• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Jaringan Sosial Dan Moral Ekonomi Pedagang Pekanan (Studi Kasus Terhadap Pedagang Etnis Minang Yang Berjualan Di Perkebunan Wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Jaringan Sosial Dan Moral Ekonomi Pedagang Pekanan (Studi Kasus Terhadap Pedagang Etnis Minang Yang Berjualan Di Perkebunan Wilayah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Permasalahan kesejahteraan masyarakat merupakan masalah yang tidak

akan ada habisnya untuk dikaji pada suatu negara. Kesejahteraan merupakan

tuntutan-tuntutan yang harus segera dipenuhi karena menyangkut hajat hidup

masyarakat, negara dibebani kewajiban untuk menjamin hal itu kepada tiap warga

negaranya. Dalam upaya pemenuhan kesejahteraan tersebut, tiap individu dituntut

untuk aktif dan kreatif agar tidak hanya mengharapkan kesejahteraan dan

pemenuhan kebutuhan hidupnya ditanggung oleh negara karena negara juga

memiliki keterbatasan akan hal itu akan tetapi negara berkewajiban untuk

memberikan akses bagi tiap warganya untuk dapat berusaha dalam pemenuhan

kebutuhan hidupnya. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah yaitu dengan

melaksanakan pemekaran daerah dengan tujuan agar tiap daerah dapat

memberdayakan potensi serta kekuatan daerah untuk mengelola dan mengatur

wilayah sendiri secara lebih luas, dengan begitu akses masyarakat terhadap pusat

pemerintahan dan ekonomi menjadi lebih dekat dan harapan meningkatnya

kesejahteraan akan dapat terpenuhi.

Salah satu wilayah yang baru saja mengalami pemekaran daerah adalah

Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kota Pinang ditetapkan sebagai ibu kota

kabupaten yang secara resmi mengalami pemekaran sejak tahun 2008. Kabupaten

Labuhanbatu Selatan merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang

memiliki lahan perkebunan yang luas, berdasarkan data Badan Pusat Statistik

(2)

produksi di wilayah Labuhanbatu Selatan seluas 109.647,3 Ha sehingga sebagian

besar masyarakatnya banyak yang bekerja sebagai petani dan buruh perkebunan.

Selain menjadi petani dan buruh perkebunan sebesar 75% (246.961 orang),

masyarakat kabupaten ini juga ada yang berprofesi sebagai pegawai negeri dan

karyawan sebesar 15% (93.983 orang) serta pedagang 10% (1005 orang).

Terdapat juga masyarakat yang bekerja sebagai pedagang Pekanan terutama yang

beretnis Minang yang berjualan berbagai macam jenis barang untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat yang tinggal di perkebunan yang jauh aksesnya dari pusat

kota.

Keterbatasan akses masyarakat perkebunan ke kota dikarenakan jarak

yang jauh mengakibatkan terhambatnya usaha mereka dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya, misalnya daerah perkebunan yang terdekat yaitu Lohsari

jaraknya ke Kota Pinang mencapai 25 km ditempuh dengan perjalanan selama 2

jam dan salah satu daerah perkebunan yang terjauh yakni Langkiman yang

berjarak 250 km dari Kota Pinang dapat mencapai waktu tempuh 5 jam

perjalanan. Hal inilah yang menjadi dasar bagi pedagang-pedagang terutama yang

beretnis Minang melihatnya sebagai peluang usaha. Mereka menjual barang

keperluan sehari-hari seperti sayur-sayuran, ikan dan daging, pakaian untuk

anak-anak, baju kaos, kemeja, celana pendek serta perabotan rumah tangga yang

diperlukan masyarakat perkebunan tersebut. Jarak serta lokasi yang tidak mudah

ditempuh karena infrastruktur jalan yang buruk, berlubang, masih berbatu,

berdebu bahkan jika hujan akan berlumpur tidak menghambat mereka untuk

berjualan ke kebun-kebun karena dari segi penghasilan yang mereka dapatkan

(3)

target utama sebagai pembeli baru menerima gaji dari perkebunan tempat mereka

bekerja.

Lokasi pekan yang didatangi para pedagang berbeda tiap harinya, pada

hari senin para pedagang akan pergi ke pekan Sidodadi dengan jarak yang harus

ditempuh lebih kurang 50 km. Pada hari selasa pedagang akan ke daerah Simpang

Kanan dengan jarak tempuh lebih kurang 60 km daerah ini sudah masuk wilayah

provinsi Riau. Pada hari rabu para pedagang libur, biasanya waktu libur ini

digunakan pedagang untuk berbelanja barang ke Medan, sebagian pedagang yang

tidak berbelanja akan memperbaiki mobil atau menghabiskan waktu bersama

keluarganya. Hari kamis para pedagang akan pergi ke Lohsari, pekan ini

merupakan yang terdekat karena hanya berjarak 20 km. Pada hari jumat pedagang

sebagian pergi ke pekan Sidodadi sedangkan sebagian pedagang ada yang libur

untuk beribadah sholat jumat. Hari sabtu pedagang kembali datang ke pekan

Simpang Kanan karena daerah ini mengadakan pekanan dua kali dalam seminggu.

Sedangkan pada hari minggu para pedagang akan menuju daerah Tanjung Medan

yang berjarak 30 km. Terdapat juga pekanan yang hanya berlangsung satu kali

dalam sebulan yaitu pekan Langkiman yang berjarak 250 km, merupakan pekan

yang terjauh jarak serta terberat perjalanannya karena harus melewati perkebunan

kelapa sawit hingga sampai ke wilayah Kabupaten Tapanuli Utara.

Mayoritas pedagang Pekanan di sekitar Kota Pinang yang berjualan di

kebun-kebun ini adalah pedagang Minang perantauan yang berasal dari Medan

dan Padang. Mereka datang ke Kota Pinang karena melihat keberhasilan

perantau-perantau yang terlebih dahulu memulai usaha dagangnya di kota ini, para

(4)

kota baik berjualan kaki lima bagi mereka yang tidak memiliki modal cukup besar

ataupun menyewa toko bagi perantau yang memiliki modal cukup serta ada juga

yang berdagang ke pekan-pekan perkebunan. Melihat peluang usaha yang cukup

baik maka banyak pedagang membawa sanak family, kerabat dan teman-teman

untuk ikut membuka usaha di kota ini sehingga semakin lama jumlah perantau

Minang bertambah banyak dan akhirnya terbentuk komunitas masyarakat Minang

yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang.

Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol dalam masyarakat

Minangkabau. Bagi mereka, berdagang tidak hanya sekedar mencari nafkah dan

mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk eksistensi diri untuk menjadi

seorang yang merdeka. Dalam budaya Minang yang egaliter, setiap orang akan

berusaha untuk menjadi seorang pemimpin. Menjadi sub-ordinat orang lain,

sehingga siap untuk diperintah-perintah bukanlah sebuah pilihan yang tepat.

Prinsip lebih baik menjadi pemimpin kelompok kecil daripada menjadi anak buah

organisasi besar (elok jadi kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar masyarakat Minang. Menjadi seorang pedagang merupakan salah

satu cara memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka.

Dengan berdagang, orang Minang bisa memenuhi ambisinya dapat menjalankan

kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang

mengekang. Sehingga banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih

berpanas-panas terik di pinggir jalan, berteriak berjualan kaos kaki, daripada harus

kerja kantoran, yang acap kali di perintah dan di marah-marahi.

(5)

Pertumbuhan besar-besaran pada masyarakat Minang tidak diikuti dengan

ketersediaan peluang kerja yang memadai di daerah asal. Akibatnya, mereka pergi

ke daerah lain untuk mencari pekerjaan dan pada awalnya sebagian besar dari

mereka mengawali usaha dengan berdagang. Oleh karena itu menjadi pedagang

kaki lima sering menjadi pekerjaan awal bagi banyak perantau Minang. Motivasi

orang minang berdagang karena ingin melawan dunia orang, suatu tema yang

mengandung amanat untuk hidup bersaing terus menerus mencapai kemuliaan,

kenamaan, kepintaran dan kekayaan.

Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat Minang, disebabkan

adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah dan

keberlangsungannya bagi setiap orang di Minangkabau. Dengan kepemilikan

tanah tersebut, posisi masyarakat Minang tidak hanya sebagai pihak penggarap

saja, melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual hasil-hasilnya ke

pasaran. Selain itu, kultur

menjadikan profesi berdagang sebagai pekerjaan awal untuk memenuhi kebutuhan

hidup.

Tidak dapat dipungkiri bahwa orang Minangkabau termasuk ke dalam

kelompok yang paling banyak bergerak dalam arti berpindah-pindah tempat untuk

merantau. Kondisi tersebut didukung oleh budaya masyarakat Minangkabau yang

gemar merantau dan melakukan kegiatan perdagangan. Untuk menemukan

pedagang dari Minangkabau terutama pedagang kaki lima bukanlah hal yang sulit,

baik di kota-kota besar maupun di pelosok daerah di seantero Negara Kesatuan

(6)

dapat menyebar luas di sana (Naim, 1979). Jika ditanya mengapa mereka menjadi

pedagang tentunya jawabannya beragam, namun yang pasti mereka menjadi

pedagang tentunya memiliki harapan terhadap apa yang mereka usahakan.

Pedagang dalam hal ini yang berfungsi sebagai penjual ketika mereka memulai

usaha berdagang hal utama yang mereka harapkan adalah keuntungan setelah itu

kemudian loyalitas dan eksistensi diri. Untuk mencapai hal tersebut mereka

menerapkan berbagai strategi dalam berdagang khususnya untuk mempromosikan

barang dagangan mereka mulai dari berteriak memanggil pembeli, menyapa

pembeli, mempersilahkan pembeli melihat-lihat, tersenyum serta membuat bentuk

pajangan yang menarik dan banderol harga yang murah dan terjangkau.

Salah satu hal unik dari terbentuknya komunitas pedagang Minang di

perantauan menurut Prof. Dr. Arif Nasution, MA (Ikatan Primordial dalam Kegiatan Bisnis Orang Minangkabau di Sukaramai Medan, Tahun 2002) adalah adanya kebiasaan saling mengangkat dan bergotong royong sebagai ciri

masyarakat Minang tersebut, kuatnya komunalisme orang Minang yang

didasarkan pada ikatan-ikatan primordial merupakan sumber terbentuknya

jaringan bisnis orang Minang di perantauan. Selain itu para pedagang Minang

juga terkenal dengan etos serta semangatnya yang pantang menyerah, mereka

dapat bertahan di perantauan dengan modal awal yang sedikit dan merintis

memulai usaha dagang mereka. Kelebihan lain yang dimiliki pedagang Minang

yaitu pandai membaca peluang, di perantauan mereka dapat menyesuaikan modal

yang dimiliki dengan memilih jenis usaha yang akan ditekuni dan mereka juga

gigih untuk memperjuangkan usaha yang telah mereka rintis. Jusuf Kalla dalam

(7)

menyatakan bahwa orang Minang terkenal dengan tiga keunggulan yaitu banyak

ulama yang berbobot berasal dari daerah Minang, pemikiran-pemikiran orang

Minang sangat cemerlang dan jiwa kesaudagaran orang Minang sangat kuat.

Meskipun ia itu sarjana teknik atau ekonomi atau yang lain, bahkan orang Minang

yang tidak mengenyam pendidikan dapat menjadi saudagar yang hebat dan

sukses.

Salah satu daerah yang terdapat komunitas pedagang Minang Perantauan

adalah di Pasar Sukaramai Medan, hasil penelitian Prof. Dr. Arif Nasution, MA

(2002) menunjukkan bahwa keberadaan perantau Minang di pasar ini telah lama

tepatnya sejak tahun 1939-an, para pedagang Minang ini merintis usahanya dari

nol hingga sekarang menjadi salah satu etnis terbesar yang menguasai Pasar

Sukaramai selain etnis Batak dan Cina. Di pasar ini kegiatan usaha yang ditekuni

pedagang Minang antara lain usaha rumah makan atau kedai nasi, konveksi,

pabrik roti, tukang emas atau intan, tukang kain, tukang becak, tukang sepatu,

tukang goni butut, home industri lainnya dan menjadi pedagang lepas. Menurut

Prof. Arif, sifat komunal dari orang Minangkabau merupakan faktor yang dapat

mendukung kegiatan usaha mereka di perantauan. Di Sukaramai orang

Minangkabau saling membantu dalam kehidupan sosial di perantauan ataupun

dalam kegiatan-kegiatan berusaha seperti permasalahan permodalan yang sering

terjadi pada para perantau baru ataupun dalam masalah-masalah yang timbul

akibat interaksinya dengan kelompok etnik lain seperti adanya persaingan dan

konflik. Sifat komunal ini menjadi salah satu faktor yang memajukan kegiatan

usaha orang Minangkabau di Sukaramai, selain karena faktor lain seperti keuletan,

(8)

tahun 1960-an orang Minangkabau dapat memonopoli kegiatan usaha di

Sukaramai.

Di Kota Pinang salah satu kegiatan usaha yang ditekuni pedagang Minang

perantauan adalah pedagang pekanan, umumnya mereka berkumpul dan

membentuk suatu kelompok serta bersama-sama berangkat ke kebun tempat

sedang berlangsungnya hari pekanan. Pekanan tersebut berpindah-pindah dari satu

tempat ke tempat lain di sekitar wilayah perkebunan Labuhanbatu Selatan dan

berlangsung secara rutin. Kemunculan pasar Pekanan yang berkala, menjadikan

sarana jual beli ini dapat muncul dengan sendirinya. Di berbagai wilayah di

Indonesia muncul semacam pasar Pekanan dengan berbagai ragam nama seperti

onan, pasaran, mingguan, dan lain-lain. Sebutan lain yang menjadi umum namun

berbeda makna adalah pasar rakyat atau pasar tradisional. Dilihat dari skala usaha,

Pekanan termasuk dalam usaha kecil dan biasanya tidak atau belum berbadan

hukum maka layak Pekanan dikatakan sebagai bagian sektor informal terutama di

bidang perdagangan. Selain pedagang etnis Minang, terdapat juga etnis Batak

yang berprofesi sebagai pedagang pekanan. Kedua pedagang etnis ini adalah yang

mendominasi usaha jualan di pekanan, usaha dagang etnis Batak antara lain

menjual sayur-sayuran, ikan dan daging, bumbu masak, perabotan rumah tangga

serta menjual pakaian sedangkan pedagang etnis Minang menjual segala jenis

pakaian dan sepatu. Dari kelima lokasi Pekan yang ada didominasi oleh pedagang

yang berasal dari etnis batak sebesar 60% dan pedagang etnis Minang sebesar

39% sisanya adalah penduduk asli yang merupakan etnis Jawa membuka usaha

warung nasi yang pembelinya merupakan para pedagang pekan itu sendiri.

(9)

menimbulkan persaingan di lokasi pekan, para pedagang yang berasal dari etnis

masing-masing menggunakan strategi untuk memperlihatkan kelompok etnis

mereka lebih solid seperti pergi berjualan bersama dan memusatkan lokasi

berjualan yang saling berdekatan antara pedagang satu etnis.

Berjualan Pekanan ke perkebunan ini sangat melelahkan serta

membutuhkan perjuangan serta usaha yang keras, para pedagang melakukan

persiapan muat barang ke mobil kemudian berangkat berjualan mulai pagi hari

antara pukul 08.00 – 10.00 menempuh perjalanan dari Kota Pinang ke daerah

perkebunan yang mengadakan hari Pekanan. Perjalanan yang ditempuh mulai dari

dua jam sampai ada daerah yang harus ditempuh selama lima jam perjalanan,

ketika sampai di pekan mereka akan bongkar barang dan mendirikan tenda di

lapak masing-masing. Dalam proses muat bongkar dan mendirikan tenda para

pedagang akan melakukannya secara bersama-sama sampai tenda berdiri dan akan

memajang barang dagangan mereka masing-masing begitu juga ketika selesai

berjualan proses menutup tenda serta muat barang ke mobil akan dilakukan

bersama-sama. Selain perjalanan yang ditempuh untuk mencapai lokasi jualan

jaraknya jauh, kondisi jalan yang tidak baik juga harus dihadapi rombongan

pedagang ini. Fasilitas yang ada di pekan juga tidak memadai sehingga untuk

kamar mandi mereka akan menumpang di mushalla atau bahkan di rumah

masyarakat. Mereka berjualan di tengah perkebunan dengan cuaca yang hujan

serta panas harus dihadapi dengan tempat berjualan yang tidak permanen karena

(10)

Namun dengan kondisi demikian, pedagang-pedagang tersebut terutama

pedagang yang telah lama berjualan memliki kondisi perekonomian yang dilihat

cukup baik bahkan dapat dikatakan hidup berkecukupan. Mereka mampu

mengembangkan usaha mereka, menambah barang dagangan serta dapat

mempekerjakan orang lain sebagai anggota atau anak buah, tidak sedikit dari

mereka memiliki lebih dari satu lapak jualan di pekan dan menjadi tempat

pedagang lain untuk membeli barang dagangan sehingga dijuluki toke oleh

pedagang lain. Selain itu mereka juga mampu membangun dan memiliki rumah,

kendaraan pribadi dan menyekolahkan anak-anak mereka sampai tingkat kuliah.

Setiap pedagang memiliki lahan tempat berjualan di Pekanan perkebunan

tersebut baik dengan cara menyewa lahan atau lapak maupun pemberian dari

pedagang sebelumnya dan bagi perantau yang baru merintis akan menumpang

pada pedagang yang telah terlebih dahulu berjualan yang antara satu pedagang

dengan pedagang lainnya masih ada hubungan saudara. Hal inilah yang

menjadikan pedagang Pekanan Minang disini sangat unik karena jika umumnya

yang terjadi di kota-kota besar, para pedagang akan berusaha baik secara nyata

maupun tersirat untuk mengurangi persaingan agar memperoleh hasil yang besar.

Dengan jenis jualan para pedagang yang sama yaitu menjual pakaian, potensi

konflik dan persaingan antara sesama pedagang seharusnya besar namun para

pedagang ini memiliki siasat tertentu untuk mengatasi persaingan yang tidak sehat

seperti mengkhususkan jenis barang jualan masing-masing pedagang contohnya

ada pedagang yang menjual pakaian pajangan, jenis obralan, pakaian anak-anak,

pakaian dalam dan menjual sepatu dan aksesoris, selain itu lapak berjualan

(11)

Namun bagi pedagang-pedagang minang Kota Pinang yang berjualan

Pekanan, persaingan menjadi hal yang biasa karena justru mereka memberikan

kesempatan dan peluang bagi perantau-perantau yang baru datang untuk berjualan

di pekan. Bahkan pedagang Pekan yang telah berhasil akan mengajak saudara dan

sanak family atau kerabat untuk berjualan serta memberikan lapak sekaligus

tumpangan kendaraan untuk berjualan, meskipun para pedagang tersebut bersaing

dalam berjualan dan meraih keuntungan tapi juga timbul kerjasama antara sesama

pedagang untuk sama-sama mempertahankan usaha dagangnya seperti pergi

berjualan bersama dan membangun tenda lapak berjualan yang dilakukan juga

bersama-sama. Sehingga yang dapat terlihat dari pedagang pekan etnis Minang

adalah bentuk kerjasama yang juga dilakukan dalam persaingan antara pedagang

tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang di atas,

maka yang menjadi pokok permasalahan yang diteliti adalah

1. Bagaimana pola jaringan sosial yang terbentuk pada pedagang

Pekanan etnis Minang Kota Pinang yang berjualan di perkebunan

wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan?

2. Bagaimana bentuk moral ekonomi yang terbangun pada pedagang

Pekanan etnis Minang Kota Pinang yang berjualan di perkebunan

(12)

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang diharapkan menjadi tujuan penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis

serta melihat pola jaringan sosial yang terbangun serta

aspek-aspek moral ekonomi yang terbangun pada pedagang-pedagang

Minang yang berjualan dengan sistem pekanan serta usaha

mereka untuk mempertahankan kelangsungan usahanya

tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran

yang jelas mengenai masalah-masalah yang menyeluruh yang

terjadi pada pedagang-pedagang tersebut.

2. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas

pedagang-pedagang minang dalam usahanya untuk

mempertahankan kelangsungan mata pencahariannya tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis: Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan

informasi dan sumbangan kepada peneliti lain sebagai bahan perbandingan

referensi dalam meneliti masalah yang mirip dengan penelitian ini dalam

bidang Ilmu Sosiologi tertentu terutama bidang sosiologi ekonomi

khususnya sektor informal dan studi masyarakat perkebunan. Penelitian ini

juga diharapkan dapat menambah rujukan bagi mahasiswa Sosiologi Fisip

(13)

b. Manfaat praktis : Bagi penulis, penelitian ini dapat mengasah penulis

dalam membuat karya tulis ilmiah serta menambah pengetahuan penulis

mengenai masalah yang diteliti. Penelitian ini juga dapat menjadi masukan

bagi pemerintahan daerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan dalam

pendataan serta input data kependudukan masyarakat etnis minang yang

berprofesi sebagai pedagang pekanan.

1.5 Definisi Konsep

Dalam sebuah penelitian ilmiah, definisi konsep sangat diperlukan untuk

memfokuskan penelitian sehingga memudahkan penelitian. Konsep adalah

definisi, abstraksi mengenai gejala atau realita ataupun suatu pengertian yang

nantinya akan menjelaskan suatu gejala (Meleong, 2006:67). Disamping berfungsi

untuk memfokuskan dan mempermudah penelitian, konsep ini juga berfungsi

sebagai panduan yang nantinya digunakan peneliti untuk menindak lanjuti sebuah

kasus yang diteliti dan menghindari terjadinya kekacauan akibat kesalahan

penafsiran dalam sebuah penelitian. Adapun konsep yang digunakan sesuai

dengan konteks penelitian ini antara lain adalah:

1. Jaringan sosial menurut George Ritzer dalam Ritzer dan goodman (2004:382)

merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antara banyak individu dalam suatu

kelompok dengan kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok

lainnya. Dalam penelitian ini jaringan sosial adalah hubungan-hubungan yang

terbentuk baik antar sesama pedagang, hubungan pedagang dengan pedagang

grosir serta hubungan pedagang dengan pelanggan yang memungkinkan

(14)

2. Moral ekonomi pedagang, H.D. Evers dalam Damsar (2000: 90-92)

mengemukakan bahwa moral ekonomi pedagang timbul ketika mereka

menghadapi permasalahan dalam aktivitas jual beli para pedagang seringkali

mengalami dilema. Dalam hal ini aspek moral pedagang yang dimaksud adalah

moral pedagang pekanan terutama yang beretnis Minang dalam melakukan

transaksi jual beli seperti penetapan harga barang yang tidak terlalu tinggi agar

dapat terjangkau oleh masyarakat perkebunan yang mayoritas bekerja sebagai

buruh perkebunan. Selain itu juga dilihat saling tolong menolong antara sesama

pedagang dalam bentuk peminjaman uang untuk berbelanja barang yang

dilakukan secara bergantian maupun saling berbagi lapak berjualan dan

memberikan tumpangan bagi pedagang yang tidak memiliki kendaraan.

3. Solidaritas sosial, menurut Soerjono Soekanto (2002: 68-69) solidaritas sosial

merupakan kohesi yang ada antara anggota suatu asosiasi, kelompok, kelas sosial

atau kasta, dan diantara berbagai pribadi, kelompok maupun kelas-kelas

membentuk masyarakat dan bagian-bagiannya. Solidaritas ini menghasilkan

persamaaan, saling ketergantungan, dan pengalaman yang sama, merupakan unsur

pengikat bagi unit-unit kolektif seperti keluarga, kelompok atau komunitas

tertentu. Dalam penelitian ini, solidaritas sosial yang dilihat adalah sikap

pedagang yang saling berbagai lapak jualan dan memberikan tumpangan bagi

pedagang yang tidak memiliki kendaraan. Dalam perjalanan tidak jarang satu

rombongan akan membantu rombongan yang lain jika mengalami kerusakan

mobil atau terdapat kendala diperjalanan.

4. Kerja sama, menurut Charles Horton Cooley dalam J. Dwi Narwoko dan

(15)

mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang

bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri

untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam penelitian ini, kerja

sama antar pedagang yang dapat dilihat adalah proses bongkar muat barang ke

mobil yang dilakukan bersama-sama serta pendirian dan bongkar tenda yang

dilakukan juga bersama-sama.

6. Moral Sosial adalah aturan serta nilai-nilai yang di dalamnya terdapat kebaikan

yang ditujukan untuk kebaikan dan kepentingan orang banyak tanpa

mengharapkan pamrih yang dari orang sekitar. Dalam hal ini moral sosial

pedagang yang dapat dilihat adalah sikap mereka yang saling tolong menolong

antara sesama pedagang, penentuan harga barang yang disesuaikan dengan

kemampuan daya beli pedagang, serta solidaritas erat yang terbangun antara

sesama pedagang pekan.

5. Co-competition adalah bentuk kerjasama yang terjalin antara sesama pedagang

padahal disaat yang bersamaan mereka sedang berkompetisi karena pedagang

tersebut juga menjual jenis barang dagangan yang sama.

7. Pedagang Pekanan adalah pedagang yang melakukan aktivitas usaha dagang

atau jual belinya pada waktu-waktu tertentu yang berjualan di lokasi pekan yang

berpindah-pindah. Misalnya pekan senin, selasa dan seterusnya.

8. Pedagang Minang Perantauan adalah para pedagang yang merupakan berasal

dari etnis Minang yang melakukan aktivitas usaha dagangnya di daerah

perantauan.

9. Pekan adalah tempat jual beli yang berlangsung pada hari-hari tertentu,

(16)

10. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak teratur (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar (unregistered). Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak

dalam skala kecil, kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang

sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan keterampilan yang

rendah, akses, produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga

relatif lebih rendah dibandingkan sektor formal.

11. Stratifikasi pedagang adalah tingkatan atau jenjang yang terbentuk antara para

pedagang dalam hal ini tingkatan pedagang didasarkan atas lama berjualan,

banyaknya barang yang dimiliki serta tingkat keberhasilan pedagang tersebut.

12. Pedagang grosiran adalah para pedagang besar yang menjual barang kepada

pedagang pekan untuk dijual kembali, dalam hal ini barang yang dijual dengan

harga yang lebih murah daripada dijual secara satuan atau eceran.

13. Pembeli adalah orang yang membeli dagangan para pedagang pekan dalam hal

ini pembeli adalah buruh perkebunan atau masyarakat yang tinggal di daerah

perkebunan yang mengadakan pekanan.

14. Pelanggan adalah orang yang membeli dagangan para pedagang pekan secara

rutin sehingga harga yang ditawarkan pedagang akan berbeda dengan harga yang

di tawarkan kepada pembeli biasa.

15. Strategi adalah cara-cara yang dilakukan pedagang untuk mempertahankan

usahanya atau cara pedagang tersebut untuk menarik pembeli dan pelanggan.

16. Persaingan adalah dalam hal ini muncul dari pedagang yang menjual jenis

barang yang sama sehingga masing-masing pedagang memiliki cara-cara

(17)

ini juga terjadi antara pedagang yang berlainan etnis seperti pedagang etnis Batak

Referensi

Dokumen terkait

mengi ndi kasi kan bahwa kual i t as senyawa- senyawa ki mi a yang t er dapat di dal am c auda epi di di mi s menur un sei r i ng dengan ber t ambahnya wakt u penyi mpanan, sehi

Hasil analisis menunjukkan bahwa bahwa tingkat pengetahuan tentang unsur-unsur iklan diabetasol veris “Majalah” di televisi sebagian besar berada pada kategori tinggi yang

kelompok dengan skor rata-rata 20, sebagai kelompok hebat, dan (c) kelompok dengan skor rata-rata 25 sebagai kelompok super. Prosedur pelaksanaan pembelajaran kooperatif

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laki-laki merupakan sampel yang paling banyak menderita HIV/AIDS dimana dari 367 sampel, terdapat 259 (70,6%), rentang umur 31- 40

Abstrak : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besar dimensi balok dan kolom yang mampu menahan beban yang bekerja pada struktur utama dalam analisa

penyelenggaraan pelayanan publik. Salah satu aasnya yaitu bahwa penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan persamaan perlakuan atau tidak diskriminatif, serta fasilitas

Adakah ihsan kendiri merupakan pengantara kepada hubungan antara sokongan sosial dan kesejahteraan spiritual terhadap kesejahteraan psikologi GPKMP dalam PPKI di

Hasil menunjukkan semakin tinggi temperatur reaksi, rasio volume reaktan, dan konsentrasi katalis, semakin tinggi perolehan asam laktat esterifikasi dan hidrolisis