• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK SANG PEMBERONTAK Kumpulan Esai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLITIK SANG PEMBERONTAK Kumpulan Esai "

Copied!
348
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK SANG

PEMBERONTAK

(2)

UU No 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta

Fungsi dan Sifat hak Cipta Pasal 2

1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hak Terkait Pasal 49

1. Pelaku memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara dan/atau gambar pertunjukannya.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(3)

Chairul Fahmi

POLITIK SANG

PEMBERONTAK

(4)

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

FAHMI, Chairul

Politik Sang Pemberontak: Kumpulan Esai Politik, Hukum dan Kemanusiaan di Aceh/oleh Chairul Fahmi.--Ed.1, Cet. 1--Yogyakarta: Deepublish, September 2014.

xiv, 334 hlm.; 20 cm

ISBN 978-Nomor ISBN

1. Kumpulan Esai I. Judul 808.84

Desain cover : Arif Abdul Ghafur Penata letak : Ika Fatria Iriyanti

PENERBIT DEEPUBLISH (Grup Penerbitan CV BUDI UTAMA)

Anggota IKAPI (076/DIY/2012)

Isi diluar tanggungjawab percetakan Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau

memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Gg. Elang 6, No 3, Drono, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman Jl.Kaliurang Km.9,3 – Yogyakarta 55581

Telp/Faks: (0274) 4533427 Hotline: 0838-2316-8088 Website: www.deepublish.co.id

(5)

PENGANTAR PENERBIT

Assalamu‘alaikum, Wr. Wb

Persoalan politik kontemporer di Indonesia khususnya di Aceh menjadi fenomena tersendiri di negeri ini. Buku berjudul Politik Sang Pemberontak ini memaparkan gambaran menarik sebab fenomena yang terjadi di Aceh cukup fenomenal.

Sebagai tulisan yang disusun bukan dari karya akademis, namun bersumber pada ide hasil observasi, bacaan dan kontemplasi, penulis memang cukup subyektif. Tapi kami yakin melalui buku ini bisa menjadi bahan referensi untuk pembaca.

Akhirnya, selain syukur kehadirat Ilahi, penerbit juga berharap buku ini bisa memberi manfaat bagi pembaca dan memotivasi penulis untuk terus berkarya menuangkan ide-idenya dalam bentuk buku. Selain itu, kami berharap semoga dapat mendorong masyarakat untuk selalu antusias dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Wassalamu‘alaikum, Wr. Wb

Hormat Kami,

(6)
(7)

PENGANTAR PENULIS

BUKU ini merupakan kumpulan esai tentang persoalan politik kontemporer di Indonesia, khususnya di Aceh. Disamping itu juga terdapat beberapa esai tentang hukum, sosial dan kemanusian yang merupakan potret kehidupan negera dan bangsa.

Judul buku ―Politik sang pemberontak‖ bersumber

dari salah satu artikel dalam buku ini, dimana perkembangan perpolitikan di Aceh paska damai berubah menjadi fenomena yang fenomenal.

Femonenal karena perpolitikan di Aceh berkembang dengan pesat. Termasuk menjadi insparasi bagi perkembangan perpolitikan di Indonesia. Beberapa inspirasi yang diadopsi dalam sistem perpolitikan Indonesia, seperti terbukanya ruang bagi calon perseorangan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah. Selama ini UU hanya memberikan ruang hemegoni bagi partai politik untuk mengusulkan calon kepala daerah berakhir.

(8)

Disamping itu juga adanya partai politik lokal, sebagai instrument perjuangan politik mantan gerilyawan

GAM, setelah ―menyerah‖ kepada republik melalui

perjanjian damai MoU di Helsinki, Finlandia.

Munculnya partai lokal dan menjadi pemenang pada dua kali pemilu legislatif (2009 dan 2014), serta sejumlah kepada deerah di kabupaten/kota telah merubah peta politik dan kekuasaan di Aceh. Sayangnya, kekuasaan politik yang diperoleh melalui proses demokrasi selama satu dekade ini belum menunjukkan cita-cita awal perjuangan para kombatan. Sebaliknya, muncul elit-elit baru dan kehidupan politik kleptokratis, mengutip istilah yang dipopulerkan oleh Profesor T. Jacob. Kekuasaan politik

ditangan mantan gerilyawan ―terjebak‖ dalam hedonism

kemewahan, tidak sebanding dengan pengorbanan rakyat sebagai tameng dan sekaligus korban operasi militer para serdadu republik yang memburu para pemberontak.

Berbeda dengan pemberontak sejati di Amerika Latin, Che Guavara. Che telah menghabiskan hidupnya sebagai pemberontak dan mengakhirinya hidupnya sebagai pemberontak, bukan sebagai politisi. Meskipun Che telah diangkat sebagai salah satu elit politik setelah revolusi Kuba, Ia tanggalkan kekuasaan dan kemewahan itu, dan bergabung kembali dengan pemberontak di negara Latin lainnya yang sedang memberontak. Ia berkata, ―Saya adalah seorang gerilyawan, dan akan selalu menjadi gerilyawan

(9)

Dalam sejarah pemberontakan di Indonesia, memang tidak ada yang sukses. Republik masih tetap menjadi pilihan semua pihak, meskipun tidak sedikit yang kecewa. Namun para ideolog dan komit terhadap ideology yang dinyakini jarang bisa bertahan. Mereka yang bertahan akan tersingkirkan atau mati tertembak, seperti halnya Che yang mati sebagai sang pemberontak.

Buku ini hanya kumpulan catatan–catatan fenomena kontemporer yang berkembang dalam perspektif penulis. Kumpulan esai ini juga bukanlah karya akademis yang didasarkan pada kajian ilmiah, sebaliknya hanya bersumber dari ide hasil observasi, bacaan dan kontemplasi. Sehingga subjektifitas menjadi hal yang tidak mungkin dihindari, namun penulis nyakin ada hal yang bermanfaat bagi pembaca untuk memahami fenomena–fenomena yang tidak tertulis, setidaknya menjadi catatan untuk mengenang sebuah sejarah yang sedang berjalan.

(10)

Teristimewa untuk istri tercinta Cut Yulvizar, dan dua putri penulis yang selalu memberikan inspirasi dan spirit Keisha Nabila Fahmi dan Izza Almira Fahmi. Semoga mejadi anak yang sholehah, dan berguna bagi agama dan negara.

Terakhir, penulis mengucapkan terimakasih kepada penerbit yang telah bersedia menerbitkan buku ini, semoga bermanfaat bagi semuanya.

Wallahul muwafiq ila aqwamit thoriq

Banda Aceh, 2014 Penulis,

(11)

DAFTAR ISI

Pengantar Penerbit —— v Pengantar Penulis —— vii Daftar Isi —— xi

Aceh dalam Skenario? ——1 Aceh Tertipu Lagi? ——5 Aceh, Pilkada & Ulama ——11 Aliran (Politik) Sesat ——15 Media & Demokrasi? ——19 DPRA Mandul? ——24 Gayo Merdeka? ——29

Hasan Tiro, Unfinished Story ——34 Pragmatisme Parpol ——39

Ilusi Politik Kekuasaan ——43

Kebohongan Demokrasi ——47 Kursi ——52

“Kereta” Independent——57

(12)

Negara & Terorisme ——72 Pemimpin Parasit ——81 Pengkhianat ——87

Perang & Pembangunan ——91 Perselingkuhan Kekuasaan ——97 Pilkada Tanpa Parpol ——102 Politik Bohong ——107

Politik Resistensi ——112

Politik Sang Pemberontak —— 117 Politik Sang Rektor —— 123

Politik Pengakuan ——128

Ulama & Snouck Hurgronje ——133 Sabotase Demokrasi ——138

Uleebalang & Kornte Verklaring ——143 Keadilan Telah Mati ——149

Kekerasan & Syariat Islam ——154

Ketika Putri “Dirajam”? —— 159

(13)

Suatu Introspeksi Diri ——177 Mafioso Penjara ——183 Haram Pajak ——188

Moral Hukum dan Keadilan ——197 Raja (Wali) Nanggroe? ——202

Sang Pemerkosa Itu “WH” ——207

Blang Padang ——212

Teror Membayangi Aceh ——218 Teror Perampok 223

Aceh Kehilangan Karakter ——228 Bola Jadi Agama ——234

Islam Itu Pluralism & Fundamentalism ——238 Praktek Judi Poker —— 248

Jumat, Refleksi yang Dilupakan ——253 Kecurangan PT.PLN! —— 258

Jujur, Kok Hanya di Kantin? ——265

9,7 Triliun & Kemiskinan Struktural ——269 Kesabaran ——278

(14)

Mencari Wali Yatim Konflik ——292 Pungò —— 296

Rekonsiliasi di Pojok Lueng Bata ——301

Syari’ah vs Borjuis —— 306

Tanah ——312

Barak Bakòi ——316

Aceh Tempoe Doeloe ——320 Hantu —— 328

(15)

ACEH DALAM SKENARIO?

KASUS pembunuhan para buruh dari etnis Jawa di Aceh beberapa waktu yang lalu, hingga kini belum ada tanda-tanda siapa pelakunya. Polisi juga belum mampu mengungkap siapa di balik kasus pembunuhan berantai tersebut. Kesimpulan sementara dari kepolisian, sebagaimana disampaikan oleh Kabid Humas Mabes Polri bahwa pembunuhan tersebut terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Hal ini kemudian memunculkan berbagai asumsi dan persepsi, siapa di balik kasus pembunuhan tersebut, mengapa targetnya buruh etnis Jawa dan apa kepentingan di balik itu semua? Pertanyaan ini penting untuk dijawab, sehingga menjadi suatu analisis awal dalam mengungkap kasus tersebut. Ataupun kasus teror ini tidak hilang bagai semilir angin yang berlalu begitu saja. Tidak juga menjadi suatu anggapan bahwa teror adalah hal biasa terjadi di Aceh.

(16)

Pihak kepolisian menyatakan bahwa pembunuhan ini erat kaitannya dengan Pilkada. Lalu, apa kaitannya antara buruh dengan pilkada? Mengapa harus buruh bangunan yang harus dibunuh, atau lebih khusus lagi mengapa buruh yang beretnis jawa? Mengapa tidak langsung para politisi yang menjadi target, jika ini kaitannya dengan Pilkada?

Beberapa Target

Penulis melihat ada beberapa target yang ingin diciptakan dalam situasi Pilkada Aceh hari ini, yang pertama adalah menciptakan suatu isu menjadi sesuatu hal yang massif. Artinya, jika yang menjadi korban pembunuhan di Aceh adalah warga luar Aceh maka akan menjadi perbincangan secara nasional, bahkan international.

Berbeda jika yang menjadi korban itu adalah warga Aceh, maka hal tersebut tidak menjadi suatu konsumsi secara nasional. Hal ini terlihat ketika Jakarta merespon kasus pembunuhan buruh di Aceh secara serius. Artinya

buruh menjadi menjadi ―kelinci‖ percobaan yang

mempunyai cost rendah, tapi diharapkan mempunyai dampak besar.

(17)

didukung oleh pihak militer (TNI), serta pamswakarsa warga negara.

Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya surat edaran dari kepolisian berkaitan dengan kewajiban jaga malam warga Aceh selama pelaksanaan pilkada ini. Kondisi yang sama juga terjadi ketika Aceh berstatus darurat militer beberapa tahun lalu.

Namun kondisi menciptakan instabilitas dan mengangkat isu teror ini menjadi suatu isu yang massif secara nasional sepertinya tidak sesuai dengan suatu skenario yang diinginkan. Artinya rakyat Aceh sudah sadar bahwa ada sesuatu di balik itu semua, sadar bahwa ada the

man behind the gun. Sehingga hal ini tidak terlalu

terpengaruh pada suasana di tingkat grass root.

Skenario Lain

Kini, muncul suatu skenario lain, yaitu infiltrasi kekuatan-kekuatan militer dan political interest Jakarta dalam konstelasi perpolitikan di Aceh. Bergabungnya Letjen (Purn) Soenarko, yang juga mantan Danjen Kopassus dalam Tim Sukses Partai Aceh (Timses PA), atau mengutip istilah

Effendi Hasan (2012) ―mantan Danjen Kopassus merapat ke sarang mantan kombatan‖ juga menjadi tanda tanya besar,

bahwa ada apa di balik itu semua?

(18)

serta diikuti oleh gugatan ke Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan suatu keputusan hukum yang memberikan kesempatan kepada PA untuk dapat mendaftar dalam Pilkada 2012. Padahal jauh sebelumnya Ketua Umum PA menyatakan tidak ikut serta dalam Pilkada tersebut.

Intervensi kekuatan-kekuatan Jakarta memang teras sangat kental dalam proses demokrasi pasca ditanda tangani MoU Helsinki untuk perdamaian Aceh. Artinya kemandirian Aceh sebagai daerah khusus dalam bingkai NKRI masih jauh seperti yang diharapkan.

(19)

ACEH TERTIPU LAGI?

Dalam pertemuan di sebuah restoran di atas Canal Kota Amsterdam, Belanda. Jusuf Kalla pernah mengatakan

kepada delegasi GAM bahwa ―GAM memang hebat telah

bertempur selama 30 tahun. Namun Indonesia akan mempersiapkan perang selama 100 tahun lagi jika GAM

tetap berperang‖. Ungkapan ini pernah diungkapkan oleh Kalla dalam pelucuran buku Damai di Aceh: Catatan

PerdamaianRI-GAM di Helsinki, karya Hamid Awaluddin.

Terlepas bahwa kalimat seperti itu sebagai sebuah ultimatum atau ancaman bagi delegasi GAM. Namun perjuangan dan perjalanan panjang Kalla saat itu telah membawa kepada perdamaian di Aceh. Para delegasi itu akhir bersepakat dengan janji masing-masing pihak untuk menandatangani sebuah naskah perdamaian, pada tanggal 15 Agustus 2005, yang kemudian dikenal dengan MoU Helsinki.

(20)

baik dalam bidang administratif, politik, hukum, politik hukum (legal policy), ekonomi, agama dan sosial-budaya.

Namun setelah MoU Helsinki berumur 5 tahun, adakah semua janji itu telah ditepati? Apakah pasal-pasal dalam UUPA sejalan dengan klausal perjanjian damai dalam MoU Helsinki? Adakah Aceh telah mendapatkan status otonomi khusus seperti yang pernah dijanjikan?

Janji yang tidak ditepati

Dalam sebuah edisi (13/08/10), Harian Serambi Indonesia merilis sebuah berita bahwa ―Meukue Anulir RPP

Sabang, Pemerintah Aceh Kecewa dan Merasa ditipu lagi‖.

RPP Sabang adalah sebuah turunan aturan dari UU yang memberikan kewenangan khusus bagi Aceh tentang kawasan bebas Sabang, dimana setiap perdagangan dan tata niaga akan bebas dari biaya masuk dan bea cukai lainnya. Sehingga dengan demikian perekonomian di Aceh diharapkan akan tumbuh berkembang.

Namun kemudian, draft tersebut akhirnya dibatalkan. Sehingga mengakibatkan seluruh praktek perdagangan di Aceh harus mengikuti aturan yang berlaku secara umum. Pembatalan ini telah menimbulkan sebuah

kesimpulan bahwa ―Aceh ditipu lagi‖. Bahkan seorang pakar

hukum Mawardi Ismail mengatakan hal seperti ini sebagai

‖sebuah praktek yang tidak terpuji dalam hubungan

(21)

Sebenarnya, fenomena Aceh ditipu dan janji yang tak ditepati adalah bukan hal baru. Melainkan hal ini terus terjadi berulangkali. Ketika Soekarno menangis dihadapan Teungku Daud Bereueh, yang meminta agar Aceh dapat membantu perjuangan Indonesia melawan agresi Belanda kedua, dengan berjanji bahwa Aceh akan diberikan kewenangan khusus untuk menjalankan syariat Islam secara

kaffah. Namun setelah Daud Bereueh membantu

perjuangan Soekarto, jabatan beliau sebagai Gubernur Militer Aceh Langkat di cabut dan Aceh digabung dibawah Sumatra Utara. Janji itu tak ditepati.

Pada masa Presiden Megawati, dihadapan ribuan jamaah mesjid raya Baiturrahman. Sang Presiden berjanji sambil berurai air mata mengatakan bahwa tidak akan ada lagi darah yang tumpah di Aceh. Namun kenyataan yang terjadi adalah Aceh menjadi daerah bersimbah darah, dibawah operasi Darurat Militer, semua orang di dicurigai, pengungsian terjadi dimana-mana, pembunuhan dengan mudah dilakukan tanpa ada proses hukum dan peradilan. [Baca;operasi militer di Aceh].

Kewenangan yang Terpasung

(22)

dan rakyatnya akan lebih bermartabat, yaitu dengan adanya sebuah kewenangan khusus, yang telah disepakati.

Dalam MoU Helsinki yang kemudian diratifikasi dalam bentuk UU Pemerintah Aceh, setidaknya Aceh mempunyai 25 kewenangan khusus. Mulai dari Kewenangan membangun kawasan khusus untuk perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas (Pasal 4 UUPA), sampai kewenangan dalam hal pengaturan bidang pertanahan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 253

dinyatakan bahwa ―Badan Pertanahan Nasional (BPN)

menjadi Badan Pertanahan Aceh (BPA) dan Badan

Pertanahan Kabupaten/Kota‖.

Ironis, bahwa kewenangan itu hanya ada dalam pasal UU saja, karena Aceh tidak dapat melaksanakan kewenangan itu karena tanpa ada Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan untuk melaksanakan semua kewenangan tersebut.

Padahal dalam Pasal 271 disebutkan bahwa Penetapan peraturan-peraturan pelaksana tersebut menjadi kewajiban pemerintah pusat: ―Ketentuan pelaksanaan

Undang-Undang ini yang menjadi kewajiban Pemerintah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun sejak

Undang-Undang ini diundangkan‖. Yaitu sejak UUPA disahkan pada tahun 2006.

(23)

lebih general dan mengkaburkan substansi , jika dibandingkan dengan pasal dalam MoU Helsinki. Misalnya,

Pasal 160 UUPA menyatakan bahwa: ‖Pemerintah dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama sumber daya alam minyak dan gas bumi yang berada di darat dan

laut di wilayah kewenangan Aceh‖. Sementara dalam MoU Helsinki poin 1.3.5 dinyatakan: ―Aceh berhak menguasai

70% hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar

Aceh‖.

Dalam klausal ini sangat jelas disebutkan bahwa dana hasil migas di Aceh harus dialokasikan untuk Aceh sebanyak 70%. Sementara akibat terjadinya pengkaburan jumlah pembagian tersebut dalam UUPA, menjadikan hasil dari penjualan gas dan energy lainnya yang diambil dari bumi Aceh tidak pernah transparan. Hal inilah yang pernah dikritik oleh Pemerintah Aceh bahwa Jakarta harus transparan dalam pengelolaan dana Migas.

Inilah sebuah fakta, bahwa ketika janji itu tak ditepati maka akan menimbulkan berbagai kekecewaan, yang pada

akhirnya akan melahirkan sebuah ―konflik‖ baru. Paling

tidak konflik saling tidak percaya dan saling curiga.

(24)
(25)

ACEH, PILKADA & ULAMA

Snouck Hurgronje, seorang penasehat kolonial Belanda, dan digelar dengan ―a mufti of Dutch Imperialism‖ pernah menyarankan seperti dikutip oleh Van Niel (1956/7, p.592), agar Belanda merangkul dan mendukung kaum

uleebalang, untuk menjadi pemimpin dalam sistem

administratif dalam wilayah jajahannya. Namun disisi lain, ia juga menyarankan agar posisi ulama dihindarkan dari kekuasaan, serta dijauhkan peran dalam hal politik dan sosial. Ulama hanya dapat dan boleh berperan dalam hal agama (ibadah) saja.

Nasehat Snouck Hurgronje itu teraplikasi dengan sangat sempurna dalam perpolitikan di Indonesia. Seluruh kekuasaan administrasi pemerintahan dikuasai oleh

uleebalang, sementara ulama tidak lagi berperan dalam

pemerintahan. Puncaknya adalah terjadi pertentangan yang sangat kuat, dalam perebutan kekuasaan dan pengaruh di Aceh, yaitu dalam perang cumbok.

(26)

Kedudukan ulama, bukan sekedar sebagai simbol moral dan pendidikan, namun juga pemain politik dan pemutus hukum yang ulung. Van Der Wijck seperti dikutip

Antje Missbach (2007) menulis ―Ulama make the dayah and

mesjid places of political propaganda and a focus of their political power (Ulama telah menjadikan dayah dan mesjid sebagai tempat propaganda politik dan menguatkan kekuatan politik mereka).

Gerakan inilah yang pernah diwujudkan kembali

oleh Teungku Muhammad Daud Beureu‘eh, dimana Beure‘eh melakukan konsolidasi para ulama untuk menjadi

pemimpin dalam mengisi kemerdekaan dan pemerintahan, serta mewujdukan cita-cita dasar perjuangan, yaitu menegakkan syariat Allah di muka bumi. Maka untuk mewujudkan hukum Tuhan tersebut, diperlukan suatu dukungan politik yang kuat (political will), dan untuk mendapatkan dukungan itu, ulama kemudian harus menguasai politik dan pemerintahan.

(27)

diberikan kepada pengusaha oleh penguasa, seperti hak HPH untuk mengekploitasi hutan dan berbagai kekayaan alam lainnya. Sementara rakyat hidup dalam kemiskinan dan ketidakadilan.

Prinsip inilah yang ditulis oleh Wertheim (1996,p.50)

bahwa ―Snouck had proposed supporting and integrating

the feudal chiefs –uleebalang—into the administrative

system‖. Menurut Wertheim, keputusan Snouck yang

mendukung sistem feodalisme, kemudian dijadikan sebagai referensi oleh penjajah Belanda dianggap suatu prinsip dasar terhadap premise bahwa sekularisme adalah suatu hal yang paling sesuai dengan kebutuhan pemerintahan modern.

Sementara, kaum ulama dianggap tidak sesuai dengan konteks modernisasi, karena masih menerapkan prinsip-prinsip agama. Berbeda dengan uleebalang yang tidak menjadikan nilai dan prinsip agama dalam menjalankan sistem adminstrasi pemerintahan. Hal ini sebagaimana ditulis dalam buku de atjeh oorlog

sebagaimana dikutip oleh Ahmad (2001) bahwa sebagian

uleebalang melakukan perjanjian dengan Belanda, dan

(28)

Allah SWT, namun lebih cendurung pada kehausan akan kekuasaan dan materi duniawi.

Peran ulamapun kemudian terjebak dalam pusaran perpolitikan ala Marchiavelli tersebut, yaitu perpolitikan yang menganut teori homo homini lupus, yaitu manusia menjadi serigala terhadap manusia yang lain, atau lebih populer menjadi singa terhadap seekor tikus?, kata seorang politisi Aceh. Ulama Aceh juga terpecah dalam kelompok-kelompok tertentu yang menjadi pendukung dari kandidat-kandidat tertentu pula. Meskipun secara lembaga keulamaan tidak ada suatu pernyataan dukungan, namun secara personal hal ini tidak dapat dibantahkan. Kepentingan sesaat dari personalnya, telah menjadikan peran ulama tidak lagi menjadi media yang menerangi kegelapan dalam konflik – kepentingan – para pihak dalam pilkada Aceh kedepan. Padahal Rasulullah saw, pernah bersabda: ―Sesungguhnya perumpamaan ulama dimuka

bumi laksana bintang-bintang yang ada dilangit yang

menerangi gelapnya bumi dan laut…‖ (HR. Ahmad).

(29)

ALIRAN

(Politik)

SESAT

Beberapa waktu yang lalu, kita dihebohkan oleh isu aliran sesat. Suatu aliran yang dianggap nyeleneh atau tidak sesuai dengan kebiasaan dan adat kenyakinan masyarakat pada umumumnya.

Aliran sesat yang lebih identik dengan kenyakinan beragama (bersyariat) telah menyebabkan keresahan dan ketakutan berbagai pihak. Baik pemerintah sipil maupun militer sekalipun. Setidaknya, pemerintah Aceh telah mengeluarkan Pergub tentang aliran sesat. Begitu juga dengan pemerintah kota Banda Aceh mengeluarkan Perwalkot (peraturan wali kota) berkenaan dengan larangan aliran sesat, serta membentuk tim investigasi untuk mengejar pengikut aliran sesat. Hal yang sama juga dilakukan oleh tentara Indonesia, melalui Danramil 08/Lhoksukon yang memanggil beberapa mahasiswa yang diduga menjadi pengikut aliran sesat tersebut untuk dimintai keterangan (Serambi Indonesia, 2011).

(30)

dan rakyat juga berkomitmen untuk memerangi aliran sesat tersebut, khususnya kesasatan dan kejahatan dalam perpolitikan?.

Politik seringkali diasumsikan sebagai sesuatu yang

―sesat‖ sehingga harus dijauhkan. Begitulah salah satu

kesimpulan yang pernah ditulis oleh Alkaf Mukhtar Ali Piyeung (2011) dalam artikelnya berjudul Ulama jangan berpolitik. Karena ulama dianggap sebagai simbol kesucian umat, sehingga dikhawatirkan akan terkotori jika ikut dalam perpolitikan. Politik dianggap lumpur hitam, jika masuk kedalamnya, mustahil tidak terkotori oleh lumpur tersebut. Begitulah beberapa asumsi tentang dunia politik.

Tapi bukankah politik adalah suatu fitrah yang tidak dapat dipisahkan dalam realitas kehidupan dunia ini. Sesuatu yang suka tidak suka menjadi bagian dalam kehidupan, bagian yang mempengaruhi baik buruknya suatu umat manusia. Lalu, jika ini menjadi sebuah fitrah, kenapa politik dinyatakan sebagai sesuatu yang kejam, tidak bermartabat dan kotor serta penuh kesesatan.

Politik dalam term islam dikenal dengan istilah

al-siyasah (siasat). Siasat yang mempunyai norma, nilai dan

landasan bersumber kepada sumber kebenaran, yaitu Al-Quran dan hadis. Sementara kata politik diadopsi dari

bahasa latin, yaitu ―politocus‖ yang berarti penduduk atau masyarakat, dan ―polis‖ berarti kota. Dalam konteks nagara

(31)

Negara terhadap penduduknya dan atau terhadap negara lain.

Dari pemahaman makna politik, tidak terlihat bahwa politik itu buruk atau sesat. Bahkan sebaliknya dengan berpolitik secara langsung maupun tidak langsung berarti upaya untuk membangun kemashlahatan (kebaikan) masyarakat, melindungi dan memfasilitasi hak-hak mereka agar tetap terpelihara dengan baik, sekaligus menjamin rasa aman dari gangguan yang datang baik dari dalam maupun luar Negara.

Persoalannya kemudian mengapa politik masih dicitrakan sebagai unsur jahat dan sesat menyesatkan?. Menurut Halim el-Bambi (2010) penyebabnya tidak lain ada pada oknum pelaku politik itu sendiri. Sehingga ada sebuah ungkapan terkenal yang berbunyi: ―Power tends to corrupt‖, artinya : ―Kekuasaan cenderung korup‖.

Inilah yang selalu menghinggapi para politisi. Ketika sudah mendapatkan tampuk kekuasaan, kebanyakan diantaranya menjadi lupa diri, dan hanyut dibawa arus kesenangan duniawi. Kekuasaan tidak lagi dianggap amanah yang harus ditunaikan kepada yang berhak. Para

wakil rakyat, tidak lagi menjadi ―wakil rakyat‖ yang

(32)

melihat kepentingan kelompok dan diri sendiri. Demikian juga, dalam penegakan hukum, lebih mirip dua mata sisi sebuah pisau. Tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.

Politik juga sering menyebabkan pertentangan, perselisihan bahkan permusuhan yang tidak jarang berakhir pada pembunuhan, akibat dari menuhankan politik dan kekuasaan. Berbagai tokoh politik internasional, nasional bahkan lokal (Aceh) sendiri harus mati diujung bedil karena dianggap musuh politik.

Praktek, prilaku dan tradisi para politisi inilah yang kemudian menyebabkan politik itu menjadi suatu aliran yang sesat. Sesat karena tidak lagi sesuai dengan nilai, asas dan tujuan dari politik itu sendiri. Maka jika politik telah dikotori oleh aliran sesat, semestinya kita semua harus memeranginya, sama halnya dengan memerangi pengikut aliran sesat dalam konteks ibadah (kenyakinan) kepada tuhan. Karena politikpun sebenarnya adalah media beribadah kepeda Tuhan dalam hal bermuamalah.

Akhirnya, menjelang proses politik (pilkada) 2011 marilah kita bangun kembali sistem perpolitikan yang bermartabat, politik dalam mewujudkan damai dan kesejahteraan bagi umat. Politik yang menjunjung persaudaraan dan toleransi dalam perbedaan, seperti pesan

(33)

MEDIA & DEMOKRASI?

Pesta demokrasi 2014 telah memasuki beberapa tahapan, baik tahapan pengumuman Partai Politik (PARPOL) yang sah secara hukum untuk ikut dalam pesta 2014, tahapan pencalonan bacaleg, dan sekarang tahapan uji baca Al-Quran. Disisi lain, pelantikan anggota KIP baru juga akan memberikan warna baru dalam proses pelaksanaan demokrasi Aceh. Berbeda dengan pembentukan Bawaslu, konflik kepentingan antara Pemerintahan Aceh dengan pusat juga sebagai bentuk proses kedewasaan dalam berdemokrasi.

(34)

Model Media

Dalam konteks media, setidaknya ada tiga model media. Pertama media yang berbasis bisnis, kedua media yang mempunyai korelasi dengan kepentingan politik dalam meraih kekuasaan, dan ketiga media independen.

Model media pertama adalah media yang hanya berorientasi kepada bisnis. Sehingga sebuah berita akan didiberitakan dengan bahasa provokatif dan menggunakan frase negatif untuk meningkatkan jumlah oplah koran. Model kedua adalah media yang sudah terkontaminasi oleh kepentingan politik, misalnya Metro TV (Partai Nasdem), TV One (Partai Golkar), dan MNC Groups (Partai Hanura). Sedangkan model media ketiga merupakan model media yang berkorelasi dengan data yang akurat dan diberitakan secara profesional dan proporsional. Media seperti ini biasanya akan menjadi ―musuh‖ bagi sebuah rezim kekuasaan yang diberitakan oleh media independen ini.

Media juga menjadi instrumen yang paling efektif yang mengontrol berbagai kebijakan pemerintah. Hasil survey Edeman Trust Barometer (2013) memperlihatkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap media independen mencapai 80% dibandingkan kepercayaan kepada Pemerintah dan NGO/LSM yang hanya 60% dari total responden.

(35)

Serambi Indonesia menulis tentang pasien yang ditelantarkan, akan lebih cepat direspon oleh pemerintah, dibandingkan dengan pasien yang melaporkan hal itu kepada pemerintah.

Media Alternatif

Mengunakan media alternatif, seperti jejaring sosial

facebook atau twitter juga memberikan dampak yang

sangat signifikan dalam proses lahirnya demokrasi dan bahkan menjadi komunitas oposisi secara online. Kasus Arab Spring menjadi bukti bahwa pengaruh dari jejaring sosial sebagai media alternatif telah menumbangkan beberapa rezim, mulai dari Tunisia, Libya, Mesir, Yaman, Suriah dan Iran juga hampir terjadi revolusi kedua akibat pengaruh media alternatif ini.

Tren menjadikan media jejaring sosial, khususnya di Aceh juga didukung oleh banyaknya akses wifi secara gratis. Secara umum, pengguna media internet di Indonesia sudah mencapai 48 juta pengguna (APJII 2012). Sedangkan di Aceh, pengguna media jejaring sosial bersinergi dengan tumbuhnya wifi gratis yang tersedia diberbagai sudut kota. Trens menggunakan jejaring sosial ini juga mempengaruhi Presiden SBY menjadkan jejaring twitter untuk membangun relasi dan komunikasi dengan rakyat Indonesia.

(36)

juga sering dijadikan sebagai media kampanye murah bagi politisi untuk melakukan aktifitas politiknya.

Kondisi ini memberikan nilai positif, dimana para politisi dapat berkampanye secara murah, bahkan gratis. Sehingga potensi untuk melakukan money politik dapat diminimalisir. Begitupun ruang dialog akan terbangun antara calon legislatif dengan pemilih, bahkan memungkinkan untuk melahirkan sebuah komitmen/kontrak politik antara calon anggota legislatif pada pemilu 2014 dengan pemilih.

Kemenangan Obama dan juga kemenangan Jokowi-Ahok tidak terlepas dari peran strategis dan efektif dari jejaring sosial yang bekerja untuk pemenangan kedua kandidat tersebut. Ini menjadi lesson learn yang harus dimanfaatkan baik oleh calon legislatif maupun oleh pemilih untuk dapat menguji secara kritis kandidat tersebut.

Media untuk Demokrasi

Jimly As-Shidiqi menyatakan bahwa peran media menjadi pilar keempat dalam penegakan demokrasi di Indonesia. Hal ini diaktualisasikan dengan kebebasan Pers (media) dalam menyuarakan fakta yang ada, dan kewenangan ini sudah diakui secara hukum, seperti halnya pilar demokrasi lainnya yang menjadi dasar demokrasi, yaitu adanya legislatif, eksekutif dan yudikatif.

(37)

pengontrolan terhadap berbagai kebijakan, keputusan dan kewenangan pemerintah yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan demokrasi.

Disamping itu, peran media yang independen menjadi anti-tesa terhadap prilaku legislatif, eksekutif dan yudikatif yang sudah terkontaminasi dengan prilaku koruptif, kolutif dan nepotis. Pengalaman Indonesia, baik pada masa orde baru, bahkan masa era reformasi ini, institusi demokrasi tersebut dikuasai oleh kalangan elite dan anggaran negara lebih banyak dikoptasi untuk menguntungan elit semata dibandingkan untuk mensejahterakan rakyat.

Menjelang Pemilu 2014, politisasi sipil (rakyat) juga membangun keretakan kohesi sosial masyarakat dilevel bawah. Di satu sisi, partisipasi rakyat dalam proses politik ini memberikan dampak positif, namun sayangnya partisipasi ini tidak berbanding lurus dengan perubahan sosial-ekonomi rakyat.

(38)

DPRA MANDUL?

Judul diatas terinspirasi dari pertanyaan seorang peserta FGD Parlement Wacth yang dilaksanakan oleh salah satu OMS di Banda Aceh 10 Juni 2011 lalu, mengenai lemahnya peran dewan dalam menghasilkan qanun Aceh. Padahal qanun tersebut, merupakan landasan yuridis yang sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi rakyat Aceh. Sehingga setiap kebijakan yang diambil oleh eksekutif mempunyai landasan hukum yang jelas.

Selama ini, dewan hanya terlalu ―bernafsu‖ dalam

mengkritik berbagai kebijakan dan peran eksekutif. Tidak salah, karena memang salah satu fungsinya yang lain adalah pengawasan terhadap eksekutif. Tapi yang harus juga menjadi catatan, peran anggota legislatif adalah sebagai legislator yang mempunyai peran utama dalam membuat undang-undang.

(39)

mendapatkan perhatian serius, meskipun beberapa Panitia Khusus (Pansus) yang telah diberikan mandat untuk merumuskan materi qanun tidak dapat bekerja maksimal, bahkan ada pansus yang sudah 2 kali diperpanjang masa kerjanya, namun sampai saat ini juga belum menghasilkan apapun. Jika setengah tahun hanya dapat menghasilkan 1 qanun, logikanya dalam periode 2011 hanya 2 qanun yang dapat dihasilkan oleh anggota para legislator Aceh periode ini.

Untuk qanun APBA 2011, pun sebenarnya bukanlah suatu prestasi yang membanggakan, sebaliknya suatu kegagalan, alias rapor merah. Karena pengesahan APBA tersebut telah mendapat warning dari Mendagri, dan bahkan telah mengakibatkan pemotongan DAU untuk Aceh pada 2011. DPRA juga mendapat gelar dan sertifikat dari BEM Unsyiah sebagai Dewan yang paling lelet men-sahkan RAPBAnya.

(40)

justifikasi studi banding karena kelelahan membahas draft qanun APBA.

Kondisi di atas sebenarnya sangat merugikan berbagai pihak terutama masyarakat, sebagai objek kebijakan politik yang dilahirkan oleh DPRA. dan sudah semestinya perilaku kinerja dan produktivitas yang rendah ini harus segera dijawab oleh DPRA karena waktu untuk melakukan pembelajaran telah selesai, DPRA telah menjalani masa kerja hampir 2 tahun.

Meskipun Mahasiswa Unsyiah telah menyerahkan sertifikat sebagai dewan terlelet di Indonesia, namun juga belum menunjukkan adanya perubahan prilaku dan kinerja anggota dewan. Rakyat tidak pernah tahu apa manfaat yang didapatkan dari wakilnya secara masif bagi pembangunan dan keadilan bagi rakyat.

Beberapa aspirasi rakyat telah disampaikan ke wakil rakyat ini pun tidak pernah diwujudkan, seperti tuntutan pengesahan qanun KKR, yang merupakan aturan hukum untuk mengembalikan harkat, martabat dan kehormatan korban konflik Aceh. Dengan adanya qanun tersebut, pemerintah diwajibkan untuk melakukan restorasi, rehabilitasi dan reparasi hak-hak korban, baik hak hukum, ekonomi dan sosial, sehingga akan melahirkan keadilan bagi korban.

(41)

yatim korban konflik dan tsunami di Aceh. Yang memberi perlindungan secara menyeluruh dan totalitas. Tidak sekedar memberi santunan ketika masa pilkada datang.

Kondisi seperti ini, membuktikan bahwa sulit mempercayai bahwa anggota dewan mempunyai cita-cita

untuk memperjuangkan aspirasi dan beri‘tikad baik untuk

melakukan pengabdian kepada rakyat. Sebaliknya, orientasi bisnis dan pialang anggaran lebih menarik untuk dibahas oleh para wakil rakyat ini.

Selain itu, DPRA juga telah mencerminkan praktek monopoli dan setiap kebijakan yang diambil oleh Dewan. Pendapat partai mayoritas seakan mencerminkan keputusan legislatif secara umum, yang sebenarnya terdiri dari berbagai partai politik yang berbeda. Daya kritis partai politik yang berbeda warna pun tidak pernah terdengar. Apakah partai lain selain partai mayoritas, takut untuk berbicara atau tidak tahu harus berbicara apa? Padahal banyak tuntutan dan aspirasi rakyat yang sebenarnya harus mereka perjuangkan. Mengutip apa yang dikatakan oleh Ferry dari KontraS Aceh (2011) ada kepentingan tertentu atau aliran simbiosis mutualisme yang sedang dijaga oleh partai minoritas dengan partai mayoritas, sehingga setiap keputusan partai mayoritas menjadi suatu hal yang tidak perlu dikritisi lain. Mereka menjadi makmum yang taat

untuk memastikan kepentingan ―project‖ tertentu tidak

(42)

Terakhir, jika fungsinya sebagai badan legeslasi, budgeting dan monitoring tidak berjalan dengan baik dan

optimal. Sebaliknya peran sebagai ―kontraktor‖ dalam bisnis

anggaran lebih dominan, maka sudah sewajarnya para wakil

rakyat untuk disekolahkan kembali alias di ―peubuet‖ untuk

mengembalikan disorientasi yang sedang terjangkiti, atau bahkan perlu diberikan obat kuat untuk mengatasi kemandulan dalam menjalankan fungsinya tersebut.

(43)

GAYO MERDEKA?

Tanah Gayo adalah tanah yang penuh dengan dinamika. Mulai dari dinamika tentang identitas etnis, dinamika relasi multi-etnis dalam konflik Aceh, marginalisasi

dalam pembangunan pasca konflik, munculnya ―birani‖ para

politisi untuk menjadikan Gayo sebagai provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) sampai masalah wali dan bendera.

Dinamika ini terus berkembang seiring dengan disahkannya qanun Wali Nanggroe yang mewajibkan bahasa Aceh bagi seorang kandidat wali, dan qanun Bendera yang dianggap tidak mengakomodir multi-etnis dan multikultural yang ada di Aceh.

Gayo dalam Relasi Politik Aceh

Sebagai entitas tertua yang mendiami wilayah Aceh. Gayo telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalam menjadi keutuhan kerajaan Aceh Darussalam. Termasuk mempersembahkan hadiah istimewa kepada Sultan Aceh, yaitu Gajah Putih.

(44)

tahun 1904. Ketika DI/TII pecah pada tahun 1953, tanah Gayo juga menjadi wilayah pertahanan terakhir pasukan mujahidin Aceh melawan Tentara Republik Indonesia.

Konflik gerakan Aceh Merdeka pada tahun 1976 juga membuat bangsa Gayo menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perjuangan tersebut, bahkan Teungku Ilyas Leube yang merupakan salah satu keturunan dari kerajaan Linge menjadi salah satu petinggi Aceh Merdeka (AM) ketika itu.

Sejarah patriotisme Gayo ini tidak hanya dalam membangun gerakan kedaulatan Aceh, namun juga menjadi satu-satunya daerah yang tetap menyuarakan kemerdekaan Indonesia kepada dunia lewat radio rimba raya-nya. Sikap nasionalisme suku Gayo terhadap negara dan Aceh menjadi lebih utama dibandingkan sekedar

patron client terhadap suku dan etnis. Meskipun ratusan

rakyat terbunuh, ratusan rumah terbakar, dan ribuan hektar lahan pertanian kopi terbengkalai.

Romantisme Gayo-Aceh ini kemudian menjadi berbeda setelah proses damai terjadi. Gayo merasa ditinggalkan oleh dan tidak dianggap menjadi bagian dari entitas kekuasaan Aceh. Hal ini tidak terlepas dari berbagai kebijakan pemerintahan Aceh terutama terkait dengan qanun Wali Nanggroe Aceh (WNA) dan qanun Bendera. Berbagai kebijakan lainnya yang memberikan privilage

(45)

kelompok lain adalah kelas yang berbeda. Hal ini juga

menjadi ―sebab‖ dari gerakan yang dinamakan ―Gerakan Gayo Merdeka‖.

Hal ini seperti ditulis oleh Karl Marx dalam Manifesto

Komunis, ―bahwa di negara yang peradaban baru

terbangun, maka akan lahir satu kelas borjuis baru yang diformalkan, dan akan terjadi pergesekan dengan kaum proletariat. Kaum borjuis ini akan membangun kelompok (party) masyarakat borjuis untuk terus membangun kekuatannya".

Politik Identitas

Kondisi adanya kelas istimewa pasca MoU Helsinki sebenarnya tidak hanya dirasakan oleh etnis Gayo, namun juga mayoritas etnis Aceh yang mendiami tanah Gayo. Hasil investigasi AJMI (Aceh Judicial Monitoring Institute) dan penelitian access to justice CPRCS (2013) mendapati bahwa korban konflik baik yang beretnis Gayo maupun Aceh tidak mendapatkan akses terhadap bantuan dan keadilan. Beberapa bantuan yang diberikan oleh BRA (Badan Re-integrasi Aceh) dipenuhi oleh prilaku koruptif dan manipulatif.

(46)

Namun apa yang dilakukan oleh Gerakan Gayo Merdeka (GGM), bukanlah karena faktor diskriminatif pembangunan terhadap etnisitas tersebut. Melainkan lebih kepada gerekan politik kekuasaan yang berbasis etnisitas, kerena faktor ini lebih populis dan mempunyai instrument yang menggerakkan gerakan tersebut.

Menurut Frederick Barth setidaknya ada tiga faktor yang mendorong adanya gerakan politik identitas ini, yaitu, adanya rasa primordialisme, yaitu keterkaitan dengan sosio-biologis yang berbeda secara budaya, bahasa dan wilayah. Kedua, adanya kontruktivisme, yaitu proses terbentuknya etnis dari sebuah proses sosial yang kemudian menjadi sebuah mitologi dan kenyakinan akan kesamaan pengalaman. Sementara faktor ketiga adalah adanya instrumentalisme, yaitu adanya proses manipulasi dan mobilisasi politik karena adanya simbol kebangsaan, agama, ras dan bahasa.

Gayo jelas mempunyai identitas dan entitas yang berbeda dengan Aceh, dan hal inilah yang kemudian dijadikan sebagai instrument untuk membangkitkan primodialisme Gayo yang berbeda dan harus terpisah dengan Aceh. Proses ini terjadi karena Aceh yang dimotori oleh Partai Aceh (PA) sedang euforia dalam primordialisme ke-Acehan yang disimbolkan dengan Qanun Wali Nanggroe dan Bendera.

(47)

sebagai instrument permersatu kerajaan-kerajaan kecil di Aceh, melaikan menggunakan instrumen Islam. Islam menjadi menjadi satu-satunya ―media‖ untuk menyatukan berbagai etnis, ras, bahasa dan budaya di Aceh pada saat itu. Bahkan seorang anak raja Linge, yaitu Quratul ‗aini atau dikenal dengan Detu Berupun menjadi salah satu anggota Qadhi Malikul Adil kerajaan Aceh Darussalam yang berpusat di Koetaradja.

Jika politik identitas yang berbasis primordialisme dijadikan sebagai trend dalam kepemimpinan Aceh, maka tidak mustahil wilayah lain yang punya identitas berbeda dengan Aceh dan kelompok tersebut juga akan semakin tumbuh berkembang dan Gayo sebagai sebuah identitas

(48)

HASAN TIRO, UNFINISHED STORY

Allahyarham Tgk. Hasan Tiro (HT) kembali digugat, kali ini mengenai status WNI-nya yang disahkan oleh pemerintah Republik Indonesia melalui kementrian Hukum dan HAM RI, sehari sebelum kewafatannya.

Gugatan itu seperti ditulis oleh Helmy N Hakim

dalam tulisannya ―Menggugat Pe-WNI-an Hasan Tiro‖ (Serambi, 22/06), dimana HNH mencoba mengkritik status WNI almarhum dengan pendekatan aturan undang-undang (UU), dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, menyatakan bahwa HT dapat memperoleh kembali statusnya sebagai WNI sepanjang tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Sementara selama ini almarhum HT diketahui sebagai warga Negara Swedia. Disisi yang lain, Hasan Basri M.Nur (HBMN) juga mempertanyakan mengenai mekanisme proses usulan untuk menjadi WNI HT, seperti dalam

tulisannya ―Menyoal Status WNI Hasan Tiro‖, disini HBMN

mengkritik apakah kembalinya HT sebagai WNI merupakan keinginan beliau sendiri atau pihak lain, seperti ditulis

―kapan dan siapa yang mengajukan permohonan agar HT

menjadi WNI?‖.

(49)

sebagaimana amanah Wali sebelum kewafatannya, bahwa betapa pentingnya untuk memahami sejarah yang benar. Sebuah peradaban dan perjuangan akan selalu dikenang ketika sejarah itu ditulis secara benar dan sesuai fakta, bukan sejarah yang direkayasa.

Pentingnya mengetahui sejarah latar belakang proses kembalinya deklarator GAM (Gerakan Aceh Merdeka) tersebut, harus diakui akan mempunyai efek yang sangat besar dalam upaya proses reintegrasi bangsa sebagaimana telah dicantumkan dalam MoU Helsinki dan UUPA No.11 tahun 2006. Karena HT bukan hanya sebagai tokoh pergerakan, tapi juga sebagai ideolog lahirnya gerakan perlawanan terhadap NKRI (Negera Kesatuan Republik Indonesia) selama 30 tahun.

Sebagai sebuah gerakan (ASNLF; Aceh Sumatra National Liberation Front), HT telah mencoba mendirikan sebuah Negara yang terpisah dari NKRI (Successor State).

Namun, dengan ditandatanganinya MoU Helsinki 15 Agustus 2005, maka secara defacto dan de-jure, successor

state itu telah mengeliminasi diri dalam Negara kesatuan.

Artinya secara struktural dan identitas gerakan ini telah

―terhapus‖ oleh pengakuan untuk menjadi bagian kembali

(50)

belum selesai (unfinished story), ketika sang Ideolog yang telah kembali kepangkuan Ilahi tidak pernah menyatakan pengakuannya untuk kembali menjadi WNI secara totalitas, sebagaimana yang pernah diajukan oleh mantan pejuang lainnya, begitu juga HT tidak pernah menyatakan bahwa segala ide dan pemikirannya akan dikuburkan bersama jasad dan rohnya.

Sejarah ini pernah terjadi pada Desember 1962,

dimana Teungku Muhammad Daud Beureueh ―ditaklukkan‖

(51)

Negara yang terpisah dari Indonesia, melainkan ingin mendirikan NII.

Berbeda dengan Abu Beureueh, dimana perjuangan Hasan di Tiro meletakkan perjuangan dengan mendeklarasikan ulang berdirinya Acheh pada tanggal 4 Desember 1976, sebagai kelanjutan dari Negara Acheh Sumatera yang diduduki Belanda sejak 3 Desember 1911 seteleh gugurnya Panglima Perang Teungku Tjheh Maat ditembak serdadu Belanda. Sehingga ia pun melepaskan statusnya sebagai WNI, karena HT ingin mendirikan sebuah Negara yang terpisah dari Indonesia. Sehingga status WNI tidak menjadi tidak penting. Meskipun demikian, cita-cita mewujudkan successor state hanya menjadi episode dari episode pergerakan sebelumnya. Ia menjadi cerita yang tidak selesai (unfinished story).

***

Terlepas dari pro dan kontra mengenai proses dan inisiatif peng-WNI-an serta kedudukan hukum HT yang telah diakui oleh pemerintah RI sebagai WNI, ada banyak hal positif yang dapat dijadikan sebagai refleksi dalam mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan, yaitu re-integrasi. Proses re-integrasi ini merupakan sebuah upaya totalitas dan melebihi dari amanah MoU Helsinki, dimana dalam MoU tersebut, hanya dinyatakan reintegration into

society, tapi dalam konteks Hasan di Tiro, tidak hanya into

(52)

Inilah yang seharusnya dijadikan sebagai refleksi perdamaian Aceh, dimana perwujudan dari pengakuan status menjadi bagian dari warganegara ini, tidak hanya dilakukan oleh para combatant, tapi juga telah diwujudkan oleh pendiri dan ideolog pergerakan itu, baik itu diinisiasi langsung atau tidak langsung oleh yang bersangkutan. Sehingga, jika masih ada sikap, dugaan, prasangka atau kekhawatiran yang mungkin sering dipelihara terhadap Aceh yang dianggap ―tidak setia‖ dapat dihilangkan. Sebaliknya Aceh yang telah memberikan banyak hal

terhadap keutuhan republik ini jangan ―dikhianati‖ lagi.

Akhirnya, sangat naïf rasanya kalau seseorang yang telah kembali ke Ilahi Rabbi masih dipertanyakan mengenai status kewarganegaraan, baik status hukumnya maupun asal-usul pengajuan status tersebut. Karena betapapun statusnya itu, Hasan Tiro telah menanggalkan semua status itu, apakah sebagai WNA atau sebagai WNI, iatelah kembali kepada Sang Pencipta dari para ―pencipta‖ status itu, hanya satu pesan yang ia tinggalkan yaitu, ―jagalah perdamaian

(53)

PRAGMATISME PARPOL

Tensi pertentangan pendapat tentang Pilkada Aceh belum ada tanda-tanda mereda, bahkan semakin meruncing. Manuver politik para politisi-pun semakin membuat rakyat bingung. Sementara banyak kebutuhan rakyat yang sebenarnya diperjuangkan oleh para politisi-pun terabaikan. Orientasi ideologi Partai Politik juga lebih cenderung kepada kekuasaan daripada ideologi kesejahteraan. Hal yang menjadi sangat bertolak belakang dengan janji-janji masa kampanye sebelumnya.

(54)

melakukan berbagai upaya untuk menunda pelaksanaan Pilkada, tanpa ada suatu landasan hukum yang sah.

Demo “crazy” Kekuasaan

Fenomena ini membuktikan bahwa Parpol tidak lagi menjadi media dalam memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan rakyat. Sebaliknya menjadi alat untuk membangun ideologi pragmatisme serta mendukung budaya transaksional dalam meraih kekuasaan. Ideologi Negara berdasarkan hukum (rechtstaat) pun tidak tercermin dalam dinamika perpolitikan di Aceh, sebaliknya yang muncul adalah berdasarkan pada kekuasaan (macthstaat). Hal ini terlibat pada keputusan hukum yang dilakukan oleh MK sebagai lembaga independen, menjadi tidak berarti dalam pengambilan keputusan Dewan dan jalannya demokrasi di Aceh.

Demokrasi sebagai suatu mekanisme sistem pemerintahan dalam mewujudkan kedaulatan rakyat, yang diwakili oleh legislatif tidak lagi menjadi lambaga yang saling mengawasi, mendukung dan saling mengontrol. Sebaliknya yang dimunculkan adalah saling tarik menarik kepentingan elite para penguasa, dan kemudian

menjadikan demokrasi menjadi demo ―crazy‖ terhadap

(55)

Tak Ada Konflik Regulasi

Lantas benarkan konflik politik mengenai Pilkada ini disebabkan oleh konflik regulasi? Seperti dinyatakan oleh Ir.Mawardi Nurdin, yang merupakan juru bicara lintas parpol untuk penundaan pilkada (Serambi, 27 Juli 2011). Atau sebaliknya, konflik politik yang menyebabkan konflik regulasi.

Seperti yang penulis kemukakan di atas, awal mula persoalan dan pertentangan ini, dimulai ketika para politisi, khususnya fraksi Partai Aceh menolak keputusan hukum yang telah diputuskan oleh MK, berkaitan dengan calon perseorangan. Artinya asal mula persoalannya adalah masalah politik dan kepentingan, bukan pada regulasi atau aturan. Kepentingan politiklah yang kemudian melahirkan

aturan (draft Qanun Pilkada) menjadi ―mati suri‖, karena

mengabaikan keputusan hukum MK.

Dalam kondisi demikian, ketika draft qanun yang baru tersebut tidak berlaku, apakah kemudian Pilkada tidak dapat dilakukan? Jawabannya adalah tidak. Pilkada tidak dapat ditunda atau dibatalkan, karena masih ada qanun No.7 tahun 2006 tentang pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota di provinsi Aceh, yang masih berlaku dan tidak pernah dibatalkan pemberlakuannya. Sementara jika tidak ada ketentuan dalam qanun tersebut, berlaku azas lex superior

derogat lex inferior.Dimana ketentuan yang tidak ada di

dalam qanun tersebut, diatur dalam UU No.22 tahun 2007 tentang penyelegaraan Pemilu.

(56)

adalah pertentangan politik dan kepentingan partai politik, dan hal ini adalah sesuatu yang wajar dalam sistem demokrasi di dunia.

Ideologi Pragmatisme Parpol

Pendapat yang menyatakan adanya konflik regulasi dalam pelaksanaan Pilkada Aceh ini mencerminkan gerakan Parpol tidak berorientasi pada pencerdasan rakyat. Sebaliknya membentuk opini publik bahwa telah terjadi suatu konflik besar dalam proses demokrasi di Aceh saat ini. Partai demokrat sebagai partai mayoritas secara nasional, diharapkan menjadi katalisator dalam mewujudkan demokrasi dalam politik bijak, juga tergiring dalam dinamika pragmatisme. Hasil survei Demokrat yang menempatkan Irwandi Yusuf sebagai pilihan utama rakyat,

telah melahirkan sikap ―bertentangan‖ dengan jalur

Independen yang merupakan jalur Irwandi saat ini. Padahal dalam penyampaian pandangan di paripurna, jelas sekali Demokrat sangat mendukung calon perseorangan untuk diakomodir dalam draft qanun Pilkada 2011.

Kalkulasi Parpol pada Pilkada 2011, yang menghambat calon independen ini, kian membuat rakyat utopis terhadap eksistensi Parpol sebagai pilar demokrasi. Karena elite Parpol lebih mengedepankan orientasi kekuasaan dibandingkan memberikan hak pada setiap

warga untuk berkompetisi, tanpa harus ―dibajak‖ oleh partai

(57)

ILUSI POLITIK KEKUASAAN

Akhir tahun 2010, menjadi periode yang sangat menentukan dalam pergulatan politik di Aceh. Hal ini tidak terlepas dari proses Pilkadasung 2011 yang akan memilih Gubernur yang baru. Artinya, periode ini juga akan menentukan eksistensi sebuah firqah (partai) tertentu terhadap firqah yang lain, serta siapa yang akan berkuasa dimasa yang akan datang.

Partai yang berkuasa sadar betul, bahwa perubahan sebuah kekuasaan adalah suatu yang tidak dapat dihindarkan, dan ini merupakan sunnatullah. Oleh karena itu, sebuah strategi untuk mempertahankan kekuasaan dan eksistensinya merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan. Karena seperti yang dinyatakan oleh Teungku Malem (2010) bahwa kekuasaan ibarat ganja, semakin dihisap, maka ia semakin nikmat rasanya. Meskipun kenikmatan itu berasal dari sebuah Ilusi.

Ilusi, seperti dikatakan oleh Prof.Willy F Maramis (2010) adalah suatu persepsi yang berbeda terhadap sesuatu dalam keadaan sadar yang muncul diluar kenyataan yang nyata, dan sesuatu yang mustahil namun terlihat hal tersebut adalah sesuatu yang nyata.

(58)

untuk terus mempertahankan kekuasaannya. Bukankah kekuasaan akan membuat orang akan kecanduan, sama halnya dengan ganja. Inilah yang ditafsirkan oleh Teungku Malem (2010) dalam sebuah diskusi rakyat jelata di sebuah pojok kota Koetadraja berkaitan dengan draf qanun Wali Nanggroe Aceh (WNA), bahwa draft qanun terbaru tentang WNA ibarat sebuah ilusi terhadap kekuasaan politik tingkat tinggi.

Hal ini tidak terlepas dari substansi draft qanun tersebut, khususnya berkaitan dengan kewenangan dari WNA. Lembaga ini mempunyai kewenangan yang luar biasa dalam segala struktur kekuasaan, baik dalam hal politik, pemerintahan, sosial, budaya dan adat. Misalnya, dalam pasal (5) dinyatakan bahwa salah satu kewenangan lembaga ini adalah dapat membubarkan parlemen dan juga dapat memberhentikan Gubernur dalam situasi tertentu. Sehingga siapapun pemenang pemilu di Aceh, baik sebagai Gubernur dan atau Parlemen menjadi tidak terlalu penting dalam dunia politik dan kekuasaan, karena semuanya berada dibawah kekuasaan dan kontrol WNA.

Begitu juga halnya berkaitan dengan proses

pemilihan sang Wali telah ditetapkan dalam rapat ―Ban

Sigom Donya‖ di Stavanger, serta berlaku selama seumur

hidup atau dalam keadaan uzur dapat diganti oleh waliatul

(59)

akan ditetapkan oleh Tuha Peut, yang diatur lebih lanjut dalam peraturan Wali Nanggroe.

Hal tersebut mengingatkan kita pada teori Machiavelli, Jean Bodin, Thomas Hobbes dan juga Hegel tentang teori kedualatan raja, seperti yang pernah dipopulerkan oleh Raja Lois XIV, l‘etat ces moi (Negara adalah saya). Jika konsep ini diterapkan, maka akan berbanding terbalik dengan teori kedaulatan rakyat, yang menyatakan bahwa rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sebuah wilayah (Negara).

Jika kita mengkaji lebih jauh, konsep WNA yang dirumuskan dalam draft qanun ini juga sangat resisten dan bertentangan dengan sistem demokrasi yang dianut di Indonesia. Dimana dalam UUD 1945 pun dinyatakan bahwa kedaulatan/kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang. Pun demikian, dalam UU No.11 tahun 2006 Pasal 96 ayat (1) dinyatakan bahwa Lembaga Wali Nanggroe bukanlah sebagai lembaga politik dan juga bukan lembaga pemerintahan.

(60)

hal ini kajian sosiologis belum terlihat dalam naskah akademik pembuatan Raqan tersebut.

Jika melihat kajian filosofis dalam draf qanun tersebut, adalah perihal sejarah awal pembentukan Wali Nanggroe didasari pada upaya untuk melanjutkan estafet perjuangan Sultan sebagai Kepala Negara yang telah ditawan oleh penjajah Belanda. Estafet perjuangan tersebut kemudian dilanjutkan oleh kaum Ulama (Tgk.Syik di Tiro) dan seluruh rakyat Aceh. Namun demikian, tidak ada catatan sejarah yang menyatakan bahwa perjuangan saat itu adalah untuk mengambil alih kekuasaan Sultan, melainkan untuk memerangi kaum kafir serta menegakkan Islam. Sayangnya, dalam draft itu tidak ada satu pasal-pun yang menyatakan bahwa salah satu kewenangan WNA adalah berwenang dan berkuasa penuh untuk menegakkan hukum Islam di tanah endatu ini.

(61)

KEBOHONGAN DEMOKRASI

Sistem demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem

yang ‗mulia‘ dan ‗terhormat‘ oleh dunia hari ini. Sistem yang

diperkenalkan dan dipopulerkan oleh negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa sudah menjadi sistem tunggal dan menghegemoni seluruh bangsa yang ada di dunia saat ini. Jika ada negara yang tidak menganut sistem demokrasi dianggap sebagai negara primitive, tirani dan harus diperangi.

Dalam konsep demokrasi, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Rakyat diberi kebebasan mutlak untuk memilih pemimpinnya secara berkala. Rakyat juga yang mempunyai otoritas dalam menentukan kelanjutan kepemimpinan dan kedaulatan sebuah negara. Sehingga ada adigium yang menyatakan “suara rakyat adalah suara

tuhan”.

(62)

meruntuhkan kekuasaan raja-raja yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Sistem ini tidak saja dianut oleh dunia Barat, namun dunia Barat juga memperkenalkan, bahkan memaksakan konsep ini ke dunia ketiga. Terlepas dengan berbagai konspirasi dan tindak kekerasan, negara atas nama rakyat mutlak harus diwujudkan.

Lalu apa sebenarnya yang diinginkan oleh dunia Barat terhadap demokrasi di dunia Timur? Benarkah barat

sebagai ―juru selamat‖ dalam melawan tirani raja-raja dengan memaksa konsep demokrasi? Benarkah kemudian dunia barat menjadi penganut fundamentalis konsep demokrasi? Atau demokrasi hanya menjadi ―pemanis‖ dalam membangun tirani baru dunia global.

Atas nama demokrasi?

Lebih dari dua juta rakyat Irak terbunuh sejak invansi Amerika di negeri seribu satu malam itu. Ribuan lainnya disiksa hanya karena curiga, tanpa adanya proses hukum yang adil dan transparan. Rakyat diadu domba. Yang sunni dipersenjatai, sementara yang Syiah diperangi. Gedung putih mengatakan itu adalah bentuk penegakan demokrasi. Saddam lah yang diklaim sebagai penyebabnya. Saddam menjadi tertuduh dan bertanggung jawab terhadap lahirnya kebencian atas nama demokrasi.

(63)

dilahirkan, serta ibunya yang tewas berlumuran darah di bawah reruntuhan bangunan akibat ledakan senjata Paman Sam itu? Adakah itu kemudian disebut misi suci?

Di Afganistan mempunyai sejarah yang lebih tragis lagi. Hampir satu dekade dunia barat menjadikan tanah kelahiran tokoh reformasi Islam, Jamaluddin Al-Afgani sebagai medan perang dan uji coba senjata terbaru.

Rakyat terbunuh hampir saban hari. Ekonomi Negara menjadi hancur. Pendidikan menjadi kacau balau. Struktur social dan budaya menjadi berubah. Lalu mereka menyatakan Taliban lah penyebabnya. Bukankah Taliban adalah rakyat Afgan yang teguh dengan kenyakinan akan ajaran Tuhannya. Kenapa mereka harus diperangi?

Sekali lagi, atas nama demokrasi, Taliban bagi mereka harus diperangi karena dianggap tidak demokrasi. Tidak peduli, anak kecilkah? Atau kambing gembalakah? Asal itu adalah milik Taliban, harus dimusnahkan. Oleh jet-jet tak berawak, milik bangsa Amerika Serikat, NATO dan

Sekutunya. Bagi Amerika demokrasi adalah ―tuhan‖ baru

yang harus dinyakini oleh rakyat Afgan?

(64)

Media Al-Jazeera (2011) mengabarkan ratusan rakyat sipil terbunuh oleh bom-bom yang dijatuhkan Pesawat NATO. Pesawat negara-negara Amerika Serikat dan Uni Eropa yang bermarkas di Italia. Sementara, Perdana Menteri David Cameron mengatakan misi ini akan tetap dilanjutkan sebagai upaya melindungi rakyat sipil Libya.

Barangkali, makna ―melindungi‖ untuk demokrasi

dan juga atas nama rakyat adalah dengan menghabisi rakyat. Sebuah kebohongan besar!

Bagi penulis, yang lebih menggelikan adalah melihat kebohongan yang tidak pernah berhenti dilakukan oleh dunia Barat terhadap Palestina. Negara yang tidak pernah dianggap sebagai Negara yang merdeka oleh dunia Barat.

Tahun 2006, Fraksi Hamas memenangkan Pemilu Parlemen, dan memilih Ismail Haniyeh sebagai Perdana Menteri. Proses Pemilu yang independen, jujur, dan transparan serta dipantau oleh Badan Pemantauan Pemilu dari Uni Eropa. Namun kemudian hasil pemilu ini tidak diakuai oleh Dunia Barat. Sebaliknya, Hamas dianggap sebagai lembaga teroris, dan harus diperangi. Ironis, karena bukankah rakyat memilih Hamas? Dipilih oleh pemilik kedaulatan? Lantas, Israel dibiarkan untuk membunuh. Membunuh rakyat Palestina yang tak berdosa. Rakyat yang

telah menjalankan konsep ―demokrasi‖.

(65)

warga, hak-hak politik, sosial dan ekonomi? Lantas, kenapa hal ini tidak terjadi di Palestina. Kenapa Amerika Serikat bahkan membenarkan pembunuhan dan pembantaian yang dilakukan oleh Zionis Israel?

Terakhir, penulis ingin mengatakan bahwa Palestina adalah sebuah bangsa yang mulia, Negara dan bangsa tempat lahirnya para Nabi. Palestina sedang berjuang mendapatkan hak-nya sebagai Negara berdaulat dan merdeka, baik secara diplomasi di dewan PBB maupun dengan cara mempertahankan diri dari agresi.

Namun, sejarah dunia yang mengatasnamakan

demokrasi tetap tidak mendukung lahirnya ―demokrasi‖ di

tanah al-Aqsa ini. Amerika Serikat mengancam akan mem-veto keinginan tersebut. Amerika Serikat akan selalu melindungi keinginan dan kepentingan Zionis Israel, karena Isreal adalah Amerika, dan Amerika adalah Isreal.

Demokrasi telah mati, seiring dengan kematian sang penemu demokrasi. Setidaknya kita tidak akan dapat merasakan damainya dunia ini, selama atas nama

―demokrasi‖ menjadi pembenaran dalam sebuah kekerasan

dan peperangan. Juga ketika paham demokrasi hanya

dijadikan sebagai media dalam membangun ―tirani‖

(66)

KURSI

Dalam sebuah sistem perpolitikan, masalah kursi seringkali menjadi faktor yang menyebabkan konflik dan perpecahan. Meskipun sebenarnya mereka telah mempunyai kursi di parlemen, sebagaimana yang diinginkan pada saat kampanye dulu, dan rakyat telah mempercayakan mereka untuk duduk di sana. Namun

keinginan mendapatkan kursi yang lebih ‖empuk‖ yaitu

kursi sebagai wakil pimpinan para anggota dewan Aceh, telah menyebabkan aspirasi rakyat terabaikan.

Perdebatan keabsahan siapa yang berhak mendapatkan kursi itu lebih banyak menghabiskan waktu, dibandingkan waktu mereka berfikir untuk rakyat. Inikah wajah parlemen Aceh hari ini? Sungguh sangat disayangkan jika tujuannya adalah memperebutkan kursi. Sementara aspirasi rakyat yang dulu pernah dijanjikan telah dilupakan. Hukum yang harus diciptakan tak terlaksanakan, begitu juga pengawasan anggaran dan pembangunan tidak berjalan secara optimal.

(67)

nama Amir Helmi SH dari Partai Demokrat, untuk Wakil Ketua II, Drs Sulaiman Abda dari Partai Golkar, sedangkan untuk Ketua III, Ridwan dari PA. Proses pengusulan ini didasarkan pada tatib Pimpinan dan anggota DPRA, yaitu Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Hasil paripurna ini membuat Partai Amanat Nasional (PAN) yang meraih urutan ke empat dari mayoritas jumlah kursi setelah PA, Demokrat dan Golkar, melakukan

―pemberontakan‖. PAN berpendapat bahwa kursi wakil

ketua III adalah milik partai ini. Hal ini didasarkan kepada Pasal 303 ayat (2) UU No.27/2009 dimana dinyatakan bahwa Pimpinan DPRD Provinsi berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD Provinsi.

Hal ini telah mendorong Mendagri Republik Indonesia hanya menyetujui tiga nama yang ditetapkan sebagai pimpinan DPRA. Yakni nama Hasbi Abdullah sebagai Ketua DPRA, kemudian dua nama lagi sebagai wakil ketua, masing-masing Amir Helmi sebagai Wakil Ketua I dan Sulaiman Abda sebagai Wakil Ketua II. Sedangkan nama Ridwan yang diproyeksikan menduduki kursi Wakil Ketua III DPRA, ternyata tidak diterbitkan Mendagri SK pengangkatannya.

(68)

suara mayoritas dengan partai nasional (Parnas) yang merupakan partai koalisi pemerintah.

Ketentuan hukum di Aceh seringkali menimbulkan penafsiran ganda, terutama berkenaan dengan hukum yang bersifat lex specialis dengan hukum yang bersifat lex

generalis. Meskipun demikian, perdebatan mengenai

hukum tersebut, tidak selalu dilandasi oleh pemahaman yang mereka tidak pahami, tapi lebih lebih cenderung pada kepentingan politik dan materialisme (fasilitas) yang menjanjikan untuk seorang wakil ketua tersebut.

Fenomena seperti ini, telah menyebabkan tugas dan kewajiban utama sering terabaikan. Eksistensi partai tersebut dalam memperjuangkan aspirasi rakyatpun jarangsekali kita dengar. Apakah karena nafsu terhadap

kursi ―panas‖ telah membuat para wakil rakyat ini

melupakan janjinya pada saat kampanye dulu? Sehingga kita harus bertanya, begitu pentingkah kursi tersebut untuk rakyat atau hanya untuk memenuhi nafsu para pemilik partai?

Jika menilik pada realitas, pemenuhan pada kepentingan nafsu partai lebih dominan, dibandingkan pada pemenuhan hak dan aspirasi rakyat. Kursi wakil ketua tidak menjadi media dalam perubahan kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat, tapi lebih kepada mencari popularitas dan kepentingan nafsu pribadi.

(69)

kondrat mempunyai hasrat (nafsu) dan keengganan (aversions). Baik nafsu akan kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Sementara keengganan, mereka enggan untuk mengalah dalam perebutan terhadap hal yang diinginkan tersebut.

Sebagai para penguasa (legislative), sebenarnya Parlemen mempunyai kekuasan dan kedaulatan dalam mewujudkan perubahan daerah (negeri) ini kearah yang lebih baik, jika saja para wakil rakyat tidak saling merebut kekuasan (kursi) dalam internal mereka. Lebih jauh Hobbes

menyatkan ―Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of

the people)‖ [Hobbes: hal. 376].

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu cara yang digunakan pada pengukuran sipat datar memanjang adalah cara menyipat datar dari tengah-tengah.. Maksudnya adalah, alat ukur penyipat datar

12 Lead Consultancy Services for Developing Center of Technology in Polytechnic " The Deployment-2 FHE Institution Development".

Penting untuk diingat bahwa tidak ada perbedaan fisikal antara sinar gamma dan sinar x dari energi yang sama, mereka adalah dua nama untuk radiasi elektromagnetik yang sama,

Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti jelaskan, sehingga dapat ditarik kesimpulan, yaitu aplikasi SPK Pemilihan Bibit Budidaya Ikan Air Tawar dibangun menggunakan

Ada dua kondisi yang menyelimuti Ketetapan MPR pasca amandemen yaitu di satu sisi Ketetapan MPR dinyatakan tidak ada lagi dalam hierarki Peraturan Perundangan-Undangan,

Jawaban: Ya, Alhamdullilah dengan usaha pengurus HPPK semuanya dari awal sampai akhir pasca kebakaran tanggal 27 Desember 2014 sampai sekarang pengurus HPPK

Peserta kompetisi Trisma Science Olympiad bidang Matematika, Fisika, Kimia, Biologi dan Geosains (Geografi dan Kebumian) adalah siswa SMP Negeri dan Swasta yang ada