• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBOHONGAN DEMOKRAS

Dalam dokumen POLITIK SANG PEMBERONTAK Kumpulan Esai (Halaman 61-71)

Sistem demokrasi dianggap sebagai sebuah sistem

yang ‗mulia‘ dan ‗terhormat‘ oleh dunia hari ini. Sistem yang

diperkenalkan dan dipopulerkan oleh negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa sudah menjadi sistem tunggal dan menghegemoni seluruh bangsa yang ada di dunia saat ini. Jika ada negara yang tidak menganut sistem demokrasi dianggap sebagai negara primitive, tirani dan harus diperangi.

Dalam konsep demokrasi, kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Rakyat diberi kebebasan mutlak untuk memilih pemimpinnya secara berkala. Rakyat juga yang mempunyai otoritas dalam menentukan kelanjutan kepemimpinan dan kedaulatan sebuah negara. Sehingga ada adigium yang menyatakan “suara rakyat adalah suara

tuhan”.

Kesakralan suara rakyat ini seperti digambarkan oleh Jean Bodin (1530-1596) dalam teorinya tentang kedaulatan rakyat. Bodin menyatakan rakyat mempunyai kekuasaan tertinggi, abadi, dan tak terpisahkan. Hal yang sama dikatakan oleh Thomas Hobbes (1588-1679) bahwa rakyat mempunyai kekuasaan absolute. Teori ini juga yang kemudian melahirkan negara-negara modern dan

meruntuhkan kekuasaan raja-raja yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Sistem ini tidak saja dianut oleh dunia Barat, namun dunia Barat juga memperkenalkan, bahkan memaksakan konsep ini ke dunia ketiga. Terlepas dengan berbagai konspirasi dan tindak kekerasan, negara atas nama rakyat mutlak harus diwujudkan.

Lalu apa sebenarnya yang diinginkan oleh dunia Barat terhadap demokrasi di dunia Timur? Benarkah barat

sebagai ―juru selamat‖ dalam melawan tirani raja-raja dengan memaksa konsep demokrasi? Benarkah kemudian dunia barat menjadi penganut fundamentalis konsep demokrasi? Atau demokrasi hanya menjadi ―pemanis‖ dalam membangun tirani baru dunia global.

Atas nama demokrasi?

Lebih dari dua juta rakyat Irak terbunuh sejak invansi Amerika di negeri seribu satu malam itu. Ribuan lainnya disiksa hanya karena curiga, tanpa adanya proses hukum yang adil dan transparan. Rakyat diadu domba. Yang sunni dipersenjatai, sementara yang Syiah diperangi. Gedung putih mengatakan itu adalah bentuk penegakan demokrasi. Saddam lah yang diklaim sebagai penyebabnya. Saddam menjadi tertuduh dan bertanggung jawab terhadap lahirnya kebencian atas nama demokrasi.

Lalu bagaimana dengan ribuan Tomahawk yang telah menggugurkan anak-anak bayi sebelum waktunya

dilahirkan, serta ibunya yang tewas berlumuran darah di bawah reruntuhan bangunan akibat ledakan senjata Paman Sam itu? Adakah itu kemudian disebut misi suci?

Di Afganistan mempunyai sejarah yang lebih tragis lagi. Hampir satu dekade dunia barat menjadikan tanah kelahiran tokoh reformasi Islam, Jamaluddin Al-Afgani sebagai medan perang dan uji coba senjata terbaru.

Rakyat terbunuh hampir saban hari. Ekonomi Negara menjadi hancur. Pendidikan menjadi kacau balau. Struktur social dan budaya menjadi berubah. Lalu mereka menyatakan Taliban lah penyebabnya. Bukankah Taliban adalah rakyat Afgan yang teguh dengan kenyakinan akan ajaran Tuhannya. Kenapa mereka harus diperangi?

Sekali lagi, atas nama demokrasi, Taliban bagi mereka harus diperangi karena dianggap tidak demokrasi. Tidak peduli, anak kecilkah? Atau kambing gembalakah? Asal itu adalah milik Taliban, harus dimusnahkan. Oleh jet- jet tak berawak, milik bangsa Amerika Serikat, NATO dan

Sekutunya. Bagi Amerika demokrasi adalah ―tuhan‖ baru

yang harus dinyakini oleh rakyat Afgan?

Belum selesai di Afganistan, misi atas nama demokrasi berlanjut ke Libya. Negara kaya minyak di Utara Afrika juga mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda dengan Iraq dan Afganistan. Muammar Khadafi harus dihancurkan, juga atas nama demokrasi. Khadafi dianggap sebagai tokoh yang melawan demokrasi.

Media Al-Jazeera (2011) mengabarkan ratusan rakyat sipil terbunuh oleh bom-bom yang dijatuhkan Pesawat NATO. Pesawat negara-negara Amerika Serikat dan Uni Eropa yang bermarkas di Italia. Sementara, Perdana Menteri David Cameron mengatakan misi ini akan tetap dilanjutkan sebagai upaya melindungi rakyat sipil Libya.

Barangkali, makna ―melindungi‖ untuk demokrasi

dan juga atas nama rakyat adalah dengan menghabisi rakyat. Sebuah kebohongan besar!

Bagi penulis, yang lebih menggelikan adalah melihat kebohongan yang tidak pernah berhenti dilakukan oleh dunia Barat terhadap Palestina. Negara yang tidak pernah dianggap sebagai Negara yang merdeka oleh dunia Barat.

Tahun 2006, Fraksi Hamas memenangkan Pemilu Parlemen, dan memilih Ismail Haniyeh sebagai Perdana Menteri. Proses Pemilu yang independen, jujur, dan transparan serta dipantau oleh Badan Pemantauan Pemilu dari Uni Eropa. Namun kemudian hasil pemilu ini tidak diakuai oleh Dunia Barat. Sebaliknya, Hamas dianggap sebagai lembaga teroris, dan harus diperangi. Ironis, karena bukankah rakyat memilih Hamas? Dipilih oleh pemilik kedaulatan? Lantas, Israel dibiarkan untuk membunuh. Membunuh rakyat Palestina yang tak berdosa. Rakyat yang

telah menjalankan konsep ―demokrasi‖.

Bukankah sebenarnya Amerika yang mempromosikan demokrasi, perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap hak-hak dasar setiap

warga, hak-hak politik, sosial dan ekonomi? Lantas, kenapa hal ini tidak terjadi di Palestina. Kenapa Amerika Serikat bahkan membenarkan pembunuhan dan pembantaian yang dilakukan oleh Zionis Israel?

Terakhir, penulis ingin mengatakan bahwa Palestina adalah sebuah bangsa yang mulia, Negara dan bangsa tempat lahirnya para Nabi. Palestina sedang berjuang mendapatkan hak-nya sebagai Negara berdaulat dan merdeka, baik secara diplomasi di dewan PBB maupun dengan cara mempertahankan diri dari agresi.

Namun, sejarah dunia yang mengatasnamakan

demokrasi tetap tidak mendukung lahirnya ―demokrasi‖ di

tanah al-Aqsa ini. Amerika Serikat mengancam akan mem- veto keinginan tersebut. Amerika Serikat akan selalu melindungi keinginan dan kepentingan Zionis Israel, karena Isreal adalah Amerika, dan Amerika adalah Isreal.

Demokrasi telah mati, seiring dengan kematian sang penemu demokrasi. Setidaknya kita tidak akan dapat merasakan damainya dunia ini, selama atas nama

―demokrasi‖ menjadi pembenaran dalam sebuah kekerasan

dan peperangan. Juga ketika paham demokrasi hanya

dijadikan sebagai media dalam membangun ―tirani‖

kekuasan untuk menguasai bangsa lain dengan cara tak bermartabat dan tak manusiawi.

KURSI

Dalam sebuah sistem perpolitikan, masalah kursi seringkali menjadi faktor yang menyebabkan konflik dan perpecahan. Meskipun sebenarnya mereka telah mempunyai kursi di parlemen, sebagaimana yang diinginkan pada saat kampanye dulu, dan rakyat telah mempercayakan mereka untuk duduk di sana. Namun

keinginan mendapatkan kursi yang lebih ‖empuk‖ yaitu

kursi sebagai wakil pimpinan para anggota dewan Aceh, telah menyebabkan aspirasi rakyat terabaikan.

Perdebatan keabsahan siapa yang berhak mendapatkan kursi itu lebih banyak menghabiskan waktu, dibandingkan waktu mereka berfikir untuk rakyat. Inikah wajah parlemen Aceh hari ini? Sungguh sangat disayangkan jika tujuannya adalah memperebutkan kursi. Sementara aspirasi rakyat yang dulu pernah dijanjikan telah dilupakan. Hukum yang harus diciptakan tak terlaksanakan, begitu juga pengawasan anggaran dan pembangunan tidak berjalan secara optimal.

Permulaan perebutan kursi kekuasaan dalam parlemen Aceh terjadi ketika hasil sidang Paripurna DPRA pada tahun 2009 lalu mengusulkan 4 (empat nama) pimpinan DPRA, yang terdiri dari Ketua DPRA, diajukan nama Drs Hasbi Abdullah dari Partai Aceh, Wakil Ketua I,

nama Amir Helmi SH dari Partai Demokrat, untuk Wakil Ketua II, Drs Sulaiman Abda dari Partai Golkar, sedangkan untuk Ketua III, Ridwan dari PA. Proses pengusulan ini didasarkan pada tatib Pimpinan dan anggota DPRA, yaitu Pasal 30 ayat (1) dan (2) UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Hasil paripurna ini membuat Partai Amanat Nasional (PAN) yang meraih urutan ke empat dari mayoritas jumlah kursi setelah PA, Demokrat dan Golkar, melakukan

―pemberontakan‖. PAN berpendapat bahwa kursi wakil

ketua III adalah milik partai ini. Hal ini didasarkan kepada Pasal 303 ayat (2) UU No.27/2009 dimana dinyatakan bahwa Pimpinan DPRD Provinsi berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD Provinsi.

Hal ini telah mendorong Mendagri Republik Indonesia hanya menyetujui tiga nama yang ditetapkan sebagai pimpinan DPRA. Yakni nama Hasbi Abdullah sebagai Ketua DPRA, kemudian dua nama lagi sebagai wakil ketua, masing-masing Amir Helmi sebagai Wakil Ketua I dan Sulaiman Abda sebagai Wakil Ketua II. Sedangkan nama Ridwan yang diproyeksikan menduduki kursi Wakil Ketua III DPRA, ternyata tidak diterbitkan Mendagri SK pengangkatannya.

Inilah awal mula konflik perebutan kursi dimulai di parlemen Aceh antara partai lokal (Parlok) yang mempunyai

suara mayoritas dengan partai nasional (Parnas) yang merupakan partai koalisi pemerintah.

Ketentuan hukum di Aceh seringkali menimbulkan penafsiran ganda, terutama berkenaan dengan hukum yang bersifat lex specialis dengan hukum yang bersifat lex generalis. Meskipun demikian, perdebatan mengenai hukum tersebut, tidak selalu dilandasi oleh pemahaman yang mereka tidak pahami, tapi lebih lebih cenderung pada kepentingan politik dan materialisme (fasilitas) yang menjanjikan untuk seorang wakil ketua tersebut.

Fenomena seperti ini, telah menyebabkan tugas dan kewajiban utama sering terabaikan. Eksistensi partai tersebut dalam memperjuangkan aspirasi rakyatpun jarangsekali kita dengar. Apakah karena nafsu terhadap

kursi ―panas‖ telah membuat para wakil rakyat ini

melupakan janjinya pada saat kampanye dulu? Sehingga kita harus bertanya, begitu pentingkah kursi tersebut untuk rakyat atau hanya untuk memenuhi nafsu para pemilik partai?

Jika menilik pada realitas, pemenuhan pada kepentingan nafsu partai lebih dominan, dibandingkan pada pemenuhan hak dan aspirasi rakyat. Kursi wakil ketua tidak menjadi media dalam perubahan kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat, tapi lebih kepada mencari popularitas dan kepentingan nafsu pribadi.

Hal ini pernah dikatakan oleh Hobbes (1588-1679) bahwa manusia cenderung mencari kekuasaan dan secara

kondrat mempunyai hasrat (nafsu) dan keengganan (aversions). Baik nafsu akan kekuasaan, kekayaan, dan kehormatan. Sementara keengganan, mereka enggan untuk mengalah dalam perebutan terhadap hal yang diinginkan tersebut.

Sebagai para penguasa (legislative), sebenarnya Parlemen mempunyai kekuasan dan kedaulatan dalam mewujudkan perubahan daerah (negeri) ini kearah yang lebih baik, jika saja para wakil rakyat tidak saling merebut kekuasan (kursi) dalam internal mereka. Lebih jauh Hobbes

menyatkan ―Beberapa orang atau lembaga itulah yang memegang kedaulatan penuh. Tugasnya adalah menciptakan dan menjaga keselamatan rakyat (the safety of

the people)‖ [Hobbes: hal. 376].

Rakyat sebagai pihak yang telah menyerahkan hak- hak mereka, dan menjadi kewajiban bagi para wakil rakyat untuk memperjuangkan hak rakyat, tidak seharusnya hanya bernafsu pada perebutan kekuasaan dalam parlemen, tapi seharusnya berjuang bersama dalam memperjuangkan hak- hak rakyat. Karena jika hanya bernafsu terhadap kekuasaan dan harta, maka bencana kemanusian akan terus terjadi. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin: ―Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi

ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, dan Allah-lah

tempat meminta segala hal‖.

Sebagai rakyat, kita memang tak punya kuasa untuk menarik kembali kedudukan para wakil rakyat yang tidak lagi memperjuangkan hak-hak rakyat. karena pemegang kedaulatan (wakil rakyat) itu tidak terikat kontrak dengan rakyat secara legal formal yang mengikat. Para penguasa partai dan wakil rakyat hanya mengikat kontrak secara sosial dan komitmen. Meskipun komitmen itu sering tidak dilaksanakan (tidak menjaga amanah). Kecuali pada pemilihan umum berikutnya rakyat tidak perlu lagi memilih partai yang hanya cenderung pada kekuasaan dan harta serta tidak memperjuangkan hak dan aspirasi masyarakat.

Akhirnya, sebagai seorang yang beriman kepada Allah SWT, kita harus kembali kepada pesan al-Quran, bahwa kedzaliman pemimpin akibat nafsu kekuasaan tersebut akan merusak seluruh system kehidupan dalam masyarakat. Itulah makna daripada firman Allah: ―Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan yang baik itu adalah bagi orang- orang yang bertakwa ― (QS. Al Qashah : 83).

Dalam dokumen POLITIK SANG PEMBERONTAK Kumpulan Esai (Halaman 61-71)