• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROSES PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK

B. Tanah Tidak Bersertifikat

3. PPAT Sebagai Wadah Resmi Dalam Pendaftaran Tanah

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 24, Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, disebutkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), adalah sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu sebagai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, yaitu akta

100Ali Ahmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Jakarta Prestasi Pustaka, 2002, hal 15

101K.Wantjik Saleh, Hak anda atas tanah, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1997, hal. 15-18

pemindahan dan pembebanan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, dan akta pemberian kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan.102

Pejabat umum, adalah orang yang diangkat oleh instansi yang berwenang, dengan tugas melayani masyarakat umum di bidang atau kegiatan tertentu.

Pejabat Umum dalam bahasa Belanda adalah “Openbaar Ambtenaar”. Openbaar artinya bertalian dengan pemerintahan, urusan yang terbuka untuk umum, kepentingan umum, Openbaar Ambtenar berarti pejabat yang bertugas membuat akta umum (openbare akten), seperti notaris dan jurusita.103

Dalam jabatannya itu tersimpul suatu sifat atau ciri khas, yang membedakannya dari jabatan lainya dalam masyarakat, sekalipun untuk menjalankan jabatan-jabatan lainnya itu kadang-kadang diperlukan juga pengangkatan atau izin dari pemerintah, misalnya pengangkatan advokat, dokter, akuntan dan lain-lainnya, maka sifat dan pengangkatan itu sesungguhnya pemberian izin, pemberian wewenang itu merupakan lisensi untuk menjalankan suatu jabatan. Untuk mempermudah rakyat di daerah terpencil yang tidak ada PPAT dalam me1akukan perbuatan hukum mengenai tanah, dapat ditunjuk PPAT sementara. Yang ditunjuk sebagai PPAT sementara itu, adalah pejabat pemerintah yang menguasai keadaan daerah yang bersangkutan: yaitu Kepala Desa.104

Menurut Penjelasan Umum dikemukakan bahwa akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka

102Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 469

103John Salehindo, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta, Sinar Grafika. 1987.

hal.53

104Budi Harsono, Op.cit, hal. 469

pokok-pokok tugas PPAT serta cara melaksanakannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997. Adapun ketentuan umum mengenai jabatan PPAT diatur dalam PP No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Kegiatan PPAT membantu Kepala Kantor Pertahanan dalam melaksanakan tugas di bidang pendaftaran tanah, khususnya dalam kegiatan peme1iharaan data pendaftaran.

Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang juga Notaris maupun camat selaku PPAT dan Pejabat PPAT lainnya, sekalipun adalah pejabat umum untuk melayani pembuatan akta jual beli tanah hak milik (misalnya), mereka itu tidak dibenarkan membuat akta dalam bentuk lain, selain yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Notaris PPAT dan Camat PPAT dibatasi kewenangan dan atau fungsinya untuk berada di dalam batas-batas sesuai UUPA dan PP No.24 tahun 1997. Dalam pada itu, para Notaris PPAT dan Camat PPAT dilarang untuk melayani adanya kuasa-kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah. Sebenarnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 Tahun 1982 yang berisikan larangan itu ditujukan kepada para Camat dan Kepala Desa atau pejabat yang setingkat dengan itu (Lurah) untuk tidak membuat/menguatkan pembuatan Surat Kuasa Mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah yang terselubung, tetapi pada akhirnya pihak-pihak tertentu muncul atau mendatangi para Notaris/Camat PPAT.

Pejabat Umum (Camat/Notaris/pejabat lain selaku PPAT) mestinya hanya melayani pembuatan sesuai bentuk, syarat dan cara yang ditetapkan ditempat kedudukannya dimana ia berwenang membuat akta otentik itu. Oleh karena itu

ditetapkan pula bahwa di depan kantor tempat di mana ia menjalankan tugas itu, ditempatkan/ dipasang “Papan Pengenal PPAT”, agar umum mengetahui dan di situlah ia menyelenggarakan tugasnya secara resmi dan sah. Di sini diartikan pula bahwa PPAT tidak berwenang membuat akta PPAT untuk transaksi tanah yang berada diluar wilayah hukum/ kerjanya di dalam mana ia ditetapkan sebagai PPAT.

Praktek jual beli ataupun peralihan hak atas tanah dimasyarakat menunjukkan ketidakseragaman khususnya tanah yang belum memiliki sertifikat, mengingat ketentuan pemerintah yang menyebutkan setiap jual beli ataupun peralihan hak harus dilakukan dengan pembuatan akta oleh pejabat (PPAT) yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Ketidakseragaman tersebut terlihat dengan begitu mudahnya dalam melakukan peralihan hak seperti, pihak penjual dan pembeli melakukan kesepakatan peralihan hak dengan ketentuan sejumlah harga yang disepakati, setiap pembeli menyerahkan sejumlah harga yang disepakati, setelah pembeli menyerahkan sejumlah harga yang disepakati, setelah pembeli menyerahkan sejumlah harga yang disepakati saat itu juga peralihan hak terjadi antara penjual dengan pembeli dan pembeli resmi memiliki tanah sebagaimana yang diperjualbelikan, keaadan lain yang terjadi yaitu penjual dan pembeli melakukan kesepakatan peralihan hak dalam bentuk jual beli tanah dengan menuliskan sejumlah harga yang disepakati didalam kwitansi setelah dibayarkan dengan otomatis peralihan hak dari penjual terhadap pembeli terjadi sesaat itu juga.

Ketentuan peralihan seperti yang dijelaskan diatas pada dasarnya hanya mempertimbangkan keabsahan dari peralihan hak tersebut serta sangketa yang dimungkinkan terjadi dihari yang akan datang.

Pada dasarnya ketentuan tersebut telah diatur Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria (LN 1960 Nomor:104, TLN Nomor 2043) yang dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), mengamanatkan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan Pendaftaran Tanah. Berdasarkan amanat undang-undang tersebut selanjutnya terbit Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan kemudian Peraturan Pemerintah tersebut dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Pendaftaran Tanah (LNRI Tahun 1997 Nomor 59: TLNRI Nomor 3696).

Salah satu hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ialah ditetapkannya jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang diberi kewenangan untuk membuat alat bukti mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Alat bukti dimaksud selanjutnya akan dijadikan sebagai dasar pendaftaran tanah, baik pendaftaran tanah pertama maupun pemeliharaan data pendaftaran tanah. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, diatur dalam suatu Peraturan Pemerintah.

Ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut ditindaklanjuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998

Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah juncto Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5893), selanjutnya disebut Peraturan Jabatan PPAT melaksanakan tugas pokok atas sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti mengenai telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Perbuatan hukum dimaksud yaitu jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, Pemberian Hak Tanggungan, dan Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Dalam praktik jual beli dengan objek hak atas tanah didahului dengan suatu perjanjian yang disebut dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atau yang dalam istilah praktik disebut PPJB, dan dalam hal ini disebut PPJB-HAT.R.105 Subekti menyatakan, bahwa perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut, antara lain sertifikat hak atas tanah belum ada karena masih dalam proses, atau belum terjadinya pelunasan harga atau pajak-pajak yang dikenakan terhadap jual beli hak atas tanah belum dapat dibayar baik oleh penjual atau pembeli.

105R. Subekti, Hukum Perjanjian. Jakarta: PT.Intermasa. 2004. Halaman 172

Sesuai pendapat tersebut di atas, pengikatan jual beli adalah suatu bentuk perjnajian sebelum dilaksanakannya jual beli hak atas tanah. Isu yang mengemukaka kemudian, apakah perjanjian tersebut dapat diterima dalam hukum pertanahan. Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa :

“Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut sesungguhnya tidak menentukan mengenai sah atau tidaknya serta terjadinya suatu peralihan hak atas tanah, misalnya melalui jual beli, tetapi mengatur mengenai pendaftaran peralihan haknya.106

Artinya, bahwa mengenai sah atau tidaknya serta terjadinya suatu perbuatan hukum peralihan hak atas tanah tidak tergantung dari ada atau tidak adanya akta PPAT tersebut, serta dilakukan dan/atau tidak dilakukan dihadapan PPAT. Hal tersebut tampak dalam ketentuan Pasal 37 ayat (2) yang menyatakan, bahwa: “Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak

106Rusli, Hardijan, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet.2, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996.

milik, dilakukan diantara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan”.

Kegiatan pendaftaran tanah menjadi sangat penting dan mutlak untuk dilaksanakan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UUPA yang menghendaki diselenggarakannya pendaftaran hak atas tanah di Indonesia. Pengaturan mengenai pendaftaran tanah diselenggarakan dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus sesuai dengan keadaan bidang tanah yang bersangkutan baik yang menyangkut data fisik maupun data yuridis tanah. Dalam pencatatan data yuridis ini khususnya pencatatan perubahan data yang sudah tercatat sebelumnya maka peranan PPAT sangatlah penting.

PPAT sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta dalam peralihan hak atas tanah, akta-akta pembebanan serta surat kuasa pembebanan hak tanggungan, juga bertugas membantu Kepala Kantor Pertanahan Nasional dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta tertentu sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak

atas tanah dan atau bangunan yang akan dijadikan dasar bagi bukti pendaftaran tanah.107

Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan pendaftaran tanah di Indonesia.108 PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan tanah sebagai pelaksana UUPA. J. Kartini Soedjendro menyatakan bahwa mengingat pentingnya fungsi PPAT perlu kiranya diadakan peraturan tersendiri yang mengatur tentang PPAT sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, demikian juga setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dikatakan PPAT adalah “pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun.”

Berdasarkan pasal tersebut di atas, maka pada dasarnya kewenangan PPAT berkaitan erat dengan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Untuk membuktikan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan bangunan belum sah. Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli, Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 1363/K/Sip/1997

107Handri Raharjo. Hukum Perjanjian di Indonesia. PT. Buku Kita. Jakarta. 2009.

Halaman 72

108Purwahid Patrik. Dasar-Dasar Hukum Perikatan. CV. Mandar Maju. Semarang. 1994.

Halaman 132

berpendapat bahwa Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah.

PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik, yaitu akta yang dibuat untuk membuktikan adanya perbuatan hukum tertentu yeng mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah dan bangunan, setiap perolehan hak yang terjadi dari suatu perbuatan hukum harus dibuat dengan akta otentik. Hal ini penting untuk memberi kepastian hukum bagi pihak yang memperoleh hak tersebut sehingga ia dapat mempertanahankan haknya tersebut dari gugatan pihak manapun. Tanpa adanya akta otentik maka secara hukum perolehan hak tersebut belum diakui dan sebenarnya hak atas tanah dan bangunan masih ada pada pihak yang mengalihkan hak tersebut. Untuk melindungi pihak yang memperoleh hak, maka akta otentik yang dibuat pada saat perolehan hak dilakukan merupakan alat pembuktian yang kuat yang menyatakan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanag dan bangunan yang dimaksud kepada pihak yang dinyatakan memperoleh hak tersebut. Adanya akta PPAT yang bermaksud membuat akta perjanjian pengalihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, penukaran, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak karena lelang yang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang dan jika akta peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun tersebut sudah didaftarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam daftar buku tanah, maka Kepala Kantor Pertanahan

memberikan sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan kepada pembeli.

Pemberian tugas terhadap PPAT untuk membuat akta jual beli tanah hal ini dimaksudkan agar perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak memiliki kepastian hukum yang baik. Melalui akta yang dibuat oleh notaris dari PPAT maka keabsahan isi perjanjian jual beli tersebut sudah memiliki kekuatan hukum yang sempurna. Kekuatan hukum yang dimaksud dalam hal ini terdapatnya kepastian hukum yang mengikat terhadap masing-masing pihak. Pembuatan akta berdasarkan PPAT akan menjamin perbuatan hukum tersebut sekaligus akibatnya, artinya baik penjual maupun pembeli memiliki dasar hukum dalam melakukannya yang disahkan lewat akta jual beli oleh PPAT.

Merujuk pada pentingnya pembuatan akta jual beli oleh PPAT hal ini jangan dipandang hanya sebagai pengeluaran uang semata. Banyak pihak yang takut membuat perjanjian jual beli dihadapan PPAT dikarenakan biaya tetapi hendaknya masing-masing pihak yang akan melakukan perjanjian jual beli melakukannya dihadapan PPAT.

Pentingnya hal tersebut baru akan tercermin sewaktu terdapat sangketa atas jual beli itu sendiri.

Berdasarkan keterangan diatas perlindungan hukum tersebut dapat dengan mudah diberikan apabila perbuatan hukum sebelumnya dilakukan sesuai dengan kaidah yang berlaku yaitu dilakukan dihadapan PPAT yang dituangkan dalam perjanjian jual beli, ketentuan tersebut maksudkan bahwa akta merupakan barang

bukti yang memiliki kekuatan hukum sempurna sedangkan bawah tangan harus menunjukkan dalil tambahan atau bukti lain agar dapat diterima pengadilan.

D. Proses Peralihan Hak Atas Tanah Yang Tidak Dilakukan Dihadapan