PERIODISASI PERKEMBANGAN KEWILAYAHAN REPUBLIK INDONESIA
1945-1965
1. Awal Terbentuknya Negara Indonesia Setelah Proklamasi Kemerdekaan, 1945-1946
Berdasarkan hasil sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang kedua pada tanggal 19 Agustus 1945, maka wilayah Indonesia dibagi menjadi 8 provinsi. Alasan dibaginya wilayah Indonesia menjadi 8 provinsi adalah sudah berlakunya Undang-Undang Desentralisasi 1903 sejak masa penjajahan Belanda yang mengatur tentang pembagian provinsi di Indonesia dan dikepalai oleh Gouverner (Gubernur).1 Berikut
provinsi yang ditetapkan oleh PPKI pada sidang keduanya beserta gubernurnya: a. Sumatra (Mr. Teuku Mohammad Hasan).
b. Jawa Barat (Soetardjo Kartohadikusumo). c. Jawa Tengah (R. Pandji Soeroso).
d. Jawa Timur (R. A. Soerjo).
e. Sunda Kecil (Mr. I Gusti Ketut Pudja). f. Sulawesi (Dr. G. S. S. J. Ratulangi).
g. Kalimantan (Ir. Pangeran Mohammad Noor). h. Maluku (Mr. J. Latuharhary)2.
Akibat tidak kondusifnya situasi Jakarta untuk dijadikan pusat pemerintahan karena datangnya Inggris yang diboncengi oleh Nederlandsch Indie Civil Administratie (NICA) dan kemungkinan besar keamanan Jakarta sebagai ibukota Indonesia terancam, maka pada tanggal 2 Januari 1946 Sri Sultan Hamengkubuwana IX mengirimkan kurir ke Jakarta dan menyarankan agar ibukota Indonesia dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Sehingga, pada tanggal 4 Januari 1946 ibukota Indonesia resmi dipindahkan ke Yogyakarta.
Alasan mengenai dipindahkannya ibukota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta adalah Pertama, Yogyakarta dianggap daerah yang paling siap menerima kemerdekaan Indonesia, hal ini dibuktikan dengan disiarkannya berita proklamasi kemerdekaan Indonesia melalui Masjid Gedhe Kauman yang dilakukan pertama kali di Yogyakarta setelah diproklamasikan di Jakarta. Kedua, Yogyakarta adalah daerah yang paling siap dari segi politik, sosial, ekonomi, dan keamanannya3.
2. Pengakuan Wilayah Indonesia secara De Facto pada Perundingan Linggarjati, 1946-1947
1 www.berpendidikan.com/2015/09/hasil-sidang-ppki-tanggal-18-agustus-1945.html Diakses tanggal 6 Oktober 2016 pukul 19.38
2 Wiharyanto, A. Kardiyat. Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu 2009.(Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma 2011), halaman 35
Sebelum dilakukannya Perundingan Linggarjati, atas insisatif Inggris diadakanlah Perundingan di Hooge Velowe, Belanda. Perundingan di Hooge Velowe merupakan kelanjutan dari pembicaraan yang telah disetujui oleh Sjahrir dan Van Mook pada 27 Maret 1946. Dalam perundingan tersebut, Indonesia menuntut pengakuan secara de facto
atas Jawa, Madura, dan Sumatera. Namun, Belanda hanya mengakui Jawa dan Madura saja. Akhirnya, perundingan ini tidak menemukan titik temu, tetapi Van Mook berusaha memberikan usulan kepada Indonesia walaupun pada akhirnya Indonesia tidak menerima usulan tersebut karena dianggap merugikan bagi pihak Indonesia, berikut usulan yang dikemukakan oleh Van Mook:
a. Belanda mengakui Republik Indonesia sebagai bagian dari negara persemakmuran
(gemeennebest) yang berbentuk federasi.
b. Indonesia menjadi negara Persemakmuran seperti Nederland Suriname dan Curacao yang merupakan bagian dari Kerajaan Belanda.
c. Belanda mengakui wilayah Indonesia secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatera4.
Tidak ditemukannya kesepakatan dalam Perundingan Hooge Velowe, maka pihak sekutu tetap ingin menyelesaikan permasalahan antara Indonesia dan Belanda melalui perundingan. Kemudian, sekutu berhasil mempertemukan kedua belah pihak pada tanggal 7 Oktober 1946 di Kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Hasil dari kesepakatan ini adalah:
a. Mengadakan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda.
b. Membentuk Komisi bersama Gencatan Senjata untuk melaksanakan masalah teknis dalam pelaksanaan gencatan senjata.
c. Menyusun kembali perundingan antara Indonesia dan Belanda5.
Setelah disetujuinya kesepakatan mengenai gencatan senjata tersebut, maka diakanlah Perjanjian pada tanggal 10 November 1946 di Linggarjati, Cirebon untuk mencapai kesepakatan dalam bidang politik antara Indonesia dan Belanda. Berikut hasil dari Perjanjian Linggarjati:
a. Belanda mengakui Indonesia secara de facto dengan wilayah kekuasaannya yang meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Paling lambat 1 Januari 1949, Belanda sudah harus meninggalkan daerah-daerah yang telah diakui tersebut.
b. Belanda dan Indonesia bersama-sama akan membentuk Republik Indonesia Serikat, yang salah satu negara bagiannya adalah Republik Indonesia.
4 Kakakpintar.com/penjelasan-isi-perundingan-hooge-veluwe-dan-perundingan-linggarjati/ Diakses pada 7 Oktober 2016 pukul 10.08
c. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda yang diketuai oleh Ratu Belanda.6
Kedudukan Perjanjian Linggarjati diperkuat dengan adanya pengakuan secara de facto dari Inggris dan Amerika, serta perjanjian ini baru ditandatangani pada tanggal 10 November 19477
3. Dirugikannya Indonesia Akibat Persempitan Wilayah dalam Perjanjian Renville, 1947-1948
Banyaknya perbedaan tafsir antara Belanda dan Indonesia mengenai Perjanjian Linggarjati menyebabkan terjadinya Agresi Militer Belanda I yang dilakukan pada tanggal 21 Juli 1947 pukul 00.00. Agresi Militer Belanda I tersebut menimbulkan kecaman dari dunia internasional terhadap Belanda. Kemudian, pada tanggal 17 Januari 1948 diadakan Perjanjian Renville yang mengakui wilayah Indonesia secara de facto atas Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, serta ditetapkannya pula garis batas antara daerah Indonesia yang bebas dari Agresi Militer Belanda I (Demakrasi Van Mook) dan daerah Indonesia yang diduduki Belanda (Quo Renville).8 Dari perjanjian tersebut, disebut pula bahwa
sebelum Negara Indonesia Serikat (NIS) terbentuk, kedaulatan atas Indonesia masih ditangan Belanda. Dari Perjanjian Renville tersebut, dicatat pula kelapaan dan kekeliruan kebijaksanaan negara terhadap kesanggupan strategis sebagai berikut:9
“Pada akhirnya toh mereka serang juga ibukota Yogyakarta dan Bukittinggi. Setelah melalui ‘Renville’ dapat mengepung daerah Republik yang kecil itu baik militer, maupun politik dan ekonomis. Untuk sekian kalinya diplomasi gagal dan Presiden kita terpaksa menyerah. Namun, perjuangan gerilya dapat menggagalkan keamanan musuh untuk pembangunan politik dan ekonomisnya, bahkan kita memasukkan pasukan gerilya yang kuat ke daerah-daerah yang kita lepaskan sebagai akibat ‘Renville’, seperti Jawa Barat, ujung timur Jawa Timur, dan lain-lainnya” (Nasution, A.H, 1991:11)
4. Pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dan Upaya Pengembalian Ibukota Yogyakarta, 1948-1949
Belanda melanggar Perjanjian Renville dengan melakukan Agresi pada tanggal 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Agresi Militer Belanda II ini menyebabkan Seokarno-Hatta, Sjahrir, dan beberapa tokoh lain ditangkap oleh Belanda, alasan dari tindakan
6 Kakakpintar.com/penjelasan-isi-perundingan-hooge-veluwe-dan-perundingan-linggarjati/ Diakses pada 7 Oktober 2016 pukul 10.24
7 Wiharyanto, A. Kardiyat. Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu 2009.(Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma 2011), halaman 57
8 Wiharyanto, A. Kardiyat. Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu 2009.(Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma 2011), halaman 61
mereka yang membiarkan dirinya ditangkap adalah adanya harapan bahwa Belanda akan mengalami kekalahan dalam bidang politik karena opini dunia internasional akan tersinggung terhadap tindakan Belanda.10 Agresi ini menyebabkan jatuhnya ibukota
Yogyakarta. Akibat jatuhnya Yogyakarta, maka dibentuklah Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra yang dipimpin oleh Syarifudin Prawiranegara.
Dilanggarnya perjanjian dalam Komisi Tiga Negara (KTN) oleh Belanda mengenai gencatan senjata telah membuat Dewan Keamanan (DK) PBB bertindak pada tanggal 28 Januari 1949 dengan dikeluarkannya resolusi agar Belanda dan Indonesia mengadakan gencata senjata. Namun, Belanda menolak resolusi tersebut dengan alasan bahwa Indonesia sudah tidak lagi memiliki kekuatan dan dianggap tidak ada.
Oleh karena itu, atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang mendengar berita tersebut, maka diadakanlah rapat rahasia dengan hasil dilakukannya Serangan Umum 1 Maret 1949. Dari serangan tersebut, Yogyakarta berhasil menunjukkan bahwa Pemerintahan RI masih ada, serta Dewan Keamanan PBB memerintahkan Belanda untuk meninggalkan Yogyakarta dan Indonesia. sehingga, kedaulatan RI dapat ditegakkan dan ibukota negara kembali ke Yogyakarta pada 29 Juni 194911
5. Penyerahan Kedaulatan RI dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), 1949-1950
Pada tanggal 1 Agustus 1949 diumumkanlah gencatan senjata yang mulai berlaku pada tanggal 11 Agustus 1949 di Jawa dan 15 Agustus 1949 di Sumatera. Akan tetapi, tetap ada beberapa wilayah yang bergolak, seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan Jawa Barat karena dalam proses menghadapi perlawanan dari pasukan liar daerah setempat.12
Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diadakan pada tanggal 23 Agustus-2 November 1949 telah memberikan banyak konsesi-konsesi yang sulit bagi Indonesia, yaitu Belanda tetap mempertahankan kedaulatan Papua sampai ada perundingan lebih lanjut yang membahasnya, serta adanya tanggung jawab yang harus dijalani RIS berupa tanggungan hutang sebesar 4,3 miliar gulden atas biaya yang dipakai Belanda dalam usahanya menumpas Revolusi.13 Kemudian, pada tanggal 27 Desember 1949, secara resmi
Belanda menyatakan bahwa diserahkannya kedaulatan atas Indonesia kepada Republik
10 Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. (Jakarta: Serambi 2008), halaman 484
11 Wiharyanto, A. Kardiyat. Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu 2009.(Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma 2011), halaman 67
12 Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. (Jakarta: Serambi 2008), halaman 487
Indonesia Serikat (RIS) sebagai negara yang merdeka dan berdaulat penuh tanpa syarat. Penyerahan kedaulatan selambat-lambatnya dilakukan 30 Desember 1949 setelah diratifikasi parlemen kedua negara. Sementara itu, masalah Irian Barat dibahas setelah satu tahun penyerahan kedaulatan.14Setelah Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia, maka
pada 28 Desember 1949 ibukota negara dikembalikan ke Jakarta. Proses perubahan RIS ke NKRI dimulai dari Negara Pasundan, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura. Hingga akhir Maret 1950 hanya Kalimantan Barat, Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur (NIT) dan RI yang telah diperluas. Lalu ketiga negara tersebut sepakat untuk kembali ke NKRI.
6. Pemekaran Wilayah pada Masa Percobaan Demokrasi Pertama, 1950-1957
Disamping banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi berbagai pemberontakan dan jatuh bangun kabinet pada masa percobaan demokrasi pertama (1950-1957)15, Indonesia juga melakukan pemekaran
wilayah. Pemekaran wilayah dalam masa percobaan demokrasi pertama ini lebih banyak dilakukan diluar Jawa, karena memiliki geografis wilayah yang lebih luas. Data pemekaran wilayah di Indonesia pada masa percobaan demokrasi pertama dapat dilihat sebagai berikut:16
TAHUN DAERAH INDUK DAERAH PEMEKARAN
1950 Provinsi Sumatera Sumatera Utara (termasuk
Aceh)
Sumatera Tengah Sumatera Selatan
1956 Provinsi Kalimantan Kalimantan Barat
Kalimantan Selatan Kalimantan Timur
1957 Provinsi Sumatera Tengah Jambi
Riau
Sumatera Barat
14 Wiharyanto, A. Kardiyat. Sejarah Indonesia dari Proklamasi sampai Pemilu 2009.(Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma 2011), halaman 70
15 Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. (Jakarta: Serambi 2008), halaman 493
16 Nunik Retno Herawati. Pemekaran Daerah di Indonesia. Ejournal Undip 2013, halaman 2-3 melalui
Provinsi Sumatera Utara Daerah Istimewa Aceh
7. Pemekaran Wilayah pada Masa Demokrasi Terpimpin, 1957-1965
Dalam masa demokrasi terpimpin (1957-1965), beberapa wilayah di Indonesia juga mengalami pemekaran yang dapat disebutkan sebagai berikut:
TAHUN DAERAH INDUK DAERAH PEMEKARAN
1959 Provinsi Sunda Kecil Bali
Nusa Tenggara Timur (NTT) Nusa Tenggara Barat (NTB) Provinsi Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah
1960 Provinsi Sulawesi Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
1963 Irian Jaya masuk ke
Indonesia
1964 Provinsi Sumatera Selatan Lampung
Provinsi Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Provinsi Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara
Disamping pemekaran wilayah dari beberapa provinsi di Indonesia, dalam masa demokrasi terpimpin ini Indonesia juga melakukan perluasan wilayah perairannya sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 yang dilatarbelakangi oleh Ordonantie 193917 yang menetapkan bahwa jarak laut teritorial bagi
tiap-tiap pulau sejauh tiga mil. Akibatnya, wilayah laut Indonesia menjadi terpecah-belah sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Djuanda karena menciptakan rongga-rongga atau kantong-kantong dalam wilayah laut Indonesia yang mengakibatkan berlakunya hukum laut internasional dan lalu-lalangnya kapal-kapal asing18. Kemudian lahirlah
gagasan untuk mengubah Ordonantie 1939 dan merombak hukum laut warisan kolonial yang secara nyata tidak dapat menjamin keamanan wilayah Indonesia.
17 Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie 1939 merupakan ketetapan hukum yang diakui secara internasional mengenai wilayah laut
Dalam deklarasi tersebut, disebutkan pula bahwa batas teritorial Indonesia yang sebelumnya tiga mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau di Indonesia ketika air laut surut. Dengan begitu wilayah laut di Indonesia tidak lagi memisah-misahkan bagian dari negara, tetapi mempersatukan.