• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membaca Teks Agama Secara Kreatif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Membaca Teks Agama Secara Kreatif"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBACA TEKS AGAMA SECARA KREATIF

Oleh : Muh.Asratillah Sengei

Walaupun dalam tulisan ini menggunakan kata teks “agama”, untuk menghemat ruang tulisan maka penulis hanya fokus pada persoalan “pembacaan” (qira’ah) teks-teks agama Islam. Mengingat pula bahwa penulis mempunyai keterbatasan pengetahuan mengenai pembacaan kreatif teks-teks keagamaan dalam konteks agama selain Islam.

Membaca dan Teks

Apa yang dimaksud dengan membaca?. Penulis mencoba menggunakan frame cultural studies untuk menjawab pertanyaan tersebut. Salah satu sumbagnan teori kritis adalah redefinisinya terjadap konsep membaca. Membaca kini menemukan signifikansinya dan dianggap sebagai fenomena kultural yang luas, bukan sekedar aktivitas insidental saat kita berhadapan dengan sebuah buku. Membaca adalah usaha keterlibatan secara penuh, menafsirkan serta memahami segala hal yang mengelilingi kita. Eksistensi kita sebagai makhluk sosial sangat tergantung dari aktivitas membaca. Manusia hanya dapat memahami kehidupan dan lingkungannya dengan tidak hentinya membaca teks-teks yang disajikan oleh ruang yang menggenangi kita, oleh lingkungan historis kita, oleh proses-proses psikologis dan tentu saja , oleh kebanyakan citra yang diluncurkan oleh media, sastra dan seni.

(2)

Keterkaitan erat antara keberadaan kita di dunia ini dengan proses membaca bukanlah sesuatu yang tanpa argumen, karena keseluruhan dunia kita secara metaforik merupakan teks atau dapat diperlakukan sebagai teks. Dunia dan segala isinya bukanlah sebuah teks linier, tapi merupakan sebuah teks yang saling tumpang-tindih, silang-menyilang dan corat-marut. Dunia juga bukan merupakan teks yang menyampaikan topik dan temanya secara transparant, di antara narasinya yang paling bagus terkadang bahkan seringkali adalah kebohongan yang menarik hati, membisu dan tetap bersikukuh menyembunikan kebenaran. Menurut George Santanaya : “ Terdapat buku-buku dimana catatan-catatan kaki atau komentar-komentar yang ditulis secara buruk oleh beberapa tangan pembaca pada bagian tepi, yang lebih menarik daripada teksnya. Dunia adalah satu di antara buku-buku itu”.

(3)

Untuk lebih memperjelas maksud paragraph di atas, saya teringat dengan analogi yang digunakan oleh penulis buku “The Tree Of Philosphy” yang bernama Stephen Palmquist. Di buku itu dia menggunakan analogi matahari yang menggambarkan realitas apa adanya, yang keberadaannya perlu agar pengetahuan menjadi mungkin. Palmquist mengatakan bahwa jika cuaca sedang cerah maka sangat sulit bagi seorang manusia menatap langsung “matahari” tersebut, justru saat berawanlah kita bisa menatapnya dan melihat bentuk geometri dari matahari. Tetapi benda-benda dipermukaan bumi akan lebih jelas jika cuaca dalam kondisi cerah. Jika kita menghubungkannya dengan aktivitas pembacaan terhadap teks, “ada” serta dunia bisa kita andaikan “matahari” dalam analogi Palmquist di atas. Manusia tidak bisa memandang secara langsung “ada” dan dunia, tetapi “ada” dan dunia menampakkan bentuknya yang samar-samar melalui perantaraan awan atau melalui benda-benda dipermukaan bumi yang sinari oleh “ matahari”. Awan dan benda-benda dipermukaan bumi bisa kita andaikan sebagai teks. Manusia hanya bisa memandang “ada” dan dunia dengan menggunakan dan melalui teks. Sebagaimana perkataan Jacques Derrida “Tiada di luar selain teks”.

Salah satu pendekatan utama terhadap (tema ) membaca adalah bahwa sebuah teks tidak memiliki peran yang otonom terhadap para pembacanya. Sangat besar peran pembaca dalam mewujudkan pesan-pesan teks yang sifatnya potensial. Tanpa kehadiran seorang pembaca dalam menafsirkan sebuah teks, teks itu tidak berarti apa-apa. Begitu pula dengan teks-teks keagamaan, seringkali kita mensubordinasi posisi manusia dibawah posisi teks-teks agama padahal tanpa kehadiran manusia sebagai audiensnya, teks-teks agama tersebut tidak berarti sama sekali, itu karena yang membaca, memeras makna dan mewujudkan pesan-pesan dari teks-teks suci agama tersebut adalah manusia. Proses pembacaan sangat terkait dengan konteks historis dan kultural dari pembaca; alat-alat (cara dalam memahami dunia) pembacaan diaplikasikan sesuai dengan lingkungan pembacaan. Selain itu pembacaan juga sangat tergantung dengan kerangka acuan (frame of reference) di mana pembaca membidik sasarannya. Membaca adalah proses dialog atau transaksi makna antara teks-teks dengan pembacanya. Menfasirkan sebuah teks bukanlah hanya tindak eksegesis (menarik makna keluar dari teks) tetapi jga merupakan tindak eisegesis (membawa makna oleh diri ke dalam teks)

(4)

sama persis dan telanjang dengan apa yang dimaksud oleh pengarang teks, pada hakikatnya itu bukanlah sebuah proses pembacaan. Semua pengetahuan adalah peniruan , jika biologi adalah peniruan terhadap dunia hayati, fisika atom adalah peniruan terhadap realitas fisik atomik dan subatomik, sosiologi adalah peniruan terhadap interaksi sosial yang real maka tafsir agama adalah berusaha meniru makna autentik pesan agama. Tetapi yang perlu diingat, peniruan tidak akan melahirkan kesamaan dengan realitas yang menjadi referentnya, tapi melahirkan realitas dan kebenaran baru.

Lalu apakah yang dimaksud dengan teks? Teks adalah segala sesuatu yang terbuka bagi pembacaan dan interpretasi yang beragam. Keterbukaan mengharuskan bahwa teks tidak harus dipandang sebagai sesuatu yang tertutup dan mandiri dari pengarang tunggal. Sebagai proses teks sama sekali bukanlah entitas baku , teks tetap berubah dan meraih pengertian-pengertian baru sesuai dengan bagaimana teks tersebut diterima dan dipahami oleh pembacanya. Itu berarti struktur dan makna dari teks secara terus menerus disusun ataupun tidak disusun. Menempatkan kitab suci ataupun rekaman pewahyuan dari Tuhan ke Nabi sebagi teks sangatlah urgen, itu untuk membersihkannya dari monopoli penafsiran yang seringkali diklaim dengan nuansa kesakralan. Tekstualitas dari teks agama, berarti teks-teks agama struktur dan maknanya dalam prosesnya terbuka kemungkinan mengalami penyususnan terus menerus, tergantung dari konteks sosio-kultural yang melingkupi.

Kemudian bagaimana cara kita membaca teks agama secara kreatif?. Dalam tulisan ini penulis akan mencoba mengeksplore secara singkat beberap pemikiran para pemikir Islam Kontemporer, Seperti Fazlurrahman, Abu Zayd, Mohammed Arkoun , Abid Al-JAbiry dan Ali Harb. Melalui metodologi mereka dalam melakukan pembacaan terhadap teks suci Islam maka kita bisa memahami apa yang dimaksud dengan pembacaan kreatif.

Muhammad Iqbal dalam bukunya reconstruction of Islamic Thought menyebutkan bahwa di antara tahun 800 sampai dengan 1100 M terdapat lebih dari 100 sistem teologi dalam Islam. Menurutnya ini merupakan bukti bahwa Muhammad telah menanamkan kesadaran kreatif dalam tubuh umat manusia.

(5)

Dengan kata lain Al-Qur’an dan sunnah merupakan perlambang momentum-momentum keterlibatan manusia dengan realitas serta petanda transendentalnya (meminjam istilah Mohammed Arkoun).

Pembacaan kreatif secara diametral berseberangan dengan pembacaan yang dilakukan oleh gerakan atau kelompok yang kita kenal dengan istilah Fundamentalisme islam. Dimana dalam melakukan pembaca terjadap Teks Suci Islam, bersifat rigid, harfiah dan menerima beberapa pra-pemhaman-pra-pemahaman atau aksioma-aksioma tradisional dalam melakukan penfasiran, bahkan mati-matian untuk mempertahankannya. Mohammed Arkoun mengatakan bahwa kita perlu membedakan antara Islamy dengan Islamawiyyun, membedakan antara gerakan Islamy dan gerakan Islamawiyyun. Islamy adalah sebuah terma yang terbuka terhadap perkembangan dan pembaharuan seperti yang terlihat pada misi nabi yang melakukan perombakan struktur masyarakat yang menindas, sedangkan Islamawiyun adalah sebuah tendensi untuk menggunakan wacana islam demi kepentingan politik dan ekonomi serta kekuasaan. Begitu pula antara istilah Ushulawiyun dengan dengan Ushuliyun (kata ushuliyun biasanya diterjemahkan dengan kata fundamentalisme , padahal lebih tepat jika diterjemahkan dari kata ushulawiyun). Ushuliyun adalah usaha dan ijtihad dari para ulama untuk merumuskan system teologi dengan menggunakan metodologi tertentu serta didasari dengan spirit pencarian kebenaran secara jujur, sedangkan Ushulawiyyun adalah kepentingan politik-kekuasaan tertentu yang mempergunakan secara tidak jujur produk-produk ushul tertentu.

Pembacaan teks agama Islam secara ortodoks menempatkan masa lalu dan masa depan secara tidak seimbang. Yang dimaksud dengan tidak seimbang adalah masa depan dipersilahkan untuk nampak jika dan hanya jika terus menerus secara pasif menatap masa lalu, jika masa depan itu memalingkan wajahnya dari masa lalu maka masa depan tersebut dilabeli “jahiliyah kontemporer”.

(6)

zaman wahyu dan zaman historis. Jika zaman historis merupakan zaman dimana peristiwa-peristiwa, gejala-gejala, perubahan-perubahan terjadi maka zaman wahyu merupakan substansi yang tidak bergerak, abadi, hadir secara terus menerus ditengah-tengah gejala-gejala yang bergerak dan akhirnya sirna. Di sini tidak ada tempat untuk masa depan sebab masa depan hanyalah “yang hadir” di masa mendatang. Mempraktikkan isi wahyu dan mengalami kehadiran wahyu itulah masa mendatang. Zaman wahyu bertentangan dengan zaman yunani- chronos.

Chronos menciptakan segala sesuatu dan mematikan apa yang diciptakannya. Sementara zaman wahyu berada di luar gerak dari kelahiran dan kematian serta gerak perubahan atau proses. Zaman wahyu selalu berada seperti apa adanya sama dengan sedia kalanya. Wahyu tidak dikenali melalui zaman tetapi zamanlah yang dikenali melalui wahyu. Dengan ungkapan yang lebih tepat wahyu merupakan potensi zaman dan bukan zaman yang merupakan potensi wahyu.

Pembacaan secara kreatif adalah jawaban terhadap beberapa episteme pembacaan yang ortodoks di atas, bila kita menggunakan premis Ali Harb dalam paragraph sebelumnya, episteme

pembacaan yang ortodoks di atas bukanlah sebuah pembacaaan, sebab pembacaan mensyaratkan menjadi berbeda dengan teks yang dibaca termasuk wahyu. Pembacaan kreatif mengandaikan bahwa makna dalam sebuah teks akan tersingkap sejalan dengan perjalanan waktu atau proses atau gerak perubahan. Alih-alih mengasumsikan bahwa wahyu adalah potensi zaman, pembacaan kreatif berasumsi justru zamanlah yang menjadi potensi makna bagi wahyu.

Beberapa pemikir Islam Kontemporer merekomendasikan penggunaan hermeneutika sebagai salah satu metode agar pembacaan kita terhadap teks-teks keagamaan menjadi kreatif. Apakah hermeneutika itu ? Menurut Fazlurrahman heremenutika adalah cara membaca , memaknai serta melampaui makna. Cara memahami masa lalu yang tidak dialami untuk di bawa ke masa sekarang, dengan kata lain adanya fusi antara horizon kekinian dan masa lalu dimana teks tersebut dibuat. Hasan Hanafi mengatakan bahwa hermenutika bukanlah sekedar bagaimana menarik makna dari sebuah teks, tetapi juga merupakan usaha untuk memhami dan memaknai perubahan dari logos menjadi praksis.

(7)

menggunakan asumsi-asumsi atau aksioma-aksioma baik disadari atau tidak disadari yang lahir dari rasa percaya terhadap otoritas yang sah. Kalau kita membaca sejarah agama-agama besar termasuk Islam, maka kita akan menemukan bahwa perkembangan dan penyebaran Islam tidak bisa dilepaskan dari penggunaan otoritas atau kekuasaan imperium tertentu, bahkan dalam sejarah Islam bukanlah sesuatu yang homogen tetapi lebih berupa mozaik-mozaik mazhab fiqh, teologis,filsafat ataupun mistisme yang kadangkala saling berebut pengerauh. Perumusan teologi, fiqh atau kompilasi konsep keagamaan tertentu seringkali diikuti dengan restu penguasa, ini menunjukkan bahwa teks-teks agama yang dibuat tidak bisa lepas dari prasangka.

Dalam buku yang sama Gadamer mengatakan “sejarah bukanlah milik kita tetapi kita dimiliki oleh sejarah”. Maksudnya dalam upaya membaca atau menafsir teks selalu berada dalam kondisi Ke-sejarah-an tertentu. Pembacaan, penafsiran ataupun pemahaman terhadap teks mensyarakat kepada kita mula-mula perasaaan asing terhadap teks, dan kita melakukan hal ini dengan mengubahnya menjadi sesuatu yang dikenal atau dipahami. Inilah sebabnya mengenali prasangka-prasangka kita adalah sesuatu yang penting, tiada pembacaan yang murni dari Tuhan, setiap pembacaan pasti mengikut sertakan prasangka kita. Inilah yang disebut oleh Gadamer sebagai “Prinsip Sejarah Efektif”.

Fazlurrahman

(8)

Setelah tahap etika Al-Qur’an kita melangkah ke tahap sosiologis. Dalam tahap kedua juga terdapat dua langkah yang pertama adalah mengurai, membaca atau menganalisa beberapa kondisi dan problem-problem sosial manusia kontemporer, setelah itu baru kita melangkah pada tahap kedua yaitu dengan cara membenturkan beberapa tema-tema etik umum AlQur’an yang didapatkan pada tahap pertama dengan problem-problem sosial keagamaan. Pada langkah ini kita bisa melihat bagaimana Ajaran-ajaran AlQur’an mengalami kontekstualisasi. Jadi dari metodologi “double movement” tadi kita bisa melihat bahwa penafsiran merupakan usaha dialektis mempetemukan antara teks dan konteks.

Dalam bukunya “Islam” , Fazlurrahman mengatakan bahwa Muhammad datang dengan membawa ajaran moral dengan penekanan dalam dua hal yaitu Monoteisme dan Keadilan Sosial. Antara monoteisme yang di bawa Islam dengan keadilan sosial memiliki hubungan yang organik, artinya keduanya mempersyaratkan satu sama lain. Monoteisme sebagai basis asumsi metafisik yang diekspresikan dalam relasi sosial yang adil. Prinsip monoteisme dan keadilan sosial merupakan pijakan awal kita dalam mendekati Al-Qur’an terlebih lagi saat kita mencoba melihat realitas sosial dengan menggunakan inspirasi dari Al-Qur’an.

Masih dalam buku yang sama Fazlurrahman juga membahas mengenai Sunnah. Pada awalnya adalah Sunnah nabi yaitu perilaku nabi atau respon kesejarahan nabi, setelah nabi wafat maka para sahabat sebagai pengikut nabi meneruskan sunnah nabi tapi dengan disertai dengan tafsir pribadi terhadap sunnah nabi sehingga sunnah pada masa ini adalah perilaku nabi plus sahabat. Setelah melewati beberapa generasi terjadilah usaha kompilasi hadits secara besar-besaran. Yang menjadi hal menarik disini adalah adanya pereduksian free market perilaku kegamaan pada masa sahabat menjadi perilaku kegamaan yang harus diperoleh melalui teks-teks hadits yang rigid. Kalau pada awalnya sunnah adalah sesuatu yang non formal maka hadits melahirkan sunnah yang kaku. Sebab belakangan yang dimaksud sunnah oleh para ulama adalah beberapa muatan atau konten yang ada dalam matan hadits. Sebelumnya terjadi perdebatan di antara apakah hukum diambil dari tradisi yang hidup atau sunnah yang ada di madinah dan Irak ataukah diturunkan dari hadits, tapi belakangan yang digunakan adalah hadits. Disini terlihat jelas pergeseran wacana keagamaan dari yang sifatnya praktis menjadi wacana keagamaan yang bernuansa pengajaran melalui hadits.

(9)

Kemudian Hamid Abu Zayd mengatakan bahwa pada saat Allah menyampaikan wahyunya kepada Rasul Muhammad SAW tidaklah dalam kondisi vakum historis atau vakum sosial. Ada latar belakang sosial yang jelas yang mengelilingi rasul. Ini kita buktikan dari tata urutan turunya ayat-ayat AlQur’an, karakter ayat-ayat makiyah sangat berbeda dengan ayat-ayat madinah, ini dikarenakan adanya perbedaan tantangan zaman atau permasalahan sosial yang diahadapi oleh komunitas muslim. Yang menarik di sini adalah kata wahyu yang sepadan dengan kata risalah yang berarti pesan, ini berarti wahyu mengandaikan keterkaitannya dengan audiens penerima pesan. Wahyu yang diterima oleh Muhammad SAW kemudian dikodifikasi menjadi mushaf, yang kita kenal dengan nama mushaf ustmani. Mushaf inilah yangk emudian dikomentari aatu ditafsirkan oleh mazhab-mazhab interpreter kemudian, dan hasil dari interpretasi tersebut juga mengalami kodifikasi (ad-tadwin). Tapi yang terjadi teks-teks sekunder yang berupa tafsir para interpreter terhadap teks primer yaitu teks Al-Qur’an, diangkat statusnya menjadi teks primer. Inilah yang menciptakan semacam ortodoksi, saat teks-teks sekunder mengalami mistifikasi dan menyelubungi teks primer, dan menghalangi “yang lain” untuk diakui interpretasinya.

Abu Zayd juga berpendapat bahwa karena Al-Qur’an disampaikan dalam rupa bahasa, sedangkan bahasa merupakan sesuatu yang lahir dari proses-proses sosial budaya, maka Al-Qur’an juga tunduk pada prasyaratan-prasyaratan sosial . Hal ini sangat penting untuk disadari sebab jika tidak yang terjadi adalah semacam fetisisme teks keagamaan apakah itu berupa teks primer atau sekunder. Apa yang dimaksud dengan fetisisme teks kegamaan ? yaitu dimana teks keagamaan beserta tanggapan dan penafsirannya dianggap sesuatu yang mempunyai logika sendiri, abadi dan statis tidak terikat dengan proses-proses sosial dan budaya yang melahirkannya. Dan ini sangat rawan dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan tertentu, sebab kekuasaan tersebut akan memperoleh label sakral. Karena Peradaban umat Islam adalah peradaban teks, dimana segala sesuatu termasuk interaksi serta sistem sosial yang terbangun berpusat dan tertuju pada teks. Maka perubahan cara pandang terhadap teks akan membawa dampak pada perubahan interaksi dan struktur sosial.

(10)

konteks historis kontemporer dan mendialogkannya dengan makna awal, melalui ini kita bisa melihat kepentingan (ghayah ) dari penafsir. Sebab setiap pembacaan pasti memiliki prasangka dan prasangka adalah harapan-harapan sosial awal sebelum kita berjumpa dengan teks.

Di dalam buku Abu Zayd yang berjudul “ Mafhum an-Nash Dirasah Fi ‘Ulum Al-Qur’an” beliau mengatakan bahwa yang semestinya dilakukan saat ini adalah bagaimana memproduksi kesadaran “ilmiah” terhadap tradisi teks. Yang harus dilakukan adalah berani melontarkan persoalan-persoalan di seputar tradisi atau teks. Karena tradisi keberagamaan kita memiliki sejarah yang sangat panjang dan berisi banyak jawaban-jawaban yang siap pakai, maka untuk bertanya mengenainya membutuhkan energy yang sangat besar. Perlu ada usaha untuk merajut kemabali hubungan antara kajian-kajian Al-Qur’an dengan kajian-kajian sastra dan kajian-kajian kritis.

Masih dalam buku yang sama, Abu Zayd kemudian berpendapat bahwa hubungan antara teks (khususnya teks keagamaan) dengan budaya sifatnya dialektis dan kompleks. Untuk mengurai beberapa hubungan yang tumpang tindih dan kompleks antara teks dengan budaya, maka perlunya melakukan analisis kebahasaan khususnya linguistik dalam mendekati teks keagamaan, ini disebabkan teks keagamaan datang kepada kita dengan menggunakan salah satu perangkat budaya yang sangat penting yaitu bahasa. Jika teks merupakan produk budaya, maka begitu pula dengan teks keagamaan, cuman setelah menagalami kodifikasi khusus Al-Qur’an dalam bentuk mushaf Ustmani, maka teks keagamaan mengalami fase kematangan yaitu fase dimana teks berubah menjadi produsen budaya. Jika hal ini ditunjang oleh system kuasa-politik tertentu maka teks kegamaan tersebut akan menjadi hegemonik yang menjadi landasan dan acuan bagi teks-teks lain.

Mohammed arkoun

(11)

Apa tujuan dari proyek Arkoun ini? Tujuannya adalah untuk menghadirkan pembacaan yang beragam terhadap teks – teks kegamaan dalam Islam dan di saat bersamaan menghindari potensi atau pretense untuk menemukan cara pembacaan yang paling benar terhadap Islam.

Muhammed Arkoun membagi dua macam modus pembacaan terhadap teks-teks keagamaan dalam Islam khususnya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Kelompok yang pertama disebut dengan dengan pandangan klasik (ortodoks) dimana menurut pandangan ini pada saat generasi tetentu melakukan pembacaan terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang antara generasi tersebut dengan teks-teks kegamaan memiliki gap ruang dan waktu, yang terjadi adalah transfer makna, bahwa makna awal dari teks akan terpahami secara jelas dan lugas oleh generasi mendatang. Kelompok yang kedua adalah pandangan kesarjanaan kritis Islam, dimana dalam pembacaan terhadap teks keagamaan, yang terjadi bukanlah sekedar transfer makna, tetapi juga transformasi makna, dengan kata lain, ada distoris-distorsi, pelampauan-pelampauan, pengayaan-pengayaan dari makna awal teks. Arkoun berada pada pihak kelompok kedua.

Dalam la pensee arabe Arkoun menyebutkan pandangannya mengenai tekstualitas Al-Qur’an yang perlu diketahui dalam proses pembacaan.

“Qur’an adalah korpus terbatas dan terbuka dari ujaran dalam bahasa Arab dan hanya dapat kita dekati melalui teks yang telah dibekukan secara grafis setelah abad IV/X. Keseluruhan teks yang dibekukan demikian berfungsi secara bersamaan sebagai karya Tulis dan wicara liturgis”

Dalam perkataan Muhammed Arkoun di atas ada dua terma yang menurut saya menarik untuk diulas, yaitu terma “korpus terbatas” dan “korpus tertutup”. Apa yang dimaksud dengan Al-Qur’an sebagai “korpus terbatas”? , yaitu bahwa Al-Qur’an dari segi isi dan pesan secara tekstual telah selesai, atau dengan kata lain AlQur’an dalam rupanya sekarang yaitu dalam bentuk kodifikasi mushaf Ustmani berisi seperangkata ujaran yang telah selesai. Tapi di sisi lain Al-Qur’an juga sebagai korpus terbuka yaitu terbuka terjadap konteks yang berbeda.

(12)

setelah Al-Qur’an dicetak massal 7 varian bacaan yang di setujui saat pengkodifikasian AlQur’an tinggal 1 yang akrab dengan kita yaitu qira’ah Asim. Sehingga mau tidak mau Mushaf Al-Qur’an sekarang ini telah mendahului kelahiran kita, telah menjadi tradisi yang akan meyertai kita sekarang dan boleh jadi hingga kita menyapa kematian. Jika kita meminjam terminology heideggerian , dalam konteks keberagamaan , kita lahir dalam kondisi terlempar ke situasi jejaring teks dan symbol kegamaan yang tidak bisa kita pilih sebelumnya dan sifatnya memaksa. Disnilah letak signifikasi Al-Qur’an sebagai korpus tertutup.

Walaupun sejak kita lahir saat korpus yang tertutup tersebut jauh-jauh hari telah menanti kita, itu tidak meniscayakan bahwa kita akan “menyerah begitu saja” dan “tidak mau melampaui” Al-Qur’an sebagai “korpus tertutup”. Kenapa kita harus melampaui Al-Qur’an sebagai korpus tertutup?, hal ini karena AlQur’an tidaklah lahir dalam kondisi vakum sosiohistoris, Al-Qur’an datang karena manusia dan untuk menyahuti persoalan manusia, yang kebetulan setting sosiohistorisnya adalah Jazirah Arab 14 abad yang lalu. Sehingga jika kita tidak berani “melampaui” teks lahiriah Al-Qur’an dan tiberani berhenti menjadikannnya obat mujarab bagi semua persoalan kemanusiaan, maka yang terjadi adalah kita akan memperlakukan manusia sekarang sama dengan orang-orang Arab yang hidup 14 abad yang lalu. Dialektika antara teks Al-Qur’an dengan sejarah bisa kita lihat dari adanya Asbab- An Nuzul atau sebab-sebab yang mendahului turunya ayat, dan sebab-sebab ini adalah sesuatu yang terjadi dalam koordinat ruang dan waktu tertentu, belum lagi adanya fakta gradualisme dalam penurunan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW yang membuktikan perjalanan peristiwa masyarakat Arab disekitar arab dengan berbagai dinamika sosial yang menyertainya menjadi sebab bagi turunya ayat secara gradual.

(13)

Lalu apa kegunaan proses “pelampauan” Al-Qur’an sebagai korpus tertutup ini ? yaitu untuk menjadikan AlQur’an sebagai korpus terbuka. Yaitu dimana pemaknaan terhadap AlQur’an merupakan sesuatu yang berjalan terus, mengalami pengayaan makna (meaning enrichment) dan mempunyai daya sahut bagi problem-problem kemanusiaan kontemporer.

Seperti para pemikir bebas Islam yang lainnya Mohammed Arkoun juga mengajukan Hermeneutika sebagai alat untuk membaca Al Qur’an. Apa tujuan dari membaca (qira’ah) ? yaitu untuk mengerti. Kita membaca Teks Al-Qur’an agar kita mengerti tentang komunikasi kenabian yang disampaikan lewat teks yang bersangkutan. Dengan kata lain agar kita bisa menemukan makna lewat teks tersebut. Bagaimana kita menemukannya ? yaitu dengan mengoptimalisasikan segala hal yang bisa digunakan untuk memproduksi makna, yaitu tanda, symbol serta studi-studi sejarah dan sosial yang bersangkut paut dengan teks Al-Qur’an.

Dorongan untuk mengerti yang menggerakkan kita membaca teks tertentu oleh Arkoun deikaitkan dengan beberapa postulat mengenai manusia yaitu (1) Manusia adalah persoalan konkret bagi dirinya sendiri (2) Pengetahuan yang memadai akan hal-hal nyata (dunia,hidup, makna dsb) adalah tanggung jawb kita sebagai manusia (3) Pengetahuan ini harus dilihat sebagai usaha untuk melepaskan diri dari hambatan-hambatan (4) Pengetahuan ini merupakan jalan keluar yang diulangi secara terus-menerus (sehingga merupakan resiko permanen) keluar dari ketertutupan yang cenderung bagi semua tradisi kultual setelah elaborasi mendalam. (5) Jalan keluar bisa disejajarkan dengan perjalanan rohani dalam tradisi mistik.

Dalam konsepsi Hermeneutiknya Arkoun mengatakan ada tiga moment yang perlu didekati saat kita melakukan pembacaan terhadap teks Al-Qur’an. Moment yang pertama adalah “saat linguistic” yaitu moment dimana kita menemukan struktur kebahasaan yang lebih dalam daripada struktur kebahasaan yang Nampak di permukaan. Moment yang kedua adalah “saat Antropologis” yaitu moment dimana kita menemukan tekstur mistik pada teks Al-Qur’an dan yang terakhir adalah “Saat Historis” yaitu moment dimana kita menegaskan jangkauan dan batas-batas dari tafsir-tafsir leksikografik dan imajinatif yang selama ini dieksplorasi oleh kaum muslimin.

(14)

lain kebenaran bukanlah berarti selalu menengok kebelakang dan kita menemukan kebenaran di belakang, tetapi kita menengok kepada teks keagamaan sebagai produk sejarah masa lalu demi menerima inspirasi-inspirasi atau kebenaran-kebenaran potensial untuk mengantisipasi persoalan-persoalan kontemporer bahkan untuk mengatasi problem kemanusiaan yang potensial muncul di masa depan.(2) Kebenaran Al-Qur’an sifatnya berlapis-lapis, kita tidak bisa begitu saja menemukan makana sebenarnya dan tunggal saat kita menghadapi Al-Qur’an tetapi kita harus berhadapan terlebih dahulu dengan pendapat-pendapat, asumsi-asumsi atau interpretasi-interpretasi terhadap Al-AQur’an yang mau tidak mau kita gunakan batu loncatan untuk memeras makna dari teks tersebut.(3) Karena terdapat Tradisi Islam yang sifatnya Historis maka sudah menjadi keniscayaan kita melakukan pembaharuan-pembaharuan terhadap tradisi tersebut agar kompatibel dengan setting sosiohistoris saat ini.

Abid Al-Jabiry

Tokoh pemikir selanjutnya yang coba kita teropong adalah Abid Al-Jabiry. Dalam karyanya “ Proyek Kritik akal Arab ” (Masyr Naqd Al-Aql Al-Arabi) Al Jabiry berangkat dari pertanyaan “ Bagaimana kita berinteraksi dengan Turats (Trsdisi) ?. Manurut Al Jabiry Turats adalah “ sesuatu yang hadir dan menyertai kekinian kita, yang berasal dari masa lalu kita dan masa lalu orang lain, masa lalu tersebut adalah masa yang jauh maupun masa yang dekat”. Jadi Turats adlah warisan masa lalu yang dapat berupa perangkat nilai, etos kerja, tingkah laku, pencapaian budaya maupun karya-karya ilmiah. Turats bukanlah sesuatu yang homogen, tetapi turats juga sangat erat kaitannya dengan hasrat akan kuasa, sehingga di antara turats bisa terjadi persilangan bahkan penjegalan.

(15)

kemungkinan-kemungkinan kontribusi kuasa dalam mengkonstruk turats, ataupun kemungkinan-kemungkinan turats dalam melegitimasi kepentingan kuasa tertentu.

Menurut Al-Jabiriy ada tiga macam sikap dalam menghadapi Turats, Sikap yang pertama adalah membaca Turats dalam kerangka Turats itu sendiri, yang kedua adalah membaca modernitas dalam kerangka turats dan yang ketiga adalah membaca turats dalam terang konteks ke-modernan. Sikap yang pertama akan melahirkan kejumudan dan yang paling berbahaya adalah sikap yang kedua yang akan melahirkan penafsiran stigmatig, jadi Al-Jabiry memilih sikap yang ketiga. Tetapi ini tidak berarti kita menyerah kepada modernitas atau mengorbankan turats demi kemodernan.

Turats adalah sesuatu yang ada begitu saja, dan kita menerimanya dengan terpaksa. Begitu pula dengan modernitas, dia ada begitu saja, sudah menjadi realitas sosial pada saat kita lahir. Kita tergenang oleh turats dan modernitas sekaligus. Yang pelu kita lakukan untuk mempertegas posisi subjek kita sebagai manusia adalah melakukan kritik terhadap turats dan modernitas sekaligus, melalui apa kita mengkritiknya ?, kita mulai dari mengkritisi bahkan mendekonstruksi diskursus-diskurusus yang diproduksi keduanya.

Khusus mengenai dekostruksi terhadap turats , maka yang dilakukan adalah menganalisanya secara objektif dan rasional. Bahkan berusaha menggeser posisi produk-produk tafsir yang stigmatig dan diklaim sebagai sesuatu sebagai yang a-historik menjadi sesuatu yang bersifat historis. Ini adalah sesuatu yang penting untuk menyibak segala hijab-hijab sakralitas dan menegaskan ke-profanannya. Untuk melaakukan analisis secara objektif dan rasional Al-Jabiry menawarkan konsep epistemology Burhani (Epistemologi yang mendasarkan dirinya adalah demonstarsi rasional) sebagai alternative komplementer bagi epistemology Bayani (epistemology yang berangkat dan berakhir pada teks keagamaan) dan epistemology irfani (epistemology mistik/gnostis).

(16)

akal hanya mempunyai fungsi untuk melayani tekas dan menjelaskan agar masuk akal segala sesuatu yang bersangkut paut dengannya. Sehinnga pendekatan bayani berkutat pada dataran teks (nizham al-kitab) bukan pada dataran akal (nizham al-aql). Tetapi pendekatan ini tetap mempunyai kekuatan , yaitu studinya yang sangat detail pada aspek kebahasaan, seperti nahwu sharaf, gramatika maupun sastra (bhlagahah). Sehingga beberapa metode canggih darinya bisa digunakan untuk mendekonstruksi teks tetapi terlebih dahulu dengan memangkas asumsi-asumsi metafisiknya yang menempatkan wahyu dan interpretasi terhadapnya sebagai sesuatu yang a-historik, dan tentu saja dengan mengikut sertakan beberapa metode kebahasaan kontemporer.

Epistemologi burhani adalah pendekatan yang menggunakan demonstrasi rasional dalam mencari kebenaran serta menyandarkan diri pada dalil-dalil logika. Termasuk dalam pendekatan burhani adalah Ta’lili yaitu pendekatan yang rasional terhadap teks dan istislahi yaitu pendekatan terhadap realitas objektif secara filosofis. Realitas di sini termasuk realitas alam, realitas sosial dan realitas sejarah. Jadi ada dialektika antara teks dan konteks. Kalau pendekatan bayani bekerja pada dataran teks (Nizham kitab) maka burhani bekerja pada dataran akal ( Nizham al-aql). Pendekatan burhani dapat memperkuat apa yang ditemukan oleh pendekatan bayani .

Sedangkan epistemology irfani adalah epistemology yang mengoptimalkan intuisi religious seseorang. Dalam tradisi irfani dipenuhi dengan cara-cara baca simbolik dan metaforik terhadap teks-teks keagamaan. Jika pendekatan bayani mendekati teks melalui struktur permukaan teks maka irfani berusaha memeras makna-makna mendalam dan spiritual dari teks. Pendekatan irfani tidak sekedar mencari makna dari teks tetapi juga makna mendalam. Pendekatan irfani dan burhani dapat bersinergi dalam 3 hal yaitu: Pertama. Berusaha menemukan makna-makna yang melampaui arti literer dari teks-teks keagamaan. Kedua. Berusaha mencari dan menggali nilai-nilai dan makna-makna terdalam dari berbagai produk budaya dan seni tradisi local dan yang ketiga adalah memahami secara holistik ke-kinian kita, agar kita dapat mengidentifikasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan.

Ali Harb

(17)

sekunder yang menerangkan dan menyelubungi teks primer (Al-Qur’an). Teks bukanlah sesuatu yang netral, teks rentan untuk menjadi ekspresi kepentingan kekuasaan, sehingga dalam sejarah kita bisa melihat bagaimana sebuah teks bisa eksis setelah dia mengekslusi teks-teks yang lain. Disinilah letak urgensi dekonstruksi teks, agar teks-teks bisa memperlihatkan secara jujur asumsi-asumsi, pra-pemahaman-prapemahaman dan hasrat-hasrat akan kuasa yang dai ikut sertakan dalam dirinya. Mendekonstruksi juga ingin mempertegas bahwa saat sebuah teks lahir akibat dari pembacaan teks tertentu, maka teks yang terakhir tidak serta merta menjelaskan seperti yang dijelaskan oleh pengarang teks yang pertama, tapi yang terjadi adalah produksi makna baru oleh teks yang belakangan.

Untuk membaca teks keagamaan seperti Al-Qur’an , maka dibutuhkan sebuah alat atau metodologi. Alat atau metodologi yang ditawarkan Ali Harb sebagaimana fazlurrahman dan Hamid Abu Zayd adalah hermeneutika. Menurut Ali-Harb ada tiga kunci intrisik hermeneutika AlQur’an, yang pertama adalah berusaha masuk ke dalam diri pengarang, tetapi dalam kasus Al-Qur’an pengarang adalah person yang memiliki status ontologis yang tak terhingga, maka langkah ini hanya bisa dilakukan pada diri pribadi Muhammad. Sebab Al-Qur’an adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan dan Muhammad sekaligus. Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang eksternal dari diri Muhammad, AlQur’an lahir dari senyawa yang sangat kreatif antara pesan-pesan Tuhan yang abadi dan Transendental dengan pikiran, perasaan dan kata-kata Muhammad yang menubuh pada ruang dan waktu tertentu. Untuk hal ini kita bisa menggunakan keterangan-keterangan Al-Qur’an sendiri, kemudian riwayat-riwayat tentang kondisi psikosomatik saat Nabi menerima Wahyu dan teori-teori psikologi kontemporer ditambah dengan perenungan internal pada diri pribadi interpreter.

(18)

masyarakat Arab pada waktu itu, tetapi ia tetap mewarisi beberapa pengetahuan-pengetahuan sosial masyarakat Arab pada waktu. Semisal dalam hal Syura, kemudian tentang penentuan siapa yang mengganti Nabi menjadi pemimpin setelah dia mati. Tetapi harus diakui secara jujur Nabi dan Al-Qur’an menggunakan bahan baku Arab sebagai strategi budaya dalam menyampaikan pesan-pesan ketuhanan yang transendental kepada audiens Arab. Sebgaimana ide membutuhkan kata, sebagaimana akal, jiwa dan persaan saling merembesi secara kompleks dengan tubuh, begitu pula pesan –pesan Tuhan yang transenden dan kultur sosial Arab harus saling merembesi agar pesan –pesan Tuhan tadi tetap hidup. Kunci kedua ini juga berlaku bagi penafsir Al_Qur’an berikutnya, di mana setiap penafsir dan imam-imam mazhab tertentu ditelikung oleh arus sosial yang begitu nyata, bellum lagi sebagian besar ulama menjadi sasaran “sekutu” ataupun “lawan” dari institusi kekuasaan, dimana kekusaan mempunyai daya untuk mengekslusi teks-teks yang dianggap “tidak benar” dan melanggengkan atau memelihara teks yang dianggap benar.

Jika kunci pertama dan kedua hermeneutika Al-Qur’an di atas berkaitan dengan penafsir, maka kunci ketiga berkaitan dengan aktivitas interpretasi, bahwa interpretasi takkan bisa lepas dari bahasa, sejarah dan tradisi. Penafsiran dan penakwilan merupakan aktivitas interpretasi, saat seorang penafsir menafsrikan Al-Qur’an atau seorang pentakwil menakwilkan AlQur’an, maka penafsir dan penakwil sebagai interpretan bukanlah satu-satunya variable yang ikut menentukan makna yang diperoleh dari interpretasi. Walaupun tindakan interpretasi adalah tindakan pada saat ini (presentness) tetapi juga mengikut sertakan iring-iringan tradisi dan momen-momen sejarah , terutama melalui bahasa. Bahasa bukanlah instrument komunikasi yang netral, tetapi bahasa merupakan produk cultural yang melewati perjalanan sejarah yang sangat panjang. Saat melalui sejarah itulah bahasa menjadi sesuatu yang permeable terhadap peristiwa-peristiwa sosial disekitarnya terutama pertarungan antar kuasa yang mengepungnya. Belum lagi tradisi yang masih hidup dan menyertai secara sadar maupun tidak sadar kehadiran interpretan. Semua hal ini membentuk episteme yang dipakai interpretan dalam membaca teks keagamaan.

(19)

Karena itulah tugas kita untuk tidak mempercayai secara mentah-mentah setiap wacana/diskursus/ narasi kebenaran yang ditawarkan kepada kita walaupun itu atas nama agama ataupun Tuhan. Disinilah letak urgensi kritik kebenaran agama dan kritik teks agama untuk menyingkap kembali kebenaran yang tidak terungkap karena tertutupi oleh kebenaran yang telah mapan.

Salah satu modus yang mempunyai hasrat yang kuat untuk memapankan wacana kebenaran tertentu adalah penafsiran yang tekstual dan rigid. Seakan-akan semakiin tekstual seseoarang dalam membaca teks kegamaan semakin dekat dia dengan makna sejati teks tersebut, semakin dekat seseoarang dengan makna sejati sebuah teks semakin dekat dia dengan Tuhan sehingga semakin tekstual dan rigid seseoarang dalam penafsiran semakin dekat dia dengan Tuhan. Sehingga perlu mendekonstruksi produk-produk penafsiran yang literalis, untuk apa? Untuk membuka potensi makna yang selama ini terkungkung atas nama huruf.

Ada beberapa alasan untuk melakukan Dekonstruksi terjadap tafsir yang bersifat tekstual dan rigid. Pertama. Wahyu Tuhan Turun dalam lokalitas tertentu sedangkan audiens yang membaca dan menafsir wahyu Tuhan terus mengalami perkembangan terus menerus, jika penafsiran dengan model literalis tetap dipaksakan untuk menjembatani antara Wahyu Tuhan dengan audiens yang berubah, maka itu sama saja kita menafikan adanya perubahan-perubahan sosiokultur audiens wahyu. Antara wahyu Tuhan yang turun dalam lokalitas tertentu dengan audiens yang berkembang setiap hari terdapat gap sisokultur yang setiap saat semakin menganga, maka satu-satunya cara untuk menjembatani adalah dengan melakukan trilogy pemahamn terhadap wahyu yaitu kontekstualisasi, dekontekstualisasi dan rekontekstualisasi.

(20)

tetapi dalam bentuk inspirasi-inspirasi menggairahkan dan segar yang harus dibahasakan ulang sesuai dengan konteks kemanusiaan kontemporer.

Alasan ketiga adalah merebaknya sakralisasi bahasa agama. Bahasa agama yang dimaksud disini bukan hanya Al-Qur’an dan Sunnah yang berbahasa Arab tetapi juga tafsir-tafsir yang mengorbit disekitarnya. Walaupun tafsir merupakan teks keagamaan yang muncul belakangan dalam sejarah Islam tetapi tafsir akan memberikan frame kepada umat dalam menghadapi teks suci, bahkan kedudukan kitab tafsir sebagai teks sekunder posisinya menjadi teks primer, inilah yang disebut dengan sakralisasi bahasa agama. Maka desakralisasi yang pelu dilakukan, desakralisasi adalah usaha untuk mempertegas bahwa produk-produk tafsir terhadap wahyu sifatnya historis dan local serta tidak bisa dijadikan referensi kebenaran yang mutlak.

Alasan keempat, kita harus tahu saat terjadi notulensi atau penulisan wahyu Tuhan dalam bentuk Mushaf maka terjadi reduksi nuansa saat Tuhan berinteraksi dengan sejarah kemanusiaa. Untuk mengatasi reduksi tersebut kita tidak bisa menggunakan modus tafsir yang tekstual dan rigid , tetapi hanya bisa dengan bentuan sejarah, analisa sosiologis untuk bisa merekonstruksi bagaimana setting tektonik sosiokultur saat wahyu turun.

Akhir Wacana

(21)

Referensi

Dokumen terkait

Praktik Kerja Lapangan (PKL) disusun bersama antara sekolah dan Institusi Pasangan (Duni kerja/DUDI) dalam rangka memenuhi kebutuhan peserta didik, sekaligus merupakan

keuntungan yang dapat diambil dari terciptanya situasi diskusi di rumah antara lain; memperluas wawasan anak, melatih menyampaikan gagasan dengan baik, terciptanya saling

Forgiveness merupakan proses pengolahan emosional dan kognitif individu yang disakiti oleh pelaku yang telah melakukan suatu pelanggaran (dalam hal ini

2006 Tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan

[r]

bola agak teguh, dapat dibentuk gulungan yang agak mudah hancur. Lempung liat berpasir : rasa halus dengan sedikit bagian agak

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan metode regresi data panel mengenai pengaruh PDRB Perkapita, Jumlah Wajib Pajak dan Inflasi terhadap