Nama : Rega Widya Parastri
NIM : 16080324061
Kelas : S1 Pendidikan Tata Niaga Matkul : Hukum Bisnis
Dosen pengampu mata kuliah : Finisica Dwijayati Patrikha, S.Pd., M.Pd.
Tugas Mata Kuliah Hukum Bisnis
1) Bagaimana cara mengajukan perlindungan konsumen ?
Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang dimaksud dengan perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Yang dimaksud konsumen adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. (Pasal 1 UUPK)
Berdasarkan UU No. 8 Pasal 1 Butir 1 Tahun 1999, tentang perlindungan konsumen disebutkan bahwa “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”. Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen, yang diperkuat melalui unang-undang khusus, memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi sewenang-wenang yang selalu merugikan hak konsumen.
Dengan adanya UU Perlindungan Konsumen beserta perangkat hukum lainnya, konsumen memiliki hak dan posisi yang berimbang, dan konsumen tersebut dapat menggugat atau menuntut jika ternyata hak-haknya telah dirugikan atau dilanggar oleh pelaku usaha. Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan atas hukum untuk memperdayakan kosumen dengan memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang dan/ jasa berdasarkan kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen.
perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.
Berikut ini sebagaimana telah dipaparkan, bagaimana cara mengajukan perlindungan konsumen, yaitu sebagai berikut :
Melalui atau melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Hal ini dimaksudkan dapat menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan bagi lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
Perlunya upaya pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan Undang-Undang yang dapat melindungi kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif dan efesien di dalam masyarakat. Di samping itu, Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dalam pelaksanaanya tetap memberikan perhatian khusus kepada pelaku usaha kecil dan menengah. Hal ini dilakukan melalui upaya pembinaan dan penerapan sanksi atas pelanggarannya.
Melalui atau berdasarkan dengan piranti hukum yang melindungi konsumen dan dapat mendorong iklim berusaha yang sehat yang nanti akan mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/ atau jasa yang berkualitas dan bermanfaat.
Melalui atau berlandaskan pada Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen ini dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional bahwa pembangunan nasional termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar negara Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
Di Indonesia, dasar hukum yang menjadikan seorang konsumen dapat mengajukan perlindungan adalah:
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27, dan Pasal 33.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha-Usaha Tidak Sehat.
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa.
Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penanganan pengaduan konsumen yang ditujukan kepada seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.
Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795/DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan Pengaduan Konsumen.
2) Guna mengajukan perlindungan konsumen
Kegunaan mengajukan perlindungan konsumen yaitu sebagai berikut :
Konsumen lebih yakin dan terlindung kesehatan dan keamanannya dari tingkah buruk para yang mungkin saja memasukkan bahan berbahaya atau terlarang ke dalam produk tersebut.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari ekses negatif pemakaian barang dan/ jasa.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
Menetapkan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
Meningkatkan kualitas barang dan/ jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/ jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Berikut ialah keuntungan dalam mengajukan perlindungan konsumen yaitu :
a) Konsumen mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/ jasa.
b) Konsumen memiliki hak untuk memilih barang dan/ jasa serta mendapatkan barang dan/ jasa serta mendapatkan barang dan/ jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar serta kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c) Konsumen mendapatkan dan dapat mengetahui informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ jasa.
d) Konsumen mendapatkan dan dapat mengajukan keluhan berupa pendapat atau saran atas barang dan/ jasa yang digunakan.
e) Konsumen memiliki dan mendapatkan advokasi, perlindungan konsumen, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut dan adil. f) Konsumen mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.
g) Konsumen mendapatkan pelayanan dan perlakuan engan baik, benar, dan jujur serta tidak diskriminatif.
h) Konsumen mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau pergantian jika barang dan/ jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan sebagaimana mestinya.
4) Kerugian mengajukan perlindungan konsumen
Berikut ialah kerugian dalam mengajukan perlindungan konsumen yaitu :
a) Konsumen terkadang merasa kurang puas atas kenyaman, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/ jasa karena tidak sesuai minat dan kebutuhan yang konsumen inginkan.
b) Konsumen terkadang tidak dapat memilih barang dan/ jasa serta tidak mendapatkan barang dan/ jasa tersebut jika tidak sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
c) Konsumen salah mengartikan informasi yang didapatkan dan hal tersebut menjadikan konsumen kurang puas atas bentuk pelayanan di dalam bagian informasi yang tidak sesuai harapan konsumen serta dapat terjadinya kesalah pahaman antara konsumen dengan pelaku usaha.
e) Konsumen akan protes jika ia tidak mendapatkan advokasi, perlindungan konsumen, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen tidak segera diproses atau diurus sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan yang telah dibuat antara konsumen dengan pelaku usaha, jika itu terjadi berkelanjutan maka konsumen berhak atau akan mengambil tindakan secara hukum.
f) Konsumen akan kecewa dan tidak puas apabila konsumen tidak mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
g) Konsumen terkadangt merasa tidak puas dan merasa kecewa apabila tidak mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau pergantian jika barang dan/ jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan tidak sebagaimana mestinya.
5) Hukum larangan monopoli
Larangan praktik monopoli dalam dunia usaha dan persaingan usaha yang tidak sehat tercantum dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Menurut Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat definisi monopoli adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
Sedangkan yang dimaksud dengan Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Secara umum materi Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat meliputi hal-hal berikut ini:
a. Perjanjian yang Dilarang
Perjanjian yang dilarang ini, berupa:
1. Penguasaan produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau jasa (perjanjian oligopoli).
2. Penetapan harga atau mutu suatu barang dan/ atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama, penetapan harga secara diskriminatif terhadap barang dan/ atau jasa yang sama untuk pembeli yang berbeda, penetapan harga di bawah harga pasar dan larangan menjual kembali barang atau jasa yang dibeli dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan (perjanjian penetapan harga).
3. Pembagian wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/ atau jasa (perjanjian pembagian wilayah).
4. Penghalangan untuk melakukan usaha yang sama baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Penolakan penjualan setiap barang atau jasa (perjanjian pemboikotan).
5. Pengaturan produksi dan/ atau pemasaran suatu barang dan/ atau jasa untuk memengaruhi harga (perjanjian kartel).
6. Pembentukan gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar dengan tetap menjaga atau mempertahankan kelangsungan hiup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi barang dan/ atau pemasaran atas barang dan/ atau jasa (perjanjian trust).
7. Penguasaan pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas barang dan/ atau jasa dalam pasar bersangkutan (perjanjian oligopsoni).
baik dalam suatu rangkaian langsung maupun tidak langsung (perjanjian integrasi vertikal).
9. Persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/ atau jasa hanya memasok atau tidak memasok kembali barang dan/ atau jasa tersebut terhadap pihak tertentu dan/ atau pada tempat tertentu (perjanjian tertutup).
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat (perjanjian dengan pihak luar negeri).
b. Kegiatan yang Dilarang
Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat juga dilarang Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Kegiatan-kegiatan yang dimaksud meliputi:
1. Penguasaan atas produksi dan pemasaran barang dan/ atau jasa (kegiatan monopoli).
2. Penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/ atau jasa dalam pasar bersangkutan (kegiatan monopsoni).
4. Persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan menetukan pemenang tender dan/ atau untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan dan/ atau menghambat produksi dan/ atau pemasaran barang dan/ atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan/ atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar yang bersangkutan menjadi berkurang, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan (kegiatan persekongkolan).
c. Posisi Dominan
Posisi dominan dapat pula mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha yang tidak sehat. Karena itu, posisi dominan sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 25 sampai dengan Pasal 29 Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.
Dalam ketentuan Pasal 25 Ayat (2) Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat juga dilarang ditentukan bahwa pelaku usaha memiliki potensi dominan apabila memenuhi kriteria di bawah ini:
a) Satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan/ atau jasa tertentu.
b) Dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% atau lebih pangsa pasar satu jenis barang dan/ atau jasa tertentu. Posisi dominan bisa timbul melalui hal-hal berikut ini:
a) Jabatan rangkap pada lebih dari satu perusahaan dalam pasar bersangkutan yang sama atau memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan jenis usaha secara bersama-sama menguasai pangsa pasar produk tersebut. (Pasal 26)
b) Pemilikan saham mayoritas pada perusahaan sejenis dengan bidang usaha yang sama dan pasar yang sama. (Pasal 27)
6) Contoh praktik monopoli (secara legal dan ilegal)
Contoh praktik monopoli secara legal ialah sebagai berikut:
Kasus PT Carrefour dengan KPPU
Seiring dengan perkembangan, persaingan usaha, khususnya pada bidang ritel diantara pelaku usaha semakin keras. Untuk mengantisipasinya, Pemerintah dan DPR menerbitkan Undang Undang No. 5 Tahun 1999 tentang praktek Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dengan hadirnya undang - undang tersebut dan lembaga yang mengawasi pelaksanaannya, yaitu KPPU, diharapkan para pelaku usaha dapat bersaing secara sehat sehingga seluruh kegiatan ekonomi dapat berlangsung lebih efisien dan memberi manfaat bagi konsumen.
Di dalam kenyataan yang terjadi, penegakan hukum UU praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat ini masih lemah. Dan kelemahan tersebut "dimanfaatkan" oleh pihak Carrefour Indonesia untuk melakukan ekspansi bisnis dengan mengakuisisi PT Alfa Retailindo Tbk. Dengan mengakuisisi 75% saham PT Alfa Retailindo Tbk dari Prime Horizon Pte Ltd dan PT Sigmantara Alfindo. Berdasarkan laporan yang masuk ke KPPU, pangsa pasar Carrefour untuk sektor ritel dinilai telah melebihi batas yang dianggap wajar sehingga berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.
Dari latar belakang di atas dapat ditarik suatu permasalahan sebagai berikut : Sejauh mana PT Carrefour melanggar Undang Undang No. 5 Tahun 1999, sanksi apa yang telah diberikan untuk pelanggaran tersebut, dan apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam menangani kasus tersebut ?
Kasus PT Carrefour sebagai Pelanggaran Undang Undang No. 5
terbatas disebutkan bahwa hanya saham yang dapat diambil alih. Jadi, asset dan yang lainnya tidak dapat di akuisisi.
Akuisisi biasanya menjadi salah satu jalan untuk meningkatkan efisiensi dan kinerja perusahaan. Dalam bahas inggrisnya dikenal dengan istilah acquisition atau take over. Pengertian acquisition atau take over adalah pengambilalihan suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan lain. Istilah Take Over sendiri memiliki 2 ungkapan:
1. Friendly take over (akuisisi biasa)
2. Hostilr take over (akuisisi yang bersifat "mencaplok"), Pengambil alihan tersebut ditempuh dengan cara membeli saham dari perusahaan tersebut.
Esensi dari akuisisi adalah praktek jual beli. Dimana perusahaan pengakuisisi akan menerima hak atas saham dan perusahaan terakuisisi akan menerima hak atas sejumlah uang harga saham tersebut. menurut pasal 125 ayat (2) UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menjelaskan bahwa pengambilalihan dapat dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan. Jika pengambilalihan dilakukan oleh perseorangan, maka keputusan akuisisi harus mendapat persetujuan dari RUPS. Dan pasal yang sama ayat 7 menyebutkan pengambilalihan saham perseroan lain langsung dari pemegang saham tidak perlu didahului dengan membuat rancangan pengambil alihan, tetapi dilakukan langsung melalui perundingan dan kesepakatan oleh pihak yang akan mengambil alih dengan pemegang saham dengan tetap memperhatikan anggaraan dasar perseroan yang diambil alih.
Dalam mengakuisisi perusahaan yang akan mengambil alih harus memperhatikan kepentingan dari pihak yang terkait yang disebutkan dalam UU No. 40 tahun 2007, yaitu Perseroan, Pemegang Saham Minoritas, Karyawan Perseroan, Kreditor, Mitra Usaha lainnya dari Perseroan, masyarakat serta persaingan sehat dalam melakukan usaha.
ketentuan mengenai larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan penguasaan pasar, sedangkan Pasal 25(1) UU No.5/1999 memuat ketentuan terkait dengan posisi dominan.
Majelis Komisii menyebutkan berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh selama pemeriksaan perusahaan itu pangsa pasar perusahaan ritel itu meningkat menjadi 57,99% (2008) pasca mengakuisisi Alfa Retailindo. Pada 2007, pangsa pasar perusahaan ini sebesar 46,30%. Sehingga secara hukum memenuhi kualifikasi menguasai pasar dan mempunyai posisi dominan, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 17 Ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999.
Berdasarkan pemeriksaan, menurut Majelis KPPU, penguasaan pasar dan posisi dominan ini disalahgunakan kepada para pemasok dengan meningkatkan dan memaksakan potongan potongan harga pembelian barang -barang pemasok melalui skema trading terms. Pasca akuisisi Alfa Retailindo, sambungnya, potongan trading terms kepada pemasok meningkat dalam kisaran 13%-20%. Pemasok, menurut majelis komisi, tidak berdaya menolak kenaikan tersebut karna nilai penjualan pemasok di Carrefour cukup Signifikan.
Kesimpulannya :
Pelanggaran etika bisnis dapat melemahkan daya siang hasil industri dipasar internasional. Ini bisa terjadi sikap para pengusaha kita. Kecendrungan makin banyaknya pelanggaran etika bisnis membuat keprihatinan banyak pihak. Pengabaian etika bisnis dirasakan akan membawa kerugian tidak saja buat masyarakat, tetapi juga bagi tatanan ekonomi nasional. Disadari atau tidak, para pengusaha yang tidak memperhatikan etika bisnis akan menghancurkan nama mereka sendiri dan negara.
Kasus PT PLN
Dalam hal ini PT. PLN sudah seharusnya dapat memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakat, dan mendistribusikannya secara merata.
Usaha PT. PLN termasuk ke dalam jenis monopoli murni. Hal ini ditunjukkan karena PT. PLN merupakan penjual atau produsen tunggal, produk yang unik dan tanpa barang pengganti yang dekat, serta kemampuannya untuk menerapkan harga berapapun yang mereka kehendaki.
Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa sumber daya alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sehingga. Dapat disimpulkan bahwa monopoli pengaturan, penyelengaraan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan sumber daya alam serta pengaturan hubungan hukumnya ada pada negara. Pasal 33 mengamanatkan bahwa perekonomian Indonesia akan ditopang oleh 3 pemain utama yaitu koperasi, BUMN/D (Badan Usaha Milik Negara/Daerah), dan swasta yang akan mewujudkan demokrasi ekonomi yang bercirikan mekanisme pasar, serta intervensi pemerintah, serta pengakuan terhadap hak milik perseorangan. Penafsiran dari kalimat “dikuasai oleh negara” dalam ayat (2) dan (3) tidak selalu dalam bentuk kepemilikan tetapi utamanya dalam bentuk kemampuan untuk melakukan kontrol dan pengaturan serta memberikan pengaruh agar perusahaan tetap berpegang pada azas kepentingan mayoritas masyarakat dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Contoh kasus monopoli yang dilakukan oleh PT. PLN adalah:
2. Krisis listrik memuncak saat PT. Perusahaan Listrik Negara (PT. PLN) memberlakukan pemadaman listrik secara bergiliran di berbagai wilayah termasuk Jakarta dan sekitarnya, selama periode 11-25 Juli 2008. Hal ini diperparah oleh pengalihan jam operasional kerja industri ke hari Sabtu dan Minggu, sekali sebulan. Semua industri di Jawa-Bali wajib menaati, dan sanksi bakal dikenakan bagi industri yang membandel. Dengan alasan klasik, PLN berdalih pemadaman dilakukan akibat defisit daya listrik yang semakin parah karena adanya gangguan pasokan batubara pembangkit utama di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yaitu di pembangkit Tanjung Jati, Paiton Unit 1 dan 2, serta Cilacap. Namun, di saat yang bersamaan terjadi juga permasalahan serupa untuk pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) PLTGU Muara Tawar dan PLTGU Muara Karang.
Dikarenakan PT. PLN memonopoli kelistrikan nasional, kebutuhan listrik masyarakat sangat bergantung pada PT. PLN, tetapi mereka sendiri tidak mampu secara merata dan adil memenuhi kebutuhan listrik masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya daerah-daerah yang kebutuhan listriknya belum terpenuhi dan juga sering terjadi pemadaman listrik secara sepihak sebagaimana contoh diatas. Kejadian ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit bagi masyarakat, dan investor menjadi enggan untuk berinvestasi.
Kesimpulan :
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) telah melakukan tindakan monopoli, yang menyebabkan kerugian pada masyarakat. Tindakan PT. PLN ini telah melanggar Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Contoh praktik monopoli secara ilegal ialah sebagai berikut:
1. Kartel Penetapan Layanan Tarif Short Message Service (SMS)
harga tarif SMS Rp 350/SMS, konsumen dirugikan mencapai Rp 2,827 triliun.
Keenam perusahaan operator seluler tersebut diantaranya PT Excelcomindo Pratama Tbk (XL), PT Telkomsel, PT Telkom, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Mobile-8 Telecom Tbk dan PT Smart Telecom yang telah dihukum denda oleh KPPU.
Namun hingga sampai saat ini, kerugian konsumen yang mencapai Rp 2,827 triliun belum bisa ditemukan cara pengembalian ganti kerugiannya.
2. Kartel Garam
Praktik kartel garam ini berhasil dibongkar KPPU mulai 2005. Garam yang "dimainkan" adalah bahan baku garam yang dipasok di Sumatera Utara. Pelakunya hanya beberapa perusahaan atau pengusaha. Hingga kini KPPU masih melakukan pengawasan ketat agar kartel jenis ini tak terjadi lagi.
3. Kartel minyak goreng curah
Berdasarkan Putusan KPPU No 24/KPPU-I/2009 yang ditetapkan pada 4 Mei 2010, diputuskan ada price pararelism harga minyak goreng kemasan dan curah, dimana 20 produsen minyak goreng terlapor selama April-Desember 2008 melakukan kartel harga dan merugikan masyarakat setidak-tidaknya sebesar Rp 1,27 triliun untuk produk migor kemasan bermerek dan Rp 374.3 miliar untuk produk migor curah.
Namun keputusan KPPU tersebut kandas di tangan Mahkamah Agung (MA) yang menolak keputusan KPPU tersebut atas keberatan yang dilakukan 20 produsen minyak goreng yang menjadi terlapor.
4. Kartel Obat Hipertensi jenis amplodipine besylate
kelompok usaha Prizer yang menjadi terlapor membayar denda Rp25 miliar.
Sedangkan Dexa Medica dinilai bersalah melakukan kartel penetapan harga dan dihukum membayar denda Rp 20 miliar dan diperintahkan perusahaan farmasi nasional untuk menurunkan harga tensivask sebesar 60% dari harga neto apotek.
5. Kartel penetapan harga tiket dalam Fuel Surcharge
Berdasarkan putusan KPPU No.25/KPPU/2010 Tanggal 4 Mei, memutuskan menghukum sembilan maskapai diantaranya PT Sriwijaya, PT Metro Batavia (Batavia Air), PT Lion Mentari Airlines (Lion Air), PT Wings Abadi Airlines (Wings Air), PT Merpati Nusantara Airlines, PT Travel Express Aviation Service dan PT Mandala Airlines bersalah telah melakukan kartel dengan melakukan kesepakatan harga patokan avtur selama 2006-2009. Praktek tersebut menyebabkan konsumen merugi hingga Rp 13,8 triliun. KPPU pun menghukum sembilan maskapai dengan ganti rugi total sebesar Rp 586 miliar.
Namun Mahkamah Agung menolak keputusan MA atas gugatan keberatan sembilan maskapai atas putusan KPPU tersebut.
7) Alasan Indonesia menerapkan Undang-Undang Anti Monopoli
Prospek UU No. 5 Tahun 1999 Dalam Mencegah Terjadinya Praktek Monopoli Tujuan UU Antimonopoli Indonesia adalah menjaga kepentingan umum, meningkatkan efisiensi ekonomi nasional, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan iklim usaha yang kondusif melalui persaingan sehat, mewujudkan kegiatan usaha yang efektif dan efisien dengan melarang monopoli.
·
Penetapan Harga
Ketentuan pasal 5 ayat 1 adalah apa yang dikenal dengan larangan price fixing secara horisontal. Ketentuan pasal 5 ayat 1 tersebut adalah suatu larangan yang per se. artinya, para pelaku usaha otomatis ditindak oleh KPPU, jika mereka membuat perjanjian penetapan harga, tanpa memperhatikan apakah akan terjadi persaingan usaha tidak sehat atau tidak sebagai akibat penetapan harga tersebut, karena yang mengalami akibat dari perjanjian tersebut adalah konsumen/ pembeli.
Dengan demikian harga yang di bayar oleh konsumen / pembeli bukanlah harga yang ditentukan oleh persaingan antar pelaku usaha, dan melalui proses antara permintaan dan penawaran, melainkan karena ditetapkan oleh para pelaku usaha yang membuat perjanjian price fixing tersebut.
Penetapan harga suatu barang atau jasa tertentu ditetapkan berdasarkan banyak faktor, dan dalam sistem ekonomi pasar penetapan harga juga ditentukan oleh persaingan antar pelaku usaha pesaing. Menurut prinsip dasar persaingan usaha, harga atas suatu barang atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen tidak boleh ditetapkan oleh siapapun, termasuk asosiasi-asosiasi ekonomi seperti INACA.
· Diskriminasi Harga dan Diskon
Larangan penetapan diskriminasi (price discrimination) disebutkan dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999. Pasal 6 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 tersebut, diskriminasi harga dilarang apabila pelaku usaha membuat suatu perjanjian dengan pelaku usaha lain yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar harga yang tidak sama atau berbeda dengan harga yang harus dibayar pembeli lain untuk barang dan/atau jasa yang sama, karena hal ini dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat di kalangan pelaku usaha atau dapat merusak persaingan usaha.
Dalam hal ini terdapat tiga jenis dan tingkatan strategis diskriminasi harga, di mana setiap tingkatan menuntut informasi yang berbeda mengenai konsumen, yaitu:
Di mana produsen akan menetapkan harga yang berbeda untuk setiap konsumen. Dengan menerapkan strategi ini, produsen akan menyerap seluruh surplus konsumen, sehingga dapat mencapai laba yang paling tinggi.
Diskriminasi tingkat harga kedua,
Pada strategi ini produsen menerapkan harga yang berbeda untuk setiap pembelinya berdasarkan jumlah barang yang dibeli. Pembeli yang bersedia membeli barang lebih banyak diberikan harga per unit yang lebih murah.
Diskriminasi harga umumnya ditetapkan produsen yang mengetahui bahwa permintaan atas produk mereka beragam secara sistematik berdasarkan karakteristik konsumen dan kelompok demografis.
· Pembagian Wilayah Pasar
Pembagian wilayah pasar di antara pelaku usaha yang saling bersaing merupakan salah satu bentuk perjanjian horisontal (kartel) yang dilarang oleh UU Antimonopoli. Ketentuan pasal 9 menetapkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau lokasi pasar terhadap barang dan/ atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat. Unsur yang harus dipenuhi dari ketentuan pasal 9 adalah bahwa pelaku usaha harus saling bersaing pada pasar yang sama dan membuat suatu perjanjian pembagian wilayah pemasaran. Akibat dari kesepakatan pembagian wilayah pemasaran tersebut, wilayah pemasaran masing-masing pelaku usaha menjadi terbatas.
·
Pemboikotan
·
Penetapan Jumlah Produksi
Ketentuan pasal 11 mengatur larangan pengaturan jumlah produksi dan / atau pemasaran suatu barang atau jasa tertentu yang bermaksud untuk mempengaruhi harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan / atau persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan pasal 11 tersebut dapat dikenakan, jika pelaku usaha yang saling bersaing membuat perjanjian yang menetapkan jumlah produksi atau pemasaran barang tertentu. Perjanjian tersebut harus mempunyai tujuan, yaitu untuk melakukan kegiatan koordinasi produksi dan pemasaran yang mempengaruhi harga barang atau jasa tertentu yang mengganggu (menghambat) persaingan pada pasar yang bersangkutan. Unsur-unsur ketentuan pasal 11 adalah:
Adanya perjanjian di antara pelaku usaha Mengatur jumlah produksi
Mengatur pemasaran suatu barang dan/atau jasa Bermaksud untuk mempengaruhi harga
Dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
· Persekongkolan
Persekongkolan yang ditetapkan di dalam pasal 22 sampai pasal 24 mengenai pengaturan tender, tukar menukar informasi, dan hambatan masuk pasar menunjukkan bahwa UU Antimonopoli juga mengenal unsur yang disebut saling menyesuaikan perilaku pasar pelaku usaha (kegiatan kolusif).
Persekongkolan merupakan perjanjian horisontal yang dilakukan tanpa membuat suatu perjanjian tertulis. Sejauh mana pembuktian suatu kegiatan persekongkolan, dapat dilihat dari kondisi pasar yang bersangkutan, yaitu terhambatnya persaingan diantara pelaku usaha karena penyesuaian perilaku pelaku usaha yang satu yang diikuti secara sengaja (sadar) oleh pelaku usaha yang lain untuk mencapai tujuan yang sama.
tender. Yang menjadi penghambat dalam penerapan pasal 22 tersebut adalah ketentuan pasal 1 angka 8, yang menetapkan bahwa persekongkolan atau konspirasi bentuk kerja sama antara pelaku usaha yang satu dengan yang lain untuk menguasai pasar yang bersangkutan bagi pelaku usaha yang bersekongkol.
Ketentuan pasal 23 mengatur hambatan persaingan melalui tukar menukar informasi antara pelaku usaha dengan pihak lain (pihak ketiga). Diasumsikan pihak ketiga memberikan informasi pelaku usaha yang bersifat rahasia secara strategis yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat.
Persekongkolan yang ditetapkan pasal 24 sebenarnya adalah suatu larangan tindakan pemboikotan seperti yang ditetapkan di dalam pasal 10. Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan / atau pemasaran barang dan / atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan barang atau jasa pesaingnya berkurang pada pasar yang bersangkutan, baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Dalam aspek perilaku ini ditelusuri bentuk praktek yang tidak lazim dilihat dan standar persaingan yang sehat dan jujur. Berbagai tindakan dan upaya secara tidak sehat untuk menyingkirkan pelaku usaha lainnya (misalnya trust, kartel, price fixing, diskriminasi harga, pembagian wilayah, dll) biasa dimasukkan kedalam praktek monopoli dan persaingan tidak sehat.
Monopoli dan Persaingan Usaha merupakan hal biasa dalam kegiatan ekonomi. Sejauh kegiatan itu dilakukan dalam rambu-rambu hukum, implikasi penerapan monopoli dan persaingan usaha tidak bisa dihindari dalam mekanisme ekonomi pasar. Hanya bedanya apa yang terjadi sebelum adanya Undang-undang No.5 Tahun 1999 praktek-praktek monopoli maupuan persaingan tidak diatur dalam koridor hukum yang seharusnya.
dalam satu kitab per undang-undangan baik itu mengenai Undang-undang Anti Monopoli maupun peraturan perundangan yang menyangkut persaingan usaha atau Competition Act.
Penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia diserahkan kepada Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU), selain keterlibatan aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Penegakan pelanggaran hukum persaingan harus dilakukan terlebih dahulu melalui KPPU. penegakan hukum persaingan usaha dapat dilakukan oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan saja. Karena Pengadilan merupakan tempat penyelesaian perkara resmi yang dibentuk oleh negara. Namun untuk hukum persaingan usaha, pada tingkat pertama penyelesaian sengketa antar pelaku usaha tidak dapat dilakukan oleh pengadilan. Alasannya adalah karena hukum persaingan usaha membutuhkan orang-orang yang memiliki latar belakang dan/atau mengerti betul seluk beluk bisnis dalam rangka menjaga mekanisme pasar.
Pelaksanaan Undang-undang No.5 Tahun 1999 yang akan diterapkan pada pelaku usaha yang melakukan praktek monopoli maupun praktek persaingan curang harus dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan efektifitas yang tepat. Sehingga tidak mengganggu kepentingan efisiensi jalannya ekonomi negara secara keseluruhan, tetapi tetap harus mengutamakan persaingan usaha yang sehat dan jujur.
8) Bentuk usaha yang dilarang di Indonesia 1. Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha
2. Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
b. Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c. Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
d. Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu. 4. Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5. Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
6. Jabatan Rangkap
7. Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
8. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan