• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karya Sastra Cina dan Kajiannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Karya Sastra Cina dan Kajiannya"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

NURNI W. WURYANDARI

1 Program Studi Cina, Universitas Indonesia

Surel:nurnismar@yahoo.com

Abstrak

Memperkenalkan karya sastra Cina kepada mahasiswa Indonesia, khususnya yang menaruh minat pada

studi Cina, dan mengajaknya melakukan kajian atas karya, memerlukan persiapan tersendiri dan juga perlu

sedikit membekali mereka dengan pengetahuan khusus. Pertama, perlu persiapan dalam memilih

karya-karya primer berbahasa Mandarin, dan bukan karya-karya terjemahannya. Kedua, mahasiswa perlu dibekali

dengan pengetahuan dasar tentang sejarah, budaya dan perkembangan kondisi sosio-politik di Cina.

Sebuah karya sastra bisa dibedah dengan pendekatan intrinsik, namun dengan pendekatan intrinsik saja,

kajian atas karya hasilnya mungkin akan kurang maksimal. Pengarang maupun penyair di Cina amat mahir

mengangkat kondisi sosial atau menyajikan kritik terhadap kondisi tertentu ke dalam karya mereka.

Realisme dalam karya mereka sangat kuat. Hal ini menjadi ciri khas yang tidak bisa diabaikan.

Makalah ini akan membahas pentingnya menggunakan karya-karya asli berbahasa Mandarin dalam

pengajaran sastra pada Program Studi Cina/Sinologi dan juga pentingnya memiliki pengetahuan tentang

sejarah, budaya dan perkembangan kondisi sosio-politik di Cina.

Kata Kunci:

karya sastra, strategi pengajaran, kajian Cina, pengetahuan tambahan

(a) Pendahuluan

Dewasa ini makin banyak karya sastra terjemahan yang muncul ke hadapan publik pembaca. Karya sastra dari berbagai negara diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia, termasuk karya sastra dari Cina. Karya-karya sebagai bentuk apresiasi yang memiliki sifat hiburan, tentu bisa dibaca dan dinikmati kapanpun. Pembaca tak perlu direpotkan pula dengan keharusan mengetahui latar belakang kondisi tempat karya sastra itu dilahirkan. Namun, dalam hal pengajaran sastra Cina dan kajiannya, mungkin akan sedikit lain halnya.

Sastra sebagai sebuah kajian, khususnya kesusastraan Cina, bila ditujukan kepada mahasiswa untuk memperoleh pemahaman lebih dalam atas makna cerita, maka diperlukan beberapa syarat. Pertama, mahasiswa diarahkan untuk membaca karya sastra aslinya yang ditulis dalam bahasa Mandarin, lalu membaca unsur intrinsik yang membangun karya dengan teliti. Karya sastra Cina yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia tetap bisa dimanfaatkan, namun hanya sebagai pendukung pemahaman. Kedua, mahasiswa juga perlu membekali diri dengan pengetahuan tambahan tentang Cina. Mengapa hal seperti ini perlu menjadi perhatian, akan menjadi materi pembicaraan dalam makalah ini.

(b) Kajian Pustaka

Membaca karya-karya terjemahan bagi pembaca asing memiliki manfaat tersendiri. Dengan memanfaatkan karya sastra Cina yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh para penerjemah asing, Li (2014) mendapati bahwa karya-karya yang dipilih untuk diterjemahkan kebanyakan bertema tentang masyarakat, politik, filsafat, dan sejarah Cina. Terlepas dari beberapa kekurangannya, para penerjemah asing tersebut turut memberi sumbangan sebagai berikut bagi pembaca di negerinya:

They hoped to help to revive the Western civilization by a better understanding of China and her people (...). The English translations of Chinese fictions can provide them with chances to understand China and her

(2)

people and make a better living in China or serve their government (...). Their translations help foreign people interested in Chinese missionary, business, and learning Chinese in China.(hlm: 41)

Argumen Li tersebut sangat beralasan, dan bisa berlaku juga kondisinya untuk Indonesia. Hanya saja, menurut hemat saya, sebagai sebuah kajian sastra, karya dengan bahasa asli akan memiliki kekuatan tersendiri. Apalagi bila yang melakukan kajian adalah mahasiswa yang mengambil studi pada Program Studi Cina. Pentingnya penggunaan naskah atau karya asli dalam bahasa Mandarin sebagai kajian akan dibahas pada bagian selanjutnya.

Selain itu, yang perlu juga untuk diperhatikan adalah kekuatan karya sastra hasil pengarang Tiongkok, terutama karya pengarang-pengarang besar. Karya-karya mereka yang sudah dikenal secara internasional, pada umumnya memiliki realisme yang sangat tinggi, mengangkat berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat Cina. Karena itu dalam banyak hal, pengetahuan tambahan diperlukan. Suatu pengetahuan yang meliputi pengetahuan budaya, kondisi sosial dan politik di Cina. Kajian yang mengaitkan karya dengan kondisi sosial di Cina sangat banyak dilakukan oleh pengamat dan akademisi. Salah satu contoh kuat untuk hal ini bisa dilihat dari kajian yang dilakukan oleh Shih Chia-ying (2014). Ia mengupas karya-karya satire yang dihasilkan pengarang-pengarang terkemuka Cina di masa perang (1937-1945), di kota Chongqing. Kajiannya melibatkan tidak hanya karya sastranya sendiri, namun juga definisi satire, pandangan pengarang terhadap kondisi sosial, dan juga kondisi sosial nyata yang terjadi pada masa tersebut. Dari kajian Shih terlihat bahwa kajian yang menyeluruh terhadap karya sastra dihasilkan melalui analisa yang mengaitkan karya dengan kondisi sosial, budaya, politik di Cina.

(c) Pengarang, Karya, dan Latar Pengetahuan

Mengajar pengkajian karya sastra Cina kepada mahasiswa, karena kekhasan yang ia miliki, membuat dosen harus mengarahkan mahasiswa menggunakan naskah dalam bahasa aslinya. Cerpen menjadi pilihan terbaik karena terbatasnya waktu tatap muka dalam satu semester. Pertimbangan menggunakan naskah asli didasarkan setidaknya pada dua hal. Pertama, karya terjemahan seringkali tidak akurat penerjemahannya. Kedua, nama tokoh dalam karya terjemahan, karena ditulis dalam romanisasi, tidak menyiratkan karakter huruf kanji yang sesungguhnya, padahal nama tokoh yang diciptakan seringkali dibuat oleh pengarang dengan maksud-maksud tertentu dan memiliki makna yang merujuk pada kondisi yang tertentu pula. Nama tokoh dalam sebuah karya kadang menjadi wahana bagi pengarang untuk menyampaikan sifat dari tokoh atau menjadi suatu simbol yang diciptakan pengarang untuk menyampaikan kritik atau sindiran terhadap suatu kondisi. Karya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bila tidak mencantumkan nama tokoh dalam huruf kanji, maka kesempatan membahas tokoh lebih dalam akan hilang. Sebagai contoh yang menguatkan asumsi ini, akan dihadirkan ulasan tentang beberapa cerpen dari tiga pengarang yang cukup terkenal di Cina, yaitu Lu Xun, Zhang Tianyi dan Mo Yan.

Lu Xun, Simbol, dan Kondisi Sosial

Lu Xun (魯迅, 1881-1936) adalah tokoh penting dalam kesusastraan modern di Cina. Karya-karya yang diciptakan Lu Xun banyak yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing di dunia dan sering menjadi topik kajian para pemerhati atau kritikus sastra di Barat. Karya-karya yang diciptakan Lu Xun sangat kuat dalam penggunaan simbol dan sorotannya pada kondisi sosial. Ini bisa ditemukan dalam karya-karyanya sepertiKong Yiji (孔乙己),Catatan Harian Orang Gila(Kuangren Riji狂人日記), Obat (Yao藥), danPerceraian (Lihun離婚). Salah satu karyanya yang akan dibahas dalam makalah ini adalah cerpenObat.

CerpenObatpernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh seorang mahasiswa D3 Program Studi Bahasa Mandarin di UGM. Selain melakukan terjemahan, mahasiswa juga melakukan kajian terhadap karya secara semiotik melalui pendekatan intrinsik (Nuraini, 2015). Apa yang dikerjakannya merupakan kajian awal yang cukup baik. Cerpen ini meski pendek, menurut hemat saya tidak cukup dibaca satu kali. Pembaca harus membaca teliti untuk memperoleh makna cerita, dan cukup penting pula memperhatikan nama-nama tokoh di dalamnya. Di sinilah nama dan sifat-sifat tokoh mulai perlu diungkap untuk dikaitkan dengan kisah secara menyeluruh. Dalam cerpen yang sudah diterjemahkan oleh Rachmi ke dalam bahasa Indonesia, dan diterbitkan oleh Yayasan Obor, tidak pernah disebut nama marga keluarga dari tokoh-tokoh yang bermain dalam cerita (Rachmi, 1992). KisahObatmenggambarkan seorang pemuda yang menderita sakit paru-paru kronis, dan membutuhkan “obat” berupadarah segar manusia yang dioleskan ke sebuah mantou, sebuah makanan khas Tiongkok, sementara dalam cerpen terjemahan disebut:

(3)

Sastra, Budaya, danPerubahanSosial

sementara tangan yang lain memegang segulungroti bakar, dan dari roti itu menetes cairan merah tua. (hlm: 28)

Dalam versi terjemahan, sejak awal hanya disebutkan bahwa ayah dari pemuda yang sakit bernama Shuan Tua, dan ibunya disebut “wanita tua”. Ini mungkin karena sulitnya menerjemahkan nama agar sesuai untuk pembaca Indonesia. Dengan menggunakan naskah asli berbahasa Mandarin, khususnya yang disertai penggunaan penjelasan kosa kata (Lau, 1987), mahasiswa dapat menemukan bahwa keluarga tersebut bermarga Hua, sang ayah disebut dengan Hua Laoshuan (華老栓), sementara ibunya disebut dengan Hua Dama (華大媽). Kembali ke cerita, dikisahkan bahwa pemuda yang sedang sakit tidak memperlihatkan upaya mencari tahu obat apa yang baik untuknya. Ia tak pernah bertanya dan menerima saja apa yang diupayakan oleh orangtuanya sebagai obat. Obat untuknya tak lain adalah darah pemuda pemberontak bermarga Xia yang baru saja menjalani eksekusi. Tanpa penyebutan nama marga dalam huruf kanji, maka tidak akan terungkap maksud di balik penciptaan nama-nama tokoh yang dibuat Lu Xun. Di sinilah pentingnya menggunakan naskah asli berbahasa Mandarin mulai terlihat. Nama marga Hua (華)tersebut adalah marga yang merepresentasikan bangsa Cina. Obat yang dianggap manjur untuk mengobati adalah darah dari seorang pemuda bermarga Xia (夏). Sebagaimana halnya marga Hua, marga Xia bila dikaji adalah juga nama marga yang menyimbolkan bangsa Cina.

Pengetahuan lain apa lagi yang diperlukan untuk menambah pemahaman atas cerita dan mengungkap makna lebih dalam? Untuk menjawab pertanyaan ini, buku-buku atau artikel-artikel menggenai Lu Xun dan juga yang membahas kondisi sejarah masa akhir dinasti Qing dan awal berdirinya Republik Cina pada tahun 1911 perlu dibaca. Ini adalah langkah kedua dalam mengkaji setelah unsur-unsur intrinsik dari karya diungkap. Dalam cerita dikisahkan bahwa pemuda bermarga Xia adalah pemberontak terhadap pemerintahan dinasti Qing, maka bisa dipastikan bahwa latar waktu cerita adalah masa akhir dinasti Qing. Informasi tentang kondisi Cina masa akhir pemerintahan dinasti Qing diperlukan untuk memperoleh pemahaman lebih lanjut. Saat itu adalah masa dimana usaha pemberontakan menjatuhkan dinasti mulai banyak dilakukan, dan upaya membentuk Republik terus digaungkan. Tidak semua orang memiliki kesadaran untuk memperjuangkan Cina lepas dari feodalisme dan juga lepas dari bangsa asing yang saat itu banyak mendapat hak konsesi di Cina. Dalam kondisi kritis seperti itu, hanya sejumlah kecil orang yang peduli terhadap keadaan negerinya. Sikap tidak peduli dari sebagian besar penduduk seperti ini bisa dilihat juga dari sejumlah tokoh pendamping dalam ceritaObat. Dari ucapan, sikap dan pandangan mereka, jelas terlihat bahwa mereka tidak berempati pada perjuangan tokoh Xia, dan justru memihak pada pemerintah dinasti Qing.

Dengan mengupas nama tokoh, jalan cerita, dan juga latar waktu dalam cerita, maka bisa ditarik suatu benang merah cerita sebagai berikut: bangsa Cina pada masa itu sedang sakit dan perlu obat. Cina disimbolkan dalam sosok pemuda (Hua Muda) yang pasif, pasrah, dan tak sadar akan penyakit paru-paru yang dideritanya. Sementara paru-paru adalah organ vital bagi kehidupan. Bisa diambil makna bahwa bangsa Cina saat itu sedang menderita sakit parah, karena organ penting untuk bernapaslah yang mengalami masalah. Cina harus disembuhkan oleh bangsa Cina sendiri, yaitu dengan darah dan semangat para pejuang muda (pemuda bermarga Xia) yang rela mengorbankan diri bagi sebuah cita-cita luhur membebaskan diri dari feodalisme maupun imperialisme asing. Obat dalam kisah ini adalah obat yang bersifat spiritual bagi bangsa Cina, yang saat itu sedang menderita penyakit mental. Perjuangan dan darah tersebut akan kehilangan makna bila si sakit tidak berjuang untuk mencari penyebab sakit, dan tidak akan berhasil pula tanpa dukungan banyak orang.

Kepekaan Lu Xun menangkap kondisi sosial di Cina masa itu, dan keprihatinan melihat sikap bangsa Cina yang apatis telah mendorongnya menciptakan cerpenObat. Karya-karya lain sepertiCatatan Harian Orang Gila, danKong Yiji juga memiliki substansi yang sama.

Zhang Tianyi, Satire dan Kritik Sosial

(4)

hidup dan realistis. Kalangan menengah ke atas adalah kalangan yang paling banyak menjadi sorotan dalam karyanya. Salah satu karya satire yang menunjukkan kekhasan tulisan Zhang Tianyi adalah cerpen berjudulTuan Hua Wei(Hua Wei Xiansheng華威先生).

CerpenTuan Hua Weisangat pendek, namun hampir semua bagian dari cerita menjadi unsur penting dan kuat dalam membangun cerita. MengkajiTuan Hua Wei, pemahaman awal melalui faktor intrinsik seperi tokoh, penokohan, alur dan latar sanagat perlu dilakukan. Tanpa bedah intrinsik yang maksimal, akan sulit memahami cerita akan dibawa kemana oleh pengarangnya. Sinyal-sinyal tertentu mengarahkan pembaca untuk mengaitkan cerita dengan aspek intrinsik, yaitu kondisi sosial yang dirujuk oleh latar waktu. Judul cerpen tersebut adalah juga nama tokoh utama dalam cerita. Latar waktu yang digunakan dalam cerita sangatlah singkat. Dalam waktu yang sangat singkat yang digunakan dalam cerita, Tuan Hua Wei digambarkan sibuk beraktivitas dari rapat ke rapat lain, yaitu dengan Perhimpunan Bantuan Pengungsi, Perhimpunan Peneliti Seni dan Sastra Populer, dewan eksekutif Asosiasi Kaum Intelektual Melawan Musuh, hingga menjadi anggota komite Perhimpunan Perawat Bayi Masa Perang. Apa yang ia lakukan dalam kurun waktu pendek itu adalah hadir dalam beberapa rapat, namun selalu terlambat datang dan lebih awal meninggalkan lokasi rapat. Uniknya, tokoh utama meski hanya datang dalam rapat dalam waktu yang singkat, ia selalu meminta agar diberi waktu untuk memberikan usul atau pendapat:

Setelah menyampaikan semua hal (pandangan) ini, barulah ia benar-benar pergi meninggalkan tempat tersebut. Dengan cara begini dia (bisa) tiba di balai pertemuan Perhimpunan Peneliti Seni dan Sastra Populer, dan Ia mendapati bahwa orang lain sudah memulai rapat di sana....

Oleh karena itu, ketika rapat komite dimulai, Tuan Hua Wei dengan mengepit tas dokumennya duduk selama lima menit, menyampaikan satu dua pendapat lalu melangkah (meninggalkan ruang rapat, dan) masuk lagi ke dalam riksanya. (hlm: 460, 466)

Sikap tokoh utama sebagaimana yang digambarkan di atas, di akhir cerita mengakibatkan timbulnya amarah anggota berbagai perkumpulan dan hilangnya kepercayaan mereka pada Tuan Hua Wei. Sikap-sikap Tuan Hua Wei berkaitan erat dengan penciptaan nama yang diberikan oleh pengarangnya untuk tokoh utama, yaitu華威, yang tak lain berarti “orang Cina yang intimidatif”. Latar waktu peristiwa tidak dinarasikandengan nyata dalam cerita, namun beberapa sinyal kalimat seperti, “pekerjaan (pada masa) perang anti-Jepang benar-benar terlalu banyak” (hal. 454) dapat mengarahkan pembaca pada waktu dimana Jepang ada di Cina. Dengan menilik latar waktu, dan reaksi protes dan marah anggota perkumpulan, mau tak mau membawa pembaca memberi kesimpulan kecil bahwa sikap mementingkan diri sendiri seperti Tuan Hua Wei sangat tidak tepat dalam kondisi genting saat Jepang menduduki Cina. Inilah sesungguhnya sasaran kritik Zhang Tianyi dalam cerita satirenya. Tokoh Tuan Hua Wei adalah tokoh tipikal, tokoh yang mewakili golongan tertentu, yang umum dapat ditemukan dalam kehidupan masa itu.

Dari pembacaan yang teliti terhadap unsur-unsur intrinsik dalam karya dan kemudian mengaitkan latar waktu dan latar tempat dengan kondisi nyata pada zaman tersebut melalui buku-buku referensi, seorang mahasiswa dapat menghasilkan kajian yang lengkap tentang cerpenTuan Hua Wei. Ia bahkan dapat menghadirkan gambaran fisik dan atribut yang biasa dikenakan oleh tokoh Tuan Hua Wei yang diambilnya dari paparan cerita (Budianto: 2016).

Mo Yan, Humor dan Refleksi Zaman

(5)

Sastra, Budaya, danPerubahanSosial

Cerita dibuka dengan memperkenalkan tokoh pekerja pabrik bermarga Ding (丁). Karena keteladanan yang ia perlihatkan dalam bekerja, maka ia mendapat julukan “Ding Shifu” alias seorang ahli (shifu = ahli) bermarga Ding. Nama pemberian orang tuanya yang sebenarnya adalah Ding Shikou (丁十口). Nama ini dibuat oleh orangtuanya dengan harapan khusus, yaitu dengan imaji bila dua huruf terakhir (十口) digabung akan membentuk huruf “sawah” (tian田), suatu harapan sederhana sebagai petani bahwa anak dari keluarga Ding ini suatu hari juga akan memiliki kehidupan baik dari hasil menggarap sawah. Namun, tak lama setelah paparan tentang harapan orangtua ini muncul di awal cerita, paparan kegetiran hidup mulai digelar:

Tetapi takdir tak mengizinkan Ding Shikou memiliki sawah, ia malah masuk ke pabrik menjadi buruh, dan menjalani hidup yang jauh dari hidup bahagia sebagai petani.(hlm: 159).

Dengan paparan singkat seperti ini, timbul pertanyaan mengapa Ding Shikou tak dapat memiliki sawah dan mengapa harus menjadi buruh di pabrik? Jawaban untuk hal-hal ini tak dapat ditemukan dari cerita, pembaca harus cermat menangkap tiga kata kunci, yaitu “sawah”, “pabrik”, dan “buruh” sebagai jalan membuka pemahaman melalui referensi pendukung. Usia produktif Ding Shikou untuk bekerja, nampaknya merupakan masa peralihan dari eraland reformyang dicanangkan Partai Komunis Cina pada pertengahan tahun 1950an menuju era percepatan industrialisasi di Cina (Fairbank, 1987: 282-284). Kondisi ini membuat kebutuhan akan buruh meningkat. Pabrik-pabrik didorong mencetak pekerja-pekerja keras, disiplin dan taat pada pemerintah. Buruh-buruh yang berhasil menjadi model bagi para buruh lainnya akan diberi penghargaan, dan diberi sebutan “shifu”. Tidak adanya pilihan pekerjaan, membuat tokoh Ding Shikou harus bekerja di pabrik dengan kepatuhan total kepada instruksi dan jargon-jargon pemerintah. Semua hal dijalaninya dengan ketekunan yang luar biasa, hingga ia tak punya waktu memperhatikan kondisi sekitar. Akibatnya, saat menghadapi masa pensiun yang datang lebih awal, sang tokoh gamang menghadapi dunia di luar pabrik yang ternyata telah mengalami perubahan besar. Pabrik telah membentuknya menjadi manusia yang kaku, dan tak memiliki ketrampilan lain selain bekerja monoton menghadapi mesin di pabrik. Ia perlu belajar dari awal untuk menghadapi perubahan mengejutkan ini. Setelah berhenti kerja dari pabrik, berupaya keluar dari “kungkungan” pengawasan ketat pemerintah, dan mencoba memulai bisnis baru menyewakan tempat untuk bercinta, Ding Shikou kerap dihantui oleh perasaan bersalah. Ia merasa pekerjaan yang ia lakukan bertentangan dengan nilai-nilai moral yang selama ini ditanamkan dan telah terpatri di benaknya.

Merujuk pada kondisi sosial nyata pada masa Mao berkuasa, kontrol sosial di Cina memang sangat ketat, melibatkan polisi-polisi di bawah panduan Kementrian Keamanan Umum untuk menjangkau desa-desa. Tugas mereka adalah melakukan investigasi, pengawasan kepada masyarakat, memungut pajak dan kontribusi, dan melarang segala bentuk kegiatan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah atau partai (Yee, 1957: 85). Nampaknya, nilai-nilai seperti inilah yang secara tak langsung telah membentuk kepribadian tokoh Ding sebagaimana yang terlihat dalam cerita.

Di bagian akhir cerita, Ding merasa didatangi sepasang tamu anggota partai yang berniat menyewa tempat bercinta yang dimiliki Ding. Sepasang tamu tersebut di luar dugaannya menghilang begitu saja, hingga diperkirakan mati oleh Ding. Di bawah perasaan takut luar biasa akibat peristiwa tersebut, bisnisnya nyaris gulung tikar dan hidupnya juga nyaris hancur. Berkat bantuan temannya, Ding akhirnya menyadari bahwa semua itu ternyata halusinasinya saja:

“Xiaohu, sekarang saya mengerti. Kedua orang itu adalah hantu...”

Selesai mengatakan ini, ia merasa punggungnya dingin, kulit kepalanya menegang, tapi setelah itu hatinya justru jadi luar biasa tenang.

Lü Xiaohu, dengan perasaan makin sebal, lantas berkata, “Shifu, semakin lama semakin konyol saja!” (hlm: 197)

Dari petikan di atas, terlihat bahwa bayangan anggota partai pun ternyata bisa turut campur menghantui gerak langkah seseorang. Yang tak kalah menarik dari cerita pendek ini adalah latar waktu yang begitu panjang yang digunakan Mo Yan dalam bercerita, yaitu semenjakland reformdiberlakukan di Cina hingga masa dimana jalan-jalan di kota besar di Cina mulai banyak dilalui kendaraan-kendaraan mewah seperti Audi, Santana, dan Cherokee. Bisa diperkirakan bahwa latar waktu cerita adalah 40 tahun, yaitu sejak tahun 1950an hingga 1990-an. Refleksi perubahan kondisi sosial dari satu masa ke masa lainnya, berikut dampaknya pada sikap manusia dapat terlihat dengan jelas dalam cerpen.

(6)

(d) Penutup

Mengajarkan bagaimana melakukan kajian terhadap karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang Cina kepada mahasiswa, memerlukan beberapa strategi, yaitu: memilihkan cerita pendek yang sesuai untuk tujuan pengajaran kajian sastra, dan membekali mereka dengan pengetahuan dasar mengenai kondisi sosial di Cina melalui referensi pendukung di luar karya yang dapat memperkuat pemahaman dan kajian. Teks yang dipilih sebaiknya yang berbahasa Mandarin, agar mahasiswa dapat menangkap makna sebaik mungkin dari teks, baik itu melalui nama tokoh dalam cerita, simbol-simbol yang muncul, maupun peristiwa yang dipaparkan.

Untuk memaksimalkan kajian, mahasiswa perlu melakukan paduan pendekatan, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Memadukan pembahasan atas unsur-unsur yang membangun karya itu sendiri dengan aspek di luar karya sastra. Prinsipnya, pendekatan intrinsik merupakan langkah awal untuk membedah, sedangkan pendekatan ekstrinsik menjadi cara untuk memperkaya dan maksimalkan hasil kajian. Sejak zaman dulu, di Cina dikenal istilahwenshi bu fen(文史 不分), yaitu: sastra tak terpisahkan dari sejarah. Karena tradisi itulah, bisa dilihat bahwa realisme dalam karya sastra sangat kuat. Pengarang-pengarang Cina sangat jeli melihat dan menaruh perhatian besar pada kondisi sosial zamannya, dan kemudian mengangkatnya ke dalam karya. Pembaca yang teliti akan dapat menemukan bahwa meski berbeda zaman, cara pengarang mengangkat cerita dan menyampaikan kritik sosial sesungguhnya mirip dari waktu ke waktu, hanya latar waktu sejarah dan kondisi sosialnya sajalah yang membedakan.

Daftar Pustaka

o

Budianto, Minah Febriani, 2016,

Tokoh, Penokohan, dan Kritik Pengarang dalam Cerpen Tuan

Hua Wei

(Hua Wei Xiansheng

华威先生)

Karya Zhang Tanyi

, Depok: FIB UI (Skripsi Sarjana)

o

Fairbank, John King, 1987,

The Great Chinese Revolution 1800-1985

, New York: Harper & Row.

o

Lau, D.C. (compiler), 1987,

Lu Xun Xiaoshuoji-Cihui

(魯迅小說集-詞彙), Hongkong: The

Chinese University Press.

o

Li, Ping, 2014, “Translators’ Selection on Chinese Fictions Translated into English during the Anti

-Japanese War to the Establishment of

the People’s Republic of China”,

Academic Research

Journals

, volume 2(4), halaman 32-47, April.

o

Mo, Yan, 2001,

Shifu, You'll Do Anything for a Laugh

(H. Goldblatt, Trans.), New York: Arcade.

o

Mo, Yan

莫言, 2010,

Shifu Yuelai Yue Youmo

(師傅越来越幽默), Shanghai: Shanghai Wenyi

Chubanshe.

o

Nuraini, Dwi, 2015,

Analisis Cerita Yao Karya Lu Xun

, Yogyakarta: D3 Bahasa Mandarin UGM

(Tugas Akhir)

o

Rachmi, Nur, dan Rasti Suryandani (penerjemah), 1992,

Lu Xun, Catatan Harian Orang Gila, dan

Cerita Pendek Lainnya

, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

o

Shih, Chia-ying. (2014).

The Transformation of Satire: Satirical Fiction in Wartime Chongqing

(1937-1945).

Washington, DC: University of Washington (disertasi)

o

Tanriwa, Arkan, 2016,

Kontras Kepribadian antar Generasi dalam Cerpen

“Shifu Semakin Lama

Semakin Konyol”, Depok: FIB UI (tugas akhir/jurnal mahasiswa).

o

Xia Zhiqing

夏志清,

2005,

Zhongguo Xiandai Xiaoshuoshi

(中国现代小说史), Shanghai: Fudan

Daxue Chubanshe

(7)

Sastra, Budaya, danPerubahanSosial

o

Zhang, Tianyi

张天翼

, 2002,

Hua Wei Xiansheng

(

华威先生

) dalam

Zhongguo Xiandai

Mingjia Duanpian Xiaoshuo Xuan

(

中国现代名家短篇小说选

). Beijing: Waiwen Chuban

(8)

Referensi

Dokumen terkait

Sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh perusahaan Maxpell Technology (2017) tentang insinerator maxpell yang terdiri dari cerobong asap yang berfungsi untuk

Evaluasi dalam model DDD-E dilakukan pada setiap tahap pengembangan. Tidak hanya pada produk akhir, evaluasi dilakukan mulai tahap decide, design dan develop. Pada tahap decide

Karena derajat disosiasi asam lemah kecil, maka berdasarkan persamaan kimia dari reaksi ionisasi asam lemah tersebut diketahui bahwa konsentrasi ion hidrogen sama dengan

table digunakan untuk menjadikan teks terpilih berada dalam tabel 4 Excel SpreadSheet untuk menyisipkan tabel dalam bentuk lembar kerja Excel. 5 Quick Tables untuk

Melaksanakan pengoperasian Wheel Loader sesuai dengan aplikasi dan teknik operasi yang benar untuk jenis pekerjaan konstruksi tertentu dengan Waktu Siklus (Cycle time) maksimal 150

Buku Murung Raya Dalam Angka Tahun 2015 merupakan publikasi yang memuat informasi daerah yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Murung Raya bekerja

Sistem Informasi Pernikahan Pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Bangil - Pasuruan “ dengan tujuan agar dengan adanya penelitian ini dapat memecahkan masalah yang timbul di