• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perang Melawan Terorisme Globalisasi ket

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perang Melawan Terorisme Globalisasi ket"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Politik Unpad#

1

Perang Melawan Terrorisme : Globalisasi Ketakutan

Veritas Patefacit se Ipsam Et Falsum

Giorgio Agamben1

I. Latar Belakang

Kebenaran hanya akan muncul jika ada kesalahan, addendum ini menyudutkan kebenaran sebagai keadaan yang tidak berdiri sendiri namun berdiri di atas kontradiksi dua identitas yang berinteraksi. Penilaian akan identifikasi “benar” hanya dimungkinkan jika sebelumnya ada idetifikasi tentang “salah” maka artinya sebuah kebenaran lahir dari kesalahan. Addendum ini juga berlaku bagi doktrin baru dunia yang menjadi isu laten di seluruh Negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Perang melawan terorisme yang memiliki berbagai peristilahan seperti war on terror, global

war on terror, war of generation, war on Islamofacism, dll. Semenjak kejadian 11

September di Amerika Serikat, perang melawan terorisme menjadi sebuah kebenaran yang diafirmasi hampir tanpa bantahan.

Perang melawan terorisme atau global war on terrorism atau war on terror adalah kampanye militer Amerika sebagai respon terhadap kejadian sabotase pesawat publik oleh jaringan militan Al-Qaeda yang kemudian menabrakkan pesawat berpenumpang tersebut ke menara kembar World Trade Center dan markas Pentagon. Kampanye militer ini kemudian ditindaklanjuti dengan serangkaian operasi “perdamaian” meliputi deklarasi perang terhadap pemerintah Taliban di Afghanistan dan deklarasi perang terhadap Iraq yang dianggap mendukung jaringan Al-Qaeda. Kampanye militer ini tidak hanya berhenti pada penyerangan kedua Negara tersebut namun juga berlanjut ke pemberantasan organisasi-organisasi perlawanan yang dianggap sebagai organisasi teroris atau jaringan Al-Qaeda di seluruh dunia.

Sementara itu, jaringan teroris juga terus berkembang bahkan mampu melakukan sabotase dan pengeboman di berbagai Negara seperti Inggris, Spanyol, hingga Indonesia. Ketakutan akan terorisme pun meluas, departemen pertahanan dalam negeri Amerika Serikat mendukung ketakutan yang meluas ini dengan

1

(2)

pernyataan bahwa terorisme dapat mucul kapanpun, dimanapun dan dengan cara apapun2. Kampanye war on terror pun diafirmasi sebagai global war on terror karena tidak ada satu pun Negara yang luput dari ancaman terorisme yang sudah mendunia.

Ketakutan akan ancaman terorisme segera mendunia dan menjadi komoditas ekonomi politik baru di dunia. Geliat ekonomi baru muncul dari perjanjian-perjanjian internasional dalam penanggulangan terorisme. Alat-alat militer berteknologi tinggi untuk pengendalian keamanan dan pertahanan mulai menjadi kebutuhan artifisial bagi Negara-negara yang dilanda ketakutan terhadap ancaman terorisme. Tidak hanya itu, operasi-operasi “perdamaian” pun melahirkan korporasi-korporasi militer swasta baru sebagai sistem pendukung dalam operasi “perdamaian”.

Berbagai rangkaian perang melawan terror telah menjadi terror tersendiri terutama bagi Negara-negara di Timur Tengah yang mendapatkan stigma teroris. Di Indonesia, ketakutan akan ancaman terrorisme melahirkan detasemen khusus anti-terror. Detasemen ini menyebarkan terror bagi keluarga yang anggota keluarganya diindikasikan sebagai terroris. Berbagai kesalahan penangkapan bahkan penembakan terjadi hingga saat ini atas nama perang melawan terror.

Perang melawan terror pun mulai dipertanyakan motivasinya setelah banyak korban yang berjatuhan. Berbagai kajian kritik mengenai perang melawan terror mengemuka baik dalam ranah akademis maupun politis. Sebagaimana addendum dari Giorgio Agamben di awal, kebenaran akan muncul hanya jika ada kesalahan begitupun juga perang melawan terorisme, kebenaran motivasinya akan muncul ketika kesalahan-kesalahannya mulai teridentifikasi.

Perang melawan terror dalam kajian globalisasi umumnya dibahas melalui perjanjian internasional, struktur keamanan global dan ekonomi politik. Melalui tulisan ini, saya mencoba untuk melihat kampanye perang melawan terror dalam kajian psikologi politik. Kajian ini menganalisa kampanye perang dari simptomp atau gejala psikologis yang dihasilkannya. Berdasarkan posisi tersebut saya mengasumsikan bahwa; pertama, kampanye tersebut digunakan sebagai politik rasa

2 Department of Homeland Security declares, "Today's terrorists can strike at any place, at any time,

(3)

takut untuk menguatkan kuasa hegemonik yang menempatkan Amerika Serikat sebagai sentral monopoli kekerasan di dunia.

II. Tinjauan Pustaka

2.1Perang dan Terrorisme

Perang dalam sejarah merupakan fenomena yang tidak pernah habis untuk dibahas karena dampaknya yang meliputi berbagai aspek dalam kehidupan. Dalam sejarah, masyarakat di berbagai tempat telah mengalami perang dalam berbagai skala mobilisasi. Perang-perang besar dalam peradaban manusia ikut membentuk peradaban itu sendiri. perang dapat melakukan rekomposisi kekuasaan melalui kejatuhan imperium-imperium dan bangkitnya Negara atau kerajaan-kerajaan baru.

Perang modern dipahami sebagai mobilisasi militer suatu Negara yang melbatkan persenjataan dan tentara regular melawan tentara regular Negara lainnya. Perang dalam pemahaman ini selalu dikonduksi oleh Negara. Pemahaman klasik mengenai perang ini secara bertahap mengalami pergeseran dari masa ke masa.

Dimasa perang dunia pertama, perang melibatkan dua atau lebih Negara yang tergabung dalam suatu aliansi atau Negara sendiri melawan Negara lainnya untuk memperluas wilayahnya. Pada perang dunia kedua, perang masih terjadi dalam definisi yang serupa namun melibatkan mobilisasi besar teknologi maupun tentara dari daerah-daerah kolonisasi. Kemudian, pada masa pasca-perang dunia kedua perang beralih pada definisi yang kabur. Era ini disebut dengan perang dingin. Perang dingin adalah era perang perluasan pengaruh ekonomi dan politik. perang dingin membentuk aliansi-aliansi Negara dalam pakta pertahanan dan blok-blok ekonomi politik. di masa tersebut perang tidak Nampak dalam mobilisasi pasukan besar melainkan operasi-operasi perluasan pengaruh politik.

Ketiga periode perang yang melibatkan hampir seluruh dunia ini sangat berbeda dengan kampanye perang melawan terror yang dipelopori oleh Amerika. Konsepsi kampanye war on terror menggabungkan konsep lama perang antar Negara dengan perang sipil yang terjadi di dalam Negara seperti pemberontakan, separatism dan perlawanan-perlawana anti Negara. Penggabungan kedua konsep ini melahirkan konsep perang baru3.

3

(4)

Penggabungan konsep yang tidak berimbang antara mobilisasi kekuatan militer melawan kelompok-kelompok sub nasional baik itu organisasi gerakan maupun organisasi criminal ini menjadikan konsep war onterror menjadi konsep yang berkelanjutan. Konsep ini mampu melibatkan dukungan banyak Negara yang merasa tidak aman oleh gangguan kelompok sub-nasional di negaranya dan menyematkan label teroris pada mereka.

Terorisme sebesar apapun dampaknya tidak dapat disejajarkan dengan perang dalam artian klasik karena terorisme dilakukan secara parsial oleh kelompok-kelompok sub-nasional. Terror sebagai taktik dan strategi diadopsi oleh berbagai institusi dalam perang Negara ataupun perang sipil untuk mempengaruhi psikis lawan. Kelompok-kelompok anarkis dan sayap kanan radikal di eropa juga melakukan strategi ini untuk mengalahkan lawan-lawan politiknya. Kata terror sendiri dikenal dalam kosakata politk sejak akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 serta masa-masa perang dunia kedua sebagai taktik perjuangan revolusi (Dugis, Tanpa tahun). Oleh karena itu, terorisme atau tindakan terror tidak dapat dibatasi oleh identifikasi etnis ataupun kelompok tertentu.

2.2Kampanye Perang Melawan Terrorisme

Kampanye perang melawan terror memberikan perang dalam definisi yang longgar menjauhi definisi perang klasik. Seibert dalam tulisannya menyebutkan bahwa perang melawan terror telah menggeser paradigm perang yang ada (Seibert, 2005). Menurutnya juga4, kampanye perang melawan terror merupakan bentuk perang baru yang terpisah dari definisi perang klasik dengan identifikasi keterlibatan yang sangat mencolok dari korporasi-korporasi militer swasta dan geliat ekonomi yang beriringan dengannya. Seibert menambahkan bahwa Kampanye perang melawan terror dapat diidentifikasikan perbedaannya dengan perang klasik melalui beberapa perbedaan seperti;

“pengingkaran terhadap perbedaan antara militer dengan sipil, penghancuran infrastruktur ekonomi, kerjasama antara pihak pemerintah dan pihak non pemerintah, kesenjangan yang mencolok antara berbagai pihak yang terlibat

conflicts make the fabric of global relations more fluid and, by affirming new identities and new localities, present a more malleable material for control. In such cases repression can be articulated through preventive action that constructs new relationships (which will eventually be consolidated in peace but only after new wars) and new territorial and political formations that are functional (or rather more functional, better adaptable) to the constitution ofEmpire. (Negri, 2000, p. 37)

(5)

dalam perang, kekacauan pemerintahan, serta lenyapnya batas hokum yuridis dan politis. Acapkali, perang jugadiikuti atau dipicu oleh kebangkitan sentiment etnisisme, rasisme atau fundamentalisme” (Seibert, 2005, p. 5) Penjelasan Seibert tersebut diperkuat dengan pernyataan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Donald Rumsfeld ynag menyatakan bahwa semua fungsi yang dapat dijalankan oleh swasta sebaiknya tidak lagi dibebankan pada institusi-institusi pemerintah. Sejak saat itu sebagian besar misi militer AS dijalankan oleb berbagai korporasi militer swasta (Bush, 2001). Pernyataan ini mengindikasikan keterlibatan korporasi militer swasta bukan hanya dalam perang melawan terror namun juga dalam semua fungsi pertahanan. Reformasi sektor pertahanan di Amerika tersebut berdampak pada komposisi pasukan dalam perang melawan terror sekaligus mengindikasikan geliat ekonomi baru yaitu bisnis perang.

Kelenturan konsep perang melawan terror terletak pada spesifikasi target yang relative mengambang. Secara praktek, perang melawan terror tidak hanya dilancarkan kepada organisasi-organisasi militant yang diindikasi sebagai penyebab kejadian 11/9 namun juga Negara-negara musuh Amerika di Timur tengah. Terorisme kemudian bergeser pada pemahaman yang lebih abstrak yaitu ideology bahkan keyakinan masyarakat terutama Islam.

(6)

III. Pembahasan

3.1War On terror sebagai Politik Rasa Takut

"Today's terrorists can strike at any place, at any time, and with virtually any

weapon"which conveniently means that the security services required must protect

against every imaginable risk in every conceivable place at every possible time. (Departement of Homeland Security)

Pernyataan Departemen Keamanan Amerika tersebut mengawali ekspansi rasa takut terhadap terror ke seluruh dunia. Ketakutan akan terrorisme muncul karena aksi terror dapat terjadi di setiap tempat, setiap waktu dan dengan senjata apapun. Kebutuhan untuk menanggulangi terrorpun meluas bahkan dalam pernyataan ini disebut sebagai “every imaginable risk” yang berarti setiap resiko yang terbayangkan. Resiko tersebut bisa jadi tidak ada namun kekuatan imajinasi manusia membayangkan terror dan menjatuhkan kecurigaan pada orang-orang disekitarnya menjadikan resiko terror selalu muncul.

Terror dan terroris selalu dikaitkan dengan tujuan politik suatu organisasi atau actor untuk memperluas pengaruh maupun menanggulangi pengaruh lawannya. Lenin berpendapat bahwa terorisme adalah kerja menghasilkan terror yang berdampak pada orang-orang disekitar korban (Schmid, 2005). Dampak tersebut adalah rasa takut yang menyebarkan keyakinan akan ancaman bahwa mereka mungkin adalah target teroris berdasarkan identifikasi subjektifnya. Sekretaris Negara Amerika, Collin Powell, bahkan menambahkan penyebaran rasa takut tersebut dengan ancaman penyerangan. Dalam pernyataaanya pada Mei 2002 disebutkan bahwa:

„„In this global campaign against terrorism, no country has the luxury of

remaining on the sidelines. There are no sidelines. Terrorists respect no limits, geographic or moral. The frontlines are everywhere and the stakes are high. Terrorism not only kills people. It also threatens democratic institutions, undermines economies, and destabilizes regions’’ (State, 2002)

(7)

pemberantasan terrorisme, melakukan pelatihan antiterror, menciptakan detasemen khusus antiterror melakukan perjanjian kerjasama penanggulangan terrorisme dengan Negara Negara lain hingga mendapatkan hibah yang cukup besar dari Amerika untuk penanggulangan terrorisme.

Ketakutan adalah alat yang efektif dalam politik, penggunaan ketakutan dalam politik telah dikenal luas sebelum munculnya Negara. Di masa feudal, ketakutan direproduksi oleh kerjaan untuk memastikan kepatuhan rakyatnya dengan melakukan eksekusi-eksekusi berdarah di tempat-tempat umum seperti hukuman gantung ataupun yang cukup sadis adalah pemenggalan kepala dengan guillotine di Perancis. Hukum modern tentu saja melarang penggunaan ketakutan sebagai alat dominasi politik karena tuntutan kemanusian. Namun tidak berarti ketakutan tidak lagi menjadi alat politik.

“Fear is a powerful tool in politics. Demagogues have at times conjured up

the fear of an impending threat from across the borders to rally the populace behind them. The second use of fear in politics is more direct: despots and demagogues decide to apply the fear directly on the populace or sections

thereof in order to terrorize them into obedience and submission” (Schmid,

2005).

Ketakutan menjadi politik itu sendiri ketika dimanfaatkan sebagai alat control sosial. Control sosial dilakukan untuk memengaruhi aktivitas, pemahaman, rutinitas dan perspektif masyarakat. Penggunaan ketakutan sebagai alat politik tidak hanya digunakan dengan cara pembunuhan dan pengasingan namun juga melalui media. Media berfungsi sebagai alat propaganda yang meluaskan ketakutan melalui persepsi tentang rasa takut.

(8)

menghilang maka kekacauan sosial dan pertanyaan-pertanyaan tentang kebijakan politik.

(9)

IV. Kesimpulan

Kampanye perang melawan terror dapat bertahan sejak 2001 hingga saat ini bukan hanya karena didorong oleh patriotisme dan motif ekonomi. kampanye ini dapat bertahan dan mengendap dalam pikiran setiap objek kampanyenya karena melibatkan perencanaan dampak psikologis. Histeria terhadap terorisme dirubah menjadai paranoia dalam politik internasional melalui gencarnya kampanye perang melawan terror.

(10)

Daftar Pustaka

Agamben, G. (1993). The Coming Community. Minessota: University of Minessota Press.

Altheide, D. L. (2006). Terrorism and The Politics of Fear. Lanham-New York: Alta Mira Press.

Bush, G. (2001, October 7). georgewbush-whitehouse.archives.gov. Retrieved January 2, 2013, from ETA Presidential address to the nation:

http://georgewbush-whitehouse.archives.gov/news/releases/2001/10/print/20011007-8.html Cramer, C. (2003). War, Peace and Capitalism: Is Capitalism the Harbinger of Peace

or The greatest Threat to World Peace. In A. Saad-Filho, Anti-Capitalism (pp. 152-163). London: Pluto Press.

Dugis, V. (Tanpa tahun). Mengkaji ulang upaya pencegahan dan pemberantasan terrorisme. Jurnal Masyarakat Kebudayaan dan Politik Tahun 22 nomor 4, 200-303.

Klein, N. (2008). The Shoc Doctrine. New York: Metropolitan Books.

Marx, K. (1999). A Contribution to the critique of political economy. Retrieved December 3, 2007, from marxist.org.

Marx, K. (1999). Capital. Retrieved January 2013, from marxist.org:

http://www.marxist.org/MIA/archive/marx/works/1867-c1/ch04.htm#6a Marx, K. (2007). Brumaire XVIII Lois Bonaparte. -: Oey's Renaissance.

Moseley, F. (2003). Marxian Crisis Theory and the Postwar US Economy. In A. Saad-Filho, Anti-Capitalism (pp. 211-223). London: Pluto Press.

Negri, M. h. (2000). Empire. London: Cambridge University Press.

P.Nikitin. (1962). The Fundamentals of Political Economy . Moscow: Foreign Language Publishing House Moskwa.

Schmid, A. (2005). Terrorism as Psychological Warfare. Democracy and Security, I, 137-146.

Seibert, T. (2005). Perang Baru Kekejaman Tersembunyi Kapitalisme Global. In D. A. (ed.), La Empressa Guera : Bisnis Perang dan Kapitalisme Global (pp. 1-21). Yogyakarta: Insist Press.

State, U. S. (2002, May). www.state.gov. Retrieved January 8, 2013, from www.state.gov: http://www.state.gov/documents/organization/10286.pdf Stocker, D. M. (2002). Theory and Methods in Political Science. New York: Palgrave

Macmillian.

Zarembka, P. (2003). Capital Accumulation and Crisis. In A. Saad-Filho,

Referensi

Dokumen terkait

- mendapatkan keuntungan dari penjualan produk pengolahan hasil perikanan Tujuan yang dijelaskan oleh ketua KUB Tenggiri tersebut sejalan dengan manfaat KUB yang dirumuskan

Selain kegiatan lomba yang telah disebutkan di atas, ditampilkan pula Theaterstikk (sandiwara kecil) yang merupakan realisasi pengajaran Literatur l. Cerita yang dibawakan dalam

Kendala yang dihadapi oleh aparat penegak hukum dalam proses terkait penerapan asas retroaktif dalam Pasal 46 Peraturan Perundang- Undangan Nomor 1 Tahun 2002

situasi traumatik, (3) pembentukan reaksi; ini adalah menukar suatu impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan melawannya dalam kesadaran, (4) proyeksi; ini

Tujuan instruksional umum (TIU) adalah tujuan pengajaran yang perubahan prilaku siswa yang belajar masih merupakan perubahan internal yang belum dapat dilihat dan diukur.. Kata

Dalam pelaksanaan PPL ini ada beberapa pihak yang sangat membantu, yaitu guru pamong yang dalam proses pelaksanaan PPL di sekolah memberikan bimbingan bagaimana mengajar

melihat pengaruh penguraian kotoran oleh cacing tanah terhadap mutu pupuk organik sebagai hasil ikutan.. Materi dan

Nilai koefisien path pengaruh dari Budgeting Participate terhadap Job Relevant Information adalah sebesar 0.254 dengan t hitung sebesar 4.03 yang lebih besar dari