• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK RESISTENS

Dalam dokumen POLITIK SANG PEMBERONTAK Kumpulan Esai (Halaman 126-131)

Muzakkir Manaf, mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) meminta Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang juga mantan propaganda GAM untuk tidak lagi mencalonkan diri sebagai Gubernur Aceh periode kedua (Serambi, 2/2011).

Pernyataan ini sangat menarik untuk didiskusikan, karena pertentangan dan perdebatan itu terjadi secara internal dikalangan kelompok yang notabene-nya merupakan para mantan gerakan pembebasan Aceh (Free Aceh Movement). Meskipun GAM telah melakukan transformasi, yaitu dari keinginan mewujudkan Aceh menjadi Negara merdeka, kembali menjadi bagian dari NKRI, serta dari perjuangan senjata ke perjuangan politik (baca:Partai Aceh). Namun dalam dalam sistem perpolitikan, Partai Aceh seakan masih mencerminkan karakteristik sitem komando militeristik. Sehingga hal ini berbanding terbalik dengan konsep perdamaian dan demokrasi, yang tidak membatasi hak politik dan hak hukum seseorang, baik dalam partainya maupun diluar partai tersebut.

Secara hukum, konstitusi NKRI pasal 28 D telah

mengakui bahwa ―setiap warga Negara berhak yang sama dalam pemerintahan‖. Tidak ada batasan seseorang boleh

pemimpin. Pun demikian, secara prosedural, pencalonan seseorang untuk menjadi Gubernur/Bupati/walikota juga tidak lagi dibatasi oleh partai politik, sebagai media untuk mencalonkan diri, namun juga dapat dicalonkan melalui calon perseorangan (jalur independen).

Inilah landasan yang semestinya menjadi guidance (pegangan/petunjuk) dalam proses pengembangan demokrasi di Aceh setelah ditandatangi Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dengan GAM 15 Agustus 2005 di Helsinki Finland.

Namun dalam realitas hari ini, seringkali guidance itu tidak dijadikan sebagai prinsip dasar (first Pillar) dalam perpolitikan dalam meraih kekuasaan. Hal ini tidak terlepas dari adanya ketakutan yang melahirkan sikap resisten terhadap kekuatan lawan (figur) politik lainnya. Terutama figur politik yang merupakan incumbent, yang secara struktural dan fungsional mempunyai pengaruh yang besar di hati rakyat. Resistensi (inggris:resistance) dalam kamus wikipedia adalah menunjukkan pada posisi sebuah sikap untuk berprilaku bertahan, berusaha melawan atau menentang sebagai upaya oposisi yang tidak berdasarkan pada paham demokrasi

Politik Resistensi

Politik resistensi biasanya sering terjadi ketika proses transformasi kekuasaan dilakukan, dengan justifikasi tertentu terhadap lawan politiknya. Meskipun justifikasi itu

belum tentu benar. Namun seringkali yang terjadi adalah pembenaran, bukan kebenaran.

Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan resistensi, pertama resisten dari individu. Arvin Saputra (2002) mengambarkan bahwa ada lima faktor utama kenapa individu mengalami sikap resisten, yakni kebiasaan, keamanan, ekonomi, ketakutan dan distorsi informasi.

Kebiasaan sebagai seorang komandan dalam garis komando militer secara tidak langsung dapat memberikan suatu prilaku dan atau sikap resisten, ketika bawahannya dulu, kini menjadi pemimpin dan mempunyai pengaruh yang lebih besar dari dirinya. Selain itu perihal keamanan, ekonomi, ketakutan dan distorsi informasi (mis-komunikasi) juga dapat menjadi faktor dan melahirkan sikap resistensi.

Memang secara umum, hampir seluruh wilayah dan Negara yang keluar dari konflik menuju proses perdamaian dalam masa transisi selalu dipimpin oleh tokoh utama pergerakan tersebut. Misalnya, Timor Laste yang secara resmi merdeka dari NKRI pada 20 Mei 2002, dipimpin oleh Xanana Gusmao, yang merupakan pemimpin pasukan gerilyawan Fretilin.

Namun dalam konteks Aceh, tokoh utama dalam pergerakan Aceh Merdeka tidak mendapatkan posisi utama

dalam perpolitikan dan kekuasaan. Proses ―revolusi intern‖

dalam kelompok mantan gerilyawan ini telah melahirkan fraksi kelompok tua (deklarator) dan kelompok muda (prajurit) dalam internal Partai Aceh saat ini. Hal ini juga

menjadi salah satu faktor yang melahirkan sikap resistensi terhadap kekuatan incumbent yang merupakan dari kelompok muda. Apalagi hasil survei [demokrat, 2011] memperlihatkan Irwandi Jusuf masih menjadi tokoh favorit untuk periode yang akan datang.

Faktor kedua adalah resistensi organisasi, dalam konteks ini Partai Aceh sebagai partai pemenang mayoritas

dalam pemilu 2006 merasa ada adanya distorsi ―hegemoni‖

dalam penentuan calon Gubernur/Bupati pada pemilihan 2011 ini. Hal ini tidak terlepas dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut pasal 256 yang

menyatakan tentang ―ketentuan yang mengatur calon

perseorangan dalam Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, atau walikota/wakil walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, berlaku dan hanya dilaksanakan untuk pemilihan pertama kali sejak Undang-Undang ini diundangkan‖. Dengan dicabutnya pasal ini, maka calon perseorangan berlaku kembali sebagai media pencalonan selain melalui partai politik. Jadi wajar saja Partai Aceh sebagai partai mayoritas saat ini tidak terlalu gembira dengan keputusan MK tersebut.

Merubah Paradigma

Sikap PA terhadap fenomena tersebut, setidaknya telah merubah paradigm, baik secara internal maupun masyarakat secara luas. Proses pemecatan karena adanya

perbedaan pendapat juga mencerminkan suatu dekandensi demokrasi dalam partai tersebut. Demikian juga, harapan masyarakat yang begitu besar terhadap partai ini sebagai agent of change menuju Aceh yang lebih makmur dan sejahtera dalam masa perdamaian ini perlahan pupus oleh kebijakan yang kurang bijak.

Sebenarnya sikap yang resisten tersebut secara tidak langsung telah melemahkan posisi tawar partai dalam pemilu ke depan. Karena kadar politik (political laverage) tidak saja diukur dari keberhasilannya dalam mewujudkan kemenangan mayoritas di parlemen, melainkan kadar keterorganisasian (organizational leverage) dari partai politik dalam menampung dan mewujudkan berbagai aspirasi masyarakat, tidak terbatas pada aspirasi politik. Ada hak-hak warga/rakyat yang mestinya diperjuangkan secara parallel, bukan hanya aspirasi dewan dan sektoral semata. Persoalan KKR, Pengadilan HAM, pengembalian hak-hak korban selama konflik dan pembentukan peraturan- peraturan yang berpihak pada kemakmuran rakyat semestinya menjadi isu yang harus diperjuangan oleh partai pemenang saat ini. Bukan sebaliknya, membangun kekuasaan ala hegemonic yang meruntuhkan kepercayaan rakyat pada pemilu yang akan datang.

Dalam dokumen POLITIK SANG PEMBERONTAK Kumpulan Esai (Halaman 126-131)