• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH AKTIVITAS MANUSIA DAN FAKTOR LI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENGARUH AKTIVITAS MANUSIA DAN FAKTOR LI"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENELITIAN

EKSPLORASI CAGAR ALAM PULAU SEMPU

“PENGARUH AKTIVITAS MANUSIA DAN FAKTOR LINGKUNGAN FISIK TERHADAP JUMLAH INDIVIDU HERPETOFAUNA

DI CAGAR ALAM PULAU SEMPU”

Disusun oleh :

Kelompok Pengamat Peneliti Pemerhati Herpetofauna (KP3H)

BAGIAN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

(2)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penyusun berhasil menyelesaikan laporan penelitian

ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi

Muhammad SAW, keluarga, sahabat beserta pengikutnya yang setia hingga akhir

zaman.

Laporan Penelitian Faktor Lingkungan Fisik dan Jarak Dari Pusat

Perkemahan Yang Memengaruhi Jumlah Individu Herpetofauna di Cagar Alam Pulau Sempu ini disusun sebagai bentuk pertanggungjawaban atas dilakukannya penelitian di kawasan Cagar Alam Pulau Sempu. Penelitian ini tidak lepas dari bantuan

berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penyusun ingin menyampaikan terima

kasih kepada:

1. Orang tua dan saudara tercinta yang senantiasa memberikan dukungan.

2. Bapak M. Ali Imron selaku dosen pembimbing selama penelitian ini dilakukan.

3. Pihak Balai Besar Konservasi Alam Jawa Timur yang telah mengijinkan kami

untuk melakukan penelitian di kawasan Cagar Alam Pulau Sempu.

4. Rekan-rekan peneliti dari Kelompok Pengamat Peneliti Pemerhati (KP3) Fakultas

Kehutanan UGM atas kekompakkan dan kerjasamanya.

5. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penyusun menyadari bahwa laporan ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena

itu, penyusun memohon saran dan kritik dari semua pihak guna mendapatkan hasil ke

depan yang lebih baik. Akhir kata, semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak. Terima kasih.

Yogyakarta, 13 Maret 2014

(3)

ii

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Herpetofauna ... 4

B. Habitat Herpetofauna ... 7

C. Faktor Fisik Lingkungan ... 8

BAB III. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS ... 10

A. Landasan Teori ... 10

B. Hipotesis ... 10

BAB IV. METODE PENELITIAN ... 11

A. Waktu dan Tempat ... 11

B. Alat dan Bahan ... 12

C. Metode Pengambilan Data ... 12

D. Metode Analisis Data ... 16

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

A. Hasil ... 17

B. Pembahasan ... 21

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

A. KESIMPULAN ... 25

B. SARAN... 25

DAFTAR PUSTAKA ... 27

(4)

iii

DAFTAR TABEL DAN GRAFIK

Tabel 1. Jenis-jenis Herpetofauna Yang Ditemukan di CA Pulau Sempu (2014) ... 17

Tabel 2. Jenis-jenis Herpetofauna Yang Ditemukan di CA Pulau Sempu (2011) ... 18

Tabel 3. Jumlah Jenis Terhadap Jarak dari Perkemahan ... 21

(5)

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pulau Sempu dan Segara Anakan ... 11

Gambar 2. Desain Plot Line Transect... 14

(6)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki 1300 spesies

herpetofauna (Iskandar & Colijn, 2000). Herpetofauna merupakan satwa liar yang

mempunyai peranan penting dalam ekologi terutama pada rantai makanan dan

sebagai bio-indikator kesehatan lingkungan, dan keberadaannya sangat dipengaruhi

oleh kondisi habitatnya. Karakteristik habitat yang memengaruhi keberadaan

herpetofauna antara lain berupa suhu dan kelembaban yang dapat terbentuk oleh

adanya kerapatan vegetasi. Selain itu, menurut Fitri (2002) herpetofauna sangat

menyukai tempat-tempat yang kondisi kelembabannya relatif tinggi dan dekat

dengan badan air.

Pulau sempu ditetapkan sebagai Cagar Alam berdasarkan SK. GB No. 46

Stbl. 1928 No. 69 tahun 1928 dengan luas 877 Ha. Penetapan kawasan tersebut

sebagai Cagar Alam karena keadaan alamnya yang khas. CA Pulau Sempu memiliki

beberapa tipe ekosistem yang menunjukkan keanekaragaman hayati yang tinggi,

antara lain hutan pantai, hutan mangrove, dan hutan tropis dataran rendah yang

hampir mendominasi keseluruhan area pulau. Beberapa ekosistem tersebut dapat

menjadi habitat yang baik untuk satwa liar, salah satunya adalah herpetofauna,

terlebih di dalam pulau sempu terdapat beberapa danau yang menjadi habitat

herpetofauna.

Namun dalam kenyataannya, CA Pulau Sempu yang memiliki ekosistem

yang baik itu telah banyak dimasuki oleh wisatawan. Wisatawan tersebut dapat

dikatakan ilegal karena kebanyakan tidak memiliki Surat Ijin Masuk Kawasan

Konservasi (SIMAKSI), Cagar Alam yang semestinya tidak ada kegiatan wisata

namun pada kenyataannya sangat banyak masyarakat yang tergoda oleh keindahan

Pulau Sempu dan melakukan aktivitas wisata di dalam kawasan. Hal tersebut dapat

berdampak negatif terhadap ekosistem alam yang dimiliki pulau sempu terutama

pada satwa liar. Herpetofauna terutama amfibi dapat berfungsi sebagai

bio-indikator bagi kondisi lingkungan karena amfibi memiliki respon terhadap

perubahan lingkungan (Stebbins dan Cohen, 1997). Kondisi Cagar Alam Pulau

Sempu secara tidak langsung dapat terganggu akibat adanya aktivitas manusia di

(7)

2 Dalam kehidupannya herpetofauna dipengaruhi oleh faktor fisik lingkungan,

antara lain suhu, kelembaban, ketebalan seresah, kelerengan, jarak dari sumber air,

penutupan tajuk dan tumbuhan bawah. Selain faktor fisik lingkungan, aktivitas

manusia berupa jarak dari pusat perkemahan menjadi salah satu faktor penelitian,

disebabkan kawasan Cagar Alam Pulau Sempu selama ini secara tidak langsung

telah dimanfaatkan pula sebagai objek dan aktivitas wisata berupa perkemahan oleh

para wisatawan illegal di dalam Pulau Sempu yaitu Segara Anakan, yang menjadi

obyek penelitian ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui

faktor fisik lingkungan dan aktivitas manusia (jarak dari pusat perkemahan) yang

memengaruhi jumlah individu herpetofauna di Cagar Alam Pulau Sempu.

B. Rumusan Masalah

Herpetofauna merupakan satwa liar yang terpengaruh terhadap faktor-faktor

lingkungan fisik dan aktivitas manusia seperti kegiatan perkemahan dan ma ss-tourism. Cagar Alam Pulau Sempu merupakan salah satu habitat herpetofauna yang cocok karena dikelilingi oleh lautan dan telaga. Dalam pengelolaannya ternyata

Cagar Alam Pulau Sempu ini telah berkembang menjadi tempat wisata dan

perkemahan. Akibat adanya aktivitas tersebut, kemungkinan dapat memengaruhi

jumlah individu herpetofauna yang berada disana. Oleh karena itu perlu diketahui

seberapa besar pengaruh faktor lingkungan fisik dan jarak dari pusat perkemahan

terhadap jumlah individu herpetofauna di Cagar Alam Pulau Sempu.

C. Tujuan

1. Mengetahui jumlah individu herpetofauna di Cagar Alam Pulau Sempu.

2. Mengetahui pengaruh aktivitas manusia dan faktor lingkungan fisik terhadap

jumlah individu herpetofauna di Cagar Alam Pulau Sempu.

D. Manfaat

1. Memberikan informasi mengenai seberapa besar dampak adanya aktivitas

manusia di dalam kawasan terhadap jumlah individu herpetofauna di sekitar

area perkemahan di Cagar Alam Pulau Sempu.

2. Memberikan gambaran kondisi lingkungan di sekitar area perkemahan

(8)

3 3. Memberikan arahan pengelolaan untuk Cagar Alam Pulau Sempu berdasarkan

(9)

4 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Herpetofauna

Herpetofauna berasal dari kata “herpeton” yaitu binatang melata, terdiri dari kelas reptil dan amfibi. Kedua kelompok ini masuk ke dalam satu bidang

yaitu ilmu herpetology karena mereka mempunyai cara hidup dan habitatnya

yang hampir serupa, sama-sama satwa vertebrata ektotermal (membutuhkan

sumber panas eksternal), serta metode untuk pengamatan dan koleksi yang

serupa (Kusrini, 2008).

Amfibi dan reptil mempunyai daerah persebaran yang sangat luas di

dunia, menempati semua benua kecuali Antartika, dapat dijumpai dari laut,

sungai, darat, tepi pantai, hutan dataran rendah, sampai pegunungan, namun

demikian bukan berarti setiap jenis amfibi dan reptil dapat dijumpai di semua

tempat. Beberapa jenis amfibi dan reptil memiliki daerah sebaran yang sempit

dan terbatas, kadang hanya dijumpai pada tipe habitat spesifik, sehingga

jenis-jenis yang mempunyai habitat spesifik sangat baik digunakan sebagai jenis-jenis

indikator terjadinya perubahan lingkungan (Mistar, 2008).

Amfibi dan reptil merupakan hewan yang kerap disebut berdarah dingin.

Baik amfibi maupun reptil bersifat ectothermic dan poikilotherm yang berarti

mereka menggunakan sumber panas dari lingkungan untuk memperoleh energi. Perbedaan utama antara “berdarah dingin” dan “berdarah panas” adalah yang pertama suhu tubuhnya lebih berfluktuasi dengan adanya masukan dari

lingkungan. Sementara hewan berdarah panas (mamalia, misalnya) adalah

homeothermic dimana suhu tubuh dikelola dengan metabolisme tubuh.

Perbedaan utama antara amfibi dan reptil terletak pada perkembangan

embrio. Reptil seperti burung, dan mamalia memiliki telur amniota, yang berarti

embrio dilindungi oleh membrane embrio yang disebut sebagai amnion. Telur

reptil juga dilindungi oleh cangkang. Cangkang ini tidak bersifat tertutup karena

masih mampu bertukar hara dengan lingkungan.

1. Amfibi

Amfibi adalah satwa vertebrata dengan jumlah jenis terkecil, yaitu

(10)

5 yang berevolusi untuk kehidupan di darat dan merupakan nenek moyang

reptil.

Amfibi memiliki beragam ciri morfologis yang berbeda antar ordo.

Secara umum, semua amfibi memiliki kulit yang tipis dan halus. Berberapa

jenis menggunakan kulitnya untuk respirasi dan pertukaran gas dengan

udara. Sebagian besar jenis amfibi memiliki mata yang besar untuk mencari

mangsanya.

Beberapa jenis amfibi yang sering dijumpai diantaranya :

a) Sesilia

Ordo Gymnophiona juga dikenal dengan nama lain sesilia.

Ordo ini terdiri dari 34 genera dan 5 famili. Jumlah jenis dari Ordo

tersebut adalah sebanyak 163 jenis, atau sekitar 3.5% dari seluruh jenis

amfibi (Kusrini, 2008). Bangsa ini mempunyai bentuk tubuh seperti

cacing dengan kepala dan mata tampak jelas. Aktif pada malam hari

dan membutuhkan perairan yang jernih sebagai habitatnya. Jenis ini

sulit dijumpai karena hidup di sungai- sungai kecil maupun besar pada

stadium larva yaitu ekor masih terdapat bagian tubuh seperti sirip di

bagian ekor, dan kemudian akan mereduksi setelah dewasa dan hidup

dalam liang-liang tanah (Mistar, 2008).

Satwa dari Ordo Gymnophiona memiliki tubuh panjang tanpa

kaki, seperti cacing. Ciri-ciri seperti bentuk tulang, gigi, dan lemak

dalam tubuh menyerupai amfibi, sehingga sesilia termasuk dalam kelas

tersebut. Sebagian besar sesilia berwarna abu-abu kebiruan. Ukurannya

berkisar dari 7 cm sampai 150 cm (Kusrini, 2008).

b) Katak dan Kodok

Katak dan kodok adalah anggota dari Ordo Anura. Untuk

penjelasan seterusnya, kelompok ini akan disebut katak. Ordo tersebut

terdiri dari 20 famili dengan 303 genera. Saat ini terdapat lebih dari

4,100 jenis Anura di dunia, atau sekitar 87% dari semua jenis amfibi.

Indonesia memiliki sekitar 376 jenis amfibi (IUCN 2009). Jumlah jenis

amfibi terus bertambah dengan adanya penemuan jenis-jenis baru.

Katak dan kodok merupakan amfibi yang paling mudah dikenal.

Tubuh katak tampak seperti berjongkok dengan empat kaki. Kaki

(11)

6 berfungsi untuk melompat. Kepala katak tidak dipisahkan dari badan

oleh leher yang jelas. Katak memiliki mata yang besar dengan pupil

horizontal atau vertikal.

Katak dan kodok berbeda dari ciri katak yang memiliki kulit tipis

dan halus, tubuh ramping, dan kaki yang lebih kurus dan panjang.

Kodok memiliki tubuh yang lebih pendek dan gemuk dengan kulit

kasar dan tertutup bintil-bintil. Warna katak bervariasi, dari hijau,

coklat, hitam, merah, oranye, kuning dan putih. Ukuran SVL (snout

vent length) Anura berkisar dari 1-35 cm, tetapi kebanyakan berkisar

antara 2-12 cm.

Katak dan kodok tersebar pada seluruh benua kecuali pada kedua

kutub dan daerah gurun yang sangat kering, dengan lebih dari 80% dari

seluruh jenis terdapat di daerah tropik dan sub-tropik. Kelompok ini

terdapat di seluruh Indonesia, dari Sumatra sampai Irian.

2. Reptil

Reptil merupakan hewan vertebrata yang termasuk ke dalam

phylum Chordata, taksonomi reptil adalah sebagai berikut (Zug, 2001) :

Kingdom :Animalia

Phylum :Chordata

Sub-phyllum :Vertebrata

Kelas :Reptilia

Ordo :Rhyncocephalia (Tuatara), Crocodylia (Buaya)

Testudinata (Kura-kura dan penyu), Squamata (Ular dan kadal)

Satwa reptil terdiri dari 48 famili, sekitar 905 genus dengan 6,547

spesies. Jumlah ini terus berubah seiring dengan berkembangan ilmu

pengetahuan dan penemuan jenis-jenis baru. Indonesia memiliki tiga dari

keempat ordo, yaitu Ordo Testudinata, Squamata dan Crocodylia.

Reptil memiliki kulit bersisik tanpa kelenjar, bulu, rambut atau

kelenjar susu seperti pada mamalia. Warna kulit beragam, dari warna yang

menyerupai lingkungannya sampai warna yang membuat reptil mudah

terlihat. Semua reptil tidak memiliki telinga eksternal. Pada sebagian besar

reptil terdapat perbedaan antara jantan dan betina yaitu pada ukuran dan

bentuk, maupun warna tubuh dewasa.

(12)

7 a) Kadal

Ordo Squamata dibagi lebih lanjut menjadi tiga sub-ordo, yaitu

Sauria (Lacertilia) yang mencakup kadal, Amphisbaenia, dan Serpentes

(Ophidia) yang mencakup ular. Kadal merupakan kelompok terbesar

dalam reptil. Kadal terdiri dari 3,751 jenis dalam 383 genus dan 16

Kadal memiliki beragam bentuk, ukuran dan warna. Sebagian

besar memiliki empat kaki, walaupun terdapat beberapa jenis yang tidak

berkaki. Ukuran Snout-Vent Length (SVL) kadal berkisar dari 1,5 - 145

cm, tetapi sebagian besar berkisar antara 6-20 cm.

b) Ular

Ular adalah reptil yang tidak memiliki kaki, kelopak mata, atau

telinga eksternal. Seluruh tubuhnya tertutup oleh sisik. Jumlah, bentuk

dan penataan sisik ular dapat digunakan untuk mengidenifikasi jenis

ular. Ukuran tubuh ular berkisar dari 10 mm sampai 10 m. Ular

terpanjang berasal dari famili Pythonidae. Sebagian besar ular

berukuran antara 45-200 cm, dan 10-20% dari panjang tersebut adalah

panjang ekor.

B. Habitat Herpetofauna

Menurut Alikodra (2002) habitat satwa yaitu suatu kesatuan dari faktor

fisik maupun biotik yang digunakan untuk memenuhi semua kebutuhan

hidupnya. Herpetofauna sangat menyukai tempat-tempat yang kondisi

kelembabannya relatif tinggi dan dekat dengan badan air (Fitri, 2002).

1. Amfibi

Amfibi hidup selalu berasosiasi dengan air, amfibi menghuni habitat

yang sangat bervariasi, dari tergenang di bawah permukaan air sampai hidup

dipuncak pohon yang tinggi. Kebanyakan jenis amfibi hidup dikawasan

berhutan, karena membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi

(13)

8 tidak pernah meninggalkan air. Jenis yang hidup diluar air biasanya datang

mengunjungi air untuk beberapa periode, paling sedikit dalam musim

berbiak dan selama perkembangbiakan (Iskandar, 1998).

2. Reptil

Reptil memliki beberapa adaptasi untuk kehidupan darat yang

umumnya tidak ditemukan pada amfibia. Sebagai hewan yang berdarah

dingin, reptil memerlukan sumber panas untuk dapat bertahan hidup. Sisik

yang mengandung protein keratin membuat kulit reptilia kedap air, sehingga

membantu mencegah dehidrasi di udara kering. Reptil mampu bertahan

hidup pada daerah yang sangat ekstrim. Mattison (2005) menyebutkan

bahwa terdapat 2 spesies yang mampu bertahan pada daerah dingin seperti

kutub. Tidak jauh berbeda dengan amfibi, reptil juga menyukai habitat

lembab dengan tajuk pohon yang rapat. Penyebaran reptil sangat

dipengaruhi oleh cahaya matahari yang mencapai daerah tersebut (Halliday

dan Adler, 2000).

Vegetasi dianggap sebagai komponen yang paling penting dalam

deskripsi tentang lingkungan satwa liar. Vegetasi tidak hanya menyediakan

makanan tetapi juga memberikan tempat untuk berlindung dari pengaruh

perubahan cuaca dan melindungi diri dari predator atau manusia (Priyo,

dkk., 2008).

Hubungan antara satwa liar dan vegetasi bersifat dua arah. Satwa liar

bergantung pada vegetasi untuk memenuhi kebutuhan makan dan tempat

berlindung. Demikian juga tumbuhan yang beberapa diantaranya

membutuhkan bantuan satwa liar dalam siklus hidupnya untuk penyerbukan

bunga, penyebaran dan perkecambahan biji. Hubungan keduanya telah

membentuk suatu sistem dinamis yang saling terkait dan saling

mempengaruhi.

C. Faktor Fisik Lingkungan

Faktor fisik lingkungan merupakan faktor yang sangat berpengaruh

terhadap perilaku dan daya tahan herpetofauna. Suhu merupakan salah satu

parameter yang sangat mempengaruhi kegiatan dan pola tingkah laku dari

herpetofauna. Perubahan yang drastis dapat mengakibatkan gangguan pada

(14)

9 beberapa kasus herpetofauna mati karena suhu yang tinggi. banyak pakar yang

mengatakan bahwa kehadiran herpetofauna pada suatu kawasan dapat dijadikan

sebagai indikator lingkungan, dengan kata lain dengan semakin banyaknya jenis

yang ada dan jenis tertentu yang peka terhadap lingkungan maka kemungkinan

pada kualitas lingkungan pada kawasan tersebut kemungkinan juga tinggi.

(Kusrini, 2008).

Faktor fisik adalah faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap

ekosistem. Faktor fisik yang berpengaruh terhadap kehidupan satwa seperti

suhu, kelembaban, kelerengan, ketinggian tempat, jarak dari sumber air, dan

Jarak dari perkemahan. Penurunan faktor fisik lingkungan pada suatu ekosistem

akan mengakibatkan menurunnya produktivitas sehingga dalam mengolah

sumberdaya alam faktor lingkungan fisik harus diperhatikan, terutama untuk

pengelolaan satwa-satwa yang sensitif terhadap perubahan lingkungan seperti

amfibi.

D. Pulau Sempu

Kawasan hutan Pulau Sempu ditunjuk sebagai Cagar Alam berdasarkan

Besluit van den Gouverneur Generaal van Nederlandsch Indie No : 69 dan No.46 tanggal 15 Maret 1928 tentang Aanwijzing van het natourmonument Poelau Sempoe dengan luas 877 ha. Secara administratif Cagar Alam Pulau Sempu terletak di Dusun Sendang Biru, Desa Tambak Rejo, Kecamatan

(15)

10 BAB III

LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS

A. LandasanTeori

Herpetofauna merupakan kelompok satwa yang terdiri dari amfibi dan reptil.

Herpetofauna terutama amfibi dapat berfungsi sebagai bio-indikator bagi kondisi

lingkungan karena amfibi memiliki respon terhadap perubahan lingkungan.

Herpetofauna membutuhkan habitat yang sesuai untuk dapat hidup.

Pulau Sempu merupakan kawasan Cagar Alam yang memiliki berbagai tipe

ekosistem antara lain hutan pantai, hutan mangrove, dan hutan tropis dataran

rendah. Tipe ekosistem yang dimiliki menunjukkan bahwa CA Pulau Sempu

memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Kondisi ekosistem dan

keanekaragaman tersebut kini sudah terganggu akibat adanya aktivitas manusia

yang masuk ke dalam kawasan CA Pulau Sempu. Para wisatawan ilegal kerap

berkemah di berbagai lokasi yang memiliki pemandangan yang indah terutama di

Segara Anakan. Kegiatan perkemahan tersebut mengakibatkan kerusakan yang

cukup tinggi terhadap lingkungan sekitarnya. Maka dari itu perlu diketahui seberapa

besar pengaruh aktivitas manusia tersebut terhadap jumlah individu herpetofauna.

Habitat dari herpetofauna juga dipengaruhi oleh faktor fisik lingkungan.

Faktor fisik lingkungan yang dimaksud yaitu suhu, kelembaban, ketebalan seresah,

kelerengan. persentase penutupan tajuk, dan persentase penutupan tumbuhan bawah.

Pada umumnya herpetofauna merupakan satwa yang sensitif terhadap perubahan

lingkungan. maka, perlu dilakukan penelitian terkait pengaruh faktor fisik

lingkungan terhadap jumlah individu herpetofauna di CA Pulau Sempu.

B. Hipotesis

Berdasarkan latar belakang maka hipotesis dari penelitian ini yaitu jarak dari

aktivitas manusia dan faktor lingkungn fisik berpengaruh terhadap jumlah individu

(16)

11 BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Pengambilan data dilakukan di Segara Anakan Cagar Alam Pulau Sempu

yang terletak di kawasan kerja Resort Konservasi Wilayah (RKW) Pulau Sempu,

Seksi Konservasi Wilayah VI, Bidang BKSDA Wilayah III/Jember, Balai Besar

KSDA Jawa Timur. Pada tanggal 1-5 Maret 2014.

(17)

12 B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk penelitian ini yaitu :

1. Alat dokumentasi

Bahan yang digunakan untuk penelitian ini yaitu herpetofauna yang

ditemukan di lokasi pengamatan.

C. Metode Pengambilan Data

Data yang diambil antara lain :

1. Data herpetofauna meliputi jumlah dan jenis setiap individu herpetofauna.

2. Data faktor lingkungan fisik yang diambil meliputi suhu, ketebalan seresah,

kelerengan, kelembaban, persen penutupan tajuk, dan persen penutupan

tumbuhan bawah.

3. Data aktivitas panusia yaitu diwakili oleh jarak dari pusat perkemahan di Segara

Anakan.

1. Pengambilan Data Herpetofauna

Metode yang digunakan untuk mengetahui jenis herpetofauna (reptil dan

amfibi) di CA Pulau Sempu adalah line transect (gambar 1). Jumlah line transect yang dibuat sebanyak empat garis yang dibuat secara berurutan dan sejajar. Line

transect pertama berjarak 10 m dari jarak dari perkemahan manusia di Segara Anakan (gambar 2). Jarak 10 meter dari perkemahan manusia untuk

menghindari efek tepi. Line transect dibuat dengan lebar 20 m dan panjang 160

m yang kemudian dibagi menjadi 8 segmen, dengan panjang tiap segmennya 20

m.

Pengambilan data herpetofauna dengan metode VES with time sea rch 15

(18)

13 menyeluruh areal disetiap segmen (dibalik batu, dipohon, di balik seresah, dan

lain-lain) untuk mencari herpetofauna (amfibi dan reptil). Time search selama 15 menit adalah batasan waktu yang digunakan untuk mencari herpetofauna

disetiap segmennya. Metode ini dapat dipakai kapan saja,baik pagi hari maupun

malam hari. Pagi hari jika digunakan untuk herpetofauna yang beraktivitas pada

pagi hari (diurnal) umumnya reptil, sedangkan malam hari digunakan untuk

herpetofauna yang beraktivitas pada malam hari (nocturnal) umumnya amfibi.

Data herpetofauna yang diambil yaitu jumlah dan jenis setiap individu

Herpetofauna.. Untuk identifikasi dapat dilakukan dengan cara ditangkap lalu

dicocokkan dengan buku identifikasi dan bila belum bisa mengetahui jenisnya

(19)
(20)

15 Gambar 3. Teknis penempatan line transect di Segara Anakan

b. Pengambilan Data Faktor Fisik

1. Data faktor fisik yang diambil berupa kelerengan, suhu, ketebalan seresah,

persen penutupan tajuk, persen penutupan tumbuhan bawah, dan

kelembaban udara serta aktivitas manusia (jarak dari pusat perkemahan).

2. Suhu dan kelembaban udara diukur pada setiap segmen dalam line transect

menggunakan termohigrometer pada pusat segmen, sedangkan kelerengan

dengan menggunakan klinometer, ketebalan seresah dengan menggunakan

penggaris serta persen penutupan tajuk dan persen tumbuhan bawah

menggunakan tabung okuler.

3. Jarak dari aktivitas manusia diambil dengan menggunakan rollmeter dimulai

dari titik terluar perkemahan di Segara Anakan dengan jarak 10 m dan

bertambah 20 m untuk setiap segmen pada line tra nsect.

10 m

20 m 20

(21)

16 D. Metode Analisis Data

Pengaruh faktor fisik lingkungan dan jarak dari pusat perkemahan terhadap

jumlah individu herpetofauna dianalisis menggunakan bantuan Program R dengan

metode analisis regresi linear Generalized Linea r Model (GLM). R adalah suatu sistem untuk analisis statistik dan grafik yang diciptakan oleh Ross Ihaka dan

Robert Gentleman. Adapun kelebihan dan kekurangan yang diperoleh bila

menggunakan bahasa R untuk pengajaran statistik adalah (Yudistira, 2005):

- Kelebihan:

 R dapat diperoleh dengan gratis. R merupakan suatu open-source dan dapat

digunakan pada berbagai sistem operasi seperti UNIX, Windows, Linux dan

Macintosh.

 R memiliki sistem bantuan (help) yang canggih.

 R memiliki kemampuan membuat grafik yang canggih.

 Mahasiswa dapat dengan mudah berpindah ke sistem komersial S-Plus, bila

software komersial diperlukan.

 Bahasa R mempunyai kemampuan yang tangguh, sintaxnya mudah dipelajari

dengan banyak fungsi-fungsi statistik yang terpasang (built-in).

 Bahasa R dapat dengan mudah diperluas dengan menciptakan fungsi-fungsi

buatan pengguna sendiri.

 R merupakan bahasa pemrograman komputer, sehingga bagi pemrogram

menjadi lebih akrab, sedangkan bagi pemakai awal akan merupakan langkah

yang mudah untuk memulai sebagai pemrogram komputer.

- Kekurangan:

 R memiliki antarmuka untuk grafik yang terbatas (S-Plus memiliki lebih

banyak).

 Tidak tersedia dukungan komersial (tetapi mailing list internasional dapat

menggantikannya).

 Perintah-perintahnya merupakan bahasa pemrograman, jadi mahasiswa harus

(22)

17 BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Pengambilan data di lapangan dilakukan di Segara Anakan yang merupakan

lokasi di Pulau Sempu yang paling banyak pengunjungnya, atas dasar itulah maka

pemilihan lokasi ini dilakukan dengan asumsi pengaruh dari aktivitas manusia itu

dinilai cukup tnggi. Pengambilan data dilakukan pada dua waktu yaitu pada malam

hari dan pagi hari menjelang siang. Data yang diperoleh pada saat pengambilan data

di Segara Anakan yaitu sebanyak 49 individu, data inilah yang digunakan untuk

dianalisis statistik. Sedangkan di lokasi lain ditemukan secara kebetulan digunakan

sebagai data tambahan potensi herpetofauna di CA Pulau Sempu dan data ini tidak

dimasukkan ke dalam analisis statistik. Data tersebut tertera pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Jenis-jenis Herpetofauna Yang Ditemukan di CA Pulau Sempu (2014)

No Nama Jenis Lokasi Ditemukannya Jumlah

Individu

1 Kadal Seresah (Eutropis multifasciata)

Segara Anakan

18

2 Kadal Bintik (Eutropis sp.) 4

3 Kadal Pantai (Cryptoblepharus cursor) 3

4 Kadal Tungkai Pendek (Lygosoma quadrupes) 2

5 Tokek (Gekko gecko) 5

6 Cicak Batu (Cyrtodactylus marmoratus) 8

7 Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomystax) 1

8 Ular Bandotan (Trimeresurus puniceus) 1

9 Cicak Rumah Asia (Hemidactylus frenatus) 7

10 Percil Berselaput (Microhyla palmipes) Pasir Kembar 1

11 Ular Tampar (Dendrelaphis pictus) Teluk Semut 1

12 Biawak Air (Varanus salvator) Teluk Semut & Telaga Lele 2

13 Ular Laut Belang (Laticauda colubrina) Sendang Biru 1

14 Bunglon Surai Jawa (Gonocephalus chamaeleontinus) Goa 1

Jumlah 55

Untuk melengkapi data herpetofauna yang ada di CA Pulau Sempu maka

kami sajikan data hasil pengamatan KP3H pada tahun 2011 yang pengambilan

datanya menggunakan metode VES (Visual Encounter Survey). Pengambilan data dilakukan dengan menjelajah Pulau Sempu dan mengunjungi lokasi-lokasi yang

berpotensi ditemukan herpetofaunanya dengan waktu yang relatif singkat dan radius

(23)

18 Tabel 2. Jenis-jenis Herpetofauna Yang Ditemukan di CA Pulau Sempu (2011)

No Jenis

1 Percil Berselaput (Microhyla palmipes) 17 3 20

2 Kodok Puru Kerdil (Bufo parvus) 1 1

3 Bancet Hijau (Occidozyga lima) 2 2

4 Kodok Puru Hutan (Bufo bipocartus) 1 1

5 Kongkang Kolam (Rana chalconata) 2 2

6 Belentuk (Kaloula baleata) 1 1

7 Katak Pohon Bergaris (Polypedates

leucomystax) 1 1 1 1 4

8 Tokek (Gekko gecko) 1 1

9 Kadal Pantai (Cryptoblepharus cursor) 1 1

10 Cicak Batu (Cyrtodactylus

marmoratus) 4 4 8

11 Ular Pucuk (Ahaetulla prasina) 1 1 2

Total 24 1 6 7 5 43

Sumber: KP3H, 2011.

Sesuai dengan tujuan utama dari penelitian ini yaitu mengetahui pengaruh

aktivitas manusia (yang diwakili dengan jarak dari perkemahan) dan faktor

lingkungan fisik terhadap jumlah individu herpetofauna di Pulau Sempu, maka dari

data yang telah diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan statistik, analisis

statistik yang digunakan yaitu regresi linear. Variabel dependennya yaitu jumlah

individu herpetofauna sedangkan variabel independennya yaitu jarak dari

perkemahan dan faktor lingkungan fisik. Analisis dilakukan tiga tahap dengan

variabel dependen tetap dipertahankan, tahap yang pertama yaitu melihat pengaruh

jarak dari pusat perkemahan terhadap jumlah individu herpetofauna, tahap ke dua

yaitu melihat pengaruh faktor lingkungan fisik (suhu, kelembaban, ketebalan

seresah, kelerengan, penutupan tajuk, dan penutupan tumbuhan bawah) terhadap

jumlah individu herpetofauna, sedangkan yang yang ke tiga yaitu mencari model

regresi terbaik dari keseluruhan variabel yang ada dengan menggabungkan semua

variabel independen untuk dianalisis dan dilihat pengaruhnya terhadap variabel

dependen yaitu jumlah individu herpetofauna lalu dilakukan eliminasi variabel yang

tidak berpengaruh signifikan demi mendapatkan model regresi terbaik. Hasil

(24)

19 1. Jarak dari perkemahan -> jumlah individu herpetofauna:

(25)

20 3. Model regresi terbaik dari variabel yang berpengaruh signifikan terhadap jumlah

individu herpetofauna:

Di dalam hasil analisis tersebut, pada model regresi terbaik menghasilkan

empat variebel bebas (independen) yang berpengaruh signifikan yaitu jarak dari

perkemahan, suhu, persen penutupan tajuk, dan persen penutupan tumbuhan bawah,

sehingga dapat diasumsikan bahwa jarak dari perkemahan adalah “X1”, suhu adalah

“X2”, persen penutupan tajuk adalah “X3”, dan persen penutupan tumbuhan bawah adalah “X4”. Maka dapat dibuat persamaan regresi sebagai berikut:

Y = - 9,439253 + 0.011771 X1 + 0,232841 X2 + 0,029816 X3 + 0,27545 X4

Keterangan :

Y : Jumlah individu herpetofauna

X1 : Jarak dari perkemahan

X2 : Suhu

X3 : Persen penutupan tajuk

(26)

21 Grafik 1. Jumlah Individu Herpetofauna Terhadap Jarak dari Perkemahan

Tabel 3. Jumlah Jenis Terhadap Jarak dari Perkemahan

B. Pembahasan

Untuk mengetahui jumlah individu herpetofauna di Pulau Sempu yaitu

dengan menggunakan data primer hasil survei langsung di lapangan serta data

(27)

22 dari aktivitas manusia di Segara Anakan, maka data yang didapatkan di Segara

Anakan pun lebih banyak dibanding penelitian pada tahun 2011, sedangkan data

lainnya pada penelitian ini didapatkan oleh Kelompok Pengamat Peneliti Pemerhati

lainnya ketika mereka melakukan pengambilan data untuk penelitian mereka dan

juga diperoleh di perjalanan ketika tracking.

Dalam penelitian ini yaitu difokuskan pada jarak dari perkemahan dan

faktor fisik lingkungan yang mempengaruhi jumlah individu herpetofauna.

Pengambilan data dilakukan pada lokasi di Pulau Sempu yang paling banyak

dikunjungi oleh manusia yaitu Pantai Segara Anakan. Dalam pelaksanaan

pegambilan datanya, desain plot sampling yaitu dengan menggunakan metode Line

Transect sedangkan dalam pengambilan datanya di dalam plot sampling tersebut

yaitu dengan metode Visual Encounter Survey (VES) with time search. Data yang diambil yaitu jumlah individu herpetofauna, jarak dari perkemahan manusia, serta

data faktor lingkungan fisik. Yang dimasukkan dalam data faktor lingkungan fisik

yaitu suhu, kelembaban, kelerengan, ketebalan seresah, persen penutupan tajuk, dan

persen penutupan tumbuhan bawah. Data yang diperoleh lalu diolah dengan statistik

menggunakkan analisis regresi, regresi yang digunakan yaitu Generalized Linea r Model (GLM), sedangkan software yang digunakan untuk mengolahnya yaitu Program R.

Dari hasil analisis data, pada tahap pertama yaitu pengaruh jarak dari

perkemahan terhadap jumlah individu herpetofauna terlihat sangat signifikan

ditunjukkan dengan adanya dua buah tanda bintang (**). Hal ini jelas membuktikan

bahwa aktivitas manusia sangat berpengaruh terhadap jumlah individu

herpetofauna. Jarak dari perkemahan berpengaruh positif terhadap jumlah individu

herpetofauna yang artinya semakin jauh jarak dari perkemahan maka semakin

banyak ditemukan individu herpetofauna. Pada tahap kedua terlihat bahwa dari 6

faktor lingkungan fisik hanya terdapat empat faktor yang berpengaruh signifikan

terhadap jumlah individu herpetofauna yaitu suhu, kelembaban, penutupan tajuk,

dan penutupan tumbuhan bawah.

Pada tahap ketiga analisis, dalam mencari model regresi terbaik yaitu dengan

memasukkan semua variabel independen untuk dilihat pengaruhnya terhadap

variabel dependen, lalu bagi variabel yang tidak signifikan maka dieliminasi. Hasil

menunjukkan bahwa dari tujuh variabel terdapat empat variabel yang berpengaruh

(28)

23 pun berpengaruh meskipun signifikansinya tidak sebesar ketika dianalisis sendiri

tanpa digabungkan. Variabel yang berpengaruh signifikan pada tahap analisis ini

yaitu jarak dari perkemahan manusia, suhu, persen penutupan tajuk, dan persen

penutupan tumbuhan bawah. Variabel yang paling signifikan yaitu penutupan tajuk

ditunjukkan dengan adanya 2 tanda bintang (**) dengan nilai signifikansi 0,00271.

Penutupan tajuk berpengaruh positif terhadap jumlah individu herpetofauna yang

artinya semakin rapat penutupan tajuknya maka semakin tinggi jumlah individu

herpetofauna yang ditemukan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Firi (2002),

bahwa amfibi dan reptil menyukai habitat lembap dengan tajuk pohon yang rapat.

Variabel yang berpengaruh signifikan selanjutnya yaitu faktor suhu yang

ditunjukkan dengan satu tanda bintang (*) dengan nilai signifikansi 0,04013. Dari

hasil menunjukkan bahwa suhu berpengaruh positif terhadap jumlah individu

herpetofauna, padahal seharusnya semakin tinggi suhu maka semakin sedikit jumlah

herpetofauna yang ditemukan, hal ini disebabkan oleh pengambilan data yang

dilakukan pada dua waktu yaitu petang menjelang malam dan pagi menjelang siang,

dan yang banyak ditemukan itu ketika pagi menjelang siang dengan jenis yang

dominan ditemukan yaitu dari keluarga kadal, dapat dilihat pada hasil bahwa kadal

seresah merupakan jenis yang paling banyak ditemukan. Sedangkan saat pagi

menjelang siang merupakan waktu berjemurnya kadal yang notabene memerlukan

energi dari cahaya matahari untuk beraktivitas, berburu, dan mencerna makanan.

Variabel selanjutnya yaitu penutupan tumbuhan bawah, hasil menunjukkan

adanya pengaruh positif dari penutupan tumbuhan bawah terhadap jumlah individu

herpetofauna meskipun signifikansinya tidak terlalu tinggi hanya sebesar 0,07010

dengan ditunjukkan oleh tanda titik (.). Hal ini disebabkan oleh beberapa

herpetofauna membutuhkan tumbuhan bawah untuk berlindung dan melakukan

aktivitas sehari-harinya. Sedangkan untuk jarak dari perkemahan itu sendiri juga

memiliki nilai signifikansi yang hanya ditunjukkan oleh tanda titik saja dengan nilai

signifikansinya sebesar 0,01553. Jarak dari perkemahan terhadap jumlah individu

herpetofauna berpengaruh positif yang artinya semakin jauh jaraknya maka semakin

banyak jumlah individu herpetofauna yang ditemukan. Hal ini terkait dengan

gangguan yang dihasilkan oleh manusia di sekitar area perkemahan, adanya

kebisingan dan pengrusakan terhadap lingkungan baik dari kerusakan vegetasi

maupun pencemaran dari sampah membuat herpetofauna menjauh dari area sekitar

(29)

24 Dapat dilihat pula dari Grafik 5. yang menujukkan adanya peningkatan

jumlah individu herpetofauna yang ditemukan seiring dengan menjauhnya jarak dari

perkemahan. Peningkatan jumlah individu terjadi dari jarak 20 m hingga jarak 60 m,

lalu dari jarak 60 m sampai 80 m jumlah individu yang ditemukan konstan, pada

jarak tersebut kondisi lahan memiliki kelerengan yang sangat curam maka

diasumsikan menjadi penyebab tidak terjadinya pertambahan jumlah individu yang

ditemukan. Jika dibandingkan dari jarak terdekat dan jarak terjauh maka dapat

dilihat bahwa pada jarak 20 m atau interval 10-30 m hanya ditemukan empat

individu herpetofauna dan pada jarak 100 m atau interval 90-110 m ditemukan 10

individu. Sedangkan pada jarak di atas 120 m atau dengan interval 110 ke atas itu

kondisinya sudah di puncak bukit dan selanjutnya menuruni bukit, sehingga

diasumsika sudah tidak terkena dari dampak aktivitas manusia di Segara Anakan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat diketahui bahwa adanya

pengaruh dari aktivitas manusia dalam hal ini berbentuk kegiatan perkemahan di

Segara Anakan terhadap jumlah individu herpetofauna. Fenomena tersebut

menunjukkan bahwa yang seharusnya suatu Cagar Alam itu memiliki kondisi

ekosistem yang asli dan tidak terganggu namun dalam kasus ini terbukti adanya

perubahan kondisi ekosistem yang berdampak pada jumlah individu herpetofauna.

Herpetofauna terutama amfibi merupakan sekelompok satwa yang sensitif terhadap

perubahan lingkungan, adanya perubahan kondisi populasi herpetofauna menjadi

indikator terhadap ekosistem yang terganggu. Dengan mengetahui adanya

perubahan kondisi populasi herpetofauna maka dapat memberikan indikasi pada

(30)

25 BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Herpetofauna yang ditemukan di Cagar Alam Pulau Sempu yaitu sebanyak 98

individu dengan 20 jenis yang terdiri dari 7 jenis amfibi dan 13 jenis reptil.

2. Aktivitas manusia yang diwakili oleh jarak dari perkemahan di Segara Anakan

Cagar Alam Pulau Sempu berpengaruh signifikan terhadap jumlah individu

herpetofauna, semakin jauh jarak dari perkemahan semakin banyak pula jumlah

individu herpetofauna yang ditemukan. Faktor lingkungan fisik yang

berpengaruh signifikan terhadap jumlah individu herpetofauna yaitu suhu,

persen penutupan tajuk, dan persen penutupan tumbuhan bawah.

B. Saran

1. Untuk penelitian tentang keanekaragaman herpetofauna disarankan pengambilan

data herpetofauna dilakukan dengan masuk ke dalam kawasan yang jarang

dimasuki oleh manusia agar mendapatkan data yang lebih banyak daripada

hanya sekedar di jalur tracking.

2. Jarak transek yang hanya sekitar 100 meter itu belum cukup dapat

merepresentasikan keadaan yang sesungguhnya, maka diperlukan penambahan

jarak transek agar bias semakin kecil.

3. Analisis regresi sebaiknya dilakukan per jenis atau per kelompok jenis dari

herpetofauna yang memiliki karakteristik sifat yang sama, karena ketika

dianalisis bersama secara general maka bias yang dihasilkan akan cukup besar.

4. Metode pengambilan data sebaiknya tidak hanya menggunakan VES, tapi

dikombinasikan dengan metode perangkap lem yang diletakan pada tiap segmen

line transect untuk memperkaya data individu herpetofauna.

5. Berdasarkan hasil penelitian ini, aktivitas manusia mempengaruhi jumlah

individu herpetofauna. Pulau Sempu dengan status yang sekarang yaitu sebagai

Carag Alam selayaknya dilakukan penegakkan hukum agar tidak ada manusia

yang memasuki kawasan tersebut tanpa izin agar habitat herpetofauna dan satwa

lainnya bisa pulih kembali dan populasinya pun kembali normal.

6. Jika Pulau Sempu ini akan berganti status dari Cagar Alam menjadi Taman

(31)

26 Segara Anakan yang sekarang kondisi lingkungannya dapat dikatakan sangat

buruk, sampah berserakan, bekas tungku pembakaran yang tidak dibersihkan,

perilaku pengunjung yang tidak ramah lingkungan luput dari perhatian

pengelola. Sebaiknya jika Pulau Sempu ini berganti status kawasan, sangat

dianjurkan untuk diadakan pos penjagaan untuk mengawasi perilaku dari

pengunjung Pulau Sempu ini agar dampak kerusakan lingkungan tidak terlalu

besar dan satwa liar terutama herpetofauna masih dapat hidup berdampingan

(32)

27 DAFTAR PUSTAKA

Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwa liar. Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan. Bogor.

BBKSDA Jawa Timur, 2012. Cagar Alam Pulau Sempu. Diakses pada tanggal 20 Februari 2014 dari

http://bbksdajatim.org/kawasan/ca/cagar-alam-pulau-sempu.

Fitri, A. 2002. Keanekaragaman Jenis Amphibi (Ordo Anura) di Kebun Raya Bogor. (Skripsi). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Halliday, T. dan K. Adler. 2000. The Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Facts

on File Inc. New York.

Iskandar, D.T. 1998. Amfibi Ja wa dan Bali Seri Panduan Lapangan. Puslitbang LIPI. Bogor.

Iskandar, D.T. dan Colijn E. 2000. Premilinary Checklist of Southeast Asian and New Guinean Herpetofauna. Treubia: A Journal on Zoology of the Indo-Australian Archipelago. Vol 31, Part 3 (Suplement), pp. 1-133. Museum Zoolgicum

Bogoriense. Bogor.

KP3H, 2011. Laporan Penelitian Eksplora si Cagar Alam Pulau Sempu: Keanekaragaman Jenis Herpetofauna di Cagar Alam Pulau Sempu. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.

Kusrini, M. D. 2008. Pengenalan Herpetofauna. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Mattison, C. 2005. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. The Grange Lingsnorth Industrial Estate Hoo, Near Rochester Kent ME3 9ND.

Mistar. 2008. Panduan Lapangan Amfibi & Reptil di Areal Ma was Propinsi Kalimantan Tengah (Catatan di Hutan Lindung Beratus). Mawas: Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo The Borneo Orangutan Survival Foundation.

Priyo W, Surono I., Nishigaki T., Anang E.,. 2008. Indonesian Biodiversities, from

Microbes to Herbal Plants as Potential Functional Foods. Shinshu Daigaku Nogakubu Kiyo. 44(1-2): 23-27.

Stebbins RC, Cohen NW. 1997. A Natural History of Amphibians. Princeton University. New Jersey.

(33)

28 LAMPIRAN

Percil Berselaput (Microhyla palmipes)

(34)

29 Belentuk (Kaloula baleata)

(35)

30 Katak Pohon Bergaris (Polypedates leucomysta x)

(36)

31 Cicak Batu (Cyrtodactylus marmoratus)

(37)

32 Tokek (Gekko gecko)

(38)

33 Ular Pucuk (Ahaetulla prasina)

(39)
(40)

Gambar

Gambar 3. Pulau Sempu dan Segara Anakan
Gambar 2. Desain Plot Line Transect
Gambar 3. Teknis penempatan line transect di Segara Anakan
Tabel 1. Jenis-jenis Herpetofauna Yang Ditemukan di CA Pulau Sempu (2014)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan jenis Pajak Daerah di atas, yang menjadi pembahasan adalah Pajak Hiburan, dimana pajak hiburan sangat potensial dalam meningkatan Penerimaan daerah, maka

delbrueckii secara nyata paling efektif untuk mempertahankan kehilangan BK, BO, PK, NDF, ADF, selulosa dan mempertahankan penurunan KCBK in vitro dan KCBO in vitro

Hasil penelitian menunjukan pola penggunaan lahan perdagangan dan jasa yang memita, pola jaringan jalan spinal, kepadatan beragam, dan pola bangunan heterogen Jika ditinjau

Sesuai dengan arahan pada PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Pusat Kegiatan Strategis Nasional atau PKSN adalah kawasan

[r]

Misi penting dari inisiatif Nabi membuat Piagam Madinah adalah satu sisi Nabi berhasil menyatukan penduduk Madinah dalam perjanjian damai, sedang sisi lain menguntungkan Nabi

Fokus pada penelitian inj menggunakan teori dari jufrizen, (2013) mengenai Intensifikasi yang meliputi, memperluas basis penerimaan, memperkuat proses pemungutan,

Dalam penelitian ini kandungan N dan P daun pada perlakuan tanpa air dan tanpa pupuk lebih rendah dari persyaratan optimum yang diperlukan oleh tanaman salak, sedangkan kandungan