• Tidak ada hasil yang ditemukan

perdagangan luar negeri proteksi (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "perdagangan luar negeri proteksi (1)"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

R

esensi Buku: Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno

|

Heldy Djafar seolah mengatur nasib sendiri dengan teramat cermat. Meski lahir di luar istana, tetapi mampu merangsek ke inti jantung kekuasaan di

Indonesia, dari masa ke masa. Perjalanan hidupnya seolah terbentang lempang: dari istana ke istana.

Bayangkan, di masa muda, ketika kawan-kawan sebayanya sibuk sekolah dan mondar-mandir jalan kaki, ia sudah menjadi pusat perhatian, karena digandeng oleh Pemimpin Besar Revolusi, yaitu Soekarno. Ke mana-mana naik mobil Holden Premier (dan segera diganti dengan Mercedes Benz, yang di waktu itu terbilang ck, ck, ck). Pekerjaannya hanya jalan-jalan. Belanja. Atas berdandan secantik mungkin. Untuk semua kesenangan itu, ia pun masih mendapat layanan plus. Dengan hadirnya para pengawal dan sekretaris khusus. Sekali lagi, semua itu diperoleh di usia belia.

Lantas, ketika Indonesia bergolak, yaitu di Tahun 1965, ia justru plesiran ke Hongkong dan Jepang. Dengan ongkos yang lebih dari cukup, dijamu sebagai tamu penting. Diantar ke mana-mana oleh Dubes RI di Jepang. Duhai…

Lalu, begitu lepas dari pemanjaan diri dari Bung Karno, ia tak lantas limbung dan bernasib buntung. Melainkan beralih ke seorang Pangeran yang masih keturunan dari darah biru di Bumi Kalimantan. Janda muda dari Bung Karno ini pun lantas menikah dengan Gusti Suriansyah Noor, yang masih punya trah (berdarah) Sultan Kalimantan.

Selesai di situ? Belum. Bahkan perjalanan lanjutan dari Heldy terbilang “mengagumkan”. Hanya sedikit orang yang pernah (sangat) dekat dengan Bung Karno lantas bisa masuk ke lingkungan keluarga inti Pak Harto. Semua tahu, betapa keji Jenderal Besar Seoharto

(2)

Melainkan via anaknya yang bernama Maya. Anak perempuannya itulah yang lantas membawa kembali Heldy ke sentra kekuasaan di negeri ini. Maya menikah dengan cucu pertama Soeharti, yaitu Ari Sigit (Putera Sigit Hardjojudanto). Nah…

Awal Mula

Tapak awal nasib baiknya bermula dari kesempatan menjadi Barisan Bhineka Tunggal Ika, di era orde lama. Kelompok ini, berisi para gadis muda yang berjejer di tangga Istana Negara —yang dihuni penguasa RI saat itu, yaitu Bung Karno. Menurut berbagai informasi, Barisan Tunggal Ika adalah perempuan muda pilihan, cantik, rupawan, dan sedap dipandang mata. Tugas mereka sederhana saja: berdiri manis untuk menunggu para tetamu. Atau sekedar “menjemput”

kehadiran Soekarno di depan pintu. Jika diperbandingkan dengan suasana sekarang ini, mereka adalah para penjaga karpet merah…

Heldy Djafar, perempuan elok, kelahiran Kalimantan, dengan mata bulatnya sungguh-sungguh memesona Bung Karno. Bukan cerita aneh, sesungguhnya. Kita dan dunia tahu persis, Bung Karno salah satu pemimpin besar pemuja (selain revolusi, juga) para gadis cantik. Serentetan nama bisa kita sebut —yang mampu mengisi relung cinta Sang Putera Fajar ini. Setidaknya, sembilan perempuan tercatat sebagai isteri-isteri Bung Karno. Mereka adalah: (1) Oetari Tjokroaminoto; (2) Inggit Garnasih; (3) Fatmawati; (4) Hartini; (5) Ratna Sari Dewi; (6) Haryatie; (7) Kartini Manopo; (8) Yurike Sanger; dan terakhir, (9) Heldy Djafar.

Dengan demikian, Heldy Djafar menjadi catatan pamungkas untuk sulam asmara Sang

Penyambung Lidah Rakyat ini. Meski terbilang singkat, hanya satu tahunan lebih, Heldy benar-benar menyimpan segudang memori indah —bersama Bung Karno.

Dari buku ini, berjudul Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno, kita memang tak menemukan fakta-fakta baru yang meletupkan gairah. Kecuali fotongan-fotongan ingatan dari tokoh yang

dibicarakan buku ini, yaitu diri Heldy sendiri.

Agak Janggal

Buku ini seolah dengan sengaja menaburkan rupa-rupa keistimewaan Heldy. Sayangnya, bagi pembaca yang kritis, catatan detil buku ini justru terasa membingungkan.

Di bagian awal, buku ini bercerita tentang seorang Heldy yang mengaku cantik lahir (ini mungkin benar) dan cantik batin. Elok rupa (barangkali ini juga benar) dan jiwa. Tetapi ada pengakuan-pengakuan yang membuat pembaca bertanya-tanya.

Menurut pengakuan Heldy, ia sedari kecil rajin membaca Al Quran —bahkan pernah menjuarai MTQ. Lalu didikan keagamaan yang kuat dari lingkungan keluarga dan lingkungan desa

kelahirannya. Inilah, menurutnya, yang menjadi prinsip hidup serta dasar ahlaknya. Akan tetapi, di bagian lain buku ini justru membuat kita geleng-geleng kepala, ke mana prinsip hidupnya yang mulia itu?

Pertanyaan besar adalah: ketika Bung Karno didera masalah berat, pun dengan para isteri dan sanak keluarganya, mengapa ia tega pergi jalan-jalan ke luar negeri? Meskipun, dalam tuturan di buku ini, semua itu adalah perintah Bung Karno. Namun logika kesetiaan pasti akan

menyodorkan pilihan lain. Yaitu mati-matian memberikan pembelaan, atau sekedar memperlihatkan solidaritas atas penderitaan Bung Karno, para isteri, dan anak-anaknya. Persisnya di waktu huru-hara pemberontakan PKI Tahun 1965.

(3)

kawan sepergaulan dengan Heldy). Perpisahan itu juga dikarenakan faktor hadirnya orang lain, yang berani masuk ketika Bung Karno sudah tak berkuasa, lalu Heldy pun berani mengambil keputusan cerai (yang mungkin tak akan dilakukan, andai saja Bung Karno masih digdaya). Catatan aneh lain adalah: bisa-bisanya seseorang yang mengaku pengamal Al Quran sejak kecil tetapi tega mengungkap aib Isteri Bung Karno yang lain, yang sebenarnya kawannya sendiri, yaitu Yurike Sanger. Juga percaya pada ramalan paranormal? Atau begitu dipengaruhi mimpi, hingga pernah berjudi untuk menentukan nasib? Belum lagi, bila kita mendata fakta dari buku ini, bahwa anak dari Heldy, yang bernama Maya, menjadi pecandu narkotika (dan ini salah satu faktor yang meremukan jalinan keluarga antara Maya dan Ari Sigit).

(4)

Pada bulan November 1947, buku karangan Bung Karno tentang perempuan sudah naik cetak. Buku itu dikerjakan dan diterbitkan oleh Panitia Penerbitkan Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno. Bung Karno sangat gembira dengan penerbitan buku itu.

Buku itu merupakan kumpulan bahan pengajaran Bung Karno dalam kursus wanita. Tahun 1947, di tengah kepungan dan ancaman kolonialisme, Bung Karno masih sempat-sempatnya menggelar kursus wanita. Kursus itu diselenggarakan dua minggu sekali.

Sri Sulistywati, salah seorang aktivis perempuan di era Bung Karno, menceritakan bagaimana bung Karno sendiri menjadi pengajar di kursus itu. “Kursus wanita itu sudah mengambil tema Sarinah,” kata Sri, yang ketika itu masih anak-anak dan suka mengendap-ngendap untuk mengintip diskusi itu.

Muncul pertanyaan: Kenapa buku itu mengambil judul Sarinah? Mengapa tidak menggunakan nama tokoh perintis pergerakan perempuan Indonesia seperti Kartini, Dewi Sartika, atau Rohana Kudus. Siapa sebenarnya Sarinah ini, sampai-sampai Bung Karno memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepadanya.

Bung Karno sendiri, dalam buku “Bung Karno: penyambung lidah Rakyat”, menceritakan Sarinah sebagai gadis pembantu yang membantu membesarkan Bung Karno. Tetapi, kata Bung Karno, kata pembantu rumah tangga di sini tidak sama dengan pengertian orang di barat.

Selain mengurusi Soekarno kecil, Sarinah pula yang memberikan pendidikan budi-pekerti dan nilai-nilai kemanusiaan kepada Soekarno. “Sarinah mengadjarku untuk mentjintai rakjat. Massa rakjat, rakjat djelata,” ujar Soekarno dalam otobiografinya yang ditulis oleh penulis dan

(5)

Tetapi ada juga yang meragukan Sarinah itu benar-benar ada, sebagai sebuah tokoh nyata sebagaimana diceritakan Bung Karno. Menurut mereka, seperti juga pak Marhaen yang menjadi asal muasal penemuan ideologinya, kemungkinan besar Sarinah ini adalah tokoh fiktif belaka.

Namun, pada tahun 1960-an, sebuah surat kabar pernah memperlihatkan foto Bung Karno duduk dengan seorang perempuan tua. “Perempuan yang sudah sepuh itu katanya adalah Sarinah,” kata Sri Sulistyawati, yang mengingat bahwa ia mendapat jawaban itu dari Bung Karno.

Suatu hari, ketika Sri masih bekerja sebagai wartawan yang bertugas di Istana, ia berusaha mempertanyakan perihal siapa Sarinah kepada Bung Karno. Bung Karno pun menjanjikan memberi jawaban kepada Sri suatu saat jika ada kesempatan.

Suatu hari, masih sangat pagi, ketika Bung Karno sedang menyiram taman di istana negara, Sri Sulistyawati menggunakan kesempatan untuk menagih janji Bung Karno mengenai Sarinah itu.

Menurut Bung Karno, sebagaimana dituturkan Sri Sulistyawati dalam diskusi di Berdikari Online, Sarinah adalah ibu susunya dan punya jasa dalam membesarkan Bung Karno. Lebih lanjut, Sarinah ini konon adalah istri dari penulis terkenal Belanda, Multatuli. Multatuli sendiri adalah nama samaran dari Eduard Douwes Dekker. E Douwes Dekker inilah yang menulis buku terkenal sepanjang masa, Max Havelar, yang menceritakan kejahatan kolonialisme di Indonesia.

Saat itu, Sri bekerja sebagai wartawan di Harian Ekonomi Nasional. Pemimpin redaksinya adalah Umar Said. Di sana ia aktif menjadi aktif sebagai wartawan dari tahun 1958 hingga tahun 1967. Dia sering mondar-mandir ke istana untuk mendapatkan berita.

“Saya selalu ke istana pagi-pagi sekali, ketika para pemimpin masih santai-santai. Jadi, kalau yang lain belum dapat berita, saya sudah dapat berita,” katanya. Ia selalu berusaha mengangkat reportase yang berbeda dengan koran-koran lain saat itu.

Meskipun begitu, Sri mengaku tidak punya kesempatan untuk menggali lebih banyak info dari Bung Karno mengenai Sarinah. “Karena banyak kesibukan saat itu, saya belum sempat menggali lebih jauh lagi,” katanya.

(6)

Referensi

Dokumen terkait

Seorang Tenaga Kependidikan wajib menjunjung tinggi terwujudnya penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi STIA LAN Jakarta, yaitu kewajiban untuk memelihara dan

• Taám baûo veä löôõi dao • Boä phaän löôõi dao caét • Pin vaø boä saïc chính haõng Makita • Boä ñoåi ñieän cuûa pin • Moùc daây ñeo tay ñöôïc söû duïng

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk merancang sistem pakar zakat pertanian dan peternakan berbasis web agar lebih memudahkan umat muslim dalam melakukan pembayaran zakat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat perputaran modal kerja,struktur modal dan skala perusahaan terhadap profitabilitas pada perusahaan Food

Penurunan produksi tersebut terjadi karena adanya penurunan luas panen seluas 146 hektar (13,49 persen), sedangkan produktivitas ubi kayu mengalami peningkatan

Dalam perjalanan air dari mata airnya di bagian hulu yang umumnya terletak di daerah pegunungan menuju ke hilir yang terletak di daerah yang lebih rendah atau dataran, aliran

 Pada tugas akhir ini, disuguhkan algoritma Pada tugas akhir ini, disuguhkan algoritma baru dalam menyelesaikan permasalahan baru dalam menyelesaikan permasalahan CMST

[r]