• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Enright (2001), mengatakan bahwa forgiveness sebagai suatu bentuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. Enright (2001), mengatakan bahwa forgiveness sebagai suatu bentuk"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

A. Forgiveness

1. Definisi Forgiveness

Enright (2001), mengatakan bahwa forgiveness sebagai suatu bentuk kesiapan melepas hak yang dimiliki seseorang untuk meremehkan, menyalahkan dan membalas dendam terhadap pelaku yang telah bertindak tidak benar terhadap dirinya, dan diwaktu yang bersamaan mengembangkan kasih sayang dan kemurahan hati. McCullough, Bono & Root (2007), mengemukakan bahwa forgiveness merupakan kesediaan untuk menanggalkan kekeliruan masa lalu yang menyakitkan, tidak lagi mencari-cari nilai di dalam amarah dan kebencian, serta menepis keinginan untuk menyakiti orang lain maupun diri sendiri. Forgiveness didefinisikan sebagai sikap untuk mengatasi hal-hal yang negatif dan penghakiman terhadap orang yang bersalah dengan tidak menyangkal rasa sakit itu sendiri tetapi justru merasa kasihan, iba dan cinta kepada pihak yang menyakiti.

Forgiveness adalah proses kesembuhan dari ingatan yang terluka, bukan menghapuskan. Forgiveness diartikan sebagai cara mengatasi hubungan yang rusak dengan dasar prososial (Soesilo, 2006). Menurut Hadriani (2008),

(2)

forgiveness adalah kesediaan dari pihak yang dicederai untuk memberikan maaf atau memaafkan pihak yang telah mencederai.

Forgiveness merupakan kesediaan untuk menanggalkan kekeliruan masa lalu yang menyakitkan, tidak lagi mencari-cari nilai dalam amarah dan kebencian dan menepis keinginan untuk menyakiti orang lain atau diri sendiri. Forgiveness merujuk pada terlepasnya seseorang dari kemarahan terhadap panca indera, serta kesembuhan terhadap luka-luka hati dan tidak ada balas dendam. Ada unsur melepaskan diri kemarahan (afeksi) dan tercipta kembali hubungan, yang berarti adanya rekonsiliasi dengan munculnya kepercayaan, sembuhnya luka, dan kehilangan motivasi balas dendam, yang berarti forgiveness tidak hanya terjadi ditahap afeksi, tetapi juga ditahap perilaku dimana individu yang tersakiti berani membangun kembali hubungan dengan situasi yang positif.

Forgiveness merupakan integrasi dari aspek perilaku, kognisi, dan apeksi sehingga merupakan suatu proses atau hasil dari suatu proses yang melibatkan perubahan emosi dan sikap terhadap pelaku kejahatan. Forgiveness dilakukan secara sengaja dan sukarela yang didorong oleh kepuasan untuk memaafkan (Robert, 1989). Forgiveness bisa menurunkan niat untuk membalas dendam serta mengubah emosi negatif menjadi sikap postitif. Dalam setiap peristiwa, forgiveness terjadi karena orang yang tersakiti ingin mendapat perlakuan dan perasaan jiwa yang lebih baik dan bahagia (Kaminer, Stein, Mganga & Zungu, 2000). DiBlasio (1998) mengartikan forgiveness sebagai pengambilan keputusan dan kemauan yang kuat untuk melepaskan perasaan dengki serta jahat terhadap pelaku kejahatan.

(3)

Ransley & Spy (2004), menjelaskan bahwa forgiveness merupakan satu tindakan yang aktif untuk memperbaiki dan melanjutkan hubungan yang harmonis. Pada pasangan yang mengalami perselingkuhan dalam rumah tangganya, forgiveness dalam konteks pasangan suami-istri dikatakan sebagai suatu proses yang meliputi partisipasi atau peran dari kedua belah pihak. Individu yang bersalah perlu mengungkapkan kesedihan dan penyesalan yang dalam atas apa yang telah dilakukannya, dan individu yang tersakiti perlu terbuka dengan mengungkapkan perasaan-perasaannya untuk dapat memaafkan dan melepaskan rasa dendam. Agar tercipta perkawinan yang kokoh dan langgeng maka setiap kesalahan yang telah dilakukan oleh salah satu pasangannya diharapkan untuk segera memperbaiki hubungannya dengan cara melakukan forgiveness agar tercipta kembali suatu hubungan yang harmonis. McCullough, Bono & Root (2007), mengasumsikan bahwa rasa dendam dihubungkan dengan kemarahan, kaitannya dalam sebuah perkawinan jika tercipta adanya kemarahan maka pasangan suami istri lebih banyak melakukan penghindaran agar tercipta rasa aman dari pasangannya tersebut dan adanya balas dendam agar pasangan yang telah menyakiti hatinya merasakan seperti apa yang telah dirasakannya.

Berdasarkan berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa forgiveness adalah proses untuk mengurangi hal yang bersifat negatif kearah yang lebih positif guna mengurangi adanya niat dari individu yang tersakiti untuk melakukan balas dendam. Bagi pasangan suami-istri tindakan balas dendam merupakan tindakan yang akan mengarahkan pada kehancuran dalam perkawinan

(4)

sehingga hal negatif (balas dendam), hendaknya dialihkan pada hal yang bersifat lebih positif yaitu dengan melakukan forgiveness.

2. Aspek-aspek Forgiveness

Forgiveness memiliki beberapa aspek yang terkandung didalamnya. Dari pengertian forgivemess yang dikemukakan oleh McCollough (2002), aspek-aspek tersebut antara lain;

a. Avoidance Motivation

Semakin menurun motivasi untuk membalas dendam terhadap suatu hubungan mitra, membuang keinginan untuk membalas dendam terhadap orang yang telah menyakitinya

b. Revenge Motivation

Semakin menurun motivasi untuk menghindari pelaku, membuang keinginan untuk menjaga kerenggangan (jarak) dengan orang yang telah melukai perasaannya

c. Beneviolence Motivation

Semakin termotivasi oleh niat baik dan keinginan untuk berdamai dengan pelaku meskipun pelanggarannya termasuk tindakan berbahaya, keinginan untuk berdamai atau melihat well-being orang yang telah melukai hatinya

Menurut Ransley (2004), mengemukakan pendapatnya bahwa dalam forgiveness memiliki 3 (tiga) aspek yaitu;

(5)

a. Proses intra subyektif

Meliputi partisipasi yang utuh dari dua pihak secara aktif mencari dan disambut baik oleh kedua pihak

b. Pilihan untuk melepaskan kemarahan Melepaskan energi negatif yaitu kemarahan c. Melepaskan balas dendam

Meskipun sebenarnya individu yang tersakiti punya hak unruk melakukan balas dendam tetapi individu yang tersakiti memilih memberikan hadiah berupa kasihan yang sebenarnya tidak berhak diterima panca indera.

Sedangkan Baron & Byrne (2005), menguraikan bahwa aspek-aspek forgiveness yang tertinggi adalah persetujuan dan kestabilan emosi. Persetujuan adalah kecenderungan untuk percaya kepada orang lain dan ingin membantu, sedangkan kestabilan emosi adalah menunjukan sikap tidak mudah tersinggung terhadap tingkah laku negarif yang muncul dari orang lain.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Individu Melakukan Forgiveness

Menurut McCollough (2002), faktor yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan forgiveness, adalah;

a. Empati dan Perspektif Taking

Empati dan perspektif taking memudahkan seseorang berperilaku prososial seperti kesediaan untuk menolong orang lain dan memaafkan. Empati

(6)

afektif pada orang yang menyakiti tampaknya menjadi determinan sosial kognitif perilaku memaafkan seseorang. Ketika orang yang menyakiti meminta maaf atas kesalahannya, orang yang disakiti cenderung merasa emapti sehingga akhirnya memaafkan meskipun tidak dinyatakan secara verbal. Kemampuan menggunakan perspektif orang lain (perspektif taking) juga berperan dalam membangun empati, dimana individu yang tersakiti diajak untuk menggunakan perspektif orang yang telah menyakiti dengan mengingatkan individu yang tersakiti pada kesalahan-kesalahn yang pernah dilakukannya.

b. Atribusi Terhadap Pelaku Dan Kesalahannya

Penilaian akan mempengaruhi setiap individu. Artinya bahwa setiap perilaku itu ada penyebabnya dan penilaian dapat mengubah perilaku individu

c. Tingkat Kelukaan

Beberapa orang menyangkasakit hati yang mereka rasakan untuk mengakuinya sebagai sesuatu yang sangat menyakitkan. Mereka merasa takut mengakui rasa sakit hatinya karena dapat mengakibatkan mereka membenci orang yang sangat dicintainya, meskipun melukai. Hal ini sering kali menimbulkan kesedihan yang mendalam maka pemaafan tidak bisa atau sulit terwujud

d. Karakteristik Kepribadian

Ciri kepribadian tertentu seperti extrovet menggambarkan beberapa karakter seperti bersifat sosial, keterbukaan, ekspresif dan asertif. Karakter

(7)

yang hangat, kooperatif, tidak mementingkan diri, menyenangkan, jujur, dermawan, sopan dan fleksibel juga cenderung menjadi emapti dan bersahabat

e. Kualitas Hubungan

Seseorang yang memaafkan kepada pihak lain dapat dilandasi oleh komitmen yang tinggi pada relasi mereka. Ada 4 (empat) alasan mengapa kualitas hubungan berpengaruh terhadap perilaku memaafkan dalam hubungan interpersonal, yaitu; pertama, mempunyai motivasi yang tinggi untuk menjaga hubungan; kedua, adanya orientasi jangka panjang dalam menjalin hubungan; ketiga, dalam kualitas hubungan yang tinggi masing-masing individu adanya kepentingan satu orang dan kepentingan menyatu; keempat, kualitas hubungan mempunyai orientasi kolektivitas yang menginginkan pihak-pihak yang terlibat untuk berperilaku yang memberikan keuntungan di antara mereka

Menurut Worthington (1999), faktor-faktor yang mempengaruhi individu melakukan forgiveness adalah;

a. Kecerdasan Emosi

Adalah kemampuan untuk memahami keadaan emosi diri sendiri dan orang lain. Mampu mengontrol emosi, memanfaatkan emosi dalam membuat keputusan, perencanaan dan memberikan motivasi

(8)

Dimana respon pelaku meminta maaf dengan tulus atau menunjukan penyesalan yang dalam. Permintaan maaf yang tulus akan berkorelasi positif dengan forgiveness

c. Munculnya Empati

Empati adalah kemampuan untuk mengerti dan merasakan pengalaman orang lain tanpa mengalami situasinya. Empati menengahi hubungan antara permintaan maaf dengan forgiveness. Munculnya empati ketika si pelaku meminta maaf sehingga mendorong korban untuk memaafkannya d. Kualitas Hubungan

Forgiveness paling mungkin terjadi pada hubungan yang dicirikan oleh kedekatan, komitmen dan kepuasan. Forgiveness juga berhubungan positif dengan seberapa penting hubungan tersebut antara pelaku dan korban e. Rumination (Merenung dan Mengingat)

Semakin sering individu merenung dan mengingat-ngingat tentang peristiwa dan emosi yang dirasakan akan semakin sulit forgiveness terjadi. Rumination dan usaha menekan dihubungkan dengan motivasi penghindaran (avoidance) dan membalas dendam (revenge)

f. Komitmen Agama

Pemeluk agama yang komitmen dengan ajarannya akan memiliki nilai tinggi pada forgiveness dan nilai rendah pada unforgiveness

(9)

Sifat pemarah, pencemas, introvert dan kecenderungan merasa malu merupakan faktor penghambat munculnya forgiveness. Sebaliknya sifat pemaaf, extrovert merupakan faktor pemicu terjadinya forgiveness.

4. Tahapan-tahapan Individu Dalam Melakukan Forgiveness

Enright (2001), menyatakan dalam melakukan forgiveness dianggap sebagai bangunan multidimensi yang menggabungkan aspek kognitif, afektif dan behavioral. Tahapan-tahapan ini tidak dilihat sebagai suatu urutan yang bertingkat dan kaku, namun merupakan serangkaian proses yang luwes dan fleksibel dengan putaran maju (feddback loops) dan putaran mundur (feed-forward loops) yang disertai dengan perubahan sikap. Jadi menurut Enright beberapa tahapan ini bisa dilalui individu secara berurutan, melompat-lompat tidak beraturan, atau bahkan kembali menjalani tahapan yang telah dialami sebelumnya. Hal ini dapat terjadi karena adanya berbagai cara dan perbedaan individu dalam melakukan forgiveness.

Enright mengelompokan 20 (dua puluh) tahapan forgiveness kedalam 4 fase, yaitu; (1) fase mengungkap (uncovering); (2) fase memutuskan (decision); (3) fase bekerja/proses (work) dan; (4) fase hasil (deepening). Berikut adalah variabel tahapan psikologis yang mungkin terjadi ketika seseorang melakukan forgiveness.

(10)

Tabel 1. Tahapan Forgiveness menurut Enright (2001)

Fase Mengungkap

1. Pemerikasaan terhadap pertahanan diri secara psikologis

2. Berkonfrontasi dengan kemarahan (intinya adalah melepaskan amarah, bukan menyembunyikan)

3. Mengakui adanya rasa malu

4. Kesadaran untuk melakukan katarsis (pelepasan emosi)

5. Adanya kesadaran bahwa individu yang tersakiti telah berulangkali mengingat peristiwa yang menyakitkan

6. Pihak individu yang tersakiti membandingkan dirinya dengan pelaku kejahatan

7. Menyadari adanya perubahan secara permanen pada dirinya akibat dari perbuatan yang menyakitkan tersebut

8. Pandangan individu yang tersakiti tentang makna keadilan telah berubah

Fase Memutuskan

9. Perubahan dalam hati, adanya wawasan baru karena strategi yang lama ternyata tidak menunjukan hasil

10. Kesediaan untuk mempertimbangkan maaf sebagai hal yang akan dipilih 11. Komitmen untuk memaafkan pelaku kejahatan

(11)

Fase Bekerja/Berproses

12. Reframing, mencoba memandang pelaku kejahatan dengan cara pandang yang baru mengenai siapa dirinya dengan cara memandang melalui konteks si pelaku dengan memposisikan dirinya sebagai si pelaku kejahatan

13. Empati terhadap pelaku

14. Kesadaran akan munculnya belas kasihan kepada pelaku kejahatan

15. Penerimaan dan penyerapan terhadap rasa sakit dan dipandang sebagai makna sesungguhnya dari forgiveness terhadap luka yang dialami

Fase Hasil

16. Menemukan makna bagi diri dan orang lain dalam proses forgiveness 17. Kesadaran bahwa individu yang tersakiti juga membutuhkan maaf dari

orang lain pada masa lalu

18. Menyadari bahwa dirinya tidak sendiri (perlu ada dukungan)

19. Menyadari adanya tujuan baru dalam hidup karena peristiwa yang telah dialami

20. Munculnya kesadaran bahwa perasaan negatifnya telah berganti dengan perasaan yang lebih positif.

(12)

Fase pertama atau fase mengungkap menjelaskan tentang munculnya keasadaran individu atas masalah dan luka yang terjadi pada mereka. Seseronag yang memaafkan bisa saja tetap mengingat-ngingat peristiwa kelam yang menyakitkan tersebut. Tetapi dia cenderung untuk mengingat peristiwa traumatis itu dalam keadaan yang lebih ikhlas dan lapang dada. Seseorang dapat saja mengingat dan terus memikirkan peristiwa traumatis tersebut namun dengan cara yang berbeda, dan tidak terus menerus dengan amarah yang mendalam. Untuk melakukan forgiveness, individu harus mampu memahami dan mengevaluasi seberapa besar amarahnya sebagai akibat dari suatu ketidakadilan yang terjadi padanya. Meski hal itu terasa menyakitkan, namun individu harus jujur dengan dirinya sendiri.

Fase kedua atau fase memutuskan merupakan fase yang dianggap sebagai bagian penting dari proses forgiveness. Individu dapat mengambil keputusan kognitif untuk melakukan forgiveness, sekalipun ia tidak memaafkan pada waktu tersebut. Individu yang tersakiti menyadari jika ia terus menerus mengingat ‘luka’ maka hanya akan menghasilkan penderitaan tanpa akhir dan merugikan dirnya sendiri. Karena pentingnya fase ini sebagai bagian dari proses forgiveness, fase ini dibagi ke dalam 3 (tig) bagian, yaitu; meninggalkan masa lalu, memandang ke masa depan, dan memilih jalan dari memaafkan.

Fase ketiga atau fase bekerja/berproses menjelaskan bahwa individu membuat sebuah komitmen untuk tidak memberikan luka dan rasa sakit kepada orang lain, termasuk kepada pelaku kesalahan itu sendiri. Hanya membuat keputusan untuk memaafkan saja tidaklah cukup. Individu perlu mengambil

(13)

tindakan konkrit untuk mewujudkan maaf yang mereka lakukan menjadi kenyataan. Fase ini mencapai puncaknya dengan memberikan hadiah moral (moral gift) berupa pemberian maaf kepada pelaku. Pada tahap ini, individu yang tersakiti merubah persepsi dan sikapnya terhadap pelaku utnuk mulai memperbaiki relasi sosialnya dengan pelaku.

Fase keempat atau fase hasil menggambarkan bahwa individu mulai menemukan makna dan mungkin sebuah harapan baru sebagai akibat dari penderitaannya dan proses forgiveness. Dengan menemukan makna positif dalam kejadian-kejadian yang sebelumnya dipandang negatif, orang yang melakukan forgiveness akan melepaskan kebencian dan dapat menemukan tujuan hidup yang baru. Hal ini memungkinkan regulasi emosi yang sehat dan evaluasi ulang mengenai diri sendiri sebagai orang yang tersakiti. Keseluruhan proses ini dapat mengarah pada meningkatnya kesehatan psikologis. Pada fase terakhir ini, individu yang tersakiti bisa mengalami paradox of forgiveness (dengan memberikan kebaikan dan kemurahan hati untuk memaafkan orang lain).

Everette Worthington (2005), menyebutkan hal yang berbeda tentang tahapan dalam melakukan forgiveness. Worthington membuat suatu model piramida forgiveness yaitu; (R-E-A-C-H), yang meliputi 5 (lima) tahap, yaitu;

(1) mengingat kembali luka yang terjadi untuk menjadi lebih baik

(2) berempati kepada pelaku kejahatan, termasuk melakukan refleksi diri dan melihat kesalahan diri sendiri

(14)

(3) memiliki altruisme – mementingkan kepentingan orang lain dalam melakukan forgiveness

(4) berkomitmen untuk melakukan forgiveness

(5) berada ditengah-tengah, sekaligus tetap merenung dan memikirkan untuk melakukan forgiveness.

Gambar 1. Model Tahapan Forgiveness menurut Worthington (1999) Hold on to forgiveness Commit publicly to forgiveness Altruistic giving of forgiveness Empathize

(15)

Sedangkan Smedes (1991), memaparkan 4 (empat) tahapan individu dalam melakukan forgiveness, yaitu;

(1) Mengobati Sakit Hati

Sakit hati yang dibiarkan berarti merasakan sakit tanpa mengobatinya, sehingga lambat laun akan menggerogoti kebahagiaan dan ketentraman. (2) Meredakan Kebencian

Dengan berusaha memahami alasan orang lain menyakiti atau mencari dalih baginya atau intropeksi sehingga dapat menerima perlakuan yang menyakitkan maka akan berkurang atau kebencian hilang.

(3) Upaya Penyembuhan Diri

Apabila dapat membebaskan orang lain dari kesalahannya dan melihat si pelaku sebagai orang yang punya kekurangan, maka akan membuat korban melihat masa depannya dengan melepaskan orang lain dari masa lalunya, asumsinya forgiveness adalah melepaskan orang yang bersalah kepada dirinya dan berdamai dengan diri sendiri.

(4) Berjalan Bersama

Menjalin hubungan yang lebih baik dan menanamkan rasa saling percaya bahwa kesalahan di masa lalu tidak akan terjadi lagi.

Proses forgiveness adalah proses yang berjalan perlahan dan memerlukan waktu yang cukup panjang. Semakin parah rasa sakit hati individu yang tersakiti maka semakin lama pula waktu yang dibutuhkan untuk memberikan forgiveness. Kadang-kadang individu yang tersakiti melakukannya dengan perlahan-lahan

(16)

sehingga melewati garis batas tanpa menyadari bahwa dia sudah melewatinya. Proses forgiveness juga dapat terjadi ketika pihak yang disakiti mencoba mengerti kenapa hal itu terjadi bersama-sama dengan upaya meredakan kemarahan

(Smedes, 1991).

5. Faktor-faktor Penghambat Individu Dalam Melakukan Forgiveness

Exline, Yali & Lobel (1999), mengkaji berbagai hal yang menghambat seseorang untuk melakukan forgiveness, yaitu;

a. Rendahnya sifat pada diri individu untuk mau melakukan forgiveness. b. Individu yang memiliki pola kepribadian tertentu, misalnya perilaku

narsistik (orang yang bisa menghalangi sikap memaafkan karena terbiasa memfokuskan pada diri sendiri, mementingkan harga diri, dan selalu menghitung untung-rugi) dan mereka yang memiliki kepribadian pride (bangga terhadap diri sendiri). Individu yang tersakiti merasa harga dirinya menjadi rendah dan bodoh ketika melakukan forgiveness.

c. Individu yang memiliki pola kognitif tertentu, kecenderungan untuk membenarkan tindakan diri sendiri bisa menurunkan rasa empati pada orang lain.

d. Adanya rasa takut dan khawatir jika pelaku akan mengulangi kejahatannya kembali. Rasa takut ini dialami karena korban merasa sulit untuk mempercayai yang lain, apalagi mereka yang telah mengalami luka dan viktimisasi berulang kali dan begitu mendalam.

(17)

Fagenson & Cooper (1987), mengemukakan hambatan dalam melakukan forgiveness bisa terjadi karena individu yang tersakiti takut jika dianggap lemah oleh orang lain. Forgiveness memerlukan pengendalian diri yang luar biasa, sehingga ketika individu yang tersakiti tidak mampu melakukan forgiveness dan memiliki keinginan yang kuat untuk marah dan membalas dendam, maka hal ini akan lebih memungkinkan untuk dilakukan. Menurutnya, tindakan melakukan forgiveness akan dianggap bisa mengarah pada kelemahan.

Enright (2001), menyatakan hambatan dalam melakukan forgiveness dapat terjadi ketika ketika individu memiliki keyakinan bahwa keadilan tidak akan terwujud. Beberapa orang mungkin enggan untuk mengungkapkan maaf karena mereka percaya bahwa memaafkan berarti melanggar aturan keadilan. Melepaskan pelaku kejahatan dari hukuman akan mengusik rasa keadilan apalagi jika individu yang tersakiti tampak menderita kerugian yang besar. Mereka yang lebih berorientasi pada masalah keadilan daripada masalah relasional (misalnya, harmoni, empati, belas kasihan) cenderung untuk menolak melakukan forgiveness.

McWilliams (1994), berpendapat bahwa kehilangan manfaat berstatus sebagai individu yang tersakiti dijadikan pembenaran untuk menuntut permintaan maaf dan ganti rugi, atau bahkan untuk menghukum pelaku. Orang-orang yang melabeli dirinya sebagai korban atau orang yang tersakiti dapat membenarkan sikap dan perilaku marah mereka, sehingga mereka bisa berkuasa tehadap orang lain. Dan pada akhirnya yang dilihat sebagai korban atau orang yang tersakiti juga dapat menjadi alat yang efektif untuk memunculkan dukungan dan simpati dari

(18)

orang lain. Karena itu tidak mengherankan bahwa sebagian orang akan merasa sulit untuk melakukan forgiveness.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan faktor-faktor yang menghambat individu yang tersakiti gagal dalam melakukan forgiveness, adalah;

a. Menuntut keuntungan dan manfaat

b. Menghindari munculnya kembali peristiwa yang menyakitkan c. Penderitaan diri yang masih dirasakan

d. Harga diri dan dendam

e. Penolakan terhadap sebuah prinsip (nilai, moral atau adat istiadat)

6. Jenis-jenis Forgiveness

Zechmeister & Romero (2002), menjelaskan 5 (lima) jenis forgiveness, adalah sebagai berikut;

(1) Total Forgiveness

Jenis forgiveness ini melibatkan antara kondisi intrapsikis dan interpersonal. Individu yang tersakiti berhasil menghilangkan perasaan negatifnya sekaligus membebaskan pelaku dari perasaan bersalah dengan menunjukan emosi-emosi positif, sehingga kemungkinan hubungan antar pribadi seperti pada kondisi semula sebelum terjadi kesalahan.

(2) True Forgiveness

Pilihan yang disadari dimana individu membebaskan diri dari keinginan

untuk membalas dendam karena kejadian menyakitkan dan

(19)

(3) Silent Forgiveness

Jenis forgiveness ini, individu yang tersakiti berhasil mengurangi bahkan menghilangkan perasaan-perasaan negatif terhadap pelaku, namun tidak mengungkapkan dan mengekspresikan melalui tindakan. Dengan demikian, individu yang tersakiti membiarkan pelaku tetap merasa bersalah dan kemungkinan perilaku individu yang tersakiti tetap memberi kesan bahwa pelaku berada pada pihak yang bersalah. Individu yang tersakiti belum dapat menunjukan perilaku positif.

(4) Hollow Forgiveness

Forgiveness ditujukan dengan perilaku, namun secara mental tidak mengakui. Individu masih menyimpan perasaan negatif karena peristiwa menyakitkan yang dialami sehingga sulit untuk melepaskan emosi-emosi negatif. Forgiveness ini termotivasi oleh keinginan individu yang tersakiti untuk memenuhi perannya dalam kehidupan sosial. Serta individu yang tersakiti bersedia memaafkan agar dapat merasa superior secara moral atau agar dapat menguasai pihak yang melakukan kesalahan.

(5) No Forgiveness

Tidak ada forgiveness baik secara interpersonal maupun intrapsikis. Kondisi ini disebut total grudge combination yang berarti korban gagal untuk memaafkan pelaku.

(20)

7. Manfaat Forgiveness

Rasa marah kronis dan permusuhan dihubungkan dengan penurunan fungsi kekebalan tubuh, depresi, penyalahgunaan zat, status kesehatan yang buruk (Zechmeister, 2002), tingginya tekanan darah dan masalah jantung (Enright, 2001). Lucia (2005), juga mengatakan bahwa setiap kali seseorang merasa tidak memaafkan, ia menjadi lebih beresiko terkena masalah kesehatan.

Di sisi lain forgiveness dapat menurunkan kecemasan (anxiety) dan depresi, serta bermanfaat bagi kesehatan fisik (Enright, 2001). Forgiveness dapat mengurangi resiko terkena masalah jantung serta mengurangi permusuhan dan distress yang dirasakan seseorang (Lucia, 2005). Forgiveness juga bermanfaat sebagai mekanisme penyembuhan dan resiliensi terhadap trauma, orang yang forgive lebih mungkin mempunyai hubungan romantis dan persaudaraan yang stabil dari pada orang yang unforgive (Worthington, 1999).

Worthington (2005), forgiveness secara kesehatan memberikan keuntungan secara psikologis dan merupakan terapi yang efektif dalam intervensi yang membebaskan seseorang dari kemarahannya dan rasa bersalah. Selain itu juga dapat mengurangi rasa marah, depresi dan cemas. Fincham (2002), forgiveness dalam hubungan interpersonal yang erat memberikan pengaruh terhadap kebahagiaan dan kepuasan hubungan. Sedangkan menurut Enright (2001), forgiveness dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis karena dengan forgiveness seseorang dapat melepaskan perasaan marah, mengubah

(21)

pemikiran destruktif menjadi pemikiran yang lebih baik terhadap orang yang telah menyakitinya.

Perasaan dendam dan sakit hati dalam suatu hubungan intim atau hubungan dekat dengan orang lain dapat mengganggu hubungan tersebut. Melepas rasa tidak senang dan usaha untuk forgive merupakan satu hal yang penting untuk mempertahankan kedekatan dan hubungan intim dengan orang lain (Corey & Corey, 2006). Konstam (2000), memiliki fisik, emosi dan sosial yang sehat menuntun seseorang ke arah hidup yang lebih bahagia, selain dapat

memperbaiki hubungan interpersonal, forgiveness dapat meningkatkan

kesejahteraan (well-being). Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan manfaat forgiveness secara kesehatan memberikan keuntungan secara psikologis dan merupakan terapi yang efektif dalam intervensi yang membebaskan seseorang dari kemarahannya dan rasa bersalah. Selain itu juga dapat mengurangi rasa marah, depresi dan cemas.

B. Perselingkuhan

1. Definisi Selingkuh

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Tahun 1991, selingkuh adalah tidak berterus terang; tidak jujur; suka menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan sendiri; curang; serong. Perselingkuhan dalam bahasa Inggris disebut affair. Dalam kamus Oxford Learner’s Pocket Dictionary (2003), affair diartikan; Sexual relation between two people, when one of them is married to somebody

(22)

else. Secara umum dapat diterjemahkan bahwa perselingkuhan adalah hubungan seksual dua orang dimana salah satunya telah menikah dengan orang lain.

Perselingkuhan merupakan hubungan antara seseorang yang sudah menikah dengan orang lain yang bukan merupakan suami/istri yang sah. Hubungan tersebut dapat terbatas pada hubungan emosional yang sangat dekat atau juga melibatkan hubungan seksual. Glass & Staeheli serta Subotnik & Harris (dalam Ginanjar, 2009), mengemukakan bahwa terdapat tiga komponen dari perselingkuhan emosional, yaitu; keintiman emosional, kerahasiaan, dan sexual chemistry. Jadi walaupun hubungan yang terjalin tidak diwarnai oleh hubungan seks, namun tetap membahayakan keutuhan perkawinan karena hubungan ini dapat menjadi lebih penting dari pada perkawinan itu sendiri.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa perselingkuhan adalah merupakan suatu hubungan emosional maupun seksual pada orang yang sudah menikah dengan orang lain di luar perkawinannya, yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena merupakan perbuatan yang melanggar komitmen terhadap pasangan sahnya.

2. Alasan-alasan Individu Melakukan Perselingkuhan

Ghozally (2005), memaparkan sebagian orang melakukan perselingkuhan adalah untuk menghindari kegagalan, merasa tidak dihargai oleh pasangan sahnya, mengalami kebosanan dalam kehidupan perkawinannya, adanya kesempatan, karena dendam pada pasangan sahnya, atau karena masalah seks yang tidak memuaskan.

(23)

Menurut Satiadarma (2001), perselingkuhan terjadi karena beberapa alasan, antara lain adalah;

a. Alasan Psikofisik

Adalah keterpikatan fisik yaitu menggugah untuk melakukan pendekatan dengan orang lain. Mulai dari paras, bentuk tubuh, tatapan mata, nada bicara, gerakan tubuh hingga cara berpakaian dan kebutuhan biologis yaitu senantiasa mencari pemenuhan , seperti makan, minum, bernafas dan seks. b. Alasan Sosial

Adalah masalah kultural yaitu pengaruh tradisi masa lampau, seperti wanita yang merelakan suaminya melakukan hubungan seksual di lusr nikah betapun ia merasa sakit hati, pengaruh perbedaan kelas sosial, agama dan kebiasaan, desakan ekonomi dan pengaruh teman.

c. Alasan Psikologis

Adalah masalah kepribadian seperti desakan kebutuhan tertentu yang tidak dapat dipenuhi bersama pasangan sahnya tetapi berpeluang untuk dipenuhi dari luar hubungan perkawinannya. Adanya kebutuhan akan pujian, kasih sayang, komunikasi, dukungan keluarga, tekad kebersamaan keluarga, dukungan keuangan, kejujuran dan keterbukaan, penampilan fisik, kebersamaan, dan kebutuhan seksual. Alasan psikologis lainnya adalah adanya tekanan yang menggugah munculnya dorongan kebutuhan kepermukaan, membangkitkan seseorang berperilaku tertentu ke suatu arah tertentu, adanya reduksi tegangan yang terjadi apabila seseorang membutuhkan sesuatu tetapi tidak diperoleh. Ketegangan dapat pudar

(24)

apabila sesuatu diperoleh sesuai kebutuhan. Dinamika psikologis ketegangan yang terjadi dari dorongan kebutuhan yang dimilki, berperan besar dalam membentuk perilaku, sehingga apabila tidak terpenuhi maka dapat terjadi usaha mencari pemuasan kebutuhan di tempat lain. Dan aspek moral, sifatnya yang relatif membuat perselingkuhan tetap berlangsung. Seperti terjadi pada masyarakat kota yang memandang sesuatu dengan beragam penilaian.

Staheli (dalam Satiadarma, 2001), mengemukakan berbagai alasan yang dikemukakan sejumlah wanita yang berselingkuh tentang alasan perselingkuhan mereka, seperti meningkatnya rasa percaya diri ketika mereka diperhatikan laki-laki, adanya keinginan akan pengalaman seksual yang lebih luas yang tidak dibatasi oleh hanya satu pasangan saja, suatu keinginan mencari kedekatan emosioanal yang mereka harapkan dapat mereka peroleh dari orang lain, mengusir rasa kesepian yang mereka alami, keinginan mendapatkan kasih sayang, serta kegairahan yang ditimbulkan dari suatu hubungan perselingkuhan yang membuat mereka merasa diri menjadi lebih muda, dimana hal ini juga merupakan upaya menyangkal proses penuaan yang mereka alami.

3. Dampak Psikologis Dari Perselingkuhan

Spring (2006), menjelaskan bahwa perselingkuhan yang terjadi akan membawa dampak psikologis bagi pasangan yang telah dikhianati. Dampak psikologis tersebut adalah; kehilangan identitas diri, kehilangan rasa keistimewaan dalam diri, hilangnya harga diri karena telah mengorbankan

(25)

nilai-nilai yang dipercayai, hilangnya harga diri karena gagal menyadari kekeliruan yang telah terjadi, kehilangan kontrol atas pikiran dan perasaan, kehilangan perasaan aman dan keadilan, kehilangan kepercayaan agama dan Tuhan, kehilangan keterikatan dengan orang lain atau orang disekitar, dan kehilangan tujuan dan kemauan untuk hidup.

Pada saat pasangan yang telah menikah mengalami peristiwa perselingkuhan, mereka dihadapkan pada 2 (dua) pilihan yaitu berpisah atau tetap mempertahankan perkawinan mereka. Memepertahankan perkawinan berarti pasangan yang telah dikhianati bersedia melakukan forgiveness dan menerima kembali pasangan sahnya. Forgiveness merupakan proses pengolahan emosional dan kognitif individu yang disakiti oleh pelaku yang telah melakukan suatu pelanggaran (dalam hal ini perselingkuhan), sehingga emosi negatif yang muncul dapat diubah dalam bentuk perilaku yang positif, kebencian dan keinginan untuk membalas dendam terhadap pelaku hilang, serta adanya keinginan untuk tetap mempertahankan hubungan dengan orang yang telah menyakitinya (Gani 2011).

Gambar

Gambar 1. Model Tahapan Forgiveness menurut Worthington (1999) Hold on to forgivenessCommit publicly  to forgivenessAltruistic giving of forgivenessEmpathize

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan menurut Ahmadi (2004:127) mengemukakan belajar merupakan proses dari perkembangan hidup manusia. Dengan belajar, manusia melakukan perubahan-perubahan kualitatif

Belajar merupakan suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman

Peta SIPOC menurut Evans dan Lindsay (2007) memberikan garis besar elemen-elemen penting didalam suatu proses serta membantu menjelaskan siapa pelaku utama

Penelitian yang pernah dilakukan oleh Wiramiharja (2003:80) menemukan bahwa kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional yang lebih bersifat kognitif memiliki korelasi positif

6 S. Psikologi Kognitif Edisi Ke-Delapan. dicetak : PT.Gelora Aksara Pratama.. Pada penelitian ini, dalam memecahkan masalah pada tahap persiapan, siswa kemungkinan

Islam tempat penting tentang memaafkan individu sehingga seseorang dapat menerima pengampunan dari Allah atas dosa-dosa sendiri, dan dapat memiliki kebahagiaan pada

Health belief model adalah suatu model yang digunakan untuk menggambarkan kepercayaan individu terhadap perilaku hidup sehat, sehingga individu akan melakukan

Realitas subjektif, yaitu realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolik ke dalam individu melalui proses internalisasi..