BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang sulit untuk di berantas
karena pelaku tindak pidana korupsi biasanya mempunyai kedudukan ekonomi dan
politik yang kuat, sehingga tindak pidana korupsi tergolong sebagai “white collar
crime, crimes as business, economic crimes, official crime dan abuse of power.
Masalah korupsi merupakan permasalahan yang kompleks dan
turun-temurun berjalan seiring, bahkan lebih cepat pertumbuhannya ketimbang urusan
pemberantasan. Upaya pemberantasan korupsi yang terjebak dalam perdebatan
selalu berjalan tertatih-tatih di belakang laju pertumbuhan taktik dan strategi para
pelaku korupsi.1
Korupsi di Indonesia sudah seperti wabah penyakit yang telah menjangkit
dan menyebar keseluruh lapisan masyarakat. Pada masa lalu korupsi sering
diartikan bagi pejabat Negara atau pegawai negeri yang menyalahgunakan
keuangan negara, namun saat ini masalah korupsi tidak hanya bagi pejabat negara
atau pegawai negeri tetapi telah melibatkan berbagai lembaga seperti anggota
legislative, yudikatif, para banker, konglomerat dan korporasi.
1
Untuk dapat mengungkap pelaku tindak pidana korupsi yang mempunyai
kedudukan ekonomi dan politik yang kuat tersebut tentunya membutuhkan
keberanian dan saksi yang secara langsung mengetahui perbuatan tindak pidana
korupsi tersebut. Saksi yang mengetahui secara langsung baik terlibat secara
langsung di dalamnya atau tidak dan berani melaporkan kejadian tersebut disebut
“whistleblower” dan “Justice Collaborator”.
Belakangan ini, sepertinya aib birokrasi satu persatu mulai dibuka oleh
orang-orang yang sebenarnya sangat dekat dengan masalah itu sendiri kemudian
membukanya kedepan umum dengan alasan kejujuran yang mungkin sudah sangat
langka di negeri ini. Kasus Cek Pelawat Agus Condro, Nazarudin dan Waode
Nurhayati adalah contoh yang menjadi pembicaraan karena berhubungan dengan
dua simbol negara ini. Agus Condro merupakan anggota DPR saat itu melaporkan
telah terjadi suap pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom,
sedangkan Nazarudin adalah salah seorang petinggi “Partai Penguasa” dan
Waode Nurhayati adalah salah satu anggota DPR RI dan terakhir kasus Angelina
sondakh yang juga merupakan anggota DPR RI.2
Kasus-kasus di atas tersebut sangat erat kaitannya dengan apa yang
dinamakan Whistleblower dan Justice Collaborator dimana para pelapor
merupakan salah satu pelaku dari tindak pidana korupsi dan mau bekerjasama
dalam menuntaskan dugaan telah terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.
2
Pemberitaan tentang whistleblower menjadi suatu kegembiraan tersendiri
bagi upaya penegakan hukum, secara khusus bagi pemberantasan korupsi. Tentu
nilai kejujuran dari seseorang whistleblower perlu dicontoh dan tetap dijunjung
tinggi, mengingat kemauan berkata jujur sangat susah didapat saat ini. Semangat
seperti ini sebenarnnya harus dipacu pertumbuhannya sehingga dapat dijadikan
awal untuk menghabisi para koruptor.
Whistleblower sebenarnya adalah tindakan yang mulia. Bagaimanapun
pemahaman kita tentang keberadaannya bisa saja berbeda-beda. Whistleblower
bisa saja disebut seseorang yang hanya sok-sokan, mencari sensasi, maling teriak
maling. Umumnya para pelaku koruptor tidak terlalu senang atas keberadaan
seorang whistleblower, karena keberadaannya akan menjadi duri dalam daging,
yang sewaktu-waktu dapat menusuk baik dari depan maupun dari belakang. Inilah
fakta yang telah pernah terjadi.3
Publik mungkin masih ingat dengan kasus Susno Duadji yang
mengungkap adanya mafia kasus dan mafia pajak di tubuh Kepolisian Negara
Republik Indonesia, yang sangat erat hubungannya dengan rekening-rekening
gendut yang mengisi saldo para petinggi Polri. Tetapi apa yang terjadi? Susno
Duadji justru diskemakan untuk mendapatkan hukuman dari kasus pilkada Jawa
Barat. Terlepas dari benar atau tidaknya seorang Susno Duadji juga melakukan
hal yang sama, tapi setidaknya hal ini perlu diapresiasi karena berdasarkan hal
yang diungkapkannya secara luas, menjadikan mata khalayak umum atau
orang-3
orang awam yang selama ini buta dengan kondisi sebenarnya didalam tubuh
lembaga negara menjadi sedikit paham dan mungkin sedikit sadar mengapa
negara ini tidak maju-maju.4
Di Indonesia ada kecenderungan jika seseorang mencoba melawan
kekuasaan, maka niscaya dalam waktu singkat dia akan disingkirkan, minimal
akan dikucilkan. Pengalaman selama ini, justru memperlihatkan bahwa posisi
saksi sangat rawan dan mudah berubah menjadi tersangka, apalagi saksi tersebut
lemah dalam mengungkapkan fakta-fakta yuridis. Pelaku korupsi sering kali
mempergunakan berbagai cara untuk menyerang saksi, salah satu cara tersebut
adalah "upaya pencemaran nama baik" 5
Dengan kedudukan ekonomi dan posisi politik yang sangat kuat sangat
mudah bagi pelaku tindak pidana koruspi untuk menyerang balik saksi pelapor
atau pengungkap fakta bahkan dapat saja berbalik saksi pelapor menjadi tersangka
baik dalam kasus tersebut maupun dalam kasus-kasus yang lain. .
Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat sejumlah kasus saksi
pelapor yang dimejahijaukan sebagai tersangka pencemaran nama baik. Kasus
utama yang dilaporkan itu sama sekali tidak diutak-atik. Catatan yang dibuat sejak
1996 tersebut menunjukkan bahwa 80% kasus yang dilaporkan terjadi di luar DKI
4
Muhammad Hazairin, Loc. Cit. 5
Jakarta. Dari data tersebut, 24 kasus pelaporan korupsi berbalik mengenai para
saksi menjadi kasus pencemaran nama baik.6
Kehadiran Whistleblower perlu mendapatkan perlindungan agar
kasus-kasus korupsi bisa diendus dan dibongkar. Tetapi dalam praktiknya, kondisi
tersebut bukanlah persoalan yang mudah, dikarenakan oleh banyak hal yang perlu
dikaji serta bagaimana sebenarnya mendudukan Whistleblower dalam upaya
memberantas praktik korupsi. Secara yuridis normatif, berdasar UU No.13 Tahun
2006, Pasal 10 Ayat (2) keberadaan Whistleblower tidak ada tempat untuk
mendapatkan perlindungan secara hukum. Bahkan, seorang saksi yang juga
tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana
apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi
kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana
yang akan dijatuhkan.
7
Kasus Whistleblower sebenarnya bukan hal baru di dunia ini, namun di
Indonesia masalah Whistleblower belum mendapatkan tempat , karena peranan
whistleblower sebagai pengungkap fakta malah disudutkan. Berbeda dengan
whistleblower di negara lain, Chintya Cooper, seorang internal audit yang
mengungkap kasus Worldcom disebut sebagai pahlawan. Chintya Cooper telah
menjadi agent of change yang sukses. Keberhasilan Chintya dalam
mengungkapkan kasus tersebut mengantarkannya termasuk salah seorang People
6 Ibid., 7
of The Year versi Majalah Time. Chintya telah menyelamatkan perusahaan dari
kemungkinan lebih buruk bersama dengan whistleblower lainnya.8
Berbeda halnya dengan di Indonesia, seperti kisah tentang seorang auditor
BPK bernama Khairiansyah Salman. Khairiansyah merupakan auditor BPK yang
mengaudit Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga akhirnya beberapa anggota
KPU dipidana dengan kasus korupsi. Begitu juga halnya dengan kasus Susno
Duadji yang akhirnya disingkirkan melalui kasus pilkada Jawa Barat semasa
dirinya menjadi kapolda Jawa Barat.
Whistleblower atau peniup peluit kasus-kasus korupsi masih belum
mendapatkan perlindungan maksimal. Salah satu kendalanya yakni ada pada
ranah penegak hukum. Faktor sumirnya ketentuan perlindungan participant
whistleblower dan pemahaman yang terbatas dari penegak hukum telah
mengakibatkan orang-orang yang mengungkap kejahatan, yang seharusnya
mendapatkan penghargaan namun pada kenyataanya dijatuhi hukuman.9
Menurut Komariah E. Sapardjaja, peran whistleblower sangat penting dan
diperlukan dalam rangka proses pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun
demikian, asal bukan semacam suatu gosip bagi pengungkapan kasus korupsi
maupun mafia peradilan, yang dikatakan Whistleblower itu benar-benar didukung
oleh fakta konkret, bukan semacam surat kaleng atau rumor saja. Penyidikan atau
penuntut umum kalau ada laporan seorang Whistleblower harus hati-hati
8
Muhammmad Hazairin, Loc.Cit
9
menerimannya , tidak sembarangan apa yang dilaporkan itu langsung diterima dan
harus diuji dahulu.10
Kurangnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap sang
whistleblower memang beralasan karena dalam sistem hukum di Indonesia
belum mengenal apa yang dinamakan whistleblower. Dalam peraturan
perundang-undangan juga belum ada yang dapat dijadikan pedoman untuk memberikan
perlindungan terhadap whistleblower tersebut.
Sampai sekarang belum ada peraturan perundang-undangan yang secara
khusus mengatur mengenai whistleblower di Indonesia. Pengaturannya secara
implisit termaktub dalam UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban. Peraturan lainnya adalah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4
Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower)
dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator).11
Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut merupakan penjabaran dari Pasal
10 UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Tujuan dari
SEMA ini adalah agar semua kejahatan yang terorganisir yang selama ini sangat
tertutup rapih dapat diungkap secara menyeluruh jika ada yang memberikan
informasi dari dalam dan dapat dibongkar oleh para penegak hukum dan dibawa
ke pengadilan untuk diadili.12
10
Anwar Usman, dan AM. Mujahidin, Loc. Cit. hal.3 11
Abdul Haris Semendawai , et al, Memahami Whistleblower. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hal.X Desember 2011.
12
UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal
Pasal 10 menyebutkan 13
(1) Saksi, Korban dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
:
(2) Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringakan pidana yang akan dijatuhkan.
Undang-Undang No.13 tahun 2006 Pasal 10 ayat (1) dan (2) tersebut
dinilai bertentangan dengan semangat whistleblower karena tidak memberikan
perlindungan bagi whistleblower yang terlibat dalam kejahatan. Begitu juga
SEMA No.4 Tahun 2011 belum dapat memberikan perlindungan hukum bagi
saksi pengungkap fakta atau whistleblower dan justice collaborator. SEMA
No.4 Tahun 2011 tersebut hanya untuk memberikan semangat perlindungan
terhadap whistleblower dan justice collaborator, namun tetap dihukum jika
merupakan bagian dari pelaku.
Bagi aparat penegak hukum baik polisi maupun jaksa UU No. 13 tahun
2006 dan SEMA No.4 Tahun 2011 tersebut belum dapat memberikan
perlindungan secara hukum bagi kebaradaan whitleblower. SEMA No.4 tahun
2011 juga hanya berlaku intern dikalangan hakim sebagai bahan pertimbangan
yang meringankan untuk memutus perkara whistleblower dan justice collaborator
yang terlibat dalam kasus.
13
Belum adanya perlindungan secara yuridis terhadap sang whistleblower
dan Justice collaborator memang dikhawatirkan akan memutus generasi
whistleblower yang baru. Padahal jika mau jujur, demi penegakan hukum dan
pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini, peranan sang whistleblower
dan Justice Collaborator menjadi salah satu senjata yang ampuh untuk dijadikan
alat membuka sindikat mafia koruptor. Peranan sang whistleblower dan Justice
collaborator dalam membuka para sindikat koruptor besar selama ini tidak
terpikirkan dan tidak terduga. Gayus Tambunan pegawai biasa golongan III/A di
Dirjen Pajak melakukan hal yang diluar kebiasaan atau luar biasa mempunyai
uang miliaran rupiah hasil dari mafia perpajakan diungkap oleh whistleblower.
Berdasarkan persoalan di atas maka tesis ini mencoba mengurai
bagaimana bentuk perlindungan terhadap Whistleblower dan justice collaborator
serta bagaimana perlindungan hukumnya yang ideal di Indonesia. Diharapkan
dengan adanya perlindungan hukum bagi kehadiran whistleblower dan justice
collaborator dapat dijadikan salah satu upaya untuk memberantas pelaku tindak
pidana korupsi di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka yang akan
menjadi pokok permasalahan dalam kajian tesis ini adalah :
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice
2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap Whistleblower dan
Justice Collaborator dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia ke depan ?
C. Tujuan Penelitian
Memperhatikan latar belakang dan rumusan masalah yang dikemukan
sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perlindungan hukum bagi
Whistleblower dan Justce Collaborator.
2. Untuk mencari bentuk perlindungan hukum yang ideal bagi whistleblower dan
Justice Collaborator dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di
Indonesia ke depan.
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis, yaitu :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan
kajian, sumbangan pemikiran dalam memperkaya khasanah kepustakaan dalam
perkembangan ilmu hukum khususnya hukum yang mengatur tentang
perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam
penelitian diharapkan dapat menjadi bahan rekomendasi untuk lembaga
perlindungan saksi dan korban, bagi penyidik, penunutut umum maupun hakim
dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia dan dapat
memberikan sumbang pemikiran terhadap perubahan Undang-Undang
Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) ke depan sehinga kehadiran Sang
Whitleblower dan Justce Collaborator dapat terlindungi sesuai dengan resiko
yang telah diambilnya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan
yang berguna bagi aparat penegak hukum terutama para penyidik , Jaksa
Penuntut Umum , advokat maupun hakim dalam menangani perkara yang
menyangkut tentang Whistleblower dan Justice Collaborator. Penelitian ini
juga diharapkan dapat menjadi bahan hukum bagi peneliti lanjutan yang fokus
terhadap perlindungan hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator
dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran penulis pada Kepustakaan Universitas Sumatera
Utara, khususnya pada lingkungan Perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara dan informasi yang tersedia bahwa penelitian
Collaborator Dalam Upaya pemberatasan Tindak Pidana Korupsi” belum
pernah ada yang melakukannya. Meskipun ada beberapa penelitiian tentang
perlindungan hukum bagi saksi pelapor namun tidaklah sama pokok
permasalahan yang menjadi objek kajian.
Dari hasil observasi yang telah dilakukan ada beberapa penelitian yang
memiliki topik yang sama namun fokus kajiannya berbeda yaitu Hoplen Sinaga,
mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Judul tesis “Perlindungan
Hukum Bagi Saksi Pengungkap Fakta (Whistleblower) dalam Perkara Pidana
(Analisis Yuridis Terhadap UU No.13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi
dan Korban).
Fokus Kajian Tesis Hoplen Sinaga khusus pada analisis terhadap UU
No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (PSK). Jika dilihat
dari obyek kajian jelas ada perbedaan dengan fokus kajian penulis yaitu tidak
hanya pada perlindungan hukum pada whistleblower tetapi juga terhadap justice
collaborator. Begitu juga mengenai masalah aturan perundang-undangan yang
mengatur tentang perlindungan hukum bagi whistleblower dan justice
collaborator tidak hanya UU No.13 tahun 2006 tetapi berbagai peraturan dan
perundang-undangan yang terkait mengatur tentang perlindungan hukum bagi
whistleblower dan justice collaborator.
Selanjutnya Tesis Imam Turmudhi Pasca Sarjana Universitas Indonesia
yang mengambil judul Perlindungan Hukum Terhadap Whistleblower Kasus
Korupsi Berdasarkan UU No.13 Tahun 2006 (Studi Kasus Susno Duaji). Tesis
Susno Duaji berdasarkan UU No.13 tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan
Korban.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional
1. Kerangka Teori
Berdasarkan hal tersebut maka teori yang akan di gunakan dalam
penulisan tesis ini adalah :
A. Teori Tujuan Hukum
Pada umumnya hukum ditujukan untuk mendapatkan keadilan, menjamin
adanya kepastian hukum di masyarakat dan mendapatkan kemanfaatan atas
dibentuknya hukum tersebut. Tiga unsur tujuan hukum tersebut yaitu keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan.
1. Keadilan
Definisi keadilan menurut para ahli adalah :
a. Keadilan menurut Aristoteles sebagai pendukung teori etis, bahwa tujuan hukum
utama adalah keadilan yang meliputi14
1. Distributif, yaitu keadilan yang diberikan pada setiap orang didasarkan atas
jasa-jasanya (prestasi) atau pembagian menurut haknya masing-masing. :
2. Komutatif (justitia comuutativa) yaitu suatu keadilan yang diterima oleh
masing-masing anggota tanpa memperdulikan jasa masing-masing. Keadilan
ini berdasrkan transaksi baik yang sukarela atau tidak.
14
b. Keadilan menurut Thomas Aquinas (filsuf hukum alam), membedakan keadilan
dalam dua kelompok 15
1. Keadilan umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut kehendak
undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. :
2. Keadilan khusus, keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan
ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu:
a. Keadilan distributif, keadilan yang secara proporsional yang diterapkan
dalam lapangan hukum public secara umum.
b. Keadilan komutatif, keadilan dengan mempersamakan antara prestasi
dengan kontraprestasi.
c. Keadilan Vindikatif, bahwa kejahatan harus setimpal dengan hukumannya.
Seseorang dianggap adil apabila dipidana badan atau denda sesuai dengan
besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindakan pidana yang
dilakukan.
c. Keadilan menurut Notohamidjojo dibagi dua yaitu16
1. Keadilan Kreatif, bahwa harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif,
yaitu setiap orang bebas bebas menciptkan sesuai dengan daya kreativitasnya. :
2. Keadilan Protektif, keadilan yang memberikan pengayoman kepada setiap
orang, yaitu perlindungan yang diperlukan dalam masyarakat.
15
Ibid., 16
2. Kepastian.
Kepastian menurut Hans Kelsen dengan konsepnya (Rule of Law) atau
Penegakan Hukum dalam hal ini mengandung arti:
a. Hukum itu ditegakan demi kepastian hukum.
b. Hukum itu dijadikan sumber utama bagi hakim dalam memutus perkara.
c. Hukum itu tidak didasarkan pada kebijaksanaan dalam pelaksanaannya.
d. Hukum itu bersifat dogmatic.
3. Kegunaan.
Teori kemanfaatan atau kegunaan Menurut Jeremy Bentham, sebagai
pendukung teori kegunaan, bahwa tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat
untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya. Senada dengan Jeremy Bentham,
John Stuart berpendapat bahwa tujuan hukum hendaknya untuk mencapai
kebahagiaan dan kesejahteraan umat manusia.
B. Teori Sistem Hukum (Legal Theory)
Teori sistem hukum dari Lawrence M.Friedman menyatakan
bahwa sebagai suatu sistem hukum dari sistem kemasyarakatan,
maka hukum mencakup tiga komponen yaitu17
1. Substansi hukum (legal substance ); merupakan aturan-aturan, norma- norma dan
pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang :
17
dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup
keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun.
2. Struktur hukum (legal structure ); merupakan kerangka, bagian yang tetap
bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap
keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. Di Indonesia yang merupakan
struktur dari sistem hukum antara lain; institusi atau penegak hukum seperti
advokat, polisi, jaksa dan hakim.
3. Budaya hukum (legal culture ); merupakan suasana pikiran sistem dan kekuatan
sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau
disalahgunakan oleh masyarakat.
Ketiga komponen di atas sangat memegang peranan penting dalam
pelaksanaan penegakan hukum termasuk dalam memberikan perlindungan
terhadap whistleblower dan justice collaborator. Perlindungan hukum yang
diberikan harus memunyai dasar aturan yang harus dipahami oleh semua aparat
penegak hukum sehingga kehadiran whistleblower dapat berkembang dan
memberikan manfaat bagi masyarakat dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Belum adanya aturan hukum yang spesifik mengatur tentang perlindungan
hukum bagi whistleblower membuat para penegak hukum masih ragu-ragu
menyatakan bahwa seseorang yang melaporkan suatu tindak pidana korupsi baik
dilingkungan kerjanya atau yang dia ketahui adalah whistleblower dan perlu
Komponen pertama tersebut yaitu substansi hukum sangat diperlukan
untuk menjamin adanya suatu kepastian. Aturan-aturan tentang whistleblower
harus dapat menjamin perlindungan terhadap dirinya sehingga sangat diperlukan
peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur tentang
perlindungan whistleblower. Dengan adanya paraturan secara spesifik yang
mengatur perlindungan terhadap whistleblower sebagai komponen kedua maka
aparat penegak hukum secara praktis tidak akan ragu-ragu untuk memberikan
perlindungan kepada whistleblower.
Selanjutnya komponen ketiga yang merupakan budaya hukum dapat
mengikuti dengan sendirinya jika aturan perundang-undangan dan aparat penegak
hukum dapat menjamin perlindungan hukum whistleblower. Dengan adanya
perlindungan tersebut akan bermunculan para whistleblower yang akan
memberikan informasi kepada aparat penegak hukum terutama kasus tindak
pidana korupsi dan para pelaku korupsi merasa selalu diawasi oleh orang
disekitarnya.
C. Teori Perlindungan Hukum
Teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam atau aliran
hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno
(pendiri aliran Stoic). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu
bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan
Menurut Von Thomas Aquinas mengatakan bahwa hukum alam adalah
cerminan dari undang-undang abadi (lex naturalis). Jauh sebelum lahirnya aliran
sejarah hukum, ternyata aliran hukum alam tidak hanya disajikan sebagai ilmu
pengetahuan, tetapi juga diterima sebagai prinsip-prinsip dasar dalam
perundang-undangan. Keseriusan umat manusia akan kerinduan terhadap keadilan, merupakan
hal yang esensi yang berharap adanya suatu hukum yang lebih tinggi dari hukum
positif. Hukum alam telah menunjukkan, bahwa sesungguhnya hakikat kebenaran
dan keadilan merupakan suatu konsep yang mencakup banyak teori. Berbagai
anggapan dan pendapat para filosof hukum bermunculan dari masa ke masa. Pada
abad ke-17, substansi hukum alam telah menempatkan suatu asas yang berisfat
universal yang bisa disebut HAM.18
Menurut Fitzgerald, dia menjelaskan teori pelindungn hukum Salmond
bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai
kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan,
perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara
membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.19 Kepentingan hukum adalah
mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas
tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan
dilindungi.20
18
Marwan Mas, “Pengantar Ilmu Hukum” (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), 116 19
Satijipto Raharjo, “Ilmu Hukum’, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), 53. 20Ibid.,
Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir
dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh
masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat. Kesepakatan
tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat
dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan
masyarakat.
Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan
perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua
hak-hak yang diberikan oleh hukum.21
Menurut lili rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat
difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif
dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.22 Pendapat Sunaryati
Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan
belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan
sosial.23
Menurut pendapat Pjillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum bagi
rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.24
21 Ibid.,
54 22
Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, “Hukum Sebagai Suatu Sistem”, (Bandung, Remaja Rusdakarya, 1993), 118.
23
Sunaryati Hartono, “Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional”, (Bandung: Alumni, 1991), 55.
24
Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam
pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif
bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penangananya di
lembaga peradilan.25
2. Landasan Konsepsional
Agar alur penelitian terarah dan konsisten diperlukan suatu definisi
operasional untuk mempertegas ruang lingkup penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
a. Dalam penelitian ini yang disebut Pengungkap Fakta (Whistleblower) adalah
istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota dari suatu
institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap
melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang. Secara umum segala
tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan
persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik.
Termasuk di dalamnya korupsi dan pelanggaran atas keselamatan kerja.
Whistleblower merupakan saksi pengungkap fakta yang terlibat langsung
sebagai pelaku kejahatan tindak pidana korupsi.26
25
Maria Alfons, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, (Malang: Universitas Brawijaya, 2010), 18.
Umumnya dalam istilah
bahasa Inggris, orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai
sebuah skandal, bahaya, malapraktik atau korupsi disebut sebagai
whistleblower. Orang yang bersiul, berceloteh, membocorkan atau
26
mengungkapkan fakta terjadinya kejahatan, kekerasan atau pelanggaran
disebut sebagai whistleblower atau seorang pengungkap fakta.27
b. Saksi Pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) adalah pelaku tindak pidana
tertentu, tetapi bukan pelaku utama, yang mengakui perbuatannya dan bersedia
bekerjasama menjadi saksi dalam proses peradilan dan mau menyebutkan bahwa
yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti kuat yang sangat
signifikan untuk mengungkap tindak pidana korupsi yang terjadi.
28
c. Perlindungan hukum ( Besil Protection, Rechtsbercherming) adalah suatu
perlindungan yang diberikan oleh undang-undang kepada subyek hukum
mengenai hak dan kewajiban (substantif) termasuk perlindungan phisik dan
mental yang bersifat preventif maupun yang bersifat refresif.29
d. Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah suatu bentuk pelayanan yang
wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk
memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental kepada korban dan saksi dari
ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada
tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atas pemeriksaan sidang di
pengadilan.30
G. Metode Penelitian
27
Mengadili Whistleblower, Uli Parlian Sihombing, Fulthoni AM, et Al Catatan Hukum terhadap Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dengan Terdakwa Vincentius Amin Sutanto, hal.,33.
28
Tempo.Com tentang Justice Colaborator. 30 April 2012 oleh Syailendra. 29
Tan Kamello, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Pendapat Tan Kamello disampaikan saat bimbingan tesis ini tanggal 15 Desember 2012 di Pasca Ilmu Hukum USU Medan.
30
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif
dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari
tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum
dan norma-norma hukum.31
1. Jenis, Pendekatan dan Sifat Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach).
Jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis normatif, dilakukan
dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach).
Pendekatan peraturan perundang-undangan yaitu penelitian dengan menelaah
berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan
terhadap whistleblower atau saksi pengukap fakta dan Justice Collaborator.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif, yang ditujukan untuk menggambarkan
dan menguraikan secara sistematis perlindungan bagi whistleblower dan Justice
collaborator dihubungkan dengan teori-teori hukum dan peraturan
perundang-undangan yang ada.
2. Sumber Data
Sumber data terdiri dari dua yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama yaitu seperti
prilaku masyarakat melalui penelitian. Data sekunder antara lain mencakup
31
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud
laporan, makalah, journal, catatan-catatan hukum dan lain sebagainya32
Penelitian ilmu hukum normatif adalah pengkajian terhadap bahan-bahan
hukum, yang bersumber dari data sekunder . Sumber data sekunder terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. .
33
1) Bahan hukum primer bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan
hukum primer terdiri dari paraturan perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang dan putusan-putusan
hakim, antara lain :
a. Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
b. SEMA No.4 Tahun 2011 Tentang Perlakuan Bagi Pelapor tindak Pidana
(Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice
collaborator).
c. Peraturan Perlindungan Hukum Whistleblower di berbagai negara.
2) Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai
konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer
dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber
jurnal, buku-buku, makalah serta karya ilmiah mengenai perlindungan terhadap
whistleblower dan justice collaborator.
32
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,Hal.12., UI-Press 2006.
33
3) Bahan hukum tertier diperlukan untuk berbgai hal dalam hal menjelaskan
makna-makna kata dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
khususnya kamus-kamus hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini
menggunakan teknik studi kepustakaan (library Research). Studi kepustakaan
digunakan untuk mengumpulkan data skunder melalui pengkajian terhadap
peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan pakar hukum dan
studi dokumen serta putusan-putusan pengadilan yang ada hubungan dengan
kajian dalam penelitian ini. Selain itu dalam penelitian ini juga akan dilakukan
wawancara kepada pejabat atau pakar hukum yang berkompeten yang dapat
dijadikan bahan hukum sekunder.34
4. Analisis Data
Analisis terhadap data-data tersebut di atas menggunakan metode analisis
deskriptif kualitatif dan argumentative. Deskripsi berupa gambaran bahan-bahan
hukum sebagaimana adanya kemudian dilanjutkan dengan evaluasi berupa
penilaian terhadap bahan-bahan hukum tersebut. Bahan-bahan hukum tersebut
diinterpretasikan dengan metode intepretasi hukum baik intepretasi gramatikal,
intepretasi sistematik, intepretasi otentik, yang selanjutnya dianalisis berdasarkan
teori-teori dan doktrin hukum yang relevan dikaitkan dengan permasalahan.35
34
Peter Mahmud Marzuki, Op.Cit. hal.165 35