• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia - Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN HUKUM ISLAM A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia - Pelaksanaan Perkawinan Terhadap Nikah Mut’ah Berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PERKAWINAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DAN

HUKUM ISLAM

A. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia

Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan

dari sejarah Islam itu sendiri. Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M yang

dibawa oleh pedagang-pedagang arab. Perkembangan hukum Islam di Indonesia

menjelang abad XVII, XVIII, XIX, baik dalam tatanan intelektual dalam bentuk

kitab-kitab dan pemikiran juga dalam praktek-praktek keagamaan dapat dikatakan

cukup baik. Dikatakan cukup baik karena hukum Islam dipraktekkan oleh

masyarakat dalam bentuk yang hampir dapat dikatakan sempurna, yang mencakup

masalah muamalah (perkawinan, perceraian, dan warisan), peradilan, dan tentu

saja dalam masalah ibadah. Bukan hanya itu, hukum Islam menjadi suatu sistem

hukum yang mandiri yang digunakan bahwa pada masa itu jauh sebelum Belanda

menancapkan kakinya di Indonesia, hukum Islam menjadi hukum yang positif di

Indonesia.43

Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada masa penjajahan Belanda

dapat dilihat dalam bentuk. Pertama, adanya toleransi pihak Belanda melalui VOC

(Vereenigde Oots-Indische Compagnie) yang memberikan ruang yang agak luas

bagi perkembangan hukum Islam. Kedua, adanya upaya intervensi Belanda

terhadap hukum Islam dengan menghadapkannya dengan hukum adat. Berangkat

dari kekuasaan yang dimiliki VOC bermaksud menerapkan hukum Belanda di

43

(2)

Indonesia, namun tetap saja tidak berhasil karena umat Islam tetap saja

menjalankan syari’atnya. Dapatlah dikatakan pada saat VOC berkuasa di

Indonesia (1602-1800 M) hukum Islam dapat berkembang dan diperaktekkan oleh

umatnya tanpa adanya hambatan apapun dari VOC. Bahkan bisa dikatakan VOC

ikut membantu untuk menyusun suatu peraturan yang memuat hukum perkawinan

dan hukum kewarisan Islam dan berlaku dikalangan umat Islam.44

Setelah kekuasaan VOC berakhir dan digantikan oleh Belanda, maka

seperti yang terlihat bahwa sikap Belanda berubah terhadap hukum Islam, kendati

perubahan itu terjadi secara perlahan-lahan. Setidaknya perubahan itu dapat

dilihat dari tiga sisi. Pertama, menguasai Indonesia sebagai wilayah yang

mempunyai sumber daya alam yang cukup kaya. Kedua, menghilangkan pengaruh

Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan proyek Kristenisasi. Ketiga,

keinginan Belanda untuk menerapkan apa yang disebut dengan politik hukum

yang sadar terhadap Indonesia. Maksudnya, Belanda ingin menata dan mengubah

kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.45

Kendatipun terbatas pada pelaksanaan hukum keluarga, hukum Islam telah

teraplikasi dalam kehidupan masyarakat Islam walaupun masih dalam lingkup

yang sangat terbatas yaitu hukum kekeluargaan saja. Menarik untuk dicermati,

ternyata pemerintah Belanda memberikan perhatian yang serius terhadap

perjalanan hukum Islam. Hal ini dilihat dari instruksi-instruksi yang

diterbitkannya kepada bupati dan sultan-sultan berkenaan dengan pelaksanaan

hukum Islam tersebut. Sebagai contoh : melalui Stabl. No 22 Pasal 13,

44

Ibid, hlm.9

(3)

diperintahkan kepada bupati untuk memperhatikan soal-soal agama Islam dan

untuk menjaga supaya pemuka agama dapat melakukan tugas mereka sesuai

dengan adat kebiasaan orang Jawa seperti dalam soal perkawinan, pembagian

pusaka dan yang sejenis.46

Sedangkan perkawinan menurut hukum adat berlaku bagi golongan

Pribumi, yang tidak memeluk agama Islam maupun Kristen. Peraturan tentang

perkawinan adat inipun merupakan konsekuensi politik hukum pemerintah

Belanda. Sampai abad XIX istilah hukum adat ini dikenal. Istilah ini timbul dalam

pikiran seorang warga Belanda yaitu Snouck Hurgronje yang mendalami

kesusilaan dan kebiasaan berbagai penduduk di Indonesia.47

Perkawinan adat merupakan suatu hidup bersama yang langgeng dan

lestari antara seorang pria dengan seorang perempuan yang diakui oleh

persekutuan adat yang diarahkan pada pembentukan sebuah keluarga. Perkawinan

adat ini dibagi atas tiga kategori, yaitu :48

1. Tatanan Patrilineal, yaitu pengaturan menurut hukum ayah yang merupakan

sistem pengaturan kemasyarakatan dimana hanya nenek moyang pria dalam

dalam garis pria yaitu ayah, ayah dari ayah (kakek) dan seterusnya yang

dipandang menentukan dalam menetapkan keturunan dari individu. Melalui

pengaturan yang seperti ini, maka di dalam keluarga, kekuasaan dan pengaruh

yang lebih berada pada kaum pria dan bahkan dari pihak ayah.

46

Ibid, hlm.10

47

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan Indonesia dan Belanda, Mandar Maju, 2002, Bandung, hlm.73

48

(4)

2. Tatanan Matrilineal, yaitu pengaturan menurut hukum ibu terhadap penentuan

keturunan yang justru merupakan kebalikan dari tatanan patrilineal. Ikatan

keturunan keluarga hanya ada pada ibu, ibu dari ibu (nenek) dan seterusnya.

3. Tatanan Parental, yaitu hubungan kekeluargaan dilihat dari kedua belah pihak

yaitu ayah dan ibu.

Sejak tahun dua puluhan pada masa di bawah kepemimpinan Belanda, dari

golongan Bumiputera diajukan permohonan dengan hormat agar diadakan

pembaharuan hukum perkawinan. Kongres pertama kaum perempuan Indonesia,

yang diselenggarakan di Yogyakarta dari tanggal 22 sampai 24 Desember 1928,

telah dihadiri oleh wakil-wakil dari 30 Organisasi Perempuan Bumiputra (antara

lain Wanita Oetomo, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Moehammadiyah bagian

Wanita, Serikat Islam bagian wanita). Kongres ini telah berhasil mendirikan

Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).49

Kongres pertama PPPI (Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia)

yang berlangsung sejak tanggal 29 sampai 31 Desember 1929, telah mencurahkan

perhatian yang cukup besar pada masalah-masalah perkawinan. Topik yang

dibicarakan adalah antara lain tentang kewajiban perempuan untuk menentang

poligami, perkawinan paksa maupun perkawinan anak-anak. Di sini telah diterima

resolusi yang memuat antara lain permohonan untuk mendesak pemerintah

Belanda agar melarang poligami.50

Pada kongres PPPI yang kedua, yang diadakan pada tanggal 20 sampai 24

juli 1935 di Batavia, kembali masalah perkawinan menjadi topik utama. Pada

49

Ibid, hlm.192

(5)

kongres ini, diputuskan bahwa PPPI akan mengadakan penelitian tentang polisi

perempuan menurut hukum Islam, dan memperbaiki posisi perempuan tanpa

menyampingkan agama Islam. Pada kongres PPPI yang ketiga yang diadakan di

Bandung pada bulan Juli 1938, telah menghasilkan keputusan untuk membentuk

sebuah komisi yang diberi tugas untuk merancang Peraturan Perkawinan yang

paling adil dan patut. Pada kongres PPPI yang keempat yang berlangsung di

Semarang pada bulan Juli 1941 yang membahas tentang upaya peningkatan

perempuan di dalam masyarakat, menyediakan ruang, dan peluang bagi

perkawinan berikut seluk beluknya.51

Sehubungan dengan kongres-kongres tersebut dapat disimpulkan bahwa

gerakan Perempuan Indonesia yang dimulai pada masa pemerintahan Belanda, di

era pemerintahan Presiden Soekarno sampai pada masa pemerintahan Presiden

Soeharto merupakan kelompok penekan yang tidak kenal menyerah terhadap

pembentukan Perundang-Undangan Perkawinan.52

Ketika Negara Kesatuan Republik Indonesia memperoleh tempat berpijak

yang semakin kokoh, maka desakan untuk membentuk Undang-undang

Perkawinan bukan hanya datang dari pergerakan perempuan saja, tetapi dari

kalangan penegak hukum seperti hakim, advokat dan lain-lain juga dengan alasan

bahwa Undang-undang buatan Belanda yang sampai saat itu masih berlaku

dianggap tidak sesuai dengan tatanan hukum Indonesia dan Pancasila.53

Pada akhir tahun 1950 dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor

B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 oleh pemerintah dibentuklah Panitia

51 Ibid. 52

Ibid. 53

(6)

Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk bagi umat Islam.

Panitia ini bertugas meninjau kembali semua peraturan perkawinan dan menyusun

suatu RUU Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang

hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Anggotanya terdiri dari

orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan

kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Mr.Tengku Hasan.54

Pada akhir tahun 1952 panitia tersebut selesai membuat suatu Rancangan

Undang-Undang (RUU) Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang

berlaku untuk semua golongan dan agama, dan peraturan-peraturan khusus yang

mengatur hal-hal yang hanya mengenai golongan agama masing-masing.

Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 Panitia menyampaikan RUU

Perkawinan Umum serta daftar pertanyaan umum yang mengenai

Undang-Undang tersebut kepada organisasi-organisasi dengan permintaan supaya

masing-masing memberikan pendapat atau pandangan tentang soal-soal tersebut.55

RUU Perkawinan yang dimajukan itu selain berusaha ke arah kodifikasi

dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan

menetapkan antara lain :56

1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan dan ditetapkan batas umur 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan.

2. Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

54

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, 2006, Jakarta, hlm.234

55 Ibid. 56

(7)

3. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama/perdata yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian sehingga dapat memenuhi syarat keadilan.

4. Harta pembawaan dan harta yang diperoleh masing-masing, sendiri tanpa menjadi milik masing-masing dan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

5. Perceraian diatur dengan keputusan pengadilan negeri, berdasarkan alasan-alasan tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan yang khusus islam.

6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.

Dalam rancangan-rancangan yang diajukan oleh komisi ini, terdapat

pendapat-pendapat yang menyatakan perlunya suatu Undang-undang umum yang

mengatur perkawinan-perkawinan seluruh warga negara Indonesia dan sekaligus

mengatur secara khusus perkawinan berbagai kelompok agama. Walaupun RUU

Perkawinan ini telah berhasil diselesaikan, namun dalam permasalahannya di

Parlemen mengalami penundaan. Atas suatu inisiatif yang diprakarsai oleh

sekelompok anggota Parlemen di bawah pimpinan Ny.Soemarnie, maka akhirnya

RUU Perkawinan mulai dibahas dalam Parlemen. Pada saat itu telah ada tiga buah

RUU Perkawinan yaitu dua buah RUU berasal dari komisi yang diketuai oleh

Mr.Tengku Hasan dan satu buah RUU Ny.Soemarnie dan kawan-kawan. Pada

prinsipnya masih ada persamaan antara RUU Perkawinan yang diusulkan oleh

Komisi Hasan dan RUU Perkawinan dari DPR, namun ada dua perbedaan penting

antara pengusulan-pengusulan tersebut :57

1. RUU Perkawinan yang berasal dari Komisi Hasan menyatakan bahwa di

samping sebuah RUU Perkawinan yang berlaku bagi setiap warga negara,

57

(8)

juga peraturan-peraturan yang berlaku bagi kelompok-kelompok yang di

dalamnya poligami diperkenankan.

2. Sedangkan dari kelompok Ny.Soemarnie meliputi hanya pemberlakuan suatu

Undang-undang Umum yanng di dalamnya semata-mata hanya mengakui

adanya monogami (kendatipun demikian RUU Perkawinan yang disebut

terakhir juga memberi ruang dan peluang bagi suatu peraturan

perundang-undangan perkawinan untuk kelompok-kelompok keagamaan yang

berbeda-beda, namun semuanya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang yang

berlaku bagi setiap warga negara).

Satu tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober 1959,

RUU Ny.Soemarnie tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya, karena kendati

pun memperoleh perhatian besar oleh sejumlah besar anggota DPR, rancangan

tersebut nampaknya tidak berpeluang untuk dibicarakan. Para anggota dari partai

Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogami yang

dikandung rancangan ini. Nampaknya perlu dikemukakan di sini apa yang

menjadi alasan salah seorang dari kelompok Islam.58

Mengenai dua buah RUU, yang disusun oleh Komisi Hasan, sementara

belum ada keputusan yang diambil oleh Parlemen. Kemudian dalam tahun 1963

sebuah Seminar tentang Hukum Nasional diselenggarakan dan disponsori

berturut-turut oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN), yakni sebuah

badan penguasa untuk meningkatkan perundang-undangan nasional, dan

Persatuan Hakim Indonesia (Persahi) yang cukup berpengaruh pula. Di dalam

(9)

seminar ini diterima sebuah resolusi mengenai keharusan adanya pembentukan

suatu Undang-undang Perkawinan yang seragam.59

Setelah setahun lamanya LPHN tersebut telah menyiapkan sebuah

peraturan perkawinan bagi kaum muslimin, dan pada tahun 1968 telah

dirampungkan sebuah rancangan tentang asas-asas dari perkawinan. Sampai

dengan berakhirnya tahun parlementer 1971, dua buah rancangan tersebut termuat

dalam agenda DPR, akan tetapi kembali anggota-anggota Parlemen ini tidak

berhasil mengambil keputusan.60

Hampir selama dua dasawarsa telah diikhtiarkan menghasilkan

pembentukan sebuah perundang-undangan perkawinan nasional, yang oleh DPR

selama beberapa tahun telah diterima pengusulan dari tiga pihak yang berlainan

(Komisi Hasan, Kelompok Ny.Soemarnie dan LPHN), telah ditimbang

sebagaimana mestinya, namun dipandang belum memadai adanya.

Ketidakberhasilan selama dua puluh tahun itu untuk membentuk sebuah

Undang-undang Perkawinan Indonesia sendiri, terutama diakibatkan oleh pihak Islam di

dalam DPR yang tetap mempertahankan dengan gigih asas poligami tersebut.61 Pada tahun 1972 telah dimulai kembali dengan upaya percobaan keempat

pembentukan RUU Perkawinan yang diharapkan memperoleh persetujuan dari

DPR. Dalam hal ini pekerjaan tersebut dilakukan oleh pejabat-pejabat

Departemen Kehakiman. Pada pertengahan tahun 1973 RUU yang baru tersebut

telah selesai dan pada tanggal 31 Juli 1973, Presiden Republik Indonesia

menyampaikan kepada DPR, bersamaan dengan hal tersebut, RUU tahun 1967

59

Ibid, hlm.197

60 Ibid. 61

(10)

dan 1968 ditarik kembali. Rancangan yang diajukan pada tanggal 31 Juli 1973

tersebut menyebabkan sedikit keributan dalam masyarakat. Kelompok-kelompok

dan individu-individu menyatakan kepuasan maupun keberatan terhadap RUU

tersebut, sehingga pelu diadakan pembicaraan yaitu pembicaraan pada tingkat I

yang dilakukan pada tanggal 30 Agustus 1973 di mana pemerintah diwakili oleh

dua menteri yaitu Menteri Kehakiman dan Menteri Agama. Kemudian pada

pembicaraan tingkat II tanggal 17 dan 18 September 1973, dimana para anggota

DPR memberikan pandangan umumnya atas RUU Perkawinan yang diajukan

pemerintah tersebut. Berbicara pada kesempatan itu sebanyak 9 orang anggota

masing-masing seorang dari anggota Fraksi Angkatan Bersenjata, dua orang dari

Fraksi Karya Pembangunan, seorang dari Fraksi Partai Demokrasi Pembangunan

dan lima orang dari Fraksi Persatuan Pembangunan. Pemerintah menanggapi

pandangan umum para anggota DPR ini dan tanggapannya disampaikan oleh

Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973.62

Dalam rapatnya pada tanggal 30 November 1973, Badan Musyawarah

DPR memutuskan pembicaraan tingkat III akan dilakukan oleh gabungan Komisi

III dan Komisi IX. Dari gabungan Komisi III dan Komisi IX akan dibentuk suatu

Panitia Kerja yang bertugas sebagai suatu komisi dengan jumlah anggota

sebanyak 10 orang. Panitia kerja ini dibentuk oleh Rapat Gabungan Komisi III

dan Komisi IX pada tanggal 6 Desember 1973 dengan anggota sebanyak 10 orang

yakni dua orang dari Fraksi Angkatan Bersenjata, dua orang dari Fraksi Karya

Pembangunan, dua orang dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia dan empat orang

62

(11)

dari Fraksi Persatuan Pembangunan, komisi gabungan ini diketuai oleh Djamal

Ali, SH.63

Sebelum tanggal 8 Oktober 1973 Komisi III dan dan Komisi IX telah

mengadakan Rapat Gabungan untuk membicarakan prosedur teknis pembahasan

RUU Perkawinan tersebut. Kemudian pada tanggal 15 Oktober 1973, pimpinan

Komisi III dan Komisi IX mengadakan inventarisasi persoalan yang muncul dari

RUU Perkawinan di bawah koordinator Wakil Ketua DPR Domo Pranoto.64

Dari tanggal 6 sampai dengan 20 Desember 1973 diadakan pembicaraan

tingkat III, di mana panitia kerja yang dibentuk pada tanggal 6 Desember 1973

lalu mempunyai status seperti komisi guna mengadkan pembicaraan bersama

dengan pemerintah. Panitia kerja dalam melaksanakan tugasnya melakukan

rapat-rapat intern panitia untuk menjanjikan pendirian masing-masing fraksi sejauh

mungkin untuk membulatkan pendapat dalam kalangan panitia dan jika hal

tersebut tercapai maka masalah tersebut akan dibawa ke rapat kerja dengan

pemerintah yang sifatnya terbuka. Rapat kerja ini dilakukan apabila hal-hal yang

akan dibahas adalah hal-hal yang bersifat umum. Selanjutnya apabila hal ini telah

selesai maka kemudian dilakukan rapat kerja bersama yang bersifat tertutup,

mengenai perumusan-perumusan yang sifatnya konkret dalam bentuk pasal demi

pasal. Cara-cara tersebut tercapai dengan baik karena adanya suasana kerja yang

baik, toleransi yang benar, dan kesediaan saling memberi dan menerima dalam

musyawarah. Hal ini didukung pula oleh fraksi-fraksi yang menyadari akan

pentingnya masalah yang dibahas dan tanggung jawab sebagai salah satu badan

63

Rachmadi Usman, Op.Cit., hlm.241

(12)

kelengkapan. Anggota panitia kerja, baik perorangan maupun atas nama fraksinya

mendapat kesempatan yang benar untuk mengemukakan pendapatnya

masing-masing dan semua pembicara disemangati oleh cita-cita yang sama, yakni

mewujudkan Undang-undang Perkawinan yang sejauh mungkin dapat memenuhi

aspirasi hukum yang hidup di dalam masyarakat sekaligus memberi pengarahan

bagi perkembangan hukum di masa depan.65

Dengan kesadaran dan tujuan yang sama itulah kemudian

dimusyawarahkan degan sungguh-sungguh isi RUU Perkawinan agar dapat

menampung segala aspirasi dari masyarakat dan memberikan formulasinya secara

teknis yuridis. Dalam membentuk isi dari RUU Perkawinan tersebut diusahakan

dapat mempertemukan aspirasi hukum yang berbeda-beda, namun hal tersebut

tidak dapat dilakukan, maka kemungkinan dengan melakukan suatu pengecualian

dilakukan sebagai suatu pola untuk mangatasi kesulitan tersebut, apabila hal

tersebut juga tidak dapat dilakukan maka materi yang menjadi permasalahan tadi

akan dicabut dari RUU Perkawinan. RUU Perkawinan yang telah disetujui oleh

DPR tersebut telah mengalami perubahan, penambahan, dan penghapusan

beberapa pasal dari naskah asli yang disampaikan oleh pemerinntah. Pasal-pasal

yang mengalami perubahan meliputi Pasal 1 dan Pasal 2, dan Pasal-pasal yang

mengalami penghapusan adalah Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13,14,43, dan

62. Mengenai asas poligami telah dipertahankan dalam arti masih dimungkinkan

dalam hal-hal tertentu dan dimintakan putusan pengadilan. Demikian juga

(13)

masalah perceraian hanya dimungkinkan apabila alasan-alasannya cukup dan

harus melalui prosedur pengadilan.66

Akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973, pada pembicaraan tingkat IV,

DPR mengambil keputusan dengan didahului pendapat akhir dari fraksi-fraksi di

DPR, yang menyetujui disahkannya RUU Perkawinan dengan perubahan

perumusan dan dihapuskan beberapa pasal yang merupakan hasil panitia kerja

RUU tentang Perkawinan untuk menjadi Undang-undang tentang Perkawinan.

Selanjutnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU tentang Perkawinan yang telah

disetujui oleh DPR tersebut disahkan dan diundangkan menjadi Undang-undang

No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang baru berlaku secara efektif sejak

tanggal 1 Oktober 1975 karena masih diperlukan langkah-langkah persiapan dan

serangkaian petunjuk-petunjuk pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974

agar dapat berjalan dengan aman, tertib dan lancar.67

Dengan berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974, maka telah terjadi

perubahan fundamental terhadap kodifikasi hukum barat. Karena Undang-undang

dalam Burgerlijk Wetboek tidak berlaku lagi. Pernyataan ini membawa pengaruh

di mana sebagian ketentuan dalam Pasal-pasal dari Buku I Burgerlijk Wetboek

yang mengatur tentang perkawinan dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Undang-undang No 1 Tahun 1974 memuat kaedah-kaedah hukum yang berkaitan

dengan perkawinan dalam garis besar secara pokok, yang selanjutnya akan

ditindaklanjuti dalam berbagai peraturan pelaksananya. Hal ini berarti

Undang-undang Perkawinan akan menjadi sumber pokok bagi pengaturan hukum

66

Ibid, hlm.242

(14)

perkawinan, perceraian dan rujuk yang berlaku bagi semua warga negara

Indonesia.68

Undang-undang No 1 Tahun 1974 pada mulanya dimaksudkan untuk

mengkodifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional, disamping

mengkodifikasikan hukum perkawinan. Akan tetapi setelah disahkan, bukan

hukum perkawinan yang bersifat nasional yang tercapai, melainkan kompilasi

hukum perkawinan nasional yang bersifat nasional yang belum tuntas dan

menyeluruh, sebab Undang-undang Perkawinan masih merujuk dan

memberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan yang lama yang ada

sebelumnya, termasuk ketentuan hukum adat dan hukum agama atau kepercayaan

masing-masing yang mengatur mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang

berkaitan dengan perkawinan. Rumusan ketentuan dalam pasal-pasal

Undang-undang Perkawinan mencerminkan teknik kompilasi hukum sebagai modifikasi

pelaksanaan unifikasi hukum pekawinan yang bersifat nasional.69

Dengan demikian, Undang-undang Perkawinan bermaksud mengadakan

unifikasi dalam bidang hukum perkawinan tanpa menghilangkan Kebhinekaan

yang masih harus dipertahankan, karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan

perkawinan yang beraneka ragam dalam masyarakat hukum Indonesia. Dengan

sendirinya Undang-undang Pekawinan mengadakan perbedaan kebutuhan hukum

perkawinan, yang berlaku secara khusus bagi golongan penduduk warga negara

Indonesia tertentu yang didasarkan pada hukum masing-masing agamanya itu.

Bagi umat beragama selain tunduk pada Undang-undang No 1 Tahun 1974, juga

68

Ibid, hlm.245

(15)

belum diatur dalam undang Perkawinan. Apa yang diatur dalam

Undang-undang Perkawinan terbatas pada mengatur soal-soal perkawinan yang belum

diatur oleh hukum masing-masing agamanya atau kepercayaan agamanya

tersebut.70

Untuk melaksanakan Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang telah

diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 secara efektif, maka masih diperlukan

peraturan-peraturan pelaksana, antara lain yang menyangkut tentang

masalah-masalah :71

1. Pencatatan perkawinan

2. Tata cara pelaksanaan perkawinan

3. Tata cara perceraian

4. Cara mengajukan gugatan perceraian

5. Tenggang waktu bagi wanita yang mengalami putus perkawinan

6. Pembatalan perkawinan

7. Ketentuan dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 1 April 1975 oleh pemerintah

ditetapkan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-undang No 1 Tahun 1974. Dalam Peraturan Pemerintah ini, memuat ketentuan

tentang masalah-masalah yang dikemukakan diatas, yang diharapkan akan dapat

memperlancar pelaksanaan Undang-undang No 1 Tahun 1974.72

70

Ibid, hlm.245-246

71

Ibid, hlm.251

72

(16)

Apabila dikaji secara seksama, maka kandungan materi Peraturan

Pemerintah No 9 Tahun 1975 mengatur pokok persoalan sebagai berikut :73

1. Meletakkan beberapa pengertian yang digunakan dalam Peraturan Pemerintah

No 9 Tahun 1975 (Pasal 1)

2. Mengatur pejabat pegawai pencatatan perkawinan (Pasal 2), pemberitahuan

kehendak pelaksanaan perkawinan (Pasal 3 sampai dengan Pasal 5), penelitian

syarat-syarat perkawinan oleh pegawai pencatatan perkawinan (Pasal 6 dan

Pasal 7), dan pengumuman kehendak melangsungkan perkawinan (Pasal 8 dan

Pasal 9)

3. Hal-hal yang berkaitan dengan tata cara perkawinan dan pencatatan

perkawinan, termasuk kewajiban penandatanganan akta perkawinan (Pasal 10

dan Pasal 11)

4. Mengatur hal-hal yang harus dimuat dalam akta pekawinan (Pasal 12 dan

Pasal 13)

5. Mengatur mengenai tata cara pemeriksaan cerai talak atau perceraian (Pasal

14 sampai dengan Pasal 18), alasan-alasan perceraian (Pasal 19), tata cara

pemeriksaan cerai gugat (Pasal 20 sampai dengan Pasal 36)

6. Mengatur mengenai pembatalan perkawinan oleh pengadilan (Pasal 37,38)

7. Mengatur mengenai waktu tunggu bagi seorang janda (Pasal 39)

8. Mengatur mengenai kewajiban mengajukan permohonan beristeri lebih dari

seorang kepada pengadilan dalam hal-hal yang berkaitan dengan pemeriksaan

permohonan beristeri lebih dari seorang oleh pengadilan dan larangan pegawai

73

(17)

pencatat perkawinan untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami

yang beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin dari pengadilan (Pasal

40 sampai dengan Pasal 44)

9. Mengatur ancaman sanksi pidana bagi pihak mempelai atau pejabat pencatat

perkawinan yang melanggar ketentuan Pasal-pasal Peraturan Pemerintah No 9

Tahun 1975 (Pasal 45)

10.Mendelegasikan kewenangan untuk mengatur secara khusus ketentuan

perkawinan dan perceraian bagi anggota Angkatan Bersenjata oleh Menteri

Hankam/Pangab (Pasal 46)

11.Pernyataan tidak berlakunya ketentuan-ketentuan peraturan

perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur di dalam

Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 (Pasal 47)

12.Mendelegasikan kewenangan untuk mengatur petunjuk-petunjuk pelaksanaan

bagi kelancaran pelaksanaan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 kepada

Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, baik

bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri dalam bidang masing-masing (Pasal 48)

13.Pernyataan mulai berlakunya dan perintah pengundangan Peraturan

Pemerintah No 9 Tahun 1975.

Selama ini dalam menyelesaikan perkara-perkara muamalah, hakim

Pengadilan Agama selalu berpedoman pada kitab fiqih yang penggunaannya

tergantung pada kemampuan hakim-hakim Pengadilan Agama yang bersangkutan

dalam memahami secara utuh dan menyeluruh terhadap kitab-kitab fiqih tersebut.

(18)

berbeda-beda terhadap perkara-perkara yang sama. Untuk itu, sudah seyogianya bangsa

Indonesia memiliki hukum materil berupa hukum Islam yang berbentuk kodifikasi

yang dapat dijadikan landasan hakim dalam memutuskan suatu perkara.

Berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama

Nomor 7/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985, maka dibentuk suatu Tim

Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi. Dalam rangka

melaksanakan tugas pokoknya, tim tersebut mengadakan penelaahan dan

pengkajian kitab-kitab fiqih dari berbagai sumber dan wawancara terhadap para

ulama, yang kemudian hasilnya diseminarkan melalui loka karya yang diadakan

di Jakarta dari tanggal 2 sampai dengan 5 Februari 1988. Dengan Intruksi

Presiden No 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, maka disebarluaskan Kompilasi

Hukum Islam tersebut untuk dapat digunakan oleh instansi pemerintah dan

masyarakat sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah dibidang

hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum perwakafan di samping peraturan

perundang-undangan lainnya.74

B. Asas-Asas Hukum Perkawinan

1. Asas-asas Hukum Perkawinan Berdasarkan Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pada dasarnya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah

mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 dan

sudah menampung segala kenyataanya yang hidup dalam masyarakat dewasa ini,

74

(19)

sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, baik menurut kenyataan sosial

maupun kenyataan dalam pelaksanaan hukum adat atau hukum agama dan

kepercayaan. Jadi walaupun misalnya menurut hukum Islam dibolehkan

melakukan perkawinan poligami namun karena Undang-undang No 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan menganut asas monogami (yang terbuka), maka perkawinan

banyak isteri yang bebas melakukan sebelumnya sudah tidak dibolehkan lagi.75 Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah

ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu

yang berhubungan dengan perkawinan yang disesuaikan dengan perkembangan

dan tuntutan zaman.76

Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam Penjelasan Umum

Undang-undang Perkawinan tersebut, adalah sebagai berikut :77

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal untuk

itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing

dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai

kesejahteraan spiritual dan materil.

2. Dalam Undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah

bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap

perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting

dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan

75

Prof. H. Hilman Hadikusuma,SH, Op.Cit., hlm.6 76

Mohd. Idris Ramulyo,SH.MH, Op.Cit., hlm.56 77

(20)

dalam surat-surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar

pencatatan.

3. Undang-undang ini menganut asas monogami, hanya apabila dikehendaki oleh

yang bersangkutan karena hukum agama dari yang bersangkutan mengizinkan

seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan

seorang suami dengan lebih dari seorang isteri meskipun hal itu dikehendaki

oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi

berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

4. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami itu harus telah

masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat

mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian

dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya

perkawinan antara calon suami isteri yang msih dibawah umur.

Disamping itu perkawinan mempunyai hubungan masalah kependudukan.

Ternyata bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk

kawin mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi dari pada jika

dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi.

Berhubungan dengan itu maka Undang-undang ini menentukan batas umur

untuk kawin bagi pria maupun bagi wanita ialah 19 (sembilan belas) tahun

bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.

5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia,

(21)

mempersukar terjadinya perceraian. Untuk barcerai harus ada alasan tertentu

serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan.

6. Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami,

baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam dalam pergaulan

masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat

dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.

Asas dan pinsip perkawinan itu dalam bahasa sederhana adalah sebagai

berikut :78

1. Asas sukarela

2. Partisipasi keluarga

3. Perceraian dipersulit

4. Poligami dibatasi secara ketat

5. Kematangan calon mempelai

6. Memperbaiki derajat kaum wanita

2. Asas-Asas Hukum Perkawinan Dalam Hukum Islam

Dalam perspektif hukum Islam, Dr. Musdah Mulia menjelaskan bahwa

prinsip perkawinan tersebut ada 4 (empat) yang didasarkan pada ayat-ayat

al-Qur’an yaitu :79

1. Prinsip kebebasan dalam memilih jodoh

Prinsip ini sebenarnya kritik terhadap tradisi bangsa Arab yang menempatkan

perempuan pada posisi yang lemah, sehingga untuk dirinya sendiri saja ia

78

Madani, Op.Cit., hlm.6 79

(22)

tidak memilih kebebasan untuk menentukan apa yang terbaik pada dirinya.

Oleh sebab itu kebebasan memilih jodoh adalah hak dan kebebasan bagi

laki-laki dan perempuan sepanjang tidak bertentangan dengan syari’at Islam.

2. Prinsip mawaddah wa rahmah

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah QS. Ar-Rum: 21. Mawaddah wa

rahmah adalah karakter manusia yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya.

Jika binatang melakukan hubungan seksual semata-mata untuk kebutuhan seks

itu sendiri juga dimaksudkan untuk berkembang biak. Sedangkan perkawinan

manusia bertujuan untuk mencapai ridha Allah disamping tujuan yang bersifat

biologis.

3. Prinsip saling melengkapi dan melindungi

Prinsip ini didasrkan pada firman Allah SWT yang terdapat pada surah

al-Baqarah: 187 yang menjelaskan isteri-isteri adalah pakaian sebagaimana

layaknya dengan laki-laki juga sebagai pakaian untuk wanita. Perkawinan

laki-laki dan perempuan dimaksudkan unntuk saling membantu dan

melengkapi, karena setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan.

4. Prinsip muasyarah bi al-ma’ruf

Prinsip ini didasarkan pada firman Allah yang terdapat pada surah an-Nisa: 19

yang memerintahkan kepada setiap laki-laki untuk memperlakukan isterinya

dengan cara yang ma’ruf. Di dalam prinsip ini sebenarnya pesan utamanya

(23)

Menurut Muhammad Idris Ramulyo, asas perkawinan manurut hukum

Islam, ada 3 (tiga) asas yang harus diperhatikan yaitu :80 1. Asas absolut abstrak

Ialah suatu asas dalam hukum perkawinan di mana jodoh atau pasangan suami

isteri itu sebenarnya sejak dulu sudah ditentukan oleh Allah atas permintaan

manusia yang bersangkutan.

2. Asas selektivitas

Ialah suatu asas dalam suatu perkawinan di mana seseorang yang hendak

menikah itu harus menyeleksi lebih dahulu dengan siapa ia boleh menikah dan

dengan siapa dia dilarangnya.

3. Asas legalitas

Ialah suatu asas dalam perkawinan, wajib hukumnya dicatatkan.

C. Syarat Sahnya Perkawinan

1. Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Perkawinan adalah persetujuan kekeluargaan, yang menghendaki adanya

asas kebebasan kata sepakat antara calon suami isteri. Hal ini menunjukkan bahwa

adanya sifat tidak dipaksakan, bahwa persetujuan perkawinan harus lahir oleh

karena adanya persamaan kehendak. Kekuatan mengikat dari persetujuan

perkawinan adalah lebih luas jika dibandingkan persetujuan umumnya sebab

perkawinan harus diindahkan oleh setiap orang. Sifat perkawinan menurut

80

(24)

Undang-undang No 1 Tahun 1974 kiranya sama dengan sifat perkawinan menurut

KUH Perdata, jika kita kaitkan dengan tujuan perkawinan.81

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melangsungkan

perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :

1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.82

Syarat perkawinan ini diatur secara jelas dalam Undang-undang No 1

Tahun 1974 Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

“Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”.

2. Adanya izin kedua orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berusia 21

tahun.83

Syarat perkawinan ini diatur secara tegas dalam Undang-undang No 1

Tahun 1974 Pasal 6 ayat (2),(3),(4),(5) dan (6) yaitu :

(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) Pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut ayat (2),(3), dan (4) Pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin

81

F. X Suhardana,SH, Hukum Perdata I, PT Prenhallindo, 1990, Jakarta, hlm.91-92 82

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, PT Alumni, 2004, Bandung, hlm.64

83

(25)

setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2),(3), dan (4) Pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai

wanita sudah mencapai 16 tahun.84

Syarat perkawinan tersebut diatur dalam Undang-undang No 1 Tahun

1974 Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa :

“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 (enam belas)

tahun”.

4. Antara calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak dalam hubungan

darah/keluarga yang tidak boleh kawin.85

Hubungan darah/keluarga yang tidak boleh kawin menurut

Undang-undang No 1 Tahun 1974 pada Pasal 8 adalah sebagai berikut :

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas. b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara nenek.

c. Berhubungan samenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri.

d. Berhubungan susunan yaitu orang tua susunan, anak susunan, saudara susunan, dan bibi/paman susunan.

e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

5. Tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan pihak lain.86

(26)

Syarat untuk melangsungkan perkawinan ini diatur dalam Pasal 9

Undang-undang No 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa : “Seorang yang masih terikat

tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang

tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini.

Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa :

“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri

lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan”.

6. Bagi suami isteri yang telah bercerai lalu kawin lagi satu sama lain dan

bercerai lagi untuk kedua kalinya, agama dan kepercayaan mereka tidak

melarang mereka kawin kembali untuk ketiga kalinya.87

Syarat perkawinan yang keenam ini disebutkan dalam Undang-undang No

1 Tahun 1974 Pasal 10 yang menyatakan bahwa : “Apabila suami dan isteri yang

telah bercerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua

kalinya, maka diantra mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi,

sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang

bersangkutan tidak menentukan lain”.

Dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-undang No 1 Tahun 1974

menyebutkan bahwa :

“Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mengakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain”.

87

(27)

7. Tidak berada dalam waktu tunggu bagi calon mempelai wanita yang janda.88 Dalam Pasal 11 Undang-undang No 1 Tahun 1974 ditentukan bahwa

wanita yang putus perkawinannya, tidak boleh bagitu saja kawin lagi dengan

lelaki lain, tetapi harus menunggu sampai waktu tunggu itu habis.

2. Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Islam

Sejak berlakunya Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

maka sahnya suatu perkawinan menurut hukum agama di Indonesia sangat

menentukan. Apabila suatu perkawinan tidak dilakukan menurut hukum

agamanya masing-masing berarti perkawinan tersebut tidak sah. Perkawinan yang

dilakukan di Kantor Catatan Sipil atau di Pengadilan apabila tanpa dilakukan

terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu berarti tidak sah.

Menurut hukum Islam, suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila telah

memenuhi syarat dan rukun perkawinan, yaitu :

1. Calon suami, syarat-syaratnya :

a. Beragama Islam

b. Laki-laki

c. Jelas orangnya

d. Dapat memberikan persetujuan

e. Tidak terdapat halangan perkawinan

2. Calon isteri, syarat-syaratnya :

a. Beragama Islam

88

(28)

b. Perempuan

c. Jelas orangnya

d. Dapat dimintai pesetujuan

e. Tidak terdapat halangan perkawinan

3. Wali nikah, syarat-syaratnya :

a. Laki-laki

b. Dewasa

c. Mempunyai hak perwalian

d. Tidak terdapat halangan perwalian

4. Saksi nikah, syarat-syaratnya :

a. Minimal dua orang laki-laki

b. Hadir dalam ijab qabul

c. Dapat mengerti maksud akad

d. Islam

e. Dewasa

5. Ijab Qabul, syarat-syaratnya :

a. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

b. Adanya pernyataan permintaan dari calon mempelai

c. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut

d. Antara ijab dan qabul bersambungan

e. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya

f. Orang yang terkaid dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau

(29)

g. Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimal oleh empat orang yaitu

calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang

saksi.89

Di samping rukun dan syarat tersebut diatas, menurut para ulama, mahar

itu hukumnya wajib dan ditempatkan sebagai syarat sahnya dalam perkawinan

berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah. Hal ini berdasarkan QS An-Nisa’ ayat 4 dan

24.

Di dalam QS An-Nisa’: 4, Allah SWT berfiman, yang berbunyi :90

“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

Pada QS An-Nisa’: 24, Allah SWT berfirman, yang berbunyi :91

“Diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian, yaitu mencari istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya sesudah menentukan mahar itu”.

Sementara berkaitan dengan masalah wali, menurut Imam Hanafi wali

bukanlah syarat dalam perkawinan, oleh karena itu wanita yang sudah dewasa dan

berakal sehat boleh mengawinkan dirinya asalkan perkawinannya dihadiri oleh

dua orang saksi. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali bahwa

perkawinan yang dilakukan tanpa wali adalah tidak sah. Selanjutnya syarat-syarat

89

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Op.Cit., hlm.62-63 90

Al-Jumanatul Ali, Op.Cit., hlm.77 91

(30)

bagi dua orang saksi dalam akad nikah adalah harus orang yang beragama Islam,

dewasa (baligh), berakal sehat, dapat melihat, mendengar, dan memahami tentang

akad nikah. Tidak ada ketentuan yang menjadi saksi apakah orang yang masih

mempunyai hubungan darah atau tidak dengan kedua mempelai.92

3. Syarat Sahnya Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Di dalam Kompilasi Hukum Islam juga diatur mengenai rukun dan

syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Pasal 14 KHI yaitu untuk melaksanakan

perkawinan harus ada :

1) “Calon suami 2) Calon isteri 3) Wali nikah

4) Dua orang saksi, dan 5) Ijab dan Kabul”93

Mengenai Calon Mempelai baik calon suami dan calon isteri diatur dalam

Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut :94 Pasal 15 KHI yaitu :

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun

(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) Undang-undang No 1 Tahun 1974

Pasal 16 KHI yaitu :

(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai

92

Hilman Hadikusuma SH, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju, 1990, Bandung, hlm.28-30

93

Tim Redaksi Nuansa Aulia, Op.Cit., hlm.5 94

(31)

(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas

Pasal 17 KHI yaitu :

(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah

(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan

(3) Bila calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti

Pasal 18 KHI yaitu :

“Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Bab VI”.

Mengenai Wali Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai

berikut :

Pasal 19 KHI yaitu :

“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahinya”.

Pasal 20 KHI yaitu :

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seseorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh

(2) Wali nikah terdiri dari : a. Wali nasab

b. Wali hakim

Pasal 21 KHI yaitu :

(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita

Pertama : kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya

(32)

Ketiga : kelompok kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka Keempat : kelompok saudara laki kandung kakek, saudara

laki-laki seayah dan keturunan laki-laki-laki-laki mereka

(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lenih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita

(3) Apabila dalam satu kelompok, sama derajat kekerabatannya yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama barhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lenih tua dan memenuhi syarat-syarat wali

Pasal 22 KHI yaitu :

“Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya”.

Pasal 23 KHI yaitu :

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagi wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan

(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada keputusan pengadilan Agama tentang wali tersebut

Mengenai Saksi Nikah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai

berikut :

Pasal 24 KHI yaitu :

(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah (2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi

Pasal 25 KHI yaitu :

“Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli”.

(33)

“Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akad Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan”.

Mengenai Ijab Kabul diatur dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai

berikut :

Pasal 27 KHI yaitu :

“Ijab Kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntut dan tidak berselang waktu”.

Pasal 28 KHI yaitu :

“Akad Nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan atau wali nikah mewakilkan kepada orang lain”.

Pasal 29 KHI yaitu :

(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi

(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria

(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan

D. Tujuan Melakukan Perkawinan

1. Tujuan Melakukan Perkawinan Dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Tujuan perkawinan menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, kita masih berpegangan kepada rumusan Pasal 1, yaitu pada anak

kalimat kedua yang berbunyi : “Dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

(34)

perkawinan akan diperoleh suatu kebahagiaan, baik materil maupun spirituil.

Kebahagian yang ingin dicapai bukanlah kebahagian yang sifatnya sementara

saja, tetapi kebahagian yang kekal, karenanya perkawinan yang diharapkan juga

adalah perkawinan yang kekal, yang hanya dapat berakhir dengan kematian salah

satu pasangan tersebut. 95

Pemutusan karena sebab-sebab yang lain dari pada kematian, diberikan

suatu pembatasan yang ketat. Sehingga suatu pemutusan yang berbentuk

perceraian hidup akan merupakan jalan terakhir, setelah jalan lain tidak dapat

ditempuh lagi.96

Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan

keturunan, dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan

kewajiban orang tua. Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut

perundangan adalah untuk kebahagian suami isteri, untuk mendapatkan keturunan

dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental

(ke-orangtua-an).97

Selanjutnya dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga yang

bahagia dan kekal itu, haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai

asas pertama dalam Pancasila.98

2. Tujuan Melakukan Perkawinan Dalam Hukum Islam

Tujuan perkawinan menurut hukum agama, juga berbeda antara agama

yang satu dengan yang lain. Menurut hukum Islam tujuan perkawinan ialah

95

Asmin SH, Op.Cit., hlm.19-20 96

K.Wantjik Saleh SH, Hukum Perkawinan Indonesia, Cetakan keempat, Ghalia Indonesia, 1976, Jakarta, hlm.15

97

Prof. H. Hilman Hadikusuma SH, Op,Cit., hlm.21 98

(35)

menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat,

dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur.99

Selain itu pula ada pendapat yang mengatakan bahwa tujuan perkawinan

dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani

manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta

meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah

perzinahan, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi yang

bersangkutan, ketentraman keluarga dan masyarakat.100

Secara rinci tujuan perkawinan yaitu sebagai berikut :101

a. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat

kemanusiaan

b. Membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa

c. Memperoleh keturunan yang sah

d. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang

halal, memperbesar rasa tanggungjawab

e. Membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah (Keluarga

yag tentram, penuh cinta, kasih, dan kasih sayang) (QS. ar-Rum ayat 21)

Ikatan perkawinan sebagai mitsaqan ghalizan sekaligus mentaati perintah

Allah SAW bertujuan untuk membentuk dan membina tercapainya ikatan lahir

batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dalam kehidupan

rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan syariat hukum Islam.

99

Prof. H. Hilman Hadikusuma SH, Op.Cit., hlm.24 100

Mohd. Idris Ramulyo,SH.MH, Op.Cit., hlm.26-27 101

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pengaman rumah ini memiliki beberapa bagian penting untuk mengamankan rumah seperti sensor ultrasonic sebagai pendeteksi, alarm, modem wavecom dan kamera CCTV

Pada sekolah SMA N 14 Semarang, siswa yang memiliki sikap negatif (cenderung kurang merespon atau tertarik dengan hal-hal berkaitan dengan kesehatan reproduksi)

Laboratorium komputer adalah tempat riset ilmiah, eksperimen, pengukuran ataupun pelatihan ilmiah yang berhubungan dengan ilmu komputer dan memiliki beberapa komputer dalam

Pembayaran yang dilakukan dalam periode tersebut adalah pembayaran cicilan Pinjaman SEK Tranche A, B dan C sebesar USD45,0 juta, cicilan Pinjaman HSBC Coface dan Sinosure

(b) Uji Regresi Ganda; Berdasarkan hasil analisis regresi linier antara kemampuan manajerial kepala sekolah(Xi) dan kineija guru (X2) terhadap mutu pendidikan(Y) menunjukkan notasi Y

Pada dasarnya, pengakuan anak bisa dilakukan baik oleh ibu maupun bapak, tetapi karena berdasarkan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

(2010) toteaa, että kuluttajien erilaiset aikomukset käyttää itsepalvelukassoja voidaan katsoa johtuvan kuluttajien erilaisista luonteenpiirteistä, joihin vaikuttavat

Berdasarkan hasil simulasi dan pengukuran, diketahui bahwa antena yang dirancang dan direalisasikan telah memenuhi kriteria dan spesifikasi desain yang telah ditentukan