PEMANFAATAN SAMPAH ORGANIK SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN BIOBUTANOL
LAPORAN TUGAS AKHIR
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Diploma Tiga (D-3)
pada Politeknik Negeri Ujung Pandang
Oleh KHAIRUNNISA
(331 10 031)
JURUSAN TEKNIK KIMIA
POLITEKNIK NEGERI UJUNG PANDANG MAKASSAR
Bahan Baku Pem mahasiswa 331 10 031 memperoleh gelar Di Teknik Kimia Politekni
ii
embuatan Biobutanol” oleh Khairunnisa, 031 telah diterima dan disahkan sebagai salah sa Diploma III (Tiga) pada Jurusan Teknik Kimia eknik Negeri Ujung Pandang.
Makassar, 24 O
Menyetujui,
sa, nomor induk h satu syarat untuk ia Program Studi
iii
HALAMAN PENERIMAAN PANITIA UJIAN
iv
Berkaitan dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi sebagai bahan bakar utama, telah diupayakan berbagai cara untuk memanfaatkan sumber energi lain yang lebih murah serta aman terhadap lingkungan. Bahan baku dari jenis non pangan menjadi pilihan untuk pengembangan BBN generasi kedua. Salah satu bahan baku non pangan tersebut adalah sampah organik perkotaan. Tingginya komposisi sampah organik ini merupakan potensi yang besar untuk dimanfaatkan sebagai bahan produksi biobutanol yang diharapkan dapat menjadi bahan bakar terbarukan sebagai pengganti bensin yang mendukung keberlanjutan energi di dunia, khususnya Indonesia. Penelitian ini bertujuan membuat biobutanol dari sampah organik melalui metode hidrolisis asam encer pada sampah organik, yang dilanjutkan dengan fermentasi.
Pada penelitian ini dilakukan metode hidrolisis asam encer dengan menggunakan asam sulfat 0,5%. Proses hidrolisis dilakukan untuk mendapatkan temperatur optimum berdasarkan jumlah gula yang dihasilkan dengan delapan variabel yaitu 130, 140, 150, 160, 170, 180, 190, dan 1950C. Setelah diperoleh temperatur optimum, selajutnya kondisi ini dipakai untuk menentukan perbandingan sampel dengan larutan asam sulfat yang paling optimal dalam menghasilkan gula. Dalam hal ini, jumlah sampel dibuat tetap yakni 100 gram dengan penambahan asam sulfat 0,5%, kemudian divariasikan berturut-turut 600, 700, 800, 900 dan 1000 ml. Gula yang dihasilkan dari tahap optimasi ini difermentasi menggunakan Clostridium Acetobutylicum dengan variasi waktu dari 3, 5, dan 7 hari. Selanjutnya hasil fermentasi dianalisis untuk menentukan kadar biobutanol yang dihasilkan.
v ABSTRACT
( Khairunnisa ) , " Utilization of Organic Waste As Raw Material Preparation Biobutanol " ( Supervisor: HR.Fajar , ST , M. Eng and M. Badai S.T , M.T ) .
Associated with the depletion of oil reserves as the main fuel, has pursued a variety of ways to utilize other energy sources that are cheaper and safer for the environment. The raw material of this type of non-food of choice for the development of second generation biofuels. One of the non-food raw materials are organic urban waste. The high composition of organic waste is a great potential to be used for the production of biobutanol which is expected to be a renewable fuel as a gasoline substitute that support sustainable energy in the world, especially Indonesia. This study aimed to make biobutanol from organic waste through the dilute acid hydrolysis method of organic waste, which is followed by fermentation.
In this research was performed hydrolysis method of dilute acid by using sulfuric acid of 0.5%. Hydrolysis process was done to obtain the optimum temperature based on total sugar produced by eight variables, namely 130, 140, 150, 160, 170, 180, 190, and 1950C. After obtaining the optimum temperature of hydrolysis, then this condition is used to determine the ratio of sample with sulfuric acid solution which most optimal to produce sugar. In this case the total sample made is remain, 100 grams with the addition of sulfuric acid of 0.5% and varied of 600, 700, 800, 900, and 1000 ml respectively. Sugar produced of this optimization phase is fermented using Clostridium Acetobutylicum yeast with time variation of 3, 5, and 7 day. Then, the results of fermentation was analyzed to determine the optimal fermentation time based on biobuthanol level produced.
vi
menyelesaikan satu tugas berat dalam rangka penyelesaian studi di Politeknik Negeri Ujung Pandang.
Sebagai manusia biasa, Penulis sangat menyadari bahwa Tugas Akhir yang sederhana ini masih banyak terdapat kekeliruan dan masih memerlukan perbaikan secara menyeluruh, hal ini tidak lain disebabkan karena keterbatasan ilmu dan kemampuan yang dimiliki oleh Penulis dalam menyelesaikan tugas yang bagi Penulis dirasakan cukup berat, karenanya berbagai masukan dan saran yang sifatnya membangun sangatlah diharapkan demi sempurnanya Tugas Akhir ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses awal hingga selesainya Tugas Akhir ini, banyak sekali pihak yang telah terlibat dan berperan serta untuk mewujudkan selesainya Tugas Akhir ini, karena itu pada tempatnyalah Penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada mereka yang secara moril maupun materil telah banyak membantu Penulis untuk merampungkan Tugas Akhir ini hingga selesai.
vii
Selanjutnya ucapan terima kasih Penulis haturkan terima kasih kepada Bapak Dr. Firman, M.Si selaku Direktur Politeknik dan Bapak Drs. H. Abdul Azis, M.T selaku Ketua Jurusan Teknik Kimia yang selama ini telah membantu Penulis hingga dapat menyelesaikan studi di Politeknik Negeri Ujung pandang.
Selanjutnya ucapan terima kasih Penulis haturkan kepada kedua pembimbing Penulis, Bapak HR.Fajar, S.T,. M.Eng selaku Pembimbing I dan Bapak M. Badai S.T., M.T selaku Pembimbing II yang mana keduanya dengan penuh kesabaran memberikan bimbingannya dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.
Juga kepada sahabatku Irna, Farah, Sinar, Devy, Nirah dan Saudara – saudaraku di UKM KSR, serta partnerku Jumriah, dalam menyelesaikan penelitian dan laporan ini, yang banyak memberikan semangat agar cepat selesai dan ikut membantu Penulis mencari data selama penelitian ini dilakukan, dan orang-orang yang tidak dapat Penulis sebutkan satu per satu pada kesempatan ini, harapan Penulis semoga bantuan yang selama ini diberikan secara moril maupun materil mendapatkan imbalan amal dari Allah SWT dan semoga Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Akhirnya, semoga Allah SWT, memberikan perlindungan kepada kita semua, Wassalamu Alaikum Wr.Wb.
Makassar, 24 Oktober 2013
viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan Penelitian ... 3
D. Manfaat Penelitian ... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
A. Sampah ... 5
B. Karakteristik Lignoselulosa ... 8
1. Lignoselulosa ... 8
2. Selulosa ... 9
3. Hemiselulosa... 9
C. Biobutanol ... 11
1. Sifat Biobutanol ... 11
2. Produksi Biobutanol ... 12
3. Pemurnian (Destilasi) ... 16
4. Analisis Biobutanol ... 16
BAB III METODE PENELITIAN ... 17
A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan ... 17
B. Alat dan Bahan ... 17
1. Alat ... 17
2. Bahan ... 18
D. Prosedur Kerja... 18
1. Pengambilan dan Perlakuan awal sampel ... 18
2. Analisa kandungan holoselulosa sampel ... 18
3. Hidrolisis Bahan baku ... 20
4. Analisa hasil hidrolisis ... 21
5. Fermentasi hasil hidrolisis ... 22
6. Analisa biobutanol ... 22
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 24
ix
B. Hasil Analisis Kadar Gula Pada Optimasi Temperatur... 25
C. Hasil Analisis Kadar Gula Pada Optimasi Kadar Suspensi .... 26
D. Hasil Analisis produk hasil fermentasi dengan GC ... 30
BAB V PENUTUP ... 32
A. Kesimpulan ... 32
B. Saran ... 32
DAFTAR PUSTAKA... 33
x
Tabel 1 Jumlah presentase sampah di Kota Makassar ... 5
Tabel 2 Hasil komponen sampah organik... 24
Tabel 3 Hasil perhitungan hidrolisis hemiselulosa untuk optimasi temperatur ... 25
Tabel 4 Hasil perhitungan kadar gula proses hidrolisis pada optimasi Kadar suspensi ... 27
Tabel 5 Hasil analisis kadar gula hasil hidrolisis ... 29
Tabel 6 Data pengamatan dengan uji GC ... 30
Tabel 7 Data pengamatan butanol murni dengan GC ... 31
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1 Struktur Selulosa ... 9
Gambar 2 Hubungan temperatur dengan kadar gula hasil hidrolisis
untuk optimasi temperatur... 26
Gambar 3 Hubungan perbandingan kadar suspensi dengan kadar
xii
Lampiran 1 Diagram Alir... 37
Lampiran 2 Pengolahan data... 38
Lampiran 3 Hasil Analisa Biobutanol Menggunakan GC ... 46
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Berkaitan dengan semakin menipisnya cadangan minyak bumi sebagai bahan bakar utama, telah diupayakan berbagai cara untuk memanfaatkan sumber energi lain yang lebih murah serta aman terhadap lingkungan. Pengembangan bahan bakar nabati (BBN) sebagai pengganti bahan bakar fosil di Indonesia semakin meningkat. Pemerintah juga memberikan perhatian dengan diterbitkannya Instruksi Presiden No.1 Tahun 2006 tertanggal 25 Januari 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan BBN (biofuel) sebagai bahan bakar alternatif. Jenis bahan bakar yang telah dikembangkan antara lain : bioetanol, biobutanol, biodiesel.
Program pengembangan BBN yang selama ini menggunakan bahan pangan dikhawatirkan akan terjadi kompetisi antara ketersediaan bahan baku untuk pangan, pakan, dan untuk sumber energi (Sun dan Cheng, 2002). Intensifikasi pencarian sumber bahan baku juga perlu terus diteliti dan dikembangkan. Bahan baku dari jenis non pangan menjadi pilihan untuk pengembangan BBN generasi kedua. Salah satu bahan baku non pangan tersebut adalah sampah organik perkotaan.
bahan baku produksi biobutanol yang menjadi sumber energi terbarukan. Potensi ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan baku produksi BBN.
Menurut pramono (2004) dari total sampah organik kota, sekitar 60 % merupakan sayur–sayuran dan 40 % merupakan daun-daunan, kulit buah-buahan dan sisa makanan. Tingginya komposisi sampah organik ini merupakan potensi yang besar untuk dimanfaatkan untuk produksi biobutanol yang diharapkan dapat menjadi bahan bakar terbarukan sebagai pengganti bensin yang mendukung keberlanjutan energi di dunia, khususnya Indonesia.
Biobutanol merupakan bahan bakar nabati yang berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai substitusi bensin. Beberapa kelebihan biobutanol sebagai biofuel adalah dapat dengan mudah ditambahkan sebagai campuran premium dan solar, dapat dicampur pada tingkat konsentrasi tinggi pada penggunaan standar mesin kendaraan tanpa membutuhkan adaptasi khusus. Biobutanol merupakan hasil fermentasi gula sederhana oleh bakteri Clostridia. Gula sederhana sendiri dapat diperoleh dari bahan baku berbasis gula (tebu, bit, dsb) atau berbasis tepung (singkong, jagung, sorgum, dsb.) atau berbasis serat (kayu, limbah tani, dsb.). Oleh karena itu, biobutanol diharapkan dapat menjadi bahan bakar terbarukan sebagai pengganti bensin yang mendukung keberlanjutan energi di dunia, khususnya Indonesia.
3
B. Rumusan Masalah
1. Berapa besarnya kandungan holoselulosa sampah organik yang potensial untuk diolah menjadi biobutanol ?
2. Berapa temperatur optimal dan kadar suspensi yang dapat diperoleh pada hidrolisis sampah organik untuk mendapatkan kadar gula yang maksimal? 3. Apakah ada biobutanol yang dihasilkan pada fermentasi larutan gula?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan, yaitu :
1. Menentukan kandungan holoselulosa sampah organik yang potensial untuk diolah menjadi biobutanol.
2. Menentukan temperatur optimal dan kadar suspensi pada proses hidrolisis sampah organik untuk mendapatkan kadar gula yang maksimal.
3. Menentukan konsentrasi biobutanol hasil fermentasi dengan uji kromatografi gas (GC)
D. Manfaat Penelitian
1. Dapat menyediakan data kadar gula yang diperoleh pada hidrolisis sampah organik dan fermentasi hasil hidrolisis yang dapat digunakan sebagai dasar evaluasi lebih lanjut.
5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. SAMPAH
Pengelolaan sampah harus dijadikan prioritas utama untuk menghindari masalah yang mungkin muncul di masyarakat. Sampah, menurut definisi (WHO) adalah sesuatu yang tidak digunakan, tidak disenangi, atau sesuatu yang dibuang, yang umumnya berasal dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia (termasuk kegiatan industri) dan umumnya bersifat padat.
Tabel 1. menunjukkan bahwa sekitar 87% sampah di Makassar merupakan sampah organik dan sekitar 13% adalah sampah anorganik, seperti plastik dan kertas.
Tabel 1. Jumlah Persentase sampah di Kota Makassar
Sampah Perkotaan
Volume (m
3)
Persentase
Sampah Organik 3.092,65 87.21Kertas 156,74 4,42
Plastik 207,10 5,84
Logam, Kaleng, Besi, Aluminium 45,04 1.27
Karet, Ban 30,85 0,87
Kaca 7,80 0,22
Kayu 4,94 0,14
Sampah Lainnya 4,94 0,14
Sumber :Unit Tata Ruang dan Unit Kelola Lingkungan Makassar, 2006
mengakibatkan daerah pemukiman semakin luas dan padat. Peningkatan aktivitas manusia, lebih lanjut menyebabkan bertambahnya sampah. Faktor yang mempengaruhi jumlah sampah selain aktivitas penduduk antara lain adalah jumlah atau kepadatan penduduk, system pengelolaan sampah, keadaan geografi, musim dan waktu, kebiasaan penduduk, teknologi serta tingkat sosial ekonomi (Depkes RI, 1987).
Bila dilihat dari sifatnya (Nisandi, 1999), sampah dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
a. Sampah Organik
Sampah organik adalah sampah yang mengandung senyawa – senyawa organik yang tersusun dari unsur–unsur karbon, hidrogen dan oksigen. Yang termasuk sampah organik adalah daun – daunan, kayu, kertas, karton, sisa –
sisa makanan, sayur, buah, yang mudah diuraikan oleh mikroba. Sampah organik dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu :
1. Sampah organik yang mudah membusuk (garbage) yaitu limbah padat semi basah berupa bahan-bahan organik yang berasal dari sektor pertanian dan pangan termasuk dari sampah pasar. Sampah ini mempunyai ciri mudah terurai oleh mikroorganisme dan mudah membusuk, karena mempunyai rantai kimia yang relatif pendek.
7
b. Sampah non organik
Terdiri dari kaleng, besi, logam, gelas atau bahan lain yang yang tidak tersusun oleh senyawa-senyawa organik. Sampah anorganik tidak dapat diuraikan oleh mikroba.
Berdasarkan Rancangan Undang– Undang Pengelolaan Sampah oleh Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2005) kegiatan pengelolaan sampah meliputi :
1. Pengurangan
Pengurangan sampah dilakukan dengan cara mengurangi produksi dan konsumsi barang yang kemasannya menggunakan bahan yang sulit di daur ulang.
2. Pemilahan
Pemilahan sampah dilakukan dengan cara :
• Memisahkan sampah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun.
• Memisahkan sampah yang tidak mengandung bahan berbahaya dan
beracun menjadi sampah kering dan sampah basah. 3. Pengumpulan
Pengumpulan sampah dilakukan dengna memindahkan sampah dari sumber ke tempat penyimpanan sementara.
4. Pemanfaatan
Sampah organik terutama sampah sayuran dan buah – buahan banyak mengandung pati, gula, dan hemisolulosa, sehingga sangat potensial untuk dijadikan sebagai bahan baku pembuatan biobutanol. Oleh karena itu biobutanol dari sampah organik baik untuk dikembangkan agar dapat menjadi salah satu solusi permasalahan energi di Indonesia.
B. KARAKTERISTIK LIGNOSELULOSA
Biomassa lignoselulosa sebagian besar terdiri dari campuran polimer karbohidrat, lignin, ekstraktif, dan abu. Kadang-kadang disebutkan holoselulosa, istilah ini digunakan untuk menyebutkan total karbohidrat yang dikandung di dalam biomassa yang meliputi selulosa dan hemiselulosa. (Isroi, 2008)
1. Lignoselulosa
9
2. Selulosa
Selulosa adalah polimer glukosa (hanya glukosa) yang tidak bercabang terdiri dari 2.000 - 26.000 atau lebih unit D-glukosa. Bentuk polimer ini memungkinkan selulosa saling menumpuk/terikat menjadi bentuk serat yang sangat kuat. Panjang molekul selulosa ditentukan oleh jumlah unit D-glukosa di dalam polimer, disebut dengan derajat polimerisasi. Derajat polimerisasi selulosa tergantung pada jenis tanaman dan umumnya dalam kisaran 2000 – 27000 unit D-glukosa. Polimer selulosa terdiri dari rantai glukosa tidak bercabang dengan
ikatan α -1,4 glikosida. Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan asam atau enzim. Selanjutnya glukosa yang dihasilkan dapat difermentasikan menjadi bioetanol (Isroi, 2008).
Gambar 1. Struktur selulosa (Isroi, 2008)
3. Hemiselulosa
Perbedaan hemiselulosa dengan selulosa yaitu hemiselulosa mudah larut dalam alkali tapi sukar larut dalam asam, sedang selulosa adalah sebaliknya. Hemiselulosa juga bukan merupakan serat-serat panjang seperti selulosa. Hasil hidrolisis selulosa akan menghasilkan D-glukosa, sedangkan hasil hidrolisis hemiselulosa akan menghasilkan D-xilosa dan monosakarida lainnya (Winarno, 1984).
Menurut Hartoyo, hemiselulosa tersusun dari gabungan gula-gula sederhana dengan lima atau enam atom karbon. Degradasi hemiselulosa dalam asam lebih tinggi dibandingkan dengan delignifikasi, dan hidrolisis dalam suasana basa tidak semudah dalam suasana asam (Achmadi , 1980). Mac Donal dan Franklin (1969) menyatakan bahwa adanya hemiselulosa mengurangi waktu dan tenaga yang diperlukan untuk melunakkan serat selama proses mekanis dalam air.
11
C. BIOBUTANOL 1. Sifat Biobutanol
Biobutanol merupakan bahan bakar nabati yang berpotensi besar untuk dikembangkan sebagai substitusi bensin. Beberapa kelebihan biobutanol sebagai biofuel adalah dapat dengan mudah ditambahkan sebagai campuran premium, dapat dicampur pada tingkat konsentrasi tinggi pada penggunaan standar mesin kendaraan tanpa membutuhkan adaptasi khusus. Butanol adalah alkohol yang memiliki 4 atom karbon dan mengandung energi hampir menyamai premium, yaitu sebesar 29 MJ/liter dengan bilangan oktan 96. Nilai ini jauh di atas bioethanol sebesar 22 MJ/liter. Wujud fisik dan baunya mirip dengan etanol, yaitu alkohol dengan 2 atom karbon yang sering kita temukan sebagai larutan pensteril, pelarut, atau sebagai campuran bensin. Saat ini, peran utama produk butanol adalah sebagai pelarut cat, resin, dan produk antara untuk polimer (antara lain butiral dehida, asam butirat, butena, butadiena). Biobutanol mempunyai karakteristik yaitu (Perry's Chemical Engineer Handbook - 8th ed - 2007):
Titk leleh : 89.30C Titik Didih : 117.70C Pengapian temperature : 350C Flash Point : 3650C Massa Jenis pada 200C : 0.80980C
Tekanan : 48.40C
Berbeda dengan etanol yang saat ini menjadi campuran untuk biopremium, butanol memiliki berbagai kelebihan yang membuatnya layak untuk dipertimbangkan bukan hanya sebagai campuran bensin, tetapi sebagai pengganti bensin.
Keuntungan Biobutanol dibandingkan Bioethanol :
• Biobutanol memiliki beberapa karakteristik fisika dan kimia lebih mirip ke
bensin. Hal ini menyebabkan tidak perlu membangun infrastruktur baru untuk transportasi. Biobutanol juga tidak larut dalam air seperti bioethanol sehingga mudah menyebabkan korosi.
• Biobutanol dapat dicampur dengan bensin dalam kadar bervariasi. Hal yang
sama tidak dimungkinkan dengan bioethanol. Campuran bioethanol bensin memiliki kadar bioethanol maksimum 10 %. Lebih daripada itu harus ada modifikasi khusus pada mesin kendaraan bermotor.
• Akibat kandungan energi yang tidak jauh berbeda dengan bensin, maka bensin
campur biobutanol lebih ekonomis daripada bensin campur bioethanol
• Secara lingkungan biobutanol lebih aman daripada bioethanol karena jika
tumpah tidak mudah mencemari air tanah akibat sifatnya yang menolak air.
2. PRODUKSI BIOBUTANOL
13
Aseton – Butanol – Etanol (ABE) fermentasi adalah proses fermentasi yang menggunakan bakteri untuk menghasilkan aseton, n-butanol dan etanol dari pati. Pembuatan biobutanol yang substratnya mengandung selulosa, lignin, dan hemiselulosa ini memerlukan beberapa proses awal sebelum memasuki proses fermentasi. Hal ini disebabkan karena rantai glukosa yang terkandung dalam bahan lignoselulosa ini memiliki bentuk struktur yang berbeda sehingga tidak dapat langsung dihidrolisis. Selain itu, pada bahan yang juga mengandung hemiselulosa, terdapat tambahan kandungan pentosa. Untuk bahan yang mengandung selulosa, terlebih dahulu harus melalui tahap hidrolisis. Hal ini disebabkan karena mikroorganisme yang digunakan tidak mempunyai enzim untuk memecah rantai glukosa tersebut menjadi gula yang selanjutnya diubah.
Adapun tahap – tahap produksi biobutanol dengan proses ABE, yaitu memiliki dua tahap.
a. Tahap Pertama
Tahap ini merupakan tahap pembebasan selulosa dari lignin dan struktur kristalnya, dimana rantai panjang glukosa dipecah menjadi molekul gula yang bebas, sehingga dapt diubah oleh mikroorganisme. Proses ini biasa juga disebut dengan proses hidrolisis. Proses hidrolisis untuk memecah rantai polimer pada holoselulosa dapat dilakukan dalam 3 cara, yaitu :
1. Teknologi Hidrolisis asam encer (dilute acid hydrolysis) .
yang selanjutnya akan difermentasikan. Jenis asam encer yang biasa digunakan untuk hidrolisis ini adalah H2SO4encer.
2. Teknologi yang kedua yaitu hidrolisis asam pekat (concentrated acid hydrolysis), yang meliputi proses dekristalisasi selulosa dengan asam
pekat dan dilanjutkan dengan hidrolisis selulosa dengan asam encer. Tantangan utama dari teknologi ini adalah pemisahan gula dengan asam, recovery asam, dan rekonsentrasi asam (Scheper, 2007).
3. Metode hidrolisis ke tiga adalah hidrolisis enzimatik yang mirip dengan proses – proses di atas yaitu dengan mengganti asam dengan enzim. Teknik ini dikenal dengan teknik Hidrolisis dan Fermentasi Terpisah (SHF, Separated Hydrolysis and Fermentation). Hidrolisis dengan enzim tidak membuat atau menghasilkan kondisi lingkungan yang kurang mendukung proses biologi / fermentasi seperti pada hidrolisis dengan asam, kondisi ini memungkinkan untuk dilakukan tahapan hidrolisis dan fermentasi secara bersamaan yang dikenal dengan Simultaneuos Saccharification and Fermentation (SSF). Teknik ini menggunakan
kombinasi enzim sellulase dan mikroorganisme fermentasi, gula yang dihasilkan dari hidrolisis enzim selulase dapat secara segera diubah menjadi biobutanol oleh mikroba. Tiga fraksi enzim sellulase dihasilkan dari fungi mesofilik misalnya Trichoderma resei atau dari bakteri termofil selulolitik seperti Themotoga, Anaerocellum, Rhodothermus, Clostridium, Thermoascus, Thermophilum, Acremonium (Scheper, 2007 ; Kavanagh,
15
b. Tahap Kedua
Tahap ini dimaksudkan untuk mengubah glukosa menjadi biobutanol melalui proses fermentasi ABE. Fermentasi aseton-butanol-etanol (ABE) dapat dilakukan oleh bakteri C. acetobutylicum yang mampu mengkonversi gula menjadi pelarut aseton, butanol dan etanol (Gutierez dan Maddox, 1987 ; Purwanto, 1995). C. acetobutylicum dapat mengkonversi sejumlah besar karbohidrat, termasuk heksosa dan pentose, hemiselulosa dan selulosa pada kondisi yang sesuai untuk pertumbuhannya. Produk fermentasi ABE biasanya terdiri dari asam asetat, asam butirat, aseton, butanol, dan etanol.
Proses fermentasi dioptimalkan dengan penambahan nutrient – nutrient protein dan dengan pengendalian pH menggunakan buffer basa (alkali). Persamaan yang umum untuk fermentasi ABE adalah :
C6H10O5 C6H12O CH3COCH3+ CH3(CH2)2OH + CH3CH2OH + CO2+ H2…… . (1)
Pati Glukosa Aseton Butanol Etanol
Hasil akhir campuran pelarut adalah 30% berdasarkan bobot sumber gula awal. Rasio produk normalnya adalah 60% butanol, 30% aseton dan 10% etanol. Campuran pelarut hasil fermentasi dipisahkan dengan destilasi dan kolom fraksionasi (Monick, 1968). Fermentasi ABE menggunakan C.acetobutylicum memerlukan kondisi suhu 340C dengan nilai pH yang dibutuhkan adalah 6.5 (Kanchanatawe.,1992)
3. PEMURNIAN (DESTILASI)
adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Dalam proses destilasi pada suhu 1170C (setara dengan titik didih butanol) akan menguap lebih lama dibandingkan dengan air yang bertitik didih 1000C. uap butanol di dalam reaktor akan di alirkan kebagian kondensor sehingga terkondensasi menjadi cairan butanol.
Perbedaan proses produksi biobutanol dengan produksi bioethanol terutama pada proses fermentasinya dan sedikit berbeda pada proses destilasinya. Sedangkan bahan baku yang dipergunakan adalah sama yaitu gula bit, gula tebu, gandum jagung, gandum dan ketela pohon, tanaman non-pangan, serta produk samping pertanian seperti jerami dan batang jagung. Produksi biobutanol dari biomassa limbah (produksi samping) sektor pertanian akan lebih efisien.
4. ANALISIS BIOBUTANOL
17 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan, terhitung dari bulan Agustus sampai bulan Oktober di Laboratorium Kimia Organik, Laboratorium Bioproses dan Laboratorium Kimia Dasar Teknik Kimia Politeknik Negeri Ujung Pandang.
2. Bahan yang digunakan:
• Kertas Saring Whatman 41
C. Prosedur Kerja
1. Pengambilan dan Perlakuan awal sampel
Sampel untuk analisis dilakukan pengambilan diberbagai tempat, yaitu di pasar Terong, TPA Ir.Sutami dan limbah rumah tangga, yang selanjutnya di kumpulkan kemudian dikeringkan hingga kadar airnya di bawah 10 %. Selanjutnya, analisis kandungan holoselulosa dilakukan dengan cara Chesson Datta (1981).
2. Analisis kandungan holoselulosa sampel
• 1 gram sampel (a) ditimbang kemudian ditambahkan 150 mL H2O dan
19
• Campuran tersebut disaring kemudian residu dicuci dengan larutan air
panas (300 ml).
• Residu kemudian dikeringkan dalam oven dan di timbang berat
konstan residu kering (b).
• Residu kering (b) ditambahkan 150 mL H2SO41N (Lamp. 1, Hal.38),
kemudian direfluks selama 1 jam pada temperatur 100oC.
• Campuran tersebut disaring sampai netral (300 ml) dan dikeringkan (c)
dalam oven, di timbang berat konstan residu kering.
• Residu kering ditambahkan 10 mL H2SO472 % (Lamp. 1, Hal. 39) dan
direndam pada temperatur ruangan selama 4 jam. Ditambahkan 150 ml H2SO41 N (Lamp. 1, Hal 38) kemudian direfluks selama 1 jam pada
temperatur 100oC.
• Residu disaring dan dicuci dengan H2O sampai netral (400 ml)
kemudian dipanaskan dengan oven dengan suhu 1050C dan hasilnya ditimbang (d), selanjutnya residu diabukan dan ditimbang (e).
Dari prosedur fraksinasi lignoselulosa dapat diperoleh persamaan :
a) Fraksi hemiselulosa =
× 100 %
b) Fraksi selulosa =
× 100 %
3. Hidrolisis bahan baku a. Optimasi temperatur
• 900 ml larutan H2SO4 0,5% (Lamp.1, Hal.38) dan 100 gram bahan
baku sampah, dimasukkan ke dalam bioreaktor (perbandingan larutan H2SO4 0,5% (Lamp.1, Hal.38) dengan bahan baku sampah
adalah 1 : 9 gr/ml),
• Kemudian reactor ditutup dengan sempurna dan pemanas disetting
mulai dari temperatur 1300C hingga temperatur 195 0C serta motor pengaduk dinyalakan.
• Ketika mencapai suhu 130; 140; 150; 160; 170; 180; 190; 1950C
diambil sampel kira-kira 30 ml, kemudian masing-masing sampel tiap temperatur dianalisis kandungan glukosanya dengan metode Luff Schroll.
• Selanjutnya menentukan temperatur optimal untuk hidrolisis
b. Optimasi kadar suspensi
• Percobaan diawali dengan memasukan larutan H2SO4 0,5%
(Lamp.1, Hal.38) dengan volume 600 ml dan sampel dengan berat 100 gram (perbandingan volume H2SO4encer : sampel adalah 6 :1)
21
• Ketika pemanasan telah mencapai suhu temperatur optimum,
diambil sampel kira-kira 10 ml, kemudian konsentrasi gula dianalisis dalam sampel dengan metode Luff school.
• Percobaan diulangi pada berbagai nilai variabel perbandingan
pereaksi (6:1; 7:1; 8:1; 9:1; 10:1)
• Selanjutnya menentukan perbandingan pereaksi optimal untuk
hidrolisis sampel.
4. Analisis Hasil Hidrolisis (Analisis Gula Metode Luff Schroll)
• Sebanyak 1 gram sampel hasil hidrolisis ditimbang ke dalam
Erlenmeyer, kemudian ditambahkan 50 ml akuades, selanjutnya Pb 10 % (Lamp.1, Hal.40) tetes demi tetes kedalam larutan, hingga tidak terbentuk endapan lagi, kemudian dijernihkan dengan Na2PO4 10%
(Lamp.1, Hal.40).
• Larutan disaring ke dalam labu ukur 100 ml, kemudian filtrat
ditambahkan akuades hingga tanda batas.
• 25 ml filtrat dipipet, kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer asah
dan ditambahkan 25 ml pereaksi Luff (Lamp.1, Hal.39), kemudian ditambahkan batu didih dan dipanaskan selama 10 menit.
• Setelah mendidih, didinginkan menggunakan air mengalir, kemudian
ditambahkan H2SO4 25% (Lamp.1, Hal.40) yg dilewatkan pada
• larutan KI 20% (Lamp.1, Hal.39) sebanyak 10 ml ditambahkan
menggunakan pipet volum, kemudian dititar dengan menggunakan larutan Tio 0,05 N (Lamp.1, Hal.39) yang telah distandarisasi, kemudian ditambahkan Ind. amylum sampai larutan berubah warna menjadi coklat susu.
• Volume larutan penitar dicatat kemudian membuat larutan blanko.
• kadar gula dalam sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Angka Tabel (AT) = ×
.
Kadar Gula = ×
× 100 %
5. Untuk fermentasi hasil hidrolisis
• 100 ml masing–masing sampel hasil hidrolisis, dimasukkan ke dalam
tiap botol fermentasi (botol 3 ; 5 ; dan 7 hari), kemudian masing– masing botol fermentasi ditambahkan bakteri C.Acetobutylicum sebanyak 1 Ose, kemudian ditutup rapat – rapat dengan penutup yang telah disambungkan dengan selang.
• Dilakukan fermentasi gula hasil hidrolisis selama 3 ; 5 ; dan 7 hari.
6. Analisis Biobutanol
23
a. Analisis Kualitatif
• Peralatan GC (Kromatografi) dihidupkan.
• Sebanyak 1 µL butanol standar dengan kemurnian 99.9 %
diinjeksikan pada kromatograf sehingga diperoleh kromatogram (rekaman hasil analisis) yang memuat data waktu retensi (Rt) untuk butanol stndar tersebut.
• Selanjutnya 1 µL masing– masing sampel, juga diinjeksikan pada
kondisi operasional yang sama sehingga diperoleh data waktu retensi untuk sampel. Jika nilai Rtnya sama, berarti sampel dan standar merupakan senyawa yang secara kualitatif sama.
b. Analisis kuantitatif
Dengan membandingkan luas area masing – masing sampel terhadap luas area butanol standar, maka kemurnian butanol produk hasil fermentasi dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
Cx=
Keterangan :
Cx= Konsentrasi Sampel
Ax= Luas Area Sampel
Adapun kondisi operasional GC sebagai berikut : Temperatur oven = 8000C Temperatur Injektor = 10000C Temperatur Detektor = 12000C Laju Alir Gas Pembawa = 30 ml/menit
Jenis kolom = Apiezon. L (Packed coloum)
25 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil analisis kandungan holoselulosa pada sampel
Analisis kandungan sampel (sampah organik) ini bertujuan menentukan kadar holoselulosa yang terkandung pada sampah Organik dengan cara gravimetri menggunakan metode Chesson Datta (1981) pada masing-masing komponen dan hasilnya ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil komponen sampah Organik
Sampel Komposisi (%)
B. Hasil Analisis Kadar Gula Pada Optimasi Temperatur
Proses hidrolisis pada lignoselulosa memiliki tujuan untuk memecah ikatan hemisellulosa dan menghilangkan kandungan lignin serta merusak struktur selulosa menjadi senyawa gula sederhana (Sun dan Cheng. 2002). Hidrolisis sampel bertujuan untuk mengubah hemiselulosa menjadi monomer gula. Penentuan kadar gula setelah hidrolisis dianalisis dengan metode luff schroll. Hasil analisis kadar gula diperoleh data dan ditunjukkan pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Hasil perhitungan hidrolisis hemiselulosa untuk optimasi Temperatur.
Suhu (0C) Kadar gula (%)
Dari hasil hidrolisis hemiselulosa untuk optimasi temperatur, maka dapat dibuat kurva seperti dibawah ini.
130 0.77
140 1.34
150 4.10
160 3.91
170 1.25
180 1.14
190 0.47
27
Gambar 2. Hubungan temperatur (suhu) dengan kadar gula hasil hidrolisis untuk optimasi temperatur.
Penentuan kadar setelah hidrolisis pada berbagai variasi temperatur dianalisis dengan metode luff schroll, Selanjutnya penentuan temperatur optimal untuk hasil hidrolisis didasarkan pada hasil kadar gula optimal yang dihasilkan. Hasil hidrolisis ditunjukkan pada gambar 2 terlihat bahwa kadar gula optimal diperoleh pada temperatur 1500C.
C. Hasil Analisis Kadar Gula pada Optimasi Kadar Suspensi
Salah satu faktor yang mempengaruhi proses hidrolisis adalah penambahan jumlah pereaksi sehingga dilakukan variasi jumlah pereaksi agar didapatkan kadar gula optimal untuk fermentasi. Penentuan kadar gula setelah
0.77
120 130 140 150 160 170 180 190 200
hidrolisis dianalisis dengan metode luff schroll. Hasil analisis kadar gula diperoleh data dan ditunjukkan pada Tabel 4 dibawah ini.
Tabel 4. Hasil Perhitungan kadar gula proses hidrolisis pada optimasi kadar suspensi
Perbandingan Jumlah Sampel
dengan Larutan Asam Kadar gula (%)
1 : 6 3.21
1 : 7 4.80
1 : 8 4.42
1 : 9 4.10
1 : 10 3.96
Dari hasil perhitungan kadar gula hasil hidrolisis pada optimasi kadar suspensi maka dapat dibuat kurva dibawah ini :
Gambar 3. Hubungan perbandingan kadar suspensi dengan kadar gula
Hidrolisis dengan larutan asam biasanya menggunakan larutan asam encer, dimana kecepatan reaksinya sebanding dengan konsentrasi asam.
29
Pada penelitian ini konsentrasi asam yang digunakan sama yaitu H2SO4
0.5% yang berbeda adalah jumlah pereaksinya, karena sifat asam hanyalah katalisator untuk mempercepat reaksi, sesuai dengan persamaan Arhenius, semakin tinggi konsentrasi asam yang dipakai maka makin cepat pula reaksi pada proses hidrolisis dan dalam waktu tertentu jumlah glukosa akan meningkat. Penggunaan asam pekat pada proses hidrolisis menyebabkan terjadinya korosi pada bahan material yang dipakai. Oleh karena itu, membutuhkan desain peralatan yang spesial dan mahal, seperti keramik atau material yang dilapisi karbon (Taherzadeh dan Karimi, 2007).
zat-zat pereaksi yang lamban, maka tumbukan antara zat pereaksi akan berkurang sehingga memperlambat jalannya reaksi.
Setelah memperoleh data-data optimasi untuk proses hidrolisis sampel, selanjutnya melakukan hidrolisis sampah organik sebagai bahan baku untuk proses fermentasi. Selanjutnya kadar gula dari proses hidrolisis yang didasarkan pada data hasil optimasi variabel hidrolisis.
Tabel 5. Hasil analisis kadar gula hasil hidrolisis
Optimasi Kadar Suspensi Temperatur Hidrolisis (0C)
Kadar gula (%)
1 : 7 150 4,80
31
yang pecah membentuk senyawa lain yaitu senyawa asam karboksilat, senyawa furan, dan senyawa fenol (Rina.H., dkk, 2009).
D. Hasil Analisis Produk Hasil Fermentasi Dengan Kromatografi Gas
Proses fermentasi pada pembuatan biobutanol bertujuan untuk mengubah monomer gula hasil hidrolisis menjadi biobutanol. Fermentasi dilakukan selama 7 hari dan pada hari ke 3, 5, dan 7 dilakukan pengambilan sampel untuk Analisis kromatografi yang digunakan untuk menentukan kadar biobutanol yang dihasilkan dan untuk mengetahui lebih pasti, hasil fermentasi yang didapatkan betul – betul biobutanol atau bukan. Uji dengan menggunakan GC ini, sebagai uji pendukung untuk lebih meyakinkan bahwa biobutanol yang diperoleh benar biobutanol, bukan zat–zat lain. Setelah dilakukan pengujian menggunakan alat GC diperoleh data seperti pada tabel 6 di bawah ini.
dan etanol. ini dapat dilihat dari perbandingan hasil uji GC standar aseton, butanol, dan ethanol murni pada tabel 6 di bawah ini.
Tabel 7. Data pengamatan butanol murni dengan uji GC.
Sampel Ret.Time Luas Area
Aseton 2.378 241907837
Butanol 2.418 1413569
33 BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Besarnya kandungan holoselulosa sampah organik yang potensial untuk diolah menjadi biobutanol yaitu, 57.04 %.
2. Temperatur optimal dan kadar suspensi pada tahap hidrolisis hemiselulosa menjadi gula yaitu pada suhu 1500C dan pada perbandingan 1 : 7 dengan kadar gula 4.80 %.
3. Setelah dilakukan pengujian kromatografi gas, diketahui bahwa fermentasi hasil hidrolisis sampah organik menghasilkan biobutanol 0.0159 %, aseton 0.000072 %, dan etanol 0.000043%.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat diajukan beberapa saran untuk perbaikan penelitian lanjutan di masa yang akan datang. Mengingat hasil biobutanol yang dihasilkan masih rendah, maka diperlukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan kadar biobutanol, antara lain :
1. Dalam proses hidrolisis dibutuhkan H2SO4 yang berfungsi sebagai katalis
sekaligus sebagai pelarut sehingga perlu untuk menentukan konsentrasi H2SO4yang dapat menghasilkan kadar gula yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Adisendjaja Hili Yusuf, Syulasmi Ammi, dan Kusnadi, 2009, “pemanfaatan sampah organic sebagai bahan baku produksibioetanol sebagai energy alternative”, laporan penelitian Universitas Pendidikan Indonesia.
Aisyah shaza, 2012 “Share informasi”, dalam situs
http://aisyahshaza.blogspot.com/2012/10/pendahuluan-latar-belakang-sampah.html (diakses 5 Juni 2013)
Apri, 2010, “kromatografi gas dan aplikasinya pada pemisahan”, dalam situs
http://apryshinsetsuboy.blogspot.com/2010/12/kromatografi-gas-dan-aplikasinya-pada.html (diakses 23 oktober 2013)
AriefSoemaryanto. “Biobutanol”, dalam situs
http://id.scribd.com/doc/106094962/Biobuthanol (diakses 26 juni 2013)
Asrini, Indah. Restu. 2011. Pembuatan Bioethanol dari Rumput Laut Gracilaria Sp menggunakan Enzim Ekstraseluler (Alfa amilase dan Glukoamilase) dari Rhizopus Oryzae. Laporan Tugas Akhir. Politeknik Negeri Ujung pandang, Makassar.
Best, D.J. Chemistry and Biotechnology. Di dalam I.J.Higgins, D.J.Best dan J.Jones (eds.). 1992. Biotechnology, Principles and Applications, Blackwell Scientific Publication, Oxford.
Forsberg, C.W. 1986. Production of 1,3-propanediol from Glicerol by Clostridium Acetobutylicum and Other Clostridiumspecies. Appl. And Environ. Microbiol., 53(4) : 639 – 643, American Society for Microbiology. Inc., New York
Gutiererez, N.A. dan I.S. Maddox. 1987. Role of Chemotaxis in Solvent Production by Clostridium Acetobutylicum. Appl.And Env.Microbiology. 53 (8) : 1924-1927
Hasil Litbang, 2013 “Produksi Biobutanol Dengan Bahan Baku Non Pangan Sebagai Energi Alternatif Melalui Proses Fermentasi”, dalam Situs
35
http://journal.unair.ac.id/filerPDF/KESLING-2-1-08.pdf (diakses 2 juli 2013)
Indonesia Biobutanol, “Category Archives: Fermentasi”,dalam situs http://indonesiabiobutanol.wordpress.com/category/teknologi-produksi/fermentasi-teknologi-pr`oduksi/ (diakses 26 juni 2013)
Isroi. 2008. Analisis Kandungan Selulosa dan Lignin dengan Metode Chesson, (Online), (http://isroi.wordpress,com diakses 30 September 2013)
Kanchanatawe, S., I.S. Maddox dan S.M.R. Bhamidimarri. 1992. Nutrient Requirements for Acetone-Butanol-Ethanol Production Using Clostridium acetobutylicum in A Packed Bed Reactor. Proc. 10thAust. Biotechnol.Conferences
Ketut sumada, 2012 “Bahan Bakar Biobutanol”, dalam situs
http://www.KETUTSUMADA/BAHAN/BAKAR/BIOBUTANOL.htm (diakses 9 Juni 2013)
Matana Orpa, dkk. 2008. Volumetri . Sekolah Menengah Analis Kimia, Makassar
Nurwahyuni Sangga, 2012. Pembuatan Bioethanol dari Tandang Kosong Kelapa Sawit. Laporan Tugas Akhir. Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar.
Nisandi. 1999. Pengolahan Dan Pemanfaatan Sampah Organik Menjadi Briket Arang Dan Asap Cair, SNT, Yogyakarta
Purwanto, A.1995. Di dalam Yoder, C.H.,F.H. Suydan dan F.A. Snavely. 1980. Kajian Awal pemisahan Campuran Aseton-Butanol-Etanol Hasil fermentasi dengan Destilasi sederhana dan dengan Pendekatan Model Ishotherm Flash.Skripsi. Fateta, IPB, Bogor
Rina.H, dkk. 2009. Pemanfaatan Tandan Kosong Kelapa Sawit Menjadi Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Masa Depan yang Ramah Lingkungan. (online), (Http://Rina-H-GT- Pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit-IPB.com, diakses 23 oktober 2013)
Sun, Y., Cheng, J., 2002. Hydrolysis of lignocellulosic material for ethanol production : a review. Bioresource Technol., 83, 1-11
Syarif, Asyah. ST. 2012. Optimasi Proses Hidrolisis dan Fermentasi Pada Pembuatan Bioethanol dari Tandang Kosong Kelapa Sawit. Laporan Tugas Akhir. Politeknik Negeri Ujung Pandang, Makassar
Taherzadeh, M.J. and Karimi, K., 2007, Acid-Based Hydrolysis Processes for Ethanol from Lignocelulosic Materials ; A Review, Bioresources 2(3), p. 476. (Online) ( http://Hidrolisis Asam.com diakses 20 agustus 2013
37
LAMPIRAN I. Diagram Alir Analisis Lignoselulosa
Hemiselulosa
Selulosa 1 g sampel direflux selama 1 jam dengan 150 ml H2O
pada suhu 1000C
Residu sampel yang telah dikeringkan direflux selama 1 jam dengan 150 ml H2SO41 N pada suhu 1000C
Residu sampel yang telah dikeringkan diperlakukan 10 ml 72% (v/v) H2SO4pada suhu kamar selama 4 jam, kemudian ditambahkan 150 ml
H2SO41 N dan direfluks selama 1 jam pada temperature 1000C.
Residu disaring dan dicuci dengan H2O sampai netral, kemudian
dikeringkan dalam oven, selanjutnya residu diabukan dan ditimbang. Campuran disaring, kemudian residu dicuci dan
LAMPIRAN II. Pengolahan Data A. Pembuatan Larutan
1. Pembuatan Larutan Untuk Hidrolisis Sampel:
Pembuatan larutan H2SO40,5 %(1L) dari larutan H2SO440%
V1× C1 = V2× C2
V1× 40 % = 1000 ml × 0,5 %
V1 = 12,5 ml
2. Pembuatan Larutan Untuk Analisis Holoselulosa dan Lignin :
Pembuatan larutan H2SO40,5 M dari larutan H2SO440% (500 ml)
M =%
= ,
/
= 7,51 mol/L
V1×C1 = V2×C2
V1× 7,51M = 500 ml ×0,5 M
V1 = 16,64 ml
Pembuatan larutan H2SO41 N dari larutan H2SO498% (250ml)
N =%
= ,
/
39
V1×C1 = V2×C2
V1× 36,8N = 250 ml ×1 N
V1 = 6,79 ml
Pembuatan larutan H2SO472 % dari larutan H2SO498% (100ml)
V1×C1 = V2×C2
V1× 98 % = 100 ml ×72 %
V1 = 73.47 ml
3. Pembuatan Larutan Untuk Analisis Glukosa : Pembuatan Larutan Na2S2030,05 N (1 L)
g = L x N x Bst
= 1 L x 0,1 grek/L × 79 g/grek = 7,9055 gram
Pembuatan Larutan Luff Schoorl (1 L)
• CuSO4.5H2O = 25 Gram
• Asam Sitrat = 50 Gram
• Na2CO3 = 144 Gram
Pembuatan Larutan KI 20% (250 ml)
% b/v = × 100 %
20 g/ml = ×
100 x berat = 5000
Berat = 50 gram
Pembuatan Larutan H2SO425%dari larutan H2SO498% (250 ml)
V1x C1 = V2xC2
V1x 40% = 250 ml x 25 %
V1= 156,25 ml
Pembuatan larutan Na2PO410 % (100 ml)
%b/v = × 100 %
10 g/ml% = × 100 %
Berat = /
= 10 gram
Pembuatan larutan Pb Asetat 10 % (100 ml)
%b/v = × 100 %
10 g/ml% = × 100 %
Berat = /
41
4. Pembuatan Larutan Untuk Standarisasi Na2S2O30,05 N
Pembuatan Larutan HCL 4 N (100 ml)
N =%
Volume Penitar : 51,3 ml
5. Menghitung Kandungan Holoselulosa dan Lignin : Dik : Berat sampel (a) = 1,0006 g
Berat residu kering setelah refluks I (b) = 0,8116 g Berat residu kering setelah refluks II (c) = 0,4686 g Berat residu kering setelah refluks III (d) = 0,2407 g
43
d. Holoselulosa = Fraksi Hemiselulosa + Fraksi Selulosa = 34.27 % + 22.77%
= 57.04%
6. Menghitung Kadar glukosa a. Optimasi temperatur
Untuk Suhu 1300C
Angka Tabel (AT)=( ) ×
.
=( , , ) ,
,
= 0,8 ml (Di lihat pada tabel)
Kadar Gula = × × %
= ,
, × %
= ,
, × %
= 0,77 %
b. Kadar suspensi
Untuk perbandingan 1 : 6
Angka Tabel (AT) =( ) ×
.
=( , , ) ,
,
= 3,33 ml (Di lihat pada tabel)
Kadar Gula = × × %
Untuk hasil perhitungan selanjutnya dapat dilihat pada tabel. 5 Tabel 9. Konversi mg gula menurut Luff Schoorl
45
c. Konsentrasi Biobutanol hasil analisis GC Kadar Biobutanol pada fermentasi hari ke 7
% Biobutanol =
=
= 0.0159 %
Kadar Aseton pada fermentasi hari ke 5
% Aseton =
=
Kadar Ethanol pada fermentasi hari ke 5
% Ethanol =
=
47
53
LAMPIRAN IV Dokumentasi Penelitian
1. Preparasi Sampel
3. Penentuan Kadar Holoselulosa
Proses merefluks sampel Penyaringan residu hasil refluks
4. Analisis Kadar Gula Hasil Hidrolisis Metode Luff Schroll
55
5. Proses Fermentasi