BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
Permasalahan kesejahteraan masyarakat merupakan masalah yang tidak
akan ada habisnya untuk dikaji pada suatu negara. Kesejahteraan merupakan
tuntutan-tuntutan yang harus segera dipenuhi karena menyangkut hajat hidup
masyarakat, negara dibebani kewajiban untuk menjamin hal itu kepada tiap warga
negaranya. Dalam upaya pemenuhan kesejahteraan tersebut, tiap individu dituntut
untuk aktif dan kreatif agar tidak hanya mengharapkan kesejahteraan dan
pemenuhan kebutuhan hidupnya ditanggung oleh negara karena negara juga
memiliki keterbatasan akan hal itu akan tetapi negara berkewajiban untuk
memberikan akses bagi tiap warganya untuk dapat berusaha dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah yaitu dengan
melaksanakan pemekaran daerah dengan tujuan agar tiap daerah dapat
memberdayakan potensi serta kekuatan daerah untuk mengelola dan mengatur
wilayah sendiri secara lebih luas, dengan begitu akses masyarakat terhadap pusat
pemerintahan dan ekonomi menjadi lebih dekat dan harapan meningkatnya
kesejahteraan akan dapat terpenuhi.
Salah satu wilayah yang baru saja mengalami pemekaran daerah adalah
Kabupaten Labuhanbatu Selatan dan Kota Pinang ditetapkan sebagai ibu kota
kabupaten yang secara resmi mengalami pemekaran sejak tahun 2008. Kabupaten
Labuhanbatu Selatan merupakan salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang
memiliki lahan perkebunan yang luas, berdasarkan data Badan Pusat Statistik
produksi di wilayah Labuhanbatu Selatan seluas 109.647,3 Ha sehingga sebagian
besar masyarakatnya banyak yang bekerja sebagai petani dan buruh perkebunan.
Selain menjadi petani dan buruh perkebunan sebesar 75% (246.961 orang),
masyarakat kabupaten ini juga ada yang berprofesi sebagai pegawai negeri dan
karyawan sebesar 15% (93.983 orang) serta pedagang 10% (1005 orang).
Terdapat juga masyarakat yang bekerja sebagai pedagang Pekanan terutama yang
beretnis Minang yang berjualan berbagai macam jenis barang untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat yang tinggal di perkebunan yang jauh aksesnya dari pusat
kota.
Keterbatasan akses masyarakat perkebunan ke kota dikarenakan jarak
yang jauh mengakibatkan terhambatnya usaha mereka dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, misalnya daerah perkebunan yang terdekat yaitu Lohsari
jaraknya ke Kota Pinang mencapai 25 km ditempuh dengan perjalanan selama 2
jam dan salah satu daerah perkebunan yang terjauh yakni Langkiman yang
berjarak 250 km dari Kota Pinang dapat mencapai waktu tempuh 5 jam
perjalanan. Hal inilah yang menjadi dasar bagi pedagang-pedagang terutama yang
beretnis Minang melihatnya sebagai peluang usaha. Mereka menjual barang
keperluan sehari-hari seperti sayur-sayuran, ikan dan daging, pakaian untuk
anak-anak, baju kaos, kemeja, celana pendek serta perabotan rumah tangga yang
diperlukan masyarakat perkebunan tersebut. Jarak serta lokasi yang tidak mudah
ditempuh karena infrastruktur jalan yang buruk, berlubang, masih berbatu,
berdebu bahkan jika hujan akan berlumpur tidak menghambat mereka untuk
berjualan ke kebun-kebun karena dari segi penghasilan yang mereka dapatkan
target utama sebagai pembeli baru menerima gaji dari perkebunan tempat mereka
bekerja.
Lokasi pekan yang didatangi para pedagang berbeda tiap harinya, pada
hari senin para pedagang akan pergi ke pekan Sidodadi dengan jarak yang harus
ditempuh lebih kurang 50 km. Pada hari selasa pedagang akan ke daerah Simpang
Kanan dengan jarak tempuh lebih kurang 60 km daerah ini sudah masuk wilayah
provinsi Riau. Pada hari rabu para pedagang libur, biasanya waktu libur ini
digunakan pedagang untuk berbelanja barang ke Medan, sebagian pedagang yang
tidak berbelanja akan memperbaiki mobil atau menghabiskan waktu bersama
keluarganya. Hari kamis para pedagang akan pergi ke Lohsari, pekan ini
merupakan yang terdekat karena hanya berjarak 20 km. Pada hari jumat pedagang
sebagian pergi ke pekan Sidodadi sedangkan sebagian pedagang ada yang libur
untuk beribadah sholat jumat. Hari sabtu pedagang kembali datang ke pekan
Simpang Kanan karena daerah ini mengadakan pekanan dua kali dalam seminggu.
Sedangkan pada hari minggu para pedagang akan menuju daerah Tanjung Medan
yang berjarak 30 km. Terdapat juga pekanan yang hanya berlangsung satu kali
dalam sebulan yaitu pekan Langkiman yang berjarak 250 km, merupakan pekan
yang terjauh jarak serta terberat perjalanannya karena harus melewati perkebunan
kelapa sawit hingga sampai ke wilayah Kabupaten Tapanuli Utara.
Mayoritas pedagang Pekanan di sekitar Kota Pinang yang berjualan di
kebun-kebun ini adalah pedagang Minang perantauan yang berasal dari Medan
dan Padang. Mereka datang ke Kota Pinang karena melihat keberhasilan
perantau-perantau yang terlebih dahulu memulai usaha dagangnya di kota ini, para
kota baik berjualan kaki lima bagi mereka yang tidak memiliki modal cukup besar
ataupun menyewa toko bagi perantau yang memiliki modal cukup serta ada juga
yang berdagang ke pekan-pekan perkebunan. Melihat peluang usaha yang cukup
baik maka banyak pedagang membawa sanak family, kerabat dan teman-teman
untuk ikut membuka usaha di kota ini sehingga semakin lama jumlah perantau
Minang bertambah banyak dan akhirnya terbentuk komunitas masyarakat Minang
yang mayoritas berprofesi sebagai pedagang.
Berdagang merupakan salah satu kultur yang menonjol dalam masyarakat
Minangkabau. Bagi mereka, berdagang tidak hanya sekedar mencari nafkah dan
mengejar kekayaan, tetapi juga sebagai bentuk eksistensi diri untuk menjadi
seorang yang merdeka. Dalam budaya Minang yang egaliter, setiap orang akan
berusaha untuk menjadi seorang pemimpin. Menjadi sub-ordinat orang lain,
sehingga siap untuk diperintah-perintah bukanlah sebuah pilihan yang tepat.
Prinsip lebih baik menjadi pemimpin kelompok kecil daripada menjadi anak buah
organisasi besar (elok jadi kapalo samuik daripado ikua gajah) merupakan prinsip sebagian besar masyarakat Minang. Menjadi seorang pedagang merupakan salah
satu cara memenuhi prinsip tersebut, sekaligus menjadi orang yang merdeka.
Dengan berdagang, orang Minang bisa memenuhi ambisinya dapat menjalankan
kehidupan sesuai dengan keinginannya, hidup bebas tanpa ada pihak yang
mengekang. Sehingga banyak perantau muda Minangkabau lebih memilih
berpanas-panas terik di pinggir jalan, berteriak berjualan kaos kaki, daripada harus
kerja kantoran, yang acap kali di perintah dan di marah-marahi.
Pertumbuhan besar-besaran pada masyarakat Minang tidak diikuti dengan
ketersediaan peluang kerja yang memadai di daerah asal. Akibatnya, mereka pergi
ke daerah lain untuk mencari pekerjaan dan pada awalnya sebagian besar dari
mereka mengawali usaha dengan berdagang. Oleh karena itu menjadi pedagang
kaki lima sering menjadi pekerjaan awal bagi banyak perantau Minang. Motivasi
orang minang berdagang karena ingin melawan dunia orang, suatu tema yang
mengandung amanat untuk hidup bersaing terus menerus mencapai kemuliaan,
kenamaan, kepintaran dan kekayaan.
Berkembangnya kultur dagang dalam masyarakat Minang, disebabkan
adanya harta pusaka tinggi yang menjamin kepemilikan tanah dan
keberlangsungannya bagi setiap orang di Minangkabau. Dengan kepemilikan
tanah tersebut, posisi masyarakat Minang tidak hanya sebagai pihak penggarap
saja, melainkan juga menjadi pedagang langsung yang menjual hasil-hasilnya ke
pasaran. Selain itu, kultur
menjadikan profesi berdagang sebagai pekerjaan awal untuk memenuhi kebutuhan
hidup.
Tidak dapat dipungkiri bahwa orang Minangkabau termasuk ke dalam
kelompok yang paling banyak bergerak dalam arti berpindah-pindah tempat untuk
merantau. Kondisi tersebut didukung oleh budaya masyarakat Minangkabau yang
gemar merantau dan melakukan kegiatan perdagangan. Untuk menemukan
pedagang dari Minangkabau terutama pedagang kaki lima bukanlah hal yang sulit,
baik di kota-kota besar maupun di pelosok daerah di seantero Negara Kesatuan
dapat menyebar luas di sana (Naim, 1979). Jika ditanya mengapa mereka menjadi
pedagang tentunya jawabannya beragam, namun yang pasti mereka menjadi
pedagang tentunya memiliki harapan terhadap apa yang mereka usahakan.
Pedagang dalam hal ini yang berfungsi sebagai penjual ketika mereka memulai
usaha berdagang hal utama yang mereka harapkan adalah keuntungan setelah itu
kemudian loyalitas dan eksistensi diri. Untuk mencapai hal tersebut mereka
menerapkan berbagai strategi dalam berdagang khususnya untuk mempromosikan
barang dagangan mereka mulai dari berteriak memanggil pembeli, menyapa
pembeli, mempersilahkan pembeli melihat-lihat, tersenyum serta membuat bentuk
pajangan yang menarik dan banderol harga yang murah dan terjangkau.
Salah satu hal unik dari terbentuknya komunitas pedagang Minang di
perantauan menurut Prof. Dr. Arif Nasution, MA (Ikatan Primordial dalam Kegiatan Bisnis Orang Minangkabau di Sukaramai Medan, Tahun 2002) adalah adanya kebiasaan saling mengangkat dan bergotong royong sebagai ciri
masyarakat Minang tersebut, kuatnya komunalisme orang Minang yang
didasarkan pada ikatan-ikatan primordial merupakan sumber terbentuknya
jaringan bisnis orang Minang di perantauan. Selain itu para pedagang Minang
juga terkenal dengan etos serta semangatnya yang pantang menyerah, mereka
dapat bertahan di perantauan dengan modal awal yang sedikit dan merintis
memulai usaha dagang mereka. Kelebihan lain yang dimiliki pedagang Minang
yaitu pandai membaca peluang, di perantauan mereka dapat menyesuaikan modal
yang dimiliki dengan memilih jenis usaha yang akan ditekuni dan mereka juga
gigih untuk memperjuangkan usaha yang telah mereka rintis. Jusuf Kalla dalam
menyatakan bahwa orang Minang terkenal dengan tiga keunggulan yaitu banyak
ulama yang berbobot berasal dari daerah Minang, pemikiran-pemikiran orang
Minang sangat cemerlang dan jiwa kesaudagaran orang Minang sangat kuat.
Meskipun ia itu sarjana teknik atau ekonomi atau yang lain, bahkan orang Minang
yang tidak mengenyam pendidikan dapat menjadi saudagar yang hebat dan
sukses.
Salah satu daerah yang terdapat komunitas pedagang Minang Perantauan
adalah di Pasar Sukaramai Medan, hasil penelitian Prof. Dr. Arif Nasution, MA
(2002) menunjukkan bahwa keberadaan perantau Minang di pasar ini telah lama
tepatnya sejak tahun 1939-an, para pedagang Minang ini merintis usahanya dari
nol hingga sekarang menjadi salah satu etnis terbesar yang menguasai Pasar
Sukaramai selain etnis Batak dan Cina. Di pasar ini kegiatan usaha yang ditekuni
pedagang Minang antara lain usaha rumah makan atau kedai nasi, konveksi,
pabrik roti, tukang emas atau intan, tukang kain, tukang becak, tukang sepatu,
tukang goni butut, home industri lainnya dan menjadi pedagang lepas. Menurut
Prof. Arif, sifat komunal dari orang Minangkabau merupakan faktor yang dapat
mendukung kegiatan usaha mereka di perantauan. Di Sukaramai orang
Minangkabau saling membantu dalam kehidupan sosial di perantauan ataupun
dalam kegiatan-kegiatan berusaha seperti permasalahan permodalan yang sering
terjadi pada para perantau baru ataupun dalam masalah-masalah yang timbul
akibat interaksinya dengan kelompok etnik lain seperti adanya persaingan dan
konflik. Sifat komunal ini menjadi salah satu faktor yang memajukan kegiatan
usaha orang Minangkabau di Sukaramai, selain karena faktor lain seperti keuletan,
tahun 1960-an orang Minangkabau dapat memonopoli kegiatan usaha di
Sukaramai.
Di Kota Pinang salah satu kegiatan usaha yang ditekuni pedagang Minang
perantauan adalah pedagang pekanan, umumnya mereka berkumpul dan
membentuk suatu kelompok serta bersama-sama berangkat ke kebun tempat
sedang berlangsungnya hari pekanan. Pekanan tersebut berpindah-pindah dari satu
tempat ke tempat lain di sekitar wilayah perkebunan Labuhanbatu Selatan dan
berlangsung secara rutin. Kemunculan pasar Pekanan yang berkala, menjadikan
sarana jual beli ini dapat muncul dengan sendirinya. Di berbagai wilayah di
Indonesia muncul semacam pasar Pekanan dengan berbagai ragam nama seperti
onan, pasaran, mingguan, dan lain-lain. Sebutan lain yang menjadi umum namun
berbeda makna adalah pasar rakyat atau pasar tradisional. Dilihat dari skala usaha,
Pekanan termasuk dalam usaha kecil dan biasanya tidak atau belum berbadan
hukum maka layak Pekanan dikatakan sebagai bagian sektor informal terutama di
bidang perdagangan. Selain pedagang etnis Minang, terdapat juga etnis Batak
yang berprofesi sebagai pedagang pekanan. Kedua pedagang etnis ini adalah yang
mendominasi usaha jualan di pekanan, usaha dagang etnis Batak antara lain
menjual sayur-sayuran, ikan dan daging, bumbu masak, perabotan rumah tangga
serta menjual pakaian sedangkan pedagang etnis Minang menjual segala jenis
pakaian dan sepatu. Dari kelima lokasi Pekan yang ada didominasi oleh pedagang
yang berasal dari etnis batak sebesar 60% dan pedagang etnis Minang sebesar
39% sisanya adalah penduduk asli yang merupakan etnis Jawa membuka usaha
warung nasi yang pembelinya merupakan para pedagang pekan itu sendiri.
menimbulkan persaingan di lokasi pekan, para pedagang yang berasal dari etnis
masing-masing menggunakan strategi untuk memperlihatkan kelompok etnis
mereka lebih solid seperti pergi berjualan bersama dan memusatkan lokasi
berjualan yang saling berdekatan antara pedagang satu etnis.
Berjualan Pekanan ke perkebunan ini sangat melelahkan serta
membutuhkan perjuangan serta usaha yang keras, para pedagang melakukan
persiapan muat barang ke mobil kemudian berangkat berjualan mulai pagi hari
antara pukul 08.00 – 10.00 menempuh perjalanan dari Kota Pinang ke daerah
perkebunan yang mengadakan hari Pekanan. Perjalanan yang ditempuh mulai dari
dua jam sampai ada daerah yang harus ditempuh selama lima jam perjalanan,
ketika sampai di pekan mereka akan bongkar barang dan mendirikan tenda di
lapak masing-masing. Dalam proses muat bongkar dan mendirikan tenda para
pedagang akan melakukannya secara bersama-sama sampai tenda berdiri dan akan
memajang barang dagangan mereka masing-masing begitu juga ketika selesai
berjualan proses menutup tenda serta muat barang ke mobil akan dilakukan
bersama-sama. Selain perjalanan yang ditempuh untuk mencapai lokasi jualan
jaraknya jauh, kondisi jalan yang tidak baik juga harus dihadapi rombongan
pedagang ini. Fasilitas yang ada di pekan juga tidak memadai sehingga untuk
kamar mandi mereka akan menumpang di mushalla atau bahkan di rumah
masyarakat. Mereka berjualan di tengah perkebunan dengan cuaca yang hujan
serta panas harus dihadapi dengan tempat berjualan yang tidak permanen karena
Namun dengan kondisi demikian, pedagang-pedagang tersebut terutama
pedagang yang telah lama berjualan memliki kondisi perekonomian yang dilihat
cukup baik bahkan dapat dikatakan hidup berkecukupan. Mereka mampu
mengembangkan usaha mereka, menambah barang dagangan serta dapat
mempekerjakan orang lain sebagai anggota atau anak buah, tidak sedikit dari
mereka memiliki lebih dari satu lapak jualan di pekan dan menjadi tempat
pedagang lain untuk membeli barang dagangan sehingga dijuluki toke oleh
pedagang lain. Selain itu mereka juga mampu membangun dan memiliki rumah,
kendaraan pribadi dan menyekolahkan anak-anak mereka sampai tingkat kuliah.
Setiap pedagang memiliki lahan tempat berjualan di Pekanan perkebunan
tersebut baik dengan cara menyewa lahan atau lapak maupun pemberian dari
pedagang sebelumnya dan bagi perantau yang baru merintis akan menumpang
pada pedagang yang telah terlebih dahulu berjualan yang antara satu pedagang
dengan pedagang lainnya masih ada hubungan saudara. Hal inilah yang
menjadikan pedagang Pekanan Minang disini sangat unik karena jika umumnya
yang terjadi di kota-kota besar, para pedagang akan berusaha baik secara nyata
maupun tersirat untuk mengurangi persaingan agar memperoleh hasil yang besar.
Dengan jenis jualan para pedagang yang sama yaitu menjual pakaian, potensi
konflik dan persaingan antara sesama pedagang seharusnya besar namun para
pedagang ini memiliki siasat tertentu untuk mengatasi persaingan yang tidak sehat
seperti mengkhususkan jenis barang jualan masing-masing pedagang contohnya
ada pedagang yang menjual pakaian pajangan, jenis obralan, pakaian anak-anak,
pakaian dalam dan menjual sepatu dan aksesoris, selain itu lapak berjualan
Namun bagi pedagang-pedagang minang Kota Pinang yang berjualan
Pekanan, persaingan menjadi hal yang biasa karena justru mereka memberikan
kesempatan dan peluang bagi perantau-perantau yang baru datang untuk berjualan
di pekan. Bahkan pedagang Pekan yang telah berhasil akan mengajak saudara dan
sanak family atau kerabat untuk berjualan serta memberikan lapak sekaligus
tumpangan kendaraan untuk berjualan, meskipun para pedagang tersebut bersaing
dalam berjualan dan meraih keuntungan tapi juga timbul kerjasama antara sesama
pedagang untuk sama-sama mempertahankan usaha dagangnya seperti pergi
berjualan bersama dan membangun tenda lapak berjualan yang dilakukan juga
bersama-sama. Sehingga yang dapat terlihat dari pedagang pekan etnis Minang
adalah bentuk kerjasama yang juga dilakukan dalam persaingan antara pedagang
tersebut.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang di atas,
maka yang menjadi pokok permasalahan yang diteliti adalah
1. Bagaimana pola jaringan sosial yang terbentuk pada pedagang
Pekanan etnis Minang Kota Pinang yang berjualan di perkebunan
wilayah Kabupaten Labuhanbatu Selatan?
2. Bagaimana bentuk moral ekonomi yang terbangun pada pedagang
Pekanan etnis Minang Kota Pinang yang berjualan di perkebunan
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Adapun yang diharapkan menjadi tujuan penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis
serta melihat pola jaringan sosial yang terbangun serta
aspek-aspek moral ekonomi yang terbangun pada pedagang-pedagang
Minang yang berjualan dengan sistem pekanan serta usaha
mereka untuk mempertahankan kelangsungan usahanya
tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran
yang jelas mengenai masalah-masalah yang menyeluruh yang
terjadi pada pedagang-pedagang tersebut.
2. Untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas
pedagang-pedagang minang dalam usahanya untuk
mempertahankan kelangsungan mata pencahariannya tersebut.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Manfaat teoritis: Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan
informasi dan sumbangan kepada peneliti lain sebagai bahan perbandingan
referensi dalam meneliti masalah yang mirip dengan penelitian ini dalam
bidang Ilmu Sosiologi tertentu terutama bidang sosiologi ekonomi
khususnya sektor informal dan studi masyarakat perkebunan. Penelitian ini
juga diharapkan dapat menambah rujukan bagi mahasiswa Sosiologi Fisip
b. Manfaat praktis : Bagi penulis, penelitian ini dapat mengasah penulis
dalam membuat karya tulis ilmiah serta menambah pengetahuan penulis
mengenai masalah yang diteliti. Penelitian ini juga dapat menjadi masukan
bagi pemerintahan daerah Kabupaten Labuhanbatu Selatan dalam
pendataan serta input data kependudukan masyarakat etnis minang yang
berprofesi sebagai pedagang pekanan.
1.5 Definisi Konsep
Dalam sebuah penelitian ilmiah, definisi konsep sangat diperlukan untuk
memfokuskan penelitian sehingga memudahkan penelitian. Konsep adalah
definisi, abstraksi mengenai gejala atau realita ataupun suatu pengertian yang
nantinya akan menjelaskan suatu gejala (Meleong, 2006:67). Disamping berfungsi
untuk memfokuskan dan mempermudah penelitian, konsep ini juga berfungsi
sebagai panduan yang nantinya digunakan peneliti untuk menindak lanjuti sebuah
kasus yang diteliti dan menghindari terjadinya kekacauan akibat kesalahan
penafsiran dalam sebuah penelitian. Adapun konsep yang digunakan sesuai
dengan konteks penelitian ini antara lain adalah:
1. Jaringan sosial menurut George Ritzer dalam Ritzer dan goodman (2004:382)
merupakan hubungan-hubungan yang tercipta antara banyak individu dalam suatu
kelompok dengan kelompok ataupun antar suatu kelompok dengan kelompok
lainnya. Dalam penelitian ini jaringan sosial adalah hubungan-hubungan yang
terbentuk baik antar sesama pedagang, hubungan pedagang dengan pedagang
grosir serta hubungan pedagang dengan pelanggan yang memungkinkan
2. Moral ekonomi pedagang, H.D. Evers dalam Damsar (2000: 90-92)
mengemukakan bahwa moral ekonomi pedagang timbul ketika mereka
menghadapi permasalahan dalam aktivitas jual beli para pedagang seringkali
mengalami dilema. Dalam hal ini aspek moral pedagang yang dimaksud adalah
moral pedagang pekanan terutama yang beretnis Minang dalam melakukan
transaksi jual beli seperti penetapan harga barang yang tidak terlalu tinggi agar
dapat terjangkau oleh masyarakat perkebunan yang mayoritas bekerja sebagai
buruh perkebunan. Selain itu juga dilihat saling tolong menolong antara sesama
pedagang dalam bentuk peminjaman uang untuk berbelanja barang yang
dilakukan secara bergantian maupun saling berbagi lapak berjualan dan
memberikan tumpangan bagi pedagang yang tidak memiliki kendaraan.
3. Solidaritas sosial, menurut Soerjono Soekanto (2002: 68-69) solidaritas sosial
merupakan kohesi yang ada antara anggota suatu asosiasi, kelompok, kelas sosial
atau kasta, dan diantara berbagai pribadi, kelompok maupun kelas-kelas
membentuk masyarakat dan bagian-bagiannya. Solidaritas ini menghasilkan
persamaaan, saling ketergantungan, dan pengalaman yang sama, merupakan unsur
pengikat bagi unit-unit kolektif seperti keluarga, kelompok atau komunitas
tertentu. Dalam penelitian ini, solidaritas sosial yang dilihat adalah sikap
pedagang yang saling berbagai lapak jualan dan memberikan tumpangan bagi
pedagang yang tidak memiliki kendaraan. Dalam perjalanan tidak jarang satu
rombongan akan membantu rombongan yang lain jika mengalami kerusakan
mobil atau terdapat kendala diperjalanan.
4. Kerja sama, menurut Charles Horton Cooley dalam J. Dwi Narwoko dan
mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang
bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri
untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam penelitian ini, kerja
sama antar pedagang yang dapat dilihat adalah proses bongkar muat barang ke
mobil yang dilakukan bersama-sama serta pendirian dan bongkar tenda yang
dilakukan juga bersama-sama.
6. Moral Sosial adalah aturan serta nilai-nilai yang di dalamnya terdapat kebaikan
yang ditujukan untuk kebaikan dan kepentingan orang banyak tanpa
mengharapkan pamrih yang dari orang sekitar. Dalam hal ini moral sosial
pedagang yang dapat dilihat adalah sikap mereka yang saling tolong menolong
antara sesama pedagang, penentuan harga barang yang disesuaikan dengan
kemampuan daya beli pedagang, serta solidaritas erat yang terbangun antara
sesama pedagang pekan.
5. Co-competition adalah bentuk kerjasama yang terjalin antara sesama pedagang
padahal disaat yang bersamaan mereka sedang berkompetisi karena pedagang
tersebut juga menjual jenis barang dagangan yang sama.
7. Pedagang Pekanan adalah pedagang yang melakukan aktivitas usaha dagang
atau jual belinya pada waktu-waktu tertentu yang berjualan di lokasi pekan yang
berpindah-pindah. Misalnya pekan senin, selasa dan seterusnya.
8. Pedagang Minang Perantauan adalah para pedagang yang merupakan berasal
dari etnis Minang yang melakukan aktivitas usaha dagangnya di daerah
perantauan.
9. Pekan adalah tempat jual beli yang berlangsung pada hari-hari tertentu,
10. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak teratur (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar (unregistered). Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak
dalam skala kecil, kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang
sederhana dan padat tenaga kerja, tingkat pendidikan dan keterampilan yang
rendah, akses, produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga
relatif lebih rendah dibandingkan sektor formal.
11. Stratifikasi pedagang adalah tingkatan atau jenjang yang terbentuk antara para
pedagang dalam hal ini tingkatan pedagang didasarkan atas lama berjualan,
banyaknya barang yang dimiliki serta tingkat keberhasilan pedagang tersebut.
12. Pedagang grosiran adalah para pedagang besar yang menjual barang kepada
pedagang pekan untuk dijual kembali, dalam hal ini barang yang dijual dengan
harga yang lebih murah daripada dijual secara satuan atau eceran.
13. Pembeli adalah orang yang membeli dagangan para pedagang pekan dalam hal
ini pembeli adalah buruh perkebunan atau masyarakat yang tinggal di daerah
perkebunan yang mengadakan pekanan.
14. Pelanggan adalah orang yang membeli dagangan para pedagang pekan secara
rutin sehingga harga yang ditawarkan pedagang akan berbeda dengan harga yang
di tawarkan kepada pembeli biasa.
15. Strategi adalah cara-cara yang dilakukan pedagang untuk mempertahankan
usahanya atau cara pedagang tersebut untuk menarik pembeli dan pelanggan.
16. Persaingan adalah dalam hal ini muncul dari pedagang yang menjual jenis
barang yang sama sehingga masing-masing pedagang memiliki cara-cara
ini juga terjadi antara pedagang yang berlainan etnis seperti pedagang etnis Batak