Kajian
Default Factor
Sektor Pertanian
Kerangka Acuan Kerja
Term of Reference (TOR)
Latar Belakang.
Sektor pertanian memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia
dengan menyumbang 14,3% dari PDB 2014 dan menyediakan lapangan pekerjaan
bagi 37,7 juta jiwa atau 32,9% tenaga kerja di Indonesia1. Sejalan dengan
pentingnya peran sektor pertanian, pemerintah telah menyusun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015–2019 dengan
memasukan sektor pertanian ke dalam salah satu sektor unggulan yang tercakup
dalam dimensi Pembangunan Kedaulatan Pangan2. kebijakan pemerintah dalam
mencapai kedaulatan pangan dilakukan dengan mendorong peningkatan produksi,
kelancaran distribusi, peningkatan kualitas konsumsi, serta penanganan
gangguan pada produksi (hama dan penyakit). Dalam mencapai sasaran prioritas
nasional kedaulatan pangan telah disusun kebijakan terintegrasi dari beberapa
lembaga/kementerian dan kebijakan anggaran belanja yang mengutamakan
program prioritas tersebut.
Dalam rangka mengoptimalkan peran perbankan dalam mendukung
perekonomian nasional, OJK telah memberikan arah pengembangan perbankan
melalui Master Plan Sektor Jasa Keuangan Indonesia (MPSJKI) 2015-2019. Arah
pengembangan perbankan dalam MPSJKI telah disinergikan dengan RPJMN, salah
satunya peningkatan pendanaan kepada sektor pertanian yang dianggap sektor
prioritas. Dengan adanya pembiayaan perbankan kepada sektor pertanian akan
membantu pemerintah dalam mendorong tercapainya kedaulatan pangan.
Meskipun memiliki peran dalam perekonomian, porsi pemberian kredit pada
sektor pertanian masih relatif rendah dibandingkan dengan beberapa sektor
lainnya. Porsi kredit kepada sektor pertanian pada Maret 2016 hanya 5,6% dari
total kredit perbankan, dimana nilai tersebut relatif lebih rendah dibandingkan
dengan porsi sektor pertanian pada PDB (14,3%). Hingga Maret 2016 sebagian
besar (83,7%) kredit kepada sektor pertanian disalurkan kepada perkebunan
kelapa sawit. Sedangkan pada sektor tanaman pangan yang dianggap prioritas
oleh pemerintah berdasarkan RPJMN, seperti tanaman padi, jagung dan kedelai
hanya memperoleh 3,9% dari kredit kepada sektor pertanian. Dalam rangka
1 Data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) BPS, Agustus 2015
2 Hak setiap orang, masyarakat dan negara untuk mengakses dan mengontrol aneka sumberdaya produktif
mendorong kedaulatan pangan pemerintah maka diperlukan peningkatan
pembiayaan kepada sektor pertanian terutama pada tanaman pangan utama (padi)
dan tanaman pangan lainnya (jagung dan kedelai).
Relatif rendahnya pembiayaan bank kepada sektor pertanian terlihat pada
rendahnya porsi pemberian kredit kepada sektor pertanian pada portofolio
masing bank. Secara rata-rata porsi kredit kepada sektor pertanian dalam
masing-masing portofolio bank hanya sebesar 2,9%. Selain itu hingga maret 2016 terlihat
bahwa hanya terdapat 7 bank yang memiliki portofolio kredit kepada sektor
pertanian di atas 10%. Relatif rendahnya kredit perbankan kepada sektor
pertanian, baik secara industri maupun portofolio masing-masing bank,
memperlihatkan adanya keengganan industri perbankan untuk masuk dan
membiayai sektor pertanian.
Keengganan pembiayaan kredit oleh bank kepada sektor pertanian
disebabkan oleh pandangan bank akan adanya risiko yang relatif lebih tinggi pada
sektor pertanian dibandingkan dengan sektor lainnya. Beberapa penelitian seperti
OECD (2009) dan Barry et al (2002) menyebutkan risiko tersebut disebabkan oleh
karakteristik usaha atau kegiatan produksi dan segmen pelaku usaha dari sektor
pertanian. Secara umum usaha sektor pertanian sangatlah bergantung pada
kondisi cuaca dan fluktuasi harga pasar komoditas. Hal tersebut menyebabkan
keuntungan dari usaha pertanian relatif lebih rendah dibandingkan dengan sektor
lainnya. Selain itu sebagian besar segmen pelaku usaha pada sektor pertanian
merupakan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah sehingga tidak memiliki
agunan dan menurut IFC (2014) pelaku usaha UMKM di sektor pertanian tidak
memiliki keahlian teknis dan manajemen yang layak.
Berbeda dengan asumsi bank terhadap sektor pertanian, penelitian Meyer
(2011) terhadap kredit pertanian di Afrika memperlihatkan bahwa tidak ditemukan
bukti empiris yang menunjukan kredit kepada sektor pertanian memiliki risiko
yang relatif lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. Dalam penelitian tersebut
disampaikan bahwa memang terdapat beberapa contoh kasus banjir dan
kekeringan yang menyebabkan tingginya NPL atau kegagalan usaha. Namun
secara umum penyebab utama meningkatnya NPL atau bangkrutnya usaha pada
sektor pertanian sama dengan penyebab pada segmen mikro dan kecil di sektor
lainnya.
Dalam rangka mengubah pandangan bank di Indonesia akan relatif
tingginya risiko sektor pertanian dan mendorong pembiayaan kepada sektor
usaha (default factor) pada sektor pertanian. Dengan memasukan perhitungan
default factor dalam model risiko kredit sektor pertanian, maka akan didapat
ukuran yang lebih jelas dari tingkat risiko kegagalan (default risk) usaha di sektor
pertanian. Tingkat default risk tersebut akan memberikan informasi yang lebih
jelas (secara kuantitatif) kepada bank sehingga akan mengurangi keengganan
bank untuk memberikan pembiayaan kepada sektor pertanian atau bahkan
menurunkan tingkat suku bunga kredit yang diberikan oleh perbankan kepada
sektor pertanian.
Metodologi
1. Analisis faktor kegagalan usaha (default factor) di sektor pertanian.
Analisis deskriptif dilakukan untuk mendapatkan Informasi faktor
penentu yang mempengaruhi tingkat kegagalan usaha pada sektor pertanian
(default factor). Dalam kajian ini tingkat kegagalan (default) dihitung dari
tingkat kredit bermasalah atau Non Permorming Loan (NPL), yaitu kualitas
kredit kurang lancar, diragukan dan macet. Analisis pada karakteristik usaha
yang memiliki kualitas kredit baik dan bermasalah untuk mendapatkan
Informasi dari kondisi masing-masing usaha debitur berasarkan kualitas
kreditnya.
Informasi dan data yang digunakan dalam analisis deskriptif default
factor akan diperoleh dari data laporan bank serta pelaksanaan focus group
discussion (FGD) bersama pihak bank dan debitur usaha di sektor pertanian.
Jika memungkinkan akan dilakukan survei untuk mendapatkan data primer
dari kualitas usaha dan Informasi lainnya terkait dengan variabel yang
mempengaruhi tingkat kegagalan usaha di sektor pertanian.
Data default factor yang dianalisis dalam kajian terdiri dari beberapa
kelompok risiko yang terdapat pada sektor pertanian. Pengelompokan
dilakukan untuk lebih memudahkan analisis dari komoditi pertanian yang
memiliki eksposur dan risiko yang sama. Beberapa penelitian sebelumnya
mengelompokan risiko pada sektor pertanian dalam berbagai klasifikasi. Castro
dan Garcia (2014) mengelompokan risiko dari komoditi pertanian berdasarkan
ketinggian wilayah (zona produksi), sedangkan Maurer (2014) membagi risiko
pada sektor pertanian berdasarkan besarnya usaha (mikro, kecil, menengah
dan besar). Untuk memudahkan analisis risiko dalam kajian, maka akan
dilakukan pengelompokan komoditi pada sektor pertanian berdasarkan
pengelompokan pada sektor pertanian terdiri dari (i) Pertanian serealia (bukan
padi), aneka kacang dan biji-bijian penghasil minyak, (ii) Pertanian Padi, (iii)
Pertanian sayuran, buah dan aneka umbi, (iv) Pertanian Sayuran dan Buah
Semak dan Buah Biji Kacang-Kacangan Lainnya.
2. Perhitungan Model Risiko Kredit.
Perhitungan model risiko kredit pada sektor pertanian dilakukan dengan
membuat model dari seluruh default factor pada usaha di sektor pertanian.
Perhitungan model risiko kredit yang memasukan komponen-komponen dari
default factor usaha pada sektor pertanian akan menentukan Informasi
kuantitatif mengenai besarnya pengaruh masing-masing komponen dari faktor
tersebut terhadap tingkat kegagalan usaha di sektor pertanian. Besarnya
pengaruh tersebut akan menentukan berapa besarnya risiko kegagalan (default
risk) yang dimiliki oleh suatu usaha debitur pada sektor pertanian.
Model risiko kredit yang digunakan dalam kajian didapat dari
pengembangan model yang digunakan oleh beberapa penelitian yang sudah
dilakukan. Salah satu model yang dapat digunakan sebagai dasar adalah model
penelitian yang dilakukan Bandyopadhyay (2007), dimana dalam kajian
tersebut digunakan model risiko kegagalan usaha (default risk) sektor pertanian
yang menggabungkan parameter kualitatif dan kuantitatif.
Parameter kualitatif dalam kajian tersebut terdiri dari beberapa
komponen yang dijadikan indeks, yaitu: (i) indeks kualitas debitur yang terdiri
dari Informasi kualitas usaha debitur dan kualitas pinjaman usaha, (ii) indeks
biaya hidup yang terdiri dari Informasi terkait dengan kualitas hidup debitur
seperti jumlah tanggungan keluarga. Sedangkan pada parameter kuantitatif
terdiri dari beberapa variabel yaitu: (i) variabel faktor regional dan eksternal
seperti musim dan pola produksi/panen, (ii) faktor keuangan yang terdiri dari
pendapatan dan kewajiban, jumlah kewajiban dan biaya bunga, (iii) kelayakan
agunan yang terdiri dari nilai lahan, LTV dan jaminan.
Perhitungan model yang dilakukan dalam kajian dapat dikembangkan
sesuai dengan karakteristik sektor pertanian Indonesia dan ketersediaan data.
Pengembangan model yang akan dipakai dalam kajian dilakukan agar dapat
menghasilkan model risiko kredit yang lebih menangkap karakteristik usaha
pertanian di Indonesia. Perhitungan model yang digunakan dalam kajian akan
dilakukan oleh konsultan yang ditunjuk sesuai hasil pengadaan. Konsultan
pertanian, yang kedepan diharapkan dapat digunakan untuk menghitung
tingkat risiko pada sektor lainnya.
Dengan adanya perbandingan tingkat default risk dari sektor lainnya
akan menghasilkan posisi yang jelas dari tingkat default risk sektor pertanian
di Indonesia, sehingga bank dapat diarahkan kepada sektor tersebut dan dapat
memitigasi risiko yang dihadapi. Selain itu adanya tingkat default risk dapat
dilihat sebagai acuan dalam penentuan tingkat suku bunga kredit yang
diberikan kepada sektor pertanian, sehingga bank dapat memberikan bunga
kredit yang lebih efisien dan meningkatkan akses kredit masyarakat terutama
di sektor pertanian.
Tujuan
1. Memetakan faktor penentu kegagalan usaha (default factor) pada sektor
pertanian.
2. Mendapatkan perhitungan model risiko kredit untuk mendapatkan tingkat
risiko kegagalan usaha (default risk) pada sektor pertanian.
3. Mendapatkan indeks dari default risk yang dapat digunakan sebagai salah satu
acuan tingkat premi risiko dalam penentuan suku bunga (pricing) dari kredit di
Daftar Pustaka
Bandyopadhyay, Arindam. (2007). Credit Risk Models for Managing Bank's
Agricultural Loan Portfolio. National Institute of Bank Management (NIBM), Pune,
India. MPRA Paper No. 5358, 18. October 2007.
Barry, P. J. (2001). Modern capital management by financial institutions:
Implications for agricultural lenders. Agricultural Finance Review, 61, 103-122.
Castro, Carlos dan Garcia, Karen. (2014). Default Risk in Agricultural Lending The
Effects of Commodity Price Volatility and Climate. Inter-American Development
Bank. Capital Markets and Financial Institutions Division. Discussion Paper No. IDB-DP-362.
IFC (2014) Access to Finance for Smallholder Farmers: Learning from the Experiences
of Microfinance Institutions in Latin America. International Finance
Corporation-World Bank Group.
Maurer, Klaus. (2014). Where Is the Risk? Is Agricultural Banking Really More
Difficult than Other Sectors?. Chapter 7 dalam D. Köhn Finance for Food: Towards
New Agricultural and Rural Finance.
OECD (2009). Risk Management in Agriculture – A Holistic Conceptual Framework.
Working Party on Agricultural Policies and Markets.
World Bank (2015) Improved Access to Credit Helps Boost Agricultural Production in
Mali (online).
Peran Penting Sektor Pertanian
1. Menyumbang 14,3% dari PDB 2014 . 2. Menyediakan lapangan pekerjaan
bagi 37,7 juta jiwa atau 32,9% tenaga kerja di Indonesia.
3. Menyediakan kebutuhan pangan nasional
MPSJKI 2015-2019
Mengoptimalkan LJK dalam upaya mendukung ketahanan pangan, energi, serta sektor ekonomi prioritas lainnya
RPJMN 2015-2019
Sektor Pertanian termasuk sektor Prioritas Pembangunan sektor pertanian adalah tingginya risiko akibat:
1. Sangat bergantung pada cuaca dan fluktuasi harga komoditas. 2. Memiliki keuntungan relatif