• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASAN TIRO, UNFINISHED STORY

Dalam dokumen POLITIK SANG PEMBERONTAK Kumpulan Esai (Halaman 48-53)

Allahyarham Tgk. Hasan Tiro (HT) kembali digugat, kali ini mengenai status WNI-nya yang disahkan oleh pemerintah Republik Indonesia melalui kementrian Hukum dan HAM RI, sehari sebelum kewafatannya.

Gugatan itu seperti ditulis oleh Helmy N Hakim

dalam tulisannya ―Menggugat Pe-WNI-an Hasan Tiro‖ (Serambi, 22/06), dimana HNH mencoba mengkritik status WNI almarhum dengan pendekatan aturan undang-undang (UU), dalam UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, menyatakan bahwa HT dapat memperoleh kembali statusnya sebagai WNI sepanjang tidak mengakibatkan kewarganegaraan ganda. Sementara selama ini almarhum HT diketahui sebagai warga Negara Swedia. Disisi yang lain, Hasan Basri M.Nur (HBMN) juga mempertanyakan mengenai mekanisme proses usulan untuk menjadi WNI HT, seperti dalam

tulisannya ―Menyoal Status WNI Hasan Tiro‖, disini HBMN

mengkritik apakah kembalinya HT sebagai WNI merupakan keinginan beliau sendiri atau pihak lain, seperti ditulis

―kapan dan siapa yang mengajukan permohonan agar HT

menjadi WNI?‖.

Menurut penulis, kedua gugatan di atas sah-sah saja dalam konteks memperjelas sebuah sejarah, karena

sebagaimana amanah Wali sebelum kewafatannya, bahwa betapa pentingnya untuk memahami sejarah yang benar. Sebuah peradaban dan perjuangan akan selalu dikenang ketika sejarah itu ditulis secara benar dan sesuai fakta, bukan sejarah yang direkayasa.

Pentingnya mengetahui sejarah latar belakang proses kembalinya deklarator GAM (Gerakan Aceh Merdeka) tersebut, harus diakui akan mempunyai efek yang sangat besar dalam upaya proses reintegrasi bangsa sebagaimana telah dicantumkan dalam MoU Helsinki dan UUPA No.11 tahun 2006. Karena HT bukan hanya sebagai tokoh pergerakan, tapi juga sebagai ideolog lahirnya gerakan perlawanan terhadap NKRI (Negera Kesatuan Republik Indonesia) selama 30 tahun.

Sebagai sebuah gerakan (ASNLF; Aceh Sumatra National Liberation Front), HT telah mencoba mendirikan sebuah Negara yang terpisah dari NKRI (Successor State). Namun, dengan ditandatanganinya MoU Helsinki 15 Agustus 2005, maka secara defacto dan de-jure, successor state itu telah mengeliminasi diri dalam Negara kesatuan. Artinya secara struktural dan identitas gerakan ini telah

―terhapus‖ oleh pengakuan untuk menjadi bagian kembali

dari Negara ini. Sementara, secara ideologi, itu akan menjadi hal yang berbeda, dimana tidak mudah untuk mengukur apakah dengan adanya MoU Helsinki dan UUPA No.11 tahun 2006, maka ideologi pergerakan tersebut juga telah ter-eliminasi? Inilah yang menjadi satu cerita yang

belum selesai (unfinished story), ketika sang Ideolog yang telah kembali kepangkuan Ilahi tidak pernah menyatakan pengakuannya untuk kembali menjadi WNI secara totalitas, sebagaimana yang pernah diajukan oleh mantan pejuang lainnya, begitu juga HT tidak pernah menyatakan bahwa segala ide dan pemikirannya akan dikuburkan bersama jasad dan rohnya.

Sejarah ini pernah terjadi pada Desember 1962,

dimana Teungku Muhammad Daud Beureueh ―ditaklukkan‖

dengan Musyawarah Kerukunan Rakyat Atjeh, yang dikenal dengan deklarasi Lamteh, di bawah Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel M.Jasin. Sehingga perjuangan NII (Negara Islam Indonesia) yang kemudian berubah menjadi RIA (Republik Islam Aceh) menjadi lenyap dan tunduk kembali di bawah kekuasaan Soekarno dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui PP RIS No. 21/1950 dan PERPPU No.5/1950. Namun meskipun secara fisik (kekuasaan) perlawanan ini dapat ditaklukkan, namun pemikiran dan ide untuk mewujudkan Darul Islam di Nusantara ini selalu tak dapat ditaklukkan. Akibat sikapnya itu, Teungku Abu Daud Beureueh kemudian dilumpuhkan secara sistematis oleh Pemerintah Orde Baru. Ia kemudian meninggal pada tahun 1987 dalam keadaan buta yang disengaja oleh Penguasa Orde Baru saat itu dibawah kontrol pihak keamanan republik. Namun, ia tetap menjadi sebagai WNI, karena ideologinya adalah tidak mendirikan

Negara yang terpisah dari Indonesia, melainkan ingin mendirikan NII.

Berbeda dengan Abu Beureueh, dimana perjuangan Hasan di Tiro meletakkan perjuangan dengan mendeklarasikan ulang berdirinya Acheh pada tanggal 4 Desember 1976, sebagai kelanjutan dari Negara Acheh Sumatera yang diduduki Belanda sejak 3 Desember 1911 seteleh gugurnya Panglima Perang Teungku Tjheh Maat ditembak serdadu Belanda. Sehingga ia pun melepaskan statusnya sebagai WNI, karena HT ingin mendirikan sebuah Negara yang terpisah dari Indonesia. Sehingga status WNI tidak menjadi tidak penting. Meskipun demikian, cita-cita mewujudkan successor state hanya menjadi episode dari episode pergerakan sebelumnya. Ia menjadi cerita yang tidak selesai (unfinished story).

***

Terlepas dari pro dan kontra mengenai proses dan inisiatif peng-WNI-an serta kedudukan hukum HT yang telah diakui oleh pemerintah RI sebagai WNI, ada banyak hal positif yang dapat dijadikan sebagai refleksi dalam mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan, yaitu re- integrasi. Proses re-integrasi ini merupakan sebuah upaya totalitas dan melebihi dari amanah MoU Helsinki, dimana dalam MoU tersebut, hanya dinyatakan reintegration into society, tapi dalam konteks Hasan di Tiro, tidak hanya into society, tapi re-integration into NKRI.

Inilah yang seharusnya dijadikan sebagai refleksi perdamaian Aceh, dimana perwujudan dari pengakuan status menjadi bagian dari warganegara ini, tidak hanya dilakukan oleh para combatant, tapi juga telah diwujudkan oleh pendiri dan ideolog pergerakan itu, baik itu diinisiasi langsung atau tidak langsung oleh yang bersangkutan. Sehingga, jika masih ada sikap, dugaan, prasangka atau kekhawatiran yang mungkin sering dipelihara terhadap Aceh yang dianggap ―tidak setia‖ dapat dihilangkan. Sebaliknya Aceh yang telah memberikan banyak hal

terhadap keutuhan republik ini jangan ―dikhianati‖ lagi.

Akhirnya, sangat naïf rasanya kalau seseorang yang telah kembali ke Ilahi Rabbi masih dipertanyakan mengenai status kewarganegaraan, baik status hukumnya maupun asal-usul pengajuan status tersebut. Karena betapapun statusnya itu, Hasan Tiro telah menanggalkan semua status itu, apakah sebagai WNA atau sebagai WNI, iatelah kembali kepada Sang Pencipta dari para ―pencipta‖ status itu, hanya satu pesan yang ia tinggalkan yaitu, ―jagalah perdamaian

Dalam dokumen POLITIK SANG PEMBERONTAK Kumpulan Esai (Halaman 48-53)