• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Hukum Acara Peradilan Agama di In (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sumber Hukum Acara Peradilan Agama di In (1)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I A. PENDAHULUAN

Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam ( dilihat Pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ). Peradilan Agama menjadi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia. Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya Peradilan Umum, peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Peradilan Agama adalah salah satu diantara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua Peradilan Khusus lainya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu.Menurut pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama islam di bidang:

a) Perkawinan b) Waris c) Wasiat d) Hibah e) Wakaf f) Zakat g) Infaq h) Shadaqah

i) Ekonomi syari’ah

Dalam hal ini, Peradilan Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula tidak hanya untuk orang-orang islam di Indonesia, dalam perkara-perkara perdata islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata islam.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa sajakah sumber Hukum Acara Peradilan Agama ?

2. Apa sajakah sumber Hukum Acara Perdata di lingkungan Peradilan Agama di Peradilan umum ?

3. Apa sajakah perundang-undangan yang berlaku di Pengadilan Agama dan Peradilan umum yang mengatur kewenangan masing-masing ?

C. TUJUAN MASALAH

(2)

BAB II PEMBAHASAN A.Pengertian Sumber Hukum

Hukum adalah kumpulan aturan yang terdapat dalam masyarakat suatu bangsa yang keberadaannya menjadi tolok ukur kedaulatan suatu negara. Keberadaan hukum pada setiap negara tidak sama karena di sesuaikan dengan kepentingan masyarakat dan negara bersangkutan dan negara yang bersangkutan. Hukum tersebut bersumber dari jati diri bangsanya sehingga keberadaan hukum selalu diikuti oleh sumber hukum yang berlaku pada negara tersebut.

Sumber Hukum adalah segala sesuatu yang menghasilkan atau melahirkan hukum, tempat asal mulanya hukum, atau tempat ditemukannya hukum. Sumber hukum terbagi dua, yaitu sumber hukum formal dan sumber hukum materiil.

Dalam perspektif sosiologis, sumber hukum adalah faktor-faktor yang menyebabkan berlakunya suatu hukum. Faktor-faktor tersebut adalah fakta dan keadaan yang menjadi tuntutan social untuk menciptakan hukum

Secara filosofis, sumber hukum adalah keadilan yang merupakan ensensi hukum. Oleh karena itu, berdasarkan pengertian sumber hukum ini bersumber hukum yang menetapkan kriterium untuk menguji bahwa suatu hukum yang berlaku sudah mencerminkan keadilan dan fairness atau sebaliknya.

Menurut para ahli memberikan pengertian sumber hukum yang berbeda antara satu dan lainya, tetapi memiliki ensesi yang sama. Menurut sejarahwan hukum, sumber hukum di bagi menjadi dua pengertian yaitu sumber hukum dalam pengertian tempat orang-orang untuk mengetahui hukum, yakni semua sumber tertulis dan sumber lainnya yang dapat di ketahui sebagi hukum pada waktu, tempat dan orang-orang tertentu. Ada pula mendefinisikan sumber hukum sebagi temapt seseorang untuk mengetahui hukum yang dapat berupa kebiasaan dan praktik dalam transaksi hidup bermasyarakat yang telah diterima sebagi hukum. Selain itu ada pula definisi sumber hukum dalam arti formal dan arti materiil, yaitu sebagai berikut.

1. Salmond mengatakan bahwa pengertian sumber hukum dalam arti formal sebagai sumber berasal kekuatan mengikat dan vadilitas, sedangkan penegertian sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber berasal substansi hukum.

2. Bodenheimer berpendapat pengertian sumber hukum dalam formulasi-formulasi tekstual yang berupa dokumen-dokumen resmi yang bersifat tertulis.

(3)

Hukum acara perdata banyak tersebar dalam perundang-udangan yang secara khusus menagtur dalam beracara di pengadialan.

Aturan dalam hukum acara perdata mempunyai sifat mengikat dan memaksa karena dianggap menyelenggarakan kepentingan umum, karena peratuaran hukum acara perdata tidak dapat kesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau yang bersengketa serta harus tunduk dan menaatinya. Akan tetapi ,ada juga bagian peraturan hukum acara perdata yang bersifat pelengkapa (aanvuleend recht) karena dianggap mengatur penyelenggaraan kepentingan khusus dari yang bersangkutan sehingga dapat di kesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Sumber hukum acara perdata sebagaian dapat tertulis, artinya termuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan negara dan sebagai lagi tidak tertulis, artinya menurut adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara.

Demikian tidak ada alasan bagi hakim dalam hukum acara perdata untuk menolak memriksa sesuatu perkara yang diajukan kemuka sidang (pengadilan) dan mengadili perkara tersebut dengan alasan bahwa hukumnya tidak tahu atau kurang jelas,. Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) UU No.14 tahun 1970 yang menyebutkan “pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak tahu atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili.”

Jika hakim tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggalo, memgikuti, an memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini ditegaskan kembali dalam Pasal 27 ayat (1) UU No.14 tahun 1970 yang menyebutkan “Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.”

C.Sumber Hukum Acara Peradilan Agama

Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping sebagai Peradilan Khusus, yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang memberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan negara, untuk mewujudkan hukum material islam dalam batas-batas kekuasaannya.

(4)

lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.

Menurut Pasal diatas, Hukum Acara Peradilan Agama sekarang bersumber secara garis besarnya kepada dua atuaran, yaitu:

1) Yang terdapat dalam UU Nomor 7 tahun 1989, dan 2) Yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum.

Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan Umum, antara lain.

1. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) atau disebut juga RIB (Reglemen Indonesia yang di Baharui).

2. RBg (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen untuk Daerah Seberang, maksudnya untuk Luar Jawa-Madura. Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad.

3. RSV (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang zaman penjajah Belanda dahulu berlaku untuk Raad Van Justitie. Hukum Acara yang termuat dalam RSV ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara dimuka Raad van Justitie dan Residentie gerecht. Saat ini secara umum Rsv sudah tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat, intervensi dan beberapa ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya.

4. BW (Burgerlijke Wetboek) atau di sebut juga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Eropa. BW yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat juga sumber Hukum Acara Perdata khususnya buku ke IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam Pasal 1865 s/d 1993.

Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama belaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, adalah sebagai berikut.

1. UU No.1 tahun 1974 dan PP No.9 tahun 1975 mengenai Perkawinan dan Pelaksaannya.

2. UU No.4 tahun 2004 mengenai Kekuasaan Kehakiman.

3. UU No.5 tahun 2005 mengenai perubahan atas UU No.14 tahun 1985 mengenai Mahkamah Agung.

4. UU No.14 tahun 1985 mengenai Mahkamah Agung.

(5)

1. Peraturan Mahkama Agung RI. 2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI. 3. Yurisprudensi Mahkama Agung RI.

4. Kitab-kitab fiqh dan sumber hukum tidak tertulis yang lainnya sebagai dijelaskan Pasal 28 ayat (1) UU No.4 tahun 2004 yang menyebutkan, “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Jika demikian halnya, maka Peradilan Agama dalam Hukum Acaranya minimal harus diperhatikan UU Nomor 7 tahun 1989, ditambah peratuaran perundang- undangan yang tadi telah disebutkan. Selain itu, ketika Peradilan Agama masih harus di perhatikan hukum proses menurut islam. Kesemuannya inilah yang dinamakan sumber Hukum Acara Peradilan Agama.

Untuk sekedar contoh mempergunakan hukum proses menurut islam sebagai berikut : Ada satu kasus, suami memohon untuk menceraikan isterinya ke Pengadilan Agama dengan alasan isetri nya telah berzina dan suami telah mengajukan alat bukti berupa seseorang lelaki beragama islam sebagai saksi. Bisakah Pengadilan Agama memutus telah terbukti zina atau langsung saja menolak permohonan karena tidak terbukti?

Penyelesaian ialah, sebagai berpendoman kepada Pasal 87 ayat (1) UU nomor 7 Tahun 1989 dan sebgai lagi dengan berpendoman kepada Hukum Acara Islam yang di istilahkan Hukum Acara tidak tertulis.

Pasal 87 ayat (1) bebunyi “… dan hakim beperndapat bahwa pemohonan atau gugatan itu bukan tiada pembuktian sama sekali…, maka hakim karena jabatannya dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah”. Kata-kata “ bukan tiada pembuktian sama sekali” karena sudah ada sebagi bukti yaitu satu orang lelaki. Kenapa kembali Acara suami (pemohon) bersumpah dan sumpah apa pula namanya? Jawabannya ialah karena berependomann Kepada Acara menurut Islam. Menurut Islam, bila seseorang suami menuduh isteri nya berzina (tidak berlaku terhadapat tuduhan kepada orang lain wanita selain isteri), ia wajib membuktikan dengan empat orang saksi lelaki beragama Islam, atau dapat diganti dengan mengucapkan sumpah li’an.

(6)

للإإُ ءءَاددهدشءُ ممهءلدُ نمكءيدُ مملدودُ ممهءجدَاودزمأدُ ندُومءرميدُ نديذإللَاود

ن

د مإلدُ هء نلإإُ هإ لللابإُ ت

ت َادداهدش

د ُ عءبدرمأدُ ممهإدإحدأدُ ةءدداهدش

د فدُ م

م هءس

ء فءنمأ

د

ن

د ِيقإدإا ص

ل لَا

Artinya:

Dan orang-orang yang menuduh isterinya berzina, padahal mereka tidak ada saksi-saksi selain daripada diri mereka sendiri maka penyaksian orang-orang itu adalah dengan empat kali bersumpah dengan nama Allah bahwa sesunggu nya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”.

Kesimpulan diatas, hukum acara peradilan agama masih terserak-serak juga, sebab UU No.7 tahun 1989 hanya sedikit memuat tentang acara tetapi peraturan perundangn-undangan yang dituju berlaku sebagai hukum acara cukup banyak

D.Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama

Dalam hukum acara peradilan agama terdapat asas-asas dalam proses beracaranya, yang meliputi sebagai berikut :

1. Bebas Merdeka Kekuasaan Kehakiman

Asas bebas merdeka adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggarakan negara hukum republik Indonesia. Pada dasarnya asas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam UU No.3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah merujuk pada Pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam penjelasan Pasal 1 UU No.4 tahun 2004 disebutkan bahwa, “Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian didalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campuran tangan pihak kekuasaan Negara lainya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang dating dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal yang diizinkan undang-undang dasar.”

2. Pelaksana Kekuasaan kehakiman

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di lakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan diseluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang. Demikian peradilan negara menerapkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila.

3. Ketuhanan

(7)

putusan atau penetapan harus dimulai dengan kalimat basmalah yang diikuti dengan irah-irah atau kalimat “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 4. Fleksibilitasi

Asas fleksibilitasi, yaitu pemeriksaan perkara di lingkungan peradilan agama harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Adapun asas ini diatur dalam Pasal 57 (3) UU No.7 tahun 1089 yang tidak diubah dalam UU No.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama jo Pasal 4 (2) dan Pasal 5 (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Untuk itu pengadilan agama wajib membatu kedua pihak berperkara dan berusaha mejelaskan dan mengatasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.

5. Non ekstra Yudisial

Asas non ekstra yudisial adalah segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lainya di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali alam hal-hal sebagaimana disebut dalam UUD RI tahun 1945. Dengan demikian, setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dapat dipidanakan.

6. Legalitas

Asas legaliatas maksudnya peradilan agama mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalan Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU no.3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama.

Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum sekaligus sebagai hak persamaan hukum. Oleh sebab itu, semua tindakan yang di lakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan harus bedasarkan hukum yang berlaku dan yang mengaturnya, mulai tindakan pemanggilan, penyitaan, pemeriksaan dipersidangan, putusan yang dijatuhkan dan eksekusi putusan, semua harus berdasarkan atas hukum atau perundang-undangan yang berlaku, bukan menurut atau atas dasar selera hakim

Hukum Acara Peradilan Agama bersifat Lex Specialis sesuai di jelaskan dalam Pasal 54 UU No.7 tahun 1989 yang menyatakan bahwa “Hukum Acara yang belaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini”.

Berdasarkan Pasal 54 belaku asas Lex Specialis derogate Lex Generalis yang berarti disamping hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan pengadilan agama, berlaku pula hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, tetapi secara khusus hukum acara yang hanya dimiliki oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

(8)

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN

Berdasarkan makalah kelompok kami ada beberapa yang kami disimpulkan bahwa Peradilan Agama merupakan peradilan negara yang sah secara hukum peradilan khusus, yaitu peradilan islam Indonesia. Peradilan agama diberikan oleh negara wewenang pada undang-undang negara yang bertujuan untuk mewujudkan hukum materiil islam dengan batas kekuasaan yang berlaku. Hukum peradilan agama sebagai peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam ( dilihat Pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ). Peradilan agama menjadi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia, dari tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya yaitu ; Peradilan Umum, peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Hukum acara peradilan agama berlaku bersumber dari dua aturan, yaitu UU No.07 tahun 1989 dan peraturan yang berlaku di pengadilan umum ,serta juga diberikan kewenangan masing-masing, seperti; Peraturan Mahkamah Agung RI, Surat Edaran Mahkamah Agung RI, dan Yurisprudensi Mahkama Agung RI, Kitab-kitab fiqh dan sumber hukum tidak tertulis yang lainnya. Peradilan agama harus juga memrhatikan hukum acara menrut islam.

B. SARAN

(9)

DAFTAR PUSTAKA

Dr.H.Roihan A.Rasyid,SH.,M.A.(2015).Hukum Acara Peradilan Agama.Jakarta. Rajawali Pers.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini yang menyebabkan peniliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara faktor psikologis, toilet training dan konstipasi dengan kejadian enuresis pada

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 10 tahun 2009 bab 1 pasal 1 bagian ketentuan umum menjelaskan bahwa kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan

Karena area proyek yang cukup luas, untuk perletakan material memungkinkan lebih dari satu area supply dan dapat juga untuk dilakukan pergerakan untuk

Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Doktor Dalam Bidang Pendidikan Luar

Teori produksi menggambarkan tentang hubungan antara tingkat produksi suatu barang dengan dua jenis faktor produksi (tenaga kerja dan modal) dapat diubah yang digunakan untuk

Sebelum melakukan perhitungan cadangan sisa, ultimate recovery , dan umur lapisan, terlebih dahulu dilakukan pemilihan jenis kurva penurunannya yang terdiri dari exponential

Simpulan: Terdapat asosiasi yang tidak bermakna antara sindrom metabolik dan kejadian gagal jantung pada lansia.

EVALUASI PENGENDALIAN AKUNTANSI DANA BERGULIR SIMPAN PINJAM PEREMPUAN PNPM MANDIRI PERDESAAN(studi kasus Kecamatan Ngronggot Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur) adalah hasil