• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Retrospektif Interaksi Obat Pada Pasien Jamkesmas Di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Retrospektif Interaksi Obat Pada Pasien Jamkesmas Di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

1

STUDI RETROSPEKTIF INTERAKSI OBAT

PADA PASIEN JAMKESMAS DI RSUD HASANUDDIN DAMRAH MANNA BENGKULU SELATAN

SKRIPSI

OLEH:

TONNY SETIAWAN NIM 071501019

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

2

STUDI RETROSPEKTIF INTERAKSI OBAT

PADA PASIEN JAMKESMAS DI RSUD HASANUDDIN DAMRAH MANNA BENGKULU SELATAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

TONNY SETIAWAN NIM 071501019

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

3

Lembar Pengesahan Skripsi

STUDI RETROSPEKTIF INTERAKSI OBAT

PADA PASIEN JAMKESMAS DI RSUD HASANUDDIN DAMRAH MANNA BENGKULU SELATAN

OLEH:

TONNY SETIAWAN NIM 071501019

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Medan, 11 Juni 2011

Pembimbing I, Panitia Penguji:

Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. NIP 195301011983031004 NIP 195311281983031002

Pembimbing II, Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. NIP 195301011983031004

Drs. Wiryanto, MS., Apt. Drs. Ismail, M.Si., Apt NIP 195110251980021001 NIP 195006141980031001

Drs. Saiful Bahri, MS., Apt. NIP 195208241983031001

Dekan Fakultas Farmasi,

(4)

4

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini.

Terima kasih yang tulus dan tak terhingga penulis sampaikan kepada Ayahanda Karim, S.Sos., Ibunda Rosni Harbinayati, S.Pd. yang tercinta, kakakku dr. Festi Rosika Nengsih dan adikku Dessi Tri Widiarti, serta saudara-saudariku Muhammad Iqbal, Dwi Putri, Diajeng R. Ariani, atas segala doa, kasih sayang, dorongan moril dan materil kepada penulis selama masa perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. dan Bapak Drs. Wiryanto, M.S., Apt., yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab selama melakukan penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi

yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Immanuel S. Meliala, M.Si., Apt., selaku dosen wali yang telah banyak membimbing penulis selama masa perkuliahan hingga selesai.

(5)

5

4. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., Drs. Ismail, M.Si., Apt., dan Drs. Syaiful Bahri, M.S., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberi masukan dan saran kepada penulis hingga selesainya penulisan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU yang telah mendidik

penulis selama masa perkuliahan.

6. Adinda Riska Istiana yang selalu memberikan semangat kepada penulis. 7. Teman-temanku, Farmasi Klinis dan Komunitas 2007, Darma, Danny, Ayu,

Puji, Fanny, Rizayani, Ila, Putri Yani, Nonie, Zali, Wahyudin, Taufik, Rahma, Nova, Karsih, Nurul, Tris, Bang Tedy, yang selalu menyemangati dan menyinari hidup penulis disaat susah dan senang.

8. Kak Vika (Vriezka), Kak Wulan, Kak Nenny, Ibu Olin, Bang Hari dan pegawai di Fakultas Farmasi lainnya atas semua bantuannya kepada penulis selama ini.

Kiranya Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan Farmasi khususnya.

Medan, Mei 2011 Penulis,

(6)

6

STUDI RETROSPEKTIF INTERAKSI OBAT

PADA PASIEN JAMKESMAS DI RSUD HASANUDDIN DAMRAH MANNA BENGKULU SELATAN

ABSTRAK

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug-related problem) yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan saat ini dan kecenderungan terjadinya praktik polifarmasi, maka kemungkinan terjadinya interaksi obat semakin besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola dan frekuensi interaksi obat-obat pada pasien rawat jalan dan rawat inap, serta mengidentifikasi faktor-faktor risiko interaksi.

Penelitian dilakukan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, Bengkulu, pada bulan Januari-Maret 2011. Jenis penelitian adalah analitik-deskriptif dengan desain case-control. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dari 264 lembar resep pasien rawat jalan dan 180 kartu rekam medis pasien rawat inap Jamkesmas, yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan bertahap mencakup analisis univariat dan bivariat menggunakan uji Chi-Square dan Risk Estimate pada program SPSS Advanced

Statistics 17.0.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi obat-obat terjadi 21,67% pada pasien rawat inap. Pola mekanisme interaksinya adalah interaksi farmakokinetika 3,92%, farmakodinamika 72,55%, dan unknown 23,53%. Jenis-jenis obat yang sering berinteraksi adalah aminofilin, salbutamol, cefotaxime, gentamisin, dan metilprednisolon. Tingkat keparahan interaksinya adalah major 5,88%, moderate 66,67%, dan minor 27,45%. Sedangkan, pada pasien rawat jalan interaksi obat-obat terjadi 56,06%. Pola mekanisme interaksinya adalah interaksi farmakokinetika 32,66%, farmakodinamika 33,47%, dan unknown 33,87%. Jenis-jenis obat yang sering berinteraksi adalah propranolol, spironolakton, kaptopril, furosemida, dan aminofilin. Tingkat keparahan interaksinya adalah major 22,98%,

moderate 59,27%, dan minor 17,74%. Faktor risiko utama kejadian interaksi obat

di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan adalah polifarmasi (p = 0,006; OR = 1,711 Cl 95% = 1,165-2,512). Kejadian interaksi obat terjadi 1,7 kali lebih tinggi pada subjek yang menerima ≥ 5 obat dibandingkan dengan pasien yang menerima < 5 obat. Faktor risiko lainnya berturut-turut dari yang paling berpengaruh adalah usia pasien (p = 0,010; OR = 1,658 Cl 95% = 1,130-2,435) dan jenis kelamin pasien (p = 0,049; OR = 0,683 Cl 95% = 0,468-0,999).

(7)

7

A RETROSPECTIVE STUDY ON DRUG INTERACTIONS OF JAMKESMAS PATIENTS IN HASANUDDIN DAMRAH

MANNA HOSPITAL SOUTH BENGKULU

ABSTRACT

Drug interaction is one of eight drug-related problems categories that may affect patient clinical outcome. With the increasing complexity of the drugs used in current treatment and the likelihood of polypharmacy practices, the possibility of drug interactions increases. The research aims to know the pattern and frequency of the drug-drug interactions in outpatients and inpatients, as well as identify the risk factors of the interaction.

The study was conducted in Hasanuddin Damrah Manna hospital, South Bengkulu, Bengkulu, from the January to March 2011. The study was analytic-descriptive, case-control design. Data were collected retrospectively from 264 sheets of Jamkesmas outpatient prescriptions and 180 cards Jamkesmas inpatient medical records, which fulfilled the inclusion criteria. Samples were taken by simple random sampling. Data analysis was done descriptively and gradually include univariate and bivariate analysis using Chi-Square Test and Risk Estimate on SPSS Advanced Statistics 17.0.

The results showed that the drug-drug interactions occur 21.67% of inpatients. The patterns of interaction mechanism are pharmacokinetic interaction 3.92%, pharmacodynamic 72.55%, and unknown 23.53%. The types of drugs that often interact are aminophylline, salbutamol, cefotaxime, gentamicin, and methylprednisolone. Severity level of interaction are major 5.88%, moderate 66.67%, and minor 27.45%. Meanwhile, in outpatient drug-drug interactions occurred in 56.06% of outpatients. The patterns of interaction mechanism are pharmacokinetic interaction 32.66%, pharmacodynamics 33.47%, and unknown 33.87%. The types of drugs that often interact, among others propranolol, spironolactone, captopril, furosemide, and aminophylline. Level of interaction is major 22.98%, moderate 59.27%, and minor 17.74%. The main risk factor of drug interaction events in Hasanuddin Damrah Manna hospital in South Bengkulu is polypharmacy (p = 0.006 , OR = 1.711 , 95% Cl = 1.165 to 2.512). Incidence of drug interactions occur 1.7 times higher in subjects who received ≥ 5 drugs compared with patients who received < 5 drugs. Another risk factor in succession of the most influential was patient age (p = 0.010 , OR = 1.658 , 95% Cl = 1.130 to 2.435) and patients sex (p = 0.049 , OR = 0.683 , 95% Cl = 0.468-0.999).

(8)

8 DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ………. i

LEMBAR PENGESAHAN ………. …… ii

KATA PENGANTAR ……….. iv

ABSTRAK ………...….. vi

ABSTRACT ………... vii

DAFTAR ISI ………... viii

DAFTAR TABEL ……… .…… xi

DAFTAR GAMBAR ………... .….. xii

DAFTAR LAMPIRAN ……….…… xiii

BAB I PENDAHULUAN ………..…. 1

1.1 Latar Belakang ……….. 1

1.2 Kerangka Pikir Penelitian ……….… 4

1.3 Perumusan Masalah ……… 5

1.4 Hipotesis ……….... 6

1.5 Tujuan Penelitian ………. 7

1.6 Manfaat Penelitian ……….… 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……….……. 9

2.1 Definisi Interaksi Obat ……… 9

2.2 Mekanisme Interaksi Obat ……….…. 10

2.3 Tingkat Keparahan Interaksi Obat ………. 17

2.4 Prevalensi Interaksi Obat ……… 18

(9)

9

2.6 Rumah Sakit ……….… 20

2.7 Rekam Medis ………..….. 21

BAB III METODE PENELITIAN ………. 23

3.1 Jenis Penelitian ……….…. 23

3.2 Populasi dan Sampel ………...… 24

3.2.1 Populasi ……… .…… 24

3.2.2 Sampel ……….. 25

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian ………. 26

3.4 Definisi Operasional ………... 26

3.5 Instrumen Penelitian ……… 27

3.5.1 Sumber Data ………... 27

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data ……….. 27

3.6 Analisis Data ………... 28

3.7 Bagan Alur Penelitian ………... 29

3.8 Langkah Penelitian ………... 30

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ……….. 31

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ………... 31

4.2 Karakteristik Umum Subjek Penelitian ………..…. 33

4.3 Gambaran Kejadian Interaksi Obat Subjek ………… …. 34

4.4 Gambaran Interaksi Obat-obat Pasien Rawat Jalan ... 35

4.5 Gambaran Interaksi Obat-obat Pasien Rawat Inap ….….... 37

4.6 Analisis Bivariat ………..….… 39

4.6.1 Karakteristik Pasien ………..…... 39

(10)

10

4.6.1.2 Faktor Jenis Kelamin ……….... 40

4.6.2 Karakteristik Obat ………... 40

4.6.2.1 Jumlah Obat ………... ...… 40

4.7 Pembahasan ……….... ...… 42

4.7.1 Frekwensi Interaksi Obat pada Pasien Rawat Jalan dan Rawat Inap ……….... 42

4.7.2 Hubungan Karakteristik Pasien dengan Kejadian Interaksi Obat ……….. 45

4.7.2.1 Hubungan Usia Pasien dengan Kejadian Interaksi Obat ……… 45

4.7.2.2 Hubungan Jenis Kelamin Pasien dengan Kejadian Interaksi Obat ….……… 46

4.7.3 Hubungan Karakteristik Obat dengan Kejadian Interaksi Obat ………... 47

4.7.3.1 Hubungan Jumlah Obat dengan Kejadian Interaksi Obat ……….… 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………..…... 48

5.1 Kesimpulan ………..……... 48

5.2 Saran ……….…... 49 DAFTAR PUSTAKA

(11)

11

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Sepuluh penyakit terbanyak di instalasi rawat inap dan rawat

jalan RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan …….. 33 4.2 Karakteristik subjek penelitian ……… 34 4.3 Gambaran kejadian interaksi obat subjek ……… 34 4.4 Jenis obat yang mengalami interaksi obat-obat pada pasien

rawat jalan Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah

Manna Bengkulu Selatan ………. 36 4.5 Jenis interaksi obat-obat pada pasien rawat jalan Jamkesmas

di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan ……….. 37 4.6 Level interaksi obat-obat pada pasien rawat jalan Jamkesmas

di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan …... 37 4.7 Jenis obat yang mengalami interaksi obat-obat pada pasien

rawat inap Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah Manna

Bengkulu Selatan ………... 38 4.8 Jenis interaksi obat-obat pada pasien rawat inap Jamkesmas

di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan …………. 38 4.9 Level interaksi obat-obat pada pasien rawat inap Jamkesmas

di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan………… 38 4.10 Kejadian interaksi obat berdasarkan usia pasien ………... 39 4.11 Kejadian interaksi obat berdasarkan jenis kelamin pasien ……... 40 4.12 Kejadian interaksi obat berdasarkan jumlah obat pasien …….……. 41 4.13 Hubungan antara beberapa variabel dengan kejadian interaksi

(12)

12

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(13)

13

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil Analisis Bivariat Beberapa Variabel Bebas Terhadap Kejadian Interaksi Obat dengan Menggunakan Uji Chi-Square

pada Program SPSS Advanced Statistics 17.0 ………...…. 53 2 Data Interaksi Obat-obat pada Pasien Rawat Jalan Jamkesmas

di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan ... 58 3 Data Interaksi Obat-obat pada Pasien Rawat Inap Jamkesmas

di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan ... 75 4 Surat Permohonan Pengambilan Data di Kabupaten Bengkulu

Selatan ………... 80

5 Surat Rekomendasi Melakukan Penelitian di RSUD Hasanuddin

Damrah Manna ……….….... 81

6 Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian di RSUD

(14)

6

STUDI RETROSPEKTIF INTERAKSI OBAT

PADA PASIEN JAMKESMAS DI RSUD HASANUDDIN DAMRAH MANNA BENGKULU SELATAN

ABSTRAK

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug-related problem) yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan saat ini dan kecenderungan terjadinya praktik polifarmasi, maka kemungkinan terjadinya interaksi obat semakin besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola dan frekuensi interaksi obat-obat pada pasien rawat jalan dan rawat inap, serta mengidentifikasi faktor-faktor risiko interaksi.

Penelitian dilakukan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna, Kabupaten Bengkulu Selatan, Bengkulu, pada bulan Januari-Maret 2011. Jenis penelitian adalah analitik-deskriptif dengan desain case-control. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif dari 264 lembar resep pasien rawat jalan dan 180 kartu rekam medis pasien rawat inap Jamkesmas, yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling. Analisis data dilakukan secara deskriptif dan bertahap mencakup analisis univariat dan bivariat menggunakan uji Chi-Square dan Risk Estimate pada program SPSS Advanced

Statistics 17.0.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi obat-obat terjadi 21,67% pada pasien rawat inap. Pola mekanisme interaksinya adalah interaksi farmakokinetika 3,92%, farmakodinamika 72,55%, dan unknown 23,53%. Jenis-jenis obat yang sering berinteraksi adalah aminofilin, salbutamol, cefotaxime, gentamisin, dan metilprednisolon. Tingkat keparahan interaksinya adalah major 5,88%, moderate 66,67%, dan minor 27,45%. Sedangkan, pada pasien rawat jalan interaksi obat-obat terjadi 56,06%. Pola mekanisme interaksinya adalah interaksi farmakokinetika 32,66%, farmakodinamika 33,47%, dan unknown 33,87%. Jenis-jenis obat yang sering berinteraksi adalah propranolol, spironolakton, kaptopril, furosemida, dan aminofilin. Tingkat keparahan interaksinya adalah major 22,98%,

moderate 59,27%, dan minor 17,74%. Faktor risiko utama kejadian interaksi obat

di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan adalah polifarmasi (p = 0,006; OR = 1,711 Cl 95% = 1,165-2,512). Kejadian interaksi obat terjadi 1,7 kali lebih tinggi pada subjek yang menerima ≥ 5 obat dibandingkan dengan pasien yang menerima < 5 obat. Faktor risiko lainnya berturut-turut dari yang paling berpengaruh adalah usia pasien (p = 0,010; OR = 1,658 Cl 95% = 1,130-2,435) dan jenis kelamin pasien (p = 0,049; OR = 0,683 Cl 95% = 0,468-0,999).

(15)

7

A RETROSPECTIVE STUDY ON DRUG INTERACTIONS OF JAMKESMAS PATIENTS IN HASANUDDIN DAMRAH

MANNA HOSPITAL SOUTH BENGKULU

ABSTRACT

Drug interaction is one of eight drug-related problems categories that may affect patient clinical outcome. With the increasing complexity of the drugs used in current treatment and the likelihood of polypharmacy practices, the possibility of drug interactions increases. The research aims to know the pattern and frequency of the drug-drug interactions in outpatients and inpatients, as well as identify the risk factors of the interaction.

The study was conducted in Hasanuddin Damrah Manna hospital, South Bengkulu, Bengkulu, from the January to March 2011. The study was analytic-descriptive, case-control design. Data were collected retrospectively from 264 sheets of Jamkesmas outpatient prescriptions and 180 cards Jamkesmas inpatient medical records, which fulfilled the inclusion criteria. Samples were taken by simple random sampling. Data analysis was done descriptively and gradually include univariate and bivariate analysis using Chi-Square Test and Risk Estimate on SPSS Advanced Statistics 17.0.

The results showed that the drug-drug interactions occur 21.67% of inpatients. The patterns of interaction mechanism are pharmacokinetic interaction 3.92%, pharmacodynamic 72.55%, and unknown 23.53%. The types of drugs that often interact are aminophylline, salbutamol, cefotaxime, gentamicin, and methylprednisolone. Severity level of interaction are major 5.88%, moderate 66.67%, and minor 27.45%. Meanwhile, in outpatient drug-drug interactions occurred in 56.06% of outpatients. The patterns of interaction mechanism are pharmacokinetic interaction 32.66%, pharmacodynamics 33.47%, and unknown 33.87%. The types of drugs that often interact, among others propranolol, spironolactone, captopril, furosemide, and aminophylline. Level of interaction is major 22.98%, moderate 59.27%, and minor 17.74%. The main risk factor of drug interaction events in Hasanuddin Damrah Manna hospital in South Bengkulu is polypharmacy (p = 0.006 , OR = 1.711 , 95% Cl = 1.165 to 2.512). Incidence of drug interactions occur 1.7 times higher in subjects who received ≥ 5 drugs compared with patients who received < 5 drugs. Another risk factor in succession of the most influential was patient age (p = 0.010 , OR = 1.658 , 95% Cl = 1.130 to 2.435) and patients sex (p = 0.049 , OR = 0.683 , 95% Cl = 0.468-0.999).

(16)

14 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama atau hampir

bersamaan berpotensi menyebabkan interaksi yang dapat mengubah efek yang

diinginkan. Interaksi bisa bersifat aditif, sinergis atau antagonis efek satu obat

oleh obat lainnya, atau semua obat yang berinteraksi. Walaupun hasilnya bisa positif (meningkatkan kemanjuran) atau negatif (menurunkan kemanjuran, toksisitas atau idiosinkrasi), dalam farmakoterapi interaksi obat biasanya tidak terduga dan tidak diinginkan (Martin, 2009).

Suatu interaksi bisa terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungan. Definisi yang lebih relevan adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau yang terjadi ketika satu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya (Stockley, 2008). Kemungkinan terjadinya interaksi obat semakin besar dengan meningkatnya kompleksitas obat-obat yang digunakan dalam pengobatan saat ini dan kecenderungan praktik polifarmasi. Telah menjadi semakin sulit bagi dokter dan apoteker untuk akrab dengan seluruh potensi interaksi (Tatro, 2001).

(17)

15

penyakit kronis karena mereka akan menggunakan obat-obatan lebih banyak dari populasi umumnya. Risiko juga meningkat bila rejimen pasien berasal dari beberapa resep (McCabe, et al., 2003).

Kejadian interaksi obat yang mungkin terjadi diperkirakan antara 2,2% hingga 30% dalam penelitian pada pasien rawat inap di rumah sakit, dan berkisar antara 9,2% hingga 70,3% pada pasien di masyarakat (Jankel dan Speedie, 1990). Dari kemungkinan tersebut, hingga 11,1% pasien yang benar-benar mengalami gejala diakibatkan oleh interaksi obat (Fradgley, 2003).

Dalam sebuah studi yang melibatkan 9900 pasien dengan 83200 paparan obat, 234 (6,5%) dari 3600 pasien mengalami reaksi obat merugikan yang termasuk ke dalam kategori interaksi obat. Studi lain yang dilakukan oleh Gallery

et al., (1994) menemukan bahwa dalam peresepan dengan total jumlah pasien

sebanyak 160 pasien, terjadi 221 interaksi obat, sebanyak 24 kasus (10,85%) termasuk kategori major, 115 kasus (52,03%) termasuk kategori moderate dan 82 kasus (37,12%) termasuk kategori minor. Studi lain yang dilakukan oleh Hajebi

et.al., (2000) mengevaluasi interaksi obat pada 3130 resep dari 4 bagian di sebuah

rumah sakit pendidikan, hasilnya menunjukkan bahwa dari 3960 resep terjadi 156 kejadian interaksi obat (Nazzari dan Mochadam, 2006).

(18)

16

Sedangkan pada pasien rawat jalan ditemukan 128 interaksi obat terdiri dari 47 kasus interaksi obat-obat dan 81 kasus interaksi obat-makanan dengan pola interaksi obat farmakokinetik 72%, farmakodinamik 19% dan sisanya unknown (Rahmawati, 2006)

Mekanisme interaksi obat dapat dibagi menjadi interaksi yang melibatkan aspek farmakokinetik obat dan interaksi yang mempengaruhi respon farmakodinamik obat. Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada beberapa tahap, meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, atau ekskresi. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana efek suatu obat diubah oleh obat lain pada tempat aksi (Fradgley, 2003). Beberapa kejadian interaksi obat sebenarnya dapat diprediksi sebelumnya dengan mengetahui efek farmakodinamik serta mekanisme farmakokinetik obat-obat tersebut. Pengetahuan mengenai hal ini akan bermanfaat dalam melakukan upaya pencegahan terhadap efek merugikan yang dapat ditimbulkan akibat interaksi obat (Quinn dan Day, 1997).

(19)

17

perpanjangan lama tinggal di rumah sakit. Contohnya adalah dalam kombinasi vankomisin dan gentamisin perlu dilakukan monitoring nefrotoksisitas. Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen. Contohnya adalah perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian eritromisin dan terfenadin (Bailie, 2004).

Tidak semua interaksi obat akan bermakna secara signifikan, walaupun secara teoritis mungkin terjadi. Banyak interaksi obat yang kemungkinan besar berbahaya terjadi hanya pada sejumlah kecil pasien. Namun demikian, seorang farmasis perlu selalu waspada terhadap kemungkinan timbulnya efek merugikan akibat interaksi obat ini untuk mencegah timbulnya risiko morbiditas atau bahkan mortalitas dalam pengobatan pasien (Rahmawati, 2006).

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian serupa di RSUD Hasanuddin Damrah Manna, Bengkulu Selatan, karena sampai sekarang belum pernah dilakukan penelitian interaksi obat secara retrospektif pada pasien rawat inap dan rawat jalan di Rumah Sakit tersebut. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan kajian bagi Pemerintah Daerah, khususnya professional kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

1.2 Kerangka Pikir Penelitian

(20)

18

keparahan interaksi obat yang terjadi. Dalam hal ini karakteristik pasien (usia dan jenis kelamin) dan karakteristik obat (jumlah obat yang diterima pasien) adalah variabel bebas (independent variable) yang merupakan faktor risiko kejadian interaksi obat sebagai variabel terikat (dependent variable). Adapun selengkapnya mengenai gambaran kerangka pikir penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 1.1.

1

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. apakah faktor risiko interaksi obat di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan terkait dengan karakteristik pasien dan karakteristik obat?

Sub variabel

bebas

Gambar 1.1. Skema Hubungan Variabel Bebas dan Variabel Terikat

Farmakokinetik

Jenis kelamin :

(21)

19

b. apakah frekwensi interaksi obat-obat pada unit rawat inap maupun rawat jalan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan tinggi? c. apa sajakah pola mekanisme interaksi obat pada unit rawat inap maupun

rawat jalan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan? d. apa sajakah obat yang sering berinteraksi pada unit rawat inap maupun

rawat jalan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan? e. apa sajakah tingkat keparahan interaksi obat pada unit rawat inap maupun

rawat jalan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan? 1.4 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah: a. faktor risiko interaksi obat di RSUD Hasanuddin Damrah Manna

Bengkulu Selatan adalah terkait dengan karakteristik pasien dan karakteristik obat.

b. frekwensi interaksi obat-obat pada unit rawat inap maupun rawat jalan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan tinggi.

c. pola mekanisme interaksi obat pada unit rawat inap maupun rawat jalan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan adalah beragam diantara mekanisme interaksi farmakokinetik, farmakodinamik, dan

unknown.

d. obat yang sering berinteraksi pada unit rawat inap maupun rawat jalan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan adalah beragam. e. tingkat keparahan interaksi obat yang terjadi di RSUD Hasanuddin

Damrah Manna Bengkulu Selatan adalah beragam diantara major,

(22)

20 1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan hipotesis penelitian di atas, maka tujuan penelitian ini untuk: a. mengetahui faktor risiko interaksi obat di RSUD Hasanuddin Damrah

Manna Bengkulu Selatan.

b. mengetahui besarnya frekwensi interaksi obat-obat pada unit rawat inap maupun rawat jalan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

c. mengetahui pola mekanisme interaksi obat pada unit rawat inap maupun rawat jalan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

d. mengetahui obat yang sering berinteraksi pada unit rawat inap maupun rawat jalan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

e. mengetahui tingkat keparahan interaksi obat yang terjadi di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

1.6 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. memberikan gambaran tentang faktor risiko interaksi obat di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

b. memberikan gambaran tentang besarnya frekwensi interaksi obat-obat pada unit rawat inap maupun rawat jalan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

(23)

21

d. memberikan gambaran tentang obat yang sering berinteraksi pada unit rawat inap maupun rawat jalan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

e. memberikan gambaran tentang tingkat keparahan interaksi obat yang terjadi sehingga dapat ditentukan prioritas dalam hal monitoring pasien. f. sebagai landasan bagi pemerintah terutama profesional kesehatan untuk

(24)

22 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Interaksi Obat

Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi (Piscitelli, 2005).

Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah

efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat

potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya

beberapa efek lainnya (BNF 58, 2009).

Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat hadir bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2008).

(25)

23 2.2 Mekanisme Interaksi Obat

Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya (B) dengan satu dari dua mekanisme berikut:

1. Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi konsentrasinya di cairan jaringan (interaksi farmakodinamik).

2. Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya (interaksi farmakokinetik).

a. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi obat B sempit (misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan menyebabkan kehilangan efikasi dan atau peningkatan sedikit saja efek akan menyebabkan toksisitas).

b. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-respon curam (sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi plasma akan menyebabkan perubahan efek secara substansial).

c. Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan yang sedikit besar konsentrasi plasma obat-obat yang relatif tidak toksik seperti penisilin hampir tidak menyebabkan peningkatan masalah klinis karena batas keamanannya lebar.

d. Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam dan batas terapi yang sempit, interaksi obat dapat menyebabkan masalah utama, sebagai contohnya obat antitrombotik, antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah antineoplastik dan obat-obat imunosupresan.

(26)

24

Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat : 1. Interaksi Farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia untuk menghasilkan efek farmakologisnya (BNF 58, 2009).

Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe : a. Interaksi pada absorbsi obat

i. Efek perubahan pH gastrointestinal

Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat, kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).

ii. Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek

(27)

25 iii. Perubahan motilitas gastrointestinal

Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya, menghambat pengosongan lambung dan mengurangi penyerapan parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki efek sebaliknya (Stockley, 2008). iv. Induksi atau inhibisi protein transporter obat

Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein transporter obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik paling baik adalah P-glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati digoksin (Stockley, 2008).

v. Malabsorbsi dikarenakan obat

Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin dan metotreksat (Stockley, 2008).

b. Interaksi pada distribusi obat i. Interaksi ikatan protein

(28)

26

molekul-molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).

ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat

Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat keluar dari sel-sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS (Stockley, 2008).

c. Interaksi pada metabolisme obat

i. Perubahan pada metabolisme fase pertama

(29)

27

untuk membuat senyawa yang tidak aktif. Mayoritas reaksi oksidasi fase I dilakukan oleh enzim sitokrom P450 (Stockley, 2008).

ii. Induksi Enzim

Ketika barbiturat secara luas digunakan sebagai hipnotik, perlu terus dilakukan peningkatan dosis seiring waktu untuk mencapai efek hipnotik yang sama, alasannya bahwa barbiturat meningkatkan aktivitas enzim mikrosom sehingga meningkatkan laju metabolisme dan ekskresinya (Stockley, 2008).

iii. Inhibisi enzim

Inhibisi enzim menyebabkan berkurangnya metabolisme obat, sehingga obat terakumulasi di dalam tubuh. Berbeda dengan induksi enzim, yang mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau bahkan minggu untuk berkembang sepenuhnya, inhibisi enzim dapat terjadi dalam waktu 2 sampai 3 hari, sehingga terjadi perkembangan toksisitas yang cepat. Jalur metabolisme yang paling sering dihambat adalah fase I oksidasi oleh isoenzim sitokrom P450. Signifikansi klinis dari banyak interaksi inhibisi enzim tergantung pada sejauh mana tingkat kenaikan serum obat. Jika serum tetap berada dalam kisaran terapeutik interaksi tidak penting secara klinis (Stockley, 2008).

iv. Faktor genetik dalam metabolisme obat

(30)

28

kecil populasi memiliki varian aktivitas rendah dan dikenal sebagai metabolisme lambat. Sebagian lainnya memiliki isoenzim cepat atau metabolisme ekstensif. Kemampuan yang berbeda dalam metabolisme obat-obatan tertentu dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien berkembang mengalami toksisitas ketika diberikan obat sementara yang lain bebas dari gejala (Stockley, 2008).

v. Interaksi isoenzim sitokrom P450 dan obat yang diprediksi

Siklosporin dimetabolisme oleh CYP3A4, rifampisin menginduksi isoenzim ini, sedangkan ketokonazol menghambatnya, sehingga tidak mengherankan bahwa rifampisin mengurangi efek siklosporin sementara ketokonazol meningkatkannya (Stockley, 2008).

d. Interaksi pada ekskresi obat i. Perubahan pH urin

Pada nilai pH tinggi (basa), obat yang bersifat asam lemah (pKa 3-7,5) sebagian besar terdapat sebagai molekul terionisasi larut lipid, yang tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus dan karenanya akan tetap dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh. Sebaliknya, basa lemah dengan nilai pKa 7,5 sampai 10.5. Dengan demikian, perubahan pH yang meningkatkan jumlah obat dalam bentuk terionisasi, meningkatkan hilangnya obat (Stockley, 2008).

ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal

(31)

29

meningkatnya pemahaman terhadap protein transporter obat pada ginjal, sekarang diketahui bahwa probenesid menghambat sekresi ginjal banyak obat anionik lain dengan transporter anion organik (OATs) (Stockley, 2008).

iii. Perubahan aliran darah renal

Aliran darah melalui ginjal dikendalikan oleh produksi vasodilator prostaglandin ginjal. Jika sintesis prostaglandin ini dihambat, ekskresi beberapa obat dari ginjal dapat berkurang (Stockley, 2008).

2. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang

memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama.

Interaksi ini dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara

obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat

diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi

(BNF 58, 2009).

a. Interaksi aditif atau sinergis

(32)

30

b. Interaksi antagonis atau berlawanan

Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah yang secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan waktu protrombin dapat kembali normal, sehingga menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan (Stockley, 2008).

2.3 Tingkat Keparahan Interaksi Obat

Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga level : minor, moderate, atau major.

1. Keparahan minor

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian. Contohnya adalah penurunan absorbsi ciprofloxacin oleh antasida ketika dosis diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie, 2004). 2. Keparahan moderate

(33)

31 3. Keparahan major

Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen (Bailie, 2004). Contohnya adalah perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian eritromisin dan terfenadin (Piscitelii, 2005).

2.4 Prevalensi Interaksi Obat

Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar diperkirakan karena (1) dokumentasinya masih sangat jarang; (2) seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan pada dokter akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat sehingga interaksi obat berupa peningkatan toksisitas seringkali dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat sedangkan interaksi berupa penurunan efektivitas seringkali diduga akibat bertambahnya keparahan penyakit; selain itu terlalu banyak obat yang saling berinteraksi sehingga sulit untuk diingat; dan (3) kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual (populasi tertentu lebih peka misalnya penderita lanjut usia atau yang berpenyakit parah, adanya perbedaan kapasitas metabolisme antar individu), penyakit tertentu (terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah), dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik) (Setiawati, 2007).

(34)

32

mendapat 0-5 macam obat adalah 3,5%, sedangkan yang mendapat 16-20 macam obat adalah 54%. Peningkatan efek samping obat yang jauh melebihi peningkatan jumlah obat yang diberikan bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga semakin meningkat (Setiawati, 2007).

Estimasi/perkiraan terbaik terhadap prevalensi reaksi obat merugikan berasal dari program survey yang dilakukan oleh Boston Collaborative Drug dimana interaksi obat ditetapkan sebanyak 7% dari reaksi obat merugikan di rumah sakit (Caruthers, 2000).

Laporan secara keseluruhan terhadap frekuensi interaksi obat-obat sangat bervariasi di literatur. Laju insidensi yang dilaporkan pada tahun 1970-an dan 1980-an dalam range 2,2 – 70,3 % untuk pasien rawat jalan, rawat inap, atau pasien yang mendapat perawatan di rumah. Secara keseluruhan, insidensi interaksi obat potensial yang berbahaya secara umum rendah, tetapi pada populasi seperti orang tua, orang dengan kemampuan metabolisme lama atau lambat, orang-orang dengan disfungsi hati dan ginjal, dan orang-orang-orang-orang yang mendapatkan banyak obat, khususnya penggunaan obat off-label lebih berisiko. Data yang dikumpulkan pada tahun 1995-1997 menunjukkan bahwa interaksi obat potensial sebesar 75% pada populasi pasien HIV, dengan insidensi interaksi yang signifikansi klinisnya aktual sebesar 25% (Piscitelli, 2005).

(35)

33 2.5 Faktor-faktor Penyebab Interaksi Obat

Sekarang ini, potensi efek yang tidak terduga sebagai akibat dari interaksi antara obat dan obat lain atau makanan telah ditetapkan. Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan peningkatan jumlah obat yang digunakan oleh individu. Hal ini juga menyiratkan risiko yang lebih besar pada orang tua dan mengalami penyakit kronis, karena mereka akan menggunakan obat-obatan lebih banyak daripada populasi umum. Risiko juga meningkat bila rejimen pasien berasal dari beberapa resep. Peresepan dari satu apotek saja mungkin dapat menurunkan risiko interaksi yang tidak terdeteksi (McCabe, et.al., 2003).

Interaksi obat potensial seringkali terjadi pada pasien rawat inap yang diresepkan banyak pengobatan. Prevalensi interaksi obat meningkat secara linear seiring dengan peningkatan jumlah obat yang diresepkan, jumlah kelas obat dalam terapi, jenis kelamin dan usia pasien (Mara and Carlos, 2006).

2.6 Rumah Sakit

Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.

Tujuan penyelenggaraan Rumah Sakit:

a. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan b. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat,

lingkungan rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit

c. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit d. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya

(36)

34 Rumah Sakit mempunyai fungsi:

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam

rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan

d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan

Pada hakekatnya Rumah Sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dan fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat (Undang-Undang Republik Indonesia No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit).

2.7 Rekam Medis

Rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan, dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan, untuk itu rekam medis ini harus dijaga dan dipelihara dengan baik. Rekam medis untuk pasien yang rawat inap sekurang-kurangnya harus membuat data mengenai :

(37)

35 d. Hasil pemeriksaan laboratorium e. Diagnosis

f. Persetujuan tindakan medis (informed consent) g. Tindakan / pengobatan

h. Catatan Perawat

i. Catatan observasi klinis dan hasil pengobatan, dan j. Resume akhir dan evaluasi pengobatan

(38)

36 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian survei analitik-deskriptif dengan rancangan studi retrospektif case-control. Studi case-control merupakan studi yang membandingkan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Dalam penelitian ini, kelompok kasus adalah resep dan RM pasien yang teridentifikasi mengalami interaksi obat sedangkan kelompok kontrol adalah yang tidak teridentifikasi mengalami interaksi obat. Penelitian retrospektif adalah penelitian dengan mengkaji informasi atau mengambil data-data yang telah lalu (Strom and Kimmel, 2006). Prinsip penelitian ini adalah menghitung frekwensi interaksi obat-obat (secara teoritik), mempelajari hubungan antara variabel bebas (faktor risiko) dan variabel terikat (interaksi obat), mempelajari pola mekanisme interaksi, jenis obat yang berinteraksi, dan tingkat keparahan interaksi, melalui pengumpulan data dari lembar rekam medis pasien rawat inap dan lembar resep pasien rawat jalan di RSUD Hasanuddin Damrah Manna, Bengkulu Selatan, selama periode Juli-Desember 2010.

Hasil penelitian ini berupa:

a. frekwensi interaksi obat-obat secara keseluruhan.

b. frekwensi interaksi obat-obat berdasarkan mekanisme interaksi (farmakokinetik, farmakodinamik dan unknown).

(39)

37

d. OR (odd ratio) masing-masing faktor risiko interaksi obat (karakteristik pasien dan karakteristik obat), yang menunjukkan ukuran seberapa besar faktor risiko interaksi mempengaruhi kejadian interaksi obat-obat.

Selain itu dilakukan juga:

e. analisis mengenai mekanisme interaksi obat-obat.

f. manajemen terhadap interaksi obat-obat yang terjadi untuk menghindari risiko interaksi yang dapat merugikan pasien di masa mendatang.

3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi

Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh data pengobatan pasien di RSUD Hasanudddin Damrah Periode Juli-Desember 2010 yang terdiri dari rekam medis pasien rawat inap Jamkesmas dan lembar resep pasien rawat jalan Jamkesmas. Subjek yang dipilih harus memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

Kriteria inklusi adalah:

a. Rekam medis pasien rawat inap Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan dalam periode Juli-Desember 2010.

b. lembar resep pasien rawat jalan Jamkesmas di Instalasi Farmasi RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan dalam periode Juli-Desember 2010.

(40)

38 Kriteria eksklusi adalah:

a. Rekam medis pasien rawat inap di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan diluar periode Juli-Desember 2010.

b. lembar resep pasien rawat jalan di Instalasi Farmasi RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan diluar periode Juli-Desember 2010.

c. mendapat monoterapi obat sehingga tidak dapat diidentifikasi adanya interaksi obat-obat.

d. Rekam medis pasien rawat inap dan lembar resep pasien rawat jalan yang tidak lengkap (tidak memuat informasi dasar yang dibutuhkan dalam penelitian).

3.2.2 Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling (acak sederhana). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Krejcie dan Morgan (Krejcie, et al., 1970).

dimana :

n = ukuran sampel N = ukuran populasi

x

2

= nilai Chi kuadrat P = proporsi populasi d = galat pendugaan

(41)

39

Populasi target berupa lembar resep pasien rawat jalan Jamkesmas selama 6 bulan (Juli–Desember) adalah 800 sampel, maka jumlah sampel yang diambil menurut tabel Krejcie-Morgan atau dengan menggunakan rumus di atas adalah 264 sampel. Sementara itu, populasi target berupa Rekam Medis pasien rawat inap Jamkesmas selama 6 bulan (Juli-Desember 2010) adalah sebanyak 340 rekam medis, maka jumlah sampel yang diambil menurut tabel Krejcie-Morgan atau dengan menggunakan rumus di atas adalah 180 sampel.

Jadi, penelitian interaksi obat ini dilakukan melalui pengambilan 180 sampel kartu rekam medis pasien rawat inap dan 264 sampel lembar resep pasien rawat jalan antara bulan Juli-Desember 2010 di RSUD Hasanuddin Damrah Manna, Bengkulu Selatan.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Hasanuddin Damrah Manna, Bengkulu Selatan, pada bulan Januari–Maret 2011.

3.4 Definisi Operasional

a. Frekwensi interaksi adalah jumlah kasus interaksi obat-obat yang terjadi. b. Mekanisme interaksi adalah bagaimana interaksi obat terjadi apakah secara

(42)

40

d. Tingkat keparahan interaksi obat adalah minor, moderate, dan major.

e. Usia subjek dihitung sejak tahun lahir sampai dengan ulang tahun terakhir, kelompok usia ditentukan menjadi ≥ 40 tahun dan < 40 tahun.

f. Jumlah obat adalah berapa banyak item obat yang diberikan dalam satu resep atau rekam medis, jumlah obat ditentukan menjadi ≥ 5 obat dan < 5 obat. g. Interaksi unknown adalah interaksi obat yang mekanismenya belum diketahui

secara pasti.

h. Interaksi dengan tingkat keparahan minor adalah jika interaksi mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian.

i. Interaksi dengan tingkat keparahan moderate adalah jika satu dari bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa tipe intervensi/monitor sering diperlukan.

j. Interaksi dengan tingkat keparahan major jika terdapat probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen.

3.5 Instrumen Penelitian 3.5.1 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu data sekunder berupa rekam medis pasien rawat inap dan lembar resep pasien rawat jalan Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah Manna, dalam periode Juli-Desember 2010.

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data

(43)

41

Manna, Bengkulu Selatan, dalam periode Juli-Desember 2010. Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:

a. mengelompokkan data rekam medis dan lembar resep pasien berdasarkan kriteria inklusi.

b. mengelompokkan data penggunaan obat pasien meliputi data pasien (usia, jenis kelamin, jumlah obat yang diterima) dan data obat (nama obat, jumlah obat, jenis obat, dosis, aturan pakai, cara pemberian, dan lama pemberian). c. menyeleksi data berdasarkan ada tidaknya interaksi obat yang terjadi pada

rekam medis maupun lembar resep pasien berdasarkan studi literatur. 3.6 Analisis Data

Evaluasi data interaksi obat dilakukan secara teoritik berdasarkan studi literatur (Stockley’s Drug Interaction, BNF 58, MedFact Pocket Guide of Drug

Interaction). Selain itu, digunakan juga situs internet terpercaya

berupa software (Adverse Drug Interaction Program® version 1.7-2005 The

Medical Letter). Analisis data menggunakan metode statistik deskriptif.

(44)

42 3.7 Bagan Alur Penelitian

Adapun gambaran dari pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut:

Lembar resep pasien rawat jalan Rekam medis

pasien rawat inap

Pengelompokan data berdasarkan kriteria

inklusi

Pengelompokan data penggunaan obat

pasien

Identifikasi interaksi obat

Penghitungan frekuensi interaksi

Penentuan mekanisme interaksi

Penentuan tingkat keparahan interaksi

Analisis data

Penarikan Kesimpulan Identifikasi faktor

penyebab interaksi obat

(45)

43 3.8 Langkah Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. meminta rekomendasi Dekan Fakultas Farmasi USU untuk dapat melakukan penelitian di Rumah Sakit Umum Daerah Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

b. menghubungi Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan untuk mendapatkan izin melakukan penelitian dan pengambilan data, dengan membawa surat rekomendasi dari fakultas.

c. mengumpulkan data berupa data rekam medis pasien rawat inap dan lembar resep pasien rawat jalan yang tersedia di Rumah Sakit Umum Daerah Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

(46)

44 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Bengkulu Selatan merupakan salah satu dari 9 (sembilan) kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu, terletak pada 4o-5o LS dan 102o-103o BT. Kabupaten Bengkulu Selatan dengan luas wilayah 1185,70 km2 (123.115 ha) dengan jumlah penduduk pada tahun 2007 sebanyak 139.526 jiwa yang tersebar di 11 kecamatan atau 135 desa/kelurahan.

Ditinjau dari aspek keruangan (spasial) posisi Kabupaten Bengkulu Selatan cukup strategis dibandingkan dengan daerah sekitarnya karena terletak pada jalur yang menghubungkan Provinsi Bengkulu dengan Provinsi Sumatera Selatan (melalui Tanjung Sakti). Secara administrasi, Kabupaten Bengkulu Selatan berbatasan langsung dengan:

a. sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Seluma b. sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Kaur c. sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Lahat d. sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia

Jumlah penduduk Kabupaten Bengkulu Selatan berdasarkan data dari BPS Bengkulu Selatan, pada tahun 2007 sebesar 137.203 jiwa, pada tahun 2008 meningkat menjadi 140.083 jiwa terdiri dari 71.319 jiwa laki-laki dan 68.764 jiwa perempuan (SUPPAS BPS Bengkulu Selatan Tahun 2010).

(47)

45

rumah sakit yang ada di Bengkulu Selatan dan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bengkulu Selatan Nomor: 51 tahun 2001 sistem pengelolaan keuangan RSUD Manna berubah menjadi Rumah Sakit Unit Uji Coba Swadana Daerah, selanjutnya berkat upaya semua pihak RSUD Manna yang tadinya beralamat di Jalan Fatmawati dapat pindah ke lokasi baru di Jalan Raya Padang Panjang Manna. Atas inisiatif DPRD Kabupaten Bengkulu Selatan dengan menghasilkan Perda No.04 Tahun 2009 tanggal 11 September 2009 Rumah Sakit Umum Daerah Manna, Bengkulu Selatan berubah nama menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Hasanuddin Damrah Manna Kabupaten Bengkulu Selatan.

(48)

46

Tabel 4.1 Sepuluh penyakit terbanyak di instalasi rawat inap dan rawat jalan RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan

No. Rawat Inap No. Rawat Jalan

Jenis Penyakit 2007 2008 2009 Jenis Penyakit 2007 2008 2009

1. Malaria 375 2312 238 1. TB paru 276 2303 1286

2. Diare&Gastroenteritis 216 548 171 2. Malaria 216 648 768

3. Neoplasma Jinak

Kulit 220 576 169 3. ISPA 220 576 625

4. Dispepsia 284 1275 163 4. DM 284 1128 607

5. Hipertensi 216 1126 86 5. Hipertensi 216 1187 374

6. Nyeri perut &

Panggul 215 325 85 6. Dispepsia 225 890 252

7. Gastritis - 71 7. Diare&Gastroenteritis - - 247

8. Apendiksitis - 46 8. Gastritis dan

Duodenitis - - 240

9. TB paru - 40 9. Dermatitis lainnya - - 237

10. Kejang 345 421 33 10. Demam Typoid

&Paratypoid 170 342 224

Sumber: MR RSUD-HD Manna

4.2 Karakteristik Umum Subjek Penelitian

Berdasarkan sampel yang diambil dari 264 lembar resep pasien rawat jalan Jamkesmas dan 180 kartu rekam medis pasien rawat inap Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan, diperoleh gambaran umum karakteristik subjek yang dominan antara lain pada pasien rawat jalan 54,92% perempuan; 59,09% berusia ≥ 40 tahun dan 59,47% menerima ≥ 5 obat dalam 1 lembar resep. Sedangkan pada pasien rawat inap 55,56% perempuan; 50% berusia

≥ 40 tahun dan 76,11% menerima ≥ 5 obat dalam 1 Rekam Medis. Karakteristik

(49)

47 Tabel 4.2 Karakteristik Subjek Penelitian

No. Karakteristik Subjek

Sumber: Data hasil penelitian yang telah diolah

4.3 Gambaran Kejadian Interaksi Obat Subjek

Berdasarkan analisis terhadap 264 lembar resep pasien rawat jalan Jamkesmas dan 180 kartu rekam medis pasien rawat inap Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan, diperoleh bahwa interaksi obat terjadi 56,06% pada pasien rawat jalan dan 21,67% pada pasien rawat inap. Gambaran umum kejadian interaksi obat secara keseluruhan ditunjukkan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Gambaran kejadian interaksi obat subjek

Rawat Jalan (n=264) Rawat Inap (n=180)

No. Kriteria

Subjek Berinteraksi

Tidak

Berinteraksi Berinteraksi

Tidak

Berinteraksi %

% % %

(50)

48

Penelitian terhadap 264 lembar resep pasien rawat jalan dan 180 kartu rekam medis pasien rawat inap mengenai kejadian interaksi obat dan faktor risikonya menunjukkan bahwa:

a. interaksi obat terjadi pada 29,55% subjek pasien rawat jalan berjenis kelamin laki-laki. Namun, pada pasien rawat inap interaksi terjadi pada 12,78% subjek berjenis kelamin perempuan.

b. secara umum kejadian interaksi obat terjadi pada 35,98% pasien rawat jalan berusia ≥ 40 tahun dan 12,22% pasien rawat inap berusia ≥ 40 tahun.

c. sebanyak 31,06% subjek pasien rawat jalan dan 19,44% pasien rawat inap yang mengalami kejadian interaksi obat, menerima ≥ 5 obat dalam 1 lembar resep atau Rekam Medis.

4.4 Gambaran Interaksi Obat-obat Pasien Rawat Jalan

(51)

49

Tabel 4.4 Jenis obat yang mengalami interaksi obat-obat pada pasien rawat jalan Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

No Nama Obat Jenis Interaksi

Tinkat Keparahan

Interaksi

Jumlah Kasus

1. Propranolol – PTU Farmakokinetika Moderate 35

2. Spironolakton – KSR Farmakodinamika Major 30

3. Ciprofloxacin – Asam Mefenamat Unknown Moderate 20

4. Kaptopril – Furosemid Unknown Moderate 19

5. Furosemida – Ranitidin Farmakokinetika Minor 19

6. Aminofilin – Salbutamol Farmakodinamika Minor 19

7. Kaptopril – KSR Farmakodinamika Moderate 18

8. INH – Rifampicin Farmakokinetika Major 16

9. Ciprofloxacin – Metilprednisolon Unknown Moderate 16

10. Kaptopril – Spironolakton Farmakodinamika Moderate 15

11. Aminofilin – Metilprednisolon Unknown Moderate 12

12. Rifampicin – Pyrazinamid Unknown Major 9

13. Digoksin – Spironolakton Farmakokinetika Moderate 4

14. Digoksin – PTU Unknown Moderate 4

15. Parasetamol – Propranolol Farmakokinetika Minor 4

16. Kaptopril – Allopurinol Unknown Moderate 2

17. Ciprofloxacin – Dexamethasone Unknown Moderate 1

18. Ciprofloxacin – Sukralfat Farmakokinetika Minor 1

19. Aspirin – Furosemid Farmakodinamika Minor 1

20. Metformin – Ciprofloxacin Unknown Moderate 1

21. Aminofilin – Ciprofloxacin Farmakokinetika Major 1

22. Aminofilin - Allopurinol Farmakokinetika Major 1

Total 248

Keterangan: Jenis obat yang mengalami interaksi obat-obat menurut Stockley, 2008.

(52)

50

Tabel 4.5 Jenis interaksi obat-obat pada pasien rawat jalan Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

No Jenis Interaksi Jumlah Persentase

1. Interaksi Farmakokinetika 81 32,66 %

2. Interaksi Farmakodinamika 84 33,47 %

3. Interaksi Unknown 83 33,87%

Total 248 100 %

Sumber: Data hasil penelitian yang telah diolah

Level interaksi obat pada pasien rawat jalan Jamkesmas ditunjukkan pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6 Level interaksi obat-obat pada pasien rawat jalan Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

No Level Interaksi Jumlah Persentase

1. Major 57 22,98 %

2. Moderate 146 59,27 %

3. Minor 45 18,15 %

Total 248 100 %

Sumber: Data hasil penelitian yang telah diolah

Data interaksi obat-obat pada pasien rawat jalan Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan ditunjukkan pada Lampiran 2. 4.5 Gambaran Interaksi Obat-obat Pasien Rawat Inap

(53)

51

Tabel 4.7 Jenis obat yang mengalami interaksi obat-obat pada pasien rawat inap Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

No Nama Obat Jenis Interaksi

Tingkat Keparahan

Interaksi

Jumlah Kasus

1. Cefotaxime – Gentamisin Farmakodinamika Moderate 21

2. Aminofilin – Salbutamol Farmakodinamika Minor 14

3. Aminofilin – Metilprednisolon Unknown Moderate 12

4. Spironolakton – KSR Farmakodinamika Major 1

5. Allopurinol – Antasid Farmakokinetika Moderate 1

6. INH – Rifampicin Farmakokinetika Major 1

7. Furosemid – Gentamisin Farmakodinamika Major 1

Total 51

Keterangan: Jenis obat yang mengalami interaksi obat-obat menurut Stockley, 2008.

Jenis interaksi obat pada pasien rawat inap Jamkesmas ditunjukkan pada Tabel

4.8.

Tabel 4.8 Jenis interaksi obat-obat pada pasien rawat inap Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

No Jenis Interaksi Jumlah Persentase

1. Interaksi Farmakokinetika 2 3.92 %

2. Interaksi Farmakodinamika 37 72.55 %

3. Interaksi Unknown 12 23.53 %

Total 51 100 %

Sumber : Data hasil penelitian yang telah diolah

Level interaksi obat pada pasien rawat jalan Jamkesmas ditunjukkan pada Tabel 4.9.

Tabel 4.9 Level interaksi obat-obat pada pasien rawat inap Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan.

No Level Interaksi Jumlah Persentase

1. Major 3 5.88 %

2. Moderate 34 66.67 %

3. Minor 14 27.45 %

Total 51 100 %

(54)

52

Adapun data interaksi obat-obat pada pasien rawat inap Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan ditunjukkan pada Lampiran 3. 4.6 Analisis Bivariat

4.6.1 Karakteristik Pasien 4.6.1.1 Faktor Usia

Secara umum subjek adalah pasien berusia ≥ 40 tahun (55,41%) dan kejadian interaksi obat lebih banyak terjadi pada pasien usia ≥ 40 tahun dibandingkan dengan pasien usia < 40 tahun; dengan persentase 62,57% pada pasien usia ≥ 40 tahun dan 37, 43% pada pasien usia < 40 tahun (Tabel 4.10). Tabel 4.10 Kejadian interaksi obat berdasarkan usia pasien

Usia Terjadi Interaksi Tidak Terjadi Interaksi

Jumlah

(55)

53 4.6.1.2 Faktor Jenis Kelamin

Secara umum subjek adalah pasien dengan jenis kelamin perempuan (55,18%). Namun, kejadian interaksi obat lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan, dengan persentase 50,27% pada laki-laki dan 49,73% pada perempuan (Tabel 4.11).

Tabel 4.11 Kejadian interaksi obat berdasarkan jenis kelamin pasien

Jenis Terjadi Interaksi Tidak Terjadi Interaksi

Jumlah

Hasil analisis bivariat dengan Chi-Square Test antara variabel jenis kelamin dengan kejadian interaksi obat menunjukkan keduanya bermakna secara statistik (nilai p < 0,05), sehingga dalam penelitian ini faktor jenis kelamin berhubungan dengan kejadian interaksi obat.

4.6.2 Karakteristik Obat 4.6.2.1 Jumlah Obat

Secara umum subjek adalah pasien yang menerima ≥ 5 obat (54,95%) dan kejadian interaksi obat lebih banyak terjadi pada pasien yang menerima ≥ 5 obat (62,57%) dibandingkan dengan pasien yang menerima < 5 obat (37,43%).

(56)

54

(nilai p < 0,05), sehingga dalam penelitian ini jumlah obat berhubungan dengan kejadian interaksi obat (Tabel 4.12).

Tabel 4.12 Kejadian interaksi obat berdasarkan jumlah obat pasien

Jumlah Terjadi Interaksi Tidak Terjadi Interaksi

Jumlah

Secara umum, rangkuman hasil analisis bivariat beberapa variabel yang berhubungan dengan kejadian interaksi obat pada subjek ditunjukkan pada Tabel 4.13.

Tabel 4.13 Hubungan antara beberapa variabel dengan kejadian interaksi obat subjek

(57)

55 4.7 Pembahasan

4.7.1 Frekuensi Interaksi Obat pada Pasien Rawat Jalan dan Rawat Inap Berdasarkan hasil penelitian, frekwensi interaksi obat terjadi cukup tinggi pada pasien rawat jalan yaitu 56,06% kasus. Hal ini tentunya perlu mendapat perhatian farmasis. Apabila mengacu pada tujuan utama pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) untuk meminimalkan risiko pada pasien, maka memeriksa kemungkinan adanya interaksi obat pada pengobatan pasien merupakan salah satu tugas utama farmasis. Tingginya angka kejadian interaksi obat ini berkaitan dengan jumlah obat yang dikonsumsi pasien dan usia pasien. Sedangkan pada

pasien rawat inap, frekwensi interaksi obat terjadi cukup rendah, yaitu 21,67%. Hal ini disebabkan pasien rawat inap hampir selalu menerima obat-obat tertentu saja seperti cefotaxime dan ranitidin yang tidak berinteraksi, selama dirawat di RSUD Hasanuddin Damrah.

Mekanisme interaksi obat secara umum dibagi menjadi interaksi farmakokinetika dan farmakodinamika. Beberapa jenis obat belum diketahui mekanisme interaksinya secara tepat (unknown). Pada pasien rawat inap pola mekanisme interaksinya antara lain interaksi farmakokinetika 3,92%, farmakodinamika 72,55% dan unknown 23,53%. Sedangkan pada pasien rawat jalan antara lain interaksi farmakokinetika 32,66%, farmakodinamika 33,47%, dan

unknown 33,87%.

(58)

Pyrazinamid-56

Rifampicin), timbulnya efek nefrotoksik (cefotaxime-gentamisin), meningkatkan toksisitas (digoksin-spironolakton, digoksin-PTU), menghambat enzim mikrosom di hati yang memetabolisme obat (ciprofloxacin-aminofilin, allopurinol-aminofilin), dan lain-lain (Stockley, 2008).

Selain itu, pada rawat inap terdapat juga kombinasi obat yang dikontraindikasikan dan biasanya tidak diberikan dan diracik pada pasien yang sama yaitu furosemid-gentamisin. Interaksi ini bersifat aditif atau sinergis menyebabkan ototoksisitas dan nefrotoksisitas pada pasien. Pemberian kedua obat ini secara bersamaan sebaiknya dihindarkan sebisa mungkin dengan mempertimbangkan risiko bahaya dan manfaatnya pada pasien. Jika memungkinkan, hendaknya dimonitor fungsi ginjal dan pendengaran pasien serta dilakukan penetapan dosis obat yang diberikan (Stockley, 2008).

(59)

57

dalam kombinasi cefotaxime dan gentamisin, perlu dilakukan monitoring kejadian nefrotoksisitas (Stockley, 2008). Sebuah interaksi termasuk ke dalam level severitas major jika terdapat probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen (Bailie, 2004). Contohnya adalah kombinasi furosemida dan gentamisin yang dapat menyebabkan kehilangan pendengaran permanen akibat ototoksisitas nervus VIII (Stockley, 2008).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis obat yang sering berinteraksi pada pasien rawat inap adalah aminofilin, cefotaxime, gentamisin, dan metilprednisolon. Sedangkan jenis-jenis obat yang sering berinteraksi pada pasien rawat jalan adalah propranolol, spironolakton, kaptopril, furosemida, dan aminofilin. Pengetahun mengenai jenis obat yang berinteraksi dapat mempermudah dalam mengidentifikasi kejadian interaksi obat pada pasien.

(60)

58

4.7.2 Hubungan Karakteristik Pasien dengan Kejadian Interaksi Obat 4.7.2.1 Hubungan Usia Pasien dengan Kejadian Interaksi Obat

Hasil analisis Chi-Square Test dan Risk Estimate dengan program SPSS versi 17.0 menunjukkan bahwa kejadian interaksi obat 1,6 kali lebih besar pada pasien dengan usia ≥ 40 tahun dibandingkan dengan pasien berusia < 40 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kejadian interaksi obat lebih tinggi pada pasien dengan usia ≥ 40 tahun daripada < 40 tahun, seperti pada penelitian Mara and Carlos, 2006. Menurut penelitian tersebut, prevalensi interaksi obat meningkat secara linear seiring dengan peningkatan usia pasien. Pasien dengan usia > 55 tahun harus dimonitor secara ketat terhadap potensi kejadian interaksi obat yang merugikan pasien (Mara dan Carlos, 2006).

Pasien dengan usia lanjut biasanya memiliki beragam kondisi medis dan untuk merawat pasien dengan kondisi ini sering memerlukan polifarmasi. Seiring dengan peningkatan jumlah obat yang diberikan, maka potensi terjadinya interaksi obat juga akan semakin meningkat (Lin, 2003).

Penelitian Egger, et al., 2007, juga menunjukkan bahwa pasien usia tua memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap interaksi obat-obat akibat polifarmasi. Dalam penelitian ini dinyatakan bahwa dibandingkan dengan pasien dengan usia yang lebih muda, pasien dislipidemik usia tua memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kejadian interaksi obat-obat potensial, terutama disebabkan jumlah obat yang diresepkan (Egger, et al., 2007).

Gambar

Tabel 4.1  Sepuluh penyakit terbanyak di instalasi rawat inap dan rawat jalan RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan
Tabel 4.2 Karakteristik Subjek Penelitian
Tabel 4.4  Jenis obat yang mengalami interaksi obat-obat pada pasien rawat jalan Jamkesmas di RSUD Hasanuddin Damrah Manna
Tabel 4.5  Jenis interaksi obat-obat pada pasien rawat jalan Jamkesmas di  RSUD Hasanuddin Damrah Manna Bengkulu Selatan
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pada hasil analisis bivariat ditemukan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan penolong persalinan pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Taliwang

Maka berdasarkan pernyataan diatas bahwa kami tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai pentingnya pendidikan sepanjang hayat yang akan mempengaruhi perkembangan

Sehingga dari dua kata tersebut diatas digabungkan menjadi bisnis di era global bisa ditarik kesimpulan yaitu suatu usaha yang dijalankan oleh seseorang, sekelompok orang, organisasi,

Yang dimaksud dengan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa adalah Karena nilai yang terkandung didalam Pancasila tidak lain adalah kristalisasi dari nilai-nilai yang terdapat

[r]

Camat juga berperan sebagai kepala wilayah (wilayah kerja, namun tidak memiliki daerah dalam arti daerah kewenangan), karena melaksanakan tugas umum pemerintahan di wilayah

menampilkan pemberitahuan kepada pengunjung kesalahan mereka sekaligus disediakan tautan terkait yang akan membantu pengunjung seperti F.A.Q atau Sitemap atau Informasi lainnya