10 A. Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian terhadap penanggulangan produk cacat pada perusahaan telah banyak dilakukan beberapa peneliti sebelumnya. Penelitian meliputi pencarian penyebab terjadinya produk cacat sampai prioritas perbaikannya. Terdapat tiga penelitian yang membahas tentang penanggulangan produk cacat sesuai dengan alat analisis yang akan digunakan.
Penelitian pertama yaitu dilakukan oleh Ibrahim Ghiffari pada tahun 2013 dengan topik mengurangi produk cacat di CV. Miracle Bandung.
Penelitian pertama mencari penyebab terjadinya kecacatan produk dengan metode Six sigma.. Nilai sigma sebelum penerapan adalah 1,3. Berdasarkan diagram sebab-akibat pada langkah analyze faktor manusia atau tenaga kerjanya adalah operator kurang disiplin dan sering kelelahan dalam bekerja, sehingga menurunkan ketelitian karyawan. Menurut faktor mesin produksinya terdapat perangkat yang harus diganti dan adanya kekurangan perangkat berupa mesin pengering. Tidak adanya SOP yang baku tentang penjemuran dan pengeringan menjadikan penyebab terjadinya masalah menurut metode produksinya. Pada bahan baku masih terdapat material yang dibawah standart perusahaan.
Setelah mendapatkan penyebab-penyebab terjadinya kecacatan produk dengan diagram sebab-akibat, penelitian berlanjut dengan menggunakan analisi FMEA untuk mencari prioritas perbaikan pada perusahaan. FMEA sendiri
masuk pada langkah improve dalam metode six sigma. Terdapat empat proses produksi yang bisa diperbaiki di dalam perusahaan. Perbaikan tersebut berupa proses penggunaan tiner, penyablonan, pengeringan dan penyimpanan. Nilai RPN yang tertinggi terdapat pada proses penjemuran, oleh karena itu pebaikan diprioritaskan pada proses penjemurannya dengan memberikan SOP yang jelas agar tidak terjadi perbedaan antar produk, atau produk cacat. Nilai sigma sebelum penerapan adalah 1,3 dan berubah menjadi 2,05 setelah melakukan penerapan Six sigma.
Hasil penelitian yang dilakukan Masoud Hekmatpanah untuk mengetahui penyebab masalah kerusakan pada Sepahan Oil Iran yang dilakukan pada tahun 2011. Penelitian menggunakan Six sigma sebagai langkah untuk meneliti kasus yang ada. Berdasarkan analisa diagram sebab-akibat pada langkah analyze, ditemukan bahwa masalah kecacatan pada produk menurut faktor materialnya berupa terdapatnya bahan baku seperti minyak mentah yang kotor.
Pada faktor lingkungan kerja adanya gangguan berupa listrik dan air yang sering terputus. Terdapat pemeliharaan pada bagian mesin yang kurang maksimal dan kurangnya pendingin pada mesin. Kurangnya pelatihan, ketelitian dan kedisiplinan pada faktor SDM nya. Setelah melakukan analisis penyebab masalah dengan diagram sebab-akibat, maka dilanjutakan pada pencarian prioritas perbaikan dengan menggunakan metode FMEA pada langkah improve.
Meurut analisis FMEA, RPN tertinggi terdapat pada proses pemotongan plat, kesalahan yang terjadi pada pemotongan plat yaitu perangkat yang tidak
disesuaikan dengan jenis plat karena kurangnya ketelitian operator. Perbaikan dioptimalakan dengan melalukan pengawasan yang lebih baik pada operator pemotongan plat agar tidak terjadi produk yang tidak seragam. Setelah melakukan tahapan Six sigma ditemukan perbedaan yang signifikan pada nilai sigmanya, yaitu 3,8 sebelum melakukan tahapan berubah menjadi 4,7 setelah melakukan tahapan sigma.
Pada penelitian Jiang Wan tahun 2013 yang meneliti tentang perbaikan kualitas produk pada W company. Pada tahapan pertama penelitian dilakukan dengan menggunakan diagram sebab-akibat untuk mencari akar penyebab terjadinya kecacatan produk. Pada faktor tenaga kerjanya masih terdapat karyawan yang belum memahami tentang IT dan kurangnya pelatihan. Adanya kesalahan dalam proses perekrutan tenaga kerja pada peusahaan. Setelah melakukan penelitian dengan menggunakan diagram sebab-akibat ditemukan akar masalah terbanyak pada sumber daya manusianya. Berlanjut pada penelitian dengan menggunakan metode FMEA. Prioritas perbaikan dilakukan pada sistem perekrutan tenaga kerjanya dengan menaikkan standart kehalian di bidang IT, serta memberikan pelatihan yang rutin.
Persamaan peneliti-peneliti sebelumnya adalah memiliki tujuan yang sama guna mengetahui proses produksi seharusnya, nilai sigma berdasarkan kinerja produksi, penyebab terjadi kerusakan produk, serta prioritas perbaikan produk. Perbedaan dari peneliti sebelumnya yakni pada objek yang dipilih, hasil yang dicapai dan langkah Six Sigma yang diterapkan alat analisis yang digunakan seperti pada peneliti pertama, kedua tidak menggunakan diagram
pareto untuk memfokuskan CTQ yang ada, namun melakukan tahapan control . Sedangkan penelitian yang akan ditulis saat ini menggunakan alat analisis diagram pareto untuk memfokuskan CTQ tapi tidak sampai ke tahapan control.
B. Teori dan Kajian Pustaka 1. Kualitas
Kata kualitas mempunyai banyak arti yang berbeda-beda dan bervariasi, dari yang konvesional sampai yang lebih strategik. Pengertian atau definisi kualitas memiliki lingkup yang cukup luas, relatif, berbeda dan berubah-ubah, sehingga definisi dari kualitas mempunyai banyak kriteria bergantung pada sisi penilaian akhir konsumen, dan definisi yang diberikan oleh berbagai ahli, serta dari sudut pandang produsen sebagai pihak yang menciptakan kualitas. Konsumen dan produsen akan merasakan kualitas secara berbeda sesuai dengan standar kualitas yang dimiliki masing-masing.
Begitu pula para ahli dalam memberikan definisi dari kualitas juga akan berbeda satu sama lain karena mereka membentuknya dalam dimensi yang berbeda. Oleh karena itu definisi kualitas dapat diartikan dari dua perspektif, yaitu dari sisi konsumen dan sisi produsen. Namun pada dasarnya konsep dari kualitas sering dianggap sebagai kesesuaian, keseluruhan ciri-ciri atau karakteristik suatu produk yang diharapkan oleh konsumen.
Definisi konvesional dari kualitas menurut Gaspersz (2007) biasanya mendeskripsikan karateristik langsung dari suatu produk sepert performansi (perfomance), keandalan (reliability), mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika (esthetics), dan sebagainya. Dalam ISO 8402 (Quality
Vocabulary), kualitas diartikan sebagai totalitas dari karateristik suatu produk yang menunjang kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang dispesifikasikan atau ditetapkan. Kualitas sering diartikan sebagai kepuasan pelanggan atau konformansi terhadap kebutuhan atau persyaratan.
Sedangkan produk menurut ISO 8402 diartikan sebagai hasil dari aktivitas atau proses. Suatu produk dapat berbentuk, tak berbentuk, atau campuran antara keduanya. Dengan definisi ini produk bisa diidentifikasikan dalam tiga kategori, yaitu:
1. Barang (goods), seperti: ban, cat, mobil, motor.
2. Perangkat lunak (software), seperti: program komputer, laporan keuangan.
3. Jasa (service), seperti: konstruksi, pendidikan, pelatihan.
Hanya saja menurut gaspersz (2007), para manajemen dari perusahaan yang berkompetisi dalam pasar global harus memberikan perhatian yang serius pada definisi strategik, yang menyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan. Dan inipun mencakup para manajemen perusahaan jasa konstruksi. Mengacu pada pengertian tentang kualitas baik yang konvesional maupun yang lebih strategik, bisa disimpulkan bahwa pada dasarnya kualitas mengarah pada pengertian pokok berikut:
1. kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung maupun attraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan
dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk tersebut.
2. kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.
Dengan demikian produk-produk didesain, diproduksi, serta pelayanan diberikan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Artinya suatu produk dikatakan berkualitas apabila telah memenuhi keinginan pelanggan, dapat dimanfaatkan dengan baik, serta dibuat dengan cara yang baik dan benar.
2. Pengendalian Kualitas
Pengendalian Kualitas memegang peranan yang penting karena menentukan mutu barang atas produk yang dihasilkan oleh perusahan.
Apabila produk yang dihasilkan tidak memenuhi standart yang berlaku, tentunya tidak akan disukai oleh konsumen. Setelah mengetahui pengertian dari kata pengendalian dan kualitas, maka pengendalian kualitas pun didefinisikan secara menyeluruh oleh beberapa ahli.
Menurut Assauri (2008) pengendalian kualitas adalah suatu tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin tercapainya rencana serta tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Adapun pengendalian sebagia proses manajemen yang didalamnya antara lain meliputi:
1) Mengevaluasi kinerja nyata
2) Membandingkan kinerja dengan tujuan 3) Mengambil tindakan terhadap perbedaan
Sedangkan menurut Prawirosentono (2002) pengendalian kualitas adalah kegiatan terpadu mulai dari pengendalian standart kualitas bahan, standart proses produksi, barang setengah jadi, barang jadi, sampai tanda pengiriman produk akhir ke konsumen, agarbarang atau jasa yang dihasilkan sesuai dengan spesifikasi kualitas yang direncanakan. Sedangkan menurut Tjipto dan Diana (2001) pengendalian kualitas adalah suatu system kendali yang efektif untuk mengoordinaskan usaha-usaha penjagaan kualitas, dan perbaikan kualitas dari kelompok-kelompok dalam organisasi produksi.
Sehingga diperoleh suatu produksi yang sangat ekonomis serta dapat memuaskan kebutuhan keinginan konsumen.
Dari pendapat parah ahli dapat disimpulkan bahwa apabila pengendalian kualitas dijalankan dengan benar maka tingkat kerusakan pada produk dapat diperkecil dan produksi yang dihasilkan sesuai dengan standart. Dengan kata lain pengendalian kualitas merupakan standart yang dipakai sebagai ukuran untuk berproduksi bagi perusahaan agar dapat mempertahankan kualitas dari produk yang dihasilkan. Dengan melakukan pengendalian kualitas juga dapat mempertahankan pangsa pasar yang telah diperoleh atau dikuasai.
a. Ruang Lingkup Pengendalian Kualiatas
Kegiatang pengendalian kualitas sangatlah luas, karena segala hal yang berpengaruh terhadap kualitas harus dimasukkan dan diperhatikan.
Menurut Prawirasentono (2002) secara garis besar pengendalian kualitas dapat diklasifikasikan sebagi berikut:
1) Pengendalian kualitas bahan baku
Mutu dari bahan baku akan mempengaruhi hasil akhir yang dibuat.
Bahan baku yang berkualitas jelek aka menghasilkan produk yang jelek pula. Sebaliknya jika bahan baku memiiliki kualita yang baik maka akan menghasilkan kualitas yang baik pula.
2) Pengendalian dalam proses produksi dan pengelolahan.
Dalam kegiatan proses produksi anyak ara-cara pengendalian kualitas yang berhubungan dengan proses produksi yang teratur. Di dalam pengawasan proses produksi harus dilakukan secara teratur dari awal hingga akhir.
3) Pengendalian kualitas produk akhir
Produk akhir dari proses produksi harus diawasi sejak keluar hingga tahap proses pembungkusan, penggudangan, dan pengiriman ke konsumen. Dalam memasarkan produk, perusahaan harus berusaha menampilkan produk yang bermutu.
Perusahaan harus memeriksa kualitas produk hasil produksinya karena dalam hal ini pelanggan merupakan inspector. Apabila kualitas tersebut buruk, maka mereka akan memberitahukan pihak lain. Hal ini tentu saja menurunkan nama baik atau citra perusahaan, sehingga dapat merugikan perusahaan itu sendiri.
b. Tujuan Pengendalian Kualitas
Agar dapat menghasilkan produk yang berkualitas maka harus dilakukan pengendalian kualitas, tetapi sebelumnya harus ditetapkan
terlebih dahulu standar kualitas yang harus dicapai oleh suatu produk.
Kegiatan pengendalian kualitas merupakan salah satu fungsi yang terpenting dari suatu perusahaan karena dengan adanya pengendalian kualitas, produk yang dihasilkan berkualitas baik dan sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Pelaksanaan pengendalian kualitas dalam suatu perusahaan dimaksudkan untuk mencerminkan spesifikasi standar yang telah ditetapkan dalam produk atau hasil akhir.
Menurut Yamit (2010) tujuan uttama pengendalian kualitas adalah menimalkan kerusakan dengan tindakan cepat untuk memulihkan status quo atau lebih baik lagi, atau mencegah kerusakan sebelum terjadi.
Sedangkan menurut Assauri (2008) tujuan dari pengendalian kualitas adalah sebagai berikut:
1) Agar barang hasil produksi dapat mencapai standar kualitas yang telah ditetapkan.
2) Mengusahakan agar biaya inspeksi dapat menjadi sekecil mungkin 3) Mengusahakan agar biaya design dari produk dan proses dengan
menggunakan mutu produksi tertentu dapat menjadi sekecil mungkin.
4) Mengusahakan agar biaya produksi dapat menjadi serendah mugkin.
Dari beberapa pendapat mengenai tujuan pengendalian kualitas di atas maka dapat disimpulkan sangat penting untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan standart mutu perusahaan. Masalah kecacatan produk dapat diminimalisir dengan adanya pengendalian yang benar.
Pengendalian kualitas mampu memotong biaya produksi menjadi lebih
kecil, sehingga tidak terjadi pemborosan. dengan biaya seminimal mungkin akan meningkatkan pangsa pasar dan diminati oleh konsumen.
c. Metode Pengendalian Kualitas 1) Pengendalian Kualitas Statistik
Pengendalian kualitas statistik biasanya dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu statistik yang terdapat dalam SPC (Statistical Process Control) dan SQC (Statistical Quality Control) merupakan teknik penyelesaian masalah yang digunakan untuk memonitor, mengendalikan, menganalisis, mengelola dan memperbaiki produk dan proses menggunakan metode-metode statistik. Pengendalian kualitas statistik (Statistical Quality Control/ SQC) sering disebut sebagai pengendalian proses statistik (Statistical Process Control/
SPC).
Pengendalian kualitas secara statistik dilakukan dengan menggunakan kombinasi alat bantu statistik yang terdapat pada SPC (Statistical Process Control) dan SQC (Statistical Quality Control).
Menurut Heizer dan Render (2006) yang dimaksud dengan Statistical Process Control (SPC) Sebuah proses yang digunakan untuk memonitor standar, dengan membuat pengukuran yang tetap dan mengambil tindakan yang korektif atas suatu produk atau jasa sedang diproduksi. Sedangkan menurut Assauri (2008) mengemukakan bahwa pengertian dari Statistical Quality Control (SQC) adalah suatu sistem yang dikembangkan untuk menjaga standar yang uniform dari
kualitas hasil produksi, pada tingkat biaya yang minimum dan menerapkan bantuan untuk mencapai efisiensi.
2) Manajemen Kualitas Terpadu
Manajemen kualitas terpadu atau Total Quality Management (TQM) menjadi perhatian di Amerika Serikat tahun 80-an dan ini merupakan suatu respons terhadap superioritas kualitas dari pabrikan Jepang dalam bidang automotif dan penyejuk ruangan. Banyak studi pada bidang penyejuk ruangan mengemukakan bahwa kerusakan (defect) pada perusahaan Amerika Serikat lebih banyak dari perusahaan Jepang. Studi ini membuat banyak perusahaan amerika yang semakin meningkatkan pengawasan kualitas produk mereka dengan menggunakan konsep-konsep TQM.
Total quality management sendiri menurut Heizer dan Render (2013), merupakan manajemen dari keseluruhan organisasi sehingga unggul disegala aspek dari barang dan jasa yang penting bagi pelanggan. TQM sendiri dapat diartikan sebagai pengelolaan kualitas semua komponen (stakeholder) yang berkepentingan dengan visi dan misi organisasi. Pada dasarnya TQM itu bukanlah pembebanan ataupun pemeriksaan, tetapi TQM adalah lebih dari usaha untuk melakukan sesuatu yang benar setiap waktu, dari pada melakukan pemeriksaan pada waktu tertentu ketika terjadi kesalahan.
Pada umumnya sistem pengendalian kualitas seperti TQM dan lain-lain hanya menekankan pada upaya peningkatan terus menerus
berdasarkan kesadaran mandiri dari manajemen. Sistem tersebut tidak memberikan solusi yang tepat mengenai terobosan-terobosan atau langkah-langkah yang seharusnya dilakukan untuk menghasilkan peningkatan kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan = 0 (zero defect). Menurut Heizer dan render (2013) terdapat tujuh konsep untuk program TQM yang efektif , yaitu :
a) Perbaikan berkesinambungan
Manajemen kualitas total mengharuskan proses perbaikan yang tidak berhenti mencakup orang, peralatan, pemasok, material, dan prosedur. Dasar falsafahnya adalah setiap aspek sebuah operasional dapat diperbaiki. Tujuan akhir adalah kesempurnaan, yang taka akan pernah dicapai, namun selalu dicari.
b) Pemberdayaan karyawan
Pemberdayaan karyawan berarti melibatkan karyawan di setiap langkah dari proses produksi. Memperluas pekerjaan karyawan sehingga penambahan tanggung jawab dan kewenangan dipindahkan ke level yang serendah mungkin dalam organisasi.
c) Tolok ukur (benchmarking)
Tolok ukur adalah bahan lain dalam program TQM suatu organisasi. Tolok ukur memilih standart kerja yang mewakili kinerja terbaik untuk proses atau aktivitas. Benchmarking melibatkan pemilihan standar barang, jasa, biaya, atau praktik yang
mewakilikinerja yang paling baik untuk proses atau aktivitas sangat serupa dengan milik sendiri.
d) Just In Time (JIT)
Falsafah dibalik konsep tepat waktu adalah salah satu perbaikan dan peningkatan penyelesaian masalah. Just In Time sendiri merupakan suatu sistem produksi yang dirancang untuk mendapatkan kualitas, menekan biaya, dan mencapai waktu penyerahan seefisien mungkin dengan menghapus seluruh jenis pemborosan yang terdapat dalam proses produksi sehingga perusahaan mampu menyerahkan produknya (baik barang maupun jasa) sesuai kehendak konsumen tepat waktu.
e) Konsep Taguchi
Sebagian besar masalah kualitas hasil dari produk dan proses rancangan yang buruk. Genichi taguchi telah memberikan tiga konsep yang ditujukan untuk memperbaiki, baik produk maupun prose. Adapun tiga konsep itu ialah kekuatan kualitas, fungsi kehilangan kualitas, dan kualitas berorientasi sasaran
f) Six Sigma
Six sigma merupakan suatu program untuk menghemat waktu, memperbaiki kualitas, biaya yang rendah. Definisi TQM dari six sigma adalah program yang direncanakan untuk mengurangi kecactan pada produk, mengurangi biaya, menghemat waktu, dan
meningkatkan kepuasan pelanggan. Pada metode ini terdapat langkah yang dikenal dengan DMAIC.
g) Pengetahuan dari alat TQM
Terdapat enam jenis alat TQM yaitu :
1) Check Sheet (lembar pemeriksaan), merupakan lembar yang dirancang sederhana berisi daftar untuk perekaman data kuantitatif maupun kualitatif dapat dianalisis secara cepat.
2) Scooter Diagram (diagram pencar), grafik yang menampilkan sepasang data numberik pada system koordinat Cartesian untuk melihat hubungan dari kedua variable tersebut.
3) Pareto Chart (bagan pareto), bagan yang berisikan diagram batang (bars graph) dan diagram garis (line graph) bagan ini merupakan metode dalam mengorganisasikan kesalahan, atau cacat untuk memebantu fokus atas usaha penyelesaian masalah.
4) Flow Charts (bagan alur), alat bantu untuk memvisualisasikan proses suatu penyelesaian tugas secara bertahap.
5) Histogram, alat seperti diagram batang untuk menunjukan distribute frekuensi
6) Control Chart (grafik kendali), peta untuk mempelajari bagaimana proses perubahan dari waktu ke waktu dengan batas kendali yang telah ditentukan dari awal
7) Fishbone Diagram (diagram tulang ikan), teknik yang skematis digunakan untuk melihat kemungkinan tempat masalah kualitas.
3. Six Sigma
a. Pengertian Six Sigma
Six sigma menurut Gaspersz (2007) adalah suatu visi peningkatan kualitas menuju target 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan untuk setiap transaksi produk barang dan jasa. Menurut Heizer dan Render (2013) Six sigma adalah program yang direncanakan guna mengurangi kecacatan pada produk, mengurangi biaya, menghemat waktu, dan meningkatkan kepuasan pelanggan. Jadi dapat disumpulkan six sigma merupakan metode atau teknik pengendalian dan peningkatan kualitas yang berguna untuk mengurangi terjadinya kecacatan produk, menghemat biaya dan waktu, serta dapat meningkatkan kepuasan pelanggan. Pada dasarnya pelanggan akan merasa puas apabila mereka menerima nilai yang diharapkan mereka.
Apabila produk diproses pada tingkat kualitas Six Sigma, maka perusahaan bisa mengharapkan 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan atau mengharapkan bahwa 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam produk itu. Menurut Gaspersz (2007) terdapat enam aspek kunci yang perlu diperhatikan dalam aplikasi konsep Six Sigma, yaitu :
1) Identifikasi pelanggan 2) Identifikasi produk
3) Identifikasi kebutuhan dalam memeroduksi produk untuk pelanggan 4) Definisi proses
5) Menghindari kesalahan dalam proses dan menghilangkan semua pemborosan yang ada
6) Tingkatkan proses secara terus menerus menuju target Six Sigma
b. Tahap-Tahap Pengendalian Kualitas dengan Six Sigma
Menurut Heizer dan Render (2013) terdapat tahapan pada implementasi peningkatan kualitas dengan Six sigma yang terdiri dari lima langkah yang dikenal dengan DMAIC atau Define, Measure, Analyse, Improve, and Control.
1) Define
Define merupkan langkah pertama dari metode Six sigma. Langkah ini berguna untuk mendefinisikan rencana-rencana tindakan yang dilakukan untuk terciptanya peningkatan dari setiap tahap proses produksi (Gaspersz, 2007). Tanggung jawab dari definisi proses proses produksi berada pada manajemen.
Menurut Pande dan Cavanagh (2002) tiga aktivitas utama yang berkaitan dengan mendefinisikan proses inti dan para pelanggan adalah a) Mendefinisikan proses inti mayor dari bisnis.
b) Menentukan output kunci dari proses inti tersebut, dan para pelanggan kunci yang mereka layani.
c) Menciptakan peta tingkat tinggi (SIPOC) dari proses inti atau proses strategis.
Peta tingkat tinggi SIPOC mampu menggambarkan alur proses produksi seharusnya. Peta ini dimulai dari identifikasi data pemasok
hingga pada pelanggannya. Peta SIPOC menurut Evans dan Lindsay (2007) memberikan garis besar elemen-elemen penting didalam suatu proses serta membantu menjelaskan siapa pelaku utama proses tersebut, bagaimana cara mendapatkan input, siapa yang dilayani oleh proses tersebut serta bagaimana cara proses tersebut meningkatkan nilai.
Termasuk dalam langkah definisi ini ialah menetapkan sasaran dari aktivitas peningkatan kualitas six sigma. Pada tingkat manajemen puncak, target-target yang telah ditetapkan akan menjadi tujuan dari strategi organisasinya. Pada tingkat oprasional, targetnya adalah untuk meningkatkan output produksi, produktivitas, menurunkan produk cacat, dan menghemat biaya oprasional. Pada tingkat proyek, target juga bisa sama dengan tingkat oprasional, seperti: menurunkan tingkat cacat produk, menurunkan downtime mesin, dan meningkatkan output dari setiap proses produksi.
2) Measure
Measure merupakan tindak lanjut dari langkah define dan merupakan sebuah penghubung untuk langkah berikutnya. Menurut Pete dan Holpp (2002) langkah measure mempunyai dua sasaran utama yaitu:
a) Mendapatkan data untuk memvalidasi dan mengkualifikasikan masalah dan peluang. Biasanya data berupa informasi kritis untuk memperbaiki dan melengkapi anggaran dasar proyek yang pertama.
b) Memulai menyentuh fakta dan angka-angka yang memberikan petunjuk tentang akar masalah. Batu loncatan pada langkah ini ialah
mengembangkan ukuran sigma awal untuk proses yang sedang diperbaiki.
Tahap pengukuran dapat dilakukan dengan metode grafik kendali.
Menurut F. Robert Jacobs dan Richard B. Chase (2015) grafik kendali atau bagan kendali proses merupakan bagan yang didasarkan pada urutan waktu yang menunjukan penempatan nilai-nilai statistik termasuk rata- rata garis tengah dengan satu atau lebih batas kendali. Diagram tersebut digunakan untuk memastikan bahwa proses berada dalam kendali statistik. Guna dari bagan kendali atau grafik kendali pada tahapan ini sendiri untuk mengukur apakah kondisi pengendalian kualitas masih bisa ditoleri berdasarkan dari tahapan define.
Measure sebagai langkah yang kedua dalam metode Six Sigma, memiliki tiga hal pokok yang harus dilakukan, yaitu:
1) Memilih atau menentukan karakteristik kualitas (Critical to Quality).
Penetapan Critical to Quality harus disertai dengan pengukuran yang dapat dikuantifikasikan dalam angka-angka. Hal ini memiliki tujuan supaya tidak menimbulkan persepsi dan interprestasi yang salah bagi setiap orang dalam proyek Six sigma dan menimbulkan kesulitan dalam mengukur karakteristik kualitas keandalan. Dalam mengukur karakteristik kualitas. Terdapat dua aspek yang perlu diperhatikan, yakni aspek internal (tingkat kecacatan produk, biaya- biaya karena kualitas jelek dan lain-lain) dan aspek eksternal organisasi (kepuasan pelanggan, pangsa pasar dan lain-lain).
2) Mengembangkan rencana pengumpulan data.
Pengukuran karakteristik kualitas dapat dilakukan pada tingkat, yaitu:
a) Pengukuran pada tingkat proses (process level)
Mengukur setiap aktivitas dalam proses dan karakteristik kualitas input oleh pemasok yang mengendalikan dan memengaruhi karakteristik kualitas output yang diinginkan
b) Pengukuran pada tingkat output (output level)
Adalah mengukur karakteristik kualitas output yang dihasilkan dari suatu proses kemudian dibandingkan dengan spesifikasi karakteristik kualitas yang diinginkan oleh pelanggan.
c) Pengukuran pada tingkat outcome (outcome level)
Adalah mengukur bagaimana baiknya suatu produk itu memenuhi kebutuhan spesifik dan ekspektasi rasional dari pelanggan.
3) Pengukuran baseline kinerja pada tingkat output
Proyek peningkatan kualitas Six sigma yang telah ditetapkan akan difokuskan pada upaya meningkatan kualitas menuju ke arah zero defect sehingga pelanggan akan merasa puas, maka sebelum proyek dimulai terlebih dulu harus mengetahui tingkat kinerja yang sekarang atau dalam Six sigma disebut sebagai baseline kinerja, sehingga kemajuan peningkatan yang dicapai setelah memulai proyek Six sigma dapat diukur selama masa berlangsungnya proyek Six Sigma. Tujuan dari pengukuran pada tingkat output ini untuk mengetahui sejauh mana output akhir tersebut dapat memenuhi
kebutuhan pelanggan sebelum produk tersebut diserahkan kepada pelanggan.
Setelah mengetahui baseline kinerja, maka kemajuan peningkatan-peningkatan yang dicapai setelah memulai proyek Six Sigma dapat diukur sepanjang masa berlangsung proyek Six Sigma itu. Baseline kinerja dalam proyek Six Sigma biasanya ditetapkan menggunakan satuan pengukuran DPMO (Defects Per Million Opportunities) dan/atau tingkat kapabilitas sigma (sigma level). Sesuai dengan konsep pengukuran yang biasa diterapkan pada tingkat proses, output, dan outcome, maka baseline kinerja juga dapat ditetapkan pada tingkat proses, output dan outcome. Pengukuran DPMO menurut Gasperzs (2007) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
DPMO =
Sedangkan nilai sigma dapat dikonversikan dari nilai DPMO.
3) Analyze
Merupakan langkah operasional yang ketiga dalam program peningkatan kualitas six sigma. Ada beberapa hal yang harus dilakukan pada tahap ini yaitu :
a) Menentukan stabilitas dan kemampuan proses
Proses industri dilihat sebagai suatu peningkatan yang bersifat berkelanjutan (continous improvement) dengan dimulai dari sederet siklus, mulai dengan adanya ide untuk menciptakan suatu produk barang atau jasa, melakukan pengembangan produk, proses produksi/operasi,
hingga distribusi kepada pelanggan. Target six sigma ialah membawa proses industri yang memiliki stabilitas dan kemampuan sehingga mencapai zero defect.
Dalam menentukan apakah suatu proses berada dalam kondisi stabil dan mampu, maka dibutuhkannya alat-alat statistik sebagai alat analisis. Pemahaman yang baik tentang metode-metode statistik dan perilaku proses industri akan meningkatkan kinerja sistem industri secara berkelanjutan menuju zero defect.
b) Menetapkan target kinerja dari karakteristik kualitas (CTQ) kunci Secara konseptual penetapan target kinerja dalam proyek peningkatan kualitas Six sigma merupakan hal yang sangat penting dan harus mengikuti prinsip :
1) Spesific, yaitu target kinerja dalam proyek peningkatan kualitas Six sigma harus bersifat spesifik dan dinyatakan secara tegas.
2) Measureable, target kinerja dalam proyek peningkatan kualitas Six sigma harus dapat diukur menggunakan indikator pengukuran (matrik) yang tepat, guna mengevaluasi keberhasilan, peninjauan ulang, dan tindakan perbaikan di waktu mendatang.
3) Achievable, target kinerja dalam proyek peningkatan kualitas harus dapat dicapai melalui usaha-usaha yang menantang (challenging efforts).
4) Result-Oriented, yaitu target kinerja dalam proyek peningkatan kualitas Six sigma harus berfokus pada hasil-hasil berupa peningkatan kinerja yang telah didefinisikan dan ditetapkan.
5) Time-Bound, target kinerja dalam proyek peningkatan kualitas Six sigma harus menetapkan batas waktu pencapaian target kinerja dari setiap karakteristik kualitas.
c) Mengidentifikasi sumber-sumber dan akar penyebab masalah kualitas.
Untuk mengidentifikasi masalah dan menemukan sumber penyebab masalah kualitas, biasanya digunakan alat analisis berupa diagram pareto, diagram sebab-akibat, dan analisis FEMA. Diagram ini membentuk cara- cara membuat produk-produk yang lebih baik dan mencapai akibatnya (hasilnya).
Alat statistik yang dapat digunakan adalah diagram pareto.
Menurut Heizer dan Render (2013), diagram pareto merupakan metode dalam mengorganisasikan kesalahan, atau cacat untuk membantu fokus atas penyelesaian masalah. Analisis diagram pareto mengindikasikan masalah dimana yang memberikan hasil yang terbesar
Menurut Heizer dan Render (2013) diagram sebab akibat merupakan salah satu dari banyak alat yang dapat mengidentifikasikan lokasi yang mungkin sebab terjadi masalah-masalah mutu dan lokasi pemeriksaan. Manfaat diagram ini adalah dapat memisahkan penyebab dari gejala. Memfokuskan perhatian pada hal-hal relevan dan dapat diterapkan pada setiap masalah.
Dengan diagram ini, semuanya menjadi lebih jelas dan memungkinkan kita untuk dapat melihat semua kemungkinan penyebab dan mencari akar permasalahan sebenarnya. Faktor-faktor atau variable dalam diagram sebab-akibat adalah:
1) Faktor Manusia
Tenaga kerja (man power) adalah besarnya bagian dari penduduk yang dapat diikutsertakan dalam proses ekonomi menurut Purba (2008). Manusia merupakan sumber daya terpenting bagi perusahaan. Oleh karena itu, manajer perlu berupaya agar terwujud perilaku positif di kalangan karyawan perusahaan.
Kebijakan sumber daya manusia terpengaruh oleh faktor-faktor eksternal, antara lain berupa perkembangan pendidikan, jumlah penawaran tenaga kerja, perkembangan social, perburuhan, adat, agama, budaya, dan system nilai masyarakat lainnya. Sedangkan faktor-faktor internal SDM akan dipengaruhi oleh manajemen SDM itu sendiri, yang terdiri ats tiga fungsi utama. Pertama, yaitu fungsi manajerial yang terdiri atas perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian SDM. Fungsi kedua, yaitu fungsi operasional yang terdiri atas pengadaan, pengembangan, kompensasi, pengintegrasian, pemeliharaan, dan pemutusan hubungan kerja.
Terakhir, fungsi ketiga, yaitu kedudukan SDM dalam rangka pencapaian tujuan organisasi perusahaan secara terpadu (Umar, 2002).
2) Metode Kerja
Methods (metode kerja), berkaitan dengan tidak adanya prosedur dan metode kerja yang benar, tidak jelas, tidak diketahui, tidak terstandarisasi, dan tidak cocok (Gasperz, 2007)
3) Material
Materials (bahan baku dan bahan penolong), berkaitan dengan ketiadaan spesifikasi kualitas dari bahan baku dan bahan penolong yang ditetapkan, ketiadaan penanganan yang efektif terhadap bahan baku dan bahan penolong itu (Gasperz,2007).
4) Mesin
Mesin dan peralatan, berkaitan dengan tidak ada sistem perawatan preventif terhadap mesim produksi, termasuk fasilitas dan peralatan lain tidak sesuai dengan spesifikasi tugas, tidak dikalibrasi, terlalu rumit (Gasperz,2007)
5) Lingkungan
Masalah lingkungan hidup pada saat ini semakin mendapat perhatian. Implementasi fisik proyek, dan operasi instalasi nantinya sering membawa perubahan yang dapat berakibat pada kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, pemilihan lokasi hendaknya didahului dengan kegiatan penelitian dan perencanaan sebaik-baiknya agar implementasi fisik proyek berikut periode operasinya berpegang pada pengertian pembangunan berwawasan lingkungan (Soeharto, 1999).
Alat analisis yang juga dapat digunakan dalam tahapan ini ialah FMEA (failure mode and effect analysis) merupakan suatu cara terstruktur untuk mencari sebanyak mungkin kesalah atau kegagalan (failure mode). Menurut Gaezper (2005) FMEA juga sebagai prosedur terstruktur untuk menemukan dan mencegah sebanyak mungkin mode kegagalan. FMEA dipakai untuk mengidentifikasi akar penyebab dari suatu masalah kualitas. Suatu mode kegagalan yaitu segala hal yang termasuk dalam kecacatan/kegagalan pada desain, berada diluar batas spesifikasi yang telah ditetapkan, atau perubahan yang terjadi pada produk yang mengakibatkan terganggunya kegunaan dari produk tersebut.
FMEA sendiri memiliki dua penggunaan yaitu dalam bidang desain (FMEA Desain) dan dalam proses (FMEA Proses). FMEA Desain berguna membantu mengatasi kegagalan-kegagalan yang terkait dengan desain, misalnya kegagalan karena ukuran yang tidak tepat, material yang tidak sesuai, dan lain-lain. FMEA Proses akan mengatasi kegagalan yang disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam variabel proses, misal kondisi diluar batas-batas spesifikasi yang ditetapkan seperti ukuran yang tidak tepat, tekstur dan warna yang tidak sesuai, ketebalan yang tidak tepat, dan lain-lain.
Menurut (Andi Nugroho pada jurnal FMEA), FMEA meliputi variabel-variabel seperti Severity, Occurence, dan Detection. Untuk menentukan prioritas perbaikan dari suatu kegagalan maka dalam
penggunaan FMEA harus mengindentifikasi lebih dulu tentang Severity, Occurrence, Detection, yang hasil akhirnya berupa Risk Priority Number.
d) Improve
Penerapan suatu rencana tindakan untuk melaksanakan peningkatan kualitas Six sigma dilakukan pada tahapan ini. Rencana tersebut menggambarkan tentang alokasi sumber daya serta prioritas atau alternatif yang akan dilakukan. Penelitian peningkatan kualitas Six sigma harus memutuskan target yang harus dicapai, mengapa rencana tindakan tersebut dilakukan, dimana rencana tindakan itu akan dilakukan, bilamana rencana itu akan dilakukan, siapa penanggungjawab rencana tindakan itu, bagaimana melaksanakan rencana tindakan itu dan berapa besar biaya pelaksanaannya serta manfaat positif dari implementasi rencana tindakan itu.
Salah satu tools yang digunakan dalam tahap ini adalah PICA (Problem Identification and Corrective Action). Pada PICA terdapat keterangan mengenai perbaikan yang perlu dilakukan terhadap masing- masing penyebab masalah dan penjelasan bagaimana perbaikan tersebut dilaksanakan. Usulan perbaikan yang dijelaskan pada table PICA dibuat berdasarkan data hasil analisa akar penyebab kegagalan yang telah diidentifikasi dengan menggunakan FMEA pada tahap analyze. Data yang digunakan untuk PICA diambil dari data FMEA yang memiliki RPN tetringgi yang menunjukkan bobot paling besar dan yang paling mempengaruhi timbulnya kecacatan.
e) Control
Menurut Susetyo (2011), Control merupakan tahap operasional terakhir dalam upaya peningkatan kualitas berdasarkan Six Sigma. Pada tahap ini hasil peningkatan kualitas didokumentasikan dan disebarluaskan, praktik-praktik terbaik yang sukses dalam peningkatan proses distandarisasi dan disebarluaskan, prosedur didokumentasikan dan dijadikan sebagai pedoman standar, serta kepemilikan atau tanggung jawab ditransfer dari tim kepada pemilik atau penanggung jawab proses.
Terdapat dua alasan dalam melakukan standarisasi, yaitu:
1) Apabila tindakan peningkatan kualitas atau solusi masalah itu tidak distandarisasikan, terdapat kemungkinan bahwa setelah periode waktu tertentu, manajemen dan karyawan akan menggunakan kembali cara kerja yang lama sehingga memunculkan kembali masalah yang telah terselesaikan itu.
2) Apabila tindakan peningkatan kualitas atau solusi masalah itu tidak distandarisasikan dan didokumentasikan, maka terdapat kemungkinan setelah periode waktu tertentu apabila terjadi pergantian manajemen dan karyawan, orang baru akan menggunakan cara kerja yang akan memunculkan kembali masalah yang sudah pernah terselesaikan oleh manajemen dan karyawan terdahulu
C. Kerangka Pikir
Sumber: Pete & Holpp (2002); Heizer & Render (2013); Leo J. Susilo & Victor Riwu Kaho (2010); diolah
Gambar 2. 6 Kerangka Pikir
Penelitian yang dilakukan pada CV. Laksana Batu Berlian Jaya ini dengan mengetahui proses produksi ideal atau proses produksi yang seharusnya diterapakan perusahaan. Mengukur kinerja pengendalian kualitasnya. Untuk memfokuskan pada satu jenis kerusakan prioritas maka menggunakan diagram pareto, lalu menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya produk cacat pada perusahaan, maka akan dipadu dengan diagram sebab-akibat pada variable yang memepengaruhi berupa mesin, tenaga kerja, metode kerja, material atau bahan baku, serta lingkungan kerja. Adapun FMEA berguna sebagai penentuan prioritas perbaikan. Untuk menjelaskan cara perbaikan maka dapat menggunakan diagram PICA.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu define, dimana nantinya langkah ini bertujuan untuk mengindentifikasi proses produksi, stasiun kerja kritis tentang CTQ atau jenis cacat. Langkah berikutnya adalah measure pada langkah measure ini digunakan untuk, analisa kapabilitas proses saat ini dengan diagram p-chart, menghitung nilai sigma dan nilai DPMO. Pada
Supply, input, proses, output, costumer
CL, UCL, LCL, DPO, DPMO
Persentase jenis kerusakan, Manusia, Metode, Mesin, Bahan baku, Lingkungan, Severity, Occurance, Detection
Masalah , perbaikan, cara perbaikan, waktu peraikan, tempat perbaikan, PIC
langkah ketiga yaitu langkah analyze menentukan jenis prioritas kerusakan lalu dijabrkan penyebabnya dengan diagram sebab-akibat dari berbagi faktor.
Dengan diketahuinya faktor-faktor tersebut, maka dapat dirumuskan suatu alternatif rekomendasi pemecahan yang dapat diterapkan oleh perusahaan CV.
Laksana Batu Berlian.
Analisis faktor penyebab Kualitas Koral yang dihasilkan pada CV.Laksana Batu Berlian dipengaruhi oleh berbagai fakor mulai dari proses pengambilan bahan baku, sampai pada saat pengolahannya. Metode ini menjadi teknik yang skematis digunakan untuk melihat kemungkinan tempat masalah kualitas Heizer dan Render (2013). Adapun 5 faktor penyebab yang dianalisis dalam penelitian ini adalah :
1. Manusia (man) 2. Metode (method) 3. Mesin (machine) 4. Bahan baku (material) 5. Lingkungan (environment).
Identifikasi faktor yang menjadi penyebab utama berdasarkan identifikasi faktor-faktor penyebab di atas, maka dapat diidentifikasi lebih lanjut mengenai faktor yang menjadi penyebab utama timbulnya permasalahan kecacatan produk di CV. Laksana Batu Berlian. Hasil dari diagram sebab-akubat akan jadi input untunk perhitungan analisis FMEA, sehingga menemukan rekomendasi pemecahan berdasarkan hasil dari penilaian variabel S (Severity), O (Occurence), dan (Detection) yaitu berupa
Risk Priority Number (RPN). Setelah diketahui penyebab dan skala prioritasnya maka dilakukan tahapan improve, yang berupa penentuan prioritas perbaikan dan rancangan ususlan tindakan pebaikan. Nantinya akan dapat dijabarkan dalam tabel PICA. Pada tabel tersebut akan dijelaskan perbaikan berdasarkan masalah, cara perbaikan tersebut seperti apa, kapan waktu perbaikan dan penanggung jawab dalam perbaukan.