• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I BAB V (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB I BAB V (1)"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam aktivitas perekonomian suatu negara, konsumsi mempunyai peran penting di dalamnya serta mempuyai pengaruh yang sangat besar terhadap stabilitas perekonomian. Semakin tinggi tingkat konsumsi, semakin tinggi tingkat perubahan kegiatan ekonomi dan perubahan dalam pendapatan nasional suatu negara. Konsumsi keluarga merupakan salah satu kegiatan ekonomi keluarga untuk memenuhi berbagai kebutuhan barang dan jasa. Dari komoditi yang dikonsusmi itulah akan mempunyai kepuasan tersendiri. Oleh karena itu, konsumsi seringkali dijadikan salah satu indikator kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan masyarakat adalah tujuan dan cita-cita suatu negara. (Mizkat,2005)

Tingkat kesejahteraan suatu negara merupakan salah satu tolak ukur untuk mengetahui keberhasilan pembangunan di negara tersebut dan konsumsi adalah salah satu penunjangnya. Makin besar pengeluaran untuk konsumsi barang dan jasa, maka makin tinggi tahap kesejahteraan keluarga tersebut. Konsumsi rumah tangga berbeda-beda antara satu dengan lainya dikarenakan pendapatan dan kebutuhan yang berbeda-beda pula.

(2)

Secara umum dapat dikatakan bahwa persoalan yang dihadapi masyarakat adalah bersumber dari jumlah kebutuhan yang tidak terbatas. Biasanya manusia merasa tidak pernah merasa puas dengan benda yang mereka peroleh dan prestasi yang mereka capai. Apabila keinginan dan kebutuhan masa lalu sudah dipenuhi maka keinginan yang baru akan muncul. Di negara miskin hal seperti itu memang lumrah. Konsumsi makanan yang masih rendah dan perumahan yang kurang memadai telah mendorong masyarakat untuk mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Di negara kaya sekalipun, seperti Jepang dan Amerika serikat masyarakat masih mempunyai keinginan untuk mencapai kemakmuran yang lebih tinggi dari yang telah mereka capai sekarang ini (Sukirno 2008:6)

Pola konsumsi sering digunakan sebagai salah satu indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Tingkat kesejahteraan suatu masyarakat dapat pula dikatakan membaik apabila pendapatan meningkat dan sebagian pendapatan tersebut digunakan untuk mengkonsumsi non makanan, begitupun sebaliknya. Pergeseran pola pengeluaran untuk konsumsi rumah tangga dari makanan ke non makanan dapat dijadikan indikator peningkatan kesejahteraan masyarakat, dengan anggapan bahwa setelah kebutuhan makanan telah terpenuhi, kelebihan pendapatan akan digunakan untuk konsumsi bukan makanan. Oleh karena itu motif konsumsi atau pola konsumsi suatu kelompok masyarakat sangat ditentukan pada pendapatan. Atau secara umum dapat dikatakan tingkat pendapatan yang berbeda-beda menyebabkan keanekaragaman taraf konsumsi suatu masyarakat atau individu.

(3)

yang bervariasi antar rumah tangga sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kemampuan mengelolanya. Dengan perkataan lain bahwa peningkatan pendapatan suatu komunitas selalu diikuti bertambahnya tingkat konsumsi semakin tinggi pendapatan masyarakat secara keseluruhan maka makin tinggi pula tingkat konsumsi. (Sayuti, 1989:46-47).

Kemudian hubungan konsumsi dengan pendapatan dijelaskan dalam teori Keynes yang menjelaskan bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan disposible saat ini. Dimana pendapatan disposible adalah pendapatn yang tersisa setelah pembayaran pajak. Jika pendapatn disposible tinggi maka konsumsi juga naik. Hanya saja peningkatan konsumsi tersebut tidak sebesar peningkatan pendapatan disposibel. Selanjutnya menurut Keynes ada batas konsumsi minimal, tidak tergantung pada tingkat pendapatan yang disebut konsumsi otonom. Artinya tingkat konsumsi tersebut harus dipenuhi walaupun tingkat pendapatan = nol, dan hal ini ditentukan oleh faktor di luar pendapatan, seperti ekspektasi ekonomi dari konsumen, ketersediaan dan syarat-syarat kredit, standar hidup yang diharapkan, distribusi umur, lokasi geografis (Nanga,2001).

(4)

cenderung mengkonsumsi secara berlebih di lain pihak rumah tangga miskin tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.

Kota Makassar sebagai kota metropolitan menurut data yang bersumber dari BPS sudah dapat kita lihat bahwa rata-rata pengeluaran rumah tangga di Kota Makassar selama tahun 2002-2006 meningkat dengan cukup berarti. Pada tahun 2002 rata-rata pengeluaran rumah tangga di Kota Makassar mencapai Rp.1.068.429, kemudian meningkat menjadi Rp.1.976.959 pada tahun 2007. Disamping peningkatan rata-rata pengeluaran, indikasi meningkatnya kesejahteraan masyarakat ditunjukkan dengan terjadinya pergeseran pola konsumsi. Pengeluaran konsumsi makanan di tahun 2002 mencapai 54,83 persen menjadi 51,74 persen untuk konsumsi makanan dan 48,26 persen untuk konsumsi bukan makanan (BPS,2007). Berikut adalah tabel yang memperlihatkan rata-rata pengeluaran rumah tangga tahun 2002-2007

(5)

diseimbangkan dengan pendapatan yang tinggi merupakan suatu kondisi yang wajar, namun apabila konsumsi yang tinggi dengan pendapatan yang rendah oleh karena ada demonstration effect bisa mengakibatkan masalah perekonomian yang dapat mengurangi tingkat kesejahteraan di suatu negara.

Hal tersebut di atas, yang menjadi dasar ketertarikan penulis mengadakan penelitian dengan objek rumah tangga dalam hal ini rumah tangga miskin dan kaya yang dalam kenyataanya mempunyai pendapatan yang jumlahnya berbeda-beda dan pola konsumsinya dapat dikatakan cukup bervariasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul “ “Studi Perbandingan Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar.”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini hanya memasukkan unsur pendapatan sebagai variabel yang mempengaruhi pola konsumsi masyarakat Kota Makassar. Maka dapat dikemukakan masalah pokok penelitian ini adalah terjadinya perbedaan pola konsumsi rumah tangga kaya dan miskin di Kota Makassar . Oleh karena itu pertanyaan penelitian ini adalah

1. Adakah perbedaan pola konsumsi rumah tangga kaya dan miskin di Kota Makassar terhadap konsumsi pangan dan non pangan?

(6)

Adapun tujuan yang ingin penulis capai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan pola konsumsi rumah tangga kaya dan miskin untuk konsumsi pangan dan non pangan di Kota Makassar.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini secara umum diharapkan dapat berguna sebagai :

a. Bagi peneliti sendiri diharapkan akan dapat mengetahui berbagai macam pola konsumsi dari berbagai lapisan masyarakat.

b. Bagi responden diharapkan dapat memberikan bantuan berupa informasi tentang pola konsusmi masing-masing responden sehingga nantinya responden diharapkan dapat mengatur pola konsumsinya.

c. Bahan masukan bagi pemerintah terutama dalam rangka mengevaluasi kebijaksanan dan menyusun perencanaan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat.

d. Sebagai aplikasi ilmiah untuk mengetahui dan membuktikan teori-teori yang berkenaan dengan penulisan ini.

e. Sebagai salah satu studi yang diharapkan dapat dijadikan bahan referensi bagi yang ingin melakukan penelitian yang relevan dengan materi dari skripsi ini.

BAB II

(7)

2.1 Tinjauan Teoritis 2.1.1 Pengertian Konsumsi

Dalam makro ekonomi, “Konsumsi adalah jumlah seluruh pengeluaran perorangan atau negara untuk barang-barang konsumsi selama satu periode tertentu”. Tegasnya konsumsi menyangkut barang-barang yang digunakan habis, dinikmati atau di makan selama periode bersangkutan. Dalam prakteknya banyak barang-barang konsumsi tersebut umumnya mungkin melebihi periode waktu tersebut seperti baju, tas, baju atau mobil.

Menurut Mankiw (2000) “ Konsumsi adalah barang atau jasa yang dibeli oleh rumah tangga, konsumsi terdiri dari barang tidak tahan lama (Non Durable Goods) adalah barang yang habis dipakai dalam waktu pendek, seperti makanan dan pakaian. Kedua adalah barang tahan lama (Durable Goods) adalah barang yang memiliki usia panjang seperti mobil, televisi, alat-alat elektronik, ponsel dan lainya. Ketiga, jasa (services) meliputi pekerjaan yang dilakukan untuk konsumen oleh individu dan perusahaan seperti porong rambut dan berobat ke dokter”. Yang dibelanjakan untuk pembelian barang-barang dan jasa guna mendapatkan kepuasan dan memenuhi kebutuhan.”

2.1.2 Pengeluaran Konsumsi rumah Tangga

(8)

makanan, membiayai jasa angkutan, membayar pendidikan anak, membayar sewa rumah dan membeli kendaraan. Barang-barang tersebut dibeli rumah tangga untuk memenuhi kebutuhanya, dan pembelanjaan tersebut dinamakan konsumsi. (Sukirno,1994:38).

Tidak semua transaksi yang dilakukan oleh rumah tangga digolongkan sebagai konsumsi (rumah tangga). Kegiatan rumah tangga untuk membeli rumah digolongkan investasi. Seterusnya sebagai pengeluaran mereka, seperti membayar asuransi dan mengirim uang kepada orang tua (atau anak yang sedang bersekolah) tidak digolongkan sebagai konsumsi karena ia tidak merupakan pembelanjaan terhadap barang atau jasa yang dihasilkan dalam perekonomian ( Sukirno 2004).

Pengeluaran konsumsi yang dilakukan oleh seluruh rumah tangga dalam perekonomian tergantung kepada pendapatan yang diterima oleh mereka. Makin besar pendapatan mereka, makin besar pula pengeluaran konsumsi mereka. Sifat penting lainya dari konsumsi rumah tangga adalah hanya sebagian saja dari pendapatan yang mereka terima yang akan digunakan untuk pengeluaran konsumsi (Sukirno,1981:104).

Untuk memahami pengeluaran konsumsi, ada baiknya terlebih dahulu memahami beberapa teori tentang pengeluaran konsumsi yang dikemukakan oleh para ahli ekonomi. J.M Keynes dalam tulisan Kamaluddin, 2009 menyatakan bahwa

Konsumsi seseorang akan tergantung pada tingkat pendapatan yang telah

diterima ( pendapatan aktual atau absolut ) oleh seseorang atau masyarakat.

(9)

kenaikan pendapatan aktual yang diterima. Hal ini dikarenakan seseorang pasti menyisihkan sebagian pendapatan yang diterimanya untuk tujuan lain yaitu menabung dan membayar hutang.

Teori yang dikemukakan oleh Keynes tersebut serupa dengan yang diungkapkan oleh Ando, Modigliani dan Brunberg.

Menurut mereka, pengeluaran konsumsi akan tergantung dari siklus hidup

seseorang pada saat seseorang belum, bekerja, maka untuk membiayai

pengeluaran konsumsinya ia akan disubsidi oleh oleh orang tuannya atau hutang.

pada saat sudah bekerja ia akan menyisihkan sebagian pendapatannya guna

ditabung untuk membayar utang sebelum ia bekerja dan membiayai konsumsi

setelah pensiun, seperti telah disebutkan, ia akan memakai tabungannya untuk

membiayai konsumsinya. (Kamaluddin,2009).

Sedangkan menurut Milton Friedman ( 1957 ) menyatakan bahwa,

konsumsi seseorang tergantung pada pendapatan permanennya ( pendapatan

yang rutin ia terima setiap periode tertentu ) dan bukan pada pendapatan

transiteori (pendapatan yang tak terduga)

(10)

Pengeluaran konsumsi seseorang bukan tergantung dari pendapatan absolute

aktualnya tetapi tergantung dari pendapatan relatifnya. (Kamaluddin,2009)

Maksud dari teori James Dussenberry tersebut adalah konsumsi seseorang tergantung dari tingkat pendapatannya disbanding atau relatif terhadap pendapatan orang lain. Orang yang pendapatannya lebih rendah akan meniru pola konsumsi orang yang pendapatannya lebih tinggi di sekelilingnya. Karakteristik lain dari pengeluaran konsumsi adalah sekali pengeluaran konsumsi seseorang meningkat, maka tidak mungkin pengeluaran konsumsi tersebut menurun sekalipun pendapatannya menurun.

Dari beberapa teori tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengeluaran konsumsi merupakan keseluruhan biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhannya di mana pengeluaran tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatannya tetapi juga lingkungan atau masyarakat sekitar ia tinggal.

2.2 Konsep Kebutuhan Dasar

(11)

baru dan dipilihnya model kebutuhan dasar sebagai dasar upaya pengganti. Kebutuhan dasar merupakan kebutuhan yang sangat penting guna kelangsungan hidup manusia,baik yang terdiri dari kebutuhan atau konsumsi individu maupun kebutuhan pelayanan sosial.

Manusia mempunyai kecendrungan untuk tetap hidup serta mempertahankan bakat dan kehidupan sosialnya. Sebagai konsekuensinya mereka harus memenuhi kebutuhan hidupnya baik itu primer maupun sekunder agar hidup layak sesuai dengan harkatnya sebagai anggota masyarakat (Sumardi dan Evers,1989:129).

Adapun kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat adanya. Pada tingkat pertama primary needs atau kebutuhan primer orang membutuhkan sandang, pangan, papan. Apabila kebutuhan primer ini sudah terpenuhi, maka muncullah dalam pikiran manusia untuk memenuhi secondary needs (kebutuhan tingkat kedua) yang merupakan kebutuhan akan barang-barang perlu, yang antara lain berupa kebutuhan akan sepatu, pendidikan dan sebagainya. Jika keadaan memungkinkan (bertambah kaya ) muncul keinginan untuk memenuhi kebutuhan tingkat ketiga yang berisi kebutuhan akan barang mewah, kebutuhan tingkat keempat (quartiary needs) yang berisi akan kebutuhan barang-barang yang benar-benar mubadzir (yang sebenar-benarnya tidak diperlukan sama sekali) dan seterusnya.

(12)

2.3 Konsep dan Urutan Jenis Pengeluaran Konsumsi Masyarakat

Asumsi dasar tentang pola konsumsi rumah tangga atau individu adalah bahwa setiap rumah tangga atau individu tersebut akan memaksimumkan kepuasanya, kesejahteraanya, kemakmuranya, atau kegunaanya.

Pola konsumsi itu sendiri adalah jumlah persentase dari distribusi pendapatan terhadap masing-masing pengeluaran pangan, sandang , jasa-jasa serta rekreasi dan hiburan. BPS menyatakan kategori adalah pengeluaran makanan, perumahan, pakaian, barang, jasa, dan pengeluaran non konsumsi seperti untuk usaha dan lain-lain pembayaran. Secara terperinci pengeluaran konsumsi adalah semua pengeluaran untuk makanan, minuman, pakaian, pesta atau upacara, barang-barang lama ,dan lain-lain. Yang dilakukan oleh setiap anggota rumah tangga baik itu di dalam maupun di luar rumah, baik keperluan pribadi maupun keperluan rumah tangga (BPS,2007:10)

(13)

Sumber: BPS Pengeluaran Konsumsi Untuk Penduduk Indonesia Per kehidupan manusia walaupun seringkali tidak disadari kehadirannya bagi manusia yang bersangkutan. Kemiskinan menurut Rais (1995: 9) adalah kondisi depresiasi terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar, sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber ekonomis yang dimiliki.

Substansi kemiskinan (Sudibyo dalam Rais 1995: 11) adalah kondisi depresiasi terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar yang berupa sandang, pangan, papan, dan pendidikan dasar. Sedangkan substansi kesenjangan

A. MAKANAN B. BUKAN MAKANAN

1.Sayur-sayuran 1. Perumahan dan Bahan Bakar 2.Kacang-kacangan 2. Aneka Barang dan Jasa

a. Barang Perawatan badan

10.Tembakau dan Sirih 5. Pakaian,Alas Kaki Tutup Kepala 11.Padi-Padian 6. Barang-barang Tahan Lama 12.Umbi-Umbian 7. Pajak Dan Premi Asuransi 13.Ikan 8. Keperluan Pesta dan upacara 14.Daging

(14)

adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomis. Masalah kesenjangan adalah masalah keadilan, yang berkaitan dengan masalah sosial.

Kemiskinan (Friedmann dalam Suyanto, 1995: 207) adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Kemiskinan memang merupakan persoalan multidimensional yang tidak saja melibatkan faktor ekonomi tetapi juga faktor sosial dan faktor budaya. Menurut Suparlan (1993: 9) kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.

(15)

untuk pengobatan, biaya-biaya untuk menyekolahkan anak-anak, dan biaya untuk sandang yang sewajarnya dan pangan yang sederhana tetapi mencukupi dan memadai.

2.4.1 Karakteristik Golongan Miskin

Menurut Zelinsky (1996: 88) karakteristik penduduk dapat dikategorikan dalam beberapa klasifikasi berdasarkan rumah tempat tinggal, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, penggunaan lahan, dan kecukupan gizi serta perawatan kesehatan bisa menjadi indikator peningkatan kehidupan sosial masyarakat. Karakteristik golongan miskin menurut Remi dan Tjiptoherijanto (2002:13) adalah:

1. Karakteristik demografi dari penduduk miskin.

Secara umum, rata-rata jumlah anggota rumah tangga miskin di Indonesia adalah 5,8 orang sedangkan yang bukan miskin adalah 4,5 orang. Banyaknya jumlah anggota rumah tangga adalah indikasi yang dominan dalam menentukan miskin atau ketidak-miskinan suatu rumah tangga. Bertambah besarnya jumlah anggota rumah tangga maka bertambah besar pula kecenderungan menjadi miskin. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa Keluarga Berencana (KB) memiliki tujuan untuk membatasi jumlah anggota rumah tangga adalah relevan dengan upaya-upaya pengentasan kemiskinan.

2. Karakteristik ekonomi dari penduduk miskin

(16)

jumlah pendapatan keluarga. Pola pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan indikator kemiskinan. Jumlah pengeluaran rumah tangga untuk pangan sangat besar perbandingannya dengan pengeluaran bukan pangan adalah salah satu karakteristik ekonomi penduduk miskin.

3. Karakteristik dilihat dari pekerjaan kepala rumah tangga.

Pekerjaan kepala rumah tangga terbagi menjadi dua jenis yaitu: karyawan/buruh dan pengusaha/majikan. Pekerjaan dengan status karyawan/buruh dalam istilah ini merupakan kepala rumah tangga yang memperoleh upah atau gaji sebagai imbalan atau balas jasa dari pekerjaannya sebagai contoh pegawai negeri, karyawan perusahaan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga, pengemudi dengan sistem upah atau gaji. Kepala keluarga yang mempunyai pekerjaan sebagai pengusaha misalnya sebagai pemilik tanah, nelayan yang mempunyai atau menyewa kapal dan lain-lain. Di perkotaan dan pedesaan seperti di Jawa dan Bali, di bagian timur Indonesia, maupun di bagian barat Indonesia lebih banyak kepala rumah tangga miskin yang menjadi pengusaha ketimbang yang menjadi buruh. 4. Karakteristik dari pola konsumsi rumah tangga miskin.

(17)

tanah mereka. Penjelasan yang paling memungkinkan untuk kondisi ini adalah kemiskinan di pedesaan sudah sedemikian buruknya dimana keluarga miskin harus mengkonsumsi porsi yang besar dari pendapatannya hanya untuk makan. 5. Karakteristik sosial budaya

Rata-rata orang miskin di perkotaan berpendidikan lebih tinggi daripada di pedesaan. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh tingkat pendapatan warga yang tinggal di perkotaan memiliki pendapatan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pendapatan di pedesaan. Selain itu di perkotaan fasilitas pendidikan lebih lengkap dan lebih memadai jika dibandingkan dengan pedesaan.

2.4.2 Kemiskinan Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS)

Kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun nonmakanan yang bersifat mendasar. Pengukurannya dilakukan dengan menghitung pengeluaran kebutuhan makanan dan kebutuhan non makanan per kapita per bulan. Singkatnya penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran (makanan dan non makanan) per kapita perbulan dibawah Garis Kemiskinan.

(18)

minimal kebutuhan dasar makanan yang setara dengan pemenuhan kebutuhan kalori 2.100 kalori per kapita perhari dimana paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak, lemak dan lain-lain. Garis Kemiskinan Non makanan adalah batas minimal kebutuhan dasar bukan makanan berupa kebutuhan minimum akan perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan dimana paket komoditi kebutuhan dasar bukan makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.

2.4.3 Kemiskinan Berdasarkan BKKBN

BKKBN menerapkan ukuran kemiskinan dengan pendekatan kesejahteraan. Keluarga dapat dibagi dalam beberapa kategori: prasejahtera, sejahtera I, sejahtera II, sejahtera III, dan sejahtera III plus.

(19)

berkomunikasi, rekreasi bersama 6 bulan sekali, menggunakan sarana transportasi. Keluarga sejahtera III sudah dapat memenuhi kebutuhan berupa tabungan keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi, rekreasi selama 6 bulan sekali, menggunakan sarana transportasi dan tidak aktif memberikan sumbangan materil secara teratur. Keluarga sejahtera III plus adalah keluarga yang sudah mampu memberikan sumbangan materil secara aktif dan teratur serta aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan.

2.4.4 Indikator Kemiskinan

(20)

budaya masyarakat yang “menerima” kemiskinan yang terjadi pada dirinya, bahkan tidak merespons usaha-usaha pihak lain yang membantunya keluar dari kemiskinan tersebut. 4) Kemiskinan struktural dimana kemiskinan yang disebabkan struktur dan sistem ekonomi yang timpang dan tidak berpihak pada si miskin, sehingga memunculkan masalah-masalah struktural ekonomi yang makin meminggirkan peranan orang miskin.

2.4.5 Penggolongan Rumah Tangga Berdasarkan Daya Listrik

Menurut Nengah Subadra dalam tulisanya (2008) orang kaya yang umumnya tinggal di rumah-rumah mewah biasanya menggunakan daya listrik yang tinggi (paling sedikit 1.200 watt) untuk keperluan sehari-hari karena semua fasilitas rumahnya seperti lampu, setrika, televisi, kulkas, mesin cuci dan pendingin ruangan menggunakan energi listrik yang sangat banyak. Sedangkan orang miskin hanya menggunakan daya listrik dengan kapasitas 450-900 watt saja karena mereka tidak memiliki alat-alat rumah tangga yang lengkap. Umumnya mereka hanya menggunakan energi listrik untuk penerangan karena mereka memiliki daya bayar yang sangat rendah.

(21)

2.5 Perbandingan Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan Rumah Tangga Kaya dan Miskin

Pola konsumsi atau pola pengeluaran rumah tangga dapat dijadikan indikator sosial ekonomi rumah tangga sehingga semakin tinggi pengeluaran makanan dari porsi pendapatan maka rumahtangga tersebut dapat dikategorikan miskin. Begitu pula sebaliknya bila porsi pengeluaran untuk bukan makanan tinggi dari pada makanan maka rumah tangga tersebut dikategorikan tidak miskin.

Tingkat pendapatan rumah tangga yang semakin tinggi pada umumnya menyebabkan pengeluaran konsumsi untuk bukan makanan akan cenderung semakin besar, karena seluruh kebutuhan untuk konsumsi makanan sudah terpenuhi, demikian pula sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Hukum Engel yang menyatakan bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Selanjutnya Firman (1990) menambahkan bahwa semakin besar pengeluaran rumah tangga terutama proporsi bukan makanan maka kondisi ekonomi rumah tangga semakin baik.

2.6 Teori Konsumsi

2.6.1 Teori Konsumsi John Maynard Keynes

John Maynard keynes (1969) dalam General Theory nya membuat fungsi konsumsi sebagai pusat fluktuasi ekonominya dan teori itu telah memainkan peran penting dalam analisis makro ekonomi sampai saat ini. Keynes membuat dugaan tentang fungsi ekonomi berdasarkan intropeksi dan observasi kasual.

(22)

fundamental, dengan apa kita dinisbikan untuk tergantung pada keyakinan yang besar adalah bahwa manusia diatur, sebagai peraturan atau berdasarkan rata-rata, untuk meningkatkan konsumsi ketika pendapatan mereka naik, tetapi tidak sebanyak kenaikan dalam pendapatan mereka”.

Dugaan kedua, keynes menyatakan bahwa rasio konsumsi terhadap pendapatan yang disebut kecendrungan mengkonsumsi rata-rata turun ketika pendapatan naik. Ia percaya bahwa tabungan adalah kemewahan sehingga ia berharap orang kaya menabung proporsi yang lebih tinggi dari pendapatan mereka ketimbang si miskin.

Ketiga, Keynes berpendapat bahwa pendapatan merupakan determinan yang penting dan tingkat bunga tidak memiliki peran penting. Keynes mengatakan bahwa pengaruh tingkat bunga terhadap konsumsi hanya sebatas teori.

2.6.2 Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Pendapatan Relatif (Relative Income Hipothesis)

Teori konsumsi yang dikemukakan oleh James S. Duesenberry (1949), yang dikenal sebagai teori pendapatan relatif tentang konsumsi atau hipotesis pendapatan relatif, lebih menekankan pada pendapatan relatif (relative income) dari pada pendapatan absolute sebagaimana dikemukakan Keynes. Selain itu, teori ini mengatakan bahwa pengeluaran konsumsi dari individu atau rumah tangga tidak bergantung pada pendapatan sekarang dari individu, tetapi pada tingkat pendapatan tertinggi yang pernah dicapai seseorang sebelumnya.

(23)

pengeluaran konsumsi individu tersebut tergantung pada pendapatanya relatif terhadap pendapatan individu lainya di dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, Duesenberry menyebutkan bahwa ada dua karakteristik penting dari perilaku konsumsi rumah tangga yaitu adanya sifat saling ketergantungan (interpendent) diantara rumah tangga, dan tidak dapat dirubah (irreversibility) sepanjang waktu. Saling ketergantungan disini menjelaskan mengapa rumah tangga yang berpendapatan rendah cenderung memiliki APC yang lebih tinggi daripada rumah tangga yang berpendapatan tinggi. Hal ini terjadi karena rumah tangga yang berpendapatan rendah telah terkena apa yang oleh Duesenberry disebutnya sebagai efek demonstrasi (demonstration effect), dimana masyarakat berpendapatan rendah cenderung meniru atau mengkopi pola konsumsi dari masyarakat sekelilinya yang cenderung menaikkan pengeluaran konsumsinya.

(24)

konsumsi rumah tangga hanyalah satu penurunan yang bersifat parsial. Pengeluaran konumsi sebagaimana telah dikemukakan adalah bersifat irreversible sepanjag waktu, yang berarti bahwa dengan suatu penurunan di dalam pendapatan, maka pengeluaran konsumsi juga akan mengalami penurunan, namun dalam jumlah yang lebih kecil. Secara singkat adanya sifat irreversibility dari pengeluaran konsumsi rumah tangga itu mempunyai makna bahwa sekali fungsi konsumsi jangka pendek itu bergeser ke atas, maka akan sangat sulit untuk bergeser kembali ke bawah apalagi terjadi penurunan di dalam pendapatan.

2.6.3 Teori Konsumsi Dengan Hipotesis Pendapatan Permanen (Permanent Income hypothesis)

Dalam bukunya yang berjudul A Theory of the Consumption Function (1957) Miton Friedman menawarkan hipotesis pendapatan permanen untuk menjelaskan perilaku konsumsi. Hipotesis pendapatan permanen mengemukakan bahwa pengeluaran konsumsi sekarang bergantung pada pendapatan sekarang dan pendapatan yang diperkirakan di masa yang akan datang. Hipotesis juga menekankan bahwa manusia mengalami perubahan acak dan temporer dalam pendapatan mereka dari tahun ke tahun. Friedman beralasan bahwa konsusmi seharusnya terutama bergantung pada pendapatan permanen, kerena konsumen menggunakan tabungan dan pinjaman untuk melancarkan konsumsi dalam menanggapi perubahan transistoris dalam pendapatan.

(25)

Teori dengan hipotesis ini dikemukakan oleh Albert Ando,Richard Brumberg dan Franco Modigliani. Dalam teori ini membagi pola konsumsi seseorang menjadi tiga bagian, yaitu 1) Usia nol sampai usia kerja, maka konsumsinya dalam kondisi “Dissaving”yaitu konsumsi masih tergantung pada orang lain. 2) Dimulai dari usia kerja (sudah kerja) sampai dengan usia dimana orang tersebut sudah menjelang usia tua (kurang produktif) atau bisa disebut mandiri. 3) Tahap ini seseorang kembali berada dalam kondisi “Dissaving”.

Hipoesis siklus hidup memberikan sumbangan penting di dalam memahami Tingkah laku konsumsi masyarakat. Hipotesis ini menunjukkan bahwa konsumsi tidak hanya ditentukan pendapatan masa kini tetapi juga oleh pendapatan yang diramalkan akan diterima di masa depan. Seterusnya ia menunjukkan pula peranan kekayaan dalam mempengaruhi konsumsi.

Hipotesis ini juga menerangkan motivasi masyarakat untuk menabung. Ketika muda mereka cenderung untuk menabung hingga masa pensiunanya. Tujuan penting dari penabungan ini adalah untuk membiayai konsumsi di hari tua. Sedangkan dalam karangan Reksoprayitno (1997), ABM (Ando-Brumberg-Modigliani) menggunakan asumsi bahwa konsumen bersikap rasional. Ini berarti bahwa konsumen berusaha untuk memaksimumkan kepuasan dari aliran pendapatan yang ia perkirakan berlaku untuknya. Mengenai sumber pendapatan, ABM membedakan dua sumber pendapatan yaitu tenaga kerja sebagai sumber labour income dan kekayaan sebagai sumber property income. 2.7 Teori Engel

(26)

Engel melahirkan empat butir kesimpulan, yang kemudian dikenal dengan hukum Engel. Ke empat butir kesimpulanya yang dirumuskan tersebut adalah :

a. Jika Pendapatan meningkat, maka persentasi pengeluaran untuk konsumsi pangan semakin kecil.

b. Persentase pengeluaran untuk konsumsi pakaian relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan.

c. Persentase pengeluaran konsumsi untuk pengeluaran rumah relatif tetap dan tidak tergantung pada tingkat pendapatan.

d. Jika pendapatan meningkat, maka persentase pengeluaran untuk pendidikan, kesehatan, rekreasi, barang mewah, dan tabungan semakin meningkat.

Menurut Prathama Rahardja dan Mandala Manurung (2000:115) untuk mengetahui suatu barang sebagai kebutuhan pokok atau barang mewah dilakukan dengan menggunakan kurva Engel. Kurva ini mencoba melihat hubungan antara tingkat pendapatan dengan tingkat konsumsi sebagai berikut :

a. Barang kebutuhan pokok, seperti makanan pokok. Perubahan pendapatan nominal tidak berpengaruh banyak terhadap perubahan permintaan. Bahkan jika pendapatan terus meningkat,permintan terhadap barang tersebut perubahanya makin kecil dibandingkan dengan perubahan pendapatan. Jika dikaitkan dengan konsep elastisitas, maka elastisitas pendapatan dari kebutuhan pokok makin kecil bila tingkat nominal pendapatan makin tinggi.

(27)

dikatakan bahwa permintaan terhadap barang mewah mempunyai elatisitas

Dari kurva diatas memperlihatkan hubungan pendapatan dengan barang yang dalam hal ini adalah beras yang masuk dalam kelompok konsumsi makanan. Apabila terjadi peningkatan income dari Y ke Y1 maka penambahan income akan digunakan atau akan dialokasikan untuk membeli beras pada titik P2. Jadi, Untuk golongan rumah tangga miskin menganggap bahwa beras adalah barang superior karena peningkatan pendapatan mengakibatkan bertambahnya proporsi alokasi untuk kebutuhan beras dalam hal ini beras adalah kelompok konsumsi makanan. Dan justru sebaliknya untuk keluarga kaya. Apabila terjadi peningkatan income dari Y1 ke Y3 maka permintaan beras akan berada pada posisi P0. Artinya jika

(28)

terjadi peningkatan pendapatan untuk rumah tangga kaya, maka proporsi alokasi untuk beras reletive sedikit dibandingkan rumah tangga miskin. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pendapatannya dialokasikan untuk keperluan non pangan dan untuk ditabung.

Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa jika terjadi peningkatan pendapatan maka juga akan terjadi peningkatan konsumsi. Namun, peningkatan pengeluaran konsumsi untuk rumah tangga kaya dan miskin berbeda, pada rumah tangga kaya akan mengakibatkan kenaikan konsumsi pangan namun tidak sebesar proporsi konsumsi pangan pada rumah tangga miskin.

Kelompok pengeluaran untuk Konsumsi Pangan dan Non Pangan dapat dilihat pada rumus berikut:

Konsumsi Pangan : Pi x Qi = (Pa.Qa+ Pb.Qb+ Pc.Qc+ Pd.Qd+ Pe.Qe+ Pf.Qf+Ʃ Pg.Qg+...)

Konsumsi Non Pangan: Px x Qx = (Pa.Qa+ Pb.Qb+ Pc.Qc+ Pd.Qd+ Pe.Qe+Ʃ Pf.Qf +Pg.Qg+...)

2.8 Pendapatan

(29)

tunjangan pengangguran, pensiun, dan lain sebagainya. Pendapatan adalah total penerimaan uang dan bukan uang seseorang atau rumah tangga selama periode tertentu.

Menurut Eugene A. Diulio Ph. D (1993) mengatakan pendapatan sekarang terdiri atas pendapatan permanen dan pendapatan sementara. Pendapatan permanen adalah pendapatan yang diharapkan akan diterima oleh rumah tangga selama beberapa tahun mendatang, sedangkan pendapatan sementara terdiri dari tiap tambahan atau pengeluaran yang tidak terduga terhadap pendapatan permanen.

Selanjutnya pendapatan perorangan (personal income) merupakan pendapatan agregat (yang berasal dari berbagi sumber) yang secara actual diterima oleh seseorang atau rumah tangga (Nanga,2001).

Menurut Mankiw (2000) pendapatan perorangan adalah jumlah pendapatan yang diterima rumah tangga dan bisnis nonkorporat. Sedangkan menurut Sukirno (2004), pendapatan pribadi dapat diartikan sebagai semua jenis pendapatan, termasuk pendapatan yang diperoleh tanpa memberikan sesuatu kegiatan apa pun, yang diterima oleh penduduk suatu negara.

(30)

semakin tinggi, karena itu gaji atau upahnya juga semakin tinggi, b) mutu modal manusia (human capital) adalah kapasitas pengetahuan, keahlian dan kemampuan yang dimiliki seseorang., baik karena bakat bawaan maupun hasil pendidikan dan penelitian, c) Kondisi kerja (Working conditions) adalah lingkungan dimana seseorang bekerja. Bila risiko kegagalan atau kecelakaan makin tinggi, walaupun tingkat keahlian yang dibutuhkan tidak jauh berbeda. 2) Pendapatan dari asset produktif. Asset produktif adalah asset yang memberikan pemasukan atas batas jasa penggunaanya. Ada dua kelompok asset produktif. Pertama, asset financial seperti deposito yang menghasilkan pendapatan bunga, saham, yang menghasilkan deviden dan keuntungan atas modal bila diperjualbelikan. Kedua, asset bukan financial seperti rumah yang memberikan penghasilan sewa. 3) Pendapatan dari pemerintah. Pendapatan dari pemerintah atau penerimaan transfer adalah pendapatan yag diterima bukan sebagai balas jasa input yang diberikan. Atau pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah misalnya pembayaran untuk jaminan sosial yang diambil dari pajak yang tidak menyebabkan pertambahan dalam output.

2.9 Pengaruh Pendapatan Terhadap Pola Konsumsi Rumah Tangga

(31)

pendapatan sementara pada masa ekonomi mengalami kemunduran, tingkat konsumsi tidak akan turun secepat tingkat pertumbuhan pendapatan”.

Teori Engel’s yang menyatakan bahwa : “ Semakin tinggi tingkat pendapatan keluarga semakin rendah persentasi pengeluaran untuk konsumsi makanan “ (Sumarwan ,1993). Berdasarkan teori klasik ini, maka keluarga bisa dikatakan lebih sejahtera bila persentasi pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dari persentasi pengeluaran untuk bukan makanan. Artinya proporsi alokasi pengeluaran untuk pangan akan semakin kecil dengan bertambahnya pendapatan keluarga, karena sebagian besar dari pendapatan tersebut dialokasikan pada kebutuhan non pangan.

Berbagai upaya perbaikan gizi biasanya berorientasi pada tingkat pendapatan. Seiring makin meningkatnya pendapatan, maka kecukupan akan makanan dapat terpenuhi. Dengan demikian pendapatan merupakan faktor utama dalam menentukan kualitas dan kuantitas bahan makanan. Besar kecilnya pendapatan rumah tangga tidak lepas dari jenis pekerjaan ayah dan ibu serta tingkat pendidikannya (Soekirman, 1991).

Pada rumah tangga dengan pendapatan rendah, 60-80 % dari pendapatannya dibelanjakan untuk makanan. Elastisitas pendapatan untuk makanan yang digambarkan dari persentase perubahan kebutuhan akan makanan untuk tiap 1 % perubahan pendapatan, lebih besar pada rumah tangga yang miskin dibandingkan pada rumah tangga kaya (Soekirman, 1991).

(32)

sayuran.Pengeluaran rumah tangga sebagai proksi dari pendapatan mempengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga. Semakin besar pengeluaran total mengakibatkan konsumsi energi rumah tangga juga bertambah dengan kata lain apabila pengeluaran total rumah tangga bertambah maka pertambahan tersebut digunakan untuk memenuhi kekurangan konsumsi energi (Arifin danSudaryanto,1991).

Upaya pemenuhan konsumsi makanan yang bergizi berkaitan erat dengan daya beli rumah tangga. Rumah tangga dengan pendapatan terbatas, kurang mampu memenuhi kebutuhan makanan yang diperlukan tubuh, setidaknya keanekaragaman bahan makan kurang bisa dijamin karena dengan uang yang terbatas tidak akan banyak pilihan. Akibatnya kebutuhan makanan untuk tubuh tidak terpenuhi (Apriadji, 1986)

2.10 Tinjauan Empiris

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Rahmatia (2004) mengamati pola konsumsi wanita pekerja Sulsel pada umumnya dan Kota Makassar pada khususnya memperoleh hasil bahwa pola konsumsi wanita pekerja SULSEL pada umumnya adalah barang kebutuhan pokok baik barang kebutuhan sehari-hari maupun barang tahan lama yang seharusnya barang Lux.

(33)

terdapat hubungan yang positif antara besarnya tanggungan dengan tingkat konsumsi pangan walaupun dengan tingkat konsumsi pangan walaupun dengan tingkat konsumsi pangan, dan dengan tingkat koefisien yang kecil.

Miskat (2005) dalam skripsinya menemukan bahwa pola pengeluaran konsumsi masyarakat Makassar di Kecamatan Tamalanrea rata-rata dialokasikan untuk kebutuhan Non pangan dibandingkan dengan kebutuhan pangan,dan jenis pekerjaan kepala rumah tangga dan jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap pola pengeluaran konsumsi masyarakat.

Elwin (2001) dalam skripsinya Analisis Pola Konsumsi Rumah Tangga Miskin Pasca Kenaikan Harga BBM Di Kota Makassar menemukan bahwa pengeluaran konsumsi rumah tangga miskin pasca kenaikan harga BBM relatif menurun, hal ini disebabkan karena harga barang naik, sedangkan kemampuan konsumsi tidak mampu lagi untuk menjangkaunya.

2.11 Kerangka Konseptual

(34)

konsumsi makanan dan berbagai macam kebutuhan lainya dan terkadang pendapatan mereka tidak tersisa lagi untuk ditabung. Hal ini membuktikan bahwa konsumsi seseorang berbanding lurus dengan pendapatan.

Dari gambar 2.11 di bawah ini, dapat dilihat bahwa pola konsumsi dalam penelitian ini diduga dipengaruhi pendapatan.

Berdasarkan batasan teoritik serta rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya maka kerangka konseptual dari penelitian ini yaitu

Rumah Tangga

Miskin Kaya

Pendapatan dan pengeluaran

(35)

2.12 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah seperti yang telah diuraikan dalam bab.I serta dengan berpedoman kepada kerangka konseptual seperti di atas, maka hipotesis yang dapat dibentuk adalah sebagai berikut :

Diduga pola konsumsi rumah tangga kaya adalah lebih banyak porsinya untuk memenuhi kebutuhan non makanan dari pada untuk konsumsi makanan dan sebaliknya pola konsumsi rumah tangga miskin adalah lebih banyak porsinya untuk memenuhi kebutuhan makanan dari pada untuk konsumsi non makanan

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Suatu hal yang sangat penting dalam penelitian adalah menentukan waktu dan lokasi penelitian. Pengumpulan data pada penelitian ini berlangsung selama tiga bulan dari bulan maret sampai dengan mei 2011.

(37)

3. 2 Populasi dan Sampel

Menurut Anto Dajan (1996) populasi merupakan keseluruhan unsur–unsur yang memiliki satu atau beberapa ciri atau karakteristik yang sama. Populasi dalam penelitian ini adalah semua rumah tangga yang ada di Kota Makassar yang terdiri dari 102551 KK yang tersebar di 4 kecamatan (Tamalate, Tallo, Manggala, Biringkanaya). Adapun sampel adalah sebagian anggota dari populasi yang dipilih dengan menggunakan prosedur tertentu sehingga diharapkan dapat mewakili populasinya (Sugianto,dkk, 1998).

Teknik sampling yang digunakan dalam pemilihan lokasi adalah teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling menurut Narbuko dan Achmadi (2001: 116) merupakan suatu teknik yang berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang diperkirakan mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang spesifik yang dilihat dalam populasi. Sedangkan menurut Sutopo (2002: 36). Pemilihan sampel berdasarkan teknik ini adalah diarahkan pada sumber data yang dipandang memiliki data yang penting yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti.

(38)

kelurahan yang mewakili dan akhirnya sampai pada unit terkecil yaitu pada tingkat RT.

Penentuan jumlah sampel berdasarkan pada rumus slovin sebagai berikut: n= N/1+Ne2

Dimana: 1= konstanta n = ukuran sampel N = Ukuran Populasi

e2= kelonggaran atau ketidaktelitian karena kesalahan pengubah sampel yang dapat ditolerir yakni 1% dengan tingkat kepercayaan 99% .

(39)

=100 sampel

Pengambilan sampel adalah dilakukan secara acak sederhana (Simple Random Sampling) di tingkat Rumah Tangga ( RT ) pada setiap kecamatan sebanyak 100 sampel. Dalam metode ini pengambilan sampel dilakukan secara random,artinya semua populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai sampel,berdasarkan karakteristik yang dimaksud, siapapun, dimana dan kapan saja dapat ditemui yang selanjutnya dijadikan responden.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara langsung kepada responden dengan menggunakan daftar pertanyaan (kousioner) mengenai karakteristik responden.

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari instansi-instansi terkait yakni dari Badan Pusat Statistik (BPS) meliputi berbagai data sosial ekonomi penduduk, dan data yang diperoleh dari buku-buku acuan dan berbagai artikel.

3. 4 Model Analisis

3.4.1 Model Analisis Deskriptif Komparatif

(40)

dalil yang berlaku dan diakui. Baik yang menyangkut data primer dan data sekunder akan dilakukan untuk memperoleh informasi.

3.5 Batasan variabel

Untuk lebih mengarahkan dalam pembahasan ini, maka penulis memberikan batasan variabel yang meliputi:

1) Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik dan biasanya tinggal bersama dan makan dari satu dapur. (BPS,2009)

2) Pola konsumsi rumah tangga adalah jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah tangga untuk membeli berbagai jenis kebutuhanya dalam satu bulan yang diukur dengan satuan rupiah. Pendapatan yang diterima rumah tangga akan digunakan untuk konsumsi pangan dan non pangan. Untuk analisis deskriptif, pola konsumsi dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu :

a. Rendah adalah alokasi pola konsumsi pangan sebanyak kurang 50 % dari total pengeluaran

b. Sedang adalah alokasi pola konsumsi pangan sebanyak 50 - 60 % daritotal pengeluaran.

c. Tinggi adalah alokasi pola konsumsi pangan lebih besar 60 % dari total pengeluaran.

3) Konsumsi pangan adalah jumlah pengeluaran konsumsi rumah tangga yang dikeluarkan setiap bulan untuk kebutuhan bahan makanan, yaitu makanan pokok, protein hewani, sayur-sayuran, buah-buahan, jajanan, dan kelompok kebutuhan lain-lain (teh, kopi, gula, minyak goreng, bumbu-bumbu dapur dan lain-lain) yang diukur dalam rupiah.

(41)

hiburan, minyak tanah, gas, rekening (listrik, telepon, air) dan lain-lain yang diukur dalam rupiah.

5) Menurut Suyastiri pendapatan total keluarga diukur dengan banyaknya akumulasi pendapatan semua anggota keluarga, setelah dikonpersi menjadi per bulan, jadi satuannya adalah rupiah per bulan (Rp/bulan). Pendapatan rumah tangga dibagi menjadi dua macam yaitu pendapatan total rumah tangga kaya dan pendapatan total rumah tangga miskin. Dalam penelitian ini pendapatan total rumah tangga miskin dibagi menjadi 3 kelompok yaitu pendapatan rendah, sedang, tinggi. Rata-rata pendapatan rumah tangga miskin (X) adalah sebesar Rp.1.504.000,00 standar deviasi pendapatan (Sd) adalah sebesar Rp.630.341,66. Sehingga tingkat pendapatan dibagi menjadi:

1. Pendapatan rendah X ≤Rp.873.658,34

2. Pendapatan sedang Rp.873.658,34<X<Rp.2.134.341,66 3. Pendapatan tinggi X ≥ Rp.2.134.341,66

Sedangkan pendapatan total rumah tangga kaya dibagi menjadi 3 kelompok yaitu pendapatan rendah, sedang, tinggi. Rata-rata pendapatan rumah tangga miskin (X) adalah sebesar Rp.7.292.000,00 standar deviasi pendapatan (Sd) adalah sebesar Rp.2.766.718,38 sehingga tingkat pendapatan dibagi menjadi:

1. Pendapatan rendah X ≤ Rp.4.525.281,62

2. Pendapatan sedang Rp.4.525.281,62<X<Rp.10.058.718,38 3. Pendapatan tinggi X ≥Rp.10.058.718,38

(42)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian 4.1. 1 Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk

Kota Makassar secara geografis terletak pada posisi 119 024’17’38” Bujur Timur -508’6’19”Lintang selatan. Luas wilayahnya sekitar 175,77 km 2 atau kira-kira 0,28 % dari luas propinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayah Kota Makassar tercatat 175,77 km persegi yang memiliki 14 kecamatan. Posisi Kota Makassar terletak di bagian barat propinsi Sulawesi Selatan dengan batas-batas administrasi sebagai berikut:

Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Maros Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Gowa Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten Maros Sebelah barat : berbatasan dengan Selat Makassar

(43)

km2 atau 1,19 persen dari luas Kota Makassar. Untuk memperjelas penjelasan diatas berikut adalah tabel 4.1.1. berikut

Tabel 4.1.1 Luas Wilayah dan Persentase Terhadap Luas Wilayah Menurut Kecamatan di Kota Makassar (km2)

Kode

(44)

jumlah rumah tangga sebesar 35.684 rumah tangga. disusul dengan kecamatan Tallo dengan jumlah rumah tangga sebesar 35.618 rumah tangga dan kecamatan Tamalate terbesar ketiga dengan jumlah rumah tangga sebesar 32.904 rumah tangga. sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk terkecil dan jumlah rumah tangga terkecil adalah kecamatan Ujung Pandang dengan jumlah penduduk adalah sebesar 29.064 jiwa dan jumlah rumah tangganya adalah sebesar 7.177 rumah tangga.

Laju pertumbuhan penduduk di kota Makassar yang paling tinggi untuk periode 2000-2009 adalah kecamatan Biringkanaya dengan laju pertumbuhan penduduk sebesar 3,57 persen per tahun. Sedang kecamatan yang memiliki laju pertumbuhan penduduk terkecil adalah kecamatan Wajo dan kecamatan Mamajang yakni sebesar 0,45 persen per tahun. Berikut adalah tabel yang menunjukkan jumlah penduduk dan jumlah rumah tangga di kota Makassar

Tabel 4.1.2 Jumlah Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk, Rumah Tangga dan Rata-rata Anggota Rumah Tangga Tahun 2009. Kode

Wil Kecamatan

Penduduk Laju

Pertumbuhan Rumah Tangga

Rata-rata Anggota

Rumah Tangga

(45)

010 Mariso 54.616 55.431 0,93 13.401 4,14

020 Mamajang 60.395 61.294 0,45 16.294 3,76

030 Tamalate 152.197 154.464 2,08 32.904 4,69

031 Rappocini 142.958 145.090 1,62 28.444 5,10

040 Makassar 82.907 84.143 0,54 15.949 5,28

050 Ujung Pandang 28.637 29.064 0,51 7.177 4,05

060 Wajo 35.011 35.533 0,45 11.347 3,13

070 Bontoala 61.809 62.731 1,09 14.140 4,44

080 Ujung Tanah 48.382 49.103 1,21 11.331 4,33

090 Tallo 135.315 137.333 1,94 35.618 3,86

100 Panakkukang 134.548 136.555 1,09 26.929 5,07

101 Manggala 99.008 100.484 2,98 24.658 4,08

110 Biringkanaya 128.731 130.651 3,57 35.684 3,66

111 Tamalanrea 89.143 90.473 1,15 22.498 4,02

Sumber : Makassar dalam angka 2010

Persebaran penduduk antar kecamatan relatif tidak merata. Hal ini nampak dari tabel 4.1.3 dimana kecamatan Tamalate yang memiliki jumlah penduduk terbesar di kota Makassar atau 12,14 persen dari total penduduk namun luas wilayahnya hanya meliputi sekitar 11,50 persen dari total luas wilayah Makassar. Dilihat dari tingkat kepadatan penduduk, nampak pada Tabel 4.1.3. bahwa kecamatan Makassar yang memiliki kepadatan penduduk yang tertinggi yaitu 33.390 jiwa per km2 sedangkan kecamatan Biringkanaya memiliki kepadatan penduduk terendah yaitu 2.709 jiwa per km2.

(46)

Rappocini 9.23 5,25 145.090 11.40 28.444 15.719 Makassar 2.52 1,43 84.143 6.61 15.949 33.390 Ujung Pandang 2.63 1,50 29.064 2.28 7.177 11.051

Wajo 1.99 1,14 35.533 2.79 11.347 17.856

Bontoala 2.1 1,19 62.731 4.93 14.140 29.872 Ujung Tanah 5.94 3,38 49.103 3.86 11.331 8.266 Tallo 5.83 3,32 137.333 10.79 35.618 23.556 Panakkukang 17.05 9,70 136.555 10.73 26.929 8.009 Manggala 24.14 13,73 100.484 7.90 24.658 4.163 Biringkanaya 48.22 27,43 130.651 10.27 35.684 2.709 Tamalanrea 31.84 18,11 90.473 7.11 22.498 2.841

Total 175.77 100 1.272.349 100 296.374 7.239

(47)

Tabel 4.1.4 Jumlah Keluarga Dirinci Menurut Kecamatan dan Tahapan

SEJAHTERA II SEJAHTERA IIIKELUARGA SEJAHTERA III PLUSKELUARGA

(48)

4.2 Struktur Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Sebagai pusat pelayanan pendidikan kota Makassar cukup banyak memiliki sarana dan prasarana pendidikan, mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak sampai ke tingkat Perguruan Tinggi. Menurut data Statistik, pada tahun 2010, di kota Makassar terdapat sebanyak 333 sekolah Taman Kanak-Kanak. Demikian juga jumlah sekolah SD adalah sebanyak 459 sekolah. Prasarana pendidikan SLTP ada sebanyak 171 buah sekolah dan 112 sekolah SLTA. Sedangkan Perguruan tinggi terdiri dari 3 Universitas Negeri dan 1 Institut Negeri, untuk Perguruan Tinggi Swasta terdiri dari 14 Universitas, 26 Sekolah Tinggi, dan 16 Akademi. Tabel 4.2 Jumlah Murid TK, SD, SMP dan SMA di Makassar Tahun Ajar

2009/2010

Pendidikan Jumlah Murid

TK 13.934

SD 145.749

SMP 59.101

SMA 65.277

Sumber : Makassar Dalam Angka 2010

(49)

SMP (usia 13-15 tahun) di Kota Makassar adalah sebanyak 59.101 murid. Terakhir untuk jumlah murid SMA(usia 16-18 tahun) di kota Makassar adalah sebesar 65.277 murid.

4.3 Karakteristik Responden 4.3.1 Tingkat Pendidikan Formal

Kualitas sumber daya manusia sangat penting perananya dalam proses pembangunan. Salah satu ukuran kualitas sumber daya manusia adalah pendidikan formal yang pernah diikuti atau ditamatkan. Tingkat pendidikan seseorang yang semakin baik akan memberikan dukungan baik secara sosial maupun ekonomi untuk melakukan aktivitas dalam kelangsungan hidupnya. Tingkat pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lamanya pendidikan yang pernah ditempuh oleh kepala keluarga.

Tabel 4.3.1 Kelompok Responden Menurut Tingkat Pendidikan Formal Kota Makassar Tahun 2011

Tingkat Pendidikan Kaya Miskin

Frekuensi % Frekuensi %

SD 0 0 22 44

SLTP 3 6 13 26

SLTA 10 20 15 30

Sarjana 37 74 0 0

Jumlah 50 100 50 100

Sumber : Hasil Olahan Data Primer,2011

(50)

mengecap pendidikan formal SD sedangkan pada rumah tangga miskin ada 22 responden atau 44 persen yang memilki pendidikan SD, untuk pendidikan SLTP keluarga kaya terdapat 3 responden atau 6 persen sedangkan keluarga miskin terdapat 13 responden atau 26 persen, sedangkan untuk pendidikan SLTA rumah tangga kaya sebanyak 10 responden atau 20 persen sedangkan rumah tangga miskin sebanyak 15 responden atau 30 persen. Kemudian pada rumah tangga kaya lebih banyak mengecap pendidikan pada tingkat sarjana yaitu sebanyak 37 responden atau 74 persen sedangkan pada keluarga miskin tidak terdapat responden yang mengecap pendidikan sarjana.

Rata-rata lama bersekolah keluarga miskin adalah 9 tahun. Artinya keluarga miskin rata-rata menyelesaikan studinya pada tingkat SLTP. Sedangkan keluarga kaya rata-rata bersekolah selama 16 tahun. Artinya bahwa rata-rata lama sekolah keluarga kaya adalah telah menyelesaikan studinya pada tingkat sarjana.

Kenyataan ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan kepala keluarga. Hal ini ditunjukkan pada tabel di atas bahwa rumah tangga kaya pada umumnya tingkat pendidikanya adalah sarjana. Sedangkan rumah tangga miskin tingkat pendidikanya adalah tamatan SLTP.

4.3.2 Pekerjaan

(51)

penduduk perkotaan dimana sebagian besar responden PNS, pegawai swasta, wiraswasta, buruh, dan lain-lain.

Tabel 4.3.2 Kelompok Pekerjaan Kepala Rumah Tangga di Kota Makassar Tahun 2011 tangga miskin dan kaya menurut pekerjaanya. Pada rumah tangga miskin, lebih banyak menggeluti kelompok pekerjaan lain-lain yang terdiri dari tukang becak, sopir angkot, tukang bersih-bersih, tukang bengkel, tukang tambal ban, penjual buah-buahan sebanyak 28 responden atau 28 persen. Sedangkan pada rumah tangga kaya tidak ada responden yang bekerja pada kelompok pekerjaan lain-lain. Justru orang kaya lebih banyak bekerja sebagai PNS dan wiraswasta yaitu masing-masing sebanyak 19 dan 18 responden, dan ada juga yang bekerja sebagai kontraktor sebanyak 5 responden.

4.3.3 Tingkat Pendapatan

(52)

untuk setiap kebutuhan keluarga. Kebutuhan tersebut terdiri dari kebutuhan untuk konsumsi pangan dan non pangan. Alokasi pola pengeluaran keluarga setidaknya ditentukan oleh prioritas atau pilihan menurut tingkat pemenuhan kebutuhan baik kebutuhan pangan maupun non pangan.

4.3.3.1 Kelompok Pendapatan Kepala Rumah Tangga Berdasarkan Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011

Berikut adalah tabel yang memperlihatkan pendapatan kepala rumah tangga di Kota Makassar

Tabel 4.3.3.1 Kelompok Pendapatan Kepala Rumah Tangga Berdasarkan Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011

(53)

Rp.4.500.100-5.000.000 sebanyak 4 responden sedangkan untuk rumah tangga miskin kelompok pendapatan kepala keluarga terbanyak adalah Rp.500.000-1.000.000 yaitu sebanyak 27 responden atau 27 persen kemudian menyusul kelompok pendaptan Rp.1.000.100-1 .500.000 sebanyak 17 responden.

Dari data diatas menggambarkan bahwa terjadinya perbedaan tingkat pendapatan yang nantinya akan mempengaruhi pola konsumsi. Rumah tangga yang memiliki pendapatan tinggi akan mempunyai kesempatan lebih besar untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu, jumlah dan ragam, baik barang maupun jasa yang akan dibeli rumah tangga. Untuk rumah tangga yang memilki pendapatan rendah, sebagian pendapatanya akan dialokasikan untuk membeli barang kebutuhan primer dan hanya sebagian kecil untuk untuk membeli barang kebutuhan sekunder.

4.3.3.2 Kelompok Pendapatan Anggota Rumah Tangga Berdasarkan Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011

Berikut adalah tabel data pendapatan anggota rumah tangga di Kota Makassar berdasarkan rumah tangga kaya dan miskin di Kota Makassar adalah:

(54)

2.000.100-2.500.000 4 8 0 0

2.500.100-3.000.000 3 6 0 0

3.000.100-3.500.000 3 6 0 0

3.500.100-4.000.000 3 6 0 0

Jumlah 50 100 50 100

Sumber: Hasil Olahan Data primer,2011

Berdasarkan Tabel 4.3.3.2 dapat dilihat pola distribusi responden menurut pendapatan anggota rumah tangga berdasarkan kategori rumah tangga. Baik rumah tangga kaya dan miskin, anggota rumah tangga yang tidak memiliki pendaptan atau yang tidak bekerja menempati urutan pertama. Artinya bahwa tumpuan satu-satunya keluarga hanya pada kepala keluarga dan masih tergantung pada orang tua. Untuk responden yang mempunyai anggota keluarga dengan pendapatan rendah umumnya mereka bekerja sebagai tukang cuci, tukang becak, tukang bentor ,sopir angkot, tukang tambal ban, tukang bersih-bersih, dan buruh bangunan. Sedangkan untuk anggota rumah tangga kaya, umumnya mereka bekerja sebagai wiraswasta dan PNS, pegawai swasta.

4.3.3.3 Kelompok Pendapatan Total Rumah Tangga Berdasarkan Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011

Berikut adalah tabel kelompok pendapatan total rumah tangga berdasarkan rumah tangga kaya dan miskin di Kota Makassar Tahun 2011 adalah sebagai berikut:

(55)

Pendapatan Total

keluarga (Rp/Bulan) FrekuensiKaya % FrekuensiMiskin %

<1.000.000 0 0 6 12

Berdasarkan tabel 4.3.3.3 dapat dilihat pola distribusi responden menurut pendapatan total rumah tangga. Pada rumah tangga kaya ada sebanyak 31 responden atau 31 persen yang masuk kelompok pendapatan lebih dari Rp.6.000.100 perbulan. Sedangkan pada keluarga miskin ada 29 respondonden yang masuk kelompok pendapatan Rp.1.000.100-1.500.000 perbulan.

(56)

4.3.4 Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah Tanggungan Keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang

terdiri dari; istri, dan anak, serta orang lain yang turut serta dalam keluarga berada atau hidup dalam satu rumah dan makan bersama yang menjadi tanggungan kepala keluarga. Informasi banyaknya anggota keluarga dalam setiap rumah tangga dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 4.3.4 Kelompok Jumlah Tanggungan Keluarga Responden Di Kota Makassar Tahun 2011

(57)

yaitu sebanyak 1 responden atau 2 persen. Rata-rata jumlah tanggungan rumah tangga miskin adalah 5,2. Artinya setiap kepala keluarga harus menanggung 5 anggota rumah tangga. Sedangkan rata-rata jumlah tanggungan rumah tangga kaya adalah 3. Artinya setiap kepala keluarga harus menanggung 3 anggota keluarga. Semakin banyak anggota rumah tangga maka semakin besar pengeluaran untuk konsumsi pangan pokok

Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah anak yang paling banyak pada rumah tangga kaya yaitu 2 dan 3 orang anak yang dijumpai pada masing-masing rumah tangga yaitu 17 responden (34%) dan 12 responden (24%). Sedangkan jumlah anak yang paling banyak pada rumah tangga miskin yaitu 4 dan 5 orang anak yang dijumpai pada masing-masing rumah tangga yaitu 17 responden (34%) dan 10 responden (20%).

(58)

4.4 Pola Pengeluaran Konsumsi Pangan dan Non Pangan Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011

Akibat adanya kendala keterbatasan pendapatan serta keinginan untuk mengkonsumsi barang dan jasa sebanyak-sebanyaknya agar diperoleh kepuasan yang maksimal, maka rumah tangga akan berusaha untuk mengalokasikan pendapatanya sesuai dengan daya guna dari barang dan jasa yang diinginkan. Berikut adalah beberapa pembagian yang memperlihatkan Pola pengeluaran pangan masyarakat.

4.4.1 Kelompok Alokasi Pengeluaran untuk Kebutuhan Pangan Menurut Kategori Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011

Berikut adalah tabel yang memperlihatkan alokasi pengeluarn untuk kebutuhan pangan menurut kategori rumah tangga kaya dan miskin.

Tabel 4.4.1 Kelompok Alokasi Pengeluaran untuk Kebutuhan Pangan Menurut Kategori Rumah Tangga Kaya dan Miskin Di Kota Makassar Tahun 2011

Pengeluaran Pangan (Rp/bulan)

Miskin Kaya

Frekuens

i % Frekuensi %

≤500.000 17 34 0 0

500.100-1.000.000 30 60 16 32

1.000.100-1.500.000 3 6 23 46

(59)

Jumlah 50 100 50 100 Sumber ; Hasil Olahan Data Primer,2011

Alokasi pola pengeluaran menurut kategori rumah tangga untuk konsumsi pangan dapat dilihat pada tabel 4.4.1 terlihat secara jelas perbandingan alokasi pola pengeluaran menurut kategori rumah tangga yaitu kaya dan miskin. Untuk pengeluaran pangan sebesar Rp 5.00.000 perbulan kebawah pada keluarga miskin sebanyak 17 responden atau 34 persen sedangkan pada rumah tangga kaya tidak ada responden yang masuk kategori tersebut. Kemudian untuk pengeluaran pangan sebesar Rp.500.100-1.000.000 perbulan, pada rumah tangga miskin sebanyak 30 responden atau 60 persen sedangkan pada keluarga kaya sebanyak 16 responden atau 32 persen. Pengeluaran pangan di atas Rp.1.500.100 perbulan, tidak ada responden pada rumah tangga miskin sedangkan pada rumah tangga kaya sebanyak 11 responden atau 22 persen.

(60)

4.4.2 Kelompok Alokasi Pengeluaran untuk Kebutuhan Non Pangan Menurut Kategori Rumah Tangga Miskin dan Kaya Di Kota Makassar Tahun 2011

Berikut adalah alokasi pengeluaran untuk kebutuhan non pangan menurut kategori rumah tangga miskin dan kaya di Kota Makassar

Tabel 4.4.2 Kelompok Alokasi Pengeluaran untuk Kebutuhan Non Pangan Menurut Kategori Rumah Tangga Miskin dan Kaya di Kota

(61)

sebesar 9 responden atau 18 persen. Pada pengeluaran non pangan diatas Rp.1.500.100 perbulan pada rumah tangga miskin tidak ada responden, sedangkan pada rumah tangga kaya lebih besar pengeluaranya yaitu sebanyak 39 responden atau 78 persen .

Rata-rata alokasi pengeluaran pangan untuk rumah tangga miskin sebesar Rp.641.620 perbulan, sedangkan untuk rumah tangga kaya sebesar Rp.1.080.320 perbulan, yang terdistribusi ke dalam ; makanan pokok, protein hewani, potein nabati, sayur-sayuran, buah-buahan, jajanan dan kelompok kebutuhan lain-lain (teh, kopi, gula, minyak goreng, bumbu dapur, dll). Persentasi dan tingkatanya dapat dilihat pada tabel berikut

4.4.3 Persentasi Rata-rata Pengeluaran Untuk Kebutuhan Pangan Menurut Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011

Berikut adalah data rata-rata pengeluran untuk kebutuhan pangan menurut kategori rumah tangga kota makassar tahun 2011 adalah sebagai berikut:

Tabel 4.4.3 Persentasi Rata-rata Pengeluaran Untuk Kebutuhan Pangan Menurut Rumah Tangga Kaya dan Miskin di Kota Makassar Tahun 2011

Pangan Miskin Kaya

% Urutan % Urutan

Makanan Pokok 22,85 1 13,27 5

Protein Hewani 17,39 2 18,12 1

Protein nabati 14,70 3 13,94 4

Sayur-sayuran 13,78 4 12,07 6

(62)

Jajanan 10,72 6 14,3 3

Lain-lain 11,64 5 17,71 2

Jumlah 100 100

Sumber: Hasil olahan data primer,2011

Berdasarkan tabel di atas ,dapat dilihat perbedaan alokasi dan prioritas pengeluaran untuk kebutuhan pangan pada rumah tangga miskin dan kaya. Pada rumah tangga miskin yang menduduki urutan pertama adalah kebutuhan makanan pokok berupa beras, yaitu sebesar 22,85 persen atau rata-rata sebesar Rp.140.500,00 perbulan. Sedangkan untuk rumah tangga kaya beras menduduki urutan kelima yaitu sebesar 13,27 persen atau rata-rata alokasi anggaranya sebesar Rp.183.400 perbulan.

Sementara jenis konsumsi makanan yang relatif kecil pada rumah tangga kaya adalah pada sub kelompok konsumsi buah, sayur, dan beras . Sebagai barang inferior rata-rata keluarga kaya mengkonsumsi buah-buahan Rp.147.200 per keluarga per bulan. Untuk konsumsi sayur juga relatif kecil yang hanya Rp.165.980,dan beras Rp.183.400. Beras bagi rumah tangga miskin merupakan barang superior yang paling banyak diminta oleh rumah tangga miskin. Hal ini karena pendapatanya yang rendah dan banyaknya jumlah tanggungan keluarga sehingga sebagian besar dari pada pendapatan digunakan untuk membeli beras.

(63)

Alokasi pengeluaran untuk kelompok kebutuhan lain-lain yang terdiri dari teh, kopi ,gula, bumbu dapur ,minyak goreng, dan lain-lain pada rumah tangga miskin menduduki uruan kelima sebesar 11,6,4 persen atau rata-rata sebesar Rp.78.980 perbulan, sedang pada rumah tangga kaya menduduki urutan yang kedua sebesar 17,71 persen atau rata-rata sebesar Rp.244.800 perbulan.

Karena keterbatasanya anggaran yang dimilki rumah tangga miskin untuk memenuhi kebutuhan panganya maka ia akan berusaha memenuhi kebutuhanya dengan jalan memilih jenis pangan yang relatif murah. Salah satunya adalah beras. Sedangkan pada rumah tangga yang kaya makanan pokok atau beras hanya menduduki prioritas keempat, yang menjadi prioritas utama adalah protein hewani yang terdiri dari daging, susu, ikan dan telur. Hal in terjadi karena mereka memiliki anggaran yang cukup untuk alokasi kebuuhan panganya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sediaoetama (1985) bahwa, semakin rendah tingkat ekonomi suatu masyarakat, semakin tinggi persentasi energi yang digunakan berasal dari karbohidrat atau beras, karena energi dari karbohidrat termasuk yang paling murah harganya. Lebih lanjut dikatakan bahwa, masyarakat yang mengalami kemajuan pada sektor ekonomi menunjukkan pergeseran sumber energi dari karbohidrat kearah protein atau lemak.

4.4.4 Persentasi Rata-rata Pengeluaran Untuk Kebutuhan Non Pangan Menurut Rumah Tangga Kaya dan Miskin Di Kota Makassar Tahun 2011

(64)

Tabel 4.4.4 Persentasi Rata-rata Pengeluaran Untuk kebutuhan Non Pangan Menurut Rumah Tangga Kaya dan Miskin Di Kota Makassar Tahun 2011

Perabotan rumah tangga 4,72 8 8,47 6

Hiburan 6,68 6 9,21 5

(65)

Rata-rata alokasi pengeluaran non pangan pada rumah tangga kaya adalah sebesar Rp 12.419.730,00 perbulan. Sedangkan untuk keluarga miskin hanya sebesar Rp 628.000,00 perbulan

4.5 Perbandingan Pola Konsumsi Rumah Tangga Kaya dan Miskin Terhadap Pangan dan Non Pangan di Kota Makassar Tahun 2011

Untuk melihat informasi mengenai perbandingan pola konsumsi rumah tangga kaya dan rumah tangga miskin di Kota Makassar,dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.5 Perbandingan Pola Konsumsi Rumah Tangga Kaya dan Miskin terhadap Pangan dan Non Pangan di Kota Makassar Tahun 2011

Kategori Rumah Tangga

Alokasi Pangan

(Jumlah) % Rendah

(%)

Sedang (%)

Tinggi (%)

Miskin 32% 44% 22% 100 (50)

Kaya 88% 8% 4% 100 (50)

Jumlah 61 (61) (26) (13) 100 (100)

Sumber: Hasil Olahan Data primer,2011

(66)

Berdasarkan Tabel 4.5 dan grafik diatas, dapat dilihat perbandingan pola konsumsi menurut kategori rumah tangga. Alokasi konsumsi Pangan pada rumah tangga miskin kurang 50 % dari total pengeluaran rumah tangga sebesar 32%,untuk kategori sedang atau 50-60% alokasi pangan dari total pengeluaran adalah sebesar 44%, untuk kategori alokasi pangan tinggi adalah sebesar 22%. sedangkan pada rumah tangga kaya, alokasi pangan kurang dari 50% dari total pengeluaran rumah tangga adalah sebesar 88 persen, untuk kategori sedang atau 50-60% alokasi pangan dari total pengeluaran adalah sebesar 8 persen, untuk kategori alokasi pangan tinggi yaitu lebih dari 60%, adalah sebesar 4 persen.

(67)

4.5.1 Hubungan Antara Tingkat pendapatan Total Rumah Tangga Miskin Terhadap Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan di Kota Makasar Tahun 2011

Tinggi rendahnya pendapatan akan mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga. Semakin tinggi tingkat pendapatan umumnya konsumsi akan semakin meningkat akan tetapi besarnya tingkat pendapatan tidak selalu sama besar dengan peningkatan konsumsi. Dalam penelitian ini pendapatan rumah tangga miskin dibagi menjadi 3 kelompok yaitu pendapatan sedang, sedang, tinggi. Rata-rata pendapatan rumah tangga miskin ( X) adalah sebesar Rp.1.504.000,00 standar deviasi pendapatan (Sd) adalah sebesar Rp.630.341,66. Sehingga tingkat Makassar, dapat dilihat pada tabel di bawah ini

Tabel 4.5.1 Hubungan Antara Tingkat pendapatan Total Rumah Tangga Miskin Terhadap Pola Konsumsi Pangan dan Non Pangan di Kota Makasar Tahun 2011

X≤ Rp.873.658,34 25% 13% 62% 100 (8)

Rp.873.658,34<X<Rp.2.134.341,6

6 13% 40% 45% 100 (37)

X ≥ Rp.2.134.341,66 16% 33% 50% 100 (6)

Jumlah 18 19 11 100 (50)

Gambar

Tabel 3.2 Jumlah Rumah Tangga Menurut Kecamatan Di Kota Makassar
Tabel 4.1.1  Luas Wilayah dan Persentase Terhadap Luas Wilayah Menurut
Tabel 4.1.2  Jumlah Penduduk, Laju Pertumbuhan Penduduk, Rumah
Tabel 4.1.3 Jumlah Penduduk, Jumlah Rumah Tangga dan Kepadatan Penduduk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian responden dengan anak autistik yang memiliki sikap pesimistik sebanyak (36,4%) akan lebih merasa cepat putus asa saat merasa bahwa

Berdasarkan hasil wawancara kepada guru sosiologi kelas XA SMA Islamiyah Pontianak. Interaksi edukatif antara guru dan siswa dalam diskusi kelompok kecil sudah berjalan

Hasil penelitian menunjukkan (1) rata-rata pendapatan usahatani tebu rakyat sebesar Rp19.670.852,61/hektar, (2) rata-rata pendapatan rumah tangga petani

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan, beberapa mahasiswa berbakat (gifted) mengalami kesulitan berkaitan dengan konteks akademik dan sosial, namun dalam penelitian

Menurut Jogiyanto H.M (2000 : 692) , Informasi adalah sebagai hasil dari pengolahan data dalam suatu bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data di atas, dapat diketahui dari lima indikator tolak ukur penelitian dengan 24 pernyataan didapatkan total rata – rata 83,09 bila

badan ayam pedaging, namun berdasarkan hasil uji Duncan pertambahan berat badan ayam antara perlakuan R1(pakan basal + probiotik strain Enterococcus faecalis), R2

Dengan kata lain semua instance dari class pet_canary mempunyai atribut colour yellow, feathered true, flying true dan ownernya bervariasi untuk setiap instance..