• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Pasal 10 Kovenan Hak Hak Si

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Implementasi Pasal 10 Kovenan Hak Hak Si"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN HASIL PENELITIAN

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA MELALUI UNIT PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA (PPM-FH UGM)

JUDUL :

IMPLEMENTASI PASAL 10 KOVENAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK DALAM PERLAKUAN NARAPIDANA DI LINGKUNGAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN

DI WILAYAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

OLEH :

PENELITI I ERWIN PRASETYO

11/316330/HK/18838

PENELITI II ARFIAN SETIAJI 11/316428/HK/18907

1501/H.01.H.FH/N/2013

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA

(2)

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T., karena berkat segala rahmat dan karuniaNYA maka peneliti akhiranya dapat menyelesaikan laporan penelitian yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum UGM, dengan Judul: Implementasi Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik dalam Perlakuan Narapidana Di Lingkungan Lembaga Pemasyarakatan di Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta Penulisan laporan penelitian ini dilakukan untuk memenuhi tugas penelitian yang diberikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan FH UGM, serta untuk menambah wawasan kami sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Penyusun menyadari bahwa pembuatan laporan ini mungkin masih jauh dari sempurna. Namun penyusun mempunyai harapan, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu Hukum Internasional serta Hukum Pidana, juga bermanfaat bagi Kementrian Hukum dan HAM dan Aparat Pemerintah yang mempunyai kepentingan dibidang pemasyarakatan. Pada laporan ini, penyusun menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada

1. Dr. Paripurna, S.H., M.Hum., LL.M.,Dekan Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada

2. Heribertus Jaka „Jetto‟ Triyana, S.H., LL.M., M.A, Selaku Dosen Pembimbing dari Penelitian ini

(3)

4. Departemen Penelitian dan Pengembangan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

5. Bapak Zaenal Arifin, Bc.IP, S.Sos, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Yogyakarta (Lapas. Wirogunan)

6. Bapak Supriyanto, Bc.IP, S.Pd, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Sleman (Lapas Cebongan)

7. Setiap orang yang membantu peneliti baik pada saat melakukan observasi lapangan maupun saat melakukan penyusunan laporan penelitian ini.

Peneliti sudah berusaha semaksimal mungkin agar penelitian ini menjadi sempurna, akan tetapi peneliti menyadari bahwa pasti masih banyak kekurangan. Maka dari itu kritik dan saran dari pembaca, sangat penyusun harapkan demi semakin baiknya diri penyusun. Semoga segala kebaikan dan pengorbanan yang bapak ibu berikan, mendapat balasan dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa

Yogyakarta, Juli 2014

(4)

INTISARI

ABSTRACT

The objective of imprisonment has significantly changed since the 19th Century, when the aim of detention was not merely retribution of justice but also a social rehabilitation for the criminals. And now, humane treatment to the prisoners and the goal of social rehabilitation was inseparable within the penitentiary facilities as the existence of Article 10 of ICCPR. Since one of the penitentiary facility in Yogyakarta has been selected as the best penitentiary of 2014 in Indonesia, observations to penitentiary facilities in Yogyakarta becomes highly relevant to found whether Indonesia has fulfill the Article 10 of ICCPR.

This legal research combines normative legal research and empirical studies of the normative international rule. Using the checklist that was derived from supplementary legal source to the Article 10 (3) ICCPR such as the GA resolution of Standard Minimum Rules of Treatment for Prisoners, the conclusion might be derived whether or not Indonesia, as Member State to ICCPR has fulfilled the obligation given by the Covenant.

The observations showed that generally Indonesia has fulfilled several obligations that given by the Article 10 of ICCPR and relating instruments. However, the several problems still exist in order to fulfill all of the requirements, such as the existence of overcrowding.

[Keywords: Indonesia, Article 10 ICCPR, Penitentiary Facilities, humane

(5)

DAFTAR ISI

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN ... 1

B. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN ... 6

C. TUJUAN PENELITIAN ... 6

D. KEASLIAN PENELITIAN ... 7

E. MANFAAT PENELITIAN ... 8

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA ... 9

BAB III: METODE PENELITIAN ... 13

1. Tipe Penelitian ... 13

2. Bahan Penelitian ... 14

3. Metode Pengumpulan Data ... 15

4. Metode Analisis Data ... 15

BAB IV: HASIL PENELITIAN ... 16

A. IMPLEMENTASI INDONESIA TERHADAP PASAL 10 KOVENAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK ... 16

B. PERLAKUAN YANG DIBERIKAN KEPADA NARAPIDANA DI LINGKUNGAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA YOGYAKARTA DAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIB ... 20

C. HAL YANG PERLU DI TINGKATKAN PEMERINTAH UNTUK MEMENUHI STANDAR YANG DITETAPKAN OLEH REZIM PASAL 10 KOVENAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK ... 30

BAB V: PENUTUP ... 32

A. KESIMPULAN ... 32

(6)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Di masyarakat Internasional saat ini, hak-hak Manusia semakin diperhatikan, beberapa konvensi dan perjanjian internasional secara khusus mengatur tentang hak-hak manusia, beberapa diantaranya ialah

Universal Declaration of Human Rights (UDHR), International Covenant

on Civil and Political Rights (ICCPR), International Covenant on

Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), Convention on the

Rights of the Child (CRC), Committee on the Elimination of

Discrimination against Women (CEDAW), Convention Against

Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading. Treatment or

Punishment (CAT), dan Committee on the Elimination of Racial

Discrimination (CERD) Beberapa diantara konvensi diatas seperti ICCPR

tidak hanya mengatur tentang hak-hak orang bebas saja, akan tetapi juga mengatur tentang hak-hak orang yang dirampas kebebasannya oleh negara atau dengan kata lain orang terpidana, ICCPR sendiri telah diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1966, dan Entry

into force bagi anggota konvensi sejak 1976.1 ICCPR dapat dikatakan

sebagai Perjanjian Internasional mengenai Hak Asasi Manusia yang

1

(7)

2 terpenting di dunia.2 ICCPR dirancang untuk melindungi hak-hak sipil dan politik seperti hak untuk hidup, perlindungan terhadap penangkapan sewenang wenang, dan kebebasan berekspresi. Diantarannya mengandung daftar Garansi substansial hak asasi manusia dalam Bagian III. Pada Bagian II mengandung jaminan pendukung, seperti kewajiban penting sebuah negara anggota dalam mengimplementasikan ICCPR, Bagian IV Membentuk monitoring dan sistem supervisi, serta membentuk komite hak asasi manusia (HRC).3

Tujuan pemidanaan diluar sebagai pembalasan (retribution) kepada pelaku tindak pidana sudah berkembang sejak lama, tepatnya pada abad ke 18 didaratan Eropa. Seorang ahli bernama John Howard mengkritisi kejamnya perlakuan yang diberikan kepada narapidana di Inggris melalui bukunya yang berjudul “The state of the prison” (1777).4 Beberapa tahun kemudian pemikiran John Howard diterima oleh kalangan ahli hukum di Eropa seperti J. Benthem, untuk memperluas tujuan pemidanaan tidak hanya sebagai balas dendam, akan tetapi juga sarana membina para narapidana agak kelak setelah habis masa pidananya, dapat kembali ke masyarakat dengan baik.5

Tujuan perlakuan terhadapan narapidana di Indonesia mulai berubah sejak tahun 1964, setelah Dr. Sahardjo, S.H. mengemukakan dalam Konferensi Kepenjaraan di Lembang Bandung bahwa tujuan pemidanaan adalah

2Ibid

3

J Locke, 1988, The Second Treatise of Government, Two Treatises of Government ,Cambridge University Press, Cambridge.

4

Drs. C.I. harsono HS, Bc.IP.,1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta, hlm. 46.

(8)

3 pemasyarakatan. Jadi narapidana tidak lagi dibuat jera akan perbuatannya, tetapi dibina untuk kemudian dimasyarakatkan. pendapat Dr. Sahardjo, S.H. tersebut sejalan dengan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan,6 yang menyebutkan bahwa esensi dari sistem pemasyarakatan adalah membuat manusia atau pelaku kejahatan menyadari kesalahannya serta memperbaiki diri dan tidak mengulangi kesalahannya sehingga dapat berintergrasi dan berperan serta sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

Perluasan tujuan pemidanaan ini juga telah diakui secara internasional dalam Pasal 10 ayat 3 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang

berbunyi, “The penitentiary system shall comprise treatment of prisoners

the essential aim of which shall be their reformation and social

rehabilitation.” atau yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia

berbunyi, “Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama

memperbaiki dan melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan

narapidana”.

Menurut Pasal 11 dan Pasal 15 Konvensi Wina Mengenai Hukum Perjanjian 1969 suatu negara menjadi terikat untuk memenuhi kewajiban dalam suatu perjanjian ketika negara tersebut melakukan proses aksesi. Bunyi dari Pasal 11 Konvensi Wina tersebut adalah sebagai berikut

“The consent of a State to be bound by a treaty may be expressed by

signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification,

acceptance, approval or accession, or by any other means if so agreed.”

6

(9)

4 Dengan meng-aksesi ICCPR melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995, Indonesia menjadi terikat untuk menjalankan atau mengaplikasikan Pasal-Pasal yang terdapat konvensi tersebut. Menurut Pasal 2 Konvensi Wina 1969 tersebut, salah satu jalan untuk menolak melaksanakan kewajiban dari perjanjian yang telah mengikat hanyalah melalui reservasi.7 Berdasarkan Konvensi Wina 1969 Reservasi adalah :

“unilateral statement, however phrased or named, made by a State, when

signing, ratifying, accepting, approving or acceding to a treaty, whereby it

purports to exclude or to modify the legal effect of certain provisions of

the treaty in their application to that State”

Akan tetapi indonesia tidak membuat satupun reservasi terhadap ICCPR sehingga indonesia sepenuhnya terikat kepada kovenan tersebut. dengan meratifikasi ICCPR, Indonesia tidak hanya terikat untuk menyelenggarakan pemasyarakatan dengan tujuan rehabilitasi sosial pada Pasal 10 ayat 3, tapi juga Pasal 10 secara keseluruhan yang berbunyi:

“Pasal 10

1. Setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara

manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri

manusia.

7

(10)

5 2. (a) Tersangka, kecuali dalam keadaan-keadaan yang sangat khusus,

harus dipisahkan dari orang yang telah dipidana, dan diperlakukan

secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum

dipidana;

(b) Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan

secepat mungkin segera dihadapkan ke sidang pengadilan.

3. Sistem pemasyarakatan harus memiliki tujuan utama memperbaiki dan

melakukan rehabilitasi dalam memperlakukan narapidana. Terpidana di

bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai

dengan usia dan status hukum mereka.”

(11)

6 B. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN

Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1) Bagaimanakah Indonesia mengimplementasikan Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik?

2) Apakah perlakuan yang diberikan kepada narapidana di lingkungan Lembaga pemasyarakatan kelas IIA Yogyakarta dan Lembaga Pemasyarakatan kelas IIB Sleman sudah sesuai dengan Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik?

3) Hal apa saja yang perlu ditingkatkan pemerintah untuk memenuhi standar yang ditetapkan oleh rezim Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari bagaimana implementasi yang dilakukan pemerintah Indonesia terkait perlakuan yang diberikan di Lembaga Pemasyarakatan di Yogyakarta terhadap narapidana dalam kaitannya dengan implementasi Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Hal ini perlu dipertanyakan mengingat Indonesia telah mengaksesi Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik sejak tahun 2005 melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 dan terkait beberapa laporan mengenai buruknya kondisi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia.8 Dampak tersebut akan di analisis lebih dalam agar dapat diketahui jika masalah perlakuan terhadap Narapidana akan berdampak buruk bagi

8

Harian Jogja Kesaksian Rachel Dougall: Media Inggris Sebut Penjara Indonesia Jorok

(12)

7 Narapidana dan akan mengganggu salah satu tujuan pemidanaan yaitu, Rehabilitasi.9 Hasil penelitian yang didapat nanti dapat dijadikan bahan penilaian apakah Indonesia telah memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan melalui perjanjian internasional. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi masyarakat dan pemerintah mengenai perlakuan terhadap narapidana di Lembaga Pemasyarakatan agar dapat meningkatkan kualitas perlakuan dan pelayanan terhadap Narapidana sehingga memenuhi kewajiban yang dibebankan oleh komunitas internasional melalui Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.

D. KEASLIAN PENELITIAN

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan oleh penulis, ditemukan beberapa penelitian yang membahas mengenai Perlakuan dan hak-hak Narapidana di lembaga permasyarakatan, salah satunya adalah : Ika Pawestri HS: Pelaksanaan Standard Minimum Rules For the Treatment of Prisoners Dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Manusia

Dalam Pembinaan Narapidana (Skripsi Universitas Gadjah Mada)

Yang membedakan penelitian ini dengan penelitian tersebut adalah pada konsep dan perumusan masalahnya, Pada Penelitian tersebut Penulis fokus pada pelaksanaan Standard Minimum Rules for the treatment of Prisoners dalam Pemenuhan hak asasi manusia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, serta hambatan dalam rangka pembinaan narapidana.pada penelitian ini lebih spesifik kepada implementasi Pasal 10

9

Pasal 10 ayat 3, Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, 999 U.N.T.S. 171 ; M. Sholehuddin, 2010,

(13)

8 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Tidak hanya itu, penelitian ini juga memasukan checklist lain untuk mengukur keberhasilan pemerintah memperlakukan narapidana secara manusiawi sebagai bentuk implementasi dari Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.

Dalam penelitian ini aspek yang dikaji lebih mendetail dan objek yang dijadikan bahan penelitan merupakan sample yang relevan untuk menentukan apakah Indonesia telah memenuhi Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik

E. MANFAAT PENELITIAN

1. Kegunaan Keilmuan Diperoleh data tentang bagaimana implementasi Pasal 10 Kovenan Sipil dan Politik (International Covenant of Civil and Political Rights) mengenai Perlakuan Terhadap Narapidana di lembaga pemasyarakatan di Yogyakarta.

(14)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan para ahli pidana seperti, J. Benthem, John Howard, dan Dr. Sahardjo, S.H., Tujuan pemidanaan kini sudah bukan hanya untuk menghukum si pelaku tindak pidana, akan tetapi untuk membuat mereka dapat kembali berintegrasi dengan masyarakat sehingga perlakuan yang diberikan oleh petugas lembaga pemasyarakatan pun seharusnya tidak hanya bersifat menghukum, akan tetapi juga mengedukasi dan memanusiakan manusia.

Hal tersebut juga sesuai dengan Pasal 10 ICCPR yang mana mewajibkan negara penandatangan atau peratifikasi untuk memberikan perlakuan yang manusiawi terhadap narapidana dan juga mewajibkan negara untuk mengedepankan aspek rehabilitasi sosial kepada narapidana

dibandingan aspek “retribution of justice”. Dengan demikian Indonesia

berkewajiban untuk memperlakukan narapidana secara humanis guna menjunjung tinggi tujuan pemidanaan berdasar ICCPR yaitu rehabilitasi sosial dan integrasi narapidana ke masyarakat.

Berdasarkan Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, setiap orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia.10

10

(15)

10 Pasal 10 ini kemudian juga tercermin pada Pasal 28 G ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan

bahwa “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan

yang merendahkan derajat martabat manusia […]”

Berdasarkan laporan pemerintah Indonesia kepada Komite HAM Internasional (Human Rights Committee) pada tahun 2012, pemerintah menyatakan bahwa Indonesia telah mengadopsi standar-standar internasional mengenai perlakuan terhadap narapidana dalam prinsip-prinsip lembaga pemasyarakatan seperti:

1) Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners

(1957), [SMR]

2) Body of Principles for the Protection of All Persons under

Any Form of Detention or Imprisonment (1988),

Melalui UU no. 12 tahun 1995, Pemerintah Indonesia telah melah mencoba menetapkan hak-hak apa saja yang dapat di peroleh oleh seorang narapidana diantaranya:

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;

b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;

c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran;

d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; dan

(16)

11 Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 jo Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan telah memberikan pengaturan mengenai pemenuhan hak-hak narapidana dalam lembaga pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah ini merupakan kelanjutan dari UU no 12 tahun 1995 yang mana mengatur lebih detail mengenai pelaksanaan hak-hak yang diperoleh Narapidana seperti:

1. Hak untuk beribadah

2. Hak untuk mendapatkan pengajaran 3. Hak atas kesehatan

4. Hak atas makanan yang layak, dll

Mengacu kepada salah satu kasus dalam Komite HAM Internasional, yaitu Mukong v. Cameroon, kondisi-kondisi penjara yang tidak sesuai dengan kapasitas sehingga kepenuhan (Overcrowding), pemberian makanan-makan yang tidak sehat, dan diisolasi selama beberapa hari dalam ruang tahanan merupakan bentuk pelanggaran Pasal 10 ICCPR. Merujuk pada kasus lain, Kalashnikov v. Russia dalam Mahkamah HAM Eropa (ECtHR), kondisi tahan yang tidak higienis, terlalu dingin, dan juga kelebihan muatan juga dianggap sebagai perlakuan yang tidak humanis sehingga melanggar Pasal 10 ICCPR dan Pasal 3 konvensi HAM Eropa (ECHR)

(17)
(18)

13 BAB III

METODE PENELITIAN

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian kualitatif. Pada penelitian kualititaif yang dilakukan di lapangan, merupakan suatu metode penelusuran untuk meneksplorasi dalam pengertian pengumpulan data dari pengamatan (observasi) kejadian realitanya.11 Pada penelitian metode ini, selain mengamati, peneliti mewawancarai peserta penelitian12 mengenai bagaimana perlakuan yang diberikan terhadap narapidana dilembaga pemasyarakatan di Daerah Istimewa Yogyakarta. Untuk melaksanakan penelitian lapangan, maka para peneliti mewawancari petugas dalam lembaga pemasyaraktan di Yogyakarta tentang bagaimana mereka memperlakukan para penghuni lembaga pemasyarakatan tersebut. Dalam hasil wawancara lembaga-lembaga ini, maka dapat diprediksi jika ada sebuah trend yang negatif yang dapat menghambat tujuan pemidanaan. Lalu, para peneliti melaksanakan observasi untuk mendapatkan data – data apakah perlakuan yang diberikan kepada para narapidana baik itu fasilitas dari lembaga pemasyarakatan tersebut maupun perlakuan yang diberikan oleh petugas lembaga pemasyarakatan sudah sesuai dengan Pasal 10 Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik.

Kemudian penelitian ini bersifat eksplanatori atau eksploratoris yang bertujuan untuk memberikan wawasan dan pemahaman lebih dalam

11

Conny R. Semiawan, 2010, Metode Penelitian Kualitatif PT Grasindo, Jakarta, hlm. 112.

12Ibid

(19)

14 mengenai perumusan masalah pada peneliti.13 Dalam pengertian setelah penelitian ini dilaksanakan, para peneliti mendapat kesempatan untuk memahami sejauhmana pemerintah telah mengimplementasikan Pasal 10 ICCPR terkait pelakuan kepada Narapidana.

2. Bahan Penelitian

Pengumpulan data terdiri dari dua sumber yaitu data primer dan sekunder, 14 yang menjadi bahan data penelitian ini. Data primer

merupakan „data yang dikumpulkan secara langsung oleh peneliti untuk

menjawab masalah.‟15

Survei dan wawancara di lapangan, pada lembaga pemasyarakatan merupakan data – data yang dianggap sebagai data primer.

Sementara, data sekunder merupakan data yang diperoleh secara tidak langsung dari lapangan tetapi melalui Surat kabar, dokumen atau sumber kepustakaan lainnya.16 Data sekunder pada penelitian ini berbentuk undang – undang yang menerapkan tentang fasilitas lembaga pemasyarakatan dan kovenan atau konvensi atau dokumen yang memuat prinsip-prinsip internasional yang mengatur mengenai perlakuan kepada narapidana serta peraturan terkait yang dikeluarkan pemerintah yang mengatur standar perlakuan atau pemberian hak kepada narapidana dilembaga pemasyarakatan.

13

Suhermin Ari Pujiati & Nur Rusliah, 1995, Penggunaan R dalam Psikologi, Pustaka Setia, hlm. 1

14

Asep Hermawan, 2005, Penelitian Bisnis – Paradigma Kuantitatif , PT Grasindo, Jakarta, hlm 168.

15Ibid.

16

(20)

15 3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumupulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan berbagai metode yang terdapat dalam penelitian kualitatif Seperti observasi langsung ke lembaga-lembaga pemasyarakatan di Daerah Istimewa Yogyakarta, wawancara narapidana terhadap perlakuan yang mereka terima selama di lembaga pemasyarakatan serta wawancara para petugas lembaga pemasyarakatan

4. Metode Analisis Data

(21)

16 BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. IMPLEMENTASI INDONESIA TERHADAP PASAL 10 KOVENAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK

Indonesia sebagai negara yang memiliki Konstitusi yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia/Kemanusiaan, sudah sewajarnya memberikan perhatian lebih terhadap Perlindungan, pemenuhan, penegakan, penghormatan HAM, Tidak terkcuali terhadap Narapidana yang sedang menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan. PBB sendiri telah memberikan perturan-peraturan Standard Minimum bagi perlakuan Terhadap Narapidana ( Standard Minimum Rules For the Treatment of Prisoners ).17 Peraturan yang telah disepakati oleh Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa Pertama mengenai Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan Terhadap Pelanggar. dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial dengan Resolusi 663 C (XXIV) tanggal 31 Juli 1957 dan Resolusi 2076 (LXII) tanggal 1 Mei 1997.

Pada tahun 2005 Indonesia pun meng-aksesi Konvensi Hak-hak sipil dan Politik melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tanpa Reservasi, dan hal tersebut menjadikan Indonesia Terikat pada aturan aturan Konvensi Hak-hak sipil dan politik yang berhubungan dengan

17

(22)

17 Perlakuan Narapidana, khususnya Pasal 10, dan Standard minimum rules for the treatment of prisoners merupakan bentuk aplikasi kongkrit dari Pasal 10 (1), 10 (2), dan 10 (3).

Didalam aturan Standard Minimum Rules For the Treatment of Prisoners, Terdapat sekitar 95 (Sembilan Puluh Lima) poin aturan yang mengatur tentang perlakuan terhadap narapidana, seperti : Makanan, pakaian, kebersihan pribadi, latihan dan olah raga, pelayanan kesehatan, informasi kepada dan keluhan oleh narapidana, hubungan dengan dunia luar, buku, agama, penyimpanan harta kekayaan narapidana, pemberitahuan mengenai kematian, sakit, pemindahan dan sebagainya, personal lembaga, hak-hak istimewa, pekerjaan, pendidikan dan rekreasi, hubungan sosial dan perawatan sesudahnya, narapidana gila dan bermental tidak normal, narapidana yang ditahan atau sedang menunggu pemeriksaan pengadilan, narapidana sipil sampai kepada orang-orang yang ditangkap atau ditahan tanpa tuduhan.

Dari sekian banyaknya aspek yang diatur, ECtHR (European Court of Human Rights) dan IACtHR (Inter-America Court of Human Rights), telah menetapkan sebuah preseden dalam kasus Kalashnikov melawan Russia,18 dan Vélez Loor melawan Panama,19 bahwa aspek utama yang menjadi indikator apakah suatu perlakuan terhadap narapidana itu manusiawi atau tidak dapat dilihat dari 5 aspek utama, yaitu, 1.) Aspek

18

Kalashnikov v. Russia, ECtHR, Application no. 47095/99

19

(23)

18 Makanan dan Minuman 2.) Aspek Kebersihan dan Kesehatan Narapidana, 3.) Aspek Psikologis dari Narapidana 4) Aspek manifestasi keagamaan dari Narapidana, 4.) Aspek akses informasi dari dunia luar,

Dari berbagai aspek diatas, inilah bentuk dari implementasi dari ICCPR oleh peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai berikut:

1. Implementasi Standar Makanan

Mengenai standar makanan Tahanan/Narapidana di Lembaga Pemasyarakat Indonesia telah mengimplementasikan dalam Bentuk Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia nomor M.HH-01.PK.07.2 Tahun 2009.

2. Implementasi Standar Pakaian dan Kebersihan Pribadi

Standar pakaian Tahanan/narapidana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang pelaksanaan pemasyarakatan, dalam Pasal 7 disebutkan bahwa setiap narapidana dan anak didik pemasyarakatan berhak mendapat perawatan jasmani berupa Pemberian kesempatan melakukan olah raga dan rekreasi, pemberian perlengkapan pakaian dan pemberian perlengkapan tidur dan mandi.

3. Implementasi Pelayanan Kesehatan Untuk Narapidana

(24)

19 dan disediakan sekurang-kurangnya seorang dokter dan seorang tenaga kesehatan lainnya.

4. Implementasi Pelayanan/Bimbingan keagamaan dan pendidikan untuk Narapidana

Pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang pelaksanaan pemasyarakatan telah mengatur bahwa setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakat wajib mengikuti program pendidikan dan bimbingan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya, dan sebelumnya di Pasal 3 setiap LAPAS diberi kewajiban wajib menyediakan petugas untuk memberikan pendidikan dan bimbingan Keagamaan.

(25)

20 B. PERLAKUAN YANG DIBERIKAN KEPADA NARAPIDANA DI LINGKUNGAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIA YOGYAKARTA DAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS IIB

Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Yogyakarta atau yang lebih dikenal dengan lapas Wirogunan terletak di Jalan Tamansiswa Nomor 6 Yogyakarta, dengan luas area lebih kurang 3,8 hektar. Lapas ini dibuat pada sekitar tahun 1910 sampai 1915. Lapas Wirogunan ini juga belum lama dinobatkan sebagai lapas terbaik se-Indonesia pada bulan April 2014 lalu.

Dalam Pasal 10 ICCPR telah diatur bahwa setiap orang yang direbut hak atas kebebasannya harus diperlakukan secara manusiawi. Dokumen pendukung ICCPR seperti Body Principle for the protection of all person under any form of

detention or imprisonment dan Standard minimum rules for the treatment of

Prisoners telah menetapkan bagaimana bentuk aplikasi dari Pasal berikut. Setelah

melakukan kunjungan selama 1 bulan ke lapas diwilayah DIY, peneliti mendapati hasil sebagai berikut:

1. Administrasi dan Registrasi Tahanan

(26)

21 dipisahkan dengan memperhatikan beberapa faktor seperti jenis kelamin, umur ,dan Pasal yang divonis kepada narapidana.

Dalam Lapas di wilayah DIYterdapat bagian Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan yang bertugas untuk melakukan administrasi penempatan narapidana.didalam buku registrasi tahanan tercantum data-data lengkap mengenai tahanan seperti nama, umur, jenis kelamin dan Pasal yang divoniskan kepada narapidana.

2. Kondisi Kamar

Dalam lapas di wilayah DIY terdapat beberapa jenis kamar, ukuran besar dan kecil. Yang besar berukuran 12x10 meter ditujukan untuk kapasitas 18 sampai maksimal 28 orang sedangkan yang kecil berukuran 3x8 yang ditujukan untuk kapasitas 4 sampai 9 orang dengan rata-rata 1 orang mendapatkan ruang 2,67 m2- 4,3 m2. Kemudian pada lapas wanita dilapas wirogunan terdapat kelebihan kapasitas karena semua tahanan wanita dari seluruh jogja ditempatkan di lapas wirogunan.

Menurut Rule 9 Standard Minimum dimungkinkan adanya kelebihan kapasitas yang bersifat sementara dalam keadaan khusus.20 Menurut penuturan dari petugas lapas wirogunan, saat ini pemerintah berencana untuk membuat lapas khusus wanita di jogja. Jika berdasarkan kasus di pengadilan HAM Eropa, ruang 0,9 -1,9 m2 termasuk dalam kategori perlakuan yang tidak manusiawi.21

20

SMR Rule 9

21

(27)

22 Berikut adalah Statistik dari penghuni Lapas Wirogunan di Yogyakarta

ISI LAPAS KELAS II A Wirogunan Yogyakarta

Bulan Isi

*Data Diambil Dari Penelitian Lapangan di LP Kelas Iia Wirogunan Yogyakarta

3. Makanan

(28)

23 sesuai dengan kebutuhan perhari, baik dari segi nutrisi, tingkat kematangan untuk mendukung kesehatan dan kekuatan narapidana.

Dalam lapas Lapas di wilayah DIY setiap makanan sudah diatur sedemikian rupa pelaksanaannya, sehingga menu yang disajikan dirotasi setiap sepuluh hari sekali. Hal ini sudah sesuai dengan peraturan Mentri Hukum dan HAM yang mana sudah mengatur tentang penyiapan makan secara detail mulai dari angka kecukupan gizi orang Indonesia dan bahan-bahan makan apa yang harus disediakan. Bahkan setiap 2 hari sekali para narapidana mendapatkan buah.

No. Bahan Makanan

(29)

24 STANDAR KECUKUPAN GIZI :

Untuk hidup sehat , setiap orang memerlukan zat gizi yang cukup macam dan jumlahnya yaitu karbohidrat , protein,lemak vitamin dan mineral serta air. Untuk menentukan standar kecukupan gizi biasanya hampir disetiap negara memiliki angka kecukupan gizi.Untuk orang Indonesia Angka Kecukupan Gizi ( AKG ) yang digunakan adalah hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi, LIPI Tahun 2004 sebagai berikut :

STANDAR KECUKUPAN GIZI YANG DIANJURKAN (BERDASARKAN KETENTUANWIDYAKARYA PANGAN DAN

GIZI TAHUN 2004)

No. Macam Konsumn Widyakarya pangan dan gizi 2004 Golongan Usia Enrgi (kalori)

1. Pria 13-15 th 2400

16-19 th 2500

20-45 th 2800

46-59 th 2500

2. Wanita 13-15 th 2100

16-19 th 2000

20-45 th 2200

46-59 th 2100

ANGKA KECUKUPAN GIZI TAHANAN / NARAPIDANA

(30)

25 umur dan jenis kelamin tahanan / narapidana adalah 2350 kilo kalori. Secara garis besar kecukupan gizi tahanan / narapidana dibagi menjadi dua kelompok yaitu :

1. tahanan / narapidana anak dan remaja umur 10-18 tahun

No Umur Kecukupan Energi rata-rata ( kilo

2. tahanan / narapidana dewasa umur di atas 18 tahun

No Umur Kecukupan Energi rata-rata (kilo

(sumber : Pedoman Standarisasi dan Penetapan Gizi Makanan Narapidana dan Tahanan tahun 2004)

4. Kesehatan

Menurut Rule 22 sampai 26 diatur bahwa dalam setiap fasilitas lapas harus terdapat fasilitas pengobatan yang juga memiliki minimal 1 orang dokter umum serta ahli kejiwaan, kemudian disyaratkan juga adanya prosedur pengecekan makanan yang dikonsumsi oleh warga binaan serta pengecekan sanitasi ruangan. 22

22

(31)

26 Fasilitas kesehatan yang disediakan oleh Lapas wirogunan berupa 1 buah klinik dengan 1 orang tenaga dokter umum, 1 orang dokter gigi, dan 5 orang perawat. Klinik yang disedikan setara dengan puskesmas dan ketika ada warga binaan yang butuh perawatan lebih lanjut maka akan dibawa kepada rumah sakit wirogunan yang terletak tidak jauh dari lapas.

Dilapas Cebongan, terdapat 1 buah klinik dengan tenaga 1 orang dokter umum, dan 3 orang perawat. Sama dengan yang terdapat di Lapas Wirogunan, klinik yang disediakan setingkat dengan puskesmas.

5. Akses terhadap buku

Dilapas diwilayah DIY disediakan akses terhadap buku-buku melalui perpustakaan. Perpustakaan itu terbuka untuk setiap lapas setidaknya 4 jam perhari dari pukul 08.00-11.00 pagi. Buku-buku yang tersedia pun beragam dari novel dan berita dan dapat dipinjam sampai kedalam sel. Menurut petugas perpustakaan yang merupakan warga binaan lapas wirogunan minat membaca cukup tinggi mengingat mereka memiliki banyak waktu luang didalam lapas sehingga untuk

Dalam Standard Minimum Treatment Rule 40 tidak diatur begitu banyak mengenai akses mengenai buku, hanya diatur bahwa harus terdapat buku buku yang sifatnya rekreasional dan setiap narapidana harus disosialisasikan untuk menggunakan fasilitas tersebut.23

23

(32)

27 6. Aspek Keagamaan

Dilapas kedua Lapas di DIY tersebut, telah disediakan berbagai sarana ibadah yaitu, 1 buah masjid dan 1 buah gereja dan disediakan rohaniawan bagi agama lainnya. Selama dalam observasi hanya terdapat narapidana yang beragam Islam dan beragama Katolik dan Protestan. Menurut petugas Lapas yaitu Ibu Asri, apabila terdapat narapidana yang beragama hindu atau Buddha Lapas Wirogunan telah bekerja sama dengan perkumpulan Hindu dan Buddha di Yogyakarta. Kemudian baik didalam masjid maupun gereja, telah tersedia agenda-agenda rutin yang dapat diikut oleh narapidana seperti, shalat berjamaah, kebaktian, misa, maupun tarawih di bulan ramadhan dan Misa Natal di hari Natal.

Sebagaimana diatur dalam rule 41 sampai 42 standard minimum treatment, bahwa setiap Narapidana harus mendapatkan kesempatan untuk menjalankan agamanya. Bentuk pelaksanaan kesempatan tersebut berupa kepemilikan buku-buku keagamaan, kehadiran rohaniawan secara rutin, bahkan jika diperlukan sebuah bangunan untuk melaksanakan kegiatan keagamaan tersebut.24

7. Kegiatan diluar

Baik di lapas wirogunan maupun lapas cebongan, para narapidana diizinkan keluar dari ruang tahanannya mulai dari pukul 08.00-12.00 kemudian

masuk kembali untuk shalat jum‟at dan makan siang, kemudian diperbolehkan

untuk keluar pukul 13.00-16.00, bagi narapidana yang dianggap berkelakuan baik bahkan dapat keluar dari area steril dan bekerja membantu pekerjaan petugas

24

(33)

28 lapas, misalkan membantu menjaga perpustakaan, membersihkan ruangan, dan sebagainya. Bagi narapidana yang tidak ingin keluar dari area steril dapat melakukan kegiatan yang dapat membantu mengembangkan soft skill mereka.

Menurut Standard Minimum Rules, setiap Narapidana yang tidak dipekerjakan diluar ruangan harus memiliki setidaknya 1 jam sehari untk dapat beraktivitas diluar ruangan.25

8. Pekerjaan dalam Lapas

Berdasarkan Rule 71-75 Standard Minimum Treatment, diatur bahwa pekerjaan dalam lapas harus sesuai dengan kemampuan fisik dari narapidana yang bersangkutan. Kemudian diatur pula bahwa pekerjaan yang diberikan kepada narapidana haruslah membuat narapidana menjadi memiliki kemampuan untuk menjadi mandiri setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan, kemudian dalam setiap pekerjaan yang disediakan harus ada sistem pengupahan yang diberikan kepada narapidana.26

Didalam Lapas diwilayah Yogyakarta terdapat kegiatan yang dapat mengasah soft skill mereka, seperti keahlian elektronika, menjahit, membuat kerajinan tangan, menyablon, dan lain-lain. Terhadap kegiatan tersebut, narapidana dapat memilih pekerjaan atau keahlian yang mereka inginkan dan akan mendapatkan bayaran dalam bentuk voucher. Voucher ini nantinya dapat digunakan untuk membeli barang-barang yang dijual didalam koperasi seperti makanan ringan dan minuman ringan, kartu bermain. Dalam lapas wirogunan tidak diperkenankan narapidana untuk memiliki rupiah karena untuk mencegah

25

SMR Rule 21

26

(34)
(35)

30 C. HAL YANG PERLU DI TINGKATKAN PEMERINTAH UNTUK MEMENUHI STANDAR YANG DITETAPKAN OLEH REZIM PASAL 10 KOVENAN HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK

Meskipun beberapa aspek di lapas di wilayah Yogyakarta telah memenuhi standar minimum yang telah ditetapkan ICCPR dan instrument hukum tambahan lainnya, akan tetapi masih terdapat beberapa aspek yang harus ditingkatkan agak Indonesia sepenuhnya memenuhi standar ICCPR seperti Overcrowding, pelayanan kesehatan, Hasil Kerajinan.

a) Overcrowding

Yang harus ditingkatkan untuk menangani masalah Overcrowding adalah pembangunan lapas-lapas baru, khususnya lapas wanita dan anak di wilayah DIY karena belum adanya fasilitas khusus untuk menangani narapidana-narapidana jenis tersebut. Namun overcrowding yang terjadi diLapas di wilayah Yogyakarta tidak sampai dapat dikatakan tidak manusiawi, akan tetapi apabila keadaan tersebut tetap dibiarkan maka dapat menyebabkan psikis dari Narapidana akan terganggu.

b) Pelayanan Kesehatan

(36)

31 pelayanan kesehatan bagi narapidana. Maka dari itu pemerintah harus merevisi aturan BPJS untuk mengakomodir kepentingan Narapidana. c) Penyaluran Hasil Kerajinan

(37)

32 BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Indonesia telah melakukan implementasi terhadap Pasal 10 ICCPR yang telah diaksesi melalui UU no 12 tahun 2005 dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang meliputi beberapa bidang seperti, Makanan, Perlakuan narapidana, kesehatan dan kebersihan narapidana, Akses terhadap informasi, dan lain-lain.

(38)

33 DAFTAR PUSTAKA

Buku

a. Joseph, Sarah, 2013, The International Covenant of Civil and Political Rights, Oxford University Press, Oxford

b. Harsono, C.I.,1995, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Djambatan, Jakarta

c. Shaw, Malcolm N., 2008, Introduction to International Law, Cambridge, New York

d. Locke, John, 1988, The Second Treatise of Government, reprinted in P Laslett (ed), Locke, Two Treatises of Government ,Cambridge University Press, Cambridge

Peraturan Perundang-undangan

a. Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment

b. Convention on the Rights of Child, 1577 UNTS 3

c. Convention on the Elimination of Discrimination against Women, 1249 UNTS 13

d. International Covenant on Civil and Political Rights, 999 UNTS 171 e. International Covenant on Economic, Social and Cultural Right, 993 U.N.T.S.3

f. Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners, Economic and Social Council Resolutions 663 C (XXIV)

g. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

h. Undang-Undang no 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor 77)

(39)

34 j. Peraturan Pemerintah no 28 tahun 2006, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 61 )

k. Peraturan Pemerintah no 32 tahun 1999, Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 69)

l. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor : M.Hh-01.Pk.07.02 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Makanan Bagi Warga Binaan

Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara

Jurnal

S. Joseph, A Right analysis of the Covenant on Civil and Political Rights, Journal of Legal Studies vol. 57, 1995

Kasus

a. Mukong v. Cameroon, HRC, Communication No. 458/1991 b. Kalashnikov v. Russia, ECtHR, Application no. 47095/99 c. Vélez Loor vs. Panamá, IACtHR, 23 November 2010

Situs Internet

Kantor Wilayah DIY Jogjakarta, Satu Kerja di Lingkungan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Daerah Istimewa Yogyakarta diakses melalui

http://jogja.kemenkumham.go.id/satuan-kerja

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan Anak Usia Dini atau disingkat PAUD adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui

Seiring dengan masuk dan berkembangnya ajaran agama Islam dalam kehidupan masyarakat Banjar, maka terjadilah proses akulturasi antara ajaran yang dibawa oleh para penyebar

Ibnu Khaldun menganjurkan rihlah ilmiyah dan bahkan memandangnya sebagai pendukung penting yang dapat membantu keberhasilan seseorang dalam kegiatan menuntut ilmu pengetahuan.

Tujuan kegiatan pemantapan mutu internal adalah : (1) pemantapan dan penyempurnaan metode pemeriksaan dengan mempertimbangkan aspek analitik dan klinis; (2) mempertinggi

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengembangkan usaha perkebunan sawit rakyat dengan mengupayakan adanya keberpihakan perusahaan kepada masyarakat yang pada

Tidak semua guru yang mengajar Kurikulum 2013 pernah diberikan pelatihan secara khusus mengenai proses pembelajaran pada kurikulum 2013.Beberapa kendala-kendala yang ditemui

Sehingga dari nama yang unik ini dipandang akan mampu menjadi daya tarik tersendiri untuk menarik orang utuk sekedar penasaran akan apasih makanan ini dan tentunya dengan

7.1.3 Spesialisasi KAP ternyata memperkuat pengaruh antara ukuran perusahaan, opini auditor, ukuran KAP, solvabilitas, profitabilitas, kompleksitas operasi perusahaan,