• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSELING INDIGENOUS REKONSTRUKSI DAN KONSEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSELING INDIGENOUS REKONSTRUKSI DAN KONSEL"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KONSELING

INDIGENOUS

: REKONSTRUKSI KONSELING DI

TENGAH KERAGAMAN BUDAYA

Itsar Bolo Rangka

itsar@konselor.org

Universitas Indraprasta PGRI - Jakarta

ABSTRACT

This article aims to give a new perspective of counseling in the midst of cultural diversity,

particularly in Indonesia. Multicultural counseling at this time is not only understood as a

cultural entity encounters (counselor and client), but more than that, currently counseling

has begun to be developed and designed (indigenization) based on human studies in which

they were born and/or staying. Indigenous counseling movement growing so rapidly, along

with practitioners and expert counseling awareness related to existence of barriers to

applied counseling theories derived from Western Countries paradigm toward clients from

non-Western countries. Associated with it, counselor must appears contextually required in

applying appropriate counseling with historical background, view of life, values, culture,

religion, beliefs, and social-economic of client. As a nation that has a diversity of tribes

and cultures, Indonesia is a heaven for study counseling especially for native peoples. It is

necessary to provide contribution towards theoretical framework and practices needs in

cultural diversity.

Keywords: Indigenous Counseling, Indigenization, Cultural Diversity, Native Peoples

© 2016 Published by Panitia SBK 2016

PENDAHULUAN

Tidak dapat dipungkiri, bahwa upaya membangun kehidupan sosial-kemasyarakatan hanya dapat dilakukan melalui artikulasi masyarakat itu sendiri dengan tempat di mana mereka tinggal (Tyson, 2010). Dalam konteks konseling, keterlibatan konselor untuk dapat membantu klien dalam mengartikulasikan kehidupan sosial-kemasyarakatannya dilakukan dengan berbagai macam pendekatan konseling. Yang terbaru, dan hampir menjadi topik utama dalam kajian konseling, adalah pendekatan multikultural konseling, yang dimaknai sebagai semua konseling yang dilakukan (antara konselor dengan klien) lintas budaya atau dimensi (teori dan praktik) konseling yang terikat dengan budaya (lihat --- Sue & Sue, 2008; Lee & Park, 2013; Westbrooks, 2013). Agaknya kajian tersebut “menggairahkan” jika di tempatkan ke dalam masyarakat Indonesia yang dikenal pluralism.

Permasalahan pertama, adalah praktik konseling dianggap “konseling yang baik” apabila dipraktikkan sesuai dengan tata aturan atau

(2)

menjadi pandangan “baru”; pandangan arus-utama dalam alur sejarah berikutnya. Jika dibandingkan dengan pandangan ketimuran atau non-european

sebut saja Indonesia—tentu sangat jauh bahkan tidak menyentuh pergulatan filsafat antarperiode sebagaimana yang terjadi di Barat (Hidayat, 2010). Mengacu pada hal tersebut, pertanyaan mendasar pertama yang dapat (penulis) ajukan terkait uraian tersebut adalah bagaimanakah “konseling yang baik” menurut ukuran “orang Timur” itu?

Permasalahan kedua, adalah seiring dengan kesadaran para konselor profesional (sejak tahun 1970-an) tentang adanya hambatan terkait dengan aplikasi teori-teori konseling dari Western Countries terhadap klien-klien non-Western countries (Ha Chong & Hung-Yi, 2002). Kemudian disusul dengan terjadinya “ledakan besar” dari pendokumentasian terkait topik-topik spiritualitas dan agama dalam teori dan praktik konseling sejak pertengahan tahun 1990-an (Joseph, Stewart & Wairimu, 2012). Yang pada akhirnya, secara massive memicu gerakan

indigenous yang dipelopori para pakar indigenous psychology (di Jepang, Korea, Taiwan, China, Philiphina) yang mengkaji pendekatan untuk memahami manusia difokuskan pada studi tentang perilaku dan pemikiran manusia yang asli, tidak berasal dari daerah yang lain, melainkan didesain dari, oleh, dan untuk orang-orang di daerah tersebut (lihat --- Gergen, 1996; Kim & Berry, 1993; Berry, et., al, 2002; Kim, Kuo-Sung, & Kwang-Kuo, 2006; Moordiningsih, 2009; Bang Peng, 2012; Morris, 2014), maka agaknya kesadaran pengkajian konseling yang “berbau”

indigenous di Indonesia masih minim. Mengacu pada hal tersebut, pertanyaan mendasar kedua yang dapat (penulis) ajukan terkait uraian tersebut adalah apakah ada perbedaan “semangat” dan “kesadaran” kajian keilmuan konseling di Indonesia dengan bangsa lain? atau memang Indonesia “kurang bahan” untuk menyajikan “ke -Indonesia-annya ke kancah percaturan ilmu pengetahuan (khususnya konseling) global?

Kedua pertanyaan mendasar di atas setidaknya harus di jawab oleh insan konseling Indonesia yang membawa semangat perubahan zaman. Lago (2006) telah mengingatkan bahwa salah satu tantangan terbesar dalam konseling, yaitu konselor dituntut memiliki kemauan dan kemampuan untuk menjelajahi asal-usul budaya dan ras mereka sendiri. Tantangan itu bersifat sustainable development, yaitu istilah yang dipakai secara khusus untuk mejelaskan bertemunya antara kebutuhan dasar manusia, dengan kemampuan yang dimiliki manusia untuk menjawab persoalan kehidupan saat ini dan masa yang akan datang (MacPherson, 2011). Dalam konteks “orang timur” kebutuhan yang dimaksud bukan hanya bersifat

materiil, melainkan juga non-materiil. Hal ini

menegaskan para konselor harus bekerja lebih keras lagi, utamanya ketika konselor bekerja di ruang publik yang multikultural, guna merespon kebutuhan perkembangan zaman.

Patut untuk digarisbawahi, bahwa pengujian secara empirik (empirical research), dan/atau pemecahan masalah praktik (solving practical problems) konseling yang berasal dari paradigma konseling Western Countries tidak dapat digunakan sepenuhnya untuk menafsirkan, menangani, atau menjelaskan fenomena perilaku masyarakat non-Western countries (Constantine, et., al, 2004; Sue & Sue, 2008; Hwang, 2010). Masih terdapat bias-bias kebudayaan (orientalis dan euro-americansentris) yang sesungguhnya secara budaya sangat jauh berbeda dengan kondisi dan alam kebatinan masyarakat Indonesia. Meskipun demikian, artikel ini tidak bermaksud untuk “mendiskreditkan” paradigma konseling yang berasal dari Western Countries. Artikel ini berusaha untuk memberikan sudut pandang “baru” dalam melihat konseling (khususnya multikultural konseling) dari “kacamata” orang pribumi; yang lebih etnosentrik; dan murni dari pikiran dan perasaan yang lahir dari masyarakat lokal, yang telah turun temurun di wariskan dari generasi ke generasi. Dalam hemat penulis, diperlukan rekonstruksi atau pembangunan ulang (KBBI, 2008) teori atau praktik konseling dalam konteks keragaman budaya. Hal ini menjadi penting mengingat budaya ketimuran atau non-european

memiliki pemahaman tersendiri dan bersifat unik terhadap unsur-unsur spiritualitas dan kebudayaan (Ren, 2012). Berkaca pada kondisi tersebut, maka mungkin saja benar apa yang disebutkan oleh Corey (2013), yaitu sangat mudah untuk menyimpulkan bahwa konseling pada praktiknya ditengah keragaman budaya dan masyarakat akan sulit menemukan bentuk idealnya. Tentunya keabsahan dari sudut pandang keilmuan konseling yang penulis sajikan dalam artikel ini sangat terbuka untuk diuji secara empirik hingga pada akhirnya menjawab perubahan zaman.

PEMBAHASAN

Manusia Indigenous Indonesia: Masa lalu di Masa Kini

Isu pluralism masyarakat dan kebudayaan di Indonesia selalu terkesan “seksi” dalam pandangan penulis. Alasan yang mendasarinya, yaitu

(3)

demokratis dan kuat yang berbasis multikulturalisme, dan; (2) sisi gelap, yaitu potensi terbelokkannya makna konstruktivisme sehingga membuka ruang bagi terciptanya kondisi yang destruktif, karena ketidakjelian bangsa dalam menangkap kesempatan yang ada, perilaku anak bangsa yang tidak berkarakter-cerdas, dan terjadi “kegamangan” dalam mengadopsi semangat perubahan dan kontestasi yang berlangsung semakin cepat. Akibatnya, adalah ketergantungan baru bangsa kita kepada pengetahuan dari dunia luar. Sisi gelap ini dapat menjadi nyata terlebih jika selama ini kita sangat kurang memperhatikan dimensi filosofi dasar—secara eksplisit penulis menyebutnya sebagai dimensi sosial-budaya— dalam pembangunan bangsa.

Kartodirjo (1968) menyatakan bahwa “masa sekarang ini sebenarnya tidak lain dari kelanjutan atau perpanjangan dari masa lampau yang dalam berbagai bentuk masih tampak di tengah-tengah kita. Bermacam-macam keadaan dan persoalan dewasa ini, tidak mungkin dimengerti betul-betul kalau tidak diketahui latar belakang historisnya, ialah asal mulanya dan perkembangannya pada waktu yang lalu”. Dalam perjalanannya, agama dan kebudayaan di Indonesia sangat kompleks. Keduanya berhubungan dengan manusia dan bukan manusia (termasuk di dalamnya non-material). Keduanya ada dan hidup di setiap wilayah geografis yang tetap (Woodward, 2011). Berbeda dengan kebudayaan Barat, kultur dan peradaban asli Indonesia tidak mengenal “sekularisme”. Ia lahir dari kultur dan peradaban kosmik, di mana sekularisme kosmos belum juga dikenal. Realitas masih bulat, satu, menyeluruh. Realitas masih tremendum, sacrum, fascinasum, sanctum. Dimana sains, filsafat, spiritualitas, seni, kultur, peradaban, dan teknik masih berpadu dalam naungan kesakralan (Hidayat, 2010). Hal-hal tersebut sebahagian besar masih divisualisasikan dan didapatkan hingga saat ini dalam masyarakat

indigenous Indonesia.

Istilah indigenous dapat diartikan sebagai

pribumi. Manusia indigenous, berarti manusia

pribumi; biasanya mengacu pada identitas orang asli di daerah tertentu. Dalam perkembangannya terkini, istilah indigenous biasanya diklasifikasi dalam bentuk yang umum, yaitu etnis kesukuan lokal Indonesia, misalnya orang Batak itu di Sumetera Utara, orang Sunda itu di Banten dan Jawa Barat, orang Minang di Sumatera Barat, orang Bugis di Sulawesi Selatan, orang Muna dan Buton di Sulawesi Tenggara, orang Dayak di Kalimantan Tengah dan Barat. Istilah indigenous

juga digunakan sebagai pembeda antargolongan masyarakat yang dianggap sebagai orang/suku/etnis asli Indonesia dengan mereka yang dianggap sebagai "kaum pendatang". Manusia indigenous, yaitu manusia yang masih

memegang teguh “adat sebenar-benarnya adat”

sebagai unsur utama kebudayaan. Dalam lintasan waktu, masyarakat indigenous-lah yang paling banyak menerima “penetrasi” peradaban asing, meskipun demikian hanya masyarakat indigenous

pula yang tidak pernah berhasil ditaklukkan secara sempurna oleh peradaban apapun yang pernah mencoba untuk menaklukkannya (Hidayat, 2010). Teori indigenous mencakup unsur-unsur spiritual, emosi, mental dan fisik manusia yang menjadi satu kesatuan utuh yang diakui keberadaannya pada masa lalu, masa sekarang, dan untuk masa yang akan datang (Absolon, 2010). Manusia indigenous (di manapun berada) memiliki kepercayaan yang kuat yang bersumber dari tradisi turun-temurun mereka (Sue & Sue, 2008). Berbagai ritual memiliki prinsip-prinsip yang menjelaskan sistem keyakinan; mengapa suatu upacara perlu dilakukan, siapa partisipannya, bagaimana proses persiapan dan bentuk upacara itu dilakukan secara tradisi memiliki aturan yang telah disepakati bersama.

Sebagai contoh, pandangan hidup orang Jawa, sebagian besar dipengaruhi oleh tradisi besar (the big tradition), yaitu bersumber dari istana, Surakarta dan Yogyakarta; dari karya sastra suci (serat, tembang, dan semacamnya) yang merupakan hasil karya para pujangga. Selain itu, berasal dari ungkapan-ungkapan yang telah menjadi pedoman hidup sebagian besar masyarakat Jawa. Salah satu sumber terpenting pandangan hidup Jawa adalah cerita dalam pewayangan (Handoyo & Tijan, 2010). Contoh lainnya, ritual Tuturangiana Andala yang merupakan ritual yang dilakukan masyarakat nelayan pulau Makassar pada saat musim paceklik ikan di Buton; upacara cabut gigi dan tari ekstase

kecak di Bali; upacara tepung tawar dan seni silat di Melayu; kesenian debus di Banten; upacara

mengayau kepala di Nias; tari saman di Aceh; upacara perkawinan dan tari kuda lumping di Jawa adalah aspek temporal Adat yang dapat direinterpretasi, tapi makna-makna esensial, “ isi-isi” kesakralan, kandungan-kandungan spiritual dari upacara tersebut, seperti keserasian kosmik, kepatuhan pada hukum kosmik sakral-abadi, serta kesadaran akan totalitas realitas sakral adalah aspek universal Adat yang tak boleh diubah-ubah dan bersifat aksiomatik (Hidayat, 2010).

Konseling Indigenous

(4)

Hung-Yi, 2002). Konselor harus bersedia untuk belajar dan memiliki wawasan terkait model “penyembuhan” yang berasal dari masyarakat pribumi; paling tidak, konselor memfungsikan dirinya sebagai fasilitator untuk menyediakan dukungan sistem, dalam rangka “penyembuhan” masyarakat pribumi (Sue & Sue, 2008).

Konseling indigenous, yaitu proses perbantuan terhadapindividu untuk menangani realitas dalam kehidupan sosial-kemasyarakatannya terkini, berdasarkan prinsip-prinsip dan praktik kehidupan, kepercayaan, cara berfikir, dan pengetahuan lokal; tempat individu itu tinggal dan/atau berasal (Berry, et., al, 2002; Burke, Jane & Judith, 2005; Sue & Sue, 2008; Leuthold, 2011). Pandangan terkait prinsip-prinsip dan praktik berkehidupan di Indonesia lebih dikenal dengan istilah kearifan lokal, yang merupakan warisan nenek moyang yang menyimpan nilai-nilai luhur yang tinggi. Keberadaan sebuah tradisi, semisal upacara adat (ritual) diyakini oleh masyarakat pendukungnya sebagai warisan leluhur yang mempunyai makna, nilai, dan fungsi tertentu. Sebagai media pendidikan, upacara ritual siklus hidup banyak memberikan hukum-hukum, nasihat, ataupun perintah agar seseorang dan sekelompok orang menjadi manusia yang baik (Sarmadan, 2013).

Kearifan lokal (local wisdom, local knowledge, local indigenous), yaitu keseluruhan pengalaman, baik gagasan, pandangan hidup, nilai, norma, bahasa, maupun adat-istiadat yang dimiliki suatu masyarakat, yang dianggap baik, dan dipakai secara mentradisi dari satu generasi ke generasi berikutnya; di tanah kelahirannya (Moordiningsih, 2009; Grayshield., et., al., 2010). Kearifan lokal tersebut sebahagian besar ditemukan dalam bentuk tulisan, dan tuturan (oral tradition); sifatnya menyeluruh, dan lokal. Meskipun tradisi lisan dan/atau folklor merupakan wujud kebudayaan sebagai cerminan kehidupan dan media pendidikan masyarakat (Sarmadan, 2013) sayangnya, tradisi lisan seringkali dianggap lemah dibanding tradisi tulis karena tidak mudah untuk diukur (Hart, 2010; Owusu-Ansah & Gubela, 2013). Lebih lanjut, kearifan lokal juga digunakan untuk melindungi manusia dari pelanggaran manusia dan bencana akibat degradasi lingkungan (Tyson, 2010).

Konselor melibatkan dirinya untuk membantu klien berdasarkan nilai-nilai, kepercayaan, dan kebudayaan kliennya. Pertautan antara filosofi konseling dengan unsur-unsur objektif dan subjektif klien indigenous mendorong tercapainya tujuan konseling yang lebih cepat. Hal ini agaknya cukup meyakinkan mengingat Corey (2013) telah

menjelaskan bahwa penekanan spiritualitas dan unsur kebudayaan menjadi hal yang sangat penting dalam praktik konseling di masa yang akan datang. Dan khusus untuk Indonesia, patut untuk digarisbawahi bahwa aliran Adat adalah aliran filsafat yang sudah sangat tua umurnya; umur spiritualisme adat sama tuanya dengan umur peradaban suku-suku adat Nusantara. Suku-suku adat baru di Indonesia memiliki peradaban material di era Neolitik, sekitar tahun 3500 SM. Namun, sebelum itu, mereka telah memiliki peradaban spiritual yang berakar menghujam sangat jauh, sekitar 1 juta tahun yang lalu (Taylor, 2003; Forshee, 2006; Hidayat, 2010).

Indigenisasi, Inti Rekonstruksi: Dari Lokal ke Global

Indigenisasi, merupakan istilah yang digunakan dalam kajian ilmu antropologi, yang bermakna “pempribumian” (Hidayat, 2010). Lebih lanjut

indigenisasi dalam konteks antropologi adalah agenda dan proyek yang membongkar bias-bias

orientalis dan Eurosentris baik di tingkatan institusi, metode penelitian hingga hasil karya etnografi. Ide indigenisasi, merupakan “dekolonisasi” terhadap teori-teori barat yang mulai dibedah pada kurun 1970–1980 (Kadir, 2011). Indigenisasi, yaitu proses pembangunan kembali (rekontruksi) keilmuan tertentu atau turunannya, yang cocok dengan budaya tempat keilmuan itu diterapkan. Dalam ilmu psikologi maupun konseling disebut cultural re-validation.

Ada dua jenis indigenisasi yang dapat ditempuh, yaitu (1) indigenization from within, yang diartikan sebagai pengejawantahan teori, konsep, dan metode keilmuan konseling yang berasal dari masyarakat indigenous itu sendiri; oleh masyarakat

indigenous itu sendiri, dan; untuk masyarakat

indigenous itu sendiri. Pada bagian ini terdapat sumbangsih keilmuan dari dalam ke luar (global), dan; (2) indigenization from without, yang diartikan pengembangan teori, konsep, dan metode keilmuan tertentu (yang telah ada sebelumnya) murni “berasal dari luar” masyarakat indigenous; oleh “orang di luar” masyarakat indigenous, dan;

(5)

Indigenisasi dari Jalur Dalam Indigenisasi dari Jalur Luar

(Indigenization from Within) (Indigenization from Without)

Gambar Alur Indigenisasi

(Adaptasi dari beberapa sumber dalam Kim, U., Kuo-Shu & Kwang-Kuo, 2006)

Berdasarkan gambar di atas; setidaknya interpretasi sederhana penulis, yaitu proses

indigenisasi baik yang dilakukan oleh manusia

indigenous (yang memposisikan diri sebagai “orang dalam”), maupun manusia eksogenous

(yang memposisikan diri sebagai “orang luar”) melalui tiga tahapan umum. Tahap pertama, yaitu

analytical knowledge, kedua empirical analysis,

dan ketiga verification. Ketiga tahapan di atas merupakan kesatuan utuh.

Pola indigenization from within didasari oleh semangat “orang dalam” untuk mempurifikasi bias-bias orientalis dan eurosentris sebagai dampak globalisasi terhadap nilai kebudayaan masyarakat indigenous setempat. Pada tahapan pertama, seluruh informasi terkait landasan filosofis manusia indigenous dikaji dan direfleksikan; bahasa dan budaya yang “mempribumi” itu seluruhnya dijadikan sumber pengetahuan untuk siap dikembangkan menjadi teori, konsep dan metode; prosesnya dilakukan oleh “orang dalam”. Pada tahapan kedua, dilakukan analisa empirik terkait konsep-konsep

indigenous yang sebelumnya telah dipersiapkan untuk “dituangkan” atau “diterjemahkan” ke dalam konstruk ilmu-ilmu tertentu (psikologi, pendidikan, ekonomi, agama) atau konseling secara khusus. Patut untuk dicatat bahwa analisa empirik dapat dilakukan dengan cara elaborasi semantik, kodifikasi/rekodifikasi, atau studi empirik lainnya yang dianggap relevan dengan materi indigenous.

Materi indigenous itu sendiri bisa didapatkan pada naskah-naskah kuno (old manuscripts), tradisi lisan, atau kegiatan adat yang masih ada di tengah-tengah masyarakat indigenous, yang telah diwariskan leluhur dari generasi ke generasi. Selanjutnya, berdasarkan analisis empirik, dapat ditemukan suatu model/pendekatan konseling yang cocok (secara khusus bagi suatu kebudayaan) yang dapat memperkaya khasanah keilmuan dalam rangka membangun jaringan konseling secara global. Konfirmasi produk konseling indigenous

melalui keterbukaan pengujian model/pendekatan konseling secara empirik, secara langsung mendorong para ilmuwan untuk merujuknya sebagai penemuan yang memberikan sumbangsih

Indigenous

analytical knowledge

empirical

analysis

verification

verification

empirical

analysis

analytical

knowledge

philosophical reflection; identify the

local languages and cultures as sources for theory, method, and

praxis;

semantic elaboration; codification or recodification indigenous

material;

fit counseling model/approach; establish database for building a global (counseling); citable

indigenous contributions

theories, concepts, methods, tools, and results sufficiently represent the indigenous

structures; assimilation culture

modified and develop components, processes, constructs, structures, or patterns a global (counseling) to

indigenous target;

rational; bibliometric and content analyses, interviews, surveys, and

database analyses

(6)

pada ilmu pengetahuan pada umumnya dan konseling pada khususnya.

Sebaliknya, pola indigenization from without,

sesungguhnya didasari “ketertarikan” yang melahirkan semangat dan motivasi “orang luar” untuk mempelajari suatu konstruk, struktur, atau pola kehidupan indigenous dari sudut pandang konseling. Pada tahapan pertama, dilakukan kajian eksploratif terhadap pengetahuan-pengetahuan masyarakat indigenous. Pengkajian baik melalui

bibliometric, content analyses, interviews, surveys, maupun database analyses diperlukan untuk mendapatkan penjelasan ethic dan emic dari bentuk-bentuk respon psikologis tertentu. Hal ini dilakukan dalam rangka melakukan penyesuaian terhadap konstelasi keilmuan konseling dikenal bersifat universal a priori dan monoculturalism. Atas dasar temuan pertama, pada tahapan kedua, “orang luar” itu melakukan penyesuaian dan mengembangkan komponen, proses, konstruk, struktur, atau pola konseling yang telah berlaku secara global; seperti melakukan adaptasi instrumen evaluasi konseling; atau abstraksi teoritik terhadap sasaran indigenous yang ditetapkan, dan diakhiri dengan pengujian secara empirik. Pada tahap ketiga, ditemukan teori, konsep, dan model konseling dari hasil pengembangan yang merepresentasikan masyarakat indigenous.

Selain uraian di atas, Johnson & Daya (2010) juga mengajukan 3 (tiga) model indigenisasi dalam konseling, yaitu: (1) melakukan sedikit penyesuaian terhadap pendekatan konseling tradisional yang telah ada, dengan memasukkan materi budaya atau agama, untuk membentuk perilaku yang diharapkan; (2) menyesuaikan pendekatan konseling dengan unsur-unsur kebudayaan dominan masyarakat setempat, dan; (3) secara khusus, mengadopsi unsur-unsur kebudayaan utama masyarakat setempat untuk dijadikan landasan pelaksanaan konseling. Tingkat adaptasi pendekatan konseling sangat bergantung pada perspektif budaya klien, konteks budaya dan lingkungan kehidupan klien, dan sumber daya yang tersedia.

Dari sudut pandang exogenous, kaitannya dengan penanganan masalah, Higginbotham, dalam Sundberg (1981) mengajukan beberapa alternatif untuk “mensinkronisasi” proses therapeutik bagi masyarakat indigenous, yaitu (1) menganalisis isu budaya yang spesifik, khususnya tata aturan masyarakat lokal untuk menetapkan perilaku mana yang menyimpang atau tidak menyimpang; termasuk sebab-musababnya, (2) menentukan norma-norma dalam budaya yang membantu penyesuaian diri klien, guna membangun aliansi terapeutik, (3) membuat strategi untuk merangsang kepedulian klien terhadap apa yang dialaminya, dan (4)

mengembangkan hubungan dengan masyarakat yang lebih luas guna membantu klien mencapai tujuan konseling.

Skeptisme dan Kritik: Tantangan Ke Depan

Beberapa pola rekonstruksi konseling

indigenous, baik melalui indigenization from without maupun indigenization from within yang diuraikan di atas diakui (penulis)---setidaknya untuk saat ini---masih membutuhkan kesabaran dan untuk diperhatikan terus menerus. Sebagai contoh, pola indigenization from within di Indonesia diperhadapkan pada persoalan “penantian tak berujung” terhadap ahli konseling yang “aslipribumi”; memiliki perhatian, kepekaan, dan jiwa altruistik yang tinggi terhadap kebudayaannya sendiri, sehingga mampu menghadirkan konseling yang “benar-benar”

indigenous; teruji secara empirik, dan; dirasakan kebermaknaannya bagi masyarakat indigenous-nya pada khususnya, dan konseling di Indonesia pada umumnya. Kenyataannya---setidaknya melalui pengamatan penulis---, para “penggiat” konseling di Indonesia terkesan “mencintai” konsep-konsep dari paradigma Western Knowledge. Hal ini dapat diperiksa melalui terbitan-terbitan ilmiah konseling. Jikalau ada kajian konseling yang

indigenous, sesungguhnya (mungkin) hanya “kulit

luarnya” saja. Tidak jauh berbeda dengan uraian sebelumnya, pada indigenization from without

masalah terbesar (dalam pandangan penulis), ialah kemungkinan munculnya asumsi a priori dalam diri “orang luar” ketika melakukan indigenisasi. Bagaimanapun juga pengalaman hidup, nilai-nilai budaya asal yang menempel pada diri “orang luar”, dan epistimologi yang ia bawa di dalam sistem berfikir akan turut mempengaruhi bagaimana ia melakukan interpretasi atas temuannya. Disamping itu, adanya potensi skeptisme terkait kompetensi kultural “orang luar” untuk menangkap kebudayaan lokal secara utuh. Patut untuk digaris bawahi juga adalah budaya merupakan akumulasi pengalaman hidup, sehingga “orang luar” mungkin bisa memahami budaya lokal, akan tetapi ia tidak akan mampu menangkap aspek pengalaman emosional dan transendental dari budaya sebagaimana yang ditangkap oleh “orang dalam” yang tumbuh dan berproses selama bertahun-tahun lamanya.

Lebih lanjut, makna indigenous tidak untuk dipahami secara parsial. Sesungguhnya, konseling itu Indigenous. Sebagai contoh, paradigma

(7)

konseling itu tidak fit dengan konteks, dan kebudayaan masyarakat tempat konseling itu dilakukan.

PENUTUP

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa mencermati potensi keragaman budaya di Indonesia, mendorong terbukanya ruang-ruang rekonstruksi konseling berbasis

indigenous yang sangat mungkin didalami sebagai bentuk penghayatan terhadap keilmuan konseling pada umumnya, dan kebudayaan sebagai identitas bangsa Indonesia yang besar pada khususnya.

Disadari sepenuhnya konseling indigenous di Indonesia masih diperhadapkan pada tantangan-tantangan baik yang datang dari dalam, maupun dari luar. Terlebih lagi, semangat menyajikan “ ke-Indonesia-an” dalam konteks konseling masih “jarang” ditemukan kajian empiriknya. Meskipun demikian, dengan pola indigenisasi sebagaimana yang dijelaskan di atas diharapkan pengkajian konseling yang indigenous akan mulai bermunculan satu per satu di kemudian hari, yang selanjutnya menjawab semangat perubahan zaman, dan pada akhirnya menciptakan kestabilan ber-perikehidupan. Oleh karena itu, disarankan kepada para pakar dan praktisi konseling dapat menjadikan konseling indigenous sebagai arus utama perubahan paradigma konseling di tanah air, yang sesungguhnya diangkat setinggi-tingginya dan dibanggakan.

Dengan rekonstruksi konseling indigenous,

kebudayaan Indonesia (termasuk kearifan lokalnya) mungkin akan hidup kembali dari kematian maknanya yang profan beralih ke makna sakralnya. Substansi-substansi yang berbeda senantiasa memiliki kebenaran yang satu:

Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

DAFTAR PUSTAKA

Absolon, K. (2010). Indigenous Wholistic Theory: A Knowledge Set for Practice. Journal ofFirst Peoples Child & Family Review 5(2), 74-87. Bang Peng, R. (2012). Decolonizing Psychic

Space: Remembering The Indigenous Psychology Movement in Taiwan. Disertasi. Duquesne University.

Berry, J. W., et., al. (2002). Cross-Cultural Psychology Research and Applications. UK: Cambridge University Press.

Burke, M. T., Jane C. C., & Judith G. M. (2005).

Religious and Spiritual Issues in Counseling: Applications Across Diverse Populations. New York: Brunner-Routledge.

Constantine, M. G., et., al,. (2004). Exploring Indigenous Mental Health Practice: The Roles of Heales and Helper in Promoting Well-Being in People of Color. Journal Counseling and Value 48(6), 110-125.

Corey, G. (2013). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy, 9th Edition.

USA: Brooks/Cole.

Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.

Forshee. J. (2006). Culture and Customs of Indonesia. USA: Greenwood Press.

Fuller, J. (2013). Self-Awareness and Cultural Understanding. In Nicholas A.V., Susan B.V., Johnston M. B. (Eds)., Counseling Multicultural and Diverse Populations: Practical Strategies for Counselors (pp. 17-34). New York: Routledge.

Gergen, K. J., et., al. (1996). Psychological Science in Cultural Context. Journal American Psychologist 51, 496-503.

Grayshield., et., al. (2010). Indigenous Ways of Knowing as a Philosophical Base for the Promotion of Peace and Justice in Counseling Education and Psychology. Journal for Social Action in Counseling and Psycholog 2(2), 1-16. Ha Chong, F. H., & Hung-Yi, L. 2002. Indigenous Counseling in the Chinese Cultural Context: Experience Transformed Model.Asian Journal of Counselling, 9(1&2): 49–68.

Handoyo, E., & Tijan. (2010). Model Pendidikan Karakter Berbasis Konservasi: Pengalaman Universitas Negeri Semarang. Semarang: Widya Karya.

Hart, M.A. (2010). Indigenous Worldviews, Knowledge, and Research: The Development of an Indigenous Research Paradigm. Journal of Indigenous Voice in Social Work, 1(1), 1-16. Hidayat, F. (2010). Antropologi Sakral:

Revitalisasi Tradisi Metafisik Masyarakat Indigenous Indonesia. Jakarta: IPS Press. Hwang, Kwang-Kuo. (2010). Way to Capture

Theory of Indigenous Psychology. Journal Psychological Studies 55(2), 96–100.

Johnson, L. R., & Daya S. S. (2010). Treatment Planning in a Multicultural Context Some Suggestions for Counselors and Psychotherapists. In Mark M. L., & Jamie D. A., (Eds) Culture and The Therapeutic Process: a Guide for Mental Health Professionals (pp. 117-156). USA: Routledge Taylor & Francis Group.

Joseph A., Stewart S., & Wairimu W. M. (2012). Working with Faith-Based Communities in Ecological Counseling. In Ellen P. C (Ed),

(8)

259-278). Alexandria, USA: American Counseling Association.

Kadir, H.A. (2011). Meretas Jalan dari “Kolonisasi” ke “Indigenisasi” Antropologi Indonesia. Diakses Tanggal 8 Maret 2010, 09:25 PM. http://etnohistori.org/meretas-jalan- dari-kolonisasi-ke-indigenisasi-antropologi-indonesia.html

Kartodirdjo, S. (1968). Segi-segi Strukturil Historiografi Indonesia dalam Lembaran Sejarah. Jogyakarta: UGM.

Kim, U., & Berry, J. W. (1993). Indigenous Psychologies: Experience and Research in Cultural Context. Newbury Park, CA: Sage. Kim, U., Kuo-Shu Y., & Kwang-Kuo, H. 2006.

Contributions to Indigenous and Cultural Psychology Understanding People in Context, dalam Indigenous and Cultural Psychology Understanding People in Context, Kim, Uichol., Kuo-Shu Yang, & Kwang-Kuo Hwang (Eds). USA: Springer.

Lago, C. (2006). Race, Culture and Counselling; The ongoing Challenge: Second Edition. USA: McGraw-Hill Education.

Lee, C.C & Park, D. (2013). A Conceptual Framework for Counseling Across Cultures. In Lee, C.C. (Ed), Multicultural Issues in Counseling: New Approaches to Diversity (pp. 3-12). USA: American Counseling Association.

Leuthold, S. M. (2011). Cross-Cultural Issues in Art: Frames for Understanding. USA: Taylor & Francis e-Library.

MacPherson, S. (2011). Education and Sustainability: Learning Across the Diaspora, Indigenous, and Minority Divide. New York: Taylor & Francis.

McLeod, J. (2009). An Introduction to Counseling: 14th Edition. USA: McGraw-Hill.

Moordiningsih. 2009. Optimisme Mengkristalkan Kearifan Lokal. In A. Supratikna & Tjipto Susana (Eds), Redefinisi Psikologi Indonesia

dalam Keberagaman (pp.37-55). Jakarta: HIMPSI.

Morris, B. (2014). Anthropology and the Human Subject. USA: Trafford Publishing.

Neukrug, Ed. (2012). The World of the Counselor: An Introduction to the Counseling Profession, 14th Edition. USA: Brooks/Cole.

Owusu-Ansah, F. E., Gubela, M. (2013). African indigenous knowledge and research. African Journal of Disability2(1), 1-5.

Prayitno. 2007. Konsolidasi Profesionalisasi Konselor. Padang: FIP-UNP.

Ren, Z. (2012). Spirituality and Community in Times of Crisis: Encountering Spirituality in Indigenous Trauma Therapy. Journal of Pastoral Psychology 61(28), 975–991

Sarmadan. 2013. Upacara Adat Katoba pada Masyarakat Muna: Analisis Struktural, Nilai-Nilai Kultural, dan Pemanfaatannya dalam Pembelajaran Apresiasi Sastra Lama di Sekolah Menengah Atas. Tesis. Bandung: Pascasarjana UPI-Bandung.

Sue, D. W., & Sue, D. (2008). Counseling The Culturally Diverse: Theory and Practice. USA: John Wiley & Sons, Inc.

Sundberg, N.D. (1981). Cross-Cultural Counseling and Psychotherapy: A Research Overview. In Marsella, A. L., & Pedersen, P., (Eds). Cross-cultural counseling and psychotherapy (pp. 28-62). USA: Pergamon Press Inc.

Taylor, J.G. (2003). Indonesia: Peoples and Histories. USA: Yale University.

Tyson, A. D. (2010). Decentralization and Adat Revivalism in Indonesia: The Politics of Becoming Indigenous. USA: Routledge. Westbrooks, K. (2013). African Americans: A

Remarkable People. In Nicholas A.V., Susan B.V., Johnston M. B. (Eds)., Counseling Multicultural and Diverse Populations: Practical Strategies for Counselors (pp. 402-418). New York: Routledge.

Gambar

Gambar Alur Indigenisasi

Referensi

Dokumen terkait

18 salah satu dari seluruh rentang penandaan yang paling jelas dari penampilan luar, yang dengannya seseorang menempatkan diri mereka terpisah dari orang lain,

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Metode literatur dilakukan dengan membaca dan membuat perbandingan dari jurnal-jurnal dashboard sistem informasi yang telah diperoleh dan dibandingkan dengan skema yang ada

Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menjelaskan tentang upaya-upaya yang sudah dilakukan oleh Badan Pengurus Gereja Kemah Injil Indonesia Daerah Sintang di

[ŋ] menduduki peringkat pertama dalam kesulitan pelafalan bunyi, yakni sebanyak 38 kasus, menyusul tertukarnya bunyi [ǝ] dengan [u] sebanyak 32 kasus, sulit melafalkan suku

Pusat pertumbuhan tiap fungsi pusat pelayanan adalah sebagai berikut: Kecamatan Boyolali sebagai PKW, Kecamatan Ampel dan Banyudono sebagai PKL, Kecamatan Mojosongo, Kecamatan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel independen yang merupakan komponen fraud triangle terhadap kecurangan laporan keuangan (financial statement

Sehubungan hal tersebut sesuai dengan Keputusan Badan Musyawarah DPRD Kabupaten Grobogan Nomor 8 Tahun 2021 tentang rencana jadwal kegiatan DPRD Kabupaten Grobogan untuk