• Tidak ada hasil yang ditemukan

Islam Pluralis Sebagai Teori Resolutif a

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Islam Pluralis Sebagai Teori Resolutif a"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Islam Pluralis Sebagai Teori Resolutif atas Konflik Golongan Keagamaan Islam di Indonesia

BismiLlahirrahmānirrahīm

Pendahuluan

Zaman sekarang, suatu hal yang tidak mudah dijawab –sensitif- oleh setiap individu bila dipertanyakan kepadanya bagaimana perihal keagamaannya, keimanannya dan seterusnya yang menyangkut paham dirinya akan ketuhanannya (teologis) -seluruh aspek eksistensialnya-. Dampak dari ketidakmudahan itu mengesankan bahwa ini merupakan persoalan imanen-urusan diri pribadi-, namun agaknya berbalik, beberapa fenomena terartikulasikan dalam pengembangan teologis khususnya di kalangan penganut agama Islam Indonesia, baik yang tersalurkan melalui kelembagaan maupun gerakan-gerakan strategis yang bersifat kolosal dan beragam.

Uniknya di Indonesia keragaman paham pemikiran teologis itu muncul akibat pembaharuan dalam Islam, salah satu yang mencolok “konservatisme-fundamentalisme Islam”. Terlebih lagi, pasca tergulingnya pemerintahan Orde Baru, kehadiran paham Islam yang agak kaku dan keras serta fundamentalistik itu meluber di berbagai sudut hingga memengaruhi laboratorium pemerintahan (Dep. Agama); ketegangan kubu di NU-Muhammadiyah bahkan pada tingkat pendidikan pun terkurikulumkan. Paham Islam yang konservatif-fundamentalistik ini menjadi headline di mata beberapa cendikia yang perlu direspon agar terhindar dari konflik.1

Kali ini sengaja dittulis mengenai benturan golongan yang separatis dengan pemahamannya-teologis- yang melatarbelakangi konflik umat muslim khususnya, untuk itu penulis menawarkan “gagasan” Perspektif Islam Pluralis, paling tidak sebagai buah resolusi terminimalisirnya konflik tersebut, selebihnya dapat memperteguh kembali Keislaman Indonesia yang sesuai dari rahimnya yakni Islam terbuka, harmonis/ gotong-royong dan rahmatan lil’alamin.2

1 Beberapa riset mengenai pergeseran paham ke arah konservatisme islam, lihat Martin Van Bruinessen (ed), Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme

(Bandung: Mizan, 2014). Dalam buku tersebut diungkap betapa wajah Islam Indonesia yang dulunya “Islam yang murah senyum” belakangan dianggap mulai bergeser kepada wajah yang mudah naik tikam –darah tinggi-. Beberapa kasuistik disinggung terkhusus pasca Orde Baru. respon buku ini pun hadir, dalam pengantarnya Zainal Abidin Bagir melihat bahwa

conservative turn ini sulitlah didukung, karena “Wajah Islam Indonesia” memang banyak

dimensi, lih, h. 18-19.

(2)

Akar Konflik Golongan Keagamaan Islam di Indonesia

Islam dalam perkembangannya sangatlah kental dengan perbedaan, itu nampak dari pandangan keagamaannya, contohnya saja Fiqih (kajian pemahaman dalam hukum Islam), Kalam yang sejak semula telah berbeda-beragam, ini menunjukkan Islam memiliki ruang keterbukaan secara intelektual, tak heran bila Islam melahirkan banyak mazhab darinya. Menariknya di Indonesia, secara historis hampir diketahui banyaknya komunitas, partai, golongan, kelas, paham keislaman yang terklasifikasikan itu merupakan gerak pertumbuhan yang wajar dan konteks; pada mulanya Islam hadir melalui jejaring Ulama Nusantara hingga melewati masa pra kemerdekaan-pasca kemerdekaan, lalu menembus atmosfir pembaharuan dan pembangunan Indonesia baik periode Orde Lama, Orde baru, Reformasi hingga sekarang dari berbagai aspeknya itu merupakan jahitan-sulaman yang tak bisa dinafikan sebagai perkembangannya yang nampaknya masih relative muda. Tak pula dilupakan, bahwa tanah air ini pun mulanya telah menampung beragam kelestarian ajaran dan khasanah tradisi intelektual di dalamnya.

Semestinya selain kesuburan alam, Indonesia sebagai Negara-bangsa besar, setidaknya subur pula dalam pemikiran-falsafah karena segala yang datang padanya mudah masuk, dengan begitu operasi pengontrolannya yang dikondisikan seetis mungkin, karena rentan bisa saja terjadinya perbedaan yang diterima hingga dianut oleh penerimanya secara saklek hingga memungkinkan terjadinya percekcokan-pertentangan dan akhirnya konflik bermunculan. Peran Negara-Pemerintahan dan seluruh Staffnya yang bertugas mestilah memerhatikan situasi ini, karena memang mereka yang memiliki tugas akan hal itu. logis hal ini dipertanyakan oleh banyak orang tentang “apa kerja pemerintah-Negara, kok masih saja sering terjadi konflik, khususnya kalangan intern beragama? Untuk apa Dep. Ag dan MUI kalau begitu?”, ini mesti mereka jawab.

mengisyaratkan pluralisme itu antara lain, Q.S al-Baqarah: 2-6, 213, 285, bahkan ada surat

al-kafirun, dan seterusnya pada ayat-ayat dan surat lainnya. Dalam sejarah pun diakui dunia adanya Piagam Madinah oleh Nabi Muhammad s.a.ww merupakan konstituante pertama yang membuka ruang pluralism keberagamaan. Lih, H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Madinah: Konstitusi Tertulis Pertama di Dunia (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014). Maka, dengan melihat kondisi siklus ketegangan keberagamaan tersebut perlu kembali

menghidupkan dan melestarikan pemahaman yang sentral, setidaknya di Indonesia memiliki wajah yang murni sesuai alamnya, yakni Islam Pluralis. Paham Islam Pluralis ini penulis merujuk karya Buddy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman

(3)

Perbedaan yang nampak pada masa orde baru dan pasca orde baru (meski penulis tidak mengenyam masa orde baru bagaimana realitasnya itu), dikabarkan bahwa paham keagamaan dan kebijakan pemerintah saling sinkron pada masa orde baru, 3 sedangkan pasca orde baru

khususnya kalangan paham konservatif rupanya telah bertelur mengembrio hingga merangkak untuk dipersiapkannya berjalan pasca orde baru berakhir –tentu kedua masa itu tidak lepas dari geopolitiknya-, beberapa fenomena pasa orde baru misalnya yang mendominasi konservatisme, antara lain; konflik antar agama di beberapa daerah, aksi teror menjelang Natal di beberapa gereja, teror bom Bali (I dan II) yang menewaskan ratusan jiwa, upaya memasukkan Piagam Jakarta ke dalam tubuh Konstitusi, pemberlakuan perda syari’ah di daerah-daerah, konflik internal antara kubu puritan dan kubu progresif di tubuh organisasi Islam arus utama (NU dan Muhammadiyah), gejala konservatisme MUI yang independen dari pemerintahan (fatwa kesesatan Ahmadiyah dan paham sekulerisme, pluralisme, dan liberalism-yang keliru menginterpretasikan paham tersebut-, dst), menguatnya jaringan Islam konservatif lintas-negara, terutama melalui poros pendidikan Indonesia-Timur Tengah; terbentuknya Komite Persiapan Pelaksanaan Syari’ah Islam (KPPSI), munculnya upaya menghidupkan lagi cita-cita pendirian Negara Islam Indonesia (NII).4

Beberapa gejala itu berjalan begitu cepatnya namun tak surut pula gerakan pemerintah dalam merespon demi kemaslahatan besar warga, seperti aksi jihadis-teroris, perda syari’ah. Namun, paham konservatif ini masih ada segelintir yang memunculkan gerakan islam transnasionalnya dan akhirnya mengendon di organisasi mapan (Muhammadiyah dan NU), gerakan itu yang paling menonjol diantaranya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan afiliasinya, yang merupakan versi Indonesia dari Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan kelompok non-politik seperti Jama’ah Tabligh dan gerakan salafi, maka ketegangan di organisasi mapan itu akhirnya condong ke arah tersebut.5 Tanpa disadari beberapa organisasi yang 3 Pada dekade tahun 1970-1980an nampak maraknya kajian teologis keagamaan yang dapat menyesuaikan bahkan menyokong pembangunan bangsa-negara Indonesia, dari situ hujan seminar dan riset menampung tawaran-tawaran yang dikedepankan para ahli di dalamnya, diantara yang terdokumentasikan seminar itu antara lain: M. Masyhur Amin (ed),

Teologi Pembangunan; Paradigma Baru Pemikiran Islam (Yogyakarta: LKPSM-NU, 1989).

Berbagai pandangan teologis diungkap di sana seraya bursa pemikiran yang futuristic. 4 Martin Van Bruinessen, Perkembangan Kontemporer Islam Indonesia dan “Conservative

Turn” Awal Abad ke-21 dalam Martin Van Bruinessen (ed), Op.Cit, h. 24-48

(4)

nampaknya terlihat islami namun di sisi lain justru malah menimbulkan ketegangan dan keterasingan dengan wajah aslinya, di sinilah sepertinya image arabisasi menjadi negative karena fitrah jiwa lokal disirnakan, seperti kealamian Islam Nusantara.

Lebih bahayanya lagi bila kontrol Negara dan pemerintah tidak begitu ketat akan arus globalisasi-informasi yang memiliki potensi dalam aktualisasi penyebaran virus paham konservative-fundamentalisme-radikalisme. Sensitivitas terjadinya konflik-terorisme seperti ISIS (Islamic State of Irak and Suriah) misalnya saja telah menyebar di wilayah tanah air tercinta kita yang mempunyai jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Fenomena itu diselidiki bermangsakan kebanyakan para kalangan muda-mudi yang euphoria terhadap keagamaan padahal belum “tegak” visi mentalnya, dari situ mereka dididik untuk meneror (seperti beberapa situs bersejarah; candi Borobudur hendak dibom, tempat kuburan-keramat dan bangunan-bangunan suci diratakan–sikap ini sejalur ideologi wahhabisme); berperang-bagi mereka sebuah jihad-; hingga dididik pemboman bunuh diri. Dari realita itu beberapa kalangan tokoh agama beserta ormas dan pemerintah bertindak turba (turun ke bawah) untuk menolak kehadiran ISIS menginjak kakinya atau menghirup udara di Indonesia.6

Terbukti bahwa sebuah fenomena-fenomena bisa memengaruhi gerak kesadaran masyarakat, namun itu hanyalah sebuah gerakan yang tidak mengakar yang akan terus bisa hadir kembali, analisa Kiram melihat akar itu semua terbangun dari sebuah ideology, maka ideology dari gerakan radikal seperti –ISIS- yang telah menjangkiti beberapa korban jiwa pemuda Indonesia itu haruslah dihapuskan diperlawankan dengan ideology tandingannya, dan Indonesia sudah memilikinya, yakni Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dst.7

Diperkuat oleh Haidar baqir, bahwa, Gerak konservatisme dapat pula terlacak jauh di periode kekhalifahan Ali k.w yang secara historis pada masa itu telah banyak aliran islam, diantaranya ialah Khawariji yang menganggap bahwa selain dari pandangan golongannya adalah Kafir. Takfiri pun terus berlangsung yang bermetamorfosa abad ke abad hingga yang terlalu radikal-keras-dan conservative. Beberapa Negara di semenanjung Arab menjadi kasus

Hukum Hizbut Tahrir Indonesia dalam Paradigma Ijtihad Kontemporer), dalam Journal

Analisis: Jurnal Studi keislaman, (IAIN Raden Intan Bandar Lampung: Vol XII, No. 2, 2012), h. 363-367

(5)

percontohan yang melibatkan pula relasi geopolitical-ekonomikal dengan Negara-negara superpower (Amerika-Eropa) dan malah melanggengkan gejala konservatisme tersebut, maka darinya lahir konflik-konflik sectarian.8 Dari beberapa fenomena dan pandangan yang para ahli

kemukakan di atas, nampaknya kami –penulis- sepakat bahwa akar konflik antar golongan itu bersumber di gerak ideologis. Karena lapangannya abstraksi mental, maka tindak-tanduk mental manusianya –warganegaranya- mestilah dibenahi-koordinasikan dengan baik lagi, jadi tepatlah Presiden RI –Jokowi- sekarang memilih gerak “Revolusi Mental”.

Di sini pula setidaknya menawarkan pandangan-pemikiran- yang dapat menetralisir dan menghidupkan kembali jiwa keagamaan khususnya keislaman Nusantara yang rahmatan lil’alamin, yakni Islam Pluralis.

Proses Islam Pluralis Sebagai Denyut Nadi Bangsa-Negara Yang Berketuhanan Yang Maha Esa

Dalam pengantarnya di buku Conserative Turn, Zainal Abidin Baqir memberi pertanyaan seperti: “sejauh mana kaum Muslim toleran-terbuka, yang tidak terlalu banyak diteliti dalam buku ini, mampu menjawab tantangan itu dalam situasi politik yang lebih demokratis, dengan segala konsekuensinya yang tak terlalu sedikit menguntungkan mereka?”.9 Pertanyaan sekaligus

pernyataan ini mengindikasikan perlunya paham keislaman yang dapat menampung berbagai persoalan hingga dapat disikapi dengan bijak, arif dan dewasa. Dari titik ini pula, penulis berkesempatan menguatkan kembali perspektif Islam Pluralis yang telah digaungkan oleh beberapa kaum cendikia yang disebutnya neo-modernis dan uniknya epistemologi bentuk pemikiran sosial-keislaman yang mereka istilahkan itu sebagai “Islam Rasional”, “Islam Peradaban” dan “Islam Transformatif”, beberapa elit itu dapat diperkenalkan di sini, antara lain: Nurcholish Madjid (sebagai “penarik gerbong”nya), Utomo Dananjaya, Usep Fathuddin, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, M. Dawam Rahardjo, Adi Sasono, berikutnya Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, Jalaluddin Rakhmat, Syafi’I Ma’arif, H.M Amien Rais, Kuntowijoyo, dan para generasi muda berikutnya.10

8 Haidar Baqir, Pengantar: Asal-Usul Masalah Konservatisme Islam, dalam Martin Van Bruinessen, Op.Cit, h. 4-7

9 Zainal Abidin Baqir, Pengantar: Membaca Beragam Wajah Islam Indonesia, dalam Martin Van Bruinessen, Op. Cit, h. 23

(6)

Benturannya memang pada wilayah filosofis, karena beberapa filsafat yang berkembang pada masa modern yang dimulai di barat (Descartes hingga ke Wittgenstein) secara ringkas dinyatakan filsafat profane sebab telah menghapus hubungan dengan Tuhan -Sakral-, peranan agama pun menjadi tersingkirkan, maka kecenderungan manusia individualistis sangatlah menggumpal, tak heran dari kenyataan ini banyak krisis yang hadir, Atheisme pun dijagokan. Fenomena itu nyaris membuat gelisah kalangan intelektual murni, dengan demikian turut pula para ahli Falsafah Tradisional-Perennial merespon gejala tersebut untuk bisa menjaga nilai-nilai transcendental dari tiap agama yang mana kesuciannya mesti dilangsungkan hingga mampu mengambil peranan atas kemanusiaan. 11 Tampaklah gerakan-gerakan (sosial, dan studi) yang

memungkinkan untuk dapat mengupayakan jalinan keagamaan dengan hubungan kemasyarakatan untuk bisa transformatif.12

Sebuah jalan –perspektif- yang mampu mempertemukan kesatuan realitas transcendental agama-agama itu berada dalam wilayah esoteric –langit ilahi- bukan pada wilayah eksoteris – atmosfer bumi-. Esoterisme bukanlah sebatas faham, pun eksoterisme. Seperti dalam Islam, mustahil satu realitas tanpa ada dimensi, maka muncullah Lahir dan Batin. Perbedaan dimensi ini tentulah menjadi wilayah tersendiri, karena Realitas Universal bertingkat-tingkat yang menampakkan dirinya dalam tingkatan-tingkatan tanpa mengurangi hakikatnya sebagai “satu” kesatuan utuh.13

Oleh sebab itu, hanya pada Tuhanlah yang berada di tingkat tertinggi terdapat titik temu berbagai agama. Kenyataan metafisik ini, secara epistemologis dapat dikatakan bahwa perbedaan antara agama yang satu dengan agama yang lain juga mengecil dan bersatu di tingkat tertinggi, sedangkan di tingkat bawahnya berbagai agama itu terpecah belah.14 Kenyataan ini disiratkan

dalam Q.S Alu-‘Imran: 64, dalam ayatnya yang berbunyi:

                          



Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, kemarilah semua (naiklah) kepada kalimat yang sama –Tunggal-, diantara kami dan kamu semua tidaklah kita menyembah kecuali Allah dan tidaklah kita

11 Lihat lebih jelas, Buddy Munawar Rahman, Islam Pluralis, ibid, h. 79-85 12 Lebih detail lih, Buddy Munawar Rahman, ibid, h. 232-235

13 Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions. Terj, Safroedin bahar, Mencari Titik

(7)

mempersekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka:

"Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)."

Sebagai ilustratif, bila dikerangkakan dari banyaknya jalan yang terbungkus berbeda itu namun menuju pada Sumber-Hakikat yang sama, secara metafisis atau transcendental bertemu di wilayah Esoteris yang beranjak dari Eksoteris, seperti thesis F. Schuon yang diulas oleh Huston Smith, sebagai berikut15:

Esoterisme

Eksoterisme

A. Hindu A. Buddha T. China A. Yahudi A. Kristen A. Islam

Sinkronisasi metafisika dalam perspektif perennial sangatlah tegas dalam hal ini penglihatannya benar-benar menggunakan perspektif -divinity-ilahiyah. Maka, falsafah perennial sebagai pintu untuk melihat realitas yang tunggal –satu- yang sering diungkap “sama” dalam melihat berbagai agama-agama atau realitas-realitas yang berdimensi-berderajat itu, tidaklah pula menafikan perbedaan-perbedaan yang ada dari tiap realitas yang berderajat-berdimensi itu. Dengan demikian adalah baik kiranya Pluralisme dalam keberagamaan dapat difahami demikian, yang masih kebanyakan orang-orang keliru memahaminya, dari pemahaman ini mewujudkan maksud dan pengertian yang diorientasikan sama tujuan dan basisnya.

Dengan perpektif perennial ini, cukup terang bahwa pluralisme agama bukanlah sekedar faham yang menerima keragaman bentuk dan hanya terbuka terhadap agama-agama (inklusivitas), juga bukan pula sinkretik –hanya mengutamakan esensi mengabaikan bentuk-namun lebih dari itu ialah sebagai adanya kekuatan yang diagungkan -Supreme Reality- Tuhan Yang Satu yang menampilkan keragaman realitas berdimensi-berderajat yang niscaya secara

(8)

ontologis dari Kebenaran Ilahi pada sudut itu mempertemukan agama-agama sebagai kesatuan, terlebih lagi hanya sebatas pada paham.

Pluralisme sebagai letupan dari hasil olah pandangan perennialis kemungkinan besar tertuang bagi para pembaca dan aktivis beberapa kalangan intelektual dan cendikia yang telah mentransformasikan dirinya menjadi “faham”, mudahlah dimaklumi demi mengakomodir faham-faham yang berlimpahan di masa modern ini; revivalisme, modernisme, neo-revivalisme, neo-modernisme, ekslusivisme, inklusivisme, sekulerisme, fundamentalisme dan isme-isme lainnya yang telah dialih fungsikan demi kepentingan-kepentingan tertentu. Apalagi yang disebut preman berjubah. Maka, menyikapinya pun tidak hanya menerima keragaman, namun menilai yang benar dari keragaman tersebut untuk dapat kembali kepada ajaran yang seutuhnya adalah lebih tepat dan baik sehingga terhindar konflik ideologis. Secara ideologis, bisa ditarik falsafah Pancasila menjadi tafsiran yang reflektif dari konteks yang berlangsung, sehingga falsafah pancasila itu pun hidup berkembang dan tidak sebatas verbalisasi.

Bahkan lebih jauh lagi, seperti yang diteladani oleh baginda RasuluLlah SholaLlahu ‘alaihi wa sallam, dalam pengertian yang begitu bijak dan arif beliau cantumkan kalimat pertama pada Piagam Madinah:16

Pasal I: “Sesungguhnya mereka adalah satu bangsa-negara (ummah) bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia lainnya”.

Paparan di atas yang mencoba diupayakan kembali kepada akar Islam Pluralis menjadi contoh template atau format –bila hendak dimekaniskan- Islam yang sesuai di bumi Nusantara ini karena di luar agama pun Indonesia secara realitas fenomenal sudah beragam jadi tidak mungkin diseragamkan. Dengan begitu, upaya-upaya yang dapat diberikan demi terhindarnya konflik antar golongan keagamaan khususnya Islam, mestilah adanya pemahaman yang utuh terhadap teks-konteks tentang keislaman baik lahir-bathin, baik historis-filosofis, baik itu pula noumena-fenomena dan seterusnya, yang membutuhkan waktu dan ruang dialogis antar pihak yang bersangkutan.

Di sini, sekaligus sebagai penutup dalam tulisan yang singkat dan sederhana ini, penulis tetap yakin dan percaya bahwa bahaya pemahaman terhadap Islam yang sepihak hanya memakai

(9)

“satu mata”, yakni seperti kalangan conservative-fundamentalis mestinya dibuka lagi satu mata lainnya hingga Islam benar-benar utuh-kāffah- sebagai agama dan rahmat untuk semesta alam-manusia. Ekspresi rahmat dan keutuhan itu pula penulis meyakinkan diri terdapat pada paham Islam Pluralis yang mengedepankan perspektif Ilahi-Perennial. Hal ini tidaklah segampang memutarbalikkan tangan, namun setidaknya upaya ini kembali meneguhkan Tauhid Islam, hingga dapat membentur kekeliruan dan membumihanguskan kesalahpahaman dari berbagai paham yang mengakibatkan peta konflik dan korban jiwa itu.

WaLlāhu a’lam..

Terakhir kalinya kami ucapkan terimakasih dan maaf,

Wassalāmu’alaikum warahmatuLlāhi wabarakātuh.

Pustaka Pilihan

M. Masyhur Amin (ed), Teologi Pembangunan; Paradigma Baru Pemikiran Islam, Yogyakarta: LKPSM-NU, 1989

Buddy Munawar Rachman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Paramadina, 2001

Frithjof Schuon, The Transcendent Unity of Religions. Terj, Safroedin bahar, Mencari Titik Temu Agama-Agama, Jakarta: YOI, 2003

Sirajuddin M, Resolusi Konflik Ideologi (Menimbang Politik Hukum Hizbut Tahrir Indonesia dalam Paradigma Ijtihad Kontemporer), dalam Journal Analisis: Jurnal Studi keislaman, IAIN Raden Intan Bandar Lampung: Vol XII, No. 2, 2012

H. Zainal Abidin Ahmad, Piagam Madinah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014

Ikhwanul Kiram Mashuri, ISIS: Jihad atau Petualangan, Jakarta: Republika, 2014

Referensi

Dokumen terkait

Faktor yang mendukung keberhasilan dalam pembinaan profesionalisme PB meliputi (1) kompetensi kepala SKB terutama kompetensi supervisi., (2) kepedulian dan perhatian kepala

Sedangkan secara simultan, semua faktor fundamental (pengembalian aset, pengembalian ekuitas, nilai buku, rasio pembagian deviden, rasio hutang terhadap ekuitas, dan laju

Fahrul Islam : Analisis Tentang Tugas Dan Fungsi Bappeda Dan Statistik Kabupaten Bone (Studi Tentang Pelaksanaan Koordinasi Perencanaan Pembangunan Daerah), 2012 Prog. Kerjasama

Dalam pembentukan perjanjian pembiaya- an kendaraan bermotor, paksaan yang mena- kutkan sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1324 KUHPdt, yang dirumuskan dengan

Hari Jam ke Mata Kuliah SKS Dosen Pengampu Ruang.. Selasa III Manajemen

Dari berbagai pendapat tersebut secara sederhana dapat dirumuskan bahwa pada dasanya karakter menyangkut kualitas diri dan keyakinan seseorang yang akan melandasi perilaku

International Association of Students in Agricultural and Related Sciences is a non-governmental, non-political and non-profit making organization with more than 40 member

Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan penelitian secara komprehensif terhadap karakteristik bioekologi rajungan yang meliputi karakteristik substrat dan kualitas