• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang - Penegakan Hukum Pidana Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kehutanan suatu sistem pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Pemanfaatan hutan dan hasilnya bertujuan untuk mensejahterakan seluruh masyarakat secara berkeadilan (tidak dinikmati oleh perorangan, kelompok atau golongan), melainkan harus didistribusikan secara berkeadilan untuk dinikmati masyarakat luas dengan tetap menjaga fungsi hutan secara lestari.(vide pasal 1, 2 pasal 23 dan penjelasannya UU Kehutanan).

Hutan yang berfungsi produksi (hutan produksi) adalah kawasan hutan yang

ditumbuhi oleh pepohonan keras yang perkembangannya selalu diusahakan dan

dikhususkan untuk dipungut hasilnya, baik berupa pohon kayu maupun hasil-hasil

sampingan lainnya, seperti getah, damar, akar, dan lain-lain.1

Hutan yang didominasi unsur pepohonan (pohon kayu), dikaitkan dengan

kemanfaatan dan peranan hutan, maka pohon kayu berfungsi sebagai modal

pembangunan nasional baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun manfaat

ekonomi serta sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global yang saling

keterkaitan dengan dunia Internasional, maka unsur pohon kayu dalam pengertian

1

(2)

hutan memiliki nilai kemanfaatan dan peranannya yang sangat besar dan strategis. 2

Namun pada sisi lain di Irian, Kalimantan, di Sumatera dalam angka kuantitatif

terjadi deforestasi jutaan hektar setiap tahunnya melalui: konversi hutan untuk

pembangunan perkebunan kelapa sawit, untuk pertambangan dan akibat illegal

logging.

Berkaitan dengan hutan produksi, Indonesia telah membangun kurang lebih 64,3 juta

hektar atau 33% dari luas kawasan hutan yang ada untuk mempertahankan fungsi

hutan produksi sejak tahun 2001.

3

Khusus di wilayah Sumatera Utara telah terjadi deforestasi puluhan ribu hektar

setiap tahunnya melalui: konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, untuk

pertambangan dan akibat illegal logging ratusan ribu meter kubik kayu berbagai jenis

setiap tahunnya yang berasal dari hutan lindung, hutan konservasi dan atau hutan

produksi tanpa hak dengan menyalahgunakan izin yang diperoleh dari pejabat yang

berwenang berupa Hak Penguasaan Hutan (HPH) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil

Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-Alam), adanya penerbitan Izin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) pada

hutan alam, adanya penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Kayu Tanaman Masyarakat

(IPKTM) dan Izin Pemungutan Kayu (IPK) pada hutan produksi, pada hutan lindung

2Undang-undang Kehutanan dan Perubahannya, Op. Cit, hal 37, tentang penjelasan umum UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan.

3

(3)

dan hutan konservasi 4. Puluhan kasus perambahan dan pendudukan kawasan hutan

Mangrove di Propinsi Sumatera Utara untuk dialih fungsikan menjadi perkebunan

kelapa sawit dan lahan pertambakan udang. 5

Usaha dan/atau kegiatan pengalihan fungsi hutan, pemanfaatan hasil hutan,

perambahan dan pendudukan kawasan hutan tersebut telah menimbulkan kerusakan

hutan (kerusakan ekologi), kerugian negara dengan nilai mencapai ratusan miliaran

rupiah, 6 dan terjadi pengalihan fungsi pokok hutan produksi, lindung dan konservasi

menjadi perkebunan mencapai ribuan hekar yang selalu berlindung dibalik campur

tangannya administrasi negara selaku pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan

kebijakan publik; ribuan mater kubik kayu dari hutan alam berbagai jenis disita,

hilangnya hak-hak negara berupa PSDH dan DR bernilai ratusan miliaran rupiah, dan

sebagainya. 7

Data hasil penyidikan pada penyidik Polri Polda Sumut dan jajarannya khusus

kasus pemanfaatan hasil hutan kayu secara illegal (illegal logging) pada periode lima

tahun terakhir (2006-2010) ada 1.210 ( seribu dua ratus sepuluh) kasus, yang dapat

diselesaikan pada tingkat penyidikan dan diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU)

sebanyak 654 (enam ratus lima puluh empat) kasus, atau 54,04%, dengan barang

bukti kayu bulat dan olahan dari berbagai jenis sebanyak ±12.966 M³, sebagian besar

4 Data dari Sat IV/Tipiter Direktorat Reskrim Polda Sumut periode tahun 2005-2010. Dan

data diakses melalui 5

Laporan Penelitian Pengegakan Hukum Terhadap Perusakan Ekosistem Hutan Mangrove, Direktorat Penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi Kepolisian (PTIK) Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 2009, hal 37-60.

6Loc Cit

Data dari Sat IV/Tipiter Direktorat Reskrim Polda Sumut periode tahun 2005-2010 dan hasil penelitian “Bambang Hero”, IPB Bogor

(4)

telah dilelang dengan nilai lelang Rp. 6.251.171.350 (enam miliar dua ratus lima

puluh satu juta seratus tujuh puluh satu ribu tiga ratus lima puluh rupiah). Dari

sejumlah kasus tersebut, ada 22 (dua puluh dua) kasus dengan dengan latar belakang

memiliki izin dalam bentuk IUPHHK dan IPKTM diputus bervariasi, ada yang

terbukti secara sah dan meyakinkan, ada yang terdakwa dibebaskan dari segala

dakwaan atau bebas murni (vrijspraak), dan ada putusan lepas dari segala tuntutan

hukum (onslag van recht vervolging). Pertimbangan hukum dalam putusan bebas,

yaitu karena telah memiliki izin, belum dilakukan penata batasan kawasan hutan

sehingga tidak ada kepastian hukum atas batas-batas kawasan hutan dan non kawasan

hutan.

Khusus dalam kasus an Terdakwa ADELIN LIS selaku Direktur Keuangan

/umum PT.KNDI yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam hal

pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dalam hutan produksi dengan fasilitas

negara dalam bentuk IUPHHK diputus bebas (vrijpraak) di PN. Medan dengan

pertimbangan, bahwa PT. KNDI ada memiliki izin , maka oleh karenanya seandainya

ada melakukan “perbuatan melawan hukum, yakni tidak melakukan kewajiban

hukumnya, hanya dikenakan sanksi administrasi berdasarkan PP. No. 34 tahun

2002”.8

8

Putusan PN Medan an. Adelin Lis No: 2240/Pid.B/2007/PN. Medan, tanggal 05 Nopember 2007 dan Surat Menhut RI nomor: S.613/Menhut-II/2006 tanggal 27 Septermber 2006.

Sementara itu dalam dakwaan JPU mendalilkan bahwa “perbuatan melawan

hukum” tidak sama atau identik dengan tindak pidana atau perbuatan pidana oleh

(5)

yang ditetapkan oleh suatu peraturan tertulis dan apabila tidak dilaksanakan atau

dilanggar maka mengakibatkan suatu tindak pidana, misalnya perbuatan “mark up”,

dan perbuatan “tidak sesuai dengan bestek”.9 Oleh karena itu JPU menempuh upaya

kasasi. Pertimbangan hukum dalam putusan MARI tentang pengertian” perbuatan

melawan hukum” menggunakan yurisprudensi perkara Lindenbaum Cohen tahun

1919, bahwa perbuatan melawan hukum meliputi perbuatan yang bertentangan

dengan kewajiban hukum sipelaku, MARI: mendalilkan “bahwa pelanggaran hukum

administrasi negara termasuk dalam kwalifikasi bertentangan dengan kewajiban

hukum si pelaku, yang merupakan salah satu kriteria suatu perbuatan melawan

hukum”.10

Dalam hal pengenaan “sanksi administratif”, JPU berdasarkan ketentuan pasal

80 ayat (2) UU Kehutanan menyatakan: “Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan

kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil

hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini,

apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal

78 dikenakan sanksi administratif”.

Terjadi multi tafsir dalam penegakan hukum pidana kehutanan oleh karenanya

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Penegakan Hukum Pidana

Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan

9

Memori Kasasi JPU akta Nomor: 85/Akta.Pid / 2007/PN.Mdn tanggal 27 Nopember 2007, hal 109

10

(6)

MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)” sangat penting untuk diteliti,

walaupun sudah ada penelitian-penelitian sebelumnya terhadap putusan tersebut.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dirumuskan permasalahan untuk

dijawab dalam penelitian, sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang

kehutanan, khususnya pemanfaatan hasil hutan kayu ?

2. Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu

dalam kasus Adelin Lis ?

3. Apa hambatan dalam penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil

hutan kayu dalam kasus Adelin Lis ?

C. Tujuan penelitian

Berdasarkan pada pokok permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penelitian

ini adalah untuk mengetahui tentang:

1. Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan,

khususnya pemanfaatan hasil hutan kayu.

2. Penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kasus

Adelin Lis.

3. Hambatan dalam penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan

(7)

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis

maupun untuk praktis, yaitu:

1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan

pemikiran bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi

penelitian lanjutan, serta menambah kepustakaan.

2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi khususnya dalam proses penegakan hukum pidana (law in action) terhadap

pemanfaatan hasil hutan kayu dan para pelaku usaha pemanfaatan hasil hutan

kayu.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian yang berkaitan dengan kasus Adelis Lis sudah pernah dilakukan oleh mahasiswa magister ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas nama Marsudi, dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan” dan permasalahan: pertama, Apakah penebangan kayu diluar RKT bagi pemilik IUPHHK memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dalam UU kehutanan ?; kedua, Bagaimanakah pertanggung jawaban pidana penebangan pohon diluar RKT bagi

pemegang IUPHHK?; Ketiga, bagaimana penanggulangan penebangan pohon diluar

RKT bagi pemegang IUPHHK? Sedangkan atas nama Robet Kennedy, dengan judul

(8)

Penanggulangan Money Laundering: Studi Kasus Adelin Lis (Direksi PT Keang Nam

Development Indonesia)” dengan permasalahan: Pertama, bagaimana pengaturan

hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana kehutanan dan money laundering di

Indonesia?; kedua, Bagaimana pertanggung jawaban pelaku tindak pidana kehutanan

dalam kasus Adelin Lis, atau direksi PT KNDI?; Ketiga, bagaimana penegakan

hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan dalam upaya menanggulangi

money laundering? 11

Keduanya memiliki rumusan permasalahan yang berbeda, sedangkan

permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian lanjutan ini juga berbeda dengan

penelitian sebelumnya. Penelitian ini juga menjunjung tinggi kode etik penulisan

karya ilmiah, oleh karena itu, penelitian ini adalah benar keasliannya baik dilihat dari

judul, permasalahan, pembahasannya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsep

1. Kerangka Teori

Untuk menjawab permasalahan di muka, maka dalam penelitian ini, digunakan

teori sistem hukum sebagai pisau analisisnya yang dikemukakan oleh Lawrence M.

Friedman, yang memandang hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub-sistem,

yakni substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum 12

11

website perpustakaan USU Program Magister Ilmu Hukum http://repository.usu.ac.id/

. Alasan penggunaan

teori ini didasarkan pada pandangan bahwa pembahasan terhadap penegakan hukum

12

(9)

pidana kehutanan, khususnya dalam pemanfaatan hasil hutan kayu tidak dapat

dianalisis hanya secara parsial, akan tetapi harus secara komprehensip atau secara

utuh dan sistemis, pembahasan dimulai dari aspek substansi peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana kehutanan, termasuk

instrumen pemanfaatan hasil hutan kayu, terhadap aspek struktur hukumnya meliputi

lembaga penegak hukum kehutanan mulai dari penyidik (Polri, PPNS Kehutanan),

jaksa penuntut umum, hakim, pengacara, termasuk instrumen (manusia) yang terkait

dengan perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu yang belum sinergi, dan aspek kultur

hukumnya, yakni budaya hukum penegak hukum yang kurang konsisten dalam

penegakan hukum pidana kehutanan terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu karena

dipengaruhi faktor kepentingan, seperti suap.

Perumusan masalah tersebut, diangkat dari studi kasus dalam penegakan hukum

pidana kehutanan, yakni UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, yang diubah

dengan UU No 19 tahun 2004, tentang penetapan Perpu No 1 tahun 2004, tentang

perubahan atas UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, khususnya penegakan

hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dengan IUPHHK dari Menteri

Kehutanan RI: SK Menhut RI No. 805/Kpts-VI/1999, tanggal 30 September 1999

yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) berdasarkan putusan MARI No 68

K/PID.SUS/2008, an Adelin Lis selaku direktur keuangan PT Keang Nam

Development & Co (PT KNDI) dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan illegal logging pada kawasan hutan

(10)

Sumatera Utara. Adelin Lis dipidana Penjara 10 tahun dan wajib membayar uang

sebesar Rp.119.802.393.040 dan US$ 2.938.556,24 13

(1) Substansi hukum pasal 80 ayat (1) (2) UU kehutanan menetapkan ganti

rugi dan sanksi administrasi apabila pemegang IUPHHK melanggar

ketentuan pidana diluar pasal 78, yakni:

. Persoalan-persoalan yang

timbul dari rumusan permasalahan diasumsikan sebagai berikut:

Ayat (1) “Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biayarehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan”

Ayat (2) “Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.”

Penetapan rumusan ini menimbulkan multi tafsir dan kontroversial

terhadap prinsip-prinsip dan cita-cita pengaturan kehutanan termasuk

penegakan hukum pidana kehutanan itu sendiri.

Timbulnya multi tafsir dan kontroversial diantara penegak hukum

berdasarkan fakta hukum dalam kasus Adelin Lis, yakni :

1). Terbitnya surat Menhut RI No.S.613/Menhut-II/2006, tanggal 27

September 2006 yang menyatakan bahwa “penebangan diluar RKT

13

(11)

dipandang sebagai pelanggaran administratif dan bukan merupakan

perbuatan pidana”;14

2). Jaksa Penuntut Umum menuntut dengan pidana kehutanan, dan

pidana korupsi;

3). Judex facti memutuskan putusan bebas (vrijpraak), akan tetapi pada

putusan kasasi membatalkan putusan tersebut dengan putusan

terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

korupsi dan kehutanan.

(2) Peluang multi tafsir atas sanksi dalam pasal 78 terhadap pasal 80 ayat (2)

UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, timbul hambatan dalam

penegakan hukumnya, terutama pelaksanaan eksekusi, baik terhadap

Adelin Lis tidak dapat dilakukan karena setelah putusan bebas oleh PN

Medan yang bersangkutan melarikan diri dan saat penelian status Daftar

Pencarian orang (DPO) maupun pelaksanaan eksekusi terhadap harta

kekayaannya untuk membayar uang pengganti oleh Jaksa Penuntut

Umum belum dapat dilakukan.

Lawrence M. Friedman membagi sistem hukum kedalam tiga subsistem, yakni

substansi, struktur dan kultur hukum/budaya hukum 15

14

Putusan Yudex Facti tersebut telah dianulir dengan putusan MARI No 68/PIDSUS/2008 hal 252 memutuskan: 1) Bahwa Menhut tidak mempunyai kompetensi untuk menyatakan suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau tindakan administratif; 2) Bahwa yang berwenang menyatakan apakah suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana adalah hakim; 3) Bahwa tindakan hakim yang membenarkan isi kedua surat tersebut adalah suatu pembenaran bagi lembaga lain selain pengadilan untuk bertindak sebagai hakim.

(12)

Substansi hukum adalah aturan, norma, peraturan perundang-undangan yang

berlaku yang berada dalam sistem hukum itu. Substansi hukum tidak hanya

menyangkut peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam kitap-kitab hukum

(law in books), 16 tetapi juga pada tataran hukum yang hidup (living law) 17

Struktur hukum adalah agensi-agensi, organ-organ, pejabat-pejabat, badan dan

lembaga yang mengawasi peraturan hukum dan melaksanakan fungsi struktural

tersebut yang diawasi dengan sebuah sistem pengawasan yang memadai

yakni

“produk” berupa keputusan-keputusan administrasi negara yang dihasilkan oleh

pejabat publik dalam lingkup sistem hukum itu, misalnya surat keputusan.

18

Kultur hukum (budaya hukum) lahir dari sejumlah fenomena yang saling

berkaitan. Pertama, dari pemahaman publik mengenai pola-pola sikap dan perilaku

terhadap sistem hukum antara seorang ke orang lain akan berbeda, misalnya apakah

pengadilan itu telah adil?, kapan orang-orang bersedia menggunakan pengadilan?,

unsur hukum mana yang sah (ligitimate), bagaimana pemahaman mereka mengenai

hukum? Kedua, satu jenis kultur hukum kelompok, yakni kultur hukum para . Setiap

peraturan perundang-undangan harus mempunyai lembaga pengawas dan berfungsi

untuk menegakkan undang-undang. Lembaga pengawas ditetapkan pada pasal 59

sampai pasal 64 dalam UU Kehutanan, yakni pemerintah pusat, daerah dan

masyarakat.

15

Lawrence M. Friedman. “American Law An Introduction,” (Secon Edition), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,Jakarta: Tata Nusa, 2001), hal 7.

16 Ibid hal 7

17

Ibid hal 8

18

(13)

profesional hukum bisa meliputi persoalan-persoalan kepercayaan, nilai, pemikiran

dan harapan manusia terhadap hukum dan sistem hukum, dan prinsip-prinsip para

pengacara, hakim dan lain-lainnya yang bekerja dalam lingkaran ajaib sistem hukum

19

. Budaya hukum dapat diartikan pula sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan

sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau

disalahgunakan. Budaya hukum sangat dipengaruhi oleh “sub-budaya hukum”

berdasarkan ras, seperti orang kulit putih, kulit hitam, berdasarkan agama, yakni

Katholik, Protestan, Yahudi, Polisi, Penjahat, Penasehat hukum, Pengusaha dan lain

sebagainya. Sub-budaya hukum yang sangat menonjol dan sangat berpengaruh

terhadap hukum adalah budaya dari “orang dalam” (insiders) yaitu hakim, dan

mereka yang terlibat bekerja dalam sistem hukum itu 20

Selain menggunakan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M.

Friedman, juga menggunakan teori hukum pembuktian untuk menjawab

permasalahan penegakan hukum dari perpektif hukum pembuktian mulai pada tahap

penyidikan sampai pada proses pemeriksaan sidang pengadilan hingga putusan hakim

atas perkara Adelin Lis berkekuatan hukum yang tetap (inkracht). .

2. Kerangka Konsepsi (Definisi Operasional)

Dalam melakukan penelitian tesis ini, dijelaskan beberapa istilah sebagai

definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan, yaitu:

19

Ibid Lawrence M. Friedman. “Sistem Hukumperspektif ilmu sosial”, Penterjemah: M. Khozim, diterjemahkan dari buku Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Russel Sage Fundation, 1975),Bandung, Nusa Media, 2009, hal 254-255

20

(14)

a) Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum atau “penerapan hukum” adalah

pelaksanaan penegakan hukum secara konkrit dalam kehidupan masyarakat

sehari-hari terhadap pelanggaran hukum. Dalam bahasa asing (Belanda: Rechtdtoepassing,

rechtshandhaving; dan Amerika: Law enforcement, application); 21 Peradilan adalah

proses mengadili, yaitu pada saat hakim memeriksa dan mengadili suatu perkara.

Hakim memeriksa kenyataan yang terjadi, dan menghukuminya dengan peraturan

yang berlaku. Hasil akhir proses peradilan adalah putusan pengadilan atau putusan

hakim. 22 Yang dimaksud penegakan hukum dalam penelitian ini adalah suatu proses

penegakan hukum pidana dengan hukum formal yang dirumuskan dalam hukum

formal, yakni: kitab undang-undang hukum acara pidana, yakni UUNo. 8 tahun 1981,

tentang KUHAP, yang lebih dikenal dengan administrasi keadilan (administration of

justice); 23

21

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal 181

dan ketentuan formal yang melekat pada undang-undang yang

bersangkutan, contoh: Pasal 78 ayat (14) (15) UU Kehutanan, yang menetapkan:

tentang pertanggung jawaban tindak pidana dijatuhkan pada pengurusnya dan

hak/wewenang penegak hukum dalam mengurus barang bukti dengan merampas

untuk Negara atas “semua hasil hutan (corpora delicti ) dari hasil kejahatan dan

pelanggaran dan atau alat-alat angkutnya (instrumental delicti) yang dipergunakan

untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran” dan pasal 79 ayat (1) UU

Kehutanan, yang menetapkan hak/wewenang penegak hukum melelang untuk

Negara atas “kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa

22

Ibid hal 182 23

(15)

temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran dan hukum pidana

formal lainnya yang terkait terhadap penegakan hukum materiil.

b) Hukum Pidana:

Menurut Moeljatno 24

“Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1). Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut atau disebut perbuatan pidana (criminal act). 2). Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan atau Pertanggungjawaban hukum pidana (criminal liability

atau criminal responsibility) 3). Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.

(a) Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, kita menganut asas yang dinamakan asas legalitas (principles of legality), yakni asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang (pasal 1 ayat 1 KUHP) atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada dan berlaku bagi terdakwa (pasal 4 ayat (2) UUDS dahulu) sebelum orang dapat dituntut untuk dipidana karena perbuatannya.

(b) Barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana. Akan tetapi ini belum berarti bahwa tiap-tiap orang yang melakukan perbuatan tersebut lalu mesti dipidana. Sebab untuk memidana seseorang disamping melakukan perbuatan yang dilarang, dikenal asas yang berbunyi: “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.” Dalam bahasa belanda “Geen straf zonder schul.” Jerman: “Keine Straf ohne Schuld.” Dalam hukum pidana Inggris asas dikenal dalam bahasa Latin yang berbunyi: “Actus non facit, nisi mens sit rea. (An act does not make a person guilty, unless the mind is guilty). Asas tersebut tidak kita dapat dalam KUHP sebagaimana halnya dengan asas legalitas. Juga tidak ada dalam lain-lain perundangan. Asas ini adalah asas yang ada dalam hukum yang tidak tertulis, yang hidup dalam anggapan masyarakat dan yang tidak kurang mutlak berlakunya daripada asas yang tertulis dalam perundangan. Buktinya ialah, andaikata ada orang yang dipidana tanpa mempunyai kesalahan, misalnya dia

24

(16)

melakukan perbuatan yang tidak tahu, bahkan tidak mungkin untuk mengetahuinya bahwa merupakan perbuatan pidana, niscaya hal itu akan melukai perasaan keadilan. Seyogianya dalam hal yang demikian, sipelanggar diberi peringatan dahulu. Perwujudan dalam KUHP tentang tidak dipidananya orang yang telah melakukan perbuatan pidana, misalnya pasal 44 KUHP mengenai orang yang tidak mampu bertanggungjawab, pasal 48 KUHP mengenai orang yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa (overmacht).

c) Tindak pidana, Menurut Moeljatno, adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,

bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa

perbuatan pidana, adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan

diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan itu ditujukan pada

perbuatan (yaitu suatu keadaan, atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan

orang) sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang

menimbulkannya. 25 Kata “tindak pidana” merupakan terjemahan dari “strafbaar

feit”, Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”, Tirtaamidjaja

menggunakan istilah “pelanggaran pidana”, sedangkan Utrecht menggunakan istilah

“peristiwa pidana”. Sinonim dari tidak pidana adalah “delik”, yang dalam bahasa latin

adalah delictum yang artinya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena

merupakan pelanggaran terhadap perundang-undangan pidana. 26

25

Dikutip dari buku Pietrus Waine “Penyidikan Tindak Pidana Tertentu (beberapa Ketentuan Pidana di Luar KUHP”, Sanggar Krida Aditama Semarang, 2008, hal 11

Dalam penelitian

ini akan digunakan Tindak Pidana.

26

(17)

d) Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan

dan mengusahakan hasil hutan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak

mengurangi fungsi pokok hutan, sebagaimana ditetapkan pada pasal 1ayat (7) PP. No

34 tahun 2002, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,

pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.

e) Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan Produksi pada hutan alam

dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu disingkat

IUPHHK melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pemeliharaan (pembibitan,

permudaan pengayaan/ rehabilitasi/reklamasi), dan pemasaran (vide pasal 28 ayat (2)

UU Kehutanan dan pasal 1ayat (13) PP. No 34 tahun 2002, tentang tata hutan dan

penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan

hutan).

f) Yang dimaksud dengan Tindak Pidana kehutanan adalah perbuatan yang

ditentukan sebagai perbuatan pidana sebagaimana telah diatur dan ditetapkan dalam

pasal 78 UU Kehutanan. Dalam penelitian ini terbatas pada tindak pidana kehutanan

pada pasal 78 ayat (1) (5) (7) jo pasal 50 ayat (2), ayat (3) huruf e,f, h UU Kehutanan.

g) Yang dimaksud dengan Tindak pidana Korupsi adalah perbuatan yang

ditentukan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diatur dan

ditetapkan dalam pasal 2 s/d pasal 24 UU No. 31 tahun 1999, tentang pemberantasan

tindak pidana korupsi yang telah di ubah dengan UU No. 20 tahun 2001. Dalam

penelitian ini terbatas pada tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian

(18)

1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang di ubah dengan UU No. 20

tahun 2001 (untuk selanjutnya disebut UU TPK).

G. Metode Penelitian.

Ada 2 (dua) jenis penelitian hukum, yakni penelitian hukum normatif dan

penelitian hukum empiris (sosiologis).27 Adapun metode penelitian yang akan

digunakan dalam mengeksplorasi permasalahan penelitian ini adalah menggunakan

metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal yang

mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan

perundang-undangan (law in books), atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang

merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas, mempersoalkan

hukum sebagai apa yang seharusnya (das sollen).28 Penelitian hukum normatif akan

mengkaji objek dari sistematika berdasar ketaatan pada struktur hukum secara

hierarkis untuk memberikan sebuah pendapat hukum yang menempatkan sistem

norma sebagai objek kajiannya. Sistem norma dimaksud terdiri dari substansi,

struktur dan kultur hukum itu sendiri. 29

27

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1983), hal 51, dikutip oleh Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyajakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal 153

Di dalam penelitian ini menggunakan

metode studi kasus (case study), yakni suatu studi terhadap kasus an. Adelin Lis atas

putusan MARINo. 68.K/PID.SUS/2008, tanggal 31 Juli 2008 dari perpektif hukum

pidana dan hukum administrasi negara untuk dapat menjawab permasalahan, apa

28

Ibid hal 36 29

(19)

yang seharusnya (aliran hukum positivisme) akan dibandingkan dengan apa yang

senyatanya (aliran hukum sosiologisme). Peter Mahmud, penelitian hukum normatif

yang mengkaji sistem norma dapat menggunakan logika deduktif dengan alat

silogisme yang menempatkan dalil, kaidah hukum dalam perundang-undangan,

prinsip-prinsip hukum, dan ajaran atau doktrin hukum sebagai premis mayor dan

menghubungkannya dengan fakta atau peristiwa tindak pidana yang dipersangkakan

terhadap Adelin Lis sebagai premis minor untuk membuat suatu kesimpulan yang

bertujuan untuk membangun preskritif kebenaran hukum.30

Dalam studi kasus (case study) ini, akan menganalisa alasan-alasan hukum

(ratio decidendi atau reasoning) apa yang digunakan oleh majelis hakim PN Medan

untuk sampai kepada putusan pidana bebas murni (vrisjpraak) bagi Adelin Lis dan

sebaliknya oleh majelis hakim kasasi yang memutuskan perkara Adelin Lis terbukti

bersalah secara sah dan meyakinkan.

31

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian

hukum normatif menempatkan sistem norma sebagai objek kajian.32

30 Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum” Kencana, Jakarta, 2008, hal 41-51, hal 94. Penelitian hukum normatif dengan pendekatan kasus (case approach),adalah dengan melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan studi kasus (case study) hanya terhadap suatu kasus tertentu yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dari perspektif hukum pidana, hukum administrasi negara, hukum tata negara.

Alasan

penggunaan metode penelitian hukum normatif ini analisis kualitatif yang didasarkan

pada hubungan dinamis antara teori sistem norma atau sistem hukum menurut

31

Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Op. Cit. hal 191 32

(20)

Lawrence M. Friedman, terori hukum pembuktian dalam penegakan hukum,

konsep-konsep atau definisi operasional dan data yang menjadi objek kajian dalam

penelitian ini adalah perundang-undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil

hutan kayu.

Sifat penelitian adalah penelitian deskritif, yakni menggambarkan atau

memaparkan secara tepat, akurat dan sistematis gejala-gejala hukum terkait dengan

penegakan hukum pidana yang dikaitkan dengan hukum administrasi negara

kaitannya dengan pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kasus Adelin Lis selaku

Direktur PT KNDI.

2. Sumber Bahan Hukum

Penelitian hukum normatif yang menitik beratkan pada data sekunder atau pada

penelitian kepustakaan atau data kepustakaan atau dikenal dengan bahan hukum,

maka sumber bahan hukum yang digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa

kelompok, yaitu:

a. Bahan hukum primer, yang terdiri atas peraturan perundang-undangan,

yurisprudensi atau keputusan pengadilan (lebih-lebih bagi penelitian yang

berupa studi kasus), dan perjanjian Internasional (traktat) yang relevan dengan

permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Amandemen (Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan);

2) Undang-Undang No 41 tahun 1999, tentang kehutanan yang diubah

(21)

3) Undang-Undang No 31 tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi yang di ubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001, tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi.

4) Undang-Undang No 40 tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas.

5) UU No 17 tahun 2003, tentang keuangan negara

6) Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2002, tentang Tata Hutan dan

Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan

Penggunaan Kawasan Hutan yang di ubah dengan Peraturan Pemerintah

No 6 Tahun 2007, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana

Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.

7) Peraturan Pemerintah No 45 tahun 2004, tentang Perlindungan Hutan,

yang di ubah dengan Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2009, tentang

Perlindungan hutan.

8) Peraturan Pemerintah No 44 tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan.

9) Permenhut RI No 126 tahun 2003

10)Permenhut RI No 48 tahun 2006

11)Peraturan Menteri Kehutanan RI No 55 tahun 2006

12)SK Menhut RI No. 805/Kpts-VI/1999, tanggal 30 September 1999

13)Kep Dirjen Pengusahaan Hutan No. 151/KPTS/IV/-BPHH/1993, tanggal

(22)

14)Putusan PN Medan Nomor: 2240/Pid.B/2007/PN. Medan, tanggal 05

Nopember 2007 dan putusan MARINo. 68.K/PID.SUS/2008, tanggal, 31

Juli 2008.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan

penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer, seperti rancangan

perundang-unangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat

kabar (koran), pamplet, lefleat, brosur, dan berita internet, digunakan untuk

membantu memahami bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam

kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer,

yang terdiri dari:

1) Buku-buku

2) Jurnal-Jurnal

3) Majalah-Majalah

4) Artikel-artikel; dan

5) Berbagai tulisan lainnya

c. Bahan hukum tertier diperlukan untuk berbagai hal dalam hal penjelasan

makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer

khususnya kamus-kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

ensiklopedi, leksikon, dan lain-lain.

3. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Keseluruhan data sekunder ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library

(23)

antara lain instansi terkait penelitian Direktorat Reskrim Polda Sumut, perpustakaan

Universitas Sumatera Utara dan mengakses melalui internet dan narasumber yang

ahli dibidang hukum administrasi negara dan hukum perseroan terbatas untuk

menambah bahan hukum sekunder dalam penelitian hukum normatif.

4. Metode Analisa Data

Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian berupa melakukan kajian

atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori sistem

hukum oleh Lawrence M. Friedman, dan teori hukum pembuktian menurut KUHAP,

termasuk konsep operasional yang berkaitan dengan rumusan permasalahan yang

telah ditetapkan dimuka. Metode analisa data ini bersifat kualitatif yang disajikan

secara deskritif analitis, dengan menggambarkan dan memaparkan

pertimbangan-pertimbangan hukum dalam mengambil suatu putusan atas perkara Adelin Lis, baik

pada tingkat Pengadilan Negeri sampai pada tingkat kasasi guna membuat suatu

jawaban terhadap permasalahan yang telah dirumuskan, kemudian menarik suatu

Referensi

Dokumen terkait

menindaklanjuti   rekomendasi  dan/atau  putusan  Bawaslu  Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota kepada KPU terkait terganggunya

kehilangan permanen atas kemampuan untuk berbicara dan tidak dapat disembuhkan baik dengan pembedahan atau perawatan lainnya, dengan keterangan tertulis oleh

Potensi wisata adalah sumberdaya alam yang beraneka ragam, dari aspek fisik dan hayati, serta kekayaan budaya manusia yang dapat dikembangkan untuk pariwisata. Banyu

DESAIN MANUFAKTUR HORIZONTAL FIRE TUBE BOILER DENGAN KAPASITAS 250 KG/JAM BERBAHAN BAKAR SOLAR.. TEGUH FERY SAKSONO

Penelitian ini dilaksankan pada bulan Mei-Juni 2017 di Sungai Babarsari Kecamatan Kutalimbaru Kabupaten Deli Serdang, dengan menganalisis pengaruh kegiatan masyarakat

Berdasarkan nilai undulasi yang diperoleh dari perhitungan berdasarkan titik referensi PPS02 Belawan dan TTG 540 diketahui bahwa perbedaan tinggi undulasi antar masing-masing

N N askah soal askah soal setiap mata pelajaran sesuai jadual Ujian setiap mata pelajaran sesuai jadual Ujian Nasional per-jurusan (IPA, IPS dan Bahasa)

Jumlah famili makroinvertebrata air pada vegetasi riparian di sembilan stasiun titik sampling dari orde 1 (sungai Sempur), orde 2 (segmen sungai Maron sebelum