• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS ATAS PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK DILAKUKAN DIHADAPAN PPAT (PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS YURIDIS ATAS PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK DILAKUKAN DIHADAPAN PPAT (PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH)"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

(STUDI PADA PERUMAHAN BUMI BERNGAM BARU DI KOTA BINJAI)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SITI MELISA HARAHAP 167011006/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)

(STUDI PADA PERUMAHAN BUMI BERNGAM BARU DI KOTA BINJAI)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SITI MELISA HARAHAP 167011006/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)
(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo SH, M.Hum Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum

2. Notaris Dr. Suprayitno, SH, M.Kn 3. Dr. Abdul Haris Nasution, SH, M.Kn

4. Notaris Dr. Ferry Susanto Limbong, SH, Sp.N, M.Hum

(5)
(6)
(7)

perbuatan jual beli yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan Kepala Adat atau Pejabat yang berwenang yakni Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Tunai berarti bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dewasa ini peralihan hak atas tanah tidak dilakukan dihadapan PPAT. Permasalahan yang diangkat pada penelitian ini, yakni bagaimana pengaturan hukum peralihan hak atas tanah menurut ketentuan yang berlaku, proses peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan dihadapan PPAT, dan akibat hukum atas peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan dihadapan PPAT.

Untuk menemukan jawaban dari permasalahan tersebut maka penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif, dimana penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dan menggunakan wawancara sebagai data primer dan studi kepustakaan sebagai data sekunder, serta analisis data menggunakan metode analisis data kualitatif. Analisis data ini dimaksudkan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis untuk menjawab permasalahan.

Pengaturan hukum peralihan hak atas tanah menurut ketentuan yang berlaku diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yakni Pasal 1457 dan 1458, kemudian Hukum Adat secara terang dan tunai, dan Hukum Tanah Nasional (Agraria) yang menggunakan Hukum Adat sebagai dasar hukumnya. Proses peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan dihadapan PPAT tidak memenuhi ketentuan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah seperti yang terjadi di Perumahan Bumi Berngam Baru di Kota Binjai. Proses peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan dihadapan PPAT seperti Perjanjian Pengikatan Jual Beli dapat dijadikan dasar untuk proses balik nama dan apabila hanya dilakukan dibawah tangan apalagi hanya dengan selembar kwitansi tidak dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pembeli. Akibat hukum atas peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan dihadapan PPAT adalah jual beli tanah tersebut tidak memiliki kepastian hukum.

Kata Kunci : Peralihan, Tanah, PPAT.

(8)
(9)

I. DATA PRIBADI

Nama : Siti Melisa Harahap

Tempat/Tanggal Lahir : Binjai, 8 Januari 1994

Status : Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jl. Mesjid Baiturrahman No. 7 Binjai

II. DATA ORANG TUA

Nama Ayah : H. Misron Hayat Harahap, SE, MM.

Nama Ibu : Dra. Hj. Zulhayati

III. PENDIDIKAN

1. Sekolah Dasar : SD Negeri 020267 Binjai, Lulus 2005 2. Sekolah Menegah Pertama : SMP Negeri 1 Binjai, Lulus 2008 3. Sekolah Menengah Atas : SMA Negeri 5 Binjai, Lulus 2011

4. Strata-1 : Fakultas Hukum Panca Budi, Lulus 2015 5. Strata-1 : Fakultas Psikologi USU, Lulus 2016 6. Strata-2 : Magister Kenotariatan USU, Lulus 2020

(10)

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah Puji dan Syukur kehadirat Allah S.W.T karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulisan tesis yang berjudul “Analisis Yuridis Atas Peralihan Hak Atas Tanah Yang Tidak Dilakukan Dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) (Studi Pada Perumahan Bumi Berngam Baru Di Kota Binjai)”, telah dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotrariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh karena itu, ucapan teruma kasih yang sebesar- besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo SH, M.Hum., Ibu Dr. T.

Keizerina Devi A, SH, CN. M.Hum., dan Bapak Notaris Dr. Suprayitno, SH, M.Kn., selaku komisi pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H, M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan selama menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan selama menyelesaikan pendidikan ini.

3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A., S.H., C.N., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan selaku Dosen Pembimbing II saya yang telah memberikan dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan penulisan tesis ini.

(11)

5. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum., selaku Komisi Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan pengarahan, petunjuk baik berupa saran dan arahan yang membangun dalam penyelesaian tesis ini.

6. Bapak Notaris Dr. Suprayitno, SH., M.Kn., selaku Dosen Pembimbing III saya, yang telah meluangkan waktu dan tenaganya untuk memberikan pengarahan, petunjuk baik berupa saran dan arahan yang membangun dalam penyelesaian tesis ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan, serta arahan yang sangat bermanfaat selama penulis mengikuti proses kegiatan perkuliahan.

8. Seluruh staff/pegawai di Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama ini dalam menjalankan pendidikan.

9. Motivator terbesar dalam hidup penulis yang selalu memberikan doa, kasih sayang, semangat serta dukungan yang tidak henti-hentinya kepada penulis yaitu Ayahanda H. Misron Hayat Harahap, S.E, M.M, Ibundra Dra. Hj.

Zulhayati, Suami Muhammad Idham Lubis, S.E, anak Muhammad Rafi Syauqi Lubis serta abang dan kakak dr. Mariza Alwi Harahap dan dr. Maya Safriana Lubis.

10. Teman-teman seperjuangan saya Vina Jean Frisda Ester SH.,M.Kn, Dewi Febriani Sidauruk SH.,M.Kn dan tak pula sepupu-sepupu saya Liza Mayana, SH, Nia Astari S.Pi, Muhammad Rizky Syahputra SH.,M.Kn, terima kasih banyak atas doa, dukungan, semangat dan bantuannya.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN... i

TANGGAL UJIAN PERNYATAAN ORISINALITAS PERSETUJUAN PUBLIKASI ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR RIWAYAT HIDUP KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Keaslian Penelitian ... 8

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 10

1. Kerangka Teori ... 10

2. Konsepsi ... 20

G. Metode Penelitian ... 22

1. Spesifikasi Penelitian ... 22

2. Metode Pendekatan ... 23

3. Sumber Data ... 23

4. Alat Pengumpulan Data ... 24

5. Analisis Data ... 25

BAB II PENGATURAN HUKUM PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT KETENTUAN YANG BERLAKU ... 26

A. Pengaturan Hukum Peralihan Hak Atas Tanah Menurut Ketentuan yang Berlaku ... 26

1. Peralihan Hak Atas Tanah Dalam Bentuk Jual Beli Berdasarkan KUHPerdata ... 26

2. Peralihan Hak Atas Tanah Dalam Bentuk Jual Beli Menurut Hukum Adat ... 29

3. Peralihan Hak Atas Tanah Dalam Bentuk Jual Beli Menurut Hukum Tanah Nasional (UUPA) ... 36

B. Peralihan Hak Atas Tanah Dalam Bentuk Jual Beli Menurut Akta di Bawah Tangan ... 38

BAB III PROSES PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK DILAKUKAN DIHADAPAN PPAT ... . 53

A. Status Tanah yang Tersedia... 53

B. Tanah Tidak Bersertifikat ... 63

ii

(14)

1. Tinjauan Umum Tentang Peralihan Hak Atas Tanah ... 79

a. Pendaftaran Tanah ... 79

2. Pengertian Peralihan Hak ... 84

3. PPAT Sebagai Wadah Resmi Dalam Pendaftaran Tanah ... 85

D. Proses Peralihan Hak Atas Tanah yang Tidak Dilakukan Dihadapan PPAT ... 96

BAB IV AKIBAT HUKUM ATAS PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK DILAKUKAN DIHADAPAN PPAT (STUDI PADA PERUMAHAN BUMI BERNGAM BARU DI KOTA BINJAI) ...106

A. Peralihan Hak Atas Tanah Yang Tidak Dilakukan Dihadapan PPAT ... 106

B. Akibat Hukum Atas Peralihan Hak Atas Tanah Yang Tidak Dilakukan Dihadapan PPAT ... 109

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

A. Kesimpulan ... 116

B. Saran ... 117

DAFTAR PUSTAKA ... 118

iii

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sesuai rumusan Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Berdasarkan pengertian dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli termasuk perjanjian. Adapun syarat sahnya perjanjian sesuai Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, adalah adanya kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan, adanya suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal. Jika syarat mengenai kesepakatan dan kecakapan (syarat subyektif) tidak dipenuhi, maka suatu perjanjian dapat dibatalkan, maksudnya perjanjian tetap ada sampai adanya keputusan dari hakim. Sedangkan jika syarat mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal (syarat obyektif) tidak dipenuhi, maka suatu perjanjian batal demi hukum maksudnya sejak awal dianggap tidak ada perjanjian.1

Jual beli tanah adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah, yang disebut “penjual”, berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang disebut “pembeli”,

1

1Gunawan Widjaja, Jual Beli, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

(16)

sedangkan pihak “pembeli” berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui.2

Jual beli tanah berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak diterangkan secara jelas, akan tetapi dalam Pasal 5 UUPA disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat. Jadi pengertian jual beli tanah menurut UUPA adalah jual beli tanah menurut hukum adat yang telah disempurnakan/dihilangkan sifat kedaerahannya.3

Menurut Hukum Adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan peralihan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan di hadapan Kepala Adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti harga tanah dibayar secara kontan, atau baru dibayar sebagian. Jadi, apabila harga belum lunas, maka belum dapat dilakukan proses jual beli sebagaimana dimaksud. Dewasa ini, yang diberi wewenang untuk melaksanakan jual beli adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

Sebagaimana dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT adalah

2Boedi Harsono, Hukum Agraria di Indonesia : Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2002.

3Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya., Sinar Grafika, Jakarta, 2007.

(17)

pejabat umum yang diangkat oleh Menteri yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yaitu akta jual beli, tukar- menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik, pemberian hak tanggungan dan pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.4

Bahwa dari aturan hukum tersebut diatas maka jual beli tanah harus dilakukan dihadapan PPAT. Hal tersebut sebagai bukti bahwa telah dilakukannya jual beli hak atas tanah dan selanjutnya PPAT membuat akta jual beli yang kemudian dilanjutkan dengan pendaftarannya ke Kantor Pertanahan Setempat sesuai dengan lokasi tanah.

Namun tidak dapat dipungkiri di desa-desa masih banyak masyarakat yang melakukan jual beli tanah tanpa campur tangan PPAT. Jadi jual beli tersebut hanya dilakukan antara pembeli dengan penjual dan ditutup dengan saling berjabat tangan maka detik itu juga tanah tersebut telah berakhir kepemilikannya.

Jual beli tersebut lazim disebut jual beli bawah tangan yang hanya didasarkan pada kepercayaan semata. Jual beli bawah tangan terkadang hanya dibuktikan dengan selembar kwitansi yang menjadi bukti tersebut hilang karena sudah terlalu lama disimpan sehingga tidak tahu lagi keberadaannya.5

4 Pasal 2 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

5Harun Al-Rashid, Sekilas Tentang Jual-Beli Tanah Berikut Peraturan-peraturannya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, Hal 51.

(18)

Jual beli tanah tanpa bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah, merupakan masalah pelik yang sering menjadi sumber konflik masyarakat kita. Ada yang melakukan transaksi jual beli tanah berdasarkan kesepakatan lisan saja antara penjual dan pembeli. Bahkan ada orang yang nekat menjual tanah yang sudah dijualnya, istilah kampungnya, jual di atas jual.6

Masih adanya masyarakat yang melakukan proses jual beli tanah di bawah tangan menurut pandangan Bapak Sukarjo selaku Sekretaris Pemerintahan Desa Sedadi Kecamatan Penawangan Kabupaten Grobogan selama ini masyarakat melakukan proses tersebut aman-aman saja dan tidak ada sangketa sampai pada saat ini. Karena pada umumnya proses jual beli yang terjadi di desa ini ketika kesepakatan terjadi antara penjual dan pembeli, maka semua ahli waris juga ikut menandatangani surat pernyataan. Sehingga hal ini dilakukan untuk menguatkan bahwa telah terjadi peralihan hak atas tanah yang dijual tersebut.7

Adapun mengapa masyarakat tersebut melakukan jual beli tanah dibawah tangan yaitu karena prosesnya yang mudah, cepat selesai dan tidak ada macam- macam biaya yang harus dikeluarkan. Sebenarnya Ibu Sulistyowati selaku Kepala Desa sudah menganjurkan kepada masyarakat, agar melakukan jual beli tanah

6Krisantus Sehandi, Jual Beli Tanah Tanpa Sertifikat,

https://santussehandi.wordpress.com/2016/08/17/jual-beli-tanah-tanpa-sertifikat/, Diakses pada tanggal 20 Juli 2019.

7Dimas Suwignyo,Perlindungan hukum dalam praktek jual beli tanah di bawah tangan yang dilakukan dihadapan kepala desa, Thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jawa Tengah, 2017.

(19)

sebaiknya dilakukan ke PPAT sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun masyarakat masih memilih jual beli tanah secara bawah tangan.8

Lain halnya dengan pernyataan yang diungkapkan oleh pihak pembeli yang bernama Nisman, yang mengatakan : “saya tidak tahu apabila membeli tanah itu harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan saya baru tahu ternyata jual beli hak atas tanah itu harus membayar pajak atas transaksi tersebut.”9

Dari beberapa pernyataan diatas, dapat disimpulkan alasan-alasan mengapa orang melakukan jual beli tanah secara di bawah tangan, antara lain :

1. Ketidaktahuan orang yang bersangkutan terhadap proses atau prosedur jual beli tanah;

2. Orang yang bersangkutan membayangkan bahwa urusan jual beli tanah itu sulit dan berbelit-belit;

3. Karena menghindari biaya-biaya yang tidak terduga yang mereka tidak ketahui;

4. Faktor ekonomi orang yang bersangkutan.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Perumahan Bumi Berngam Baru, Kota Binjai, bahwasanya salah satu penghuni perumahan tersebut melakukan jual beli tanah dan sebidang rumah tipe 21 (7m x 3m) secara tunai dengan harga Rp.

8Rendy Permadi,Akibat hukum perjanjian jual beli tanah di bawah tangan (Studi Kasus di Kabupaten Grobogan), Jurnal mahasiswa. Universitas Sriwijaya, Lex Privatum Vol.

V/No.3/Mei/2017, 2017.

9Fajar Adhitya Nugroho, Perlindungan hukum bagi pembeli terhadap jual beli hak atas tanah yang dilakukan secara di bawah tangan (Studi Kasus Di Kota Malang), Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2016, Hlm 8.

(20)

35.000.000,- (Tiga puluh lima juta rupiah). Namun transaksi tersebut tidak dilakukan dihadapan PPAT dan pembelian ini hanya dapat dibuktikan dengan selembar kwitansi.

Awal nya beliau tinggal di Kota Siantar, namun karena Ayah beliau sudah meninggal maka penghuni rumah, ibunya dan anaknya pindah ke Kota Binjai untuk melanjutkan hidup. Pembelian rumah tersebut ditemani oleh Abang kandung beliau yang tidak lain sudah lama bertempat tinggal di Kota Binjai.

Beliau menyatakan rumah tersebut dibeli karena yang menjualnya yaitu teman abang beliau sehingga beliau percaya saja transaksi tersebut hanya berbuktikan kuitansi saja. Hingga saat ini, beliau tidak mengetahui apakah ada sertifikat atas dasar rumah tersebut atau tidak. Bahkan beliau tidak perduli masalah pembelian dengan kwitansi karena menurutnya selama ini tidak ada masalah maupun sangketa dari transaksi tersebut.

Kasus diatas menunjukkan bahwa jual beli dengan bukti selembar kwitansi atau yang biasa disebut dengan jual beli dibawah tangan dalam masyarakat sangat lah marak yang disebabkan oleh keinginan cepat tanpa memikirkan dampak dikemudian hari.10

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian dengan judul : “Analisis Yuridis Atas Peralihan Hak Atas Tanah yang Tidak Dilakukan Dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) (Studi Pada Perumahan Bumi Berngam Baru di Kota Binjai).”

10Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Mediatama, Yogyakarta, 2008, hlm. 25.

(21)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan hukum peralihan hak atas tanah menurut ketentuan yang berlaku?

2. Bagaimana proses peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan dihadapan PPAT?

3. Bagaimana akibat hukum atas peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan dihadapan PPAT?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum peralihan hak atas tanah menurut ketentuan yang berlaku.

2. Untuk mengetahui bagaimana proses peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan dihadapan PPAT.

3. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum atas suatu peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan dihadapan PPAT.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu:

a. Secara teoritis hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran bagi peningkatan dan perkembangan hukum agraria tentang peralihan hak atas tanah.

(22)

b. Secara praktis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pemikiran-pemikiran baru kepada pemerintah dan masyarakat yang memerlukan informasi yang berkaitan dengan peralihan hak atas tanah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Analisis Yuridis Atas Peralihan Hak Atas Tanah yang Tidak Dilakukan Dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) (Studi Pada Perumahan Bumi Berngam Baru di Kota Binjai)”,belum pernah dilakukan.

Penelitian yang sudah pernah dilakukan menyangkut “Analisis Yuridis Atas Peralihan Hak Atas Tanah yang Tidak Dilakukan Dihadapan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) (Studi Pada Perumahan Bumi Berngam Baru di Kota Binjai)” yang dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara sebelumnya adalah :

1. Penelitian Tesis yang berjudul “Problematika Produk Hukum Camat Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT/S) dalam Melaksanakan Peralihan Hak Atas Tanah Tanpa Sertifikat” yang diteliti oleh Khairunisyah Harahap (2015), Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan perumusan sebagai berikut :

(23)

a. Apa dasar hukum Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT/S) berwenang melakukan tindakan hukum peralihan hak atas tanah?

b. Bagaimana pelaksanaan peralihan hak atas tanah tanpa sertipikat dihadapan Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT/S)?

c. Bagaimana cara menyelesaikan masalah hukum peralihan hak atas tanah tanpa sertipikat yang dibuat oleh Camat selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara (PPAT/S)?

2. Penelitian Tesis yang berjudul “Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak dalam Peralihan Hak Atas Tanah oleh Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)” oleh Nelly Sriwahyuni Siregar (2008) Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan perumusan sebagai berikut :

a. Mengapa kuasa mutlak sebagai tindak lanjut dari perjanjian pendahuluan dalam peralihan hak atas tanah masih dapat diberlakukan?

b. Bagaimana secara yuridis kedudukan kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah yang dibuat dihadapan notaris/PPAT?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak yang telah melakukan peralihan hak atas tanah dengan memakai kuasa mutlak?

(24)

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Seiring dengan perkembangan masyarakat, hukum pun mengalami perkembangan. Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.11

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk: “menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang di bahas dalambahasadan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”.12

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi.13 Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.14 Teori merupakan suatu pinsip yang di bangun dan dikembangkan melalui proses penelitian yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu masalah.

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.

11Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 6.

12W. Friedmann, Teori dan Filsafat Umum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 2.

13J.J M. Wuisman, Penyunting M. Hisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid 1, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hal. 203.

14Ibid., hal. 216.

(25)

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teoritesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.15

Sedangkan menurut W.L Neuman, memberikan pendapatnya sebagaimana yang dikutip oleh Otje Salman dan Anton F Susanto, menyebutkan: “teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja”.16

Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

Snelbecker mendefenisikan “teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis (yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati) dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati”.17

Adapun teori menurut pendapat Maria S.W. Sumardjono adalah:

Seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar variabel sehingga menghasilkan

15M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

16HR. Otje Salman S. dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 22.

17Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal. 34-35.

(26)

pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variabel dengan variabel lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variabel tersebut.

Fungsi teori dalam suatu kegiatan penelitian adalah untuk memberikan arahan dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang terjadi, karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum.

Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan.

Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal hal sebagai berikut:18

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta;

b. Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta;

c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang diuji kebenaranya.

Teori tersebut dimaksudkan untuk mendasari segala sesuatu yang berkaitan dengan pengkajian yang dilakukan, maka adapun teori yang dapat digunakan untuk membahas permasalahan dalam tesis ini, yaitu meliputi :

a. Teori Kepastian Hukum

Teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori kepastian hukum. Kepastian hukum tersebut dalam masyarakat dibutuhkan demi tegaknya ketertiban dan keadilan. Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan setiap anggota masyarakat akan saling berbuat

18Soerjono Soekanto, Op.Cit. hal.121

(27)

sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri. Keberadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam suasana kekacauan sosial.19

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.

Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. Menurut Radbruch dalam Theo Huijbers:20 Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh sebab kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum.

Tetapi terdapat kekecualian, yakni bila mana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar, sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh dilepaskan. Selanjutnya Sudikno Mertokusumo menyatakan “tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan.” Tetapi terlalu menitikberatkan kepada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya adalah demikian dan harus ditaati atau dilaksanakan. Undang-undang itu sering terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat “lex dura, set tamen scripta” (undang-

19M.Yahya Harahap, Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika Edisi Kedua, Jakarta, 2006, hal. 76

20Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,1982, hal. 163.

(28)

undang itu kejam, tetapi demikianlah bunyinya).21 Pendaftaran hak atas tanah menimbulkan hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan tanah, sebagaimana pendapat Pitlo yang dikutip Abdurrahman berikut ini:

Pada saat dilakukannya pendaftaran tanah, maka hubungan hukum pribadi antara seseorang dengan tanah diumumkan kepada pihak ketiga atau masyarakat umum, sejak saat itulah pihak-pihak ketiga dianggap mengetahui adanya hubungan hukum antara orang dengan tanahnya dimaksud, untuk mana ia menjadi terikat dan wajib menghormati hal tersebut sebagai suatu kewajiban yang timbul dari kepatutan.22

Indonesia telah mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah yang uniform yang berlaku secara nasional, hal ini sebagai konsekuensi berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang kemudian disempurnakan kembali dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tersebut dalam Pasal 19 ayat (2) UUPA.

Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi:

1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.

2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

21Sudikno Mertoskusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 58.

22Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1993, hal. 23.

(29)

Pendaftaran tanah setelah lahirnya Undang Undang Pokok Agraria merupakan hal yang wajib yang semestinya dilakukan untuk mendapatkan kepastian hukum dan salah satu upaya untuk mengurangi konflik. Konflik yang terjadi apabila terjadi sengketa perselisihan mengenai kepemilikan tanah maka Sertifikat hak milik dapat menjadi alat bukti yang sah.

Kepastian hukum adalah “sicherkeit des Rechts selbst” (kepastian tentang hukum itu sendiri). Ada 4 (empat) hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang- undangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, ”kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah.23 Dalam Pasal 20 ayat 1 menyebutkan : “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6”. Dalam Pasal tersebut telah mengandung makna seseorang dalam memiliki dan mempergunakan tanah harus mengingat kepentingan umum. Namun demikian pendaftaran hak atas tanah seperti yang diwajibkan oleh Undang Undang Pokok Agraria belum menjamin kepastian hukum terhadap kepemilikan hak atas tanah, seperti yang terjadi pada putusan yang dalam tesis yang akan dibahas lebih lanjut.

23Satjipto Rahardjo, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Jakarta, UKI Press, 2006, hal. 135- 136

(30)

b. Teori Kebebasan Berkontrak

Menurut Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.

Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana.

Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 Kitab Undang-

(31)

Undang Hukum Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia inginkan untuk membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal 1331, ditentukan bahwa andai kata pun seseorang membuat perjanjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.

Larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya juga tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia maupun ketentuan perundang-undangan lainnya.

Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu misalnya perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta notaris atau perjanjian jual beli tanah harus dibuat dengan PPAT. Sehingga transaksi jual beli tanah dengan menggunakan kwitansi, tidak dilakukan dihadapan PPAT dianggap tidak memiliki kepastian hukum.

Menurut KUH Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas.

Pasal 1320 ayat (1) menentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang

(32)

membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.

Dalam pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya. untuk membuat perjanjian.

Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1330, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 dan 110 menentukan bahwa istri (wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 tersebut pada saat ini sudah tidak berlaku.

Pasal 1320 (3) menentukan bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.

(33)

Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum.

Pasal 1320 ayat jo.1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang .

Menurut undang-undang causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum.

Mengenai obyek perjanjian diatur lebih lanjut dalam pasal 1332 yang menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Dengan demikian maka menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomi saja yang dapat dijadikan obyek perjanjian.

Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui pasal 1338 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian

(34)

tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

2. Konsepsi

Konsepsi diartikan sebagai ”kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.”24 Soerjono Soekanto berpendapat bahwa, “kerangka konsepsi pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis yang seringkali bersifat abstrak, sehingga diperlukan defenisi-defenisi operasional yang menjadi pegangan konkrit dalam proses penelitian.”25

Samadi Surya Brata memberikan arti khusus mengenai pengertian konsep, yaitu sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional, “konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional”.26 Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas masalah, tidak boleh memiliki makna ganda.

Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional atas beberapa variabel yang digunakan.

24Samadi Surya Barata, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 28.

25Soerjono Soekanto, Op.cit., hal. 133.

26Samadi Surya Barata, Op.cit, hal. 3.

(35)

Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut:

a. Peralihan hak atas tanah adalah berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak yang lama kepada pemegang hak yang baru. Ada 2 (dua) cara peralihan hak atas tanah, yaitu beralih dan dialihkan. Beralih menunjukkan berpindahnya hak atas tanah tanpa ada perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemiliknya, misalnya melalui pewarisan. Sedangkan dialihkan menunjuk pada berpindahnya hak atas tanah melalui perbuatan hukum yang dilakukan pemiliknya, misalnya melalui jual beli.

b. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah Pejabat Umum yang bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagi bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu (Pasal 2 ayat 1 PP No 37 Tahun 1998).

c. Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat Akta Otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosee, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu

(36)

tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

d. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana lingkungan yaitu kelengkapan dasar fisik lingkungan, misalnya penyediaan air minum, pembuangan sampah, tersedianya listrik, telepon, jalan, yang memungkinkan lingkungan pemukiman berfungsi sebagaimana mestinya.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian adalah usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab masalahnya.27

Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, artinya penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta (individu, kelompok atau keadaan), dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi.28 Dengan penelitian yang bersifat deskriptif dimaksudkan untuk melukiskan keadaan objek atau peristiwanya, kemudian menelaah dan menjelaskan serta menganalisa data secara mendalam dengan mengujinya dari berbagai peraturan

27Joko P. Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, 1997, hal. 2.

28Rianto Adi, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta, Garanit, 2004, hal. 58.

(37)

perundangan yang berlaku maupun dari pendapat ahli hukum sehingga dapat diperoleh gambaran tentang data faktual yang berhubungan dengan peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan dihadapan PPAT (studi pada perumahan bumi berngam baru di Kota Binjai).

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan yang bersifat yuridis empiris. Metode yuridis empiris dipergunakan untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan dengan melihat berbagai aspek yang terdapat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sehingga akan diketahui secara hukum tentang peralihan hak atas tanah yang tidak dilakukan dihadapan PPAT (studi pada perumahan bumi berngam baru di Kota Binjai).

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dengan mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer didapat dengan cara wawancara secara mendalam (deep interview) dilakukan secara langsung kepada responden dan narasumber. Dalam hal ini, mula-mula diadakan beberapa pertanyaan untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut, sehingga dapat diperoleh jawaban yang memperdalam data primer dan sekunder lainnya.

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mempelajari :

1. Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi yang mempunyai otoritas yang berkaitan dengan permasalahan,

(38)

yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

2. Bahan Hukum Sekunder

Yaitu “semua bahan hukum yang merupakan publikasi dokumen tidak resmi meliputi buku-buku, karya ilmiah”.29

3. Bahan Hukum Tertier

Yaitu bahan yang memberikan maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, jurnal ilmiah, majalah, surat kabar dan internet.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data akan sangat menentukan hasil penelitian sehingga apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka dalam penelitian akan dipergunakan alat pengumpulan data.

Dalam penelitian ini untuk memperoleh data yang diperlukan, dipergunakan alat pengumpulan data sebagai berikut:

29 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media Grup, 2005, hal. 141.

(39)

a. Studi Dokumen

Untuk memperoleh data sekunder perlu dilakukan studi dokumentasi yaitu dengan cara mempelajari peraturan-peraturan, teori dan dokumen- dokumen kontrak perjanjian kerjasama yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti.

b. Pedoman Wawancara

Untuk memperoleh data primer, maka akan dilakukan wawancara dengan pihak terkait langsung dalam unit perumahan bumi berngam baru.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.30

Mengingat sifat penelitian maupun objek penelitian, maka semua data yang diperoleh akan dianalisa secara kualitatif, dengan cara data yang telah terkumpul dipisah-pisahkan menurut katagori masing-masing dan kemudian ditafsirkan dalam usaha untuk mencari jawaban terhadap masalah penelitian.

Dengan menggunakan metode dedukatif ditarik suatu kesimpulan dari analisis yang telah selesai diolah tersebut yang merupakan hasil penelitian.

30Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi, PT. Remaja Rosdakary, Bandung, 2011, hal. 101.

(40)

BAB II

PENGATURAN HUKUM PERALIHAN HAK ATAS TANAH MENURUT KETENTUAN YANG BERLAKU

A. Pengaturan Hukum Peralihan Hak Atas Tanah Menurut Ketentuan yang Berlaku

Pengaturan hukum mengenai peralihan hak atas tanah akan diuraikan berdasarkan KUHPerdata, Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional (UUPA).

1. Peralihan Hak Atas Tanah dalam bentuk jual beli berdasarkan KUHPerdata

Sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960, pada tanggal 24 September 1960, jual beli tanah di Indonesia mempergunakan dua sistem hukum, yaitu sistem Hukum Barat bagi golongan Eropa dan sistem Hukum Adat bagi golongan bumiputera atau pribumi.

AP Parlindungan menyebutkan bahwa, sebelum berlakunya UUPA, negara kita masih terdapat dualisme dalam Hukum Agraria, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa masih berlakunya dua macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan kita, yaitu Hukum Adat dan Hukum Barat sehingga terdapat dua

26

(41)

macam tanah yaitu tanah adat dan tanah barat31.

Hal ini dipengaruhi oleh sistem hukum yang bersifat kolonial dan feodal sebagai akibat selama ratusan tahun dijajah oleh Belanda, sehingga membedakan peralihan hak kepemilikan tanah baik secara Hukum Adat maupun Hukum Barat dalam hal jual beli juga cara perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pemilik tanah yang bersangkutan. Menurut Hukum Barat : Belanda pada saat datang dan menjajah di Indonesia pada masa lalu juga membawa perangkat Hukum Belanda untuk mengatur masyarakat di Indonesia.

Pada tanggal 1 Januari 1848 mulai diberlakukan suatu ketentuan Hukum Barat yang tertulis yaitu Burgelijk Wetboek (BW), yang sampai sekarang masih kita kenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan dari penjajah Belanda pada Tahun 1945, maka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, BW tersebut dinyatakan masih berlaku di Indonesia sampai terbentuknya undang- undang yang baru32. Burgelijk Wetboek (BW) selain memuat ketentuan-ketentuan perdata pada umumnya, Burgelijk Wetboek (BW) juga memuat perangkat Hukum Tanah Barat yang kita jumpai dalam :

1. Buku II, dengan judul Hak-Hak atas Tanah dan Hak Jaminan atas Tanah 2. Buku III, dengan judul Perihal Jual Beli

31Arie S Hutagalung, dkk. Asas-Asas Hukum Agraria. Bahan Bacaan Pelengkap Mata Kuliah Hukum Agraria. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

32Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2005. Halaman 12.

(42)

3. Buku IV, dengan judul Perihal Daluwarsa33

Motivasi yang mendorong orang Belanda menghadirkan Hukum Tanah Barat antara lain adalah banyaknya orang Belanda yang memerlukan tanah, misalnya untuk perkebunan atau bangunan/rumah peristirahatan di luar kota, rumah tempat tinggal atau tempat usaha di dalam kota. Mengacu kepada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jual beli adalah suatu perjanjian, dimana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lain (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri dari sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Sebagaimana Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harganya yang telah dijanjikan.”34

Dijelaskan juga dalam Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana bunyinya :

“Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang telah mencapai kata sepakat tentang kebendaan

33Cahyono, Akhmad Budidan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. Jakarta:

CV. Gitama Jaya, 2008. Hal. 35

34Budiono, Herlin. Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak. Majalah Renvoi Edisi Tahun 1, No 10, Bulan Maret 2004.

(43)

tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.”35

Dari Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di atas bahwa dengan adanya jual beli hak atas tanah belum berpindah, berpindahnya setelah adanya balik nama. Dengan memberitahukan rumusan yang terdapat dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dapat dipahami bahwa “jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu”. Dengan ketentuan yang demikian jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak pada saat mereka mencapai kata sepakat mengenai benda yang dijualbelikan, demikian harganya, sekalipun benda yang menjadi obyek jual beli baru dapat beralih kepada pembeli sebagai pemilik tanah yang baru jika dilakukan penyerahan yuridis yang wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang kemudian didaftarkan di kantor pertanahan setempat.

2. Peralihan Hak Atas Tanah dalam bentuk Jual Beli Menurut Hukum Adat

Menurut Hukum Adat jual beli tanah bukan merupakan perjanjian seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tersebut di atas, melainkan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli

35Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R.

Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), Pasal 1458.

(44)

untuk selama-lamanya pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual.36

Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat yaitu perbuatan hukum penyerahan tanah untuk selama-lamanya dengan penjual menerima pembayaran sejumlah uang, yaitu harga pembelian (yang sepenuhnya atau sebagiannya dibayar tunai).

Dalam masyarakat Hukum Adat jual beli tanah dilaksanakan secara terang dan tunai. Terang berarti perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar dilaksanakan dihadapan Kepala Adat atau Kepala Desa. Tunai, berarti adanya dua perbuatan yang dilaksanakan secara bersamaan, yaitu pemindahan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli dari penjual kepada pembeli dan pembayaran harga dari pembeli kepada penjual terjadi serentak dan secara bersamaan37. Sehingga jika para pihak yang bersangkutan tunduk pada Hukum Adat, maka hukum yang berlaku terhadap jual beli tersebut adalah Hukum Adat dan jika pihak-pihak yang bersangkutan tunduk pada Hukum Barat, maka yang beraku adalah Hukum Barat. Dalam Hukum Adat, “jual beli tanah”

bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang disebut “perjanjian obligator”.

Jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya, harga yang disetujui

36Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. 2001.

37Fea, Dyara Radhite Oryza, Buku Pintar Mengurus Sertifikat Tanah Rumah dan Perizinannya, Yogyakarta: Buku Pintar, 2016.

(45)

bersmaa dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yeng bersangkutan.

Dalam Hukum Adat tidak ada pengertian penyerahan yuridis sebagai pemenuhan kewajiban hukum penjual, karena justru apa yang disebut “jual beli tanah” itu adalah penyerahan hak atas tanah yang dijual kepada pembeli yang pada saat yang sama membayar penuh kepada penjual harga yang telah disetujui bersama. Maka jual beli tanah menurut pengertian Hukum Adat ini pengaturannya termasuk Hukum Tanah38.

Dalam jual beli supaya tidak ada sangketa di kemudian hari ada hukum jual beli yang harus dipenuhi rukun-rukun jual beli antara lain.

1. Adanya penjual dan pembeli

Syaratnya adalah :

a. Berakal, agar tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.

b. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa)

c. Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang mubazir di tangan walinya.

d. Baligh atas dalam hukum perdata cakap yang sudah berumur 15 tahun keatas/dewasa.

2. Adanya barang yang dimiliki sendiri

38Bernhard, Limbong, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Cet.3, Jakarta Selatan:

Margaretha Pustaka, 2015. Halaman 123

(46)

3. Adanya alat untuk melakukan pembayaran (uang)39

Dalam pasal 1473 dan 1476 bahwa penjual wajib menyatakan dengan jelas, untuk apa ia mengikatkan dirinya. Janji yang tidak jelas dan dapat diartikan dalam berbagai pengertian harus ditafsirkan untuk kerugiannya. Adapun biaya penyerahan barang dipikul oleh penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh pembeli kecuali karena diperjanjikan sebaliknya. Pengertian Jual beli tanah pada hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada pihak lain/orang lain yang berupa rumah dari penjual kepada pembeli tanah.

Pengalihan hak-hak pemilikan atas tanah ini tidak hanya melalui jual beli saja, tetapi pengalihan hak pemilikan ini juga terjadi karena hibah, tukar-menukar, pemberian dengan surat wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang bermaksud memindahkan hak pemilikan atas tanah. Tetapi peralihan hak pemilikan itu terjadi demi hukum, misalnya karena pewarisan. Karena Hukum pula segala harta kekayaan seseorang beralih menjadi harta warisan sejak saat orang tersebut meninggal dunia. Karena itu beralihnya hak milik atas tanah apabila kita lihat dari segi hukum dapat terjadi karena suatu tindakan hukum (antara lain perbuatan hukum) atau karena suatu peristiwa hukum.

Tindakan hukum (rechtshandelingen) termasuk jual beli, hibah, pemberian dengan wasiat, penukaran, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan hukum lainnya. Sedangkan beralihnya hak milik karena peristiwa hukum misalnya karena pewarisan Pengertian jual-beli menurut Hukum Adat dan Boedi

39Urip, Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Ed.1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Halaman 4

(47)

Harsono, adalah perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai.40 Jual beli tanah dalam hukum adat, adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan.

Maka dengan penyerahan tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual pada saat jual-beli dilakukan, perbuatan jual beli itu selesai dalam arti pembeli telah menjadi pemegang hak yang baru. Bahwa kemudian pemilik tanah yang baru itu meminta perubahan girik bukan berarti bahwa ia merasa belum menjadi pemilik yang baru. Penggantian girik tersebut justru dimaksudkan untuk mengamankan pemilikan tanah yang bersangkutan olehnya.

Dengan tunai dimaksudkan, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti bahwa harga tanah dibayar kontan atau baru dibayar sebagian (dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah akan tetapi atas dasar hukum hutang piutang. Bentuk-bentuk jual beli tanah dalam hukum adat antara lain yaitu:

1. Jual lepas

Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang besifat terang dan tunai, dimana semua ikatan antara bekas penjual dengan tanahnya menjadi lepas sama sekali.

40Sarkawi, Hukum Pembebasan Tanah Hak Milik Adat untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014, Halaman 23

(48)

2. Jual gadai

Merupakan suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Dengan demikian maka pemindahan hak atas tanah pada jual gadai bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai sifat sementara waktu tersebut. Ada kecenderungan untuk membedakan antara gadai biasa dengan gadai jangka waktu, dimana yang terakhir cenderung memberikan semacam patokan pada sifat sementara dan perpindahan hak atas tanah tersebut. Pada gadai biasa, maka tanah dapat ditebus oleh penggadai setiap saat. Pembatasnya adalah satu tahun panen atau apabila di atas tanah masih terdapat tumbuh- tumbuhan yang belum dipetik hasil-hasilnya. Dalam hal ini maka penerima gadai tidak berhak untuk menuntut agar penggadai menebus tanahnya pada suatu waktu tertentu.

3. Jual tahunan

Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan penyerahan hak atas sebidang tanah tersebut kepada subyek hukum lain dengan menerima sejumlah uang tertentu dengan ketentuan bahwa setelah jangka waktu tertentu, maka tanah tersebut akan kembali dengan sendirinya tanpa melalui hukum tertentu. Dalam hal ini terjadi peralihan hak atas tanah yang bersifat sementara waktu.

(49)

4. Jual gangsur

Pada jual gangsur ini walaupun telah terjadi pemindahan hak atas tanah kepada pembeli, akan tetapi tanah tetap berada ditangan penjual, artinya bekas penjual masih tetap mempunyai hak pakai yang bersumber pada ketentuan yang disepakati oleh penjual dengan pembeli (jadi hak pakai tersebut bukan bersumber pada hak peserta warga negara hukum adat).

5. Jual beli dengan cicilan

Yang dimaksud dengan jual beli dengan cicilan, dalam praktek sehari-hari sering timbul walaupun tidak diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, menurut M. Yahya Harahap: “Jual beli cicilan, merupakan salah satu bentuk penjualan kredit, pembeli wajib membayar barang secara termein atau berkala. Sebaliknya penjual biasanya masih tetap berhak menarik barang yang dijual dari tangan si pembeli, apabila pembeli tidak tepat waktu, membayar harga cicilan, menurut termein yang dijadwalkan”41

Adanya hak penjual menarik kembali barang yang telah dijual, karena akibat keterlambatan membayar cicilan, adalah merupakan syarat yang disebut

“klausula yang menggugurkan “atau vervalclausule”. Salah satu bentuk jual beli angsuran atau cicilan adalah sewa beli. Jadi dalam jual beli dengan cicilan barang yang dijual diserahkan dalam miliknya si pembeli, namun pembayarannya dengan cicilan. Dengan demikian si pembeli seketika menjadi pemilik mutlak dari barang

41Soimin, Sudaryo, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, 1994, Halaman 27

(50)

yang dibelinya dan tinggal lah mempunyai utang kepada si penjual berupa harga atau sebagian dari harga yang belum dibayarnya. Dengan begitu pembeli menerima barangnya begitu pula ia bebas untuk menjualnya lagi karena sudah menjadi miliknya.” Saat mengikatnya perjanjian jual beli, adalah bersamaan dengan saat terjadinya jual beli, dimana perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan, pada detik tercapainya kata “sepakat” mengenai barang dan harga.

Dengan kesepakatan tersebut berarti perjanjian jual beli tersebut menganut asas konsensualisme yang ditentukan dalam Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “Jual beli itu dianggap telah mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu sebelum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.”

3. Peralihan Hak Atas Tanah dalam Bentuk Jual Beli Menurut Hukum Tanah Nasional (UUPA)

Sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 yang menghapuskan dualisme hukum tanah di Indonesia, pengertian jual beli tidak sama dengan pengertian jual beli tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1457 dan Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Boedi Harsono juga menyebutkan bahwa, sebelum berlakunya UUPA dikenal lembaga hukum jual beli tanah. Ada yang diatur dalam

(51)

KUHPerdata yang tertulis dan ada yang diatur oleh hukum adat yang tidak tertulis42.

Berlakunya UUPA yang mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960 telah terjadi perubahan fundamental pada hukum agraria di Indonesia terutama pada hukum pertanahan. Perubahan ini bersifat mendasar baik pada struktur perangkat hukumnya maupun pada konsepsi dan isinya. Sebelum berlakunya UUPA di Indonesia (dahulu Hindia Belanda) diperlakukan hukum yang berasal dari negara barat (Belanda) dan hukum adat. Dengan dibentuknya UUPA sebagai hukum tanah nasional, maka dualisme hukum tanah sudah tidak ada lagi dan telah memberikan unifikasi dalam hukum pertanahan.43

Tujuan pokok diundangkannya UUPA sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum UUPA adalah :

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran kebahagiaan dan keadaan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka mewujudkan terciptanya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

42Bernard L. Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta publishing, Yogyakarta, 2010. Halaman 48

43 Banyara Sangadji, Amunuddin Salle, dan Abrar Saleng, Pelaksanaan Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat dan Undang-Undang Pokok Agraria di Kecamatan Siriamau Kota Ambon. Hlm 2-3. Sulawesi Selatan.

Referensi

Dokumen terkait

” Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan harta ke perusahaan dan perbuatan

1) Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melaui jual- beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak

Peranan PPAT dalam pembuatan akta peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan bekas Hak Milik Adat berkaitan dengan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah

Tujuan dari penelitian ini menjawab permasalahan mengenai kekuatan hukum perjanjian jual beli tanahyang tidak dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

“ Setiap perjanjian yang dimaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjamkan uang dengan hak atas tanah

Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,

Eksistensi akta jual beli hak milik atas tanah yang dibuat PPAT camat di Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jemrana akan tetap eksis/ada selama Surat Keputusan tentang pengangkatan