KEJELASAN PROYEK PEMBANGUNAN TREM DI SURABAYA
Sebagai kawasan Surabaya Metroplitan Area, Surabaya merupakan pusat kegiatan perdagangan barang dan jasa, industri, maupun pemerintahan. Pertumbuhan ekonomi yang pesat menyebabkan tingkat pergerakan penduduk semakin meningkat. Peningkatan mobilitas penduduk tersebut menyebabkan peningkatan terhadap penggunaan kendaraan bermotor. Namun, hal tersebut tidak diimbangi dengan pertambahan panjang jalan. Pada akhirnya, kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya titik-titik kemacetan di sebagian besar jalan di Kota Surabaya.
Pembiayaan pembangunan menurut sumbernya dapat dikategorikan menjadi dua sumber, yaitu sumber konvensional dan non konvensional. Sumber yang diperoleh dari pemerintah seperti APBN, APBD, Pajak, dan Retribusi. Sementara sumber pembiayaan non konvensional, merupakan sumber pembiayaan yang diperoleh dari gabungan dana pemerintah, swasta, dan masyarakat seperti kerjasama pemerintah dan swasta, utang luar negeri, dan swadaya masyarakat.
Namun keterbatasan dana baik APBD maupun APBN, sedangkan disisi lain terdapat kebutuhan akan peningkatan pelayanan infrastruktur maka diperlukan kerjasama atau partisipasi dari swasta untuk dapat membantu pemerintah dalam peningkatan pelayaan pada suatu infrastruktur.
Pengadaan prasarana dan sarana transportasi massal monorel dan trem ini rencananya menggunakan skema Kerjasama Pemerintah dan Swasta (KPS). Namun, hingga tahun 2017, belum ada skema pembiayaan yang jelas terkait pembangunan Trem Surabaya ini.
Total pembiayaan yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur proyek MRT disemua koridor mecapai 140 Milyar Yen dengan dana pinjaman Sebesar 120 Milyar Yen dan sisanya akan menggunakan dana APBD DKI Jakarta. Hal ini berarti sumber pembiayaan MRT Jakarta berasal dari konvensional dan non konvensional. Menggaet swasta pun juga tidak memungkinkan karena prinsip BOT tidak dapat diterapkan. Tidak dapat diterapkan karena BOT merupakan suatu konsep dimana sebuah proyek dibangun dengan pembiayaan yang sepenuhnya ditanggung oleh pihak swasta, atau kombinasi antara pemerintah dan swasta. Namun setelah itu pihak pembiaya proyek memiliki hak untuk pengoperasian dan mengambil manfaat ekonomi dari proyek yang telah dibiayainya. Hal ini membuat pemerintah memilih untuk meminjam dana ke Luar Negeri. Pinjaman tersebut memiliki jangka waktu selama 30 tahun dengan jaminan lunak dan bunga pinjaman sebesar 0,25 persen per tahun. Karena dalam 30 tahun, pemerintah dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta dapat mengoperasikan MRT Jakarta 30 tahun mendatang. Masyarakat akan merasa memiliki meskipun dalam jangka waktu pembangunan hingga penggunaan, masih dikuasai oleh asing.