• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEA Pemuda dan Media Perspektif Pemuda t

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MEA Pemuda dan Media Perspektif Pemuda t"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MEA, Pemuda dan Media: Perspektif Pemuda terhadap Persiapan

Indonesia dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN

Ruhul Auliya

Abstrak

Tidak dapat dipungkiri bahwa Masyarakat Ekonomi ASEAN hanya tinggal menghitung hari. Tapi informasi mengenai MEA masih belum menyeluruh. Masih banyak pemuda tidak mengetahui tentang apa itu MEA. Sementara, sebagian lainnya yang telah mengetahui MEA belum memiliki gambaran persiapan untuk menghadapinya. Penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan: “Bagaimana persiapan Indonesia dalam menghadapi MEA melalui perspektif pemuda?”. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara semi terstruktur, baik langsung maupun online. Narasumber adalah pemuda, khususnya kalangan mahasiswa di Yogyakarta.

Penelitian ini menemukan beberapa temuan. Pemuda memandang belum ada persiapan serius dari pemerintah untuk membangun perekonomian mikro untuk menghadapi MEA. Narasumber berpendapat bahwa informasi mengenai MEA masih sangat minim. Isu MEA tidak menjadi agenda media massa, pemberitaan tentang MEA tidak menjadi prioritas media-media di Indonesia. Hasilnya, kesadaran masyarakat akan MEA masih sangat minim. Menurut narasumber, Indonesia memiliki potensi untuk dijadikan sebagai mangsa pasar dalam MEA. Globalisasi kecil ASEAN ini berpotensi menjadikan masyarakat yang belum siap sebagai batu loncatan untuk menunjang kepentingan terselubung Negara lain. Secara umum, narasumber memandang Indonesia belum siap apabila MEA akan dilaksanakan pada akhir tahun 2015.

Kata kunci: pemuda, agenda media, MEA

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Masyarakat Ekonomi ASEAN atau yang lebih dikenal sebagai MEA merupakan sebuah kerjasama politik antar Negara ASEAN dalam bidang ekonomi. Adanya kerjasama ini didasari oleh keinginan antara Negara-negara di ASEAN untuk menyatukan masyarakat ASEAN dan bersama-sama memajukan perekonomian Negara-negara di ASEAN.

Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan salah satu dari 3 pilar penting dalam ASEAN Community yaitu Masyarakat Keamanan ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN. Penelitian ini fokus membahas bagaimana pemuda melihat persiapan Indonesia untuk menghadapi MEA dan bagaimana pemuda melihat media khususnya media massa memberitakan isu MEA. Secara umum, penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara, baik wawancara langsung atau wawancara via Internet.

(2)

menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Terlebih, pemuda merupakan salah satu pihak yang akan merasakan dampak paling besar akibat pengaplikasian Masyarakat Ekonomi ASEAN ini. Pembahasan mengenai pemuda juga menjadi sangat penting mengingat persebaran informasi dikalangan pemuda relatif lebih banyak. Hal itu disebabkan oleh penggunaan media, baik media sosial maupun media massa lebih aktif digunakan oleh pemuda. Sehingga, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana pemuda melihat persiapan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN? Karena, dengan mengetahui persiapan yang telah dilakukan oleh Indonesia untuk menghadapi MEA melalui perspektif pemuda akan membantu pemerintah mengetahui besaran usaha yang telah dilakukan pemerintah untuk membawa Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN. Penelitian ini selanjutnya dapat dijadikan media bagi pemuda untuk ikut berpartisipasi dengan ikut menyuarakan pendapatnya mengenai realisasi MEA. Terlebih bahwa Indonesia merupakan Negara yang menganut demokrasi, dimana setiap keputusan berada ditangan rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Dalam penelitian ini, peneliti menentukan kriteria-kriteria bagi pemuda yang dijadikan sebagai narasumber, yaitu: pemuda usia produktif usia 18-25 tahun, pemuda yang sedang menempuh S1, pemuda yang sedang mencari pekerjaan, dan pemuda yang sudah memiliki pekerjaan. Penentuan kriteria diatas ditentukan dengan berbagai pertimbangan, yaitu kemungkinan keragaman pengetahuan, persepsi dan strategi yang dapat diberikan oleh para pemuda untuk kemajuan persiapan Indonesia menuju MEA.

Rumusan Masalah

Bagaimana persiapan Indonesia dalam menghadapi MEA melalui perspektif pemuda? Tujuan Penelitian

1. Menjelaskan bagaimana pemuda memandang persiapan Indonesia untuk menghadapi MEA

2. Menjelaskan bagaimana pemuda melihat pemberitaan mengenai MEA di media massa?

Urgensi Penelitian

(3)

Kontribusi Penelitian

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan bagi para peneliti yang ingin meneliti khususnya dalam lingkup kajian media dan perubahan sosial, analisis konten media, tema mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN, atau kajian tentang mengenai media massa secara umum. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pemerintah untuk mempersiapkan Indonesia secara keseluruhan menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN.

METODOLOGI

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini cocok jika pokok pertanyaan penelitian berkenaan dengan ”bagaimana” (how) atau ”mengapa” (why), serta jika fokus penelitiannya terletak pada fenomena kontemporer di dalam konteks kehidupan nyata (Yin, 2003: 1 & 8).

Lokasi dan Narasumber Penelitian

Lokasi penelitian utama dalam penelitian ini adalah Yogyakarta dan kota sekitarnya (Semarang, Surakarta), yang sebagian besar tengah menjalani studi. Namun, lokasi secara luas dan virtual adalah Indonesia secara umum dimana peneliti melakukan wawancara via Internet (Skype, Line, ataupun chatting) dengan pemuda-pemuda dari berbagai daerah. Penelitian ini mengikuti definisi dalam Undang-Undang Kepemudaan, bahwa seseorang dikatakan pemuda jika berumur 16 hingga 30 tahun.

Sedangkan penentuan narasumber dilakukan dengan teknik purposive sampling. “Sampling purposive adalah teknik sampling dengan pertimbangan tertentu…” (Machfoedz, 2009: 54). Kriteria yang digunakan peneliti adalah usia dan pemahaman pemuda terhadap isu yang ingin diteliti.

Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini terklasifikasi menjadi dua, primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan wawancara, sementara data sekunder diperoleh dari dokumen dan pustaka-pustaka yang relevan dengan masalah penelitian (Moleong, 2005).

Teknik wawancara yang akan diterapkan peneliti adalah: 1). Terbuka, artinya narasumber mengetahui bahwa dia diwawancarai untuk kepentingan tertentu, 2). Mendalam, artinya wawancara akan dilakukan secara intensif dan berulang-ulang dalam rangka menguak makna-makna dan pemahaman terdalam dari narasumber tentang suatu hal tertentu, 3). Terarah, artinya wawancara dilakukan secara bebas tetapi tetap mengacu pada pokok permasalahan tertentu (Irianto dan Bungin, 2006: 143-147).

Analisis Data

(4)

Reduksi data adalah proses dimana peneliti akan mengidentifikasi satuan-satuan dalam data, memilih satuan yang memiliki makna atau penting bagi penelitian, serta membuang satuan yang tidak memiliki makna atau tidak relevan. Kategorisasi adalah proses memilah-milah setiap satuan sesuai kesamaan yang ada, mengelompokkannya dalam kategori-kategori tertentu. Sintesisasi adalah berupaya mencari kaitan antara satu kategori dengan lategori lain. Menyusun hipotesis kerja merupakan tahap terakhir yang intinya menarik kesimpulan dari proses analisis data yang telah dilakukan di tahap-tahap sebelumnya.

TEMUAN PENELITIAN

a. Pro-Kontra Realisasi MEA 2015

MEA sudah berada didepan mata. Dimana masyarakat akan dihadapi pada realita bahwa sudah tidak ada lagi pilihan untuk tidak setuju terhadap realisasi MEA pada penghujung tahun 2015. Namun hal itu masih tidak dapat menghentikan masyarakat untuk tetap menyuarakan pendapat mereka mengenai pro dan kontra terhadap pelaksanaan MEA diujung tahun 2015 ini. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kindie, seorang mahasiswa tingkat akhir di sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.

Saat ini sih aku nggak setuju. Ya coba lihat kondisi perekonomian kita saja masih amburadul. Terutama lihat deh bensin yang seharusnya dipakai untuk orang yang tergolong tidak mampu tapi orang golongan menengah yang tergolong mampu. Subsidi itu yang direncanakan untuk memperkuat perekonomian mikro menjadi tidak optimal. Dan sepertinya subsidi itu dibajak oleh kelas menengah ekonomi dan kelas menengah intelektual tadi.

Lain Kindie, lain juga dengan Maria. Maria memilih untuk tidak berkomentar. Bagi Maria, setuju atau tidak sudah bukan persoalan lagi. Karena cepat atau lambat, MEA akan tetap diberlakukan. Masyarakat sudah tidak punya pilihan selain mempersiapkan diri. Karena masyarakat yang tidak siap akan dijadikan sebagai mangsa pasar.

Sekarang pertanyaannya bukan setuju atau tidak, kita bukan pemangku kebijakan

loh yaa. Kita hanya masyarakat yang terimo inpantum gitu kan, jadi setuju atau tidak harus menjalaninya kayak gitu loh, ya sudah itu jawabku. Nggak bisa setuju atau tidak, karena kita ya wayang yang menjalankan dalangnya sudah ada. Toh perjanjiankan dibuat beberapa tahun yang lalu untuk mempersatukan. Jadi initinya

itu gini loh.. “ASEAN UNITED” bagaimana Negara-negara ASEAN bersatu tanpa

(5)

produsen. Nah itu yang kukhawatirkan, karena ya tadi itu masih belum siap dalam

segala hal lah.”

Sedangkan Erdy berpendapat bahwa keputusan untuk merealisasikan MEA atau AEC adalah keputusan yang tepat. Karena setiap keputusan memiliki positif dan negatifnya. Justru disinilah letak tantangannya. Masyarakat harus bisa berkompetisi dan mencari cara untuk bertahan dalam MEA.

Saya setuju dengan AEC. Semua ada positif negatif. Justru itu tantangannya,

bagaimana memanfaatkan positifnya dan meminimalisir negatif untuk pembangunan masyarakat. AEC membuka berbagai kemungkinan baru. Mendorong kita pemuda untuk berkolaborasi dengan mahasiswa luar. mendorong invetastasi,bisnis, dan perkonomian. Mendorong terciptanya inovasi-inovasi baru dalam berbagai sektor karena adanya kolaborasi. Membangun kekuatan positif untuk melawan kapitalisme & pengaruh budaya barat yang negatif.”

Berdasarkan komentar-komentar diatas, dapat disimpulkan bahwa setuju atau tidak bukan lah hal yang perlu diperdebatkan. Keputusan sudah dibuat bertahun-tahun yang lalu. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak mempersiapkan diri. Karena cepat atau lambat, MEA akan tetap dilaksanakan.

b. MEA dan Media Massa

MEA merupakan sebuah perjanjian besar bagi Negara-negara ASEAN. Tentunya hal ini merupakan sebuah kabar gembira bagi media-media massa. Nilai berita MEA seharusnya memiliki posisi tinggi mengingat MEA memiliki hubungan erat dengan masyarakat. Terlebih MEA juga menyangkut masa depan masyarakat dalam sebuah Negara.

Indonesia sebagai Negara yang kaya akan sumber daya alam tentunya harus lebih aware terhadap perjanjian MEA. Pemberitaan mengenai MEA haruslah lebih gencar sehingga masyarakat paham akan kepentingan Indonesia didalam MEA. Namun sekali lagi realitas berbicara. Pada kenyataannya MEA bukanlah informasi yang cukup penting untuk dibahas. MEA tidak menjadi agenda media. Narasumber mengaku mengetahui MEA dari media-media lain karena minimnya informasi mengenai MEA di media massa. Hal itu seperti yang diungkapkan oleh Hanafi dalam wawancaranya. Tau MEA dari dosen. Jarang banget

liat di TV. Tapi pernah sekali dua kali.”

Selain Hanafi, Nispi juga mengaku bahwa dia mengetahui informasi mengenai MEA justru dari seminar-seminar.

Iya…pernah..pernah. Pernah mengikuti seminarnya tahun 2013. Kalau nggak salah

bulan September. Dari seminar. Awalnya dari seminar, dan sekilas kecil dari informasi. Namun kalau dalam berita sehari-hari tuh jarang. Malahan di expose dari berita nasional itu nggak pernah malahan. Taunya ya dari sosial-sosial dari

(6)

Seperti halnya Nispi, Maria juga mengetahui MEA dari seminar yang membahas mengenai MEA. Meskipun mengaku sering mendengar informasi-infoprmasi mengenai MEA.

“Ehmm…sering sih. Jadi, Kalau ASEAN Economic Community itu sudah setahun

yang lalu itu pertama kali saya dengar, waktu ada seminar. Dan itu sengaja saya ikut memang untuk persiapan ya sekedar mengetahui saja gitu kan. Biar kita nggak gaptek apalagi jadi anak komunikasi.

Hal diatas membuktikan betapa masih minimnya informasi mengenai MEA di media massa. Padahal realisasi MEA sudah berada didepan mata namun informasi masih belum menyeluruh. Hal ini tentu akan berdampak besar bagi pemahaman masyarakat mengenai MEA. Hal itu akan diperburuk apabila ternyata masyarakat masih belum bersiap-siap untuk menyambut MEA.

c. Indonesia Menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN

MEA tidak bisa dipandang sebelah mata. Persiapan merupakan sebuah keharusan dalam MEA. Ketidaksiapan bukanlah jawaban yang bisa ditoleransi dalam menjawab tantangan MEA. Oleh sebab itu, pemerintah perlu menyiapkan negaranya masing-masing untuk menyambut MEA sehingga tidak terjebak dalam iklim perekonomian dan menjadi mangsa pasar.

Indonesia juga sebagai salah satu Negara yang juga menandatangani perjanjian MEA juga harus berkemas-kemas. Bahkan seharusnya dari sejak perjanjian MEA ditanda tangani, pemerintah sudah harus menyiapkan strategi untuk mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi MEA. Namun kabar buruknya, pemuda justru tidak melihat persiapan yang serius khususnya di bidang ekonomi mikro. Seperti yang telah diungkapkan oleh Hanafi. “Aku nggak tau apa yang udah dilakukan pemerintah. Tidak mendengar soal peran pemerintah.”

Hal serupa diperkuat oleh paparan dari Nispi. Dimana Nispi melihat bahwa Pemerintah masih belum fokus dalam mempersiapkan Indonesia.

“Yang saya lihat pemerintah sekarang ini masih fokus pada masala h-masalah kita dulu. Saya belum sama sekali melihat adanya tindakan atau persiapan dari pemerintah untuk menghadapi ASEAN Economic Community ini. Yang saya tau, banyak berita-berita dan masyarakat pun tau tentang berbagai kisah kapolri dengan KPK lah, presiden ini dengan ini lah, masalah ISIS. Pemerintah hanya fokus dengan itu. Belum tau masalah yang akan kita hadapi dimasa yang akan datang. Pemerintah ya hanya menyetujui program ini. Belum tau bagaimana cara kita, masyarakatnya terutama untuk menghadapi itu. Pemerintah ya hanya terima-terima saja kalau ingin mendukung keuanga mereka belum tentu mendukung keuangan rakyat. Saya belum pernah melihat aktivitas pemerintah untuk menghadapi MEA ini.”

(7)

terus bermunculan dari internal pemerintahan. Lihat saja di media massa, ramai dengan berbagai konflik internal pemerintahan. Beberapa waktu yang lalu bahkan media massa dihebohkan dengan pemberitaan konflik Jakarta. Ini membuktikan bahwa relasi antara masyarakat dan pemerintah masih belum cukup baik. Wajar saja jika hal ini menyurutkan optimism masyarakat terhadap pengimplementasian MEA diujung tahun 2015 ini.

Argumen ini diperkuat oleh Kindie. Kindie berpendapat bahwa persiapan Indonesia menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN masih berputar di ranah perekonomian makro. Perekonomian kecil masih lemah sementara Indonesia pada dasarnya diperkuat oleh ekonomi mikro. Dengan kata lain, perekonomian mikro akan menjadi semakin melemah dalam MEA dan justru akan menjadi ‘keuntungan’ bagi pemain ekonomi makro.

Kalau menurut aku tidak banyak dan pembahasan kerjasama ini masih masih berputar terhadap kekuatan-kekuatan ekonomi besar saja dan masih belum mencapai kekuatan ekonomi-ekonomi kecil. Sehingga sayangnya perekonomian Indonesia ini akan dimonopoli oleh kekuatan-kekuatan ekonomi besar yang mana itu bisa saja nanti kalau aku katakan mengeksploitasi ekonomi mikro. Karena kalau itu bisa terjadi, aku kira nanti akan terjadi ketimpangan yang besar, chaos dan semoga saja tidak implasi lah ya.

Lain dengan Kindie, Maria justru mengaku telah melihat usaha pemerintah dalam mempersiapkan MEA. Namun sayangnya, persiapan itu masih belum cukup. Persiapan pemerintah menuju MEA masih berada pada fase rendah yaitu hanya meminimalisir. Tentu hal itu tidak cukup jika mengingat pesaing yang akan bermunculan dalam MEA sangat kuat.

“pemerintah sudah beberapa tahun yang lalu sudah banyak kaya’ memeberlakukan politik anti dumping ya? Yang harganya bener-bener murah dan sebagainya terus kemudian proteksi-proteksi terhadap product-product dari Cina itu sudah dilakukan. Kemudian yang terbaru itu melindungi misalnya buah-buah impor masuk ke Indonesia. Tapi kan masih meminimalisir. Yang masuk kan ya masih tetep kaya’ gitu kan. Pada kenyataannya masih lebih menjual kok dan lebih enak kok rasanya.” Begitu juga yang diungkapkan oleh Erdy, Erdy juga melihat persipan yang dilakukan oleh pemerintah. Erdy berpendapat bahwa pemerintah hanya kurang mempersiapkan Indonesia dalam sector pendidikan saja.

“Kalo dari 3 hal tadi, 2 sudah dilakukan yaitu pengembangan UKM plus nilai tambah meskipun belum optimal. Sudah ada di UU tentang larangan ekspor bahan mentah. Pelatihan UKM juga sudah banyak. Baik dari pemerintah/pihak swasta. Pendidikan masih sangat kurang. Masyarakat belum tau banyak apa MEA itu, bagaimana dampaknya, dll. Kalu nama kegiatannya kurang tau, mbak.”

(8)

d. MEA Sebagai Langkah Terbaik Perekonomian

Berbicara mengenai MEA, ‘peningkatan’ merupakan sebuah keharusan. Dalam hal ini, peningkatan perekonomian menjadi sebuah keharusan. Karena tujuan dari terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah untuk mensejahterakan masyarakat ASEAN secara keseluruhan dengan mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan bebas.

Indonesia sebagai salah satu Negara yang akan mengaplikasikan Masyarakat Ekonomi ASEAN juga harus mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Namun realitasnya, pemuda masih merasa bahwa Indonesia masih belum memiliki persiapan untuk menyambut MEA. Bahkan usaha dari pemerintah masih belum bisa dirasakan hingga saat ini. Sedangkan perjanjian MEA sudah disepakati sudah sejak lama. Sehingga pemuda melihat bahwa kepentingan Indonesia dalam MEA masih tidak jelas. Bahkan perjanjian MEA ini terkesan memposisikan Indonesia sebagai Negara yang ditumpangi berbagai kepentingan terselubung. Seperti yang diungkapkan oleh Kindie.

Sepenuhnya tidak ya. Karena, pasar perekonomian di lingkup Asia Tenggara ini yang sangat strategis itu kan Indonesia ya, jadi aku belum melihat keseriusan atau persiapan dari Indonesia sendiri terkait AEC tadi itu ya. Sehingga aku melihat kesan bahwa AEC ini Indonesia di tumpangi kepentingan-kepentingan Negara tetangga. Sebagian besar perekonomian di Indonesia ini di gerakan oleh perekonomian mikro. Saya belum liat kesiapan Negara Indonesia untuk menghadapi AEC. Yang mana Ini meranah ke kesenian kreatif , budaya dan nelayan. Jadi Dalam sektor- sektor itu aku belum melihat kekuatannya, masih belum melihat kekuatan dari pemerintah itu sendiri belum begitu terlalu banyak untuk mengelola itu. Di Indonesia, melihat perekonomian masyarakatnya sendiri masih belum begitu kuat dan pemerintah sendiri belum memiliki andil kuat untuk memperkuat itu juga. Sehingga Kalau aku melihat untuk mempekuat perekonomian ASEAN sepertinya masih belum sepenuhnya benarlah

Apa yang diucapkan oleh Kindie memang tidak bisa dianggap salah. Hal serupa juga diungkapkan oleh Nispi. Nispi menganggap bahwa MEA memiliki agenda terselubung dengan mengatasnamakan MEA.

“Sebenernya itu hanya sebuah alasan dimana itu merupakan satu kepentingan dari suatu golongan yang hanya ingin memajukan golongan tertentu. Tapi, itu sebagai dongkrak yang sebenarnya ditutup oleh suatu perkumpulan yang diucapkan sebagai suatu kepentingan sosial, kepentingan untuk semuanya. Padahal itu adalah sebuah kepentingan yang mengusungkan kepentingan satu golongan saja. Tapi dalam

sosialnya kita taunya itu sebuah kepentingan yang menyangkut semua Negara.”

(9)

“Ekonomi ASEAN yang mana? Pertanyaannya kan itu. Kalau Indonesia, kita bicara masalah ekonomi makro, ya? Sejauh mana Masyarakat Ekonomi ASEAN itu akan

meningkatkan Produk Domestik Nasional Bruto, kaya’ gitu-gitu ya. Istilahnya,

pendapatan kotornya dalam scale, skala ekonomi makro ya kan. Seberapa jauh sih itu bisa memberikan edit value? Nah, tapi kalau untuk meningkatkan secara global, sepertinya sih akan meningkatkan juga. Tapi saya nggak mengatakan meningkatkan itu nggak ada efeknya. Tapi kayaknya lebih banyak mengurangi pendapatan. sepertinya loh ya? Daripada meningkatkan pendapatan. Mengurangi pendapatan bukan berarti kuantitas rupiahnya tapi dari segi kualitasnya. Analoginya begini, ketika ada pemberlakuan MEA. Kita nggak siap nih , kita semakin dibombardir. Keuntungan kita apa? Benefit nya apa? Ok lah benefit mungkin bagi orang-orang yang yang sudah aware, yang punya keahlian/skill dan mereka sudah siap. Artinya mereka sudah menjadi pemain gitu ya? Tapi bagaimana dengan user, masyarakat pasif yang hanya melihat sebagai audience? Nah itu kan mereka nggak punya kekuatan apa-apa. Dan bisa dibayangkan kalau yang nggak siap itu banyak, dengan mudahnya mereka menjadikan masyarakat Indonesia sebagai konsumen. Dari situ kan kita merugi. Bangsa Indonesia itu sebegitu besarnya hanya sebagai Negara konsumen. Lantas mereka yang punya usaha, punya kekuatan untuk menghegemoni pikiran kita ‘Hey kamu itu konsumenku, jadi belilah aku’ misalnya kaya’ gitu. Itu baik di bidang jasa maupun perdagangan dan sebagainya ya produk dan sebagainya whatever itu, kita sebagai Negara pangsa pasar yang luar biasa bagi mereka. Itu kan suatu kerugian luar biasa. Tidak hanya sekedar berapa rupiah atau berapa milyar. Tapi itu kan sesuatu yang terjadi selamanya. Apabila MEA masih terus diberlakukan, coba itu kalau kita itung-itung, sumber daya kita sudah nggak bertambah misalnya, tapi dengan dibombardirnya orang-orang yang qualified tapi dari Negara lain, mau jadi apa donk Negara kita? Jadi akhirnya kita bisa jadi nggak percaya diri dengan kemampuan SDM anak Negeri. Rumah sakit lebih percaya pada dokter-dokter output atau dokter-dokter impor dari Singapura atau dari sebagainya itu yang lebih branding atau yang lebih menjual. Lagi-lagi kan kita hidup dalam dunia kapitalis. Kapitalis yang bener-bener nggak bisa dibayangkan. Tapi itu nyata gitu loh. Dampaknya itu sudah terasa sejak beberapa tahun yang lalu ya. Apalagi kalau akan diberlakukan akhir Desember nanti, 2015. Ya semogalah tetap optimis tapi ya cuman semoga dibarengi dengan banyaknya akademisi muda, mahasiswa yang menyiapkan diri, softskill-nya perlu untuk bersaing tidak hanya sebagai individu, lulusan dari universitas A,B,C atau menafkahi dirinya sendiri tapi ini sebagai representasi dari bangsa Indonesia.”

Berbeda dengan pendapat-pendapat yang diutarakan oleh narasumber-narasumber sebelumnya, Erdy justru mengutarakan hal sebaliknya. Menurut Erdy, perekonomian ASEAN masih stabil. Namun, seperti yang diutarakan oleh Kindie dan Nispi pada pembahasan sebelumnya, bahwa ada agenda dan kepentingan tersembunyi dibalik pelaksanaan MEA.

(10)

stabil. Jadi kalo AEC dibilang memperbaiki perekonomian, rasanya kurang pas. Itu dia, saya belum tau banyak alasan sebenarnya. Pasti alasan utamanya peningkatan perkonomian, namun dibalik itu kemungkinan besar ada hidden agenda lain.”

e. Posisi Indonesia dalam MEA dan Agenda Terselubung Kapitalisme

MEA tidak hanya dianggap sebagai sebuah kerjasama. MEA juga dianggap sebagai pengglobalisasian kecil ASEAN. Kata ‘globalisasi” seringkali diidentikkan dengan kata ‘kapitalisme’. Bagaimana tidak, penyatuan ekonomi ini seperti memiliki potensi untuk menunjang kepentingan-kepentingan terselubung. MEA juga berpotensi untuk menjadikan masyarakat yang masih belum siap sebagai mangsa pasar. Seperti yang diungkapkan oleh Maria berikut ini.

“Yang saya ketahui, MEA atau apapun sebutannya itu, itu kan sebuah semacam revalitas nyata gitu kan. Itu sepertinya hukum rimba kapitalis yang akan diberlakukan diakhir 2015. Waktu itu kan sebenernya awalnya pemerintah mau memberlakukan 2015 awal, januari. Tapi kemudian diralat sendiri sama pemerintah pusat itu diakhir tahun, jadi Desember 2015. Nah, dimana semua sistem perdagangan itu bener-bener terjun bebas sebebas-bebasnya, mereka bisa masuk investasi kesini, sebaliknya kita bisa berekspansi. Tapi kabar buruknya, ini yang buruk dulu ya? Ini sepertinya kita masih belum siap lah. Karena banyak yang belum dipersiapkan. Baik secara ekonomi makro maupun mikro. Kalau ekonomi makro, itu di pemerintah sendiri misalnya di kementrian perdagangan dan sebagainya itu masih belum menciptakan sistem dalam tanda kutip sistem imun gitu loh. Artinya, ketika kita sudah menggaumkan siap diberlakukan akhir 2015, apakah itu sudah benar-benar memproteksi perdagangan dalam negeri dari serbuan masyarakat asing? Karena yang saya tau, Masyarakat Ekonomi ASEAN itu nanti sistemnya itu bener -bener ya wes kapitalis murni gitu loh. Jadi dimana mereka misalnya gini, kaya’ dokter gitu ya? Dokter itu, dokter Malysia, Singapore. Jangankan MEA diterapkan. Sudah beberapa tahun yang lalu, itu dokter dari Singapore atau dari Malaysia atau dari mana gitu kan sudah banyak yang membuka praktek di Rumah Sakit Internasional misalnya.

Atau yang bener-bener partikelir gitu ya, buka praktek di Jakarta misalnya kaya’ gitu.

Apalagi adanya MEA. Itu kan bisa mereka memborbardir kapanpun dan tanpa ampun. Kalau membandingkan kan kita sepertinya ya belum se-level ya. Justru kita masih dibawah level mereka. Jadi bisa dibayangkan betapa kita, bangsa Indonesia masih belum siap sebenernya. Itu menjadi bom waktu yang kapanpun bisa meledak gitu loh. Meledaknya itu kita sendiri yang mungkin akan dibombardir. Nggak siap lah. Tapi kabar baiknya, ya itu kan dimana ada ancaman, pasti ada peluang kaya’ gitu kan. Jadi kalau sistem manajement itu kanya wes siap nggak siap kita harus

memanfaatkan ancaman itu menjadi peluang untuk siap berkompetisi.”

(11)

yang sangat tinggi. Hal ini tentu akan menjadi masalah bagi Indonesia dalam pengaplikasian MEA.

AEC itu sebuah tantangan buat Indonesia. Penduduk asean mencapai 700an juta.

Indonesia sendiri penduduknya hampir 300jt, separuhnya. Artinya posisi Indonesia sebenarnya punya positioning yg bagus. Indonesia pasti dipandang pasar empuk. Disitulah bargaining power kita. Semua negara asean, pasti mengincar Indonesia. Tinggal kitanya mau memanfaatkan positioning itu atau cuma jadi pasar empuk aja . Positif nya banyak, negatif juga. Karena penduduk kita banyak dan memiliki sifat konsumtif. Sifat konsumtif muncul karena kurangnya edukasi finansial. Biasanya menerpa masyarakat middle class income yang baru naik kelas. Lihat di mall, diskon dikit, semua berbondong bondong beli. Ada konser besar, pada rebutan tiket. Faktor pendorongnya macam-macam. Ada yang penasaran,status sosial,atau memang hedonism. Iphone 6 muncul, pada ganti hp. Padahal ya hp lama masih bisa dipakai. Sebenarnya sangat bagus untuk roda perkonomian. Tapi, kalo keterusan tentu merugikan dia sendiri dan ini yang menyebabkan Indonesia jadi pasar empuk. Kalo beli produk indonesia sih ga masalah. Kalo udh aec, bisa -bisa produk impor yang dibeli. Sekarang aja udah banyak yang beli. Gimana nanti? Produk lokal tergeser. Eh maksutnya ada peluang tergeser. Terutama produk UKM. Karena produk-produk UKM cenderung tidak efisien dan efektif dalam produk-produksinya. Akhirnya harga akhir tidak kompetitif. Berbeda dengan produk yang sudah mempunyai pabrik dibawah naungan PT. Tapi kalo mereka berhasil efisien dan efektif dalam produksi, mereka bakal dengan mudah go ASEAN. Permasalahannya masih banyak yang belum. Makanya pemerintah sering ngadain pelatihan ukm dimana mana . Belum lagi hambatan standar produk negara lain. Kualitas harus tinggi supaya bisa ekspor. Sedangkan kita, standar produknya tidak setinggi negara ASEAN lain. Karena standar produk suatu negara tentu harus sesuai dengan produk-produk di negara itu. Naah produk-produk kita kualitasnya masih kalah. Jadi produk luar dapat mudah

masuk. Sedangkan kita jadi susah ekspor.”

Penjelasn Erdy memang masuk akal. Darwis dalam bukunya ‘Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015: Prospek Pengusaha Muda Indonesia Berjaya di Pasar ASEAN’.

“Pertumbuhan ekonomi Indonesia antara lain tidak terlepas dari konsumsi rumah tangga

dan investasi. Bahkan konsumsi rumah tangga menyumbang porsi dua per tiga bagian

dibandingkan investasi…..” (Darwis, 2014: 11)

KESIMPULAN

(12)
(13)

DAFTAR PUSTAKA

Darwis, Yuliandre. 2014. Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015: Prospek Pengusaha Muda Indonesia Berjaya di Pasar ASEAN. Jakarta.

Deddy, Kusdinar, dkk. 2009. Penyajian Data Informasi Kementerian Pemuda dan Olahraga Tahun 2009. Jakarta: Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Irianto, Heru dan Burhan Bungin. 2006. “Pokok-Pokok Penting Tentang Wawancara”. Dalam Burhan Bungin (ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers.

Machfoedz, Ircham. 2009. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan, Keperawatan, Kebidanan, Kedokteran. Yogyakarta: Penerbit Fitramaya.

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Yin, Robert K. 2003. Studi Kasus: Desain dan Metode. Terj. M. Djauzi Mudzakir. Jakarta:

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka mengetahui bagaimana mengembangkan berpikir kritis pada diri seseorang, R.H Ennis dalam Hassoubah (2004: 87) memberikan sebuah definisi berpikir

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ariyani (2014) yang menyatakan bahwa frekuensi pertemuan komite audit tidak berpengaruh oleh tindakan

Rencana penanganan sampah DKI Jakarta yang termuat dalam Master Plan 1987 atau rencana induk pengelolaan sampah DKI Jakarta direview pada tahun 2005 dan disusun dalam rencana

Dari seluruh penjelasan dan kajian di atas, dapat disimpulkan bahwa kasus Mesuji adalah satu dari sekian ribu kasus konflik pertanahan antara masyarakat dengan pengusaha yang

Usaha rumah sakit Lippo Karawaci dimulai pada awal 1990-an melalui kemitraan dengan Parkway, Singapura, yang akhirnya menjadi Siloam Hospitals Lippo Village Rumah sakit ini

D$( زﻮﳚ ﻪﻌﻴﺑ نﺈﻓ ﺎﻋﺮﺷ ﻞﲢ ﺔﻌﻔﻨﻣ ﻪﻴﻓ ﺎﻣ

ͤ Buku Ibu dan Anak diterbitkan oleh Fukushi no Morikaikan (Bagian Promosi Kesehatan), kantor cabang Koga (Bagian Asuransi Kesehatan dan Pensiun), kantor cabang Sowa (bagian

Analisis Performansi Kontroler JST online Pada pelatihan online ini dilakukan dengan meng- gabungkan hasil pelatihan sebelumnya yaitu pelatihan JST plant dan JST kontroller