• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketahanan dan strategi pertahanan Indone

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ketahanan dan strategi pertahanan Indone"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Final version, as of 24 Mei 2016

Ketahanan dan strategi pertahanan Indonesia

menuju Negara Wibawa 2045

Kusnanto Anggoro

[email protected]

Pendahuluan

2045 adalah tahun penting. Seratus tahun Indonesia merdeka. Pada tahun itu diharapkan Indonesia benar-benar menjadi negara bedaulat, dan mudah-mudahan juga perkasa dan berwibawa sebagai negara bangsa (nation state) maupun sebagai pelaku sejarah di kancah internasional. Tujuh puluh tahun setelah merdeka (2015), semua itu masih menjadi cita-cita. Gema Indonesia di percaturan internasional mengalami pasang surut, begitu pula dengan wibawa negara di wilayah nasional yang kerapkali masih terganggu dengan berbagai riak separatisme. Diplomasi dan pertahanan, saudara kembar dalam menjaga kedaulatan dan kewibawaan negara, kerapkali lebih menjadi instrumen untuk menjelaskan persoalan-persoalan internal daripada sebagai instrumen untuk menebar wibawa. Perubahan-perubahan eksternal yang terjadi, baik dimasa lalu, kini maupun di masa depan, dipastikan akan mempengaruhi bagaimana tanggapan strategis (strategic responses). Begitu pula halnya dengan penataan politik dalam negeri, mulai dari kemampuan untuk konsolidasi kebangsaan maupun optimalisasi kinerja pemerintahan yang efektif dalam kerangka demokratik.

Dua asumsi melatarbelakangi tulisan ini. Pertama adalah bahwa kekuatan lunak (sof power, termasuk diplomasi dan pendekatan kesejahteraan) tentu memainkan peranan penting dalam. Namun soft power tak pernah berdiri sendiri. Mereka hanya dapat efektif kalau ditopang oleh hard power (kekuatan militer). Apalagi diplomasi sendiri kerap diyakini tak lebih dari the first line of defense, sehingga dalam keadaan mendesak tidak mustahil kekuatan senjata pada akhirnya digunakan. “You may be not interested in war, but war may be interested in you”, seperti dikatakan Leo Tolstoy, yang menamsilkan betapa suatu negara hanya bisa menghadapi, bukan menolak, perang. Kedua, ketahanan lebih dikaitkan dengan kapasitas untuk bertahan dan bangkit (ability to bouncing back) yang bertumpu pada kekuatan cadangan (redundancy) tetapi paling jauh bermuara pada penangkalan pasif, bukan kemampuan gelar kekuatan yang dibutuhkan dalam penangkalan aktif.

Kondisi pertahanan keamanan Indonesia saat ini

(2)

negara bangsa, dan persaingan Amerika-Soviet di tengah bentangan Perang Dingin memainkan peranan penting. Sama seperti akhir 1940an, elit politik Indonesia pada awal 1960an amat risau pada “penegakan kedaulatan”.

Kedaulatan politik atas wilayah yang dijanjikan dalam KMB (Konferensi Meja Bundar) menjadikan elit politik memiliki kepaduan cita-cita itu mampu mengkonsolidasikan sumberdaya negara untuk memperkuat pertahanan negara. Kecemasan Soviet pada Marshall Plan di penghujung 1940an atau polaritas Timur-Barat antar kedua negara adidaya yang mulai terpolarisasi dengan silang-selisih Peking-Moskwa pada awal 1960an memberi ruang mannuver bagi diplomasi. Dukungan Amerika yang menjelang KMB berhasil menghimpit Belanda di meja diplomasi seakan-akan diulang secara terbalik dengan dukungan senjata Soviet untuk merebut Irian Barat, masing-masing harus ditebus dengan suasana politik yang runyam – gejolak kedaerahan pada tahun-tahun 1950an dan kontestasi ideologi pada awal 1960an.

Pemerintahan Orde Baru memusatkan perhatiannya pada konsolidasi ekonomi dan politik dalam negeri. Ancaman komunisme dan runtuhnya bangunan ekonomi nasional tahun-tahun sebelumnya menempatkan pembangunan kekuatan militer bukan prioritas utama. Keterlibatan tentara dalam politik menyebabkan TNI lebih hirau pada ancaman disintegrasi ideologi dan politik nasional daripada pertahanan negara. Mereka pula yang merancang seluruh rancang bangun politik, ekonomi dan diplomasi Indonesia. Stabilitas politik disangga melalui politics of fear dan kehadiran Babinsa di seluruh persada Nusantara. Kekuatan militer Indonesia dipandang cukup sejauh memenuhi fungsi pengamanan internal. Senjata-senjata perkasa pada tahun 1960an pada akhirnya uzur dimakan umur, ketika pada akhirnya pemerintahan Orde Baru harus tumbang pada akhir 1990an.

Satu setengah dasawarsa reformasi pertahanan (1999-2015), kekuatan militer Indonesia kembali menguat – sekalipun dirancang secara moderat hanya untuk memenuhi kebutuhan kekuatan minimal (minimum essential forces). Embargo Amerika yang diberlakukan setelah huru-hara Timor Timur melemah, meskipun sebagian besar diantaranya sekedar untuk memenuhi doktrin perang melawan teror (war on terror) setelah tragedi 911 dan oleh karenanya lebih banyak dinikmati POLRI daripada TNI. Anggaran pertahanan meningkat hampir 1000 persen dalam rentang waktu 15 tahun itu, sekalipun tetap tidak melebihi 1% dari pendapatan nasional kotor (GNP).

Berdasarkan ukuran-ukuran tertentu, misalnya Global Fire Power, peringkat kekuatan militer Indonesia meningkat dari tahun ketahun, mencapai tingkat ke 12 pada tahun 2015, tiga peringkat lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya. TNI juga memainkan peran yang semakin besar dalam misi-misi perdamaian internasional – sekalipun pada umumnya terbatas pada fungsi “menjaga perdamaian” (peacekeeping), termasuk pengamanan pemilu di beberapa daerah pasca conflict, daripada “menciptakan perdamaian (peace enforcement) seperti pernah dimainkan Indonesia di Congo (1960an) dan Sinai (1970an). Di dalam negeri, kekuatan TNI dipandang cukup sepadan karena keharusan politik bukan karena kebutuhan militer untuk menyangga politik negara.

(3)

“buntung” ketika ruang kemerdekaan itu menjadi pertarungan yang tidak terbuka, dan sebagian diantaranya menjadi isu ketahanan nasional daripada pertahanan nasional.

Kedaulatan negara menjadi isu yang jauh lebih kompleks, khususnya karena Indonesia merupakan negara kepulauan (archipelagic state). Mempertahankan dan melindungi kuasa dan wibawa di dalam wilayah nasional hanya merupakan sebagian saja dari apa yang seharusnya dibela, diperjuangkan dan dibina. Ketergantungan besar, dan akan semakin besar, pada perairan internasional sebagai konsekuensi dari interdependensi perdagangan dunia menyebabkan Indonesia perlu kemampuan untuk menjangkau kawasan ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut dari garis-garis terluar. Sebagai negara pihak dalam UNCLOS, Indonesia dihadapkan pada kemungkinan untuk menggunakan sumberdaya kelautan dan maritim tetapi juga dihadapkan pada kerawanan sea lanes of communication dan corong-corong laut dari berbagai bentuk tantangan termasuk lalu lalang kapal selam nuklir, intrusi tak terkendali, dan keselamatan pelayaran laut dan udara. Kedaulatan wilayah tidak lagi dapat ditafsirkan hanya sebagai hak untuk menguasai dan tangungjawab untuk melindungi wilayah nasional melainkan juga hak untuk memperoleh jaminan atas akses.

Tentu, itu bukan perkara mudah. Pertahanan negara harus mampu menjadi pilar utama bagi penangkalan (deterrence) maupun jaminan (assurance) atas kedaulatan itu. Kekuatan pertahanan harus ditempatkan dalam konteks. Ukuran kuantitatif penting, tetapi tidak mencerminkan realitas, apalagi jika ukuran itu sekedar bersifat statis seperti jumlah pasukan per penduduk, jumlah pesawat/kawasan dll sekalipun ukuran itu tentu mencerminkan sesuatu dan dapat mejadi salah satu ukuran kekuatan tempur. Peringkat Indonesia, seperti antara lain disinyalir oleh Global Fire Power seperti dikutip di atas, boleh jadi memang sudah cukup meyakinkan pada tataran komparatif tetapi tidak mencerminkan kebutuhan Indonesia sebagai negara kepulauan, khususnya ketika force-to-area rasio memang jauh lebih kompleks dibanding negara-negara kontinen.

Jika dilihat kebih cermat, kekuatan relatif Indonesia amat tergantung dengan siapa dibandingkan dan model pembangunan kekuatan militer negara itu. Di Asia Tenggara saja, tidak seluruh force element Indonesia lebih unggul, bahkan jika dibandingkan dengan Vietnam dan Malaysia yang seperti Indonesia juga mengembangkan kekuatannya berdasarkan konsep platform centric. Dalam beberapa aspek, kekuatan militer Indonesia jauh lebih lemah dibanding Vietnam atau negarea anggota ASEAN yang lain. (Lihat Tabel 1). Ukuran kuantitatif itu mungkin menjadi semakin sulit dibandingkan dengan negara tetangga yang lebih mengandalkan pada teknologi, misalnya Singapura dan Australia. Bisa dipastikan jika kekuatan seluruh anggota ASEAN, apalagi Indonesia saja, dibandingkan dengan kekuatan China.

(4)

Dengan kata lain, keselamatan Indonesia semata-mata tergantung karena tidak adanya intensi negara-negara luar itu untuk terjun dalam perang konvensional. Taburan beberapa sorti bom ke sasaran-sasaran kritis, termasuk rantai komando militer dan sasaran strategis, jejaring urat syarat operasi militer kemungkinan besar cukup melumpuhkan Indonesia. Sulit membayangkan hal seperti itu bisa dilawan dengan semangat juang gerilya tradisional.

Menjaga perbatasan darat mugkin tidak menjadi asalah utama, khususnya untuk menghadapi perang konvensional dan dihadapkan pada negara-negara yang memiliki perbatasan darat sepereti Timor Leste, Papua Nugini dan Malaysia. Perbatasan laut dan udara jauh lebih kompleks baik karena kebutuhan untuk memperoleh assurance kepada perairan dan ruang udara internasoinal tetapi juga karena fungsi pertahanan matra laut dan udara juga merambah pada isu kedaulatan di laut dan udara, tidak melulu pertahanan matra seperti angkatan darat. Fungsi constabulari (baca: penegakanm hukum, atau penegakan kedaulatan) mejadi jauh lebih kompleks dan penting seiring dengan merebaknya berbagai ancaman transnaisonal seperti terorisme maritim, perompakan dan pebajakan, maupun sekedar memastikan sea lanes of communicationm dan choke points mampu menyangga gerak pertahanan laut dan udara.

Ruang udara adalaah titik lemah lain, khususnya karena pengaturan ruang udara masih dikendalikan oleh Singapura. Keliru besar untuk menganggap pengaturan itu hanya merupakan isu pengelolaan (managerial) dan bukan isu kedaulatan, dan oleh karenanya pertahanan negara. Sejarah menunjukkan bahwa koridor Selat Malaka, Selat Karimata dan perairan Natuna merupakan perbatasan kritis (critical border). Sebagian besar invasi ke wilayah Nusantara di masa lalu memasuki wilayah Indonesia dari perbatasan kritis itu. Selat jalur itu juga merupakan jalur perdagangan paling penting di dunia, dengan nilai lebih dari 5 trilyun dolla pertahun. Rapuhnya penjagaan atas ruang FIR (Flight Information Region) terkait secara langsung dengan pertahanan militer maupun ketahanan perekonomian Indonesia.

(5)

ideologi radikal masih juga akan menjadi salah satu tantangan penting, sekurang-kurangnya sampai tahun 2024 ketika Indonesia diharapkan memenuhi siklus demokratisasi yang stabil dan, oleh karenanya, berhasil membangun persatuan negara bangsa.

Oleh sebab itu dapat dimengerti kalau daerah-daerah itu tetap dinyatakan sebagai daerah rawan konflik atau sekurang-kurangnya yang paling potensial untuk mengancam kedaulatan internal Indonesia. Apalagi rumusan tugas TNI dalam UU 34/2004 yang agak ambiguous, misalnya dalam kaitannya dengan kecenderungan preemtif maupun untuk tujuan-tujuan menyelenggarakan operasi militer selain perang seperti dimaksud dalam pasal 7 UU 34/2004. Dalam perdebatan menjelang perumusan UU TNI 2004, operasi militer selain perang tidak lebih dari sekedar peran tambahan (secondary roles) bagi TNI yang tugas utamanya tetap mempertahankan keutuhan wilayah, kedulatan negara dan ancaman disintegrasi bangsa.

Dalam berbagai pembahasan RUU TNI waktu itu diasumsikan beberapa hal, khususnya: pertama, “kekuatan TNI yang mampu mengatasi berbagai ancaman militer dengan sendirinya dapat pula mengatasi ancaman-ancaman non-militer”; kedua, ancaman militer tidak terjadi setiap saat, berbeda dengan canaman non-militer yang memang dapat terjadi kapanpun, sehingga kekuatan TNI yang tidak digelar untuk menghadapi ancaman militer itulah yang digunakan untuk menghadapi ancaman-ancaman nir-militer. Karena itu pula perlu keputusan politik dalam penggunaan kekuatan TNI untuk tugas-tugas non-militer; dan ketiga, tugas-tugas untuk menghadapi ancaman nir-militer pada prinsipnya merupakan fungsi sipil (civilian function), sehingga reformasi militer dan/atau reformasi militer harus disertai dengan peningkatan kapasitas sipil untuk menghadapi ancaman-ancaman non-militer itu.

Alutsista Indonesia juga sudah meningkat. Sampai tahun 2015, sasaran MEF sudah dicapai sekitar 79%. Dalam sisa waktu sampai 2019 tidak akan terlalu sulit untuk memenuhi 30% sisanya. Namun perlu dicatat bahwa capaian kualitatif agak mengecewakan. Sampai tahun 2014, serapan teknologi persenjataan hanya meingkat 2% saja di matra laut, sedangkan matra darat dan udara justru merosot sebesar 2% dan 4% berturut-turut. Struktur kekuatan militer Indoensia juga sulit diukur besarnya, sbeagian diantaranya karena 70% senjata merupakan senjata-senjata yang telah digelar lebih dari 40 tahun. Diragukan apakah senjata-senjata itu betul-betul dapat berperan secara optimal. Kesiagaan paling tinggi hanya di pasukan-pasukan khusus seperti Kostrad dan Kopassus, sedangkan komando-komando teritorial umumnya hanya memiliki tingkat kesiagaan di bawah 60% saja.

Secara kumulatif, kekuatan tempur Indonesia tampaknya tidak lebih dari 10-15 persen saja dari apa yang digambarkan dalam ukuran-ukuran kuantitatif itu. Keselamatan Indonesia tampaknya hanya terjadi karena pasif deterence, khususnya menghadapi ancaman tradisional; atau karena perang trandisional memang tidak lagi merupakan modus operandi utama dalam percaturan internasional. Kondisi geografis Indonesia yang menyebar susah ditaklukan dalam peperanmgan konvensional.

(6)

operation) atau operasi stabnilisasi (stabilization operation) yang cukup diatasi dengan kemampuan militer pada masa damai (baca: idle capacity).

UU tida cukup memadai, sebagain akrena issu kelengkapan horisontal, mislanya berap abanyak UU yang betul-betul diperlukan untuk mengembangkan sistem pertahanan nasional yang handal, afdaptif, dan responsif; sebagian yang lain karena kelengkapan vertikal, yaitu kelengkapan UU denganm peraturan pelaksanaan. Satu setengah daasawar tidak culkup, hanya tenbtang UU pertahanan negara, tentara, kepolisian negara, penanggulangan tindak poidana terotrisme, penanggulangan bencana, dan industri pertahanan. Belum ada pengaturan tentang rahasia negara, keamanan nasional, dan peradilan militer. Tahun 2014 saja menyaksikan kelambanan penyusunuan struktur dan organisasi TNI yang baru.

Rekam jejak legislasi DPR 2009-2014 merupakan yang paling rendah dibanding periode sebelumnya. Berbagai perundangan, beberapa diantaranya adalah RUU Kamnas dan RUU Komponen Cadangan dan Pendukung, sudah dirancang sejak 2005 dan 2002 berturut-turut dan hingga kini belum ada kepastian apakah itu akan bisa disetujui tahun 2016. Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak banyak menuntaskan reformasi pertahanan Indonesia, sekalipun dalam kepemimpinannya yang kedua memberi ruang lebih besar pada transformasi militer. Nuansa kontestasi politik dalam hubungan antara Mabes TNI dan Kemenhan tidak terlalu tampak, meskipun tidak mudah bagi TNI untuk merumuskan doktrin dan strategi nirmiliter.

Anggaran pertahanan meningkat dari tahun-ketahun, kecuali tahun 2009 dan 2015. Namun besaran anggaran itu tidak nmelebihi 1% saja dari pendapatan nasional kotor (GNP), jauh lebih rendah dibanding semua negara anggota ASEAN, dan tentu tak dapat dibandingkan dengan Australia, China, Jepang ataupun Ameika Serikat. Namun alokasi anggaran tidak cukup ideal, khususnya karena sekitar 68-78.92% masih diserap untuk anggaran rutin. Hampir dipastikan tidak mungkin memperbesar alokasi anggaran untuk pembelian senjata baru tanpa perimbakan radikal struktur kekiuatan militer Indonesia. Rumus teoretik yang moderat -- stabilisation for the army, modernization for the navy and air force – yang pernah muncul pada tahun 2004 pada akhrinya kandas, ketika Menteri Purnomo Yusgiantoro secara resmi mengakhirinya dengan alokasi berimbang masing-masing sebesar 33.3% bagi setiap matra.

Industri pertahanan tidak beranjak. Reformasi industri setrategis yang dikukuhkan dalam UU Industri Pertahanan (2012) membawa isyarat penting, khususnya terkait dengan dukungan keuangan negara, komitmen pengguna, dan alih teknologi. Namun dalam kenyataannya UU tidak cukup menyelesaikan berbagai masalah. Semangat nasionalisme tak mudah ditegakkan ketika pasar senjata begitu eksesif dan membeli relatif lebih mudah dibanding dengan memproduksi. Lemahnya pasar domestik, sebagian karena permintaan sebagian yang lain karena rigidfitas asal asul sumber pasokan senjata, menyebabkan industri pertahanan selalu disudutkan oleh keharusan untuk memenuhi economic of scale; dan persoalan itu hanya dapat diatasi dengan ekspor. Sementara ekspor persenjataan Indonesia bisa saja meningkat, namun tidak cukup untuk menutup kelangkaan modal. Tingkat penguasaan industri dan pasar belum seperti apa yang dicapai poleh industri pertahanan yang bersifat global supply chain atau niche technology.

(7)

semakin baik. Sampai tahun 2014, harmoni Mabes TNI-Kemenhan dapat dijaga, terutama dengan membatasi civilian over-reach, kehadiran perwira aktif TNI di lebih dari 90% jabatan struktural Kemenhan, ataupun orientasi kesejahteraan pada pergeseran alokasi anggaran.

Faktor strategis yang mempengaruhi

Tujuh puluh tahun Indonesia merdeka dihadapkan pada perubahan lingkungan eksternal dan internal yang amat kompleks. Sebagian perubahan itu memberi ruang yang lebih besar bagi optimisme bahwa Indonesia akan berhasil menapak keberhasilan. Sebagian yang lain memberi isyarat betapa kendala tidak dengan mudah dapat diatasi.keberhasilan untuk mendayung di antara dua persoalan besar itu akan menentukan nasib apakah Indonesia pada akhirnya akan berhasil memperingati 100 tahun Indonesia merdeka dengan menegakkan dada, menghentakkan kaki, dan menggelorakan semangat nusantara.

Perjalanan sejarah dalam 70 tahun belakangan ini menunjukkan betapa pertahanan negara tidak kebal terhadap komplikasi neksus eksternal-internal (external-internal nexus). Pada tataran eksternal fenomena yang paling penting adalah berakhirnya Perang Dingin di penghujung 1980an yang kemudian disusul dengan universaliasi nilai-nilai dmeokrasi, hak asasi manusia dan pemerintahan demokratik. Tumbangnya Uni Soviet juga menjadikan Amerika hadir tanpa pesaing sehingga Indonesia tidak dapat memainkan adidaya satu terhadap yang lain seperti pada awal 1960an. Dominasi diskursus “ekonomi global” dan/atau ancaman transnasional tampaknya juga akan meminimalisasi intensi penggunaan kekuatan militer secara langsung untuk menyelesaikan persoalan antar negara, selain menggeser modalitas operasi militer pada operasi non-tempur.

Pada tataran domestik, demokratisasi membuka ruang yang lebih baik untuk menata ulang hubungan sipil-militer, pola relasional negara-masyarakat, dan hubungan yang lebih non-kolonialistik antara pemerintah pusat dan daerah. Namun demokratisasi itu juhga hadir di tengah peneguhan nilai-nilai demokratik. Tidak mudah menegakkan demokrasi sebagai satu-satunya aturan main (democtracy is the only game in town) seperti ditulis Guilermo O’Donell. Teramat sulit menjaga kendali stabilitas antara pluralisme dan multikulturalisme, terutama di tengah pengutamaan arus politik identitas. Semakin dominannya teknologi informasi membangun global village, virtual world, atau istilah apapun yang pada dasaranya memperkokoh demonstration effect apa yang terjadi di belahan dunia lain memiliki konsekuensi pada tataran dalam negeri.

Tingkat vulnerabilitas Indonesia menjadi semakin tinggi dari waktu ke waktu. Begitu pula halnya dengan ketidakterdugaan (unpredictability). Pada tatarahn internasional itu sekurang-kurangnya terdapat tiga perubahan penting di Asia Timur dan Tenggara. Pertama adalah unilateralisme Amerika Serikat dan dominasinya pada penataan arsitektur keamanan regional.. Dalam usianya yang sudah melebihi dua dawarsa, ARF (ASEAN Regional Forum) tidak berhasil secara signifikan menggeser agenda confidence building measures menjadi kerjasama multilateral yang lebih berarti, misalnya preventive diplomasi dan, apalagi, approaces to conflict resolution. Fokus pada kawasan panas, misalnya Semenanjung Korea, dengan sendirinya menggeser prioritas keamanan di Asia Tenggara. Laut China Selatan tidak merrupakan agenda utama Amerika, kecuali pada tataran yang relatif moderat lemah untuk sekedar menyuarakan kepenitngan kemerdekaan pelayaran (freedom of navigation).

(8)

tradisional. Bersama dengan globalisasi penadbiran keamanan yang demokratik (global democratic security govertnance), multilateralisme ekonomi dianggap sebagai pengerak utama kemajuan global dan sekaligus menjaga agar penggunaan senjata dalam kehidupan antar bangsa dapat diminimalisasi. Namun multilateralisme itu pada akhirnya terbatas pada liberalisasi perdagangan dan penyeragaman rejim demokratik, dengan tetap mengecualikan alih teknologi, termasuk tetapi tidak terbatas pada teknologi berkemampuan ganda (dual use technology) seperti nuklir, roket, dan komputer.

Ruang kerjasama internasional dianggap cukup dengan memusatkan perhatian pada operasi militer selain perang, yang memang harus diakui merupakan salah satu ciri humanisasi pertahanan tetapi di lain pihak juga menghambat pembangunan kekuatan pertahanan nasional negara-negara, mungkin dengan perkecualian China yang mampu dan berani melakukan reversed technology maupun operasi intelijen agresif penguasaan teknologi, sekalipun dengan risiko diplomasi.

Harus diakui bahwa kecenderungan-kecenderungan itu memang condong membawa stabilitas (stabilizing), meski stabilitas itu tampaknya terbatas pada tidak adanya perang tradisional secara sistematis dan terbuka. Kecenderungan itu juga memendam bara tak kunjung padam dan rapuh pada munculnya kekuatan baru yang mandiri secara ekonomi maupun militer. Pola perimbangan kekuatan (balance of power) selalu ditandai dengan kerjasama dan persaingan (discord and collaboration). Persepsi negara tentang kekuatan pesaing utamanya akan jauh lebih menentukan dibanding perimbangan kekuatan obyektif. Gebrakan diplomasi China akan ditentukan oleh bagaimana elit politik partai Komunis China memandang tentang Amerika Serikat. Begitu pula sebaliknya, Washington akan bertindak atas apa yang diyakininya sebagai tindakan yang akan dilakukan China.

Sampai penghujung abad 21, tampaknya sebagian elit politik Ameirka masih optimis tentang keunggulannya atas China, sehingga mereka tidak cukup membangun aliansi baru selain sekedar memantapkan alinasi lama, misalnya Jepang, Korea Selatan dan Australia. Kerjasama yang belakangan ini dibangun dengan beberapa negara anggota ASEAN, khususnya Vietnam dan Filipina, terbatas pad akemampuan militer minimum dan terutama ditujukan untuk penegakan hukum (baca: kedaulatan). Kerjasama itu tidak secara langsung memberi opsi militer kepada Vietnam dan Filipina untuk menantang China.

Dengan demikian pembangunan kekuatan militer China tampaknya akan menjadi kunci utama dinamika di Asia Pasifik, khsusnya ketika Amerika Serikat tetap membatasi pada keterlibatan langsung untuk bersitegang dengan China. Memang, defraksi China dengan ideologi globalisme Beijing Consensus, langkah diplomatik dengan bingkai kerjasama ekonomi di Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin memperlunak citra China sebagai kekuatan militer. Namun peningkatan anggaran militer yang konsisten, penataan struktur organisasi pertahanan, dan rumusan strategti yang solid menjadikan China sebagai kekuatan yang nyaris tak terbendung.

(9)

Secara konsisten kebijakan seperti itu telah dianut oleh China sejak awal 1990an. Fokus pembangunan kekuatan militer mereka pada "operasi kontra-intervensi" yang ditopang strategi anti-access/area denial selama 30 tahun terakhir ini mampu mengimbangi, bahkan membendung kapal induk Amerika memasuki perairan China, sekurang-kurangnya tidak sampai menyentuh demarkasi "rantai pulau pertama" (first island chain). Mungkin juga hanya satu dua pesawat tempur canggih Amerika mampu menembus benteng pertahanan udara (Air Defense Identification Zone) yang membentang dari Laut China Timur sampai ruang udara di selatan China. Serangan terbatas seperti itu hampir tidak mungkin membuat China tak-berdaya. Satuan-satuan tempur mereka masih lebih dari sekedar cukup untuk membelenggu Vietnam dan/atau tanker dan kapal dagang Barat yang memasuki wilayah nine-dashed-line.

Bagaimana Indonesia akan dan bisa menempatkan diri secara perkasa dalam konteks hubungan Amerika-China itu tetap menjadi pertanyaan. Politik luar negeri bebas aktif dan belenggu minimum essential forces Indonesia belum menjadi solusi untuk menyangga mimpi Indonesia sebagai negara perkasa, digdaya dan wibawa. Rumus thousand friends, zero enemy” pada masa pemerintahan Susilo bambang Yudhoyono dan fokus pada “diplomasi ekonomi” pada masa Jokowidodo menjadikan pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia setengah hati, disamping kekuatan diplomasi masih dihadapkan pada fragmentasi para “diplomat” yang kini diyakini tidak lagi dimainkan hanya oleh diplomat profesional di bawah kendali Kementerian Luar Negeri.

Pada tataran yang lebih tinggi, strategi nasional tidak dirumuskan secara baik dan benar. Tidak baik karena dirumuskan di tengah ilusi bahwa soft power sudah menggeser hard power, sekalipun sulit mencari contoh sejarah negara berhasil menjadi perkasa dan wibawa yang tidak ditopang oleh kekuatan militer. Tidak benar karena apa yang disebut sebagai “Kebijakan Umum Pertahanhan Negara” yang seharusnya dirumuskan oleh Presiden, pada akhirnya tidak lebih dari sekedar dokumen yang ditandatangani oleh Presiden tetapi dirumuskan secara bpotom-up oleh Kementerian Pertahanan. Akibatnya rancang bangun tentang pembangunan kekuatan pertahanan melulu didasarkan pada pemahaman Kementerian Pertahanan tentang apa yang disebutnya sebagai “keamanan nasional”. Ketidaklengkapan undang-undang, misalnya belum adanya “Dewan Pertahanan Negara” seperti dimandatkan oleh UU No. 3 tentang Pertahahan Negara mungkin merupakan salah satu sebab. Begitu pula halnya dengan tidak adanya garis utama diplomasi Indonesia, lebih dari sekedar program 5 (lima) tahunan pada setiap awal pemerintahan. Namun yang lebih penting adalah kemiskinan dan keberanian untuk menembus dinding ortodoksi, khususnya untuk mengubah orientasi ke dalam mnenjadi ke luar. Entah berapa dalam terpendam gagasan-gagasan besar seperti Cakrawarti Mandala Dwipantara (Kertanegara) dan Sumpah Palapa (Gajah Mada) yang ditopang oleh misi ekspedionari seperti Svarnadwipa Mandala (Sriwijaya), Pamalayu (1275), patroli laut Laksamana Nala (Majapahit), atau pembebasan Malaka dari tangan Portugis oleh Pangeran Sabrang Lor Pati Unus (Demak).

(10)

ikhususnya yang ditandai dengan penggunaan teknologi maju dan ditujukan pada sasaran-sasaran strategis.

Akibatnya, penataan institusional tetap mengidap penyakit non-integratif dan bertumpu pada pembangunan kekuatan sektoral. Kekuatan operasional POLRI memang meningkat dan dipastikan akan terus meningkat tetapi tetap dikaitkan dengan kebutuhan polisi kolonial yang sekaligus menggegam kekuasaan atas ancaman terhadap keamanan umum dan sekaligus keamanan negara, seperti berturut-turut dibingkai dalam KUHP Buku Pertama dan Kedua. Badan Intelijen Negara dan Badan Intelijen Strategis bersinggungan dengan dimensi pengamanan dalam negeri, dan lebih dari itu terlalu hirau pada dimensi preventif sehingga tidak dilengkapi dengan kewenangan operasional untuk penindakan ancaman-ancaman mendesak. Transformasi Bakorkamla menjadi Bakamla meningkatkan otoritas integratif pengamanan laut, tetapi belum dilengkapi dengan kekuatan mandiri yang secara operasional mampu menegakkan hukum laut secara efektif.

Peningkatan kekuatan matra (darat, laut dan udara) berjalan secara natural, yang seperti disebutkan di bagian lain tulisan ini bertumpu pada penignkatan besaran anggaran tanpa diimbangi oleh afirmasi pangalokasian anggaran khususnya untuk pengembangan kekuatan matra udara dan laut. Penguatan fasilitas pendukung menjadi prioritas, misalnya dengan peningkatan kualitas pelabuhan laut dan udara. Peningkatan serapan teknologi kedua matra itu tidak lebih dari 4% saja dalam satu setengah dasawarsa terakhir ini. Jangkauan operasi tidak lebih dari pengawasan dan penginderaan tidak menjangkau penindakan, yang sebagian besar diantaranya terkendala oleh tidak adanya anggaran maupun energi.

Nawacita seperti dijanjikan oleh calon Presiden Joko Widodo tampaknya masih mencari bentuk operasional, sesuatu yang dapat dimengerti mengingat gagasan kepemimpinan Presiden Joko Widodo memang baru berusia satu tahun. Kehadiran negara yang utama memang harus dimulai pada kehadiran pemerataan keadilan ekonomi, pelayanan publik, perlindungan warganegara, dan pengamanan perbatasan. Namun tetap saja semua itu tidak boleh mengabaikan manifestasi dari reorientasi pertahanan negara dari inward looking menjadi outward looking. Diplomasi juga tidak bisa disederhanakan melulu menjadi ajang perjuangan untuk menangguk investasi dan perdagangan. Negara perkasa dan wibawa memerlukan pengembangan kemampuan saudara kembar pertahanan dan diplomasi menjadi instrumen deterrence maupun assurance yang ditopang olehj kekuatan ooperasional yang efektif.

(11)

untuk membangun pangkalan militer di Gwadar (Pakistan), pembangunan air strips di beberapa pulau di Spratly merupakan isyarat bahwa lambat laun kehadiran ekonomi dan investasi China di Asia Tenggara akan dilengkapi dengan kekuatan penjepit untuk mematikan Diego Garcia, Okinawa dan Guam. Karakter diplomasi pertahanan yang selama ini lebih miskin dengan diplomasi preventif menunjukkan betapa accidental war tetap merupakan salah satu kemungkinan yang dapat terjadi.

Persoalannya adalah apakah accidental war yang terbatas itu tidak membawa bencana yang lebih besar, yang melibatkan kekuatan militer China dan Amerika Serikat berikut rekanannya di Asia, termasuk Australia. Sulit untuk memastikan kalau dalam konteks accidental war, yang kemungkinan melibatkan penggunaan teknmologi dan terjadi di palagan laut itu semangat juang dan latihan dasar kemiliteran dapat efektif digunakan. Sulung mlebu geni, Gelatik Nebo, atau Samudera Rob adalah gelar-gelar perang konvensional yang memiliki relevansi paling kecil untuk menghadapi peperangan modern. Hanya Jinantra Sawur dan Jaring Guemelar yang ditopang oleh kesaktian teknologi Pasupati yang dapat memenangkan Barata Yudha.

Itu pula yang kini berada di balik gagasan pembangunan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan dengan harapan agar kekuatan ketiga matra dapai diintegrasi dan disinergikan untuk melakukan operasi mandiri. Namun Indonesia dikejar waktu untuk dapat mewujudkan gagasan itu menjadi satuan-satuan tempur yang operasional. Besaran anggaran harus dipastikan bukan masalah utama. Rencana untuk mencapai anggaran pertahanan 1.5% dari GNP dan mendekati 3% pada akhir 2020an kemungkinan besar tercapai, jika dilihat dari kecenderungan selama ini. Pada tingkatan itu anggaran pertahanan Indonesia masih dapat disebut sebagai anggaran yang legitimate (legitimate budget).

Namun pendekatan klasik itu tidak akan menjawab tantangan kesenjangan teknologi (technological gap), khususnya dengan Singapura, Australia dan China. Mereka adalah negara-negara yang mampu melancarkan serangan “Stuxnet” seperti dilakukan Rusia terhadap Georgia (2007). Menghadapi serangan seperti itu, Indonesia memang tidak akan hancur lumat. Kecil kemungkinan raksasa China sekalipun akan mengirim pasukan pendudukan. Selama Indonesia tidak seperti Afghanistan pada masa Mullah Mohammed Omar atau Suriah pada masa Bashar al Assad, kecil kemugnkinan Amerika Serikat akan mengirim pasukan untuk mengganti rejim di Jakarta.

Ketahanan pertahanan Indonesia selama ini menunjukkan betapa pentingnya kemampuan penyesuaian diri (adjustment); dan lebih penting lagi untuk menetapkan apakah penyesuasian diri itu dilakukan dengan resistensi, preserverance atau transofrmasi. Gelobalisasi ekonomi, kemajuan teknologi, dan interdependesi hanya menyisakan sedikit ruang untuk dua pilihan pertama – resistensi dan preserverance. Satu-satunya pilihan yang tersisa adalah transformasi pertahanan Indonesia.

Proyeksi Ketahanan dan pertahanan Indonesia 2045

(12)

dan aktif sebagai pemimpin Asxia Tenggara. Pertahahan Inodnesia tidak boleh hanya sekedar untuk menjaga kepentingan nasional tetapi juga untuk memelihara stabilitas regional. Indonesia harus mampu mejadi kutu ketiga – di samping Amerika Serikat dan China

Sepuluh sampai limabelas tahun menjelang 2045 akan merupakan tenggat yang amat krusial. Di dalam negeri, akhir 2020an adalah saat ketika demokratisasi sudah mencapai tahapan konsolidasi demokrasi dalam hubungan pusat-daerah maupun antara negara dan masyarakat, sekalipun tidak seorangpun dapat menjawab dengan pasti bagaimana hal itu dapat dilakukan; dan, lebih dari itu, di luar jangkauan tulisan ini untuk membahasanya. Mudah-mudahan saja berbagai kebutuhan tentang dasar hukum, pembangunan institusi, dan penyelenggaraan pertahanan sudah dapat dijalankan sesuai dengan yang diharapkan. Akhir dasawarsa 2020an juga tenggat ketika kemampuan militer Indonesia mencapai penangkalan standar vis-à-vis negara tetangga di Asia Tenggara, sekalipun tentu tidak cukup memadai untuk menghadapi negara-negara raksasa seperti China, India dan Amerika Serikat. Mudah-mudahan saja kemampuan itu disertai denhgan perwujudan yang lebih konkrit tentang stabilitas dalam negeri, sehingga tentara tak lagi dirisaukan, dicemaskan, dan diganggu dengan godaan-godaan memainkan peran stabilitas peran internal – kecuali dalam bentuk civic mission untuk menjaga keselarasan hubungan tentarea-rakyat dan/atau humanitarian mission untuk pemulihan pasca bencana. Apapun alasannya, penguatan kapasitas pemerintahan sipil merupakan salah satu kunci agar tentara dapat memusatkan perhatiannya pada olah krida dan olah yudha.

Kalau harapan itu terpenuhi sekalipun tidak berarti tantangan ketahanan pertahanan nasional menjadi semakin ringan. Pertengahan dasawarsa 2030an, kurang lebih dasawarsa terakjhir menjelang seratus tahun Indonesisa merdeka, merupakan tahun penting, misalnya karena untuk pertama kalinya anggaran pertahanan China akan melebihi anggaran pertahanan Amerika Serikat. Tahun-tahun tersebut juga sekitar 70 tahun modernisasi pertahanan China yang digelorakan sejak akhir 1970an melalui program modernisasi Deng Xiaping yang secara konsisten dijalankan China selama ini. Kemugkinan besar kehadiran militer Amerika di Asia Pasifik masih cukup signifdikan, meskipun tampaknya akan lebih memaksakan burden sharing denhgan rekanan aliansi tradisional Amerika daripada mempertahankan kehadiran sebagai polisi dunia.

(13)

keputusan nasional akan lebih sering terjadi, meskipun tidak pernah diumumkan secara terbnuka karena akan menguak kelemahan sendiri.

Energi dan teknologi akan menjadi pertarungan dan sekaligus kerjasama pada tataran internasional, sekalipun kemungkinan besar mereka akan menjadi sumbu utama pertarungan antara China dan Amerika Serikat berikut aliansinya seperti Jepang, Australia, Korea, dan hingga tingkat tertentu India. Dinamika Laut China Timur akan semakin terkait, dan lebih dari itu akan menjadi asupan utama tentang bagaimana dinamika di Laut China Selatan – yang sekalipun pada waktu itu sudah memiliki Code of Conduct tetap tidak mungkin menghentikan kemungkinan terjadinya konflik antar negara-negara besar. Pertarungan langsung antara Amerika Serikat dan China tampaknya memang tidak menjadi pilihan, bagi Peking maupun Washington. Tak ada skenario perang. Publikasi di Amerika dalam beberapa tahun terakhir ini lebih menandai key drivers tetapi tidak mengidentifikasi China sebagai ancaman militer. Global Trend 2030 yang dipublikasikan oleh National Intelligence Council (2012) dan/atau gagasan intelijen strategis China menunjukkan pola persepsi atau sasaran yang asimetrik (assymetric objectives). Amerika lebih risau pada masalah-masalah keamanan global seprerti energi, pangan dan air – sekalipun kecemasan itu lebih terkait dengan wilayah lain, bukan wilayah nasional Amerika kecuali belahan Barat Daya berbatasan dengan Meksiko.

Pola pemikiran ini masih menunjukkan keinginan Amerika untuk tetap memainkan peranan global. Asian Pivot atau Asian Rebalancing yang diluncurkan beberapa tahun silam hanyalah merupakan salah satu strategi awal saja dari pola gelar pengaruh Amerika di Asia Pasifik. Betapapun Amerika harus tetap membagi perhatiannya atas Eropa dan Asia. Mundurnya dinamisme Eropa tidak menyurutkan perhatian Amerika, khususnya karena kegagalan penemuan jatidiri Eropa Bersatu dan bangfkitnya kembali nasionalisme Russia. Isyarat Moscwa tentang patriotic disney land, penggunaan milisia untuk melatih semangat belarusia remaja Russia, maupun kecenderungan Tsarist pemimpin Rusia hanyalah sebuah konsekuensi logis dari sebuah negara dengan cita-cita bnesar yang ditopang oleh keagungan sejarah dan kemampuan senjata.

Bersamaan dengan itu kecil kemungkinan China dapat secara signifikan menanamkan pengaruhnya secara signifikan di Amerika Latin dan Karibia yang secara tradisional merupakan wilayah pengaruh Ameirka Serikat. Karena itu China akan tetap melanjutkan konsolidasi politik teritorialnya untuk mengembalikan kejayaan Kerajaan-Tengah (Middle Kingdom). “Enam medan laga China dalam 50 tahun mendatang” (Six Wars China is sure to fight in the next 50 years,中國未來50年裡必打的六場戰爭, sebuah tulisan di koran pro-partai komunis Wenweipo (8 Juli 2013), mengukuhkan jejak itu. Medan-medan laga itu adalah pendudukan Taiwan (2020-2025), Spratly (2025-2030), Tibet Selatan (2035-2040), Senkaku dan Riukyu (2040-2045) – dan baru setelah itu sebagian ditepian Sungai Ussuri (yang berbatasan dengan Russia (2045-2050).

(14)

Persoalannya adalah bagaimana pertarungan diplomatik dua raksasa itu akan mempengaruhi dinamika Laut China Selatan. Asia Tenggara akan semakin bersatu secara ekonomi, politik dan sosial meski tetap menyisakan integrasi dari segi militer (keamanan). Kekuatan militer ASEAN secara bersama tidak mungkin mengimbangi kekuatan China. Sekurang-kurangnya sampai tahun 2040, ketika China mengawali upaya militer untuk meningtegrasikan Senkaku dan Riukyu, skenario yang paling mungkin adalah non-war antara China dan Amerika Serikat. Kejengahan masing-masing pihak untuk perang secara langsung menyebabkan ketegangan tak kunjung henti tetapi tidak berekskalasi menjadi perang terbuka.

Menarik untuk disimak bahwa rentang waktu 2030-2035 China tidak merancang pertempuran untuk konsolidasi politik teritorial di wilayah Kerajaan Tengahynya. Limapuluh tahun modernisasi pertahahan China (1980-2030), dua dawarsa sebelum China berhasil memancang tonggak cita-citanya sendiri (2050), tampaknya dipandang sebagai perubahan besar di China. Hadirnya elit politik yang lebih globalis, tetapi sekaligus juga condong mengutamakan kekuatan diplomasi, tampaknya menjadi salah satu faktor yang meredam ambisi imperialisme China pada periode itu. Gugatan yang lebih militeristik baru akan dimulai setelah konsolidasi rejim yang pada waktu itu diwakili oleh generasi 1980an. Pengekangan diri China dan keterbatasan Amerika itu menempatkan Indonesia seakan-akan Sriwijaya atau Majapahit yang pad aabad ke6-14 mampu by default memanfaatkan pertarungan pengaruh India dan China untuk memperkokoh wilayah pengaruhnya sendiri di Asia Tenggara. Berbeda dengan operasi pembebasan Malaka oleh Pangeran Sabrang Lor (1621) pada masa Demak atau Ekspedisi Pamalayu (1275) pada masa Kertanegara Singashari, peran Indonesia menjadi tulang punggung stabilitas Asia Tenggara akan memperoleh “restu” dari negara-negara besar seperti China dan Amerika Serikat.

Secara natural apa yang dianggap sebagai kepentingan Indonesia pada waktu itu memang tidak bisa hanya terbatas pada mempertahankan dan melindungi wilayah dan sumber daya nasional maupun akses kepada perairan internasional. Kepentingan itu harus juga memasukkan ke dalamnya unsur-unsur yang lebih abstrak seperti “wibawa” dan “prabawa”. Dimensi kepemimpinan regional akan jauh lebih menonjol dibanding kekuatan pertahanan militer, tentu dengan asumsi bahwa kebutuhan penangkalan standar memang sudah dipenuhi pada akhir 2020an atau skurang-kurangnya awal 2030an. Tantangan ketahanan nasional dari pertahanan negara Indonesia pada waktu itu, katakanlah 2025-2035, mengalami transformasi yang luar biasa, yaitu peneguhan jati diri Indonesia sebagai negara berwibawa.

Perjalanan sejarah Indonesia pada periode 1945-1965 dan 1965-2005 menunjukkan betapa segitiga Clausewitz “rakyat-tentara-pemerintah” memainkan peranan penting – apakah segitiga itu dibaca sebagai segitiga emosi-kesempatan-rasionalitas (reasons), komponen cadangan-komponen utama-mobilisasi, ataupun sekedar semangat-pertahanan-diplomasi. Manuver diplomasi merupakan jantung segitiga strategis Indonesia selama dua puluh tahun pertama kemerdekaannya, dengan Presiden Sukarno sebagai pembangun dan penggelora cita-cita bangsa dan negara. Konsolidasi politik dan pembangunan ekonomi, yang pada akhirnya menampilkan diri dalam sosok penguatan tatanan domestik merupakan kunci pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan perwira murah senyum (the Smiling General) Suharto. Satu setengah dasawarsa pasca Orde Baru masih mencari bentuk, sampai Joko Widodo menawarkkan Poros Maritim pada tahun 2014.

(15)

memang merupakan slaah satu ciri paling penting dari perjalanan Indonesia sebagai negara bangsa. Kekuatan pertahanan negara tidak pernah menjadi bagian penting dari strategi Indonesia, mungkin dengan perkecualian perang gerilya yang memang harus ditempatkan dalam konteks yang amat khusus – perlawanan melawan kekuatan yang jauh lebih kuat dan sudah berada di medan laga. Penangkalan tidak menjadi fasa penting, karena seluruh kekuatan bersenjata langsung berada di medan laga.

Tujuan politik dari pertahanan (the political objective of war/defense) tidak lebih dari sekedar mempertahankan apa yang kita miliki – sebuah tujuan mulia, etis, dan normatif tetapi tidak memadai ketika rumusan tentang apa yang kita miliki itu sesuatu yang lebih abstrak atau sekurang-kurangnya tidak merupakan ancaman “kematian hari ini”. Salah satu contoh adalah martabat negara dan hak untuk beradulat (sovereign rights) untuk mengelola perairan (dan ruang udara) internasional. Kepemimpinan tarnsformatif dengan gagasan cerdas yang bergema di setiap jantung warganegara merupakan salah satu kelemahan Indonesia terutama sejak awal 2000an.

Tiadanya kepemimpinan transformatif itu terlihat begitu kuat di bidang pertahanan keamanan negara. Begitu susahnya mentransofrmasikan pertahanan Indonesia menjadi sesuatu yang bertumpu pada kemampuan teknologi (termasuk kecerdasan manusia) sebagai pilar ujung tombak kemampuan tempur terutama untuk menghadapi ancaman modern warfare yang memang terjadi di luar ruang perlawanan rakyat. Sama susahnya untuk menempatrkan ancaman militer dan nirmiliter pada tataran nasional, misalnya sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Akibatnya konteks pertahanan menjadi kabur, karena sebagian diantaranya merupakan isu ketahanan nasional.

Menghadirkan konsep bentuk ancaman non-agresi dan/atau ancaman hybrid di samping ancaman yang berbentuk agresi, seperti yang tertuang dalam Kebijakan Umum Pertahanan Negara 2014 tidak banyak membantu ketika bentuk-bentuk ancaman itu dibingkai menjadi ancaman terhadap negara bangsa, misalnya separatisme dan terorisme, atau ancaman kedaulatan, misalnya pelanggaran wilayah oleh aktor negara. Istilah agresi dan non-agresi tampaknya perlu diganti dengan istilah lain yang lebih menonjolkan inkonvensionalitas atau asimetri dari sudut penguasaan teknologi atau modalitas operasi untuk memberi ruang pada konsep operasi tempur yang lebih modern.

Di tengah kemiskinan gagasan-gagasan besar, perpaduan antara strategi militer dengan tugas-tugas tentara menimbulkan tidak saja kontroversi politik dalam hubungan negara-warganegara tetapi juga kemiskinan ide untuk menyesuaikan antara karakter sumberdaya nasional yang diperlukan untuk pertahanan negara, dan lebih dari itu, untuk operasi tempur. Tidak terlalu mudah memahami patriotisme dan latihan dasar kemiliteran sebagai poros pertahanan modern menghadapi peperangan masa depan. Sekalipun memberi kontribusi besar pada ketahanan nasional, pembinaan karakter bangsa, maupun semangat juang dalam kehidupan bernegara, patriotisme dan latihan dasar kemiliteran tidak cukup relevan untuk proteksi kekuatan militer yang merupakan strategi untuk pengamanan akses ke perairan dan ruang udara internasional.

(16)

martabat maupun bagi operasi militer untuk menjaga dan memelihara kedaulatan atas akses ke perairan dan ruang udara internasional.

Kemampuan pertahanan yang diperlukan untuk itu adalah minimum kemampuan utuk menerbos blokade laut. Mugkin saja kemampuan TNI AL Indonesia tidak akan pernah mencapai kemampuan proyeksi kekuatan yang memerlukan kapal-kapal induk, melainkan cukup berkemampuan sea-control yang merupakan peningkangtan dari kemampuan sebelumnya: sea assertion dan sea-denial. Tantangan utama tetap terletak pada apakah anggaran pertahanan cukup memenuhi untuk pengadaaan satuan-satuan kapal selam, perangkat anti-kapal selam, helikopter laut dan tentu sistem persenjataan dan perangkat modern yang mengisinya. Kegagalan PT PAL untuk membangun kapal selam ketiga dari Korea Selatan menunjukkan bahwa hingga tahun 2015, kapasitas industri nasional belum mampu menyangga ketahanan kemampuan laut Indonesia.

Strategi pengelolaan pertahanan dan keamanan

Apa yang sudah disampaikan sebelumnya bertumpu pada asumsi bahwa kemampuan pertahanan Indonesia akan mencapai tataran penangkalan standar di penghujung dasawarsa 2030. Kalaupun ada kesenjangan adalah kesenjangan taktis operasional, misalnya antara Indonesia dengan Singapura dan Australia, yang dipercaya tidak akan memulai perang berkepanjangan. China, Amerika Serikat, dan India mungkin saja akan menjadi negara digdaya yang mampu mempersulit pertahanan Indonesia, tetapi dipercaya tidak akan melalui batas-batas invasi dan okupasi. Sekanrio paling buruk adalah tekanan-tekanan politik diplomatik.

Selain itu, konsolidasi demokrasi juga sudah tidak lagi disibukkan oleh masalah-masalah integrasi nasional. Perbedaan pandangan antar kelompok, baik pada dimensi horisontal antar kelompok politik ideologis maupun vertikal antara pusat dan daerah sudah dilaksanakan sepenuhmya melalui mekanisme dan prosedur demokrasi. Seperti Kanada dan Inggris Raya, mungkin saja Indonesia masih dihadapkan pada ketidakpaduan pusat-daerah. Namun, kalaupun ada, hal itu bisa diselesaikan melalui mekanisme demokratik. Sebagai negara majemuk, Indonesia mungkin saja menghadapi tantangan seperti Yugoslavia di masa lalu atau Nigeria. Namun geografi kepulauan tampaknya mampu membendung konflik komunal di Ambon (Maluku) dan Sampit (Kalimantan Tengah) meluas ke Jakarta. Sengketa politik tentu menjadi fenomena normal dalam kehidupan bernegara, selama hal itu tidak mengarah pada penggunaan instrumen kekerasan.

Perbedaan dinamika dalam rentang waktu 2025-2035 dan 2035-2045 adalah pada karakter utama ke dua fenomena di atas. Kalau seandainya siklus koherensi kebijakan dengan perubahan strategis diasumsikan sejalan dengan siklus pemilihan umum, maka 2019/2020 menjadi titik krusial untuk mengawali secara efektif respons strategis pada perkembangan dalam rentang waktu tersebut. Semboyan diplomasi dan intelijens ebagai garis utama dan pertama pertahanan negara memerlukan pad aakhirnya bahwa strategi pertahanan negara dapat diwujudkan dengan pengalokasian sumberdaya militer yang tepat. Fleksibilitas penggunaan instrumen diplomasi atau koersi semata-mata ditentukan oleh dinamika perubahan tingkat kegentingan.

(17)

preventif perlu dimasukkan dalam kajian tentang ketahanan, maka istilah itu melekat menjadi kemampuan memulihkan diri (bouncing back) dan/atau antisipasi, dan tidak sekedar kemampuan untuki menahan derita; kedua, ketahanan lebih bertumpu pada resources seperti redundancy (reserved, spare capacity) daripada kemampuan untuk segelar sepapan.

Karena itu ketahanan di bidang pertahanan keamanan seharusnya melihat berbagai sendi dari kebijakan, strategi, dan pelaksanaan operasional dari kebijakan pemerintah di bidang pertahanan negara. Pemahaman dominan di Indonesia selama ini adalah bahwa ketrahanan nasional perlu dilihat dari 8 gatra – trigatra dan pancagatra yang saling tali menali menjadi satu. Namun tulisan ini berusaha untuk lebih dalam, tidak berpijak dari anggapan bahwa gatra pertahanan negara ditentukan oleh tujuh gatra yang lain (geografi, sumber daya alam dan sumberdaya manusia, ideologi, politik, ekonomi, sosialbudaya), tetapi bahwa ketahanan pertahanan negara secara langsung ditentukan oleh tiga faktor: pertama, kemampuan penyesuaian diri (adjustment capacity) dari kebijakan dan strategi pertahanan nasional. Pilihan penyesuaian itu adalah, antara lain resistensi, preserverance dan transformatif (Gordon, 1978); kedua, redundancy (reserved, atau spare capacity) sumberdaya nasional untuk kepentingan pertahanan negara. Kegunaan utama dari kategori ini adalah untuk memastikan kemampuan sektor pertahanan negara memiliki kapasitas pemulihan diri dari sebuah shock; dan, ketiga, sistemic reliability atau robustness utnuk menghadapi konteks ancaman terhadap pertahanan negara.

Pertanyaan tentang ketahanan pertahanan keamanan disekitar tahun 2045 sesungguhnya tidak bisa dihitung dengan pasti, kecuali sekedar membaca berbagai trend sampai saat ini dan memperkirakan berbagai perkembangan di masa depan, dan bagaimana kapasitas pertahanan nasional, dalam berbagai konstraint yang dimilikinya, mampu melakukan penyesuaian dalam perubahan-perubahan itu. Tabel 2, “wali wolu sanga tinari”, karena hingga kini belum ada kepastian tentang struktur, format dan komposisi elemen reservis yang dapat dimobilisasi untuk menopang kekuatan operasi tempur, menunjukkan secara tentatif bagaimana relasi antar berbagai variabel tersebut dengan ketahanan nasinoal di bidang pertahanan negara.

(18)

Selain itu, tabel tersebut itu merupakan resume dari berbagai fenomena yang sudah disampaikan sebelumnya, bagian paling penting dari tabel tersebut adalah reframing kebijakan, strategi, dan taktik operasi pertahanan yang berkembang selama ini dalam bentuk yang lebih kontekstual dengan perspektif ketahanan pertahanan militer. Secara garis besar, pengamatan sampai tahun ini menunjukkan bahwa kemampuan adaptasi pertahanan keamanan negara cenderung bersifat panarchical, muncul berbagai kontradiksi, atau ketidaktuntasan dlaam transformasi pertahanan maupun militer.

Unsur ketahanan elementer (postur – kekuatan, gelar, dan kemampuan operasional) mungnkin saja cukup untuk mempertahankan keutuhan wilayah dan kedaulatan yang absolut, misalnbya sistem politik negara, tetapi kecil kemnugkinan cukup untuk memperthankan akses ke perairan dan ruang udara internasional. Keberhasilan MEF untuk menutup kesenjangan kuantitatif tidak diikuti oleh adopsi teknologi, sehingga tidak cukup memberi landasan untuk pengembangan kekuatan pada satu atau dua dawarsa berikutnya. Meskipun cukup dapat diandalkan untuk tangguh pada tingkat ASEAN, kecil kemugnkinan jika kemampuan pertahanan Indonesia dapat diperhitungkan di kawasan Asia Pasifik. Indonesia hanya akan mampu menjadi pemimpin di Asia Tenggara berdasarkan restu China dan Amerika Serikat, sebuah kedudukan yang rapuh terhadap perubahan hubungan antar negara-negara besar.

(19)

Perubahan struktur mata anggaran, misalnya dengan menyatukan anggaran untuk pendidikan perwira sebagai bagian dari pendidikan nasional, atau secara umum menafsirkan pengeluaran untukpertahanan sebagai investasi masih akan dihdapkan pada berbagai kontroversi politik. Lemahnya serapan pasar domestik dan kuatnya sentimen restriksi alih teknologi internasional menjadikan industri pertahanan tidak akan mampu menjadi topangan utama pertahanan negara.

Keharusan sistem pertahanan negara dapat menggunakan sumberdaya nasional untuk tujuan pertahanan, menjadi pertanyaan serius. Tidak menonjolnya faktor teknologi menyebabkan komponen cadangan danm pendukung, dalam konstruk pemikiran yang ada saat ini, bermanfaat untuk membangun ketahanan nasional di bidang kehidupan berbangsa tetapi tidak relevan untuk menopang tugas operasoinal tentara modern, yang dihadapkan pada kesenjuangan teknologi dengan negara seperti Singapura dan tak cukup memiliki kemampuan untuk dibandingkan dengan raksasa militer seperti China dan Amerika Serikat.

Kalaupun kemampuan seperti ini dipandang cukup untuk merdeka dan beradulat, tampaknya masih jauh dari kebutuhan untuk memiliki wibawa dalam percaturan internasional. Corak diplomasi pertahanan yang diikuti Indonesia selama ini tentu bermanfaat untuk membangun citra tentara Indonesia sebagai tentara yang bisa berada dalam lingkungan demokratik dan memiliki kemampuan operasional yang handal untuk menebar jangkauan diplomasi militer/diplomasi poertahanan. Namun substansi diplomasi pertahanan yang terutama masih berpusar pada confidence building measures agaknya tidak secara signifikan meningkatkan efektivitas operasi tempur. Sama seperti komponen cadangan, diplomasi pertahanan/militer berhasil memperkuat penangkalan pasif, tetapi tidak secara langsung memberi kontribusi pada kemampuan proyeksi kekuatan tempur Indonesia.

Pada tataran militer, strategi operasional yang diandalkan adalah integrasi kekuatan matra darat, laut dan udara. Rencana pembentukan Komando Gabungan Wilayah Pertahanan merupakan solusi instisional, yang mungkin saja harus menghadapi gtantangan beberapa tahun mendatang. Namun sebagai opsi strategi, tampaknya memang tak ada pilihan lain. Pembagian wilayah Indonesia menjadi tiga mandala (Barat, Tengah dan Tiimur) merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk memperpendek rentang kendali sehingga operasi mandala dapat dilaksanakan dengan satuan tempur mandiri yang berada di mandala itu. Masih menjadi pertanyaan apakah perencanaan pembangunan kekuatan dapat dilakukan. Tidak tertutup kemungkinan, paling lambat tahun 2025 persoalan institusional itu dapat diatasi.

Pada tataran kebijakan strategis, persoalan justru terletak pada lambatnya Kementerian Pertahanan melakukan penyesuaian rumusan strategis. Belenggu untuk bertumpu pada konsep akademis, yaitu militer dan nirmiliter, yang seharusnya, seperti telah disinggung di bagian lain tulisan ini, diberlakukan pada tingkat nasoinal, bukan pada tataran departemental (baca: kementerian). Akan lebih bermanfaat kalau saja Kementerian Pertahanan mentransformasikan konsep militer dan nir-militer itu berturut-turut menjadi tempur dan non-tempur; dengan istilah pertama memusatkan perhatian pada pembangunan kekuatan tempur pertahanan militer dan istiulah kedua merujuk pada diplomasi dan intelijen pertahanan.

(20)

melandasi rumusan dalam UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara adalah “keamanan nasional”, sebagaimana terlihat dari konseptualisasi tentang Dewan Pertahanan Negara dalam pasal 15 UU itu maupun dari judul Rancangan Undang Undang yang sampai tanggal 2 Juni 2001 masih terbaca “Rancangan Undang-undang Pertahanan Nasional”. Dalam kaitan itu, transformasi definisioinal bukan merupakan reduksi fungsi pertahanan negara tetapi justru merupakan kontekstualisasi dengan fungsi pertahanan yang sejati. Baru setelah penafsiran ulang itu dilakukan maka strategi kembar pertahanan dan diplomasi dapat disusun. Entah berapa lama waktu diperlukan untuk itu. Pergantian pemerintahan kerap membawa perubahan struktur pengorganisasian penyelenggara fungsi pemerintahan negara, termasuk lembaga, dinas dan instansi yang melaksanakan fungsi operasionalnya. Pergantian rejim Orde baru menjadi Orde Reformasi menenggelamkan “rakyat terlatih”, sebagai konsekuensi pemisahan “keamanan” dari “pertahanan” yang berturut-turut berada dalam ranah Kepolisian Negara dan Kementerian Pertahanan. Akhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memprakarsai penguatan institusi penegakan hukum di laut dengan mengubah kewenangan koordinatif Badan Koordinasi Keamanan Laut menjadi kewenangan otoritatif Badan Keamanan Laut, sekalipun hingga kini instansi yang disebut belakangan ini masih belum secara operasional efektif.

Sejak sepuluh tahun silam Badan Intelijen Negara (BIN) sudah memiliki kewenangan koordinatif atas intelijen-intelijen negara tetapi baru pada tahun 2011 memperoleh landasan hukum berupa Undang-Undang (UU No. 11/2011). Sekalipun begitu, kewenangan koordinatif itu masih kerap membentur benteng sektoral, terutama karena, menurut Peraturan Presiden No. 10/2010, Panglima TNI memegang kendali atas Kepala BAIS. Hingga saat ini rancangan Peraturan Presiden tentang Struktur dan Organisasi TNI yang baru belum diutandatanjgani Presiden Joko Widodo, sekalipun Rancangannya sudah mengendap di Sekretariat Kabinet sejak kwartal pertama tahun ini.

Tentu cepat atau lambat penataan institusional itu akan tercapai. Gambaran di atas sekedar menuturkan betapa pengelolaan sektor pertahanan dan keamanan dihadapkan pada berbagai soal. Kelembaman birokrasi (bureucratic inertia) merupakan salah satu, tetapi bukan satu-satunya, soal. Sejauh menyangkut sistem pertahanan maritim terintegrasi, konsep Maritim pemerintahan Joko Widodo sekurang-kurangnya sudah menetapkan pertahanan dan diplomasi sebagai instrumen, meskipun terbatas pada diplomasi untuk “membangun bidang kelautan” dan “kekuatan pertahanan maritim”.

Tidak mudah mengoperasionalisasikan siapa saja yang akan menjadi pemangku kepentingan dalam diplomasi untuk membangun bidang kelautan. Kementerian Luar Negeri jelas merupakan salah satu diantaranya, tetapi bukan satu-satunya. Kecenderungan pengutamaan perdagangan dan investasi pada khususnya atau “diplomasi ekonomi” pada umumnya mungkin akan mejadikan delimitasi maritim sebagai salah satu yang bernaung di bawah kendali Kementerian Luar Negeri. Bersamaan dengan itu, “kekuatan pertahanan maritim” bisa dipastikan berada dalam kendali Kementerian Pertahanan, sekalipun diragukan jika dalam jangka dekat Kementerian Pertahanan akan berhasil menegakkan otoritas kebijakan strategisnya atas Markas Besar TNI.

(21)

dengan kontra-diplomasi dan/atau kpontra intelijen yang berturut-turut merupakan ranah kementerian luar negeri dan BIN. Pada aras horisontal, eskalasi fungsional dimulai dengan peringatan dini, kesiagaan, dan respons sektroral, dan dilanjutkan dengan penangkalan (militer dan hukum) sampai dengan penanggulangan yang khusus merupakan penggunaan instrumen koersif (operasi militer). Bentuk grafis dari model acuan pertama ini disajikan dalam diagram 1.

Kedua adalah menempatkan dimensi ketahanan sebagai landasan strategi promotif-developmentalis untuk membangun kapasitas dalam rangka menutup kerawanan melalui penguatan kapasitas sektoral, tidak terbatas pada ranah pertahanan negara. Fungsi utama ketahanan pertahanan negara dalam kaitan ini sekedar menetapkan threshold di mana fungsi pertahanan negara tidak lagi mampu menggunakan kapasitas tercadang (reserved, redundancy, stocks) untuk melaksanakan fungsinya secara optimal. Diagram 2 menunjukkan perbedaan nature dari ketahanan pertahanan negara di bawah dan di atas threshold. Kemampuan pertahanan minimum sesungguhnya indikative dari ketahanan minimum yang diperlukan Indonesia sampai pengujung dasawarsa 2020an.

Seiring dengan perubahan konstelasi regional di Asia Pasifik, dan seirama dengan kedewasaan kehidupan berbangsa dan bernegara, periode 2030-2045 merupakan masa penting bagi berhasil atau tidaknya Indonesia mencapai kepentingan nasionalnya, yang pada waktu itu harus dipastikan tidak melulu ditujukan untuk memenuhi cita-cita sebagai negara sembada tetapi negawa wibawa.

Penutup – sebuah catatan akhir

Tulisan ini memang memusatkan perhatiannya pada pertahanan negara dengan topangan utama instrumentalisasi kekuatan militer sebagai sebuah sub-sistem yang terpisah dari keamanan umum, keselamatan publik, dan ketenteraman masyarakat. Sama seperti diplomasi, intelijen, dan kepolisian, militer adalah instrumen nasional. Ketahanan gatra “pertahanan dan keamanan” tentu memainkan peranan penting untuk mempertajam instrumen militer maupun instrumen keamanan nasional lainnya. Namun derajat ketahanan gatra tersebut sebagian besar diantaranya lebih terkait dengan kemampuan untuk mengembalikan keandalan instrumen menghadapi gangguan daripada secara langsung meningkatkan daya tembus instrumen itu sendiri.

Terlepas dari betapa seriusnya gangguan pada ranah keamanan umum yang dihadapi dan masih akan selalu dihadapi Indonesia sampai satu setengah dasawarsa mendatang, ranah itu tetap merupakan ranah non-militer. Secara konstitusional, UUD 1945 sebelum diamandemen memandatkan “pertahanan negara”, dan konteks kehidupan berbangsa dan bernegara sejak awal selalu merupakan bagian dari bina-kedaulatan negara dan integrasi wilayah Nusantara. Lebih dari itu, instrumen utama yang berada di bawah naungan kebijakan pemerintah (baca: Kementerian Pertahanan) adalah TNI. Kalaupun Kementerian Pertahanan dapat menyusun garis besar kebijakan pertahanan yang bersifat nasional, pelaksanaan sektoral tetap berada dalam genggaman kementerian sektoral ataupun lembaga pemerintah non-kementerian seperti POLRI dan Inelijen Negara. Semboyan peringatan dini dan/atau pencegahan merupakan terminologi penadbiran (governance), yang memang seharusnya menjadi kaidah pelaksanaan setiap pelaksana pemerintahan negara. Begitu pula halnya dengan siaga, waspada, dan sembada.

(22)

konstabulari dan/atau kepolisian. Lebih dari itu, penggunaan TNI dalam konteks itu pun tidak lebih dari sekedar pemanfaatan idle capacity yaitu kapasitas militer pada masa-masa damai. Kalau TNI memiliki kemampuan tempur untuk menjaga kehormatan dan martabat negara dari agresi militer asing, menjinakkan serangan virtual melalui jejaring maya terhadap pusat-pusat militer, menyelamatkan warganegara Indonesia yang menjadi sandera perompak bersenjata, maka hampir bisa dipastikan bahwa kemampuan yang sama dapat digunakan untuk membantu operasi stabilitas (stability operation) dan operasi dukungan (support operation) yang diperlukan oleh alat negara yang lain.

Dengan kata lain, sekalipun aparatur sipil, termasuk POLRI sebagai polisi sipil (civilian police), masih dihadapkan pada berbagai tantangan domestik, tantangan seperti itu harus dianggap sebagai non-faktor dalam pembangunan, pembinaan, dan penggunaan kekuatan militer Indonesia. Sebaliknya, rancang bangun sistem pertahanan Indonesia harus dihadapkan pada ancaman-ancaman bersifat kekerasan. Konsep penangkalan (deterrence) dalam kehidupan antar negara dan jaminan (assurance) dalam konteks kedaulatan menghadapi tindak kekerasan secara terorganisasi di dalam negeri bukan saudsarea kembar seperti layaknya pertahanan dan diplomasi tetapi sekedar kakak dan adik.

Pertengkaran fisik antara prajurit TNI dan anggota POLRI, yang harus dianggap sebagai isu disiplin internal daripada isu sistemik. Konteks ekonomi lokal, di samping kematangan posikologi individual, memainkan peranan jauh lebih penting dibanding hubungan institusional antara kedua institusi tersebut. Sekalipun perseteruan perorangan itu kerap melibakan solidaritas institusi, perseteruan itu pada umumnya terjadi pada tingkat lokal. Selain dapat diselesaikan dengan cepat, perseteruan itu tidak menghambat kerjasama antara TNI dan POLRI.

Kejahatan internasional terorganisasi, seperti halnya berbagai bentuk ancaman transnasional lainnya, tentu merupakan kejahatan yang serius. Namun mereka mengancam sebagian saja dari unsur wilayah, kedaulatan politiknegara, atau keselamatan warganegara. Kekuatan tempur yang handal untuk menundukkan lawan di medan laga hampir dipastikan dapat membungkam sindikat penyelundup di laut lepas atau gembong penyelundupan perempuan dan anak-anak. Kekuatan yang sama juga dipastikan dapat menyelamatkan manusia-manusia perahu yang memasuki perairan Indonesia. Betapapun, tugas utama TNI adalah untuk menindak berbagai bentuk pelanggaran kedaulatan, bukan untuk mencegahnya kecuali menggunakan kemampuan deterrence dan assurance.

Ketahanan pertahanan negara dalam konteks yang relatif terbatas dibanding berbagai kajian lain itu tetap penting dilihat sebagai peluang bagi sistem pertahanan Indonesia, termasuk TNI di dalamnya, untuk melakukan penyesuaian sistem sesuai dinamika internal dan eksternal. Nawa Warastra – sembilan pusaka – seperti yang tersurat dalam tabel 2 di atas adalah elemen-elemen yang secara langsung terkait dengan ketahanan sistem pertahanan Indonesia terhadap perubahan itu. Elemen-elemen itu tetap, bahkan semakin, relevan sampai tahun 2045, sekalipun konsolidasi demokrasi dan kehidupan berbangsa kemungkinan besar sudah dicapai di pada akhir dasawarsa 2020an atau awal 2030an. Sebagai elemen ketahanan sistem dan strategi pertahanan negara, Nawa Warastra masih tetap dapat digunakan bahkan ketika Indonesia mulai menapak ratus-tahun yang kedua pada tahun 2045.

(23)

penangkalan standar itu masih jauh dari memadai untuk membangun Indonesia wibawa, yang merupakan kapasitas minimum untuk menjadi kutub penentu dinamika Asia Tenggara di samping China dan Amerika Serikat.

Selected Bibliography

“Six Wars China is sure to fight in the next 50 years,中國未來50年裡必打的六場戰爭, Wenweipo (8 Juli 2013),

Global Fire Power 2015

Global Trend 2030, National Intelligence Council, 2012.

Kebijakan Umum Pertahanan Negara 2015-2019 dan berbagai dokumen kebijakan Kementerian Pertahanan (Doktrin, Strategi dan Postur Pertahanan Negara)

Anggoro, Kusnanto. “Geopolitik, pengendalian ruang laga, dan strategi pertahanan Indonesia”, Analisis CSIS Vol. No. (2006).

______. “Kedaulatan, Teritorialitas, dan Keamanan Pasca Wesphalia”, dalam Jurnal Global Vol. 6 No. 2 (Mei 2004)

______. “Pertahanan Negara Pre-Kolonial Indonesia: Geografi, singgasana, dan perdagangan internasional”, Makalah (tidak terbit), Universitas Al Azhar Indonesia (April 2009)

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa cognitive behavior therapy efektif untuk menurunkan tingkat body shame subyek penelitian dibandingkan dengan beauty class.. Kata kunci :

Pada Gambar 3 terlihat bahwa desain sistem pemantauan yang akan dibuat merupakan pelengkap dari sistem yang sudah ada pada Gmbar 2, hanya saja ada 2 buah perbedaan yang cukup

Setelah beberapa kali tes alat psikologi yang berbeda, dan menunjukkan kecenderungan yang berbeda, baru saya menyadari bahwa tipe kecenderungan saya bekerja,

Keterampilan umum yang sering dilakukan anak biasanya menyangkut keterampilan tangan dan kaki. Keterampilan dalam aktivitas makan dan berpakaian sendiri biasanya dimulai pada masa

Pada penelitian ini metode yang diusulkan adalah pencarian model yang sesuai sebagai model, dengan tingkat akurasi yang tebaik. Untuk medapatkan hasil performance , dengan

Hubungan antara variabel lereng gisik/pantai dengan diameter butir sedimen adalah positif yang artinya jika lereng gisik/pantai bertambah besar sudutnya maka diameter butir

Dari uraian di atas muncul asumsi bahwa dengan melakukan analisis penerapan JATS Next-G dapat mengetahui perbedaan volume perdagangan, nilai transaksi, dan

Pada awalnya kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 Lampung masih merupakan sebuah Karesidenan dari Provinsi Sumatera tahun 1 Kementerian Dalam Negeri dari 12 Kemerdekaan