• Tidak ada hasil yang ditemukan

Zina Menurut Pandangan Islam Dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Zina Menurut Pandangan Islam Dan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Kelompok

Zina dan Status Anak Zina

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalat

Dosen :

H. Zulkifli, M.Pd

Oleh :

Helena Aprianti

Sella Lusiana

Rinentis Pranasmara

Muhammad Wahyu Fajr

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

(2)

Kata Pengantar

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah atas semua rahmat dan karunia–Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah ini demi kelangsungan untuk menambah ilmu yang berguna.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk melengkapi salah satu nilai tugas dalam menempuh Mata Kuliah Fiqih Muamalat Universitas Muhammadiyah Tangerang. Judul penulisan ini adalah “Zina dan Status Anak Zina”. Dalam penyusunan penulisan ini, kami mendapatkan dorongan yang penuh dari berbagai pihak.

Kami menyadari bahwa masih banyak ketidaksempurnaan yang terdapat dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu, agar kami dapat menulis dengan lebih baik dan bermanfaat bagi kita semua, maka dengan kerendahan hati, kami mengharapkan masukkan, kritik dan saran dari pembaca.

Wassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarraktuh

Tangerang, Maret 2015

(3)

Daftar Isi

Kata Pengantar... i

Daftar Isi... ii

BAB I Pendahuluan... 1

1.1 Latar belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan Rumusan Masalah...2

BAB II Pembahasan... 3

2.1 Sumber Hukum Zina... 3

2.1.1 Al-Qur’an...3

2.1.2 Hadits... 4

2.1.3 Sumber hukum lain...5

2.2 Hukum Zina Dalam Perspektif Islam...13

2.3 Macam-Macam Zina...14

2.3.1 Zina al-lamam...14

2.3.2 Zina Luar Al-Lamam (Zina Yang Sebenarnya)...16

2.4 Status Anak Zina Dalam Perspektif Islam...16

1.2.1 Hukum anak zina...18

2.5 Hukuman yang didapat untuk para pezina...18

2.5 Syarat-syarat pezina mendapatkan hukuman...19

2.6 Solusi dalam permasalahan moral (zina)...19

BAB III PENUTUP... 21

3.1 Kesimpulan... 21

(4)
(5)

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Dewasa ini persoalan-persoalan yang dihadapi oleh umat muslim semakin kompleks. Karena semakin maju (Progress) peradaban manusia, maka masalah-masalah yang dihadapi ataupun ditanggung oleh manusia semakin pelik. Oleh karenanya kebutuhan akan berbagai macam referensi untuk menjawab seluruh persoalan juga semakin tak terelakkan.

Dengan demikian mungkin saya sangat sependapat dengan apa yang dikatan oleh Suhadi (2006;196) bahwa ijtihad kolektif pada saat ini memang sangat dibutuhkan karena demi memenuhi tuntutan akan mendapatkan jawaban dari persoalan-persoalan kemanusiaan yang ada hubungannya dengan masail-fiqhiyah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Mungkin dengan cara seperti itu ketika dihadapkan dengan problem insaniyah yang memang ada kaitannya dengan urusan keagamaan seseoarang, bisa terjawab.

Agama dalam kehidupan manusia adalah fitrah atau hak qadrati yang dimiliki oleh masing-masing personal yang memiliki ajaran-ajaran yang berkaitan dengan anjuran dan larangan yang mengikat pemeluknya. Islam dalam hal ini sebagai agama juga mengajarkan kepada umatnya tentang tatacara (Rule) bergaul dan berinteraksi dengan sesama manusia. Yaitu bagaimana seorang manusia menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain, dalam hal ini kalau dikaitkan dengan keberadaan perempuan, maka banyak hal-hal yang dimiliki olehnya untuk dijaga, salah satunya adalah kehormatan. Seks, misalnya apabila tidak didudukkan dengan sebanar-benarnya, maka akan menjadi suatu hal yang terlarang yang dalam term agama disebut dengan zina.

(6)

Terkait dengan persoalan manusia yang semakain kompleks, maka dalam makalah ini akan dicoba untuk menguraikan dan menjelaskan tentang hukum zina, status anak zina, dan hukumnya mengadopsi anak demi memberikan sedikit pengetahuan yang berhubungan dengan itu semua.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah hukum zina dalam perspektif Islam?

2. Bagaimanakah status anak zina dalam perspektif Islam?

3. Bagaimanakah status hukum anak zina dalam perspektif Islam?

1.3 Tujuan Rumusan Masalah

1. Agar kita mengetahui bagaimanakah hukum zina dalam Islam? 2. Agar kita mengetahui bagaimanakah status anak zina dalam Islam?

(7)

BAB II

“ Perempuan yang berzina dan laki – laki yang berzina, maka deralah tiap – tiap seorang dari keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk ( menjalankan ) agama Allah.” Selain itu pula, Allah SWT mengajarkan agar menjaga “kemaluan “. Kemaluan dalam dan arti luas, termasuk dalam arti “kemaluan” adalah organ sex

Surat A’raf ayat 81 :

ۡلَب ۡمُتـۡنَا ٌم ۡوَقَن ۡوُفِر ۡسّم

َن ۡوُتۡاَتـَلَلاَجّرلا ًةَوهَش ۡنّم ِن ۡوُدِٓءَسّنلا

ۡمُكّنِا

“ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka ), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kamu yang melampaui batas.”

(8)

bahwa pandangan Islam, terang – terangan mengutuk perbuatan zinah, berhubungan sex diluar perkawinan dan homo seksual.

Jadi bisa dikatakan bahwa zina merupakan perbuatan yang menimbulkan kerusakan besar dilihat secara ilmiah. Zina adalah salah satu diantara sebab-sebab dominan yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran peradaban, menularkan penyakit yang sangat berbahaya, misalnya AIDS, dan lain-lain. Mendorong orang untuk terus menerus hidup membujang serta praktek hidup bersama tanpa nikah.

Berdasarkan hukum Islam, perzinaan termasuk salah satu dosa besar. Dalam agama Islam, aktivitas-aktivitas seksual oleh lelaki/perempuan yang telah menikah dengan lelaki/perempuan yang bukan suami/istri sahnya, termasuk perzinaan. Dalam Al-Quran, dikatakan bahwa semua orang Muslim percaya bahwa berzina adalah dosa besar dan dilarang oleh Allah.

2.1.2 Hadits

Sebuah hadits Dari Abu Hurairah r.a. Bahwa Rasulullah saw telah bersabda yang artinya:

1. “Kedua mata itu bisa melakukan zina, kedua tangan itu (bisa) melakukan zina, kedua kaki itu (bisa) melakukan zina. Dan kesemuanya itu akan dibenarkan atau diingkari oleh alat kelamin.” (Hadis sahih diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah).

(9)

2.1.3 Sumber hukum lain

2.1.3.1 . Zina

Zina menurut Al – Zurani, ialah :

َوْلَآُاْط ْيِف ٍلُبُق اَخ ٍل ْنَع ٍكْلِم َو ٍةَهْبُش

َوْلَا

“ Memasukkan penis ( zakar, bahas arab )kedalam vagina ( farj bahasa Arab ) bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau kekeliruan).”

Dari definisi zina diatas , maka suatu perbuatan dapat dikatakan zina, apabila sudah memenuhi dua unsur, ialah :

1. Adanya persetubuhan ( sexual intercourse ) antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya (heterosex ); dan

2. Tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan sex (sex act).

Dengan unsur pertama, maka jika dua orang yang berbeda kelaminnya baru bermesraan, misalnya berciuman atau berpelukan, belum dapat dikatakan berbuat zina, yang dapat dijatuhi hukuman had, berupa dera bagi yang belum pernah kawin atau rajam bagi yang sudah pernah kawin; tetapi mereka bisa dihukum yang bersifat edukatif.

(10)

Dengan unsur kedua (syubhat), maka sexual intercourse yang dilakukan oleh orang karena kekeliruan, misalnya dikira “ istrinya” juga tidak dapat disebut zina.

Kalau kita perbandingkan antara KUHP Indonesia dengan Hukum Pidana Islam mengenai kasus zina ini, maka kita dapat melihat banyak perbedaan pandangan, antara lain sebagai berikut:

1. Menurut KUHP, tidak semua pelaku zina diancam dengan hukuman pidana. Misalnya pasal 284 (1) dan (2) KUHP menetapkan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan bagi pria dan wanita yang melakukan zina, padahal salah seorang atau kedua – duanya telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya. Ini berarti bahwa pria dan wanita yang melakukan zina itu belum / kawin tidaklah kena sanksi hukuman tersebut diatas, asal kedua – duanya telah dewas dan suka sama suka (tidak ada unsure perkosaan). Baru kalau ada unsur perkosaan atau wanitanya belum dewasa, dapat dikenakan sanksi hukuman (vide pasal 285 dan 287 (1). Sedangkan menurut Hukum Pidana Islam, semua pelaku zina pria dan wanita dapat diancam hukuman had. Hanya dibedakan hukumannya yakni bagi pelaku yang belum kawin diancam dengan dera (flogging) dengan pukulan tongkat, tangan atau dengan sepatu ( praktek Nabi dan Khalifah – Khalifah sesudahnya ). Dera dengan cara apapun tidak boleh berakibat fatal bagi yang didera. Sedangkan bagi pelaku yang telah kawin diancam dengan hukuman rajam (sloning to death) berdasarkan Sunah Nabi. Ada pula yang berpendapat, bahwa pelaku zina yang telah kawin mendapat hukuman rangkap: dera dahulu kemudian dirajam. Mazhab Dzahiri termasuk pendukung pendapat ini berdasarkan Hadis Nabi :

(11)

Pelaku zina yang telah atau pernah kawin didera 100 kali dan dirajam .

Dan juga berdasarkan pelaksanaan hukum dera dan rajam yang dilakukan oleh Khalifah Ali terhadap Syarahah al – Hamdaniyah kemudian Ali menegaskan:

ِا ِل ْوُسَر ِةّنُسِب اَهُتْمَجَرَو ِا ِباَتَكِب اَهُت ْدَلَج

Aku mendera dia ( Syaharah berdasarkan Kitab Allah (Surat Al – nur ayat 2) dan merajamnya dengan Sunah Rasul.

Mengenai wanita yang di perkosa di luar perkawinan tidak di kenakan hukuman, tetapi bagi wanita di bawah umur (kurang dari 15 tahun, vide pasal 287 KUHP) yang bersetubuh dengan pria tanpa unsur paksaan, dapat diancam dengan hukuman menurut Hukuman Pidana Islam.

2. Menurut KUHP, perbuatan zina hanya dapat dituntut atas pengaduan (suami / istri yang tercemar (vide pasal 284 (2) KUHP); sedangkan Islam tidak memandang zina hanya sebagai

klacht delict (hanya bisa dituntut atas pengaduan yang bersangkutan); tetapi dipandangnya sebagai perbuatan dosa besar yang harus ditindak tanpa menunggu pengaduan dari yang bersangkutan. Sebab zina mengandung bahaya besar bagi pelakunya sendiri dan juga bagi masyarakat, antara lain sebagai berikut:

(12)

setelah terjadi li’an dan terbukti anak tersebut hasil hubungan gelap istri dengan pria lain.

2. Penularan penyakit kelamin (veneral disease) yang sangat membahayakan kesehatan suami istri dan dapat mengancam keselamatan anak yang lahir. Penularan penyakit AIDS yang sangat berbahaya itu juga bisa disebabkan oleh zina dan free sex;

3. Keretakan keluarga yang bisa berakibat perceraian karena suami atau istri yang berbuat serong (zina) akan menimbulkan konflik besar dalam rumah tangga;

4. Teraniayanya anak – anak yang tidak berdosa sebagai akibat ulah orang – orang yang tidak bertanggung jawab (para pelaku zina), karena mereka terpaksa menyandang sebutan anak zina/ jadah;

5. Pembebanan pada masyarakat dan Negara untuk mengasuh dan mendidik anak – anak teraniaya yang tidak berdosa itu, sebab kalau masyarakat dan Negara tidak mau menyantuni mereka, mereka bisa mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.

6. Menurut KUHP, pelaku zina diancam dengan hukuman penjara yang lamanya berbeda (vide pasal 284 (1) dan (2); pasal 285; 286; dan 287 (1); sedangkan menurut Islam, pelaku zina diancam dengan hukuman dera, jika ia belum kawin; dan diancam dengan hukuman rajam jika ia telah kawin.

(13)

kecuali bagian yang sangat rawan / berbahaya dan bagian yang sangat pribadi (terhormat).

Mengenai hukuman rajam (stoning to death), yang berarti hukuman bagi pelaku zina yang telah kawin, karena si pelaku zina itu bisa seharusnya (wajib) menjaga loyalitas dan nama baik keluarga, dan lagi perbuatan zina itu mengandung bahaya – bahaya yang besar bagi keluarganya, masyarakat, dan Negara. Sedangkan hukuman dera yang relatif ringan bagi pelaku zina yang belum kawin, karena si pelaku masih hijau, belum berpengalaman, maka dengan hukuman dera itu diharapkan bisa member kesadaran kepadanya, sehingga ia tidak mau mengulang perbuatannya yang tercela.

Adapun tujuan hukuman menurut Hukuman Pidana Islam, ialah sebagai berikut:

1. Untuk preventif, artinya untuk mencegah semua orang agar tidak melanggar larangan agama dan melalaikan kewajiban agama dan melalaikan kewajiban agama dengan adanya sanksi – sanksi hukumannya yang jelas.

2. Untuk repressif, artinya untuk menindak dengan tegas siapa saja yang melanggar hukuman tanpa diskriminasi, demi menegakkan hukuman (law enforcement);

3. Untuk kuratif dan edukatif, artinya untuk menyembuhkan penyakit mental/ psychis dan memperbaiki akhlak pelaku pelanggaran/kejahatan, agar insaf dan tidak mengulang lagi perbuatannya yang jelek/jahat;

(14)

2.1.3.2 Status Anak Zina

Adapun anak zina, ialah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah; sedangkan perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing – masing agamanya dan kepercayaan, dan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang berlaku (vide pasal 2(1) dan (2) UU. No. 1/ 1974). Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat dari KUA untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut hukum Islam; sedangkan untuk mereka yang melangsungkan perkawinannya dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil ( vide pasal 2 (1) dan (2) PP. No. 9/ 1975 tentang pelaksanaan UU. No. 1/ 1974 tentang perkawinan.

Berdasarkan ketentuan pasal – pasal dan ayat – ayat tersebut diatas, maka perkawinan penduduk di Indonesia yang dilakukan menurut hukum Islam misalnya, tetapi tidak dicatat oleh pegawai pencatat dari KUA, atau perkawinan yang dicatat oeh pegawai pencatat dari Kantor Catatan Sipil, tetapi perkawinan tersebut tidak dilakukan menurut hukuman agamanya dan kepercayaannya; maka perkawinan yang sah itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (vide pasal 43 (1) PP. No. 9/1975.

Menurut Hukum Perdata Islam, anak zina/ jadah itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan Hadis Nabi Muhammad:

ِة ىّتَح ُرــْعَي َب ُهــْنَع ا َــسِل ُهــُنا َاــَف َوــَب ُاه ّوَهُي َد ا ِهِن َا ْو َرّصَنُيا ِهِن َا ْو اَسّجَمُي ِهِن

ّلُك ْوُل ْوَمٍد ْوُيُدَل ىَلَع َرْطِفْلا

(15)

menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi. (Hhadis riwayat Abu Ya’la, Al – Thabrani, dan Al – Baihaqi, dari Al – Aswad bin Sari’.

Dan berdasarkan firman Allah dalam surat Al – Najm ayat 38:

ىَر ْخُاَر ْزّو ٌةَرِز اَو ُرِزَت َلٲ

Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.

Karena itu, anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran, dan ketrampilan yang berguna untuk bekal hidupnya dimasyarakat nanti. Yang bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, materiil dan spiritual adalah terutama ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya yang melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya.

(16)
(17)

2.2 Hukum Zina Dalam Perspektif Islam

Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia, zina adalah perbuatan asusila yang dilakukan seorang pria dan wanita di luar ikatan pernikahan yang sah. Sedangkan menurut Al-Jurjani, bisa dikatakan zina apabila telah memenuhi dua unsur yaitu:

1. Adanya persetubuhan (sexual intercourse) antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya (heterosex); dan

2. Tidak adanya keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan seks (sex act).

Dengan unsur pertama, maka jika dua orang yang berbeda kelaminnya baru bermesraan, misalnya berciuman atau berpelukan, belum dapat dikatakan berbuat zina, yang dapat dijatuhi hukuman had, berupa dera bagi yang belum pernah kawin atau rajam bagi yang sudah pernah kawin; tetapi mereka bisa dihukum ta’zir yang bersifat edukatif.

Bagaimana dengan inseminasi buatan dengan mentransfer sperma pada ovum donor untuk memperoleh keturunan? Bila dikaitkan dengan definisi zina dan klasifikasinya yang telah dijelaskan oleh Jurzanim maka tidak dianggap sebagai perbuatan zina, sebab tidak terjadi sexual intercourse (persetubuhan).

Sebagian ulama’ mendefinisikan zina dengan perhiasan, maka berzina berarti merampas perhiasan. Bagi wanita yang paling utama sebagai perhiasannya adalah kehormatannya, maka merampas kehormatan ini berarti menghilangkan modal dari wanita itu. Wanita yang melakukan perzinaan ini berarti menyerahkan perhiasannya kepada orang lain. Perhiasan wanita mempunyai nilai dan harga hanya untuk pemakaian pertama kali belaka. Jika kegadisan wanita/selaput dara itu hilang, maka hilang pulalah kehormatannya.

Dalam kamus umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta mengatakan “Zina adalah perbuatan besetubuh yang tidak sah (seperti bersundal, bermukah, bergendak dan sebagainya)”.

(18)

Tidak heran kalau seluruh agama Samawi mengharamkan dan juga berupaya untuk memberantasnya karena dampak yang timbul dari perbuatan zina sangat besar, yaitu si perempuan akan kehilangan sesuatu yang menjadi perhiasannya, mengkaburkan status anak yang dilahirkan, merusak keturunan, menghancurka rumah tangga, meretakkan perhubungan, meluasnya penyakit sepilis (veneral disease) dan AIDS , kejahatan nafsu dan merosotnya akhlak disamping itu reputasinya akan tercoreng di lingkungan masyarakat. Islam sebagai agama Rahmatan lil alamin (Universal) dengan keras melarang perzinaan serta memberikan ultimatum yang sangat tajam.

2.3 Macam-Macam Zina

Adapun macam-macam zina yang akan kita pelajari, diantara :

2.3.1 Zina al-lamam

a. Zina ain (zina mata) yaitu memandang lawan jenis dengan perasaan senang.Di dalam Islam ada jenis maksiat yang disebut dengan ‘zina mata’ (lahadhat atau zina ain). Lahadhat itu, pandangan kepada hal-hal, yang menuju kemaksiatan. Lahadhat bukan hanya sekadar memandang, tetapi diikuti dengan pandangan selanjutnya. Pandangan mata adalah sumber itijah (orientasi) kemuliaan, juga sekaligus duta nafsu syahwat. Seseorang yang menjaga pandangan berarti ia menjaga kemaluan. Barangsiapa yang mengumbar pandangannya, maka manusia itu akan masuk kepada hal-hal yang membinasakannya. Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, pernah menasihati Ali :

“Jangan kamu ikuti pandangan pertamamu dengan pandangan kedua dan selanjutnya. Milik kamu adalah pandangan yang pertama, tapi yang kedua bukan”.

Dalam musnad Ahmad, disebutkan, Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, bersabda

(19)

Yang tergolong “zina mata” (berzina dengan mata) adalah melihat dengan syahwat. Misalnya: memandangi foto porno, mengintip cewek mandi, dsb. b. Zina qolbi (zina hati) yaitu memikirkan atau menghayalkan lawan jenis

dengan perasaan senang kepadanya. “Zina hati” adalah “mengharap-harap kesempatan untuk berzina” atau “memelihara hasrat untuk berzina”. Dari kata-kata ukhti, saya tidak melihat adanya zina hati pada diri ukhti. Ataukah ukhti mengira bahwa “kecondongan hati” terhadap si dia merupakan “zina hati”? Ketahuilah bahwa kecondongan hati itu merupakan rasa cinta, sedangkan rasa cinta itu halal dan bukan tergolong “zina hati”. Dengan demikian pula, merindukan si dia atau pun merasakan getaran di hati ketika memikirkan si dia bukanlah tergolong “zina hati”. Pengertian “zina hati” (berzina dalam hati) adalah mengharap dan menginginkan pemenuhan nafsu birahi. Contohnya: berpikiran mesum, “Kapan-kapan aku akan ke tempat kostnya saat sepi tiada orang lain. Siapa tahu dia mau kuajak ‘begituan’.” c. Zina lisan (zina ucapan) yaitu membincangkan lawan jenis dengan perasaan

senang kepadanya. Selain itu, menyampaikan kata-kata mesra kepada sang pacar bukanlah tergolong zina lisan.Yang tergolong “zina lisan” adalah yang disertai dengan nafsu birahi. Contohnya: ucapan mesum kepada pacar, “Aku ingin sekali meletakkan mulutku ke mulutmu berpagutan dalam ciuman.” d. Zina yadin (zina tangan) yaitu memegang tuuh lawan jenis dengan perasaan

senang kepadanya. Tangan dianggap telah melakukan zina dengan melakukan perbuatan yang tidak baik, melakukan masturbasi atau onani untuk memperoleh kepuasan seksual dll. Jadi kalau ditilik dari kaca mata tasawuf, maka masturbasi atau onani dikategorikan sebagai bentuk zina tangan.

(20)

sudah sanggup kawin, maka kawinlah, karena hal itu (kawin) akan menjaga pandangan dan melindungi (kehormatan) kemaluan, dan jika tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena Hal itu (puasa) akan mengekang hawa nafsu.” (HR Bukhari).

2.3.2 Zina Luar Al-Lamam (Zina Yang Sebenarnya)

a. zina muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang telah bersuami istri, hukumannya adalah dirajam sampai mati.

b. Zina gairu muhsan yaitu zina yang dilakukan oleh orang yang belum bersuami istri, hukumannya adalah didera sebanyak 100X dengan menggunakan rotan.Perbuatan zina adalah perbuatan dosa besar yang berakibat akan mendapatkan sangsi yang berat bagi pelaku, oleh karena itu untuk menentukan bahwa seseorang telah berbuat zina dapat dilakukan dengan 4 cara sbagaimana telah digariskan oleh rasulullah saw, yaitu : ada 4 orang saksi yang adil, laki-laki, memberikan yang sama mengenai: tempat, waktu, pelaku, dan cara melakukannya. Pengakuan dari pelaku dengan syarat pelaku sudah baligh dan berakal. Menurut imam syafi’i dan imam malik pengakuan cukup diucapkan oleh pelaku satu kali, namun menurut imam abu hanifah dan imam ahmad pengakuan harus diulang-ulang sampai empat kali, setelah itu baru dijatuhi hukuman.

2.4 Status Anak Zina Dalam Perspektif Islam

Anak zina adalah anak yang timbul dari perkawinan yang tidak sah, Karena anak itu hasil persetubuhan (sexual intercourse) atau bergaul antara wanita dan pria yang tidak menurut ajaran Islam. Hal ini berarti, bahwa pergaulan itu dapat terjadi antara siapa saja baik antara adik-kakak, ayah-anak, ibu-anak maupun dengan yang lain. Karena perzinaan adalah suatu perbuatan yang tercela dan melanggar aturan-aturan Tuhan (Rule of God) serta salah satu pelanggaran terhadap ketentuan perkawinan yang legal.

(21)

tidak bernoda, sebab seluruh kesalahan yang berlaku adalah dari dua manusia yang melakukan kesalahan itu. Dua manusia inilah yang berdosa, bersalah dan bernoda serta merekalah yang bertanggung jawab dan menerima ganjaran atas dosa-dosa zina yang telah diperbuatnya, jadi, bukan si anak.

Dengan demikian menurut hukum perdata Islam anak zina/jadah itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan hadis nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la, Al-Thabrani, dan Al-Baihaqi dari Al-Aswad bin Sar’i:

“Semua anak dilahirkan dalam keadaan suci/bersih (dari segala dosa/noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya manjadi Yahudi, atau Nasrani atau Majusi”.

Berkaitan dengan beban dosa yang harus ditanggung oleh pelaku zina sendiri, berdasarkan firman Allah dalam Surat Al-Najm ayat 38 “(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” Anak yang dilahirkan dari hasil zina ialah sama sebagai manusia biasa, ia tetap harus diberlakukan secara manusiawi, karena ia statusnya sebagai manusia normal yang berhak untuk mendapatka pendidikan, pengajaran, dan keterampilan untuk bekal hidup di masyarakat nanti. Ia memiliki hak hidup dan hak asasi yang sama dengan manusia lainnya. Ibu sebagai orang yang melahirkan anak tersebut bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya-materiil dan spiritual. Sebab anak itu (anak zina) dari hasil hubungan di luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibunya.

(22)

1.2.1 Hukum anak zina

Jika seorang suami menuduh isterinya melakukan perzinaan tetapi tidak dapat dibuktikan, maka anak yang lahir dalam waktu sang isteri masih dibawah tangan Sang suami, anak itu adalah anak dari sang suami yang sah. Rasulullah S.a.w. bersabda: “Anak itu adalah bagi ranjang (yakni bagi suami yang mempunyai ranjang itu) sedangkan sang isteri yang melacur itu dirajam.” (Bukhari)

Bila seorang pria atau wanita dipaksa melakukan zina, maka ia tidak berdosa. Kalau setelah itu ia melakukan perkawinan dengan wanita tersebut secara sah,maka tidak terdapat persoalan apapun dalam soal anak ini. Anak yang dilahirkan adalah anak yang sah, sebab perzinaan yang dilakukan itu tidak membawa satu kesalahan di dalam hukum Islam berarti kedua pelaku perzinaan paksaan itu tidak didera atau dirajam. Konsepsi itu sangat relevan dengan kaidah hukum Islam, yaitu: “Keadaan darurat (terpaksa) itu membolehkan hal-hal yang terlarang.”

2.5 Hukuman yang didapat untuk para pezina

Hukumnya menurut agama Islam untuk para penzina adalah sebagai berikut:

1. Jika pelakunya muhshan, mukallaf (sudah baligh dan berakal), suka rela (tidak dipaksa, tidak diperkosa), maka dicambuk 100 kali, kemudian dirajam, berdasarkan perbuatan Ali bin Abi Thalib atau cukup dirajam, tanpa didera dan ini lebih baik, sebagaimana dilakukan oleh Muhammad, Abu Bakar ash-Shiddiq, dan Umar bin Khatthab.

2. Jika pelakunya belum menikah, maka dia didera (dicambuk) 100 kali. Kemudian diasingkan selama setahun.

Sebagai konsekuensi atau larangan zina allah berfirman dalam surah an-Nurr (24) ayat 4 dan 5 sebagai berikut:

(23)

selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang fasik. Kecuali orang-orang yang berdaulat sesudah itu dan mmemperbaiki (dirinya) maka sesungguhnya allah maha pengampun lagi maha penyayang.

Jadi ketika perempuan atau laki-laki berbuat zina maka dihukum dengan hukuman, yang pertama yaitu jilid, dan kedua adalah pengasingan.

1. Hukuman jilid, ketika gadis/perawan berzina maka dihukum jilid 100 kali jilidan berdasarkan. Hukuman jilid adalah dihad, yaitu hukuman yang ditetapkan, dan tidak boleh bagi hakim (qodli) mengurangi atau menambahnya karena beberapa sebab. 2. Pengasingan, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini, menurut Imam Syafii dan

Imam Ahmad adalah pengasingan dari daerah yang dijadikan untuk zina ke daerah lain. Sedangkan menurut Imam Malik dan Abu Hanifah tahgrib adalah menahan.

2.5 Syarat-syarat pezina mendapatkan hukuman

Hukuman yang ditetapkan atas diri seseorang yang berzina dapat dilaksanakan dengan syaarat-syarat sebagai berikut:

1. Orang yang berzina itu berakal/waras.

2. Orang yang berzina sudah cukup umur (baligh).

3. Zina dilakukan dalam keadaan tidak terpaksa, tetapi atas kemauannya sendiri. 4. Orang yang berzina tahu bahwa zina itu diharamkan.

Jadi hukuman tidak dapat dijatuhkan dan dilaksanakan terhadap anak kecil, orang gila dan orang yang dipaksa untuk melakukan zina.

2.6 Solusi dalam permasalahan moral (zina)

Islam adalah agama fitrah yang mengakui keberadaan naluri seksual. Di dalam Islam, pernikahan merupakan bentuk penyaluran naluri seks yang dapat membentengi seorang muslim dari jurang kenistaan. Maka, dalam masalah ini nikah adalah solusi jitu yang ditawarkan oleh Rasulullah saw sejak 14 abad yang lampau bagi gadis/perjaka.

(24)

sudah dapat dipastikan tingkat maksiat khalwat, zina, pemerkosaan dan kriminal lainnya akan berkurang drastic.

Orang tua pun sangat berperan dalam pembentukan moral anaknya dengan memberi pemahaman dan pendidikan islami terhadap mereka. Orang tua hendaknya menutup peluang dan ruang gerak untuk maksiat ini dengan menyuruh anak gadisnya untuk berpakaian syar’i (tidak ketat, tipis, nampak aurat dan menyerupai lawan jenis). Memberi pemahaman akan bahaya pacaran dan pergaulan bebas. Dalam konteks kehidupan masyarakat, tokoh masyarakat dapat memberikan sanksi tegas terhadap pelaku zina sebagai preventif (pencegahan). Jangan terlalu cepat menempuh jalur damai “nikah”, sebelum ada sanksi secara adat, seperti menggiring pelaku zina ke seluruh kampung untuk dipertontonkan dan sebagainya. Selain itu, majelis ta’lim dan ceramah pula sangat berperan dalam mendidik moral masyarakat dan membimbing mereka.

Begitu pula sekolah, dayah dan kampus sebagai tempat pendidikan secara formal dan informal mempunyai peran dalam pembentukan moral pelajar/mahasiwa. Dengan diajarkan mata pelajaran Tauhid, Al-Quran, Hadits dan Akhlak secara komprehensif dan berkesinambungan, maka para pelajar/mahasiswa diharapkan tidak hanya menjadi seorang muslim yang cerdas intelektualnya, namun juga cerdas moralnya (akhlaknya).

(25)

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

(26)

disamping didera juga di rajam dan ada yang mengatakan dirajam saja. Sedangkan untuk zina ghairu muhsan si pelaku zina hanya di kasih hukuman dengan dera (cambuk) sebanyak 100 kali.

Perbuatan zina yang dilakukan oleh pria/wanita berdampak besar pada perkembangan dan status si anak. Karena dalam hal urusan pewarisan dan perwalian, anak hasil zina tidak mendapatka hak, walaupun sebagian ulama’ berpendapat, bahwa statusnya sama dengan anak hasil hubungan legal akan tetapi ulama’ secara umum berkonsepsi sebaliknya.

Dalam locus (wilayah) sosial, anak zina tetap sebagai manusia biasa yang patut untuk diperhatikan dan diberlakukan secara manusiawi. Ia berhak mendapat pendidikan dan pengajaran serta hak hidup yang sama dengan anak-anak yang lain. Untuk warisan ia hanya dapat dari pihak ibu dan keluarganya sedangkan dari pihak ayah terputus, meskipun secara biologis (hubungan darah) dengan pihak ayah bersambung, akan tetapi secara jiwa dan perasaan ia tidak punya.

Disamping itu, terkait dengan status anak angkat (adopsi) kalangan ulama’ juga berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa status anak adopsi sama dengan anak kandung, yaitu dalam hal pewarisan dan perwalian sama kedudukannya layaknya anak kandung. Tapi, Jumhurul Ulama’ menetapkan, jika status anak adopsi tidak bisa disamakan dengan anak kandung. Oleh karenanya, dalam masalah hukum Islam memang banyak terjadi kontroversi pendapat akan tetapi itu adalah sebagai dinamika pemikiran dalam dunia islam yang dapat memperkaya pengatahuan dan produk pemikiran ulama’ fiqh (Baca: Pemikiran Ulama’ Fiqh).

3.2 Saran

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yang dijelaskan di dalam analisis strukturmikro, tampak bahwa pori-pori di bagian dalam dan luar butir menjadi semakin kecil setelah penambahan La. 2

Sedangkan kedua: bagi pelaku zina yang telah nikah (Muhsan) hukumannya adalah rajam atau dilempar dengan batu sampai mati yang telah memenuhi syarat orang yang

Manakala Hukuman Zina Menurut Hukum Kanun Jenayah Syariah, 2013 dalam bab 69 (1) apabila orang Islam yang melakukan Zina dan dibuktikan sama ada dengan ikrar tertuduh

Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah opini audit qualified yaitu opini audit yang diberikan auditor apabila auditee menyajikan secara wajar laporan

Islam juga melarang kita mendekati perbuatan zina (melakukan hubungan seks bukan dengan isteri/suami) karena zina merupakan perbuatan keji dan buruk. Mendekati zina

Mekanisme pemberian kredit TASBIH (Talangan Anggaran Sementara Biaya Ibadah Haji) yang ada di PD BPR BKK GROGOL KPO Sukoharjo. Kredit TASBIH dari PD BPR BKK GROGOL

Dalam bahasa Mandarin kata penghubung juga dapat dikatakan sebagai kata sambung yakni kata yang digunakan untuk menyambungkan kata, gabungan kata, atau bagian kalimat.. Selain

Berdasarkan dari latar belakang yang telah disampaikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yakni seberapa besar frekuensi kemunculan bahasa jurnalistik