• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANGGUNG JAWAB HUKUM PPAT ATAS PEMBUATAN AKTA JUAL BELI HAK ATAS TANAH BERSERTIPIKAT YANG DIBATALKAN OLEH PENGADILAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TANGGUNG JAWAB HUKUM PPAT ATAS PEMBUATAN AKTA JUAL BELI HAK ATAS TANAH BERSERTIPIKAT YANG DIBATALKAN OLEH PENGADILAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

NO.1138.K/PDT/2012 JURNAL Oleh R.RAMADIPTA 147011115/Mkn FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TANGGUNG JAWAB HUKUM PPAT ATAS PEMBUATAN AKTA JUAL BELI HAK ATAS TANAH BERSERTIPIKAT YANG DIBATALKAN

OLEH PENGADILAN (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.1138.K/PDT/2012

R.RAMADIPTA

Abstract

Certified land right transfer through transact has to be done by public official, PPAT, in an authentic certificate; in this case, AJB (Sales Contract). When the case above is not done through AJB signed by PPAT, the process of transferring title of ownership of the land from the seller and the buyer cannot be processed in the Land Office. The research used juridical normative method on the prevailing law. The result of the research shows that sales contract on certified land drawn up by PPAT and has been revoked by the Court will be illegal and has no legal force to be used as an authentic certificate in sales contract. It cannot be used for a transferring title, from the seller to a buyer, in the Land Office. PPAT is liable for the revocation of the Sales Contract since it was illegal. The liability is in the form of compensation for the harmed party because of the revocation of the Sales Contract by the Court when the harmed party files the complaint to the Court and accepted by the Court as final and conclusive..

Keywords: PPAT, Sales Contract, Revoked by the Court

I. Pendahuluan

Tanah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan sangat kompleks karena menyangkut banyak segi dalam hal kepemilikannya di dalam kehidupan masyarakat. Setiap orang hidup membutuhkan tanah, baik untuk dijadikan tempat tinggal maupun tempat usaha/bisnis dan mengakibatkan nilai tanah secara ekonomi meningkat pula dengan sangat pesat dari waktu ke waktu.1

Karena nilai ekonomi tanah yang sangat tinggi, maka setiap orang berupaya untuk memperoleh jaminan kepastian hukum atas tanah yang diduduki/ ditempatinya. Oleh karena itu sebagai jaminan kepastian hukum atas hak kepemilikan atas tanah para pemilik tanah melakukan pengurusan pendaftaran tanahnya agar dapat memperoleh sertifikat hak atas tanah tersebut. Dalam pelaksanaan jual-beli hak atas tanah yang bersertipikat, agar jelas pengalihan hak atas tanah tersebut maka pembuatan akta jual-beli hak atas tanah yang bersertipikat tersebut harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Peraturan Pemerintah (PP No. 24

1 Muhammad Yamin Lubis Dan Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung :

(3)

Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah serta menurut PP Nomor. 37 Tahun 1998 juncto PP Nomor.24 Tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).2

Pasal 37 PP No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah berbunyi, "Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Dari ketentuan Pasal 37 PP No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa hanya PPAT yang berwenang membuat akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat agar dapat diproses pendaftaran akta jual belinya sekaligus balik namanya di kantor pertanahan tempat dimana tanah tersebut berada. Apabila bukan PPAT yang membuat akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat tersebut, maka kantor pertanahan sesuai ketentuan hukum yang berlaku tidak dapat melakukan proses pendaftaran akta jual beli tersebut sekaligus juga tidak dapat memproses balik nama hak kepemilikan atas tanah tersebut.3

Akta PPAT merupakan akta otentik yang pada hakekatnya memuat kebenaran formil dan materil. PPAT berkewajiban untuk membuat akta sebagaimana ketentuan yang telah ditetapkan, serta sebelum proses pembuatan akta PPAT mempunyai kewajiban untuk melakukan pengecekan sertipikat suatu bidang hak atas tanah di kantor pertanahan4, selain itu PPAT mempunyai kewajiban untuk membacakan akta sehingga isi akta dapat dimengerti oleh para pihak. PPAT juga harus memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak yang

2 Muhammad Ridwan, Hukum Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Telah Bersertipikat,

(Jakarta : Pustaka Ilmu, 2010), hlm. 52.

3

Muhammad Yamin Lubis, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm.37.

4 Jonas Taslim, PPAT Dan Peralihan Hak Atas Tanah (Suatu Analisis Yuridis Normatif),

(4)

menandatangani akta. Oleh karena itu para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui isi akta PPAT yang akan ditandatanganinya.5

Fungsi dan tanggung jawab PPAT serta tanggung jawab pertanahan beranjak dari sistem publikasi negatif dan kewajiban menilai dokumen, maka sebaiknya terdapat pembagian fungsi dan tanggung jawab antar PPAT dan petugas pendaftaran PPAT berfungsi dan bertanggung jawab :

1. Membuat akta yang dapat dipakai sebagai dasar yang kuat bagi pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak pelaksanaan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak.

2. PPAT bertanggung jawab terhadap terpenuhinya unsur kecakapan dan kewenangan penghadap dalam akta dan keabsahan perbuatan haknya sesuai data dan keterangan yang disampaikan kepada para penghadap yang dikenal atau diperkenalkan.

3. PPAT bertanggung jawab dokumen yang dipakai dasar melakukan tindakan hukum kekuatan dan pembuktiannya telah memenuhi jaminan kepastian untuk ditindaklanjuti dalam akta otentik dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 4. PPAT bertanggung jawab sahnya perbuatan hukum sesuai data keterangan

para penghadap serta menjamin otensitas akta dan bertanggung jawab bahwa perbuatannya sesuai prosedur.6

Dalam pelaksanaan pembuatan akta otentik di bidang pertanahan, PPAT harus memiliki prinsip kehati-hatian, karena akta PPAT merupakan akta otentik di bidang pertanahan, khususnya terhadap akta jual-beli yang merupakan akta otentik yang dijadikan dasar peralihan hak atas tanah yang bersertipikat dari nama penjual kepada nama pembeli.7 Oleh karena itu setiap akta jual beli yang dibuat oleh PPAT wajib didaftarkan di kantor pertanahan setempat karena merupakan dasar hukum bagi kantor pertanahan untuk melakukan balik nama hak kepemilikan atas tanah tersebut. PPAT harus membacakan akta jual beli yang dibuatnya tersebut kepads para pihak yang terkait/berkepentingan dan

5 Mirwan Amir, Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Oleh PPAT, (Jakarta : Media Ilmu,

2010), hlm.42.

6 Bachtiar Sibarani, Asas-Asas Pendaftaran Hak Atas Tanah, (Surabaya : Ilmu Pustaka,

2011), hlm.21.

(5)

menjelaskan isi akta tersebut kepada mereka. Hal ini dimaksudkan agar para pihak mengerti dan memahami isi akta jual-beli hak atas tanah bersertipikat tersebut.8

Secara umum tugas pokok dan kewenangan PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan dan pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum yang dimaksud sebagaimana tersebut di atas adalah:

a. Jual beli, b. Tukar menukar, c. Hibah,

d. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng) e. Pembagian hak bersama,

f. Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik, g. Pemberian hak tanggungan,

h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.9

Apabila PPAT tidak berhati-hati dalam melelaksanakan tugas jabatannya dan tidak mematuhi ketentuan yang berlaku dalam pembuatan akta jual beli tersebut, maka bisa saja terjadi akta tersebut tidak lagi menjadi akta otentik tapi terdegredasi menjadi akta di bawah tangan.10 Disamping itu akta jual beli tersebut dapat mengandung cacat hukum, dan merugikan salah satu pihak atau pihak lain. Apabila afa pihak yang dirugikan dengan terbitnya akta jual-beli tersebut maka kemungkinan besat pihak yang merasa dirugikan tersebut mengajukan gugatan pembatalan akta jual beli tersebut dan gugatan ganti rugi terhadap PPAT tersebut.11

Dalam kasus akta jual beli yang dibuat oleh PPAT MP dalam perkara pembuatan akta jual-beli antara PP sebagai pembeli hak atas tanah yang telah bersertipikat hak milik dengan No.459/Menteng milik HNS, pada awalnya HNS sebagai termohon kasasi dahulu penggugat/terbanding mempunyai hubungan

8 Darwanto Gunawan, Membedah Akta PPAT, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), hlm.51. 9

Gustav Pardosi, PPAT Sebagai Pejabat Umum, (Jakarta : Citra Ilmu, 2008), hlm.14.

10 Agus Suwandi, Seluk-Beluk Hukum Pendafftaran Tanah, (Jakarta : Pradnya Paramitha,

2009), hlm.19.

(6)

hukum dengan PP selaku turut termohon kasasi dahulu tergugat I/turut terbanding I. Termohon kasasi/dahulu penggugat/terbanding mempunyai hutang kepada PP selaku turut termohon kasasi dahulu tergugat I/turut terbanding I sebesar Rp.70 juta rupiah, sebagaimana ternyata dalam akta pengakuan utang No.08 tanggal 16 Maret 2005 yang dibuat dihadapan notaris AH, Notaris di Bogor.

Untuk menjamin utang termohon kasasi dahulu penggugat/terbanding kepada PP selaku turut termohon kasasi dahulu tergugat I/turut terbanding I, pihak termohon kasasi dahulu penggugat/terbanding menjaminkan Sertipikat Hak Milik (SHM) No.459/Menteng seluas 250 m2 (duaratus limapuluh meter persegi) yang merupakan tempat tinggal termohon kasasi dahulu penggugat/terbanding, setempat dikenal sebagai jalan Terapi I Blok AE No.6 Rt.01/19, Kelurahan Menteng, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.

Tanpa sepengetahuan dan ijin HNS selaku termohon kasasi dahulu penggugat/terbanding, PP selaku turut termohon kasasi dahulu tergugat I/turut terbanding I bekerja sama dengan Bank Mandiri selaku pemohon kasasi dahulu tergugat II/pembanding dan PPAT MP selaku turut termohon kasasi dahulu tergugat III/turut terbanding III telah merekayasa seolah-olah telah terjadi hubungan hukum baru antara PP dan HNS, yaitu seolah-olah terjadi transaksi jual-beli hak atas tanah yang telah bersertipikat No.459/Menteng milik HNS antara HNS dan PP dengan pembuatan akta jual-beli yang dibuat oleh PPAT MP dengan No.84/2005 tertanggal 31 Maret 2005. Pembuatan akta jual beli (AJB) tersebut dilakukan oleh PPAT MP tanpa sepengetahuan tanpa ijin dan tanpa dihadiri oleh HNS selaku pemilik tanah/penjual.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa AJB No.84/2005 yang dibuat oleh PPAT MP tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku sesuai PP No.37 Tahun 1998 jo PP No.24 Tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan PPAT dan juga PP No.24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah.Tindakan PPAT MP merupakan perbuatan melawan hukum dan merugikan HNS selaku termohon kasasi dahulu penggugat/terbanding. Permasalahan perbuatan melawan hukum PPAT MP dalam pembuatan Akta Jual-Beli hak atas tanah yang telah bersertipikat disebabkan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan

(7)

perundang-undangan yang mengatur tentang pembuatan akta otentik PPAT, khususnya dalam pembuatan AJB.

Untuk membahas kasus yang telah diputuskan oleh Majelis Hakim kasasi dengan Putusan No.1138.K/Pdt/2012 tersebut maka penelitian ini megambil judul, “Tanggung Jawab Hukum PPAT Atas Pembuatan Akta Jual-Beli Hak Atas Tanah Bersertipikat Yang Dibatalkan Oleh Pengadilan” (Studi Putusan Mahkamah Agung No.1138.K/Pdt/2012).

Perumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Bagaimana legalitas hukum pembuatan akta jual beli hak atas tanah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT dan dibatalkan oleh pengadilan?

2. Bagaimana dasar pertimbangan hukum majelis hakim kasasi Mahkamah Agung dalam membatalkan akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT dalam Putusan Mahkamah Agung No.1138.K/Pdt/2012?

3. Bagaimana pertanggung jawaban hukum PPAT terhadap pembuatan Akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang dibatalkan oleh pengadilan? Sesuai dengan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini ialah :

1. Untuk mengetahui legalitas hukum pembuatan akta jual beli hak atas tanah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT dan dibatalkan oleh pengadilan

2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum majelis hakim kasasi Mahkamah Agung dalam membatalkan akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT dalam Putusan Mahkamah Agung No.1138.K/Pdt/2012

3. Untuk mengetahui pertanggung jawaban hukum PPAT terhadap pembuatan Akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang dibatalkan oleh pengadilan

II. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah hukum normatif (yuridis normatif). Sumber data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari :

(8)

a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari peraturan Perundang-Undangan di bidang hukum kepailitan yaitu UUPA No.5 Tahun 1960, PP No.37 Tahun 1998 jo PP No.24 Tahun 2016 Tentang Peraturan Jabatan PPAT, PP No.24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dan Putusan Mahkamah Agung No.1138.K/PDT/2012 tentang kasus pembatalan akta PPAT yaitu akta jual beli hak atas tanah yang bersertipikat karena mengandung cacat hukum, tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer, misalnya, buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan-bahan sekunder, misamya majalah, surat kabar, kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan website.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan ini adalah menggunakan : metode penelitian kepustakaan (library research). Untuk lebih mengembangkan data penelitian ini, dilakukan Analisis secara langsung kepada informan dengan menggunakan pedoman analisis yang telah dipersiapkan terlebih dahulu.

III. Hasil dan Pembahasan

Kasus pembatalan akta jual beli hak atas tanah bersertipikat hak milik No.459/Menteng, seluas 250 M2 milik penggugat HNS, proses balik namanya yang dilakukan oleh tergugat IV, Kantor Pertanahan Kota Bogor, dan pengikatan jaminan hak tanggungan atas objek hak atas tanah tersebut yang dibuat secara melawan hukum dan direkayasa oleh tergugat I PP, tergugat II Bank Mandiri, dan tergugat III PPAT MP, digugat oleh penggugat HNS ke Pengadilan Negeri Bogor, karena telah merugikan kepentingannya.

Bahwa PPAT hanya mempunyai kewenangan untuk membuat blangko akta tersebut, dan tidak ada kewenangan lain selain akta tersebut, misalnya pembatalan akta PPAT. Dalam kaitan ini akta jual beli hak atas tanah bersertipikat

(9)

yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT adalah bukti otentik dari PPAT sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam hal peralihan hak atas tanah yang telah bersertipikat dengan menjadikan akta jual beli tersebut sebagai dasar hukum proses balik nama di kantor pertanahan setempat.Akta jual beli adalah kesepakatan para pihak yakni pihak penjual dan pihak pembeli yang dituangkan dalam akta jual beli tersebut yang merupakan perbuatan atau tindakkan hukum perdata sesuai ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata. Jika akta jual beli tanah bersertipikat yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, maka akta jual beli tersebut dapat dijadikan dasar hukum yang sah untuk melakukan perbuatan hukum selanjutnya yaitu proses hukum balik nama di kantor pertanahan setempat.

Ketentuan mengenai pembatalan akta PPAT dimuat dalam Pasal 45 ayat (1) huruf g Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, yang menyatakan bahwa Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan hak atau pembebanan hak, jika perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997 dibatalkan oleh para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan. Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997 menyebutkan : Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukkan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kantor Pertanahan ataupun Badan Pertanahan Nasional. Dalam kasus Pembatalan Akta jual beli hak atas tanah yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT dalam Putusan Mahkamah Agung No.1138.K/PDT/2012, pembatalan akta jual beli tersebut oleh Pengadilan negeri Bogor, yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan Mahkamah Agung, didasarkan karena pertimbangan hukum bahwa Akta jual beli tersebut mengandung unsur perbuatan melawan hukum. Akta jual beli yang dibuat oleh PPAT MP tersebut melanggar ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata pada syarat subjektif dimana objek hak atas tanah yang diperjual-belikan tersebut tidak didasarkan kepada prinsip konsensuil

(10)

(kesepakatan) antara pihak penjual dan pihak pembeli. Pemilik tanah tidak mengetahui sama sekali pembuatan akta jual beli tersebut, dan pihak pembeli PP yang bertindak melakukan pembuatan akta jual beli tersebut bekerja sama dengan PPAT MP dengan melawan hukum karena tanpa sepengetahuan pemilik tanah HNS. Pembuatan akta jual beli tersebut direkayasa oleh tergugat I PP dan tergugat III PPAT MP dengan melawan hukum. Akta jual-beli hak atas tanah yang dibuat dengan melawan hukum dan cacat hukum tersebut dijadikan dasar proses balik nama di kantor pertanahan kota Bogor. Akibat hukum dari proses balik nama pemilik hak atas tanah dengan dasar hukum akta jual beli yang mengandung cacat hukum tersebut, maka proses balik nama tersebut dibatalkan pula oleh pengadilan. Selain itu dengan dasar akta jual beli dan balik nama dilakukan pengikatan jaminan hak tanggungan di Bank Mandiri.

Pengikatan jaminan hak tanggungan atas objek hak atas tanah dengan SHM No.469/Menteng seluas 250 M2 tersebut dilakukan oleh tergugat I PP dan tergugat III Bank Mandiri, juga mengandung cacat hukum. Hal ini disebabkan ketidak berwenangan tergugat I PP dalam hal melakukan pengikatan jaminan hak tanggungan atas objek hak atas tanah tersebut, karena tanah tersebut diperoleh tergugat I PP dengan cara melawan hukum, yaitu dengan merekayasa pembuatan akta jual beli tersebut bersama-sama dengan tergugat III PPAT MP. Oleh karena dasar pertimbangan putusan pengadilan negeri Bogor, yang dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jawa Barat dan Mahkamah Agung telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Seorang PPAT dalam menjalankan tugas dan kewenangan jabatannya tersebut, khususnya berkaitan dengan tata cara pembuatan akta PPAT adakalanya melakukan kesalahan, dan kesalahan tersebut bisa saja menyangkut persyaratan formil maupun materil, misalnya : kesalahan mengenai ketidakwenangan PPAT dalam membuat akta otentik, yang berakibat hilangnya otensitas akta yang dibuatnya, atau kekuatan pembuktian akta tersebut tidak lagi sebagai alat bukti yang lengkap/sempurna, di antara dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, melainkan menjadi akta/surat di bawah tangan, dimana kesalahan tersebut bisa saja dilakukan dengan sengaja maupun tidak disengaja.

(11)

Pertanggungjawaban yang diminta kepada PPAT bukan hanya dalam pengertian sempit yakni membuat akta, akan tetapi pertanggungjawabannya dalam arti yang luas, yakni tanggung jawab pada saat fase akta dan tanggung jawab pada saat pasca penandatanganan akta. Tanggung jawab profesi PPAT dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) hal, yaitu tanggung jawab etik dan tanggung jawab hukum. Tanggung jawab hukum ini dapat dibedakan pula menjadi 3 (tiga) macam, yaitu tanggung jawab berdasarkan hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana.12

Dalam bidang hukum keperdataan, sanksi merupakan tindakan hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undangundang. Setiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu ada sanksi pada akhir aturan hukum tersebut. Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum tersebut seperti merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam tiap aturan hukum. Jadi dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan suatu kaidah-kaidah hukum dapat dipaksakan apabila terdapat sanksi yang menyertainya, dan penegakan terhadap kaidah-kaidah hukum dimaksud dilakukan secara prosedural (hukum acara). Sanksi biasanya diletakkan pada bagian akhir setiap peraturan yang dalam bahasa latin dapat disebut in cauda venenum, artinya di ujung suatu kaidah hukum terdapat sanksi.13

Hakekat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnya, bahwa suatu tindakan yang dilakukannya telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dan untuk mengembalikan yang bersangkutan agar bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan hukum.

Demikian pula sanksi yang ditujukan bagi seorang PPAT juga merupakan bentuk penyadaran, bahwa PPAT dalam melakukan tugas jabatannya telah melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, dan untuk mengembalikan tindakan PPAT dalam melaksanakan tugas jabatannya untuk tertib sesuai ketentuan yang berlaku.

12 Sudarmanto, Pemalsuan Surat Dan Memasukkan Keterangan Palsu ke dalam Akta

Otentik, (Surabaya : Mitra Ilmu, 2010), hlm. 42

(12)

Disamping itu pemberian sanksi terhadap PPAT juga untuk melindungi masyarakat dari tindakan PPAT yang merugikan. Sanksi juga untuk menjaga martabat lembaga PPAT sebagai lembaga kepercayaan karena apabila PPAT melakukan pelanggaran, dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap PPAT. Secara individu sanksi terhadap PPAT merupakan suatu pertaruhan dalam menjalankan tugas jabatannya, apakah masyarakat masih mau mempercayakan pembuatan akta terhadap PPAT yang bersangkutan atau tidak.14

Akta PPAT merupakan alat membuktikan telah dilakukannya suatu perbuatan hukum, sehingga apabila perbuatan hukum itu batal atau dibatalkan, akta PPAT yang bersangkutan tidak berfungsi lagi sebagai bukti perbuatan hukum tersebut. Apabila perbuatan hukum tersebut dibatalkan sendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam akta PPAT sedangkan perbuatan hukum itu sudah didaftar di Kantor Pertanahan, maka pendaftaran tanah tidak dapat dibatalkan. Perubahan data pendaftaran tanah menurut pembatalan perbuatan hukun itu harus didasarkan atas alat bukti lain, misalnya putusan Pengadilan atau akta PPAT mengenai perbuatan hukum yang baru.

Seorang PPAT dapat bertanggung jawab apabila dapat dibuktikan bahwa PPAT tersebut bersalah. Berkaitan dengan kesalahan yang dilakukan oleh PPAT, maka yang digunakan adalah beroepsfout. Beroepsfout ialah kesalahan yang dilakukan didalam menjalankan suatu jabatan/profesi. Beroepsfout merupakan istilah khusus yang ditujukan terhadap kesalahan yang dilakukan oleh para profesional dengan jabatan-jabatan khusus, seperti Dokter, Advocat, Notaris dan PPAT. Namun istilah kesalahan dalam hal ini sifatnya obyektif dalam pengertian istilah kesalahan ini ditujukan kepada para profesional dalam menjalankan jabatannya. Dalam hal ini untuk mengkaji pengertian kesalahan, hal ini mengacu pada definisi kesalahan pada umumnya, khususnya dalam hukum pidana. 15

14

Ardi Murianto, Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta Jual Beli, (Jakarta : Pustaka Bangsa Press, 2009), hlm. 84

15 Herlina Suyati Bachtiar, Notaris dan Akta Autentik, (Bandung : Mandar Maju, 2010),

(13)

IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan

1. Legalitas hukum pembuatan akta jual beli hak atas tanah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT dan dibatalkan oleh pengadilan adalah bahwa sejak tanggal putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap terhadap pembatalan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT tersebut maka keberlakuan dari akta jual beli yang dibuat oleh PPAT tersebut menjadi tidak lagi memiliki kekuatan hukum sebagai bukti otentik dalam hal peralihan hak atas tanah bersertipikat. Hal ini disebabkan karena proses pembuatan akta jual beli hak atas tanah bersertipikat tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku di bidang pembuatan akta jual beli, sehingga bersifat melawan hukum dan cacat hukum.

2. Dasar pertimbangan hukum majelis hakim kasasi Mahkamah Agung dalam membatalkan akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang dibuat oleh PPAT dalam Putusan Mahkamah Agung No.1138.K/Pdt/2012 adalah bahwa pembuatan akta jual beli tersebut dilakukan oleh PPAT dengan cara melawan hukum sehingga mengandung cacat hukum karena pembuatan akta jual beli hak atas tanah bersertipikat tersebut tanpa sepengetahuan dari pemilik tanah / penjual, sehingga dilakukan dengan cara rekayasa oleh tergugat I PP bersama-sama dengan tergugat III MP selaku notaris/PPAT.

3. Pertanggung jawaban hukum PPAT terhadap pembuatan Akta jual beli hak atas tanah yang telah bersertipikat yang dibatalkan oleh pengadilan adalah bahwa notaris bertanggung jawab atas penggantian rugi dari gugatan para pihak yang merasa dirugikan dengan terbitnya akta jual beli yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum dan cacat hukum tersebut. Disamping itu PPAT bertanggung jawab secara administratif dalam hal penjatuhan sanski berupa teguran tertulis, skorsing serta pemecatan dari jabatannya karena telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam hal pembuatan akta jual beli hak atas tanah yang bersertipikat tersebut. Selain hukuman administratif pertanggungjawaban PPAT juga dapat dituntut secara pidana yaitu PPAT bertanggung jawab

(14)

terhadap tindak pidana pemalsuan surat, menggunakan surat palsu atau memasukkan keterangan palsu ke dalam akta otentik sebagaimana termuat di dalam Pasal 262, 263 dan 266 KUH Pidana dengan ancaman hukum pidana maksimal 5 tahun penjara.

B. Saran

1. Hendaknya dalam pembuatan akta jual beli PPAT sebagai pejabat umum harus mempedomani ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang hukum jual beli dan juga pembuatan akta jual beli sehingga tidak menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut agar tidak menimbulkan suatu gugatan secara perdata, tuntutan secara pidana maupun penjatuhan sanksi administratif oleh organisasi PPAT karena telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum dalam pembuatan akta jual beli hak atas tanah bersertipikat tersebut.

2. Hendaknya dalam pelaksanaan pemeriksaan gugatan terhadap pembuatan akta jual beli hak atas tanah oleh PPAT yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum pengadilan dapat menjatuhkan sanksi disamping pembatalan akta jual beli PPAT juga menjatuhkan sanksi ganti rugi terhadap PPAT yang melakukan pembuatan akta jual beli hak atas tanah bersertipikat tersebut dengan cara melawan hukum, sehingga menimbulkan efek jera terhadap PPAT tersebut.

3. Hendaknya pihak yang dirugikan atas terbitnya akta jual beli hak atas tanah yang bersertipikat oleh PPAT yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum dan cacat hukum selain mengajukan secara perdata hendaknya juga melaporkan PPAT tersebut ke pihak yang berwajib dalam hal ini adalah Kepolisian Republik Indonesia untuk meminta pertanggungjawaban PPAT tersebut secara pidana karena telah melakukan pembuatan akta jual beli hak atas tanah dengan cara melawan hukum yaitu tanpa sepengetahuan dari pihak pemilik tanah atau pihak penjual, sehingga akta tersebut dapat dikatakan sebagai akta yang otentik yang memuat keterangan palsu. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 262, 263, dan 266 KUH Pidana dengan ancaman hukuman pidana maksimal 5 tahun penjara.

(15)

V. Daftar Pustaka

Amir, Mirwan, Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Oleh PPAT, Jakarta : Media Ilmu, 2010

Bachtiar, Herlina Suyati, Notaris dan Akta Autentik, Bandung : Mandar Maju, 2010

Gunawan, Darwanto, Membedah Akta PPAT, Jakarta : Rineka Cipta, 2009 Ismanto, Pandu, Tanah Dan PPAT, Bandung : Refika Aditama, 2009

Lubis, Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003

Lubis, Muhammad Yamin Dan Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung : Mandar Maju, 2008

Murianto, Ardi, Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pembuatan Akta Jual Beli, Jakarta : Pustaka Bangsa Press, 2009

Pardosi, Gustav, PPAT Sebagai Pejabat Umum, Jakarta : Citra Ilmu, 2008

Ridwan, Muhammad, Hukum Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Telah Bersertipikat, Jakarta : Pustaka Ilmu, 2010

Sibarani, Bachtiar, Asas-Asas Pendaftaran Hak Atas Tanah, Surabaya : Ilmu Pustaka, 2011

Sudarmanto, Pemalsuan Surat Dan Memasukkan Keterangan Palsu ke dalam Akta Otentik, Surabaya : Mitra Ilmu, 2010

Suwandi, Agus, Seluk-Beluk Hukum Pendaftaran Tanah, Jakarta : Pradnya Paramitha, 2009

Syarwanto, Arvian, PPAT Dan Pendaftaran Tanah, Jakarta : Arvarind, 2011 Taslim, Jonas, PPAT Dan Peralihan Hak Atas Tanah (Suatu Analisis Yuridis

Normatif), Bandung : Tarsito, 2009

Referensi

Dokumen terkait

Jika pernyataan Dirjen PLS, Mendiknas dan LIPI bisa kita pegang, ini merupakan sebuah prestasi yang cukup luar biasa dalam hal mengentaskan penduduk buta aksara,

Ekstrak zat pedas yang diperoleh dari rimpang jahe merah dengan perbandingan kadar relatif zat pedas 1 dan 2 sebesar 6,8 : 1 dan kadar fenolik total 3,27% b/b EAG;

ignita yang digunakan pada penelitian ini hanya 1 sampel sehingga tidak bisa diungkapkan variasi dan diversitas genetiknya, walaupun merupakan burung endemik

[r]

Adanya akta PPAT yang bermaksud membuat akta perjanjian pengalihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, penukaran, hibah, pemasukan dalam

(2010) melaporkan terdapat hubungan linier antara konsumsi BK dan emisi gas metana pada sapi, karena semakin meningkat konsumsi BK akan meningkatkan fermentasi BO

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan usaha petani kelapa sawit di Desa Batu Liman Kecamatan Candipuro, dengan titik kajian pada luas lahan garapan, biaya

Hasil penelitian ini menyimpulkan, pertama, bahwa PPAT dalam membuat akta jual beli hak atas tanah dan akta pemberian hak tanggungan harus menerapkan prinsip