SUMBER
PROTEIN……BAGAIKAN BUAH
SIMALAKAMA
epung ikan tidaklah sulit didapatkan karena kita adalah negara maritim yang dua per tiga luas wilayahnya merupakan laut. Mungkin itu pernyataan kita selama ini, tetapi kenyataannya berbanding terbalik. Para produsen pakan ternak sekarang mulai susah mencari tepung ikan terlebih lagi dengan adanya Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 471/Kpts/OT.210/5/2002 untuk tidak menerima tepung tulang daging dari negara yang terjangkit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) dengan Ceutzfelf Jacob Disease Varian baru (NV CJD) karena mayoritas tepung tulang daging yang dipergunakan oleh para produsen pakan berasal dari Amerika Serikat sedangkan negara tersebut terjangkit BSE.
Dengan adanya keputusan itu produsen pakan ternak mulai beralih pada tepung ikan untuk meningkatkan protein pada pakan. Masalah yang timbul adalah pasokan tepung ikan dalam negeri hanya mampu memasok 30% dari kebutuhan nasional. Untuk mengatasinya para produsen melakukan impor dari negara di Amerika Selatan dan Asia Tenggara. Tantangan lainnya adalah kebutuhan tepung ikan tidak hanya menjadi komoditi untuk pakan ternak tetapi juga untuk kebutuhan pakan udang dan pakan ikan. Kebutuhan tepung ikan untuk pakan udang dan pakan ikan terus meningkat seiring dengan semakin meningkatnya sektor akuakultur (budidaya perikanan). Hal ini merupakan suatu tantangan bagi sektor produsen pakan ternak maupun pakan ikan.
Dalam segi kualitas, tepung ikan lokal memiliki kualitas lebih rendah dibandingkan dengan tepung ikan impor. Dalam segi harga tidak berbeda jauh antara yang lokal dan impor tetapi dengan kualitas lebih baik tepung ikan impor. Kualitas yang rendah ini disebabkan bahan baku yang dipergunakan. Kalau ikan yang tidak segar maka kualitas yang dihasilkan rendah. Yang kedua, prosesnya ada yang dimasak dengan di steam, ada yang dijemur dan dikeringkan dengan sinar matahari. Yang bagus adalah ikannya harus segar, dipanaskan dengan steam cooking bukan dry cooking setelah itu diperas, dikeluarkan minyaknya lalu dikeringkan.
Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Makanan Ternak yang diambil dari Majalah Trobos Aqua Edisi 02/Tahun I/Juli 2012 didapatkan bahwa permintaan tepung ikan di Indonesia sekitar 100.000-120.000 ton pertahun. Sebanyak 75.000-80.000 ton dipenuhi dari impor dan sisanya dari tepung ikan lokal. Ironisnya, karena total kapasitas produksi lokal sekitar 175.000 ton. Tetapi hanya sekitar 25.000-50.000 ton pertahun yang dimanfaatkan industri karena alasan tak terpenuhinya spesifikasi tuntutan pabrik. Produksi lokal sangat tergantung ketersediaan bahan baku seperti ikan sarden, lemuru, pepetek, layang, dan sisa dari industri pengolahan ikan seperti tuna, mackerel dan sarden. Rasio pembuatan tepung ikan adalah satu berbanding lima yaitu untuk menghasilkan 1 kg tepung ikan dibutuhkan 5 kg ikan segar. Harga tepung ikan lokal dan tepung ikan impor saat ini berada dikisaran Rp 12.500 per kg.
Sebenarnya kebutuhan proteindan DHA (omega 3) akan bisa terpenuhi dari alga dan
plant protein. Dapat dicari beberapa jenis alga yang menghasilkan DHA tinggi sebagai pakan bahkan Amerika Serikat telah mulai melakukan penelitian ini dan sekarang telah mulai memproduksinya. Alga sebagai pengganti minyak ikan pasti lebih efisien karena akan memperpendek prosesnya. Proses panjangnya adalah alga dimakan ikan kecil dan ikan kecil dimakan ikan besar lalu ikan tesebut kita olah menjadi tepung ikan. Jika langsung mengolah alga lebih efisien. Penggunaan alga ini diprediksi akan menggantikan kebutuhan akan tepung ikan. Sedangkan untuk menanggulangi masalah protein dapat diatasi dengan cara mengganti tepung ikan dengan plant protein seperti SBC (Soy Bean Cake) atau protein kedelai yang didapatkan dari proses secara bioteknologi.