BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kehutanan suatu sistem pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan dengan asas manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Pemanfaatan hutan dan hasilnya bertujuan untuk mensejahterakan seluruh masyarakat secara berkeadilan (tidak dinikmati oleh perorangan, kelompok atau golongan), melainkan harus didistribusikan secara berkeadilan untuk dinikmati masyarakat luas dengan tetap menjaga fungsi hutan secara lestari.(vide pasal 1, 2 pasal 23 dan penjelasannya UU Kehutanan).
Hutan yang berfungsi produksi (hutan produksi) adalah kawasan hutan yang
ditumbuhi oleh pepohonan keras yang perkembangannya selalu diusahakan dan
dikhususkan untuk dipungut hasilnya, baik berupa pohon kayu maupun hasil-hasil
sampingan lainnya, seperti getah, damar, akar, dan lain-lain.1
Hutan yang didominasi unsur pepohonan (pohon kayu), dikaitkan dengan
kemanfaatan dan peranan hutan, maka pohon kayu berfungsi sebagai modal
pembangunan nasional baik manfaat ekologi, sosial budaya, maupun manfaat
ekonomi serta sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global yang saling
keterkaitan dengan dunia Internasional, maka unsur pohon kayu dalam pengertian
1
hutan memiliki nilai kemanfaatan dan peranannya yang sangat besar dan strategis. 2
Namun pada sisi lain di Irian, Kalimantan, di Sumatera dalam angka kuantitatif
terjadi deforestasi jutaan hektar setiap tahunnya melalui: konversi hutan untuk
pembangunan perkebunan kelapa sawit, untuk pertambangan dan akibat illegal
logging.
Berkaitan dengan hutan produksi, Indonesia telah membangun kurang lebih 64,3 juta
hektar atau 33% dari luas kawasan hutan yang ada untuk mempertahankan fungsi
hutan produksi sejak tahun 2001.
3
Khusus di wilayah Sumatera Utara telah terjadi deforestasi puluhan ribu hektar
setiap tahunnya melalui: konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit, untuk
pertambangan dan akibat illegal logging ratusan ribu meter kubik kayu berbagai jenis
setiap tahunnya yang berasal dari hutan lindung, hutan konservasi dan atau hutan
produksi tanpa hak dengan menyalahgunakan izin yang diperoleh dari pejabat yang
berwenang berupa Hak Penguasaan Hutan (HPH) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-Alam), adanya penerbitan Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) pada
hutan alam, adanya penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Kayu Tanaman Masyarakat
(IPKTM) dan Izin Pemungutan Kayu (IPK) pada hutan produksi, pada hutan lindung
2Undang-undang Kehutanan dan Perubahannya, Op. Cit, hal 37, tentang penjelasan umum UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan.
3
dan hutan konservasi 4. Puluhan kasus perambahan dan pendudukan kawasan hutan
Mangrove di Propinsi Sumatera Utara untuk dialih fungsikan menjadi perkebunan
kelapa sawit dan lahan pertambakan udang. 5
Usaha dan/atau kegiatan pengalihan fungsi hutan, pemanfaatan hasil hutan,
perambahan dan pendudukan kawasan hutan tersebut telah menimbulkan kerusakan
hutan (kerusakan ekologi), kerugian negara dengan nilai mencapai ratusan miliaran
rupiah, 6 dan terjadi pengalihan fungsi pokok hutan produksi, lindung dan konservasi
menjadi perkebunan mencapai ribuan hekar yang selalu berlindung dibalik campur
tangannya administrasi negara selaku pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
kebijakan publik; ribuan mater kubik kayu dari hutan alam berbagai jenis disita,
hilangnya hak-hak negara berupa PSDH dan DR bernilai ratusan miliaran rupiah, dan
sebagainya. 7
Data hasil penyidikan pada penyidik Polri Polda Sumut dan jajarannya khusus
kasus pemanfaatan hasil hutan kayu secara illegal (illegal logging) pada periode lima
tahun terakhir (2006-2010) ada 1.210 ( seribu dua ratus sepuluh) kasus, yang dapat
diselesaikan pada tingkat penyidikan dan diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU)
sebanyak 654 (enam ratus lima puluh empat) kasus, atau 54,04%, dengan barang
bukti kayu bulat dan olahan dari berbagai jenis sebanyak ±12.966 M³, sebagian besar
4 Data dari Sat IV/Tipiter Direktorat Reskrim Polda Sumut periode tahun 2005-2010. Dan
data diakses melalui 5
Laporan Penelitian Pengegakan Hukum Terhadap Perusakan Ekosistem Hutan Mangrove, Direktorat Penelitian dan pengembangan ilmu dan teknologi Kepolisian (PTIK) Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta, 2009, hal 37-60.
6Loc Cit
Data dari Sat IV/Tipiter Direktorat Reskrim Polda Sumut periode tahun 2005-2010 dan hasil penelitian “Bambang Hero”, IPB Bogor
telah dilelang dengan nilai lelang Rp. 6.251.171.350 (enam miliar dua ratus lima
puluh satu juta seratus tujuh puluh satu ribu tiga ratus lima puluh rupiah). Dari
sejumlah kasus tersebut, ada 22 (dua puluh dua) kasus dengan dengan latar belakang
memiliki izin dalam bentuk IUPHHK dan IPKTM diputus bervariasi, ada yang
terbukti secara sah dan meyakinkan, ada yang terdakwa dibebaskan dari segala
dakwaan atau bebas murni (vrijspraak), dan ada putusan lepas dari segala tuntutan
hukum (onslag van recht vervolging). Pertimbangan hukum dalam putusan bebas,
yaitu karena telah memiliki izin, belum dilakukan penata batasan kawasan hutan
sehingga tidak ada kepastian hukum atas batas-batas kawasan hutan dan non kawasan
hutan.
Khusus dalam kasus an Terdakwa ADELIN LIS selaku Direktur Keuangan
/umum PT.KNDI yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam hal
pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dalam hutan produksi dengan fasilitas
negara dalam bentuk IUPHHK diputus bebas (vrijpraak) di PN. Medan dengan
pertimbangan, bahwa PT. KNDI ada memiliki izin , maka oleh karenanya seandainya
ada melakukan “perbuatan melawan hukum, yakni tidak melakukan kewajiban
hukumnya, hanya dikenakan sanksi administrasi berdasarkan PP. No. 34 tahun
2002”.8
8
Putusan PN Medan an. Adelin Lis No: 2240/Pid.B/2007/PN. Medan, tanggal 05 Nopember 2007 dan Surat Menhut RI nomor: S.613/Menhut-II/2006 tanggal 27 Septermber 2006.
Sementara itu dalam dakwaan JPU mendalilkan bahwa “perbuatan melawan
hukum” tidak sama atau identik dengan tindak pidana atau perbuatan pidana oleh
yang ditetapkan oleh suatu peraturan tertulis dan apabila tidak dilaksanakan atau
dilanggar maka mengakibatkan suatu tindak pidana, misalnya perbuatan “mark up”,
dan perbuatan “tidak sesuai dengan bestek”.9 Oleh karena itu JPU menempuh upaya
kasasi. Pertimbangan hukum dalam putusan MARI tentang pengertian” perbuatan
melawan hukum” menggunakan yurisprudensi perkara Lindenbaum Cohen tahun
1919, bahwa perbuatan melawan hukum meliputi perbuatan yang bertentangan
dengan kewajiban hukum sipelaku, MARI: mendalilkan “bahwa pelanggaran hukum
administrasi negara termasuk dalam kwalifikasi bertentangan dengan kewajiban
hukum si pelaku, yang merupakan salah satu kriteria suatu perbuatan melawan
hukum”.10
Dalam hal pengenaan “sanksi administratif”, JPU berdasarkan ketentuan pasal
80 ayat (2) UU Kehutanan menyatakan: “Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan
kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil
hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini,
apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
78 dikenakan sanksi administratif”.
Terjadi multi tafsir dalam penegakan hukum pidana kehutanan oleh karenanya
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Penegakan Hukum Pidana
Terhadap Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (Studi Kasus Terhadap Putusan
9
Memori Kasasi JPU akta Nomor: 85/Akta.Pid / 2007/PN.Mdn tanggal 27 Nopember 2007, hal 109
10
MARI No 68 K/PID.SUS/2008 An ADELIN LIS)” sangat penting untuk diteliti,
walaupun sudah ada penelitian-penelitian sebelumnya terhadap putusan tersebut.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, dirumuskan permasalahan untuk
dijawab dalam penelitian, sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang
kehutanan, khususnya pemanfaatan hasil hutan kayu ?
2. Bagaimana penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu
dalam kasus Adelin Lis ?
3. Apa hambatan dalam penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil
hutan kayu dalam kasus Adelin Lis ?
C. Tujuan penelitian
Berdasarkan pada pokok permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui tentang:
1. Pengaturan hukum pidana terhadap tindak pidana di bidang kehutanan,
khususnya pemanfaatan hasil hutan kayu.
2. Penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kasus
Adelin Lis.
3. Hambatan dalam penegakan hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
maupun untuk praktis, yaitu:
1. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan
pemikiran bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi
penelitian lanjutan, serta menambah kepustakaan.
2. Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi khususnya dalam proses penegakan hukum pidana (law in action) terhadap
pemanfaatan hasil hutan kayu dan para pelaku usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berkaitan dengan kasus Adelis Lis sudah pernah dilakukan oleh mahasiswa magister ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas nama Marsudi, dengan judul “Penegakan Hukum Terhadap Penebangan Pohon Di Luar Rencana Karya Tahunan Bagi Pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan” dan permasalahan: pertama, Apakah penebangan kayu diluar RKT bagi pemilik IUPHHK memenuhi unsur perbuatan melawan hukum dalam UU kehutanan ?; kedua, Bagaimanakah pertanggung jawaban pidana penebangan pohon diluar RKT bagi
pemegang IUPHHK?; Ketiga, bagaimana penanggulangan penebangan pohon diluar
RKT bagi pemegang IUPHHK? Sedangkan atas nama Robet Kennedy, dengan judul
Penanggulangan Money Laundering: Studi Kasus Adelin Lis (Direksi PT Keang Nam
Development Indonesia)” dengan permasalahan: Pertama, bagaimana pengaturan
hukum terhadap penegakan hukum tindak pidana kehutanan dan money laundering di
Indonesia?; kedua, Bagaimana pertanggung jawaban pelaku tindak pidana kehutanan
dalam kasus Adelin Lis, atau direksi PT KNDI?; Ketiga, bagaimana penegakan
hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kehutanan dalam upaya menanggulangi
money laundering? 11
Keduanya memiliki rumusan permasalahan yang berbeda, sedangkan
permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian lanjutan ini juga berbeda dengan
penelitian sebelumnya. Penelitian ini juga menjunjung tinggi kode etik penulisan
karya ilmiah, oleh karena itu, penelitian ini adalah benar keasliannya baik dilihat dari
judul, permasalahan, pembahasannya dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Untuk menjawab permasalahan di muka, maka dalam penelitian ini, digunakan
teori sistem hukum sebagai pisau analisisnya yang dikemukakan oleh Lawrence M.
Friedman, yang memandang hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari sub-sistem,
yakni substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum 12
11
website perpustakaan USU Program Magister Ilmu Hukum http://repository.usu.ac.id/
. Alasan penggunaan
teori ini didasarkan pada pandangan bahwa pembahasan terhadap penegakan hukum
12
pidana kehutanan, khususnya dalam pemanfaatan hasil hutan kayu tidak dapat
dianalisis hanya secara parsial, akan tetapi harus secara komprehensip atau secara
utuh dan sistemis, pembahasan dimulai dari aspek substansi peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana kehutanan, termasuk
instrumen pemanfaatan hasil hutan kayu, terhadap aspek struktur hukumnya meliputi
lembaga penegak hukum kehutanan mulai dari penyidik (Polri, PPNS Kehutanan),
jaksa penuntut umum, hakim, pengacara, termasuk instrumen (manusia) yang terkait
dengan perizinan pemanfaatan hasil hutan kayu yang belum sinergi, dan aspek kultur
hukumnya, yakni budaya hukum penegak hukum yang kurang konsisten dalam
penegakan hukum pidana kehutanan terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu karena
dipengaruhi faktor kepentingan, seperti suap.
Perumusan masalah tersebut, diangkat dari studi kasus dalam penegakan hukum
pidana kehutanan, yakni UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, yang diubah
dengan UU No 19 tahun 2004, tentang penetapan Perpu No 1 tahun 2004, tentang
perubahan atas UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, khususnya penegakan
hukum pidana terhadap pemanfaatan hasil hutan kayu dengan IUPHHK dari Menteri
Kehutanan RI: SK Menhut RI No. 805/Kpts-VI/1999, tanggal 30 September 1999
yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) berdasarkan putusan MARI No 68
K/PID.SUS/2008, an Adelin Lis selaku direktur keuangan PT Keang Nam
Development & Co (PT KNDI) dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan illegal logging pada kawasan hutan
Sumatera Utara. Adelin Lis dipidana Penjara 10 tahun dan wajib membayar uang
sebesar Rp.119.802.393.040 dan US$ 2.938.556,24 13
(1) Substansi hukum pasal 80 ayat (1) (2) UU kehutanan menetapkan ganti
rugi dan sanksi administrasi apabila pemegang IUPHHK melanggar
ketentuan pidana diluar pasal 78, yakni:
. Persoalan-persoalan yang
timbul dari rumusan permasalahan diasumsikan sebagai berikut:
Ayat (1) “Setiap perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam undang-undang ini, dengan tidak mengurangi sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78, mewajibkan kepada penanggung jawab perbuatan itu untuk membayar ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada Negara, untuk biayarehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan”
Ayat (2) “Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan, atau izin pemungutan hasil hutan yang diatur dalam undang-undang ini, apabila melanggar ketentuan di luar ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 78 dikenakan sanksi administratif.”
Penetapan rumusan ini menimbulkan multi tafsir dan kontroversial
terhadap prinsip-prinsip dan cita-cita pengaturan kehutanan termasuk
penegakan hukum pidana kehutanan itu sendiri.
Timbulnya multi tafsir dan kontroversial diantara penegak hukum
berdasarkan fakta hukum dalam kasus Adelin Lis, yakni :
1). Terbitnya surat Menhut RI No.S.613/Menhut-II/2006, tanggal 27
September 2006 yang menyatakan bahwa “penebangan diluar RKT
13
dipandang sebagai pelanggaran administratif dan bukan merupakan
perbuatan pidana”;14
2). Jaksa Penuntut Umum menuntut dengan pidana kehutanan, dan
pidana korupsi;
3). Judex facti memutuskan putusan bebas (vrijpraak), akan tetapi pada
putusan kasasi membatalkan putusan tersebut dengan putusan
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi dan kehutanan.
(2) Peluang multi tafsir atas sanksi dalam pasal 78 terhadap pasal 80 ayat (2)
UU No 41 tahun 1999, tentang kehutanan, timbul hambatan dalam
penegakan hukumnya, terutama pelaksanaan eksekusi, baik terhadap
Adelin Lis tidak dapat dilakukan karena setelah putusan bebas oleh PN
Medan yang bersangkutan melarikan diri dan saat penelian status Daftar
Pencarian orang (DPO) maupun pelaksanaan eksekusi terhadap harta
kekayaannya untuk membayar uang pengganti oleh Jaksa Penuntut
Umum belum dapat dilakukan.
Lawrence M. Friedman membagi sistem hukum kedalam tiga subsistem, yakni
substansi, struktur dan kultur hukum/budaya hukum 15
14
Putusan Yudex Facti tersebut telah dianulir dengan putusan MARI No 68/PIDSUS/2008 hal 252 memutuskan: 1) Bahwa Menhut tidak mempunyai kompetensi untuk menyatakan suatu perbuatan merupakan tindak pidana atau tindakan administratif; 2) Bahwa yang berwenang menyatakan apakah suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana adalah hakim; 3) Bahwa tindakan hakim yang membenarkan isi kedua surat tersebut adalah suatu pembenaran bagi lembaga lain selain pengadilan untuk bertindak sebagai hakim.
Substansi hukum adalah aturan, norma, peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang berada dalam sistem hukum itu. Substansi hukum tidak hanya
menyangkut peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam kitap-kitab hukum
(law in books), 16 tetapi juga pada tataran hukum yang hidup (living law) 17
Struktur hukum adalah agensi-agensi, organ-organ, pejabat-pejabat, badan dan
lembaga yang mengawasi peraturan hukum dan melaksanakan fungsi struktural
tersebut yang diawasi dengan sebuah sistem pengawasan yang memadai
yakni
“produk” berupa keputusan-keputusan administrasi negara yang dihasilkan oleh
pejabat publik dalam lingkup sistem hukum itu, misalnya surat keputusan.
18
Kultur hukum (budaya hukum) lahir dari sejumlah fenomena yang saling
berkaitan. Pertama, dari pemahaman publik mengenai pola-pola sikap dan perilaku
terhadap sistem hukum antara seorang ke orang lain akan berbeda, misalnya apakah
pengadilan itu telah adil?, kapan orang-orang bersedia menggunakan pengadilan?,
unsur hukum mana yang sah (ligitimate), bagaimana pemahaman mereka mengenai
hukum? Kedua, satu jenis kultur hukum kelompok, yakni kultur hukum para . Setiap
peraturan perundang-undangan harus mempunyai lembaga pengawas dan berfungsi
untuk menegakkan undang-undang. Lembaga pengawas ditetapkan pada pasal 59
sampai pasal 64 dalam UU Kehutanan, yakni pemerintah pusat, daerah dan
masyarakat.
15
Lawrence M. Friedman. “American Law An Introduction,” (Secon Edition), diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar,Jakarta: Tata Nusa, 2001), hal 7.
16 Ibid hal 7
17
Ibid hal 8
18
profesional hukum bisa meliputi persoalan-persoalan kepercayaan, nilai, pemikiran
dan harapan manusia terhadap hukum dan sistem hukum, dan prinsip-prinsip para
pengacara, hakim dan lain-lainnya yang bekerja dalam lingkaran ajaib sistem hukum
19
. Budaya hukum dapat diartikan pula sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan
sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau
disalahgunakan. Budaya hukum sangat dipengaruhi oleh “sub-budaya hukum”
berdasarkan ras, seperti orang kulit putih, kulit hitam, berdasarkan agama, yakni
Katholik, Protestan, Yahudi, Polisi, Penjahat, Penasehat hukum, Pengusaha dan lain
sebagainya. Sub-budaya hukum yang sangat menonjol dan sangat berpengaruh
terhadap hukum adalah budaya dari “orang dalam” (insiders) yaitu hakim, dan
mereka yang terlibat bekerja dalam sistem hukum itu 20
Selain menggunakan teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M.
Friedman, juga menggunakan teori hukum pembuktian untuk menjawab
permasalahan penegakan hukum dari perpektif hukum pembuktian mulai pada tahap
penyidikan sampai pada proses pemeriksaan sidang pengadilan hingga putusan hakim
atas perkara Adelin Lis berkekuatan hukum yang tetap (inkracht). .
2. Kerangka Konsepsi (Definisi Operasional)
Dalam melakukan penelitian tesis ini, dijelaskan beberapa istilah sebagai
definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan, yaitu:
19
Ibid Lawrence M. Friedman. “Sistem Hukumperspektif ilmu sosial”, Penterjemah: M. Khozim, diterjemahkan dari buku Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective (New York: Russel Sage Fundation, 1975),Bandung, Nusa Media, 2009, hal 254-255
20
a) Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum atau “penerapan hukum” adalah
pelaksanaan penegakan hukum secara konkrit dalam kehidupan masyarakat
sehari-hari terhadap pelanggaran hukum. Dalam bahasa asing (Belanda: Rechtdtoepassing,
rechtshandhaving; dan Amerika: Law enforcement, application); 21 Peradilan adalah
proses mengadili, yaitu pada saat hakim memeriksa dan mengadili suatu perkara.
Hakim memeriksa kenyataan yang terjadi, dan menghukuminya dengan peraturan
yang berlaku. Hasil akhir proses peradilan adalah putusan pengadilan atau putusan
hakim. 22 Yang dimaksud penegakan hukum dalam penelitian ini adalah suatu proses
penegakan hukum pidana dengan hukum formal yang dirumuskan dalam hukum
formal, yakni: kitab undang-undang hukum acara pidana, yakni UUNo. 8 tahun 1981,
tentang KUHAP, yang lebih dikenal dengan administrasi keadilan (administration of
justice); 23
21
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal 181
dan ketentuan formal yang melekat pada undang-undang yang
bersangkutan, contoh: Pasal 78 ayat (14) (15) UU Kehutanan, yang menetapkan:
tentang pertanggung jawaban tindak pidana dijatuhkan pada pengurusnya dan
hak/wewenang penegak hukum dalam mengurus barang bukti dengan merampas
untuk Negara atas “semua hasil hutan (corpora delicti ) dari hasil kejahatan dan
pelanggaran dan atau alat-alat angkutnya (instrumental delicti) yang dipergunakan
untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran” dan pasal 79 ayat (1) UU
Kehutanan, yang menetapkan hak/wewenang penegak hukum melelang untuk
Negara atas “kekayaan negara berupa hasil hutan dan barang lainnya baik berupa
22
Ibid hal 182 23
temuan dan atau rampasan dari hasil kejahatan atau pelanggaran dan hukum pidana
formal lainnya yang terkait terhadap penegakan hukum materiil.
b) Hukum Pidana:
Menurut Moeljatno 24
“Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1). Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut atau disebut perbuatan pidana (criminal act). 2). Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan atau Pertanggungjawaban hukum pidana (criminal liability
atau criminal responsibility) 3). Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
(a) Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana, kita menganut asas yang dinamakan asas legalitas (principles of legality), yakni asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang (pasal 1 ayat 1 KUHP) atau setidak-tidaknya oleh suatu aturan hukum yang telah ada dan berlaku bagi terdakwa (pasal 4 ayat (2) UUDS dahulu) sebelum orang dapat dituntut untuk dipidana karena perbuatannya.
(b) Barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana. Akan tetapi ini belum berarti bahwa tiap-tiap orang yang melakukan perbuatan tersebut lalu mesti dipidana. Sebab untuk memidana seseorang disamping melakukan perbuatan yang dilarang, dikenal asas yang berbunyi: “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.” Dalam bahasa belanda “Geen straf zonder schul.” Jerman: “Keine Straf ohne Schuld.” Dalam hukum pidana Inggris asas dikenal dalam bahasa Latin yang berbunyi: “Actus non facit, nisi mens sit rea. (An act does not make a person guilty, unless the mind is guilty). Asas tersebut tidak kita dapat dalam KUHP sebagaimana halnya dengan asas legalitas. Juga tidak ada dalam lain-lain perundangan. Asas ini adalah asas yang ada dalam hukum yang tidak tertulis, yang hidup dalam anggapan masyarakat dan yang tidak kurang mutlak berlakunya daripada asas yang tertulis dalam perundangan. Buktinya ialah, andaikata ada orang yang dipidana tanpa mempunyai kesalahan, misalnya dia
24
melakukan perbuatan yang tidak tahu, bahkan tidak mungkin untuk mengetahuinya bahwa merupakan perbuatan pidana, niscaya hal itu akan melukai perasaan keadilan. Seyogianya dalam hal yang demikian, sipelanggar diberi peringatan dahulu. Perwujudan dalam KUHP tentang tidak dipidananya orang yang telah melakukan perbuatan pidana, misalnya pasal 44 KUHP mengenai orang yang tidak mampu bertanggungjawab, pasal 48 KUHP mengenai orang yang melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa (overmacht).
c) Tindak pidana, Menurut Moeljatno, adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu,
bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa
perbuatan pidana, adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan
diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan itu ditujukan pada
perbuatan (yaitu suatu keadaan, atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan
orang) sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang
menimbulkannya. 25 Kata “tindak pidana” merupakan terjemahan dari “strafbaar
feit”, Moeljatno menggunakan istilah “perbuatan pidana”, Tirtaamidjaja
menggunakan istilah “pelanggaran pidana”, sedangkan Utrecht menggunakan istilah
“peristiwa pidana”. Sinonim dari tidak pidana adalah “delik”, yang dalam bahasa latin
adalah delictum yang artinya perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena
merupakan pelanggaran terhadap perundang-undangan pidana. 26
25
Dikutip dari buku Pietrus Waine “Penyidikan Tindak Pidana Tertentu (beberapa Ketentuan Pidana di Luar KUHP”, Sanggar Krida Aditama Semarang, 2008, hal 11
Dalam penelitian
ini akan digunakan Tindak Pidana.
26
d) Pemanfaatan hasil hutan kayu adalah segala bentuk usaha yang memanfaatkan
dan mengusahakan hasil hutan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan tidak
mengurangi fungsi pokok hutan, sebagaimana ditetapkan pada pasal 1ayat (7) PP. No
34 tahun 2002, tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan.
e) Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan Produksi pada hutan alam
dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu disingkat
IUPHHK melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pemeliharaan (pembibitan,
permudaan pengayaan/ rehabilitasi/reklamasi), dan pemasaran (vide pasal 28 ayat (2)
UU Kehutanan dan pasal 1ayat (13) PP. No 34 tahun 2002, tentang tata hutan dan
penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan).
f) Yang dimaksud dengan Tindak Pidana kehutanan adalah perbuatan yang
ditentukan sebagai perbuatan pidana sebagaimana telah diatur dan ditetapkan dalam
pasal 78 UU Kehutanan. Dalam penelitian ini terbatas pada tindak pidana kehutanan
pada pasal 78 ayat (1) (5) (7) jo pasal 50 ayat (2), ayat (3) huruf e,f, h UU Kehutanan.
g) Yang dimaksud dengan Tindak pidana Korupsi adalah perbuatan yang
ditentukan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diatur dan
ditetapkan dalam pasal 2 s/d pasal 24 UU No. 31 tahun 1999, tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi yang telah di ubah dengan UU No. 20 tahun 2001. Dalam
penelitian ini terbatas pada tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian
1999, tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang di ubah dengan UU No. 20
tahun 2001 (untuk selanjutnya disebut UU TPK).
G. Metode Penelitian.
Ada 2 (dua) jenis penelitian hukum, yakni penelitian hukum normatif dan
penelitian hukum empiris (sosiologis).27 Adapun metode penelitian yang akan
digunakan dalam mengeksplorasi permasalahan penelitian ini adalah menggunakan
metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal yang
mengkonsepsikan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books), atau hukum dikonsepsikan sebagai kaidah atau norma yang
merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas, mempersoalkan
hukum sebagai apa yang seharusnya (das sollen).28 Penelitian hukum normatif akan
mengkaji objek dari sistematika berdasar ketaatan pada struktur hukum secara
hierarkis untuk memberikan sebuah pendapat hukum yang menempatkan sistem
norma sebagai objek kajiannya. Sistem norma dimaksud terdiri dari substansi,
struktur dan kultur hukum itu sendiri. 29
27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1983), hal 51, dikutip oleh Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyajakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal 153
Di dalam penelitian ini menggunakan
metode studi kasus (case study), yakni suatu studi terhadap kasus an. Adelin Lis atas
putusan MARINo. 68.K/PID.SUS/2008, tanggal 31 Juli 2008 dari perpektif hukum
pidana dan hukum administrasi negara untuk dapat menjawab permasalahan, apa
28
Ibid hal 36 29
yang seharusnya (aliran hukum positivisme) akan dibandingkan dengan apa yang
senyatanya (aliran hukum sosiologisme). Peter Mahmud, penelitian hukum normatif
yang mengkaji sistem norma dapat menggunakan logika deduktif dengan alat
silogisme yang menempatkan dalil, kaidah hukum dalam perundang-undangan,
prinsip-prinsip hukum, dan ajaran atau doktrin hukum sebagai premis mayor dan
menghubungkannya dengan fakta atau peristiwa tindak pidana yang dipersangkakan
terhadap Adelin Lis sebagai premis minor untuk membuat suatu kesimpulan yang
bertujuan untuk membangun preskritif kebenaran hukum.30
Dalam studi kasus (case study) ini, akan menganalisa alasan-alasan hukum
(ratio decidendi atau reasoning) apa yang digunakan oleh majelis hakim PN Medan
untuk sampai kepada putusan pidana bebas murni (vrisjpraak) bagi Adelin Lis dan
sebaliknya oleh majelis hakim kasasi yang memutuskan perkara Adelin Lis terbukti
bersalah secara sah dan meyakinkan.
31
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif menempatkan sistem norma sebagai objek kajian.32
30 Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum” Kencana, Jakarta, 2008, hal 41-51, hal 94. Penelitian hukum normatif dengan pendekatan kasus (case approach),adalah dengan melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan studi kasus (case study) hanya terhadap suatu kasus tertentu yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dari perspektif hukum pidana, hukum administrasi negara, hukum tata negara.
Alasan
penggunaan metode penelitian hukum normatif ini analisis kualitatif yang didasarkan
pada hubungan dinamis antara teori sistem norma atau sistem hukum menurut
31
Mukti Fajar ND, Yulianto Achmad, Op. Cit. hal 191 32
Lawrence M. Friedman, terori hukum pembuktian dalam penegakan hukum,
konsep-konsep atau definisi operasional dan data yang menjadi objek kajian dalam
penelitian ini adalah perundang-undangan yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil
hutan kayu.
Sifat penelitian adalah penelitian deskritif, yakni menggambarkan atau
memaparkan secara tepat, akurat dan sistematis gejala-gejala hukum terkait dengan
penegakan hukum pidana yang dikaitkan dengan hukum administrasi negara
kaitannya dengan pemanfaatan hasil hutan kayu dalam kasus Adelin Lis selaku
Direktur PT KNDI.
2. Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif yang menitik beratkan pada data sekunder atau pada
penelitian kepustakaan atau data kepustakaan atau dikenal dengan bahan hukum,
maka sumber bahan hukum yang digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa
kelompok, yaitu:
a. Bahan hukum primer, yang terdiri atas peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi atau keputusan pengadilan (lebih-lebih bagi penelitian yang
berupa studi kasus), dan perjanjian Internasional (traktat) yang relevan dengan
permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Amandemen (Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan);
2) Undang-Undang No 41 tahun 1999, tentang kehutanan yang diubah
3) Undang-Undang No 31 tahun 1999, tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi yang di ubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001, tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi.
4) Undang-Undang No 40 tahun 2007, tentang Perseroan Terbatas.
5) UU No 17 tahun 2003, tentang keuangan negara
6) Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2002, tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan, dan
Penggunaan Kawasan Hutan yang di ubah dengan Peraturan Pemerintah
No 6 Tahun 2007, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana
Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
7) Peraturan Pemerintah No 45 tahun 2004, tentang Perlindungan Hutan,
yang di ubah dengan Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2009, tentang
Perlindungan hutan.
8) Peraturan Pemerintah No 44 tahun 2004, tentang Perencanaan Kehutanan.
9) Permenhut RI No 126 tahun 2003
10)Permenhut RI No 48 tahun 2006
11)Peraturan Menteri Kehutanan RI No 55 tahun 2006
12)SK Menhut RI No. 805/Kpts-VI/1999, tanggal 30 September 1999
13)Kep Dirjen Pengusahaan Hutan No. 151/KPTS/IV/-BPHH/1993, tanggal
14)Putusan PN Medan Nomor: 2240/Pid.B/2007/PN. Medan, tanggal 05
Nopember 2007 dan putusan MARINo. 68.K/PID.SUS/2008, tanggal, 31
Juli 2008.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer, seperti rancangan
perundang-unangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat
kabar (koran), pamplet, lefleat, brosur, dan berita internet, digunakan untuk
membantu memahami bahan hukum primer sebagaimana yang terdapat dalam
kumpulan pustaka yang bersifat sebagai penunjang dari bahan hukum primer,
yang terdiri dari:
1) Buku-buku
2) Jurnal-Jurnal
3) Majalah-Majalah
4) Artikel-artikel; dan
5) Berbagai tulisan lainnya
c. Bahan hukum tertier diperlukan untuk berbagai hal dalam hal penjelasan
makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer
khususnya kamus-kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
ensiklopedi, leksikon, dan lain-lain.
3. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Keseluruhan data sekunder ini dikumpulkan melalui studi kepustakaan (library
antara lain instansi terkait penelitian Direktorat Reskrim Polda Sumut, perpustakaan
Universitas Sumatera Utara dan mengakses melalui internet dan narasumber yang
ahli dibidang hukum administrasi negara dan hukum perseroan terbatas untuk
menambah bahan hukum sekunder dalam penelitian hukum normatif.
4. Metode Analisa Data
Analisa data merupakan kegiatan dalam penelitian berupa melakukan kajian
atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori sistem
hukum oleh Lawrence M. Friedman, dan teori hukum pembuktian menurut KUHAP,
termasuk konsep operasional yang berkaitan dengan rumusan permasalahan yang
telah ditetapkan dimuka. Metode analisa data ini bersifat kualitatif yang disajikan
secara deskritif analitis, dengan menggambarkan dan memaparkan
pertimbangan-pertimbangan hukum dalam mengambil suatu putusan atas perkara Adelin Lis, baik
pada tingkat Pengadilan Negeri sampai pada tingkat kasasi guna membuat suatu
jawaban terhadap permasalahan yang telah dirumuskan, kemudian menarik suatu