformasi ke dalam bentuk panas (Packham dan Harding. 1982). Karbohidrat stabil yang pertama diproduksi dalam proses fotosintesis adalah glukosa yang biasanya dikonversi ke dalam bentuk pati sebagai produk yang disimpan sementara.

Siklus karbon di daratan dapat dikontrol oleh proses fotosintesis, respirasi dan dekomposisi. Siklus karbon tersebut berbeda-beda tergantung tipe ekosistem serta faktor lingkungan seperti suhu, curah hujan, radiasi matahari dan kecepatan angin (Forseth dan Norman. 1993).

Siklus karbon mempunyai empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer,

(9)

biosfer terestial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon), lautan (termasuk karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermacam-macam. Secara umum, siklus karbon disampaikan dalam Gambar 2 .

Gambar 2. Siklus Karbon (IPCC. 2001)

Gambar di atas merupakan siklus karbon yang terjadi pada 3 lapisan yaitu atmosfer, biosfer, dan laut. Jumlah karbon di atmosfer diperkirakan sebesar 750 GtC, di biosfer diperkirakan sebesar 1900 GtC, dan jumlah karbon yang terkandung di lautan diperkirakan sebesar 38000 GtC. Jumlah karbon di laut diperkirakan 50 kali lebih besar dibandingkan jumlah karbon yang ada di atmosfer. Pertukaran karbon di laut dan atmosfer terjadi dalam skala waktu beberapa ratus tahun.

(10)

2.4 Emisi Gas Rumah Kaca Pada Lahan Gambut

Pemanfaatan lahan gambut tropis, khususnya di Indonesia sangat dipengaruhi oleh meningkatnya kebutuhan penduduk akan lahan, pangan, kayu bakar dan bahan bangunan. Pemanfaatan tersebut sangat terkait dengan kebijakan pemerintah dalam kegiatan konversi hutan, industry perkayuan, transmigrasi dan pemukiman penduduk serta perluasan lahan pertanian. Praktek yang biasanya dilakukan adalah dengan melakukan deforestrasi yang diikuti dengan pembangunan kanal atau saluran drainase untuk mengeringkan air yang tertahan di lahan gambut (Murdiyarso et al. 2004).

Lahan gambut berpotensi nyata dalam menghasilkan gas rumah kaca seperti CO2 dan CH4 (Aerts dan Caluwe. 1999). Apabila gambut terbakar atau mengalami kerusakan karena dikelola tanpa memperhatikan sifat gambut, maka bahan gambut akan mengeluarkan gas terutama CO2, N2O, dan CH4 (Sabiham. 2006), yang akan diemisikan ke udara yang dikenal sebagai gas rumah kaca.

Kehilangan C-organik melalui oksidasi menghasilkan CO2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan C-organik antara lain temperatur, O2, pH, dan Eh gambut. Temperatur gambut merupakan pengendali utama terhadap laju dekomposisi gambut, dan peranannya akan sangat dominan bila berinteraksi dengan O2 (Chapman et al. 1996) suhu dan kelembaban baik udara maupun tanah gambut di kawasan tropik sangat dipengaruhi oleh jenis dan kerapatan vegetasi yang menutupinya. Suhu udara hutan gambut alami di Sumatra berkisar 22 0C – 34,5 0C. Pada keadaan tertutup hutan, suhu gambut berkisar 27,5 0C – 29,0 0C dan jika keadaan terbuka berkisar 40,0 0C – 42,5 0C. Suhu yang tinggi pada keadaan terbuaka akan merangsang aktifitas mikroorganisme sehingga perombakan gambut lebih cepat (Noor. 2001).

Kelembaban relatif hutan gambut cukup tinggi pada musim hujan, yakni berkisar 90% - 96%. Pada musim kemarau, kelembaban menurun menjadi 80% (Rieley et al. 1996). Reklamasi atau pembukaan lahan gambut akan mengubah kondisi alam gambut. Perubahan iklim seperti suhu yang

(11)

meningkat dan kelembaban yang menurun merupakan dampak dari perubahan komposisi vegetasi alami karena pembukaan lahan (Noor. 2001).

Di daerah tropis, tanah gambut hutan dapat melepaskan sekitar 26,9 juta ton CH4 dan tanah gambut budidaya sebesar 30,9 juta ton CH4 sementara pada tanah alluvial sebesar 5,0 juta ton CH4 (Barlett dan Harris. 1993). Kuantitas C yang hilang dari lahan-lahan gambut di dunia akibat konversi lahan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Estimasi kehilangan C pada lahan gambut Penggunaan lahan Luas lahan sebelumnya (juta ha) Luas lahan yang hilang (juta ha) Akumulasi C yang hilang akibat emisi (juta ton C) C hilang/tahun (juta ton C) Pertanian/Kehut anan Subtropis 399 20 4140 – 5600 63 – 85 Pertanian/Kehut an Tropis 44 1,76 – 3,8 746 53 – 114 Bahan bakar 5 590 – 780 32 – 39 Hortikultura 5 >100 33 Total 5476 – 7126 181 – 271

Sumber : Maltby dan Immirzi (1993)

Kebakaran hutan dan gangguan lahan lainnya telah menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia. Indonesia berada di bawah Amerika Serikat dan China, dengan jumlah emisi yang dihasilkan mencapai 2 miliar ton CO2 per tahunnya atau menyumbang 10% dari emisi CO2 di dunia (Hooijer et al. 2006)

Kebakaran hutan pada lahan gambut yang terjadi di Indonesia tahun 1997 – 1998 di estimasi sekitar 10 juta hektar lahan yang rusak atau terbakar, dengan kerugian untuk Indonesia terhitung 3 milyar dolar Amerika. Kejadian

(12)

ini sekaligus melepaskan emisi gas rumah kaca sebanyak 0,81 – 2,57 Gigaton karbon ke atmosfer (setara dengan 13 – 40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya) yang berarti menambah kontribusi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global (WWF Indonesia). Penghasil emisi karbon terbesar dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sepuluh negara pengahasil emisi terbesar dunia

No Negara Emisi Karbon (ton) Persentase (%)

1 Amerika Serikat 1.614 21,2 2 China 1.405 18,5 3 Rusia 468 6,2 4 Jepang 348 4,6 5 India 312 4,1 6 Jerman 230 3 7 Kanada 161 2,1 8 Inggris 159 2,1 9 Korsel 139 1,8 10 Italy 132 1,7 Negara lain 2627 34

Gambar

Gambar 2. Siklus Karbon  (IPCC. 2001)
Tabel 1. Estimasi kehilangan C pada lahan gambut  Penggunaan  lahan  Luas lahan  sebelumnya  (juta ha)  Luas lahan  yang hilang (juta ha)  Akumulasi C yang hilang akibat emisi  (juta ton C)  C  hilang/tahun (juta ton C)  Pertanian/Kehut anan Subtropis  399 20  4140  – 5600  63 – 85  Pertanian/Kehut an Tropis  44  1,76 – 3,8  746  53 – 114  Bahan bakar  5  590 – 780  32 – 39  Hortikultura   5 >100 33  Total  5476 – 7126  181 – 271
Tabel 2. Sepuluh negara pengahasil emisi terbesar dunia

Referensi

Dokumen terkait

Skripsi Wacana Identitas Imigran Dalam .... Ida

abnormal return sebelum dan sesudah Pilkada DKI Jakarta 2017 dan terdapat perbedaan trading volume activit y 6 hari sebelum dan 6 hari setelah Pilkada DKI

Pada penerapan model pembelajaran kooperatif Active Knowledge Sharing siswa tidak hanya berdiskusi dengan anggota didalam kelompoknya melainkan saling

Untuk membandingkan akurasi kinerja dari kedua metode maka parameter pembanding yang digunakan adalah sebarapa besar nilai error yang muncul , sehingga berdasarkan

Merencana Multimedia Dasar (Kons.MultimeDEK638 Dody Setianto, S.Sn, M.Ds 3 DKV (MM) AP. Desain Grafis) DEK662 Dra.. NO HARI/TGL WAKTU MATA

Faktor-faktor sosiogeografis yang menjadi inspirasi dalam penciptaan pantun Melayu, sehingga dapat digunakan untuk melihat perubahan alam Melayu sebagaimana hendak diketahui

Laporan Penelitian Arkeologi: Eksplorasi Situs dan Cagar Budaya di Kabupaten Wonosobo dan Sekitarnya Jawa Tengah. Yogyakarta: Balai

• Uji pasti Fisher berlaku untuk semua ukuran contoh (tidak hanya untuk ukuran contoh kecil). • Untuk ukuran contoh besar uji ini memerlukan waktu komputasi