• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK SANG REKTOR

Dalam dokumen POLITIK SANG PEMBERONTAK Kumpulan Esai (Halaman 137-142)

Soal, jika kita ditanyai orang, ―bolehkah jika seorang

rektor mencalonkan diri menjadi Gubernur‖? Jawab, Tidak

ada yang dapat melarang seseorang untuk menjadi seorang Guberner, atau Presiden sekalipun, sejauh criteria dan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya tidak membatasinya.

Namun ketika ada yang bertanya lagi, etis-kan seorang yang baru saja dilantik menjadi seorang rektor, kemudian menjadikan posisi-nya (baca:teori lompatan) untuk mencalonkan diri lagi sebagai seorang Gubernur? Saya nyakin, jawabannya adalah tidak etis.

Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa tidak etis? Bukankah persoalan etis tidaknya itu sangat subjektif? Artinya sesuatu yang tidak pasti dan relative sekali. Persoalan etis ini sebenarnya berkaitan erat dengan integritas dan loyalitas seorang pemimpin terhadap kepemimpinannya.

Jika kita kembali kepada konsep integritas seorang pemimpin, atau loyalitas seorang pemimpin terhadap lembaga yang sedang dipimpinnya? Maka kita harus mengetahui bahwa loyalitas adalah suatu bentuk kesetiaan pada sesuatu dengan rasa cinta, sayang secara totalitas. Bahkan dengan rasa loyalitas yang tinggi sesorang merasa

tidak perlu untuk mendapatkan imbalan dalam melakukan sesuatu untuk lembaga tempat dia meletakan loyalitasnya.

Integritas juga berkaitan dengan komitmen bersama dari semua elemen yang berkaitan dengan kepemimpinannya. Pegabungan dari berbagai kelompok yang ada dalam lembaga tersebut yang kemudian menjadi satu kesatuan yang mempunyai tujuan dan cita-cita yang sama. Dalam konteks Universitas Syiah Kuala, maka komitmen harus dimulai dari sang retokr yang kemudian diikuti oleh elemen lain dibawahnya secara bersamaan (terintegrasi), yang mencinta dan bekerja untuk mewujudkan cita-cita Unsyiah.

Apa cita-cita Unsyiah? Saya nyakin tidak semua civitas dan mahasiswanya memahami dan mengerti cita-cita

dari lembaga pendidikan ―jantong hate‖ rakyat Aceh ini.

Salah satu cita-cita itu adalah mencerdaskan anak – anak dan bangsa Aceh.

Perjuangan membentuk lembaga pendidikan tinggi di Aceh bukanlah hal mudah, dan lahir begitu saja tanpa ada perjuangan. Namun pembentukan lembaga ini harus dilalui dengan tumpah darah.

Darah syuhada pejuang Aceh dalam perang DII/TII tidak dapat dipungkiri telah menjadi cikal bakal lahirnya universitas pada tahun 1958 tersebut. Yaitu ketika Aceh

―dinina-bobokkan‖ dengan hak keistimewaan dalam hal pendidikan.

Pada pembukaan dan peresmian Kopelma Darussalam, Presiden Soekarno menyatakan bahwa Darussalam sebagai pusat pendidikan daerah Aceh diharapkan menjadi lambang perdamaian dan mewujudkan suasana persatuan, hasil kerjasama antara rakyat dan para pemimpin Aceh, serta sebagai modal pembangunan dan kemajuan daerah Aceh khususnya, dan Indonesia umumnya (Modus, 2010)

Sayangnya, rasa cinta, loyalitas dan integritas untuk mewujudkan cita-cita luhur Unsyiah tersebut belum dapat diwujudkan secara sempurna. Sekarang ini, para mahasiswa sebagai rakyat dikampus atau rakyat Aceh secara keseluruhan merasa bingung dan gelisah melihat fenomena kepemimpinan kampus. Jika seorang pemimpin yang baru saja terpilih kemudian mempunyai rencana untuk menjadi seorang Gubernur Aceh, sementara cita-cita mewujudkan Unsyiah menjadi modal pembangunan dan lambang persatuan belum dapat diwujudkan. Begitu juga berbagai tuntuan mahasiswa agar Unsyiah menjadi lembaga pendidikan murah, transparan dan lebih berorientasi pada penciptaan kualitas, bukan hanya kuantitas belum dapat diwujudkan secara sempurna. Lantas, layakkah jika sang rektor yang baru saja terpilih tetap mencalonkan diri menjadi calon Gubernur?

Jika kita kembali kepada khitah lahirnya Unsyiah, maka mengutip pesan Soekarno di atas bahwa cita-cita dasar lembaga ini adalah menjadi ujung tombak dalam

membangun Aceh yang berperadaban dan berbasis Islam. Lembaga pendidikan ini harus menjadi symbol perdamaian dan persatuan Aceh, bukan saling berpecah-belah. Maka jika seorang pemimpin yang mempunyai keinginan membangun Aceh, saya rasa tidak mesti harus menjadi seorang Gubernur/Wakil Gubernur. Melainkan pembangunan itu dapat diisi dari sudut dan aspek manapun dan dimanapun.

Barangkali ada keinginan lain dari sang rektor, yaitu ingin meraih kekuasaan dan menjadi orang nomor satu dalam sistem birokrasi di Aceh. Namun alangkah disayangkan jika keinginan itu didasari oleh hal demikian. Karena menurut penulis, ketika ia telah masuk dalam sistem birokrasi, maka kesempatan untuk berkarya dan berkontribusi kepada umat akan semakin sempit, apalagi seorang yang berbasis akademisi. Dalam Society Today (1971), dinyatakan bahwa 'birokrasi', adalah konsep yang muncul adalah organisasi besar, kaku, dingin, resmi, tertutup, dan tidak efisien. Hal ini terbukti, bahwa dengan aturan yang ketat, konsep pembangunan sering tidak berjalan secara efesien dan efektif.

Penulis melihat, ada hal yang lebih penting, menarik dan lebih populer dapat dilakukan oleh sang rektor, yaitu mewujudkan Unsyiah sebagai sebuah lembaga pendidikan yang mampu melahirkan ribuan calon-calon Gubernur masa depan, sehingga rakyat akan menggenang bahwa sang

pemimpin dan para intelektual dari kampus Unsyiah. Bukan

sebaliknya hanya menjadikan Unsyiah sebagai ―batu

loncatan‖ untuk meraih kekuasaan dalam pemerintahan untuk pribadi.

Memang selalu ada ―nafsu‖ dan keinginan serta

kepercayaan diri untuk mewujudkan perubahan dan pembaharuan saat kita memiliki suatu kekuasaan. Tetapi, realitas juga memperlihatkan bahwa kekuasaan akan cenderung korup dan membius.

Sebagai refleksi akhir, dan menjadi harapan semua rakyat Aceh. Semoga di bawah kepemimpinan era kedua sang rektor, dapat mewujudkan kembali cita-cita luhur pendiri lembaga pendidikan ini, yaitu dengan mengembalikan loyalitas kepada Unsyiah dan dapat juga membangun integritas dengan semua elemen dilembaga tersebut. Sehingga akan lahir seribu calon Gubernur dimasa depan dibawah kepemimpinan sang Profesor dan Unsyiah menjadi motor penggerak pembangunan, perdamaian dan persatuan di Aceh dan juga Indonesia. Seperti nyanyian

WS.Rendra, dalam hyme Unsyiah: ―Di sini kami belajar memperkaya Iman/Di sini kami belajar mengembangkan ilmu/Di sini kami belajar memperdalam pengabdian/Di sini di tempat tercinta ini/Universitas Syiah Kuala yang utama/Fajar menyingsing di tanah Aceh/ Itulah cita-cita kami/ Dan ketika sang surya menyala/Ia saksikan kami berjuang dan bekerja/ Serta di malam hari bulan bintang tanah Aceh menyaksikan kami prihatin dan berdoa mengerahkan diri untuk tujuan mulia.

Dalam dokumen POLITIK SANG PEMBERONTAK Kumpulan Esai (Halaman 137-142)