• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suharyanto, Muhammad Tjaronge, dan Abdul Mansyur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Suharyanto, Muhammad Tjaronge, dan Abdul Mansyur"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi tentang sintasan dan produksi udang windu, rumput laut, dan ikan bandeng yang dipelihara secara multitropik di tambak. Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi tambak percobaan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Marana, Maros selama 90 hari. Delapan tambak yang digunakan masing-masing berukuran 25 m x 100 m/2.500 m2 dengan kedalaman 80 cm. Sebagai perlakuan adalah A: udang windu + rumput laut (1 ton/ha) + bandeng (500 ekor/ha), B: udang windu + rumput laut (1 ton/ha) + bandeng (1.000 ekor/ha), C: udang windu + rumput laut (2 ton/ha) + bandeng (500 ekor/ha), D: udang windu + rumput laut (2 ton/ha) + bandeng (1.000 ekor/ ha), masing dengan dua kali ulangan. Tokolan udang windu (PL-31) yang ditebar pada masing-masing tambak adalah 10.000 ekor/ha (1 ekor/m2). Selama pemeliharan tidak diberi pakan. Sampling dilakukan 30 hari sekali selama 90 hari. Data yang diperoleh dihitung dan diuji menggunakan analisis ragam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa budidaya multitropik yang optimal antara udang windu, rumput laut, dan ikan bandeng adalah perlakuan B (2.500 ek/ha udang windu + 1 ton/ha rumput laut + 1.000 ekor/ha bandeng) menunjukkan hasil yang terbaik. Sintasan dan produksi udang windu dan ikan bandeng masing-masing adalah 66,9%; 33,7 kg, dan 99,8%; 63,9 kg; dan secara finansial memberikan keuntungan sebesar Rp 11.572.000,-/ha/90 hari.

KATA KUNCI: multitropik, udang windu, rumput laut, ikan bandeng, sintasan, produksi PENDAHULUAN

Budidaya polikultur atau lazim disebut budidaya multitropik antara dua jenis atau lebih hewan budidaya merupakan sistem budidaya yang dapat meningkatkan produktivitas lahan, asalkan hewan-hewan budidaya tersebut tidak saling mengganggu baik secara biologis maupun ekologis. Sistem budidaya multitropik sudah sejak lama diterapkan oleh petani tambak di Indonesia khususnya di Sulawesi Selatan. Biasanya sebagai hewan pemeliharaan dalam sistem budidaya multitropik ini adalah udang windu (P. monodon) dan ikan bandeng (Chanos chanos), udang windu (P. monodon), dan rumpu laut (Gracilaria sp.).

Penelitian budidaya multitropik krustase dan ikan sudah berkembang sejak tahun 1980-an, antara lain budidaya multitropik antara udang windu dan ikan bandeng (Mansyur et al., 1987), udang windu dengan ikan baronang (Tjaronge et al., 1992), udang windu dengan ikan nila merah (Utojo & Mansyur, 1988; Pirzan et al., 1992). Hasilnya dapat meningkatkan produktivitas lahan tambak. Budidaya multitropik krustase yang lain seperti rajungan dengan rumput laut (Suharyanto et al., 2008), rajungan dengan udang vaname, ikan bandeng, dan rumput laut (Suharyanto, 2008a), rajungan dan ikan beronang, (Suharyanto, 2008b), udang windu dengan rajungan dan ikan bandeng (Tjaronge et al., 2008).

Ikan bandeng adalah salah satu komoditas perikanan di mana oleh masyarakat di Sulawesi Selatan merupakan primadona dan teknologi budidayanya sudah mantap. Demikian pula dengan komoditas rumput laut (Gracilaria sp.), teknologi budidayanya sudah berkembang dan harganyapun cukup tinggi. Untuk memanfaatkan relung ekologi dan meningkatkan produksi perairan tambak, maka perlu dilakukan percobaan budidaya multitropik antara udang windu, rumput laut, dan ikan bandeng. Rumput laut yang dapat digunakan untuk shelter adalah hanya dari jenis Gracilaria sp., hal ini disebabkan jenis inilah yang dapat dibudidayakan pada tambak dan memiliki toleransi yang luas terhadap salinitas dan temperatur yang fluktuatif. Jenis ini sangat toleran terhadap salinitas yang berkisar antara 10—50 ppt dan suhu berkisar 26°C—32°C.

BUDIDAYA MULTITROPIK UDANG WINDU (

Penaeus monodon

), RUMPUT LAUT

(

Gracilaria

sp.), DAN IKAN BANDENG (

Chanos chanos

) DI TAMBAK

Suharyanto, Muhammad Tjaronge, dan Abdul Mansyur

Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau

Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129 Maros, Sulawesi Selatan 90512 E-mail: litkanta@indosat.net.id

(2)

Keuntungan menggunakan jenis rumput laut ini adalah dapat menyerap kandungan logam berat dan nutrien yang ada dalam perairan serta mengeluarkan lendir untuk menghilangkan bahan organik yang menempel pada rumput laut, di samping itu, pertumbuhan secara regeneratif (pertunasan). Keuntungan lain adalah dapat digunakan sebagai shelter untuk melindungi diri dari serangan preda-tor dan udang lain sebab sifat kanibalisme hewan krustase khususnya udang masih sangat tinggi. Rumput laut dapat ditanam atau ditebar di tambak dengan metode tebar di dasar tambak, gantung di permukaan air, apung/melayang di dalam perairan. Kepadatan yang baik sebagai shelter adalah 1.000 kg/ha yang ditebar merata di dasar tambak.

Namun demikian masih diperlukan informasi mengenai peningkatan produksi dan memanfaatkan relung ekologi yaitu budidaya multitropik perikanan budidaya air payau terutama penebaran hewan budidaya yang optimal yang berkaitan dengan fliktuasi oksigen terutama pada malam hari. Oleh karena itu, upaya pengkajian tersebut cukup mendesak untuk dilaksanakan, sehingga informasi yang diperoleh dapat dijadikan acuan untuk pengembangan dan menggairahkan kembali budidaya udang windu secara multitropik di masyarakat. Tujuan penelitan ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi tentang sintasan dan produksi udang windu dalam budidaya multitropik perikanan budidaya air payau di tambak melalui optimasi perbedaan kepadatan rumput laut dan ikan bandeng.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Instalasi Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Maros, Sulawesi Selatan, mulai tanggal 11 Mei 2009 sampai dengan 10 Agustus 2009, dengan menggunakan 8 petak tambak masing-masing ukuran 2.500 m2. Penelitian ini dirancang dengan menggunakan rancangan acak kelompok dan sebagai kelompok adalah petakan tambak. Sebagai perlakuan adalah polikultur multitropik A: udang windu (2.500 ekor) + rumput laut (250 kg) + bandeng (125 ekor), B: udang windu (2.500 ekor) + rumput laut (250 kg) + bandeng (250 ekor), C: udang windu (2.500 ekor) + rumput laut (500 kg) + bandeng (125 ekor), D: udang windu (2.500 ekor) + rumput laut (500 kg) + bandeng (250 ekor), masing dengan dua kali ulangan. Udang windu yang ditebar pada masing-masing tambak adalah benih yang diperoleh dari hatcheri ukuran PL-12 yang sudah direkomendasi SPF (Spesific Pathogen Free), kemudian ditokolkan selama 20 hari dengan bobot rata-rata adalah 0,01 ± 0,01 g/ekor. Kepadatan tokolan udang windu adalah 2.500 ekor (1 ekor/m2). Ikan bandeng yang ditebar adalah benih ikan bandeng yang terlebih dahulu digelondongkan selama 1,5 bulan dengan bobot rata-rata 4,2 ± 2,2 g/ind. Pelaksanaan penelitian dimulai dengan persiapan tambak yang sesuai prosedur tetap pembesaran udang windu di tambak, meliputi keduk teplok dan pengolahan tanah dasar tambak, pengeringan dan pemberantasan hama, pencucian, pengapuran. Sebelum pengisian air dilakukan pengukuran redoks potensial pada tanah pelataran tambak, apabila nilainya telah positif, maka dilanjutkan pengisian air, serta pemupukan pupuk anorganik dengan dosis perbandingan N:P = 2:1 pengisian air dilakukan secara maksimal sekitar kedalaman 80 cm. Dosis pupuk anorganik yaitu 150 kg urea/ha, 75 kg Ponska/ha, dan 1.500 kg/ha pupuk organik (pupuk kandang).

Cara penebaran hewan uji adalah pertama gelondongan ikan bandeng ditebar terlebih dahulu untuk mengendalikan lumut-lumut yang tumbuh, seminggu kemudian ditebar merata rumput laut dengan metode lepas dasar dan seminggu selanjutnya ditebar tokolan udang windu. Selama penelitian tidak diberikan pakan tambahan. Pergantian air dilaksanakan setiap hari sebanyak 20%. Lama pemeliharaan berlangsung 90 hari. Peubah biologi yang diamati adalah pertumbuhan bobot udang windu dan ikan bandeng diukur setiap 30 hari setelah udang ditebar, rumput laut diukur setiap dua minggu sedangkan sintasan dan produksi serta analisis usaha dihitung pada akhir penelitian.

Pengukuran pertumbuhan dilaksanakan dengan mengambil 20 individu udang windu dan ikan bandeng pada masing-masing perlakuan secara manual yaitu mengambil langsung menggunakan jala pada masing-masing petak tambak dan dilakukan setiap 30 hari sekali. Parameter yang diukur meliputi, bobot (AND GF 1200) dengan ketelitian 0,1 g. Untuk menghitung laju pertumbuhan berdasarkan rumus dari Zonneveld et al. (1991):

t Wo -Wt Gr =

(3)

di mana:

Gr : Laju bertumbuhan (g/hari) Wt : Bobot pada akhir percobaan (g) Wo : Bobot pada awal percobaan (g) t : Lama percobaan (hari).

Sintasan dihitung pada akhir penelitian, dengan cara menghitung jumlah yang hidup pada masing-masing perlakuan. Untuk persentase sintasan benih rajungan dihitung berdasarkan rumus dari Effendie (1979) sebagai berikut:

di mana:

S : Sintasan (%)

Nt : Jumlah pada akhir percobaan (ekor) No : Jumlah pada awal percobaan (ekor).

Analisis data pertumbuhan bobot, sintasan, dan produksi menggunakan analisis ragam dengan pola rancangan acak kelompok. Peubah kualitas air sebagai penunjang parameter dalam budidaya, meliputi: suhu air, salinitas, pH, dan O2 terlarut setiap satu minggu, sedangkan NH3-N, NO2-N, dan BOT diukur dua minggu sekali, data yang diperoleh ditabulasikan dalam bentuk tabel dan dibahas secara deskriptif.

HASIL DAN BAHASAN

Selama pemeliharaan 90 hari, pertumbuhan bobot udang windu dan ikan bandeng dari awal penebaran sampai akhir penelitian, masing-masing perlakuan terus meningkat. Bahkan pada bulan pertama (hari ke-30), pertumbuhan bobot tokolan udang windu dan ikan bandeng meningkat cukup tajam. Untuk udang windu, perlakuan B: udang windu (2.500 ekor) + rumput laut (250 kg) + bandeng (250 ekor), pertambahan bobot rata-rata pada bulan pertama adalah 10,5 g dari bobot awal 0,01 g. Pertumbuhan bobot tersebut lebih baik daripada perlakuan C: udang windu (2.500 ekor) + rumput laut (500 kg) + bandeng (125 ekor), yakni 9,9 g, selanjutnya perlakuan A: udang windu (2.500 ekor) + rumput laut (250 kg) + bandeng (125 ekor), dan D: udang windu (2.500 ekor) + rumput laut (500 kg) + bandeng (250 ekor), masing-masing adalah: 9,2 g dan 8,6 g, walaupun secara statistik tidak berbeda nyata. Meningkatnya laju pertumbuhan bobot udang windu dan ikan pada bulan pertama yang cukup tajam tersebut, mengindikasikan bahwa tokolan udang windu dan gelondongan ikan bandeng dalam kondisi yang layak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh proses transportasi dari tambak pentokolan ke lokasi penelitian dan proses aklimatisasi yang berjalan sempurna sebelum ditebar ke tambak, sehingga tokolan udang windu dan gelondongan ikan bandeng tidak mengalami stres akibat perubahan lingkungan tambak terutama salinitas. Hal ini dibuktikan dengan tidak ada kematian tokolan udang windu dan gelondongan ikan bandeng pada saat penebaran di tambak.

Laju pertumbuhan udang windu dan ikan bandeng pada 30 hari pertama masih terlihat sama pada masing-masing perlakuan. Kemudian pada 30 hari kedua dan ketiga sudah memperlihatkan perbedaan pertumbuhan bobot dan terus meningkat, walaupun tidak setajam pertumbuhan pada 30 hari pertama. Hasil pengukuran data pertumbuhan bobot udang windu dan ikan bandeng selama penelitian tersaji pada Gambar 1 dan 2. Meningkatnya pertumbuhan bobot udang windu dan ikan bandeng selama penelitian disebabkan salinitas yang cukup stabil yakni 22‰—32‰ di mana salinitas tersebut merupakan kisaran salinitas yang cukup ideal bagi kehidupan udang windu dan ikan bandeng, walaupun udang windu cukup baik pertumbuhannya pada salinitas 15‰—25‰ tetapi mampu hidup pada salinitas tinggi (lebih dari 35‰) akan tetapi pertumbuhanya menjadi terganggu Cholik (1979). Demikian juga untuk ikan bandeng, kisaran salinitas 10‰—30‰ masih cukup baik untuk pertumbuhan. Di Filipina ikan bandeng masih mampu hidup pada kisaran salinitas 0—50 ppt (Blanco et al., 1970), selanjutnya Cholik (1979) menyatakan nener bandeng mampu hidup sampai salinitas 70‰.

100 x No Nt S =

(4)

Pertumbuhan rumput laut pada 15 hari pertama dan hari ke-30 cukup baik, karena perairan yang cukup menunjang kehidupan rumput laut terutama kejernihan air yang cukup dan belum ditumbuhi gulma yakni lumut. Tetapi pertumbuhan hari ke-45 dan ke-60 tidak menunjukkan peningkatan, hal ini disebabkan perkembangnya lumut dan klekap di tambak yang cukup melimpah, sehingga pertumbuhan rumput laut terhambat. Namun demikian perkembangnya rumput laut dan klekap ini dimanfaatkan oleh ikan bandeng yang tumbuh cukup baik. Kemudian pada hari ke-75 rumput laut mengalami kematian, hal ini disebabkan tidak berkembangnya rumput laut yang digunakan sebagai shelter pada masing-masing perlakuan, sebagai akibat dimakannya rumput laut oleh ikan bandeng karena cadangan makanan bandeng (klekap dan lumut) sudah habis sehingga mengganggu perkembangan rumput laut yang dibudidayakan (Gambar 3). Padahal dari faktor kualitas air menunjukkan cukup baik untuk perkembangan rumput laut. Menurut Lin (1974), rumput laut tumbuh paling cepat pada salinitas 25‰ dan 18‰—30‰ (Chen, 1976). Salinitas optimum untuk rumput laut adalah 15‰—25‰ (Anonymous, 1991), kemudian Guanzon & De Castro (1992) serta De Castro & Quanzon (1993), menyatakan bahwa salinitas rumput laut dapat mentolelir salinitas yang lebar antara 25,5‰—34,5‰, sedangkan menurut Mustafa et al. (2007), produksi rumput laut tertinggi didapatkan pada tambak yang bersalinitas 25,6‰. Dengan tidak adanya rumput laut dalam tambak

Gambar 1. Pertumbuhan bobot udang windu selama penelitian 0 5 10 15 20 25 30 Awal 30 60 90 Hari Bo bo t ( g) A (UW+250RL+125IB) B (UW+250RL+250IB) C (UW+500RL+125IB) D (UW+500RL+250IB)

Gambar 2. Pertumbuhan bobot ikan bandeng selama penelitian 0 50 100 150 200 250 300 350 400 Awal 30 60 90

Lama pemeliharaan (hari)

Bo bo t ( g) A (UW+250RL+125IB) B (UW+250RL+250IB) C (UW+500RL+125IB) D (UW+500RL+250IB)

(5)

penelitian, maka tidak ada tempat berlindung untuk proses biologis seperti untuk ganti kulit dan melindungi diri dari udang yang lebih besar, sehingga banyak dijumpai udang yang mati.

Sintasan udang windu dan ikan bandeng selama penelitian tersaji pada Tabel 1, sintasan tertinggi sebesar 66,6 ± 19,1% untuk udang windu dan 99,8 ± 0,3%ikan bandeng diperoleh pada perlakuan B: udang windu (2.500 ekor) + rumput laut (250 kg) + bandeng (250 ekor), walaupun secara statistik tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Sintasan udang windu dan ikan bandeng pada perlakuan B lebih baik daripada perlakuan C, D, dan perlakuan A, hal ini disebabkan kondisi tambak perlakuan B lebih subur daripada tambak-tambak perlakuan yang lain. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya lumut dan klekap yang cukup melimpah jika dibandingkan dengan tambak yang lain. Selanjutnya keberadaan ikan bandeng juga mempengaruhi kondisi lingkungan tambak terutama kandungan oksigen terlaut pada pagi hari. Pergerakan bandeng menimbulkan gerakan air, karena gerakan air maka oksigen dari udara cepat terdifusi ke dalam air tambak. Tetapi di sisi lain keberadaan ikan bandeng pada bulan ketiga berpengaruh terhadap rumput laut di mana keberadaanya sebagai shelter untuk udang windu. Pada bulan pertama belum berpengaruh sebab masih ada lumut dan klekap yang tumbuh di tambak tersebut sehingga masih banyak cadangan makanan bagi ikan bandeng. Tetapi pada bulan berikutnya, pertumbuhan bandeng semakin besar maka makananpun semakin menipis. Dengan tidak adanya makanan yang tersedia di tambak, maka rumput lautpun digunakan

Gambar 3. Pertumbuhan bobot rumput laut selama 75 hari 0 50 100 150 200 250 300 350 Awal 15 30 45 60 75 Hari Bo bo t ( g) A (UW+250RL+125IB) B (UW+250RL+250IB) C (UW+500RL+125IB) D (UW+500RL+250IB) A B C D

Udang windu (Penaeus monodon) 19,3±3,5 23,6±3,5 23,0±8,1 24,3±6,6

Rataan bobot akhir 19,3±3,49 23,8±3,5 22,9±7,1 24,3±6,5 Pertambahan bobot mutlak 0,2±0,04a 0,3±0,04a 0,3±0,09a 0,3±0,07a Laju pertumbuhan bobot harian 48,2±0,1a 66,6±19,1a 57,1±2,0a 48,7±1,6a Produksi (kg/pond) 23,3±0,7a 39,7±11,4bc 32,8±1,1ac 29,6±1,0ac

Bandeng (Chanos chanos) 283,2±2,1 255,9±2,1 352,0±2,8 180±1,2

Rataan bobot akhir/Final 279,0±0,1 251,7±0,1 347,8±0,6 175,8±1,0 Pertambahan bobot mutlak 3,1±0,001a 2,8±0,001a 3,9±0,006a 2,0±0,01a Laju pertumbuhan bobot harian 93,2±1,7a 99,8±0,3a 98,4±2,3a 91,4±0,8a Produksi (kg/pond) 33,0±0,6a 63,9±0,2bc 43,3±1,0ac 41,2±0,4ac

Perlakuan Variabel

* Nilai yang diikuti superscript serupa dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata (P>0,05)

Tabel 1. Pertumbuhan bobot, sintasan, dan produksi udang windu dan ikan bandeng selama penelitian

(6)

sebagai makanan, sehingga rumput laut tidak bisa berkembang pada gilirannya habis. Karena tidak adanya rumput laut sebagai shelter untuk melindungi diri, maka timbul sifat kanibalisme di mana udang windu yang besar memakan udang lain yang lebih kecil atau sedang ganti kulit.

Rendahnya sintasan udang windu yang diperoleh pada masing-masing perlakuan diduga disebabkan oleh sifat kanibalisme pada udang windu yang cukup tinggi. Di samping sifat kanibalisme rendahnya sintasan pada penelitian ini diduga karena besarnya variasi ukuran udang windu yang dipelihara. Hal tersebut terlihat, bahwa setiap pengamatan selalu dijumpai bobot yang sangat bervariasi. Sebagai contoh pada pengambilan sampel bulan ketiga ukuran bobot minimum 13 g dan maksimum 40 g dari seluruh hewan uji yang ditimbang. Menurut Supito et al. (1998), perbedaan ukuran merupakan salah satu penyebab kanibalisme di mana individu ukuran besar pada kondisi lapar memakan individu ukuran yang lebih kecil. Timbulnya sifat kanibalisme udang windu, sangat mungkin terjadi, hal ini disebabkan tidak berkembangnya rumput laut yang digunakan sebagai shel-ter pada masing-masing perlakuan, pada bulan ketiga oleh bandeng karena cadangan makanan bandeng (klekap dan lumut) sudah habis sehingga mengganggu perkembangan rumput laut maupun udang windu yang diperlihara.

Hasil pegukuran kualitas air tersaji pada Tabel 2, unsur nitrogen dalam suatu perairan merupakan unsur penting dalam prores pembentukan protoplasma. Kandungan amoniak pada masing-masing perlakuan, masih dalam batas kewajaran bagi kehidupan baik udang windu, rumput laut maupun ikan bandeng. Kandungan amoniak pada penelitian ini cukup rendah, hal ini dapat dikatakan amoniak yang timbul dalam penelitian ini berasal dari kotoran udang dan ikan yang dikeluarkan dari tubuhnya. Menurut Boyd (1990), amoniak di alam berasal dari pupuk, kotoran ikan dan dari pelapukan mikrobial, serta dari senyawa nitrogen. Menurut MENLH (2004), kandungan amoniak air laut untuk biota laut adalah 0,3 mg/L. Lebih dari 0,3 mg/L sudah bersifat toksik. Boyd (1990) menyatakan bahwa kandungan amoniak meningkat dalam air menyebabkan ekskresi amoniak oleh ikan menurun dan kandungan amoniak dalam darah serta jaringan meningkat. Hasilnya adalah pH darah meningkat dan berpengaruh buruk terhadap reaksi katalis enzim dan stabilitas membran. Amoniak tinggi di dalam air juga meningkatkan konsumsi oksigen oleh jaringan, merusak insang, dan mengurangi kemampuan darah untuk mengangkut oksigen.

Kandungan nitrit pada masing-masing perlakuan masih di bawah ambang batas, dan dikategorikan masih cukup rendah serta masih dalam kriteria aman untuk kehidupan udang windu, rumput laut, dan ikan bandeng. Menurut Schmittou (1991), konsentrasi nitrit sebesar 0,1 mg/L dapat menyebabkan stres pada organisme akuatik. Bila konsentrasinya mencapai 1,00 mg/L dapat menyebabkan kematian. Kemudian untuk suhu, pH, salinitas, dan oksigen terlarut masih dalam kisaran yang layak untuk kehidupan udang windu, rumput laut, dan ikan bandeng. Oksigen terlarut pada masing-masing tambak penelitian berkisar 3,3—10,8 mg/L pada bulan gelap dan pada bulan terang berkisar 4,0— 12,1 mg/L (Gambar 4 dan 5).

Tabel 2. Hasil rata-rata pengukuran kualitas air mingguan pada masing-masing perlakuan selama penelitian

A B C D Suhu air (°C) 28,8±1,3 28,7±1,2 28,8±1,4 28,5±1,6 pH 8,1±0,7 8,0±0,4 8,1±0,3 7,7±0,3 Salinitas (‰) 27,3±5,8 27,5±6,4 27,3±5,7 27,1±5,4 Oksigen (mg/L) 4,7±2,0 4,0±1,1 4,0±0,8 3,7±0,8 NH3 (mg/L) 0,1906±0,0812 0,2213±0,1827 0,1581±0,0684 0,1799±0,0713 NO2 (mg/L) 0,0150±0,0091 0,0159±0,0151 0,0082±0,0039 0,0470±0,0809 BOT (mg/L) 35,29±9,87 34,34±10,09 33,58±8,84 37,05±13,40 Perlakuan Peubah

(7)

Hasil pengukuran bahan organik total (BOT) pada masing-masing perlakuan selama penelitian, cukup tinggi dan sangat baik untuk kehidupan udang windu , rumput laut, dan ikan bandeng, hal ini terlihat bahwa selama pengamatan pada masing-masing tambak cukup banyak larva-larva ikan, yang mengindikasikan bahwa perairan tersebut cukup subur. Bahan organik total di perairan dapat berupa bahan organik hidup (seston) dan bahan organik mati (tripton dan detritus). Menurut Koesbiono (1981), bahan organik terlarut bukan hanya sebagai sumber energi, tetapi juga sebagai sumber bahan organik esensial bagi organisme perairan. Selanjutnya dikatakan bahwa kadar bahan organik total dalam tambak biasanya lebih tinggi daripada di air laut yang rata-rata rendah dan tidak melebihi 3 mg/L. Sedangkan menurut Reid (1961), perairan dengan kandungan bahan organik total di atas 26 mg/L adalah tergolong perairan yang subur. Hal ini terlihat bahwa pada pagi hari banyak udang windu yang bersembunyi dibalik shelter rumput laut sambil memakan organisme penempel yang terdapat pada shelter tersebut. Dari hasil pengamatan kualitas air pada masing-masing tambak, maka dapat dikategorikan cukup memenuhi syarat untuk pembesaran udang windu, rumput laut, dan ikan bandeng. Sebaiknya salinitas dipertahankan berkisar antara 20‰—30‰.

Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa kegiatan usaha budidaya multitropik antara udang windu, ikan bandeng, dan rumput laut cukup menguntungkan. Terutama pada perlakuan B (udang windu (10.000 ekor) + rumput laut (1.000 kg) + bandeng (1.000 ekor), memberikan keuntungan sebesar Rp 11.572.000,- dari modal operasional sebesar Rp 1.790.000,-/hektarnya. Perolehan keuntungan pada perlakuan B ini memberikan hasil yang terbaik bila dibandingkan dengan perlakuan C (udang windu (10.000 ekor) + rumput laut (2.000 kg) + bandeng (5.000 ekor), sebesar Rp 8.270.000,-dari modal operasional sebesar Rp 2.200.000,-, kemudian D: udang windu (10.000 ekor) + rumput laut (2.000 kg) + bandeng (1.000 ekor), dan A (udang windu (10.000 ekor) + rumput laut (1.000 kg)

Gambar 5. Fluktuasi oksigen selama 24 jam pada bulan terang Gambar 4. Fluktuasi oksigen selama 24 jam pada bulan gelap

(8)

+ bandeng (1.000 ekor), masing-masing sebesar Rp 7.286.000,- dari modal operasional sebesar Rp 2.290.000,- dan Rp 5.832.000,- dari modal operasional sebesar Rp 1.740.000,- dengan tambak seluas 10.000 m2 per musim tanam (90 hari). Dengan catatan tambak ini dikelola sendiri oleh pemilik tambak, sehingga tidak ada biaya tenaga kerja (Tabel 3). Hasil ini lebih baik bila dibandingkan dengan penelitian terdahulu yang memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.041.000,-/hektar pada budidaya polikultur udang windu, rumput laut, dan ikan bandeng di tanah sulfat masam (Mangampa & Pantjara, 2008).

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Perlakuan B (2.500 ekor/ha udang windu + 1 ton/ha rumput laut + 1.000 ekor/ha bandeng) menunjukkan hasil yang terbaik dan secara finansial memberikan keuntungan sebesar Rp 11.572.000,-/ha/90 hari.

2. Rumput laut sebaiknya dipanen setelah unur 45—60 hari.

Tabel 3. Analisis finansial budidaya multitropik udang windu, rumput laut, dan ikan bandeng di tambak per hektar

Harga/unit (Rp)

A B C D

- Tokolan udan windu (ekor) 10.000 75 750.000 750.000 750.000 750.000

- Gelondongan bandeng (ekor) 500 100 50.000 - 50.000

-- Rumput laut (kg) 1.000 100 - 100.000 - 100.000

- 500 500.000 500.000 -

-- Pupuk kandang (karung) 2.000 500 - - 1.000.000 1.000.000

- Urea (karung) 2.000 3.000 60.000 60.000 60.000 60.000 - Ponska (karung) 20 60.000 120.000 120.000 120.000 120.000 - Kapur bakar (kg) 2 60.000 60.000 60.000 60.000 60.000 200 1.000 200.000 200.000 200.000 200.000 1.740.000 1.790.000 2.200.000 2.290.000 - Udang windu (kg) 93,2 60.000 5.592.000 - - -158,8 60.000 - 9.528.000 - -131,2 60.000 - - 7.872.000 -118,4 60.000 - - - 7.104.000 - Ikan bandeng (kg) 132 15.000 1.980.000 - - -255,6 15.000 - 3.834.000 - -173,2 15.000 - - 2.598.000 -164,8 15.000 - - - 2.472.000 - Rumput laut - - - -7.572.000 13.362.000 10.470.000 9.576.000 5.832.000 11.572.000 8.270.000 7.286.000

Biaya masing-masing perlakuan (Rp) Harga/unit

(Rp) Unit

Komponen

Total penjualan

Keuntungan (Rp/ha) satu musim tanam Biaya operasional

Jumlah Hasil panen

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Diucapkan terima kasih kepada Program Pengembangan Sumberdaya Riset Kelautan dan Perikanan Tahun Anggaran 2009 yang telah membiayai penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Sdr. Rahman, Danial, Kurniah, dan Haryani masing-masing teknisi dan analis Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dan analisis kualitas air.

DAFTAR ACUAN

Anonymous. 1991. Mariculture of seaweeds. In: Shokita, S., Kakazu, K., Tomori, A., & Toma, T. (Eds.), Aquaculture in Tropical Areas. Midori Shobo Co., Ltd., Tokyo, p. 31—95.

Blanco, G.J. 1970. Status and problem of coastal aquaculture in the Philiphines. In Pilley, T.V.R. (Ed.), Coastal Aquaculture in the Indo-Pasific Region. Fishing News (Books), London, p. 66—67. Boyd, C.E. 1990. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Departement of Fisheries and Allied

Aquacultures. Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn University. Alabama, 480 pp. Cholik, F. 1979. Budidaya Bandeng (Chanos chanos Forsk.). Badan Pendidikan Latihan dan Penyuluhan

Pertanian, Jakarta, 56 hlm.

Chen, T.P. 1976. Culture of Gracilaria. In: Aquaculture Practices in Taiwan. Page Bros., London. p. 145—149.

De Castro, T.R. & Guanzon, N.G.Jr. 1993. Growth of Gracillaria sp. (Gracilariales, Rhodophyta) in brackishwater ponds at different stocking densities. The Israeli J. of Aquaculture-Bamidgeh, 45: 89— 94.

Effendi, M.I. 2000. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. Yogyakarta, 163 hlm.

Guanzon, N.G.Jr. & De Castro, T.R. 1992. The effects of different stocking densities and some abiotic factors on cage culture of Gracilaria sp. (Rhodophyta, Gigartinales). Botanica Marina, 35: 239—243. Koesbiono. 1981. Biologi Laut. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor, 150 hlm.

Lin, M.N. 1974. Culture of Cracillaria. Fish Research Institute, Keelung, Taipei, p. 1—8.

Mangampa, M. & Pantjara, B. 2008. Polikultur udang windu (Penaeus monodon), rumput laut (Gracilaria verrucosa) dan ikan bandeng (Chanos chanos) di lahan marginal. Prosiding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan. Bidang Budidaya Perairan. Di Malang 08 November 2008.

Mansyur, A., Tonnek, S., Amin, M., & Utojo. 1987. Budidaya campuran udang windu (Penaeus monodon Fabr.) dan ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) di Tambak. J. Penel. Budidaya Pantai, 3(2): 49—59. MENLH (Menteri Negara Lingkungan Hidup). 2004. Baku Mutu Air Laut. Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup. No. 51 Tahun 2004, 11 hlm.

Mustafa, A., Sapo, I., Hasnawi, & Sammut, J. 2007. Hubungan antara kondisi lingkungan dan produktifitas tambak untuk penajaman kriteria kelayakan lahan: 1. Kualitas Air. Laporan Penelitian. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, 23 hlm.

Pirzan, A.M., Tahe, S., & Ismail, A. 1992. Polikultur udang windu Penaeus monodon dan nila merah, Oreochromis niloticus di Tambak. J. Penel. Budidaya Pantai, 8(2): 63—70.

Reid, G.K. 1961. Ecology of Inland water estuaries. Rein hald Published Co. New York, 375 pp. Schmittou, H.R. 1991. Budidaya keramba: Suatu metode produksi ikan di Indonesia. FRDP. Puslitbang

Perikanan. Jakarta. Indonesia, 126 hlm.

Suharyanto, 2008a. Polikultur rajungan (Portunus pelagicus), udang vaname (Litopenaeus vannamei), ikan bandeng (Chanos chanos) dan rumput laut (Gracilaria sp.) di tambak. Media akuakultur, 3(2): 107—113.

Suharyanto. 2008b. Polikultur rajungan (Portunus pelagicus) dan ikan baronang (Siganus guttatus) di tambak. J. Perikanan/J. of Fish. Sci., X(2): 167—177.

Suharyanto, Tahe, S., & Sulaeman. 2008. Pengaruh selter rumput laut (Gracilaria sp.) dengan padat tebar yang berbeda terhadap pertumbuhan dan sintasan rajungan (Portunus pelagicus) di tambak. J. Perikanan/J. of Fish. Sci., X(2): 290—299.

Supito, Kuntiyo, & Djunaidah, I.S. 1998. Kaji pendahuluan pembesaran kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) di tambak. dalam Perkembangan terakhir teknologi budidaya pantai untuk mendukung

(10)

pemulihan ekonomi nasional. Prosiding Seminar Teknologi Perikanan Pantai. Puslitbangkan, Loka Penelitian Perikanan Pantai Gondol-Bali bekerja sama dengan Japan International Cooperation Agency. Bali, 6—7 Agustus 1998. hlm. 149—154.

Tjaronge, M., Mangampa, M., & Mangawe, A.G. 1992. Polikultur udang windu, Penaeus monodon dan ikan beronang, Siganus sp. secara semiintensif di tambak. J. Penel. Budidaya Pantai, 8(2): 57—62. Tjaronge, M., Suharyanto, & Pirzan, A.M. 2008. Polikultur udang windu (Penaeus monodon), rajungan

(Portunus pelagicus), dan ikan bandeng (Chanos chanos) di tambak. Dalam Hardianto, D., & Taufiqurrohman, M. (Eds.). Prosiding Seminar Nasional Kelautan V. 23 April 2009 Universitas Hang Tuah di Surabaya, II (67—72).

Utojo & Mansyur, A. 1988. Budidaya campuran udang windu (P. monodon) dan ikan nila merah (Oreochromis niloticus) di tambak. J. Penel. Budidaya Pantai, 4(3); 27-34.

Zonneveld, N., Huisman, E.A., & Boon, J.H. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Pustaka Utama. Gramedia. Jakarta, 71 hlm.

Gambar

Gambar 1. Pertumbuhan bobot udang windu selama penelitian
Tabel 1. Pertumbuhan bobot, sintasan, dan produksi udang windu dan ikan bandeng selama penelitian
Tabel 2. Hasil rata-rata pengukuran kualitas air mingguan pada masing-masing perlakuan selama penelitian
Gambar 5. Fluktuasi oksigen selama 24 jam pada bulan terangGambar 4. Fluktuasi oksigen selama 24 jam pada bulan gelap
+2

Referensi

Dokumen terkait

Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon dengan cara yang relatif terhadap objek orang, barang, dan

Penelitian ini menggunakan metode SIG ( Sistem Informasi Geografis ) Penggunaan metode GIS dilakukan pada penelitian ini adalah untuk mengetahui identifikasi luas

Keberhasilan pemberdayaan yang dilakukan sekolah perempuan desa Sumberejo terihat dari penerapan setelah melakukan srangkaian kegaiatan dan materi yang berkaitan

Alat ukur baku meliputi, penggaris, neraca timbangan (kg), gelas ukur, meteran dan sebagainya. Sedangkan, alat ukur tidak baku meliputi, stick eskrim, timbangan buatan,

Pembiayaan MMQ yang digunakan disini adalah kerjasama antara nasabah dengan bank untuk membeli rumah, kemudian nasabah harus membayar uang sewa secara angsuran

Arah kebijakan pembangunan tahun kedua merupakan lanjutan dari tahun pertama pelaksanaan RPJM Kabupaten Aceh Tengah 2012-2017.Penanganan permasalahan pembangunan yang

Pemikirannya terhadap kreativitas yang terintegrasi dengan kehidupan sehari-hari, yang dalam penelitian ini adalah permainan digital memberikan sudut pandang