• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM PERALIHAN HAK ATAS TANAH

A. Pengaturan Hukum Peralihan Hak Atas Tanah Menurut Ketentuan

1. Peralihan Hak Atas Tanah Dalam Bentuk Jual Beli

Sebelum berlakunya Undang Pokok Agraria (UUPA). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, pada tanggal 24 September 1960, jual beli tanah di Indonesia mempergunakan dua sistem hukum, yaitu sistem Hukum Barat bagi golongan Eropa dan sistem Hukum Adat bagi golongan bumiputera atau pribumi.

AP Parlindungan menyebutkan bahwa, sebelum berlakunya UUPA, negara kita masih terdapat dualisme dalam Hukum Agraria, hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa masih berlakunya dua macam hukum yang menjadi dasar bagi hukum pertanahan kita, yaitu Hukum Adat dan Hukum Barat sehingga terdapat dua

26

macam tanah yaitu tanah adat dan tanah barat31.

Hal ini dipengaruhi oleh sistem hukum yang bersifat kolonial dan feodal sebagai akibat selama ratusan tahun dijajah oleh Belanda, sehingga membedakan peralihan hak kepemilikan tanah baik secara Hukum Adat maupun Hukum Barat dalam hal jual beli juga cara perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi pemilik tanah yang bersangkutan. Menurut Hukum Barat : Belanda pada saat datang dan menjajah di Indonesia pada masa lalu juga membawa perangkat Hukum Belanda untuk mengatur masyarakat di Indonesia.

Pada tanggal 1 Januari 1848 mulai diberlakukan suatu ketentuan Hukum Barat yang tertulis yaitu Burgelijk Wetboek (BW), yang sampai sekarang masih kita kenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan dari penjajah Belanda pada Tahun 1945, maka berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, BW tersebut dinyatakan masih berlaku di Indonesia sampai terbentuknya undang-undang yang baru32. Burgelijk Wetboek (BW) selain memuat ketentuan-ketentuan perdata pada umumnya, Burgelijk Wetboek (BW) juga memuat perangkat Hukum Tanah Barat yang kita jumpai dalam :

1. Buku II, dengan judul Hak-Hak atas Tanah dan Hak Jaminan atas Tanah 2. Buku III, dengan judul Perihal Jual Beli

31Arie S Hutagalung, dkk. Asas-Asas Hukum Agraria. Bahan Bacaan Pelengkap Mata Kuliah Hukum Agraria. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

32Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2005. Halaman 12.

3. Buku IV, dengan judul Perihal Daluwarsa33

Motivasi yang mendorong orang Belanda menghadirkan Hukum Tanah Barat antara lain adalah banyaknya orang Belanda yang memerlukan tanah, misalnya untuk perkebunan atau bangunan/rumah peristirahatan di luar kota, rumah tempat tinggal atau tempat usaha di dalam kota. Mengacu kepada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jual beli adalah suatu perjanjian, dimana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lain (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri dari sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Sebagaimana Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi :

“jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harganya yang telah dijanjikan.”34

Dijelaskan juga dalam Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana bunyinya :

“Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang telah mencapai kata sepakat tentang kebendaan

33Cahyono, Akhmad Budidan Surini Ahlan Sjarif. Mengenal Hukum Perdata. Jakarta:

CV. Gitama Jaya, 2008. Hal. 35

34Budiono, Herlin. Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak. Majalah Renvoi Edisi Tahun 1, No 10, Bulan Maret 2004.

tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar.”35

Dari Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata di atas bahwa dengan adanya jual beli hak atas tanah belum berpindah, berpindahnya setelah adanya balik nama. Dengan memberitahukan rumusan yang terdapat dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dapat dipahami bahwa “jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu”. Dengan ketentuan yang demikian jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak pada saat mereka mencapai kata sepakat mengenai benda yang dijualbelikan, demikian harganya, sekalipun benda yang menjadi obyek jual beli baru dapat beralih kepada pembeli sebagai pemilik tanah yang baru jika dilakukan penyerahan yuridis yang wajib diselenggarakan dengan pembuatan akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang kemudian didaftarkan di kantor pertanahan setempat.

2. Peralihan Hak Atas Tanah dalam bentuk Jual Beli Menurut Hukum Adat

Menurut Hukum Adat jual beli tanah bukan merupakan perjanjian seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tersebut di atas, melainkan suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah yang bersangkutan oleh penjual kepada pembeli

35Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R.

Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. 31, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), Pasal 1458.

untuk selama-lamanya pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual.36

Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat yaitu perbuatan hukum penyerahan tanah untuk selama-lamanya dengan penjual menerima pembayaran sejumlah uang, yaitu harga pembelian (yang sepenuhnya atau sebagiannya dibayar tunai).

Dalam masyarakat Hukum Adat jual beli tanah dilaksanakan secara terang dan tunai. Terang berarti perbuatan hukum jual beli tersebut benar-benar dilaksanakan dihadapan Kepala Adat atau Kepala Desa. Tunai, berarti adanya dua perbuatan yang dilaksanakan secara bersamaan, yaitu pemindahan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli dari penjual kepada pembeli dan pembayaran harga dari pembeli kepada penjual terjadi serentak dan secara bersamaan37. Sehingga jika para pihak yang bersangkutan tunduk pada Hukum Adat, maka hukum yang berlaku terhadap jual beli tersebut adalah Hukum Adat dan jika pihak-pihak yang bersangkutan tunduk pada Hukum Barat, maka yang beraku adalah Hukum Barat. Dalam Hukum Adat, “jual beli tanah”

bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang disebut “perjanjian obligator”.

Jual beli tanah dalam Hukum Adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak dengan pembayaran tunai. Artinya, harga yang disetujui

36Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. 2001.

37Fea, Dyara Radhite Oryza, Buku Pintar Mengurus Sertifikat Tanah Rumah dan Perizinannya, Yogyakarta: Buku Pintar, 2016.

bersmaa dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yeng bersangkutan.

Dalam Hukum Adat tidak ada pengertian penyerahan yuridis sebagai pemenuhan kewajiban hukum penjual, karena justru apa yang disebut “jual beli tanah” itu adalah penyerahan hak atas tanah yang dijual kepada pembeli yang pada saat yang sama membayar penuh kepada penjual harga yang telah disetujui bersama. Maka jual beli tanah menurut pengertian Hukum Adat ini pengaturannya termasuk Hukum Tanah38.

Dalam jual beli supaya tidak ada sangketa di kemudian hari ada hukum jual beli yang harus dipenuhi rukun-rukun jual beli antara lain.

1. Adanya penjual dan pembeli

Syaratnya adalah :

a. Berakal, agar tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.

b. Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa)

c. Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang yang mubazir di tangan walinya.

d. Baligh atas dalam hukum perdata cakap yang sudah berumur 15 tahun keatas/dewasa.

2. Adanya barang yang dimiliki sendiri

38Bernhard, Limbong, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, Cet.3, Jakarta Selatan:

Margaretha Pustaka, 2015. Halaman 123

3. Adanya alat untuk melakukan pembayaran (uang)39

Dalam pasal 1473 dan 1476 bahwa penjual wajib menyatakan dengan jelas, untuk apa ia mengikatkan dirinya. Janji yang tidak jelas dan dapat diartikan dalam berbagai pengertian harus ditafsirkan untuk kerugiannya. Adapun biaya penyerahan barang dipikul oleh penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh pembeli kecuali karena diperjanjikan sebaliknya. Pengertian Jual beli tanah pada hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada pihak lain/orang lain yang berupa rumah dari penjual kepada pembeli tanah.

Pengalihan hak-hak pemilikan atas tanah ini tidak hanya melalui jual beli saja, tetapi pengalihan hak pemilikan ini juga terjadi karena hibah, tukar-menukar, pemberian dengan surat wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang bermaksud memindahkan hak pemilikan atas tanah. Tetapi peralihan hak pemilikan itu terjadi demi hukum, misalnya karena pewarisan. Karena Hukum pula segala harta kekayaan seseorang beralih menjadi harta warisan sejak saat orang tersebut meninggal dunia. Karena itu beralihnya hak milik atas tanah apabila kita lihat dari segi hukum dapat terjadi karena suatu tindakan hukum (antara lain perbuatan hukum) atau karena suatu peristiwa hukum.

Tindakan hukum (rechtshandelingen) termasuk jual beli, hibah, pemberian dengan wasiat, penukaran, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan hukum lainnya. Sedangkan beralihnya hak milik karena peristiwa hukum misalnya karena pewarisan Pengertian jual-beli menurut Hukum Adat dan Boedi

39Urip, Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Ed.1, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Halaman 4

Harsono, adalah perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai.40 Jual beli tanah dalam hukum adat, adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada saat yang bersamaan secara tunai dilakukan.

Maka dengan penyerahan tanahnya kepada pembeli dan pembayaran harganya kepada penjual pada saat jual-beli dilakukan, perbuatan jual beli itu selesai dalam arti pembeli telah menjadi pemegang hak yang baru. Bahwa kemudian pemilik tanah yang baru itu meminta perubahan girik bukan berarti bahwa ia merasa belum menjadi pemilik yang baru. Penggantian girik tersebut justru dimaksudkan untuk mengamankan pemilikan tanah yang bersangkutan olehnya.

Dengan tunai dimaksudkan, bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak. Oleh karena itu, maka tunai mungkin berarti bahwa harga tanah dibayar kontan atau baru dibayar sebagian (dianggap tunai). Dalam hal pembeli tidak membayar sisanya, maka penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah akan tetapi atas dasar hukum hutang piutang. Bentuk-bentuk jual beli tanah dalam hukum adat antara lain yaitu:

1. Jual lepas

Jual lepas merupakan proses pemindahan hak atas tanah yang besifat terang dan tunai, dimana semua ikatan antara bekas penjual dengan tanahnya menjadi lepas sama sekali.

40Sarkawi, Hukum Pembebasan Tanah Hak Milik Adat untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014, Halaman 23

2. Jual gadai

Merupakan suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah kepada pihak lain yang dilakukan secara terang dan tunai sedemikian rupa sehingga pihak yang melakukan pemindahan hak mempunyai hak untuk menebus kembali tanah tersebut. Dengan demikian maka pemindahan hak atas tanah pada jual gadai bersifat sementara, walaupun kadang-kadang tidak ada patokan tegas mengenai sifat sementara waktu tersebut. Ada kecenderungan untuk membedakan antara gadai biasa dengan gadai jangka waktu, dimana yang terakhir cenderung memberikan semacam patokan pada sifat sementara dan perpindahan hak atas tanah tersebut. Pada gadai biasa, maka tanah dapat ditebus oleh penggadai setiap saat. Pembatasnya adalah satu tahun panen atau apabila di atas tanah masih terdapat tumbuh-tumbuhan yang belum dipetik hasil-hasilnya. Dalam hal ini maka penerima gadai tidak berhak untuk menuntut agar penggadai menebus tanahnya pada suatu waktu tertentu.

3. Jual tahunan

Jual tahunan merupakan suatu perilaku hukum yang berisikan penyerahan hak atas sebidang tanah tersebut kepada subyek hukum lain dengan menerima sejumlah uang tertentu dengan ketentuan bahwa setelah jangka waktu tertentu, maka tanah tersebut akan kembali dengan sendirinya tanpa melalui hukum tertentu. Dalam hal ini terjadi peralihan hak atas tanah yang bersifat sementara waktu.

4. Jual gangsur

Pada jual gangsur ini walaupun telah terjadi pemindahan hak atas tanah kepada pembeli, akan tetapi tanah tetap berada ditangan penjual, artinya bekas penjual masih tetap mempunyai hak pakai yang bersumber pada ketentuan yang disepakati oleh penjual dengan pembeli (jadi hak pakai tersebut bukan bersumber pada hak peserta warga negara hukum adat).

5. Jual beli dengan cicilan

Yang dimaksud dengan jual beli dengan cicilan, dalam praktek sehari-hari sering timbul walaupun tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menurut M. Yahya Harahap: “Jual beli cicilan, merupakan salah satu bentuk penjualan kredit, pembeli wajib membayar barang secara termein atau berkala. Sebaliknya penjual biasanya masih tetap berhak menarik barang yang dijual dari tangan si pembeli, apabila pembeli tidak tepat waktu, membayar harga cicilan, menurut termein yang dijadwalkan”41

Adanya hak penjual menarik kembali barang yang telah dijual, karena akibat keterlambatan membayar cicilan, adalah merupakan syarat yang disebut

“klausula yang menggugurkan “atau vervalclausule”. Salah satu bentuk jual beli angsuran atau cicilan adalah sewa beli. Jadi dalam jual beli dengan cicilan barang yang dijual diserahkan dalam miliknya si pembeli, namun pembayarannya dengan cicilan. Dengan demikian si pembeli seketika menjadi pemilik mutlak dari barang

41Soimin, Sudaryo, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Jakarta: Sinar Grafika, 1994, Halaman 27

yang dibelinya dan tinggal lah mempunyai utang kepada si penjual berupa harga atau sebagian dari harga yang belum dibayarnya. Dengan begitu pembeli menerima barangnya begitu pula ia bebas untuk menjualnya lagi karena sudah menjadi miliknya.” Saat mengikatnya perjanjian jual beli, adalah bersamaan dengan saat terjadinya jual beli, dimana perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan, pada detik tercapainya kata “sepakat” mengenai barang dan harga.

Dengan kesepakatan tersebut berarti perjanjian jual beli tersebut menganut asas konsensualisme yang ditentukan dalam Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : “Jual beli itu dianggap telah mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu sebelum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.”

3. Peralihan Hak Atas Tanah dalam Bentuk Jual Beli Menurut Hukum Tanah Nasional (UUPA)

Sejak diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 yang menghapuskan dualisme hukum tanah di Indonesia, pengertian jual beli tidak sama dengan pengertian jual beli tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1457 dan Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Boedi Harsono juga menyebutkan bahwa, sebelum berlakunya UUPA dikenal lembaga hukum jual beli tanah. Ada yang diatur dalam

KUHPerdata yang tertulis dan ada yang diatur oleh hukum adat yang tidak tertulis42.

Berlakunya UUPA yang mulai berlaku pada tanggal 24 September 1960 telah terjadi perubahan fundamental pada hukum agraria di Indonesia terutama pada hukum pertanahan. Perubahan ini bersifat mendasar baik pada struktur perangkat hukumnya maupun pada konsepsi dan isinya. Sebelum berlakunya UUPA di Indonesia (dahulu Hindia Belanda) diperlakukan hukum yang berasal dari negara barat (Belanda) dan hukum adat. Dengan dibentuknya UUPA sebagai hukum tanah nasional, maka dualisme hukum tanah sudah tidak ada lagi dan telah memberikan unifikasi dalam hukum pertanahan.43

Tujuan pokok diundangkannya UUPA sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum UUPA adalah :

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran kebahagiaan dan keadaan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka mewujudkan terciptanya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

42Bernard L. Tanya, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta publishing, Yogyakarta, 2010. Halaman 48

43 Banyara Sangadji, Amunuddin Salle, dan Abrar Saleng, Pelaksanaan Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat dan Undang-Undang Pokok Agraria di Kecamatan Siriamau Kota Ambon. Hlm 2-3. Sulawesi Selatan.

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya44.

Dengan demikian menurut Hukum Adat yang merupakan dasar dari hukum tanah Nasional yang berlaku pada saat ini sebagaimana termuat dalam UUPA.

Peralihan hak atas tanah yang menjadi obyek jual beli telah terjadi sejak ditanda tanganinya akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang dan dibayarnya harga oleh pembeli kepada penjual. Sejak akta jual beli ditandatanganinya di depan PPAT yang berwenang, hak milik atas tanah yang dijual beralih kepada pembeli. Hal ini terjadi bagi jual beli tanah di bawah tangan yang dilakukan dihadapan kepala desa.

B. Peralihan Hak Atas Tanah Dalam Bentuk Jual Beli Menurut Akta di Bawah Tangan

Akta di bawah tangan adalah akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta dengan kata lain akta dibawah tangan adalah akta yang dimasukkan oleh para pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum pembuat akta.45 Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum juga menjadi akta di bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu jika terdapat cacat dalam bentuk akta itu, sebagaimana disebut dalam Pasal 1869 KUH

44Widjaya, Abdi, Konfigurasi Akad dalam Islam (Sebuah Tinjauan Fiqih Muamalah), Makassar: Alauddin University Press, 2014

45Marilang, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Cetakan I, Makassar: Alauddin University Press, 2013. Halaman 133

Perdata.46 Mengenai akta di bawah tangan yang memuat pengakuan utang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau memberikan/menyerahkan sesuatu barang yang dapat ditetapkan atas suatu harga tertentu, harus seluruhnya ditulis dengan tangannya sendiri oleh orang yang menandatanganinya (orang yang berutang) atau paling sedikit selainnya tanda tangan, harus ditulis sendiri oleh si penandatangan (orang yang berutang) suatu persetujuan yang memuat jumlah atau besarnya barang yang terutang. Jika diindahkan, maka apabila perikatan dimungkiri, akta di bawah tangan itu hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan, demikian menurut Pasal 1878 KUHPerdata. Apa yang dimaksud dengan permulaan bukti tertulis, dijelaskan dalam Pasal 1902 ayat (2) KUH Perdata, yang berbunyi : “yang dinamakan permulaan pembuktian dengan tulisan ialah segala akta tertulis yang berasal dari orang terhadap siapa tuntutan dimajukan, atau dari orang yang diwakili olehnya, dan yang memberikan persangkaan tentang benarnya peristiwa-peristiwa yang dimajukan oleh seseorang.”

Jadi surat yang berasal dari penggugat atau pihak ketiga tidak lah merupakan permulaan bukti tertulis. Untuk dapat menjadi bukti sempurna atau lengkap, maka permulaan bukti tertulis ini harus dilengkapi dengan alat-alat bukti lain. Menurut G. H. S. Lumban Tobing, perbedaan terbesar antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah :

46M Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1982, Halaman 60

1. Akta otentik mempunyai tanggal yang pasti;

2. Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim sedang akta di bawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial.47

3. Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar dibandingkan dengan akta otentik.48 Disamping itu masih ada lagi perbedaan-perbedaan antara akta otentik dan akta di bawah tangan, seperti:

a. Akta otentik harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat dan harus mengikuti bentuk dan formalitas yang ditentukan dalam undang-undang, sedang akta di bawah tangan tidak demikian.

b. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian lahir sesuai dengan asas “acta publica probant sesei psa”, yang berarti bahwa satu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta itu harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, sedang akta di bawah tangan tidak mempunyai kekuatan lahir. Bila diperhatikan Pasal 1865 KUH Perdata, maka jelas bahwa bukti tulisan ditempatkan paling atas dari seluruh alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal-Pasal undang-undang tersebut. Walaupun urutan penyebutan alat bukti dalam ketentuan undang-undang itu bukan imperatif, namun dapat dikatakan bahwa alat bukti tulisan (akta) memang merupakan alat bukti yang paling tepat dan penting,

47Mulyadi, Kartini & Gunawan Widjaja. Kebendaan Pada Umumnya. Jakarta: Kencana, 2005

48Prodjodikoro, Wirjono. Azas-Azas Hukum Perjanjian. Bandung: Mandar Maju, 2011.

terlebih-lebih pada masyarakat modern saat ini. Pada hakikatnya kekuatan pembuktian dari akta itu selalu dapat dibedakan atas tiga, yaitu :49 (1) Kekuatan pembuktian lahir. Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa suatu surat yang kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, sampai dibuktikan sebaliknya. (2) Kekuatan pembuktian formil. Kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Dalam akta otentik, pejabat pembuat akta menyatakan dalam tulisan itu bahwa ada yang dinyatakan dalam akta itu sebagaimana telah dicantumkan di dalamnya. (3) Kekuatan pembuktian materiil. Kekuatan pembuktian materiil ini menyangkut pembuktian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu.

Manusia membutuhkan tanah dalam kehidupannya, maka tidak heran harta tanah menjadi sangat mahal bahwa tidak sedikit orang beranggapan membeli tanah adalah menabung untuk masa depan dan investasi yang harganya akan selalu naik dari tahun ke tahun. Masyarakat kita memperoleh hak atas tanah lebih sering dilakukan dengan pemindahan hak melalui jual beli. Menurut Boedi

49Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Grasindo, Jakarta, 2006, halaman 61

Harsono, dalam hukum adat perbuatan pemindahan hak (jual-beli, hibah, tukar-menukar) merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai.

Harsono, dalam hukum adat perbuatan pemindahan hak (jual-beli, hibah, tukar-menukar) merupakan perbuatan hukum yang bersifat tunai.