PERENCANAAN GEOMETRI JALAN REL KERETA API TRASE KOTA PINANG – MENGGALA STA 104+000 – STA 147+200 PADA RUAS RANTAU PRAPAT – DURI II
PROVINSI RIAU
Disusun Oleh Vicho Pebiandi
3106 100 052
Dosen Pembimbing Ir. Wahyu Herijanto, MT, Ph.D
ABSTRAK
Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi terluas di wilayah Sumatera. Memiliki banyak sumber daya alam yang melimpah seperti pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan industria, akan tetapi tidak didukung oleh sarana transportasi yang layak dan memadai. Hampir 84,13% dan 91,25% angkutan penumpang dan barang menggunakan jalan raya sehingga berpotensi merusak jalan raya yang ada karena kelebihan beban. Oleh karena itu dibutuhkan moda transportasi alternatif untuk membantu mengurangi beban jalan raya yaitu moda trnasportasi jalan rel guna kelancaran arus distribusi barang dan jasa.
Dalam tugas akhir ini dilakukan pemilihan trase, perencanaan geometrik, perencanaan konstruksi jalan rel dan analisa volume timbunan. Pemilihan trase didasarkan pada desain kecepatan rencana kerta api. Perencanaan geometrik menggunakan metode Railways Management and Engineering. Konstruksi jalan rel merujuk peraturan PD-10 PJKA (1986). Terakhir melakukan perhitungan timbunan yang akan digunakan.
Dalam prosesnya, metodologi yang digunakan adalah pengumpulan data-data sekunder, identifikasi masalah, studi literature dan analisa data perencanaan berupa analisa kecepatan rencana, analisa rel dan analisa bantalan yang akan digunakan.
Hasil yang diperoleh dari tugas akhir ini adalah perencanaan trase jalan kereta api baru sebagai moda tranportasi alternatif sepanjang ± 69 km dari Kota Pinang – Menggala. Sehingga bias dijadikan saran pembandingbagi Pemernintah Provinsi Riau dalam membangun jalan rel kedepannya.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem jaringan jalan rel di Indonesia masih sangat terbatas baik dari segi kualitas maupun segi kuantitas. Dengan panjang rute lebih kurang 4900 km di pulau Jawa dan hanya sekitar 2100 km di Sumatera, Indonesisa masih sangat tertinggal dari negara – negara lain terutama di kawasan Asia. China memiliki
75.000 km jalan rel, Jepang memilki panjang jalan rel 23.670 km. Padahal apabila dianalisa moda transportasi jalan rel sangat menjanjikan. Hal ini sangat cocok dengan kondisi negara kita yang memiliki jumlah penduduk besar yakni 220.054.541 juta jiwa
(2000). Sebagai salah satu negara terbanyak penduduknya, moda transportasi jalan rel menjadi pilihan bagi masyarakat. Selain relatif murah, bisa digunakan untuk mengangkut penumpang orang dan barang dalam jumlah yang besar. Karena hampir 40% jumlah penduduk berada di pulau Jawa, maka mereka memiliki banyak pilihan moda trasportasi. Kondisi jalan rel di pulau Jawa sendiri mengalami kemajuan yang signifikan di bandingkan di Sumatera. Hal ini terbukti dengan pembangunan jalur dua arah (double
track) yang sedang dilaksanakan,
pemeliharaan rel secara berkala dan lain
sebagainya. ( www.google.com/situs-BPS
Pusat, 2009).
Pada saat ini, di Sumatera sendiri sistem dan manajemen perkeretaapian belum optimal karena jaringan jalan rel yang ada belum tersambung antar provinsi secara keseluruhan. Di Sumatera terdapat jaringan jalan rel mulai dari jalur Ulee Lheue – Banda Aceh yang dibangun oleh Deli Spoorwegen Maatschappij (DSM) pada tahun 1876. Kemudian pada tahun 1891 dibangun jalur Puluaer – Bukittinggi Sumatera Barat oleh Staatschappij (SS) dan terakhir pada tahun 1914 jalur Panjang – Tanjung Karang Sumatera Selatan oleh Staatschappij (SS). Selama masa pendudukan Jepang tidak ada sama sekali penambahan jalan rel di Sumatera. Kemudian, dilanjutkan dengan beberapa pembangunan jalur oleh pemerintah Indonesia di daerah Sumatera Utara, penambahan jalur di daerah Sumatera Barat dan sebagian di Sumatera Selatan dan Lampung. Sedangkan di Provinsi Riau, Jambi dan Bengkulu belum terdapat jaringan jalan rel.
Oleh karena itu, muncul ide pemerintah untuk menyambung seluruh provinsi di
Sumatera dengan program Trans Sumatera
Railways agar diperoleh manfaat yang optimal. Sesuai dengan arahan pengembangan Kereta Api Sistem Transportasi Nasional- KM 49-2005 diharapkan di masa yang akan datang perkembangan dan pembangunan jaringan kereta api memperhatikan perkiraan arus penumpang dan barang , kapasitas lintas dan kondisi jaringan kereta api yang ada. Dan perwujudan jaringan lintas kereta api tidak hanya dititikberatkan di Pulau Jawa, tetapi juga di Pulau Sumatera, dan angkutan barang di Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi. Hampir 82% transportasi di Sumatera mengandalkan jaringan jalan raya. Ada 4 jalan nasional yang terdapat di Sumatera. Jalan Lintas Barat Sumatera yang melalui Sumatera Barat, Bengkulu dan Lampung. Jalan Lintas Tengah yang menghubungkan Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung. Jalan Lintas Timur Sumatera yang menjadi pilihan pengguna jalan dan menjadi jalur lalu lintas terpadat membelah dari NAD, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung. Dan Jalan Lintas Pantai Timur terdapat di provinsi Lampung.
Dalam beberapa tahun terakhir ini, pemerintah mulai menambah kapasitas dan jumlah jalan rel khususnya Sumatera terutama di Provinsi Riau. Dengan jumlah penduduk lebih dari 4.764.205 jiwa, kepadatan penduduk 55,10 jiwa/km, provinsi Riau merupakan salah satu daerah strategis untuk proyek pengembangan jalan rel. Selain sebagai salah satu penghasil minyak bumi terbesar di Indonesia dengan produksi 157.765.423 barel per tahun, hasil – hasil perkebunan seperti kelapa sawit yang menghasilkan 4.659.678,72 ton per tahun dan karet 415.905,62 ton menjadi bahan pertimbangan dan dasar pengembangan sehingga tidak terjadi kendala dalam hal pendistribusiannya. Selain hal di atas terdapat 109 perusahaan makanan dan minuman, 3 perusahaan industri kertas, 2 perusahaan industri kimia,10 perusahaan industri karet, 21 perusahaan industri kayu dan anyaman dan 8 perusahaan industri alat angkutan. Sektor Perikanan dengan produksi 99.188,2 ton hasil perikanan laut dan budi daya, 38.675,5 ton produksi hasil perairan
umum, tambak dan kolam (sumber Riau dalam
Jalan rel merupakan moda transportasi alternatif jika melihat potensi yang dimiliki Provinsi Riau. Distribusi sumber daya alam seperti kehutanan, perkebunan, pertanian, dan pertambangan pada saat ini dilakukan melalui angkutan jalan 84,13% untuk angkutan penumpang dan 91,25% untuk angkutan barang. ( Departemen Perhubungan,2007). Dari data disebutkan bahwa lebih dari 1000 km jalan di Provinsi Riau rusak. Dengan rincian, jalan nasional sepanjang 1126,11 km, 344,56 km (30,58%) rusak dan 68 km belum diaspal. Jalan provinsi sepanjang 2162,82 km, 998,18 km rusak dan 1103 km belum diaspal (sumber www.google.com/portal-situs-provinsi-riau, 2007). Selaras dengan itu, perkembangan industri otomotif semakin pesat sehingga memungkinkan diciptakannya kendaraan bermotor untuk mengangkut beban yang jauh lebih besar. Tetapi kemampuan pemerintah untuk meningkatkan daya dukung jalan guna menampung permintaan yang ada sangatlah terbatas sehingga sering terjadi kerusakan jalan lebih cepat dari umur rencana. Maka cara yang dapat dilakukan dalam menangani distribusi angkutan barang ini adalah dengan membuat alternatif moda lain yang mampu difungsikan sebagai angkutan massal yaitu pengembangan jaringan jalan rel di Provinsi Riau. Dan pembangunan jalan rel ini dititik beratkan pada angkutan barang
diikuti dengan penyediaan angkutan
penumpang.
Adapun tujuan yang akan dicapai dalam pembangunan jaringan jalan rel di Provinsi Riau antara lain dari aspek ekonomi ialah mendukung pembangunan ekonomi di wilayah Provinsi Riau yang relatif kurang
berkembang karena aksesbilitas dan
infrastruktur yang kurang sehingga diharapkan taraf hidup masyarakat bisa meningkat pula. Dari aspek sosial ialah terbukanya lapangan kerja bagi penduduk setempat baik pada saat pembangunan maupun pengoperasionalannya. Dan dari aspek transportasi ialah berkurangnya kerusakan konstruksi jalan raya dan pemakaian energi dalam jumlah yang besar dengan adanya perpindahan angkutan barang dari jalan raya ke jalan rel.
Pada tulisan ini, penulis akan mencoba mendesain geometri jalan rel ruas Kota Pinang-Menggala sepanjang 69 km pada trase Rantau Prapat – Duri. Jalur ini dipilih untuk karena pada lokasi ini terdapat berbagai permasalahan kondisi jalan rel seperti
topografi wilayah yang bermacam - macam. Penulis berharap tulisan ini dapat menjadi masukan dan pembanding bagi pemerintah
Provinsi Riau untuk pengembangan
transportasi jalan rel di Provinsi Riau.
1.2 Perumusan Masalah
Hal-hal yang menjadi permasalahan dalam proposal Tugas Akhir adalah :
1. Bagaimana trase jalan kereta api yang baik dan efisien untuk jalan ganda?.
2. Bagaimana bentuk alinemen jalan
kereta api yang sesuai dengan persyaratan yang ada?.
3. Merencanakan susunan jalan rel
4. Menghitung volume timbunan yang
diperlukan dalan perencanaan.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari Tugas Akhir ini adalah:
1. Merencanakan trase jalan kereta api jalur yang baru dan efisien.
2. Mendapatkan alinemen geometri jalan
kereta api yang sesuai dengan persyaratan.
3. Mendapatkan volume timbunan yang
diperlukan dalam perencanaan.
1.4 Batasan Masalah
Batasan masalah dari Tugas Akhir ini adalah:
1. Data yang dipakai adalah data
sekunder
2. Daerah perencanaan hanya antara
Kota Pinang – Menggala
3. Dalam tugas akhir ini tidak membahas
persinyalan, jembatan maupun
infrastruktur kereta api lain (stasiun, dipo, rumah sinyal).
4. Tidak dilakukan perhitungan kekuatan
timbunan jalan KA baru.
5. Tidak melakukan perhitungan sistem drainase.
6.
1.5 Manfaat
Pada akhirnya setelah
dapat memanfaatkan angkutan ini sebagai alternative. angkutan massal baru yang kedepannya diharapkan juga menjadi angkutan masyarakat antar kota maupun antar provinsi.
1.6 Lokasi
Lokasi pembangunan jalur kereta api barada pada km 78. Rencana lokasi dapat dilihat pada gambar 1.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Geometrik Jalan Rel
Geometrik jalan direncanakan
berdasar pada kecepatan rencana serta ukuran-ukuran kereta yang melewatinya dengan
memperhatikan factor keamanan,
kenyamanan, ekonomi dan keserasian dengan lingkungan sekitarnya.
2.1.1 Lebar Sepur
Untuk seluruh kelas jalan rel lebar sepur adalah 1435 mm yang merupakan jarak terkecil antara kedua sisi kepala rel, diukur pada daerah 0-14 mm di bawah permukaan teratas kepala rel.
2.1.2 Lengkung Horisontal
Alinyemen horizontal adalah proyeksi sumbu jalan rel pada bidang horizontal. Alinyemen horizontal terdiri dari garis lurus dan lengkungan.
a. Lengkung Lingkaran
Dua bagian lurus yang perpanjangannya
saling membentuk sudut harus
dihubungkan dengan lengkung berbentuk lingkaran, dengan atau tanpa lengkung-lengkung peralihan. Untuk berbagai
kecepatan rencana, besar jari-jari
minimum yang diijinkan adalah seperti tercantum dalam tabel berikut:
Grafik 2.1 Grafik Persyaratan perencanaan lengkungan
Sumber: hasil perhitungan
Dengan satuan praktis:
R = jari-jari lengkung horisontal (m) V = kecepatan rencana (km/jam)
h = peninggian rel dalam lengkung horisontal (maks= 120 mm)
Dengan peninggian maksimum, hmax = 120 mm
maka dan daya dukung komponen jalan rel:
a =
dengan percepatan sentrifugal max 0,0478 g (dimana penumpang masih merasa nyaman) dan peninggian
maksimum, hmax = 110 mm maka
persamaan menjadi: R min = 0,054 V2 Dimana:
a = percepatan sentrifugal (m/dt2) g = percepatan gravitasi (m/det2)
b. Lengkung Peralihan
Lengkung peralihan adalah suatu lengkung dengan jari-jari yang berubah beraturan. Lengkung peralihan dipakai sebagai peralihan antara bagian yang lurus dan bagian lingkaran dan sebagai peralihan antara dua jari-jari lingkaran yang berbeda. Panjang minimum dari lengkung peralihan ditetapkan dengan rumus berikut: lengkung peralihan
( m )
l = panjang proyeksi lengkung peralihan ( mm )
R = jari-jari lengkung horizontal ( km/jam )
c. Lengkung S
Lengkung S terjadi bila dua lengkung dari suatu lintas yang berbeda arah lengkungnya terletak bersambungan. Antara kedua lengkung yang berbeda ini
harus ada bagian lurus sepanjang paling sedikit 20 meter di luar lengkung peralihan.
d. Pelebaran Sepur
Pelebaran sepur dilakukan agar roda kendaraan rel dapat melewati lengkung tanpa mengalami hambatan. Pelebaran sepur dicapai dengan menggeser rel dalam ke arah dalam. Besar pelebaran sepur untuk berbagai jari-jari tikungan adalah seperti yang tercantum dalam tabel berikut
Tabel 2.1 Pelebaran Sepur Pelebaran
Pelebaran sepur maksimum yang diijinkan adalah 20 mm
Pelebaran sepur dicapai dan dihilangkan secara berangsur sepanjang lengkung peralihan.
e. Peninggian Rel
Pada lengkungan, elevasi rel luar dibuat lebih tinggi daripada rel dalam untuk mengimbangi gaya sentrifugal yang dialami oleh rangkaian kereta.
Peninggian rel dicapai dengan
menempatkan rel dalam pada tinggi
Peninggian rel dicapai dan dihilangkan secara berangsur sepanjang lengkung peralihan. Untuk tikungan tanpa lengkung peralihan peniggian rel dicapai secara berangsur tepat di luar lengkung lingkaran sepanjang suatu panjang peralihan.
2.1.3 Kelandaian
a. Pengelompokan Lintas
kelompok seperti yang tercantum pada tabel berikut:
Tabel 2.2 Pengelompokan lintas berdasarkan pada kelandaian
Sumber:Peraturan Dinas PJKA,1986
b. Landai Penentu
Landai penentu adalah suatu kelandaian (pendakian) yang terbesar yang ada pada suatu lintas lurus. Besar landai penentu terutama berpengaruh pada kombinasi daya tarik lokomotif dan rangkaian yang dioperasikan. Untuk masing-masing kelas jalan rel, besar landai penentu adalah seperti yang tercantum dalam berikut
Tabel 2.3 Landai penentu maksimum Kelas jalan
Dalam keadaan yang memaksa kelandaian (pendakian) dari lintas lurus dapat melebihi landai penentu. Kelandaian ini disebut landai curam. Panjang maksimum landai curam dapat ditentukan melalui rumus pendekatan sebagai berikut:
I = Va2-Vb2 diijinkan di kaki landai curam ( m/detik ) Vb = kecepatan minimum di puncak
2.1.4 Kelandaian Pada Lengkung atau
Terowongan
Apabila di suatu kelandaian terdapat lengkung atau terowongan, maka kelandaian di lengkung atau terowongan itu harus dikurangi sehingga jumlah tahanannya tetap.
2.1.5 Lengkung Vertikal
Alinyemen vertikal adalah proyeksi sumbu jalan rel pada bidang vertikal yang melalui sumbu jalan rel tersebut. Alinyemen vertical terdiri dari garis lurus, dengan atau tanpa kelandaian, dan lengkung vertikal yang berupa busur lingkaran.
2.1.6 Penampang Melintang
Penampang melintang jalan rel adalah potongan pada jalan rel, dengan arah tegak lurus sumbu jalan rel, dimana terlihat bagian-bagian dan ukuran jalan rel dalam arah melintang.
2.2 Susunan Jalan Rel
2.2.1 Tipe dan karakteristik penampang 1) Tipe rel untuk masing – masing kelas jalan tercantum pada tabel berikut:
Tabel 2.6 Kelas Jalan dan tipe relnya.
2) Komposisi Kimia
Komposisi kimia rel tercantum pada tabel berikut
kg/mm2 dengan perpanjangan
minimum 10% 4) Kekerasan rel
garis netral
a
2.2.3 Jenis rel menurut panjangnya
Menurut panjangnya dibedakan tiga jenis rel, yaitu :
1) Rel standar adalah rel yang panjangnya 25 meter
2) Rel pendek adalah rel yang panjangnya maksimal 100 meter
3) Rel panjang adalah rel yang panjang tercantum minimumnya pada tabel 2.11 2.2.4 Sambungan rel
Sambungan rel adalah konstruksi yang mengikat dua ujung rel sedemikian rupa sehingga operasi kereta api tetap aman dan nyaman.
2.2.4.1 Macam sambungan
Dari kedudukan terhadap bantalan dibedakan dua macam sambungan rel, yaitu :
a) Sambungan melayang
b) Sambungan menumpu
2.2.4.2 Penempatan sambungan di sepur a ) Penempatan secara siku (gambar 6.11) di
mana kedua sambungan berada pada satu garis yang tegak – lurus terhadap sumbu sepur.
b ) Penempatan secara berselang – seling (gambar 6.12) di mana kedua sambungan rel tidak berada pada satu garis yang tegak lurus terhadap sumbu sepur.
2.2.4.3 Kedudukan rel
Kecuali pada wesel dan di emplasemen dengan kecepatan kereta lambat, rel dipasang miring ke dalam dengan kemiringan 1 : 40 ( gambar 6.13 )
Gambar 2.9 Rel dipasang miring ke dalam. Kemiringan (tg α) 1 : 40
2.2.4.4 Pelat penyambung
1) Sepasang pelat penyambung harus sama
panjang dan mempunyai ukuran yang sama.
2) Bidang singgung antara pelat
penyambung dengan sisi bawah kepala
rel dan sisi atas kaki rel harus sesuai kemiringannya, agar didapat bidang geser yang cukup.
Kemiringan tepi bawah kepala rel dan tepi atas rel tercantum pada tabel berikut:
2.2.5 Wesel
Fungsi wesel adalah untuk mengalihkan kereta dari satu sepur ke sepur yang lain.
2.2.5.1 Jenis wesel 1) Wesel biasa (a) Wesel biasa
(b) Wesel dalam lengkung
2) Wesel tiga jalan (a) Wesel biasa (b) Wesel tergeser
3) Wesel Inggris
Wesel inggris adalah wesel yang dilengkapi dengan gerakan – gerakan lidah serta sepur – sepur bengkok.
2.2.5.2 Komponen Wesel
a. Lidah
Lidah dapat berputar atau berpegas terhadap akarnya dan disebut wesel dengan lidah berputar atau wesel dengan lidah berpegas. Ujung lidah dapat digeser dengan suatu pembalik wesel. Penggeseran lidah itu untuk menghubungkan sepur lurus dengan sepur bengkok. Gerakan itu disebut membalik wesel.
b. Jarum dan sayap-sayapnya
Jarum adalah bagian wesel yang memberi kemungkinan kepada flens roda melalui perpotongan bidang-bidang jalan yang terputus antara dua rel. c. Rel latak
Suatu rel yang diperkuat badannya yang berguna untuk bersandarnya lidah-lidah wesel. d. Rel paksa
Dibuat dari rel biasa yang kedua ujungnya dibengkok ke dalam. Rel paksa luar biasanya dibaut pada rel latak dengan
menempatkan blok pemisah
e. Sistem penggerak atau pembalik wesel
Pembalik wesel adalah
mekanisme untuk menggerakkan ujung lidah.
2.3 Penambat Rel
Penambat rel adalah suatu komponen yang menambatkan rel pada bantalan sedemikian rupa sehingga kedudukan rel adalah tetap, kokoh dan tidak bergeser.
Pada suatu konstruksi penambat rel yang sempurna diperlukan adanya:
a) Kekuatan penjepitan (
vertical clamping forces ) b) Kekuatan puntiran ( torsion
resistance )
c) Kemampuan menghadapi
perambatan ( rail creep
resistance )
2.3.1 Jenis penambat
Jenis penambat yang dipergunakan adalah penambat elastik dan penambat kaku. Penambat kaku terdiri atas tirpon, maur dan baut. Penambat elastik terdiri atas dua jenis, yaitu penambat elastik tunggal dan penambat elastik ganda.
Penambat elastik tunggal terdiri dari pelat andas, pelat, atau batang jepit elastik, tirpon, mur, dan baut. Penambat elastik ganda terdiri dari pelat andas, pelat atau batang jepit elastik, alas rel, tirpon, mur dan baut.
Pada bantalan beton, tidak diperlukan pelat andas, tetapi dalam hal ini tebal karet alas (rubber pad) rel harus disesuaikan dengan kecepatan maksimum.
2.3.2 Penggunaan penambat.
Penambat kaku tidak boleh dipakai untuk semua kelas jalan rel. penambat elastik tunggal hanya boleh dipergunakan pada jalan kelas 4 dan kelas 5
penambat elastik ganda dapat dipergunakan pada semua kelas jalan rel, tetapi tidak dianjurkan untuk jalan rel kelas 5.
2.4 Bantalan
Bantalan berfungsi meneruskan beban dari rel ke balas, menahan lebar sepur dan stabilitas ke arah luar jalan rel. Bantalan dapat terbuat dari kayu, baja, ataupun beton. Pemilihan didasarkan pada kelas yang sesuai dengan klasifikasi jalan rel Indonesia
2.4.1 Bantalan kayu
1) Pada jalan yang lurus bantalan kayu mempunyai ukuran :
panjang = L = 2.000 mm tinggi = t = 130 mm lebar = b = 220 mm
2.4.2 Bantalan baja
1) Pada jalur lurus bantalan baja mempunyai ukuran :
Panjang : 2.000 mm
Lebar atas : 144 mm
Lebar bawah : 232 mm
Tebal baja : minimal 7 mm
2.4.3 Bantalan beton Pratekan Blok Tunggal Dengan Proses „Pretension‟
1) Pada jalan lurus, bantalan beton
pratekan dengan proses „pretension‟ mempunyai ukuran panjang :
L = 1 + 2 α Ø
2) Mutu campuran beton harus
mempunyai kuat tekan karakteristik tidak kurang dari 500 kg/cm2, mutu baja untuk tulangan geser tidak kurang dari U – 24 dan mutu baja prategang ditetapkan dengan tegangan putus minimum sebesar 17.000 kg/cm2
2.4.4 Bantalan beton Pratekan Blok Tunggal Dengan Proses „Posttension‟
1) Pada jalur lurus, bantalan beton pratekan dengan proses „posttension‟ mempunyai ukuran panjang :
L = 1 + 2 γ .
2) Mutu campuran beton harus mempunyai
kuat tekan karakteristik tidak kurang dari 500 kg / cm2, mutu baja untuk tulangan geser tidak kurang dari mutu U – 24 dan mutu baja prategang ditetapkan dengan tegangan putus minimum sebesar 17.000 kg/cm2
2.4.5 Bantalan beton Blok Ganda
1) Pada jalur lurus, satu buah bantalan beton blok ganda mempunyai ukuran, sebagai berikut :
Panjang = 700 mm Lebar = 300 mm
Tinggi rata – rata = 200 mm
2.5 Balas
Fungsi utama balas adalah untuk :
1) Meneruskan dan menyebarkan beban
2) Mengokohkan kedudukan bantalan
3) Meluluskan air sehingga tidak
penggenangan air disekitar bantalan dan rel.
2.6 Analisa dan perhitungan volume timbunan
Pemindahan sejumlah volume tanah
akibat adanya perbedaaan ketinggian
(ketinggian muka tanah asli dengan ketinggian rencana trase) di suatu tempat
BAB III
METODOLOGI
Gambar 3.1 Diagram Alir Metodologi
BAB IV
KONSTRUKSI JALAN KA
4.1. Perencanaan Geometrik Jalan KA
4.1.1 Perencanaan Lengkung Horisontal Trase Jalan KA PI-1
Awal 1937,777
Tan α1 =
691
,
2719
829
,
548
= α1 = 11,408 ˚Δ = 11,408˚
Jarak titik awal ke PI-1 = 1937,777 m
Jarak titik PI-1 ke PI-2 =
2
2
548
,
829
691
,
2719
= 2774,514 mV rencana = 200 km/jam R rencana = 4000 m
> h =
R
v
2.
8
,
11
=
4000
200
.
8
,
11
2= 118 mm < h = 120 mm >
144
V
h
Xs
l
l
Xs
163
,
88
meter
144
200
.
118
2
2
10
R
l
l
l
Ls
L
Studi Literatur
Mengumpulkan Data
Mendapatkan Bentuk Trase Jalan KA Baru
Perencanaan Geometrik Jalan KA baru Mulai
Penggunaan Jenis Penambat
Perencanaan Sambungan Rel
Perencanaan Bantalan
Perencanaan Balas
Selesai
Analisa Volume Timbunan
olume dan Biaya
PI-1
548,829 PI-2
s s p=0.279 m
Ys=1,119 mE=20,184 m
TS
Tabel 4.1. Perhitungan lengkung horisontal
4.1.2. Pelebaran sepur
Pelebaran sepur dilakukan agar roda kendaraan rel dapat melewati lengkung tanpa mengalami hambatan. Pelebaran sepur dicapai dengan menggerser rel dalam ke arah dalam. Pelebaran sepur dilakukan jika jari-jari tikungannya kurang dari 600 meter. Dalam perencanaan ini panjang jari-jari lebih dari 600 meter oleh karena itu tidak diperlukan pelebaran sepur.
4.1.3. Perencanaan Lengkung Vertikal Trase Jalan KA pada STA 104+600
Lengkung vertikal berupa busur lingkaran yang menghubngkan dua kelandaian lintas yang berbeda, ditentuka berdasarkan besarnya jari-jari lengkung vertikal dan perbedaan kelandaian. Besarnya jari-jari lengkug vertikal minimum
Tabel 4.3 Hasil perhitungan pada lengkung vertikal
4.2. Penentuan profil rel
Rel merupakan batang yang dipikul oleh penyangga-penyangga (bantalan), maka rel menderita momen pelengkungan. Oleh karena itu momen perlawanannya harus cukup kuat untuk menahan momen lengkungan tersebut. Semakin berat lalu lintas pada jalan kereta api tersebut maka makin dibutuhkan profil rel yang besar.
Persamaan diambil dalam Winkler (1867) Y =
k
P
2
e –λx (cos λx - sin λx)
M =
4
P
e –λx (cos λx + sin λx)dengan:
Pd : beban dinamis roda (ton)
k : modulus elastisitas jalan rel = 180 kg/cm2 λ : dumping factor = 4
k
/(
4
EI
)
Ix : momen inersia rel pada sumbu x-x. E : modulus elastisitas rel = 2,1 x 106 kg/cm2 M = 0 jika cos λx1– sin λx1 = 0
x1 =
4
=4
4
4
k
EI
M maksimum, jika (cos λx1 – sin λx1) = 1, maka
Mo =
4
Pd
transformasi gaya statis roda menjadi gaya dinamis roda digunakan persamaan Talbot sebagai berikut:
V rencana = 200 km/jam Pd = P + 0,01 P (V-5)
Pd = ( 9 + 0,01. 9. ((200/1.609) – 5) ) ton = 19,73707 ton = 19737,07 kg
λ = 4
V : kecepatan kereta api (mil/jam) σ : tegangan yang terjadi pada rel
MI : 0,85 Mo (akibat super posisi beberapa gandar)
Y : jarak tepi bawah rel ke garis netral
Ix : momen inersia terhadap sumbu x-x
σ =
4.3. Perencanaan Bantalan 4.3.1. Data bantalan
Diambil data-data bantalan beton prategang monoblock sleeper of German railways.
Dimensi:
Gambar 4.6.Penampang Melintang Bantalan
4.3.2. Perhitungan bantalan
Perumusan diambil dalam Penjelasan Peraturan Dinas no.10
Luas:
Momen pada daerah di bawah rel:
M = Pd 60 % 1 [2cosh2λa (cos 2λc
+ cosh λL) – 2cos2 λa ( cosh 2λc + cos
Momen pada daerah tengah bantalan:
M = - Pd 60 % 1 [sinh λc
Tegangan yang terjadi menurut VA Profillidis (2006) adalah:
4.3.3. Penentuan jarak bantalan
Beban gandar 18 ton, jadi beban roda: 9 ton Penentuan jarak antar bantalan menggunakan metoda zimermann (1988) dalam Wahyudi, H (1993)
D = koefisien bantalan
D = 0,5 x 0,90 x A x C (untuk gauge 1435
A = luas bidang pikul bantalan
M =
P
L
k
k
*
0
,
25
*
*
10
4
7
8
*
0
,
25
*
9000
*
40
)
10
812
,
102
*
4
(
)
7
812
,
102
*
8
(
= 177222,538 cm
σ ijin ≥
W
M
≥ 3
7
,
293
538
,
177222
cm
kgcm
W
M
= 603,413 kg/cm2 ≤ σ ijin = 1325 kg/cm2…. OK
Dengan demikian pemakaian rel R-60 dengan jarak bantalan 40 cm dan bahan balas batu pecah dapat diterapkan.
4.4. Susunan Jalan Rel
Digunakan sambungan melayang dan penempatan secara siku agar rel lebih elastis. Untuk pelat yang digunakan adalah pelat lurus pada trase yang lurus dan pelat siku pada tikungan.
4.4.1. Penentuan letak lubang baut.
Letak lubang-lubang untuk tempat baut penyambung ditentukan sebagai berikut (dalam Wahyudi, H (1983)) :
Diameter oval (w) = baut + ½ Δ L
= 30 + ½ . 10 = 35 mm
Jarak ujung lubang baut paling tepi dari ujung rel (m) adalah:
m = ½ ( a + d - w ) = ½ ( 160 + 30 - 35 )
= 77,5 mm, dibuat m = 7,8 cm dari tepi rel.
Dimana:
a = jarak antara pusat baut paling ujung dari kedua belah rel
d = diameter baut w = diameter baut oval
4.4.2. Gaya yang bekerja pada baut penyambung
baut pelat penyambung harus kuat menahan gaya sebagai berikut (dalam Penjelasan Peraturan Dinas no.10) :
H = T‟ + T‟‟
M = H (a + b + c) = M‟ + M‟‟ M‟ = H (a + b) = T‟ x b M‟‟ = T‟‟ (a + b) + T‟‟ x c
Dimana :
H = gaya lateral yang bekerja di tengah – tengah pelat penyambung
T‟, T‟‟ = gaya tarik baut sebelah luar dan dalam
M, M‟‟ = momen penahan sebelah dalam dan luar pelat penyambung antara pusat tekanan rel yang akan disambung
M = momen total arah lateral
Dipakai baut dengan diameter () 30 mm, diameter drat (d) 23 mm.
Luas baut Ac = ¼ . π . d
= ¼ . π . 23 2 = 415 mm2
Kekuatan tarik baut No = 0,75 x 4,15 x 4000 = 12450 kg
Kekuatan baut akibat beban bolak balik T = 0,5 x No
Dipakai rel R-60, tekanan roda = 9000 kg untuk jalan kelas III dengan kecepatan maksimum 200 km/jam.
V ren = 200 km/jam didapat momen yang terjadi pada baut (M)
M = H (a + b + c)
Gaya tarik yang bekerja pada baut sisi tengah (T‟)
T‟ = 3912,652 kg < T ....( OK )
Gaya aksial yang bekerja pada baut sisi luar ( T” ) Pengelasan dilakukan secara alumino thermit welding. Pada perencanaan ini digunakan rel R-60. Berikut ini disajikan penentuan rel panjang untuk rel tipe R-60.
Dilatasi Muai
Panjang dilatasi muai ditentukan dengan persamaan berikut
(dalam Penjelasan Peraturan Dinas no.10) : ΔL = L . α . ΔT
dimana:
ΔL : celah pada sambungan rel( mm ), maksimum 10 mm
L : panjang rel ( L )
F : gaya yang timbul akibat pemuaian.
E : modulus Young
Panjang l dapat dihitung dengan persamaan: L =
Untuk mendapatkan panjang minimum rel panjang L > 2L. Untuk rel R-60 dan menggunakan bantalan beton maka panjang rel panjang dimana L dapat dihitung dengan
Panjang rel minimum rel panjang R-60 dengan bantalan beton = 2 x 1 = 2 x 94,7 = 189,4 m. Dibulatkan kelipatan 25 m menjadi 250 m. Untuk menyambung rel-rel pendek menjadi rel panjang digunakan las.
4.5. Penambat Rel
akibat adanya getaran (vibrasi) dengan frekuensi tinggi akibat kereta yang bergerak maka digunakan penambat elastis yang dapat mengurangi pengaruh vibrasi pada rel terhadap bantalan.
Faktor- faktor penggunaan penambat antara lain:
- Pengalaman pemakaian
- Besarnya gaya jepit (clamping force)
- Besarnya nilai rangkak (creep
resistance)
- Kemudahan perawatan
- Pemakaian kembali, jika terjadi
pergantian rel
- Umur dan harga penambat
Pada umumnya ada 2 macam sistem penambat elastis:
a. penambat elastis tunggal. b. Penambat elastis ganda,
Penambat elastik dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a. Daya jepit yang dihasilkan sendiri. Termasuk jenis ini adalah Dorken, Pandrol dan DE Spring Clip
b. Daya jepit dihasilkan oleh bantalan mur-baut atau tirpon.
Termasuk jenis ini adalah Nabla dan tipe F
Selain itu dapat menahan getaran penambat elastik juga mampu menghasilkan gaya jepit (clamping force) yang tinggi dan juga mampu memberikan perlawanan rangkak (creep). Pada penambat elastik ganda selain dipasang penambat elastik dipasang juga alas karet (rubber pad).
Pada jalan kereta api ini digunakan penambat elastik jenis pandrol agar memudahkan dalam pemeliharaan. Daya jepit yang mampu dihasilkan penambat ini adalah 24,5 KN (2.498 kg) perpasang.
Alas karet yang dipasang harus
mampu menahan gaya rangkak (creep)
meredam tegangan gaya vertikal yang bekerja ke arah bawah, melindungi permukaan bantalan, serta mempunyai daya listrik yang cukup untuk pemisah rel dari bantalan.
Perhitungan:
- Alat penambat elastis : Pandrol clip tipe PR 300
- Daya jepit : 2498 kg/pasang - Jumlah pandrol tiap 2,20 m ( jarak gandar )
n =
40
220
= 5,5 6 pasangKuat jepit pandrol = 6 x 2498 = 14988 kg/pasang
- Gaya yang terjadi pada alat penambat : a. Akibat pemuaian ( sepanjang daerah muai 250 m )
F1 =
L
A
E
L
.
.
= 10,7.10-3 * 2,1 .106 * 64,34
250
F1 = 6232,28 kg
Tiap jarak gandar ( 2,20 m ) F1 = 6232,28 x 2,2 = 54,84 kg 250
b. Akibat beban roda F2 = f * Pd
f = koefisien geser rel yang tergantung pada kecepatan kereta api.
V = 200 km/jam f = 0,58
V ren = 200 km/jam
F2 = 0,58 [ 9000 + 0,01 . 9000 ((200/1,69) – 5)]
F2 = 0,58 [ 19200,88 ] = 11136,51 kg
Ft = F1 + F2
= 54,84 + 11136,51
= 11191,35 kg < ( kuat jepit 14988 kg )...OK
Jadi penambat jenis pandrol dapat digunakan dalam perencanaan ini
4.6. Pemasangan rel
Rel merupakan material yang dibuat dari logam yang dapat berubah panjangnya akibat perubahan suhu. Untuk menampung perubahan panjang rel ini maka pada sambungan rel perlu diberikan celah.
G = L x α x (40-t) + 2 Dimana:
L : panjang rel
α : koefisien muai rel
t : suhu pemasangan
Untuk rel dengan panjang 25 m lebar celah pada pemasangan pada suhu 28˚C dihitung sebagai berikut:
G = 25000 x 1,15 x 10-5 x (40-28) + 2 = 5,45 mm
b. Rel panjang
Untuk menghitung lebar celah pada rel panjang digunakan persamaan sebagai berikut: E x A x α x (50-t)2
G = + 2 2 x r
Pada perencanaan ini rel panjang R-60 panjangnya 200 m. Lebar celah pada suhu pemasangan 28˚C adalah:
2,1 x 104 x 76,87 x 1,15 x 10-5 x (50-28)2
G =
+ 2
2 x 450 = 11,98336 mm
4.7. Perencanaan balas
Balas merupakan terusan dari lapisan tanah dasar, dan terletak di daerah yang mengalami konsentrasi tegangan yang terbesar akibat lalu-lintas kereta pada jalan rel, oleh karena itu material pembentuknya harus baik. Berdasarkan Penjelasan Peraturan Dinas no.10 dan VA Profillidis (2006) :
4.7.1 Lapisan balas atas
Tebal balas atas terdiri dari batu pecah yang keras dengan bersudut tajam. Lapisan ini harus dapat meneruskan air dengan baik.
Tebal balas atas dirumuskan sebagai berikut: Menurut Wahyudi (2003) dirumuskan sebagai berikut:
Db =
2
w
S
Db = tebal ballas minimum S = jarak bantalan w = lebar bantalan
Dari data perhitungan diperoleh jarak bantalan (S) adalah 40 cm dan jarak bantalan (w) adalah 30 cm maka tebal ballas adalah Db =
2
w
S
=
2
30
40
= 5 cm
Menurut British regulation tebal ballas dapat diperoleh dari tabel
Line speed
(km/h) Yearly line tonnage
Ballast thickness
(m)
(million tons)
160 - 200 all 0,38
120 - 160 > 12 million 0,38
120 - 160 2 - 12 million 0,3
120 - 160 < 2 million 0,23
80 - 120 > 12 million 0,3
80 - 120 < 12 million 0,23
< 80 > 2 million 0,23
< 80 < 2 million 0,2
( concrete sleepers)
< 80 < 2 million 0,15
(timber sleepers)
Sumber: Railway management and engineering
Maka dengan kecepatan rencana 200 km/jam maka diperoleh tebal ballas minimum adalah 0,38 m = 38 cm.
Menurut French specificaitons tebal ballas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
1. Kualitas tanah dan bearing
capacity 2. Jenis bantalan
3. Karakteristik track ( traffic load dan axle load)
4. Volume pemeliharaan track
5. Kecepatan kereta
6. Menggunakan atau tidak
geotextile.
e(m) = N(m) + a(m) +b(m) +c(m) +d(m) +f(m) +g(m)
dimana e= tebal ballas
N (parameter kualitas subgrade) - 0,70 untuk bad subgrade (S1) - 0,55 untuk medium subgrade (S2) - 0,45 untuk good subggrade (S3) a= parameter traffic load
- 0 untuk kelas I dan II dengan V> 160 km/ jam
- -0,05 untuk kelas III dan IV - -0,10 untuk kelas V
- -0,15 untuk kelas VI b= parameter jenis bantalan
- 0 untuk bantalan kayu dengan panjang L=2,60 m
- (2,50-L)/2 untuk bantalan beton c= volume maintenance work
- 0 untuk medium volume maintanance
- -0,10 untuk high volume maintanance kelas I – V
- -0,05 untuk high volume maintenance kelas VI
d= nilai axle load
- 0 untuk Q = 17,5-20 ton - 0,05 untuk Q = 22,5 ton - 0,12 untuk Q = 25 ton - 0,25 untuk Q = 30 ton f= kecepatan kereta
- 0 untuk V<160km/jam dan subgrade S1 dan S2
- 0 untuk high speed dan subgrade S3 - 0,05 untuk high speed dan subgrade S2 - 0,10 untuk high speed dan subgrade S1 g= penggunaan geotextile
- 0 untuk tidak menggunakan geotextile
Dari data perhitungan sebelumnya
direncanakan menggunakan V rencana 200 km/jam, medium subgrade, bantalan beton dengan panjang 2,60m, axle load 18 ton dan tidak menggunakan geotextile sehingga diperoleh e adalah:
e(m) = N(m) + a(m) +b(m) +c(m) +d(m) +f(m) +g(m)
= 0,55 + 0 + (2,50-2,60)/2 + (-0,10) + 0 +0 = 0,40 m
e(m) = ballas + subballas 0,40 = ballas + 0,15 Ballas = 0,40 – 0,15
= 0,25 m
Dari beberapa metode di atas maka diambil tebal ballas yang paling maksimum sehingga didapat tebal ballas adalah 0,38 m atau dibulatkan menjadi 0,40 m
4.7.2 Lapisan balas bawah
Akibat penyebaran tekanan, maka lapisan balas bawah menerima tekanan yang lebih kecil daripada yang dipikul oleh lapisan balas atas. Lapisan balas bawah terdiri dari pasir kasar. Tebal lapisan balas bawah dihitung dengan persamaan dari Peraturan Dinas no.10 yaitu:
1) Ukuran terkecil dari tebal lapisan balas bawah (d2) dihitung dengan persamaan
d2 = d – d1 > 15 (cm)
di mana d dihitung dengan persamaan :
d = 1.35
58
.
1
10
t
o1 dihitung dengan menggunakan
rumus “Beam on elastic foundation” yaitu :
o1 =
)
sinh
(sin
1
2
b
L
L
Pd
(2 cosh2 λ a)(cos 2 λ c + cosh λ 1) + 2 cos2 λ a (cosh 2 λ c + cos λ 1) + sinh 2 λ a (sin 2 λ c – sinh λ 1) – sin 2 λ a (sinh 2 λ c – sin λ 1)]
Pd = [ P + 0,01 P ( (
1,6
V
) – 5 )Dimana :
Pd = Beban roda akibat beban
dinamis
P = Beban roda akibat beban
statis
V = Kecepatan kereta api
(km/jam)
% Beban = Prosentase beban yang masuk ke dalam bantalan
1 : 1,5
GAMBAR POTONGAN TIMBUNAN ELEVASI RENCANA
ELEVASI TANAH ASLI
GAMBAR POTONGAN GALIAN ELEVASI RENCANA ELEVASI TANAH ASLI
1 : 1,5
1 : 0,5 1 :
0,5 dimana : b = lebar bawah bantalan
(cm)
ke = modulus reaksi balas (kg/cm3)
El = kekakuan lentur bantalan (kg/cm2)
l = panjang bantalan (cm) a = jarak dari sumbu
vertikal rel ke ujung bantalan (cm)
c = setengah jarak antara sumbu vertikal rel (cm)
2) Jarak dari sumbu jalan rel ke tepi atas lapisan balas bawah dihitung dengan persamaan
a) Pada sepur lurus : (lihat gambar 4.8) k1 > b + 2d l + m
b) Pada tikungan : (lihat gambar 4.9) k1d = k1
k1l = b + 2 dl + m + 2 e e = (b + 1/2 ) x h/1 + t
dimana : l = jarak antara kedua sumbu vertikal rel (cm)
t = tebal bantalan (cm) h = peninggian rel (cm)
harga m berkisar antara 40 cm sampai 90 cm
4.7.3 Tegangan yang terjadi pada tanah dasar
Menurut Wahyudi (1993) dalam Jalan Kereta Api (Struktur dan Geometrik Jalan rel) disebutkan bahwa tegangan ijin maksimal yang terjadi pada tanah dasar adalah 1,4 kg/cm2. Untuk menghitung tegangan yang terjadi pada tanah dasar dipakai persamaan dari Japan Nasional railway (JNR) sebagai berikut:
2 = 11,3510
58
d
Dimana:
d : tebal balas total (cm)
1 : tegangan yang diturunkan daripersamaan balok diatas bidang elastis
2 : tegangan yang terjadi pada tanah dasarDari perhitungan tabal lapisan balas bawah didapat nilai
1 sebesar 16,133 kg/cm2 sehingga,
2 = 1,35 2120
10
/
451
,
14
58
cm
kg
x
2 = 1,2873 kg/cm2 < 1,4kg/cm2...OK
BAB V
ANALISA GALIAN DAN TIMBUNAN
5.1 Bentuk Potongan Galian dan Timbunan
5.2 Perhitungan Galian Dan Timbunan Jalan
Untuk menghitung volume galian dan timbunan jalan, dalam Tugas Akhir ini jalan dibagi menjadi beberapa segmen yaitu per 100 meter, sesuai dengan gambar potongan melintang jalan yang juga diambil setiap 100 meter. Untuk bagian lereng diambil kelandaian 2:3 untuk timbunan dan 1:0,5 untuk galian dengan asumsi menggunakan tanah asli sesuai dengan Spesifikasi Penguatan Tebing (NO.11 /S/BNKT/ 1991, Direktorat
Jenderal Bina Marga Direktorat
Pembinaan Jalan Kota). Dan untuk perhitungan luas galian dan timbunan ini diambil dari pengukuran luas dari gambar
dalam program AutoCAD dengan skala
Pada gambar pot. melintang STA 104+000, didapat :
h skala = 15 m = 1 m aktual
Luas galian = 0.00 cm2 = 0.00 m2 aktual
Luas Timbunan = 12,059 m2 aktual
Pada gambar pot. melintang STA 104+100, didapat :
H skala = 15 m = 1 m aktual Luas galian = 0.00 m2 aktual Luas Timbunan = 12,059 m2 aktual
Perhitungan galian :
Luas galian rata-rata segmen 1 :
2
0
0
A
rata-rata
= 0.00 m2 Volume galian segmen 1 :L
A
Vol
galian
ratarata
0
.
00
1
00
= 0.00 m3Perhitungan timbunan :
Luas timbunan rata-rata segmen 1 :
2
059
.
12
059
.
12
A
rata-rata
= 12.059m2
Volume timbunan segmen 1 :
L
A
Vol
timbunan
ratarata
001 059 .
12
=1205,9 m3
Untuk selengkapnya, perhitungan volume galian dan timbunan per segmen jalan dengan menggunakan program
Microsoft Excel dapat dilihat pada Tabel 5.1
Tabel 5.1 Perhitungan Vol. Galian Dan Timbunan
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil perencanaan yang telah dilakukan dalam penyusunan Tugas Akhir ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Konstruksi KA :
Perencanaan geometrik sesuai dengan perhitungan yang telah ditabelkan.
Kecepatan rencana 200 km/jam
sehingga membutuhkan jari-jari
lengkung yang besar yakni 4000 m.
Rel yang digunakan adalah rel tipe
panjang 2,60 m dan menggunakan penambat elastik pandrol dengan jarak 40 cm.
Tebal lapisan balas atas 40 cm dan balas bawah 80 cm dengan penampang melintang sesuai dengan gambar perencanaan.
2. Lebar Sepur
Dalam perencanaan ini digunakan lebar sepur (track gauge) e = 1435 mm.
3. Volume galian dan timbunan
Berdasarkan potongan melintang jalan tiap segmen, dimana panjang segmen yang diambil setiap 200 m. Dari perhitungan, didapatkan hasil sebagai berikut :
Volume galian=1.125.378,79 m³ Volumetimbunan=3.249.962,64 m
6.2 Saran
Setelah melakukan serangkaian
perencanaan dalam tugas akhir ini, saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut :
1. Penentuan kecepatan rencana
hendaknya disesuaikan dengan
peraturan yang berlaku, kelas jalan,
medan jalan karena sangat
mempengaruhi hasil perencanaan.
2. Untuk alinyemen vertikal, kelandaian maksimum sebaiknya lebih kecil dari 1 % dengan memperhatikan bentuk kontur eksisting tanah. Hal ini bertujuan untuk mengurangi volume galian dan timbunan yang besar.