• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun 2013"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk seksual tidaklah pernah bisa luput karena disaat

berbicara masalah seputar seks rasanya tidak akan ada habis-habisnya. Hanya

kematian yang dapat mencegahnya, karena masalah seks akan tetap hidup dan akan

terus hidup (Dianawati, 2006). Manusia sebagai makhluk hidup yang sempurna, tidak

dapat dipungkiri adalah makhluk seksual. Jika diterjemahkan, seksualitas adalah

bagaimana seseorang merasakan dan mengekspresikan sifat dasar dan ciri-ciri seksual

yang khusus (Nugraha, 2007).

Seksual dimulai dengan beberapa perubahan pubertas selama masa remaja dan

dilanjutkan seluruhnya dalam kehidupan dewasa (Nugraha, 2007). Oleh karena itu,

dalam hal ini yang paling berperan penting adalah remaja. Masa remaja adalah suatu

masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam artian psikologis tetapi

juga fisik. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun

psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh

berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai pula

dengan berkembangnya kapasitas reproduktif. Bahkan perubahan-perubahan fisik

yang terjadi itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja,

sedangkan perubahan-perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari

(2)

Saat remaja dalam masa perkembangannya, mulai memasuki masa-masa yang

disebut masa pubertas. Pada masa inilah remaja mengalami perubahan sistem hormon

seksual yaitu berkembangnya organ-organ reproduksi yang membuat perubahan

dalam perkembangan seks sekunder remaja baik pada perempuan maupun pada

laki-laki. Pada umumnya, pada masa ini remaja putri mengalami haid/menstruasi pertama,

dan remaja putra mengalami mimpi basah, sehingga organ-organ fisik dapat

mencapai taraf kematangan yang memungkinkan berfungsinya sistem reproduksi

dengan sempurna (Dariyo, 2007). Selain itu, perkembangan sistem hormonal

menyebabkan perubahan seksual yaitu dengan menimbulkan dorongan-dorongan dan

perasaan-perasaan baru. Keseimbangan hormonal yang baru menyebabkan individu

merasakan hal-hal yang belum pernah dirasakan sebelumnya (Agustiani, 2009).

Kematangan seks menandakan bahwa adanya perubahan hormon, sehingga

dorongan seks semakin meluap. Perlunya bimbingan yang benar tentang perubahan

ini saat dorongan itu muncul karena jika dibiarkan akan semakin liar. Akibatnya, para

remaja ingin melampiaskannya dengan mencari bacaan atau film-film porno, bahkan

ada juga yang dengan sengaja melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks

komersial ataupun melakukan masturbasi (Dianawati, 2006).

Adanya kebutuhan setiap orang terutama remaja pada khususnya untuk dapat

memahami seks dengan baik dan benar merupakan petunjuk bahwa pendidikan seks

diperlukan. Seperti yang kita ketahui, sebagaimana masyarakat itu selalu berkembang

dan mengalami perubahan, yang termasuk pula perubahan nilai dan moralitas serta

(3)

peka karena sangat dibutuhkan, namun di pihak lain orang berusaha untuk

menutup-nutupinya. Sebenarnya masalah seks tidak perlu ditutup-tutupi, namun juga tidak

lantas dibicarakan secara terbuka di tempat umum karena seks bukanlah hal yang

tabu, sekalipun dibicarakan di dalam keluarga, antara orangtua dan anak-anaknya

(Wuryani, 2008).

Pada dasarnya, pendidikan seks sudah dikenal sejak saat seseorang dilahirkan.

Seseorang yang terlahir, baik laki-laki maupun perempuan, akan terus mengalami

perkembangan seksual secara fisik dari anak-anak sampai memasuki usia remaja

yang dipengaruhi oleh hormon seks (laki-laki dan perempuan). Seiring dengan

berlalunya waktu, perkembangan fisikoseksual (termasuk biologis dan fisiologis)

diikuti dengan adanya perkembangan psikoseksual. Kedua perkembangan itu harus

berjalan seimbang karena dapat mempengaruhi kehidupan seksualnya ketika

memasuki gerbang perkawinan (Dianawati, 2006).

Pendidikan seksualitas itu dimulai dari manusia itu sendiri yang bertujuan

mengartikan penghayatan kehidupan seksual manusia yang berarti manusia

menjelaskan dan memberikan informasi tentang seksualitas manusia serta

meneguhkan makna atau menafsirkan nilai manusiawi terhadap seksualitas tersebut

(Tukan, 1993). Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran dan pemberian

informasi tentang masalah seksual. Salah satu informasi yang diberikan adalah

pengetahuan tentang fungsi organ reproduksi dengan menanamkan moral, etika,

komitmen agar tidak terjadi 'penyalahgunaan' organ seksual tersebut. Dengan begitu

(4)

Pentingnya peran orangtua dalam hal ini akan sangat mendukung perilaku

remaja terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya. Pada saat sesama orangtua

saling memperdebatkan penting tidaknya membicarakan masalah seks pada

anak-anaknya, permasalahan yang dibahas di media cetak, elektronik, dan dalam

kehidupan sehari-hari juga berkaitan dengan masalah seks ini. Dengan melihat begitu

besar perhatian seseorang terhadap kebutuhan seksualnya, berarti masyarakat kita

sudah mulai menyadari pentingnya mendapatkan pengetahuan seks secara jelas dan

terbuka. Pendidikan seks tidaklah terbatas jangkauannya karena dimulai dari usia

anak-anak, remaja, sampai orangtua. Dalam hal ini dapat dilihat betapa pentingnya

peran orangtua dalam menyikapi persoalan-persoalan yang ada serta perlunya untuk

lebih terbuka (Dianawati, 2006).

Banyak pihak beranggapan bahwa membicarakan seks kepada anak

remajanya adalah hal yang tabu sehingga hal yang ditakutkan adalah pendidikan seks

justru akan memancing anak dan remaja untuk tertarik berhubungan seksual. Padahal,

secara ilmiah sudah terbukti sebaliknya. Remaja yang diberikan pendidikan seks yang

tepat justru menunda berhubungan seksual (Anna, 2012).

Anggapan kebanyakan orangtua bahwa membicarakan masalah seks adalah

sesuatu hal yang tabu inilah yang seharusnya dihilangkan karena dapat menghambat

penyampaian pengetahuan seks yang seharusnya sudah dapat dimulai dari segala usia.

Selain itu, kemungkinan besar para orangtua merasa kuatir jika si anak mengetahui

lebih banyak masalah seksualitas, karena akan semakin meningkatkan rasa penasaran

(5)

mencegah pengaruh dari luar untuk memenuhi rasa ingin tahu si anak yang tidak

perlu dilakukan namun perlu diketahuinya. Pasalnya, setiap anak yang sehat pasti

ingin sekali mengetahui perkembangan dan perbedaan anggota tubuhnya dengan

orang lain, ingin merasakan dan mengetahui arti ciuman dan sentuhan seperti yang

sering dilihatnya, baik di TV atau lingkungan sekitarnya. Bisa juga anak tersebut

ingin mengetahui perasaan, khayalan seksual, dan proses terjadinya reproduksi yang

mungkin masih membingungkannya. Jika hal itu terjadi, maka disitulah peran serta

orangtua yang berkontribusi besar dalam menangani problema yang terjadi

(Dianawati, 2006).

Arti pendidikan seks disini adalah agar dapat membantu para remaja laki-laki

dan perempuan untuk mengetahui risiko dari sikap seksual mereka dan mengajarkan

pengambilan keputusan seksualnya secara dewasa, sehingga tidak menimbulkan

hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun orangtuanya. Jika para orangtua secara arif

dan bijaksana dalam menyikapi permasalahan yang dialami oleh anak-anak dan

lingkungan sekitarnya, maka arti seks itu sendiri akan berubah menjadi sangat indah

dan sangat berarti bagi kelangsungan hidup manusia (Dianawati, 2006).

Pentingnya memberikan pendidikan seks bagi remaja sudah seharusnya kita

pahami. Karena pada dasarnya usia remaja merupakan masa transisi, dimana pada

masa ini terjadinya perubahan baik fisik, emosional, maupun seksual (Dianawati,

2006). Adapun aspek yang penting untuk disampaikan dalam pendidikan seks adalah

anatomi tubuh, sistem reproduksi manusia, kesehatan dan perilaku. Selama ini ilmu

(6)

Pengetahuan Alam). Penjelasan anatomi tubuh antara laki-laki dan perempuan

berbeda bentuk dan fungsi, sistem reproduksi dapat mulai berlangsung sejak akil

balig (pada perempuan sejak telah mendapatkan menstruasi) (Arum, 2012).

Survei oleh WHO tentang pendidikan seks membuktikan bahwa pendidikan

seks bisa mengurangi atau mencegah perilaku hubungan seks sembarangan yang

berarti pula mengurangi tertularnya penyakit akibat hubungan seks bebas. Pendidikan

seks yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak azazi manusia, juga nilai-nilai

kultur dan agama diikutsertakan di dalamnya sehingga akan merupakan pendidikan

akhlak dan moral juga (Zuhra, 2011).

Sebuah penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 68 persen orangtua

tak pernah berusaha menjelaskan masalah seks pada anak-anaknya. Kebanyakan dari

mereka merasa malu untuk menjelaskannya. Bahkan sekitar 47 persen orangtua

percaya bahwa sekolah memiliki tanggung jawab penuh untuk mengajarkan anak

tentang hubungan seksual. Hasil ini diketahui berdasarkan survei yang dilakukan oleh

CouponCodes4u pada 2.305 orangtua yang memiliki setidaknya satu anak berusia di

atas 12 tahun. Sekitar 44 persen orangtua beralasan bahwa mereka terlalu malu untuk

mendiskusikan seks dengan anak. Sekitar 27 persen mengatakan bahwa mereka

menjauhi topik itu karena alasan agama. Sementara 11 persen orangtua tak mau

menjelaskan hal itu karena tak percaya bahwa anak membutuhkan pelajaran seksual.

Uniknya, 15 persen orangtua percaya anggota keluarga lain seperti kakak bisa

menjadi rujukan bagi anak mereka untuk belajar tentang seks. Lebih dari seperlima

(7)

persen orangtua merasa televisi dan internet bisa memberikan pelajaran tentang seks

pada anak (Ananda, 2013).

Meski diskusi mengenai seks dengan anak adalah salah satu hal yang ditakuti

orangtua, namun lebih dari 62 persen orangtua setuju bahwa pendidikan seks penting

bagi anak. Hanya 18 persen orangtua mengaku bahwa mereka sendiri baru

mendapatkan pelajaran itu saat dewasa. Sekitar 49 persen orang tua berpikir anak

harus mulai memahami seks ketika berusia 10 atau 15 tahun. Sekitar 37 persen

orangtua juga percaya bahwa mengajarkan tentang seks secara langsung pada anak

juga bisa mencegah anak untuk mencari informasi dari sumber lain, yang bisa jadi

salah dan mendorong mereka melakukan hal yang tak benar (Ananda, 2013).

Dalam memberikan pendidikan seks, sebaiknya orangtua melakukannya

sesuai dengan usia anak. Saat anak berusia balita misalnya, bisa diajarkan mengenai

anggota tubuhnya. Anak biasanya juga mulai bertanya dari mana bayi berasal.

Disinilah bisa memberikan penjelasan dengan cerita yang sesuai dengan

pemahamannya, tidak perlu terlalu detail dan rumit. Karena ketika anak beranjak

remaja sekitar 12-14 tahun, dorongan seksual di masa puber biasanya mulai

meningkat. Disinilah orangtua harus berperan mengajarkan anak mengenai sistem

reproduksi dan cara kerjanya. Jelaskan pada anak konsekuensi jika mereka

(8)

Menurut psikolog dan sex educator Ninuk Widyantoro, yang terpenting

sebelum memberikan pendidikan seks pada anak adalah menetapkan tujuan yang

jelas, yaitu mempersiapkan anak secara bertahap agar siap menghadapi berbagai

perubahan fisik dan emosional yang menyangkut seksualitasnya dan bisa melewati

fase-fase hidupnya dengan selamat. Selain itu, ancaman pelecehan seksual, pergaulan

bebas, kehamilan di luar nikah pada usia dini, gempuran informasi melalui media

massa, serta penularan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS tentu

menjadi alasan kuat untuk membekali anak dengan pendidikan seks, agar mereka bisa

melindungi diri dan berpikir sebelum bertindak (Anonim, 2013).

Sebelum memulai memberikan pendidikan seks, orangtua perlu bekal

pengetahuan yang cukup mengenai seksualitas karena ada orangtua yang bahkan

tidak mengerti perbedaan antara seks dan seksualitas. Seks hanyalah perbedaan

biologis antara pria dan wanita. Sedangkan seksualitas lebih luas dari itu, antara lain

mencakup kebersihan genital, ketertarikan pada lawan jenis, timbulnya nafsu birahi,

hingga orientasi seksual. Disamping itu, orangtua juga perlu memiliki keterampilan

komunikasi, menyangkut cara berbicara dan bahasa tubuh seperti halnya berbicara

dengan nada yang manis pada anak bukan menggurui atau menakut-nakuti selain itu

juga harus lebih bersikap santai. Seks bukanlah sesuatu yang jorok atau dosa tetapi

sesuatu yang normal, karena melalui hubungan sekslah kelangsungan hidup manusia

terpelihara. Berbicara soal seksualitas bukan cuma seputar hubungan intim pria dan

(9)

Studi yang digagas oleh organisasi kesehatan reproduksi The Guttmacher

Institute telah membuktikan pentingnya pendidikan seks pada kalangan remaja. Para

ahli menganalisa data sekitar 4.691 remaja Amerika Serikat berusia 15-24 tahun yang

diperoleh dari National Survey of Family Growth antara tahun 2006 hingga 2008.

Pertanyaan dalam survei tersebut antara lain berusaha menggali apakah para remaja

memiliki bekal formal mengenai bagaimana menolak seks dan juga metode

kontrasepsi. Para remaja itu juga menjawab pertanyaan tentang pengalaman pertama

mereka melakukan seks vaginal (Anna, 2012).

Hasil survei menunjukkan, sekitar dua pertiga remaja putri dan 55 persen

remaja pria pernah mendapatkan informasi mengenai pentingnya kontrasepsi dan

mengatakan tidak pada hubungan seks. Sekitar 20 persen menjawab mereka hanya

belajar bagaimana menunda seks dan 16 persen perempuan dan 24 persen anak

laki-laki mengatakan mereka tidak mendapatkan pendidikan seks. Kelompok terakhir,

yakni yang tidak mendapat pendidikan seks ternyata memiliki perilaku seksual yang

paling buruk. Dari kelompok ini, lebih dari 80 persen mengaku mereka berhubungan

seks sebelum berusia 20 tahun. Selain itu, remaja yang mendapatkan pendidikan seks

mengaku mereka menggunakan kontrasepsi saat berhubungan seks pertama kali.

Mereka juga cenderung memiliki pasangan yang "lebih sehat", yakni kekasih yang

usianya sepantar atau tidak lebih dari tiga tahun (Anna, 2012).

Survei yang dipimpin oleh Trisha Mueller, pakar penyakit menular dari pusat

penelitian di Atlanta. Sebanyak 2.019 remaja berusia 15-19 menjadi responden.

(10)

tidak berhubungan seks sebelum berusia 15 tahun. Sedangkan remaja pria, 71% orang

yang mendapat pendidikan seks mengatakan tidak berhubungan seks sebelum usia 15

tahun. Pada kelompok remaja berisiko tinggi seperti keturunan Afrika Amerika dan

yang tinggal di daerah kota, pendidikan seks memberikan hasil lebih baik. Sekitar

88% mengatakan tidak berhubungan seks sama sekali sebelum usia 15 tahun. Remaja

pria lulusan sekolah menengah dan mendapat pendidikan seks tercatat tiga kali lebih

memperhatikan penggunaan alat kontrasepsi dibanding mereka yang tidak mendapat

pendidikan seks (Ginjow, 2012).

Pendidikan seks masih menjadi kontroversi patut tidaknya untuk dimasukkan

dalam kurikulum di sekolah walaupun sebenarnya pendidikan seks di sekolah sudah

ada sejak tahun 1950-an di negara Swiss dan Swedia, sedangkan di negara Perancis,

Jerman dan Polandia sejak tahun 1970-an (Arum, 2012). Pada usia remaja, seorang

anak belum dapat bertanggung jawab sepenuhnya. Hal-hal yang mereka lakukan

hanya merupakan kesenangan sesaat. Ketidakjelasan pendidikan seks dari

orangtuanya akan menimbulkan berbagai masalah yang mengacu pada gangguan

seksual ketika memasuki kehidupan seksual yang sebenarnya dengan pasangannya.

Karenanya sangat dibutuhkan bimbingan dari orangtua yang memang sudah

seharusnya memiliki kedekatan hubungan dengan si anak.

Orangtua haruslah mengerti dan memahami terlebih dahulu jika terjadi

perubahan dalam diri anaknya, sehingga anak pun merasa mendapatkan perhatian dan

kasih sayang dari orangtuanya. Dengan begitu, mereka tanpa segan dan malu akan

membicarakan semua persoalan yang dihadapinya (Dianawati, 2006). Karena

(11)

informasi yang muncul. Mereka haus informasi dan selalu merasa ingin tahu akan

sesuatu yang baru. Disinilah peran/bimbingan dari orangtua dan guru sangat

diperlukan. Tetapi di sisi lain, orangtua maupun guru masih banyak yang malu dan

merasa tabu untuk memberikan pendidikan seks pada anak mereka (Arum, 2012).

Tidak ada pengaruh yang signifikan dari pendidikan seks terhadap sikap mengenai

seks pranikah (Yuniarti, 2007).

Hasil penelitian menunjukkan 86,7% orangtua di Lingkungan XVII

Kelurahan Tanjung Rejo, Medan memiliki persepsi positif tentang pendidikan seks

bagi remaja. Dari hasil penelitian ini dapat diinterpretasikan bahwa orangtua

mendukung pendidikan seks bagi remaja (Bukit, 2005). Penelitian yang dilakukan

mengenai Perilaku Keluarga Terhadap Pendidikan Seks Bagi Remaja di Kelurahan

Sibuluan Nauli Sibolga bahwa dari 46 responden didapat pada pengetahuan keluarga

terhadap pendidikan seks bagi remaja, responden yang memiliki pengetahuan baik

yakni 38 orang (82,60%), sedangkan 8 orang responden memiliki pengetahuan cukup

(17,39%). Sikap keluarga terhadap pendidikan seks bagi remaja memiliki sikap

positif yakni 46 orang (100%). Pada tindakan keluarga terhadap pendidikan seks bagi

remaja, responden yang memiliki tindakan baik ada 39 orang (84,78%), sedangkan 7

orang (15,21%) memiliki tindakan yang cukup (Azni, 2010). Berdasarkan penjelasan

diatas maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengetahui

bagaimana perilaku orangtua siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam pemberian

(12)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, pada saat melakukan survei pendahuluan

diketahui bahwasanya anak-anak (khususnya siswa SMP Santo Thomas 3 Medan)

sering bermain game online di warnet terdekat (tepat berada di depan sekolah). Selain

bermain mereka juga membuka situs lain yaitu situs porno. Juga didapat informasi

bahwa rata-rata siswa (laki-laki) melakukan onani di kamar mandi. Maka rumusan

masalah penelitian ini adalah bagaimana perilaku orangtua siswa SMP Santo Thomas

3 Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks tahun 2013.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1.Tujuan Umum

Adapun tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui perilaku

orangtua siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam pemberian informasi mengenai

pendidikan seks tahun 2013.

1.3.2.Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui karakteristik yaitu umur, jenis kelamin, pendidikan,

dan pekerjaan orangtua siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam

pemberian informasi mengenai pendidikan seks tahun 2013.

2. Untuk mengetahui tingkatan pengetahuan orangtua siswa SMP Santo

Thomas 3 Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks

(13)

3. Untuk mengetahui tingkatan sikap orangtua siswa SMP Santo Thomas 3

Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks tahun

2013.

4. Untuk mengetahui tingkatan tindakan orangtua siswa SMP Santo Thomas

3 Medan dalam pemberian informasi mengenai pendidikan seks tahun

2013.

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian tentang “Perilaku Orangtua Siswa SMP Santo

Thomas 3 Medan Dalam Pemberian Informasi Mengenai Pendidikan Seks Tahun

2013” adalah sebagai berikut :

1. Sebagai bahan masukan bagi orangtua siswa untuk meningkatkan

perilakunya dalam hal pemberian informasi mengenai pendidikan seks.

2. Sebagai bahan masukan bagi pihak sekolah mengenai perilaku orangtua

siswa SMP Santo Thomas 3 Medan dalam pemberian informasi

pendidikan seks tahun 2013.

3. Sebagai bahan referensi dalam pengembangan keilmuan khususnya di

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Menambah wawasan baru bagi penulis mengenai perilaku orangtua siswa

SMP Santo Thomas 3 Medan dalam hal pemberian informasi mengenai

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini juga dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan Zuraidah (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan Pola Asuh Orang Tua dan Kesiapan Psikologis Anak Dengan

Jurusan kimia FMIPA Universitas Negeri Padang. Kimia Lingkungan dan Green

dan untuk mencari file tersebut bisa gunakan syntax #find imagemagick.tar.gz (nama harus sama dengan filenya) contohnya saya, file imagemagick.tar.gz

The determination of chemical kinetics constant of triphenyltin(IV) p-hydroxybenzoate by the use of cyclic voltammetry has been performed, The compound used was

Namun demikian, keseluruhan tingkat retensi budidaya ikan dan pilihan mata pencaharian yang terkait di antara masyarakat Adivasi ditemukan relatif tinggi untuk

Integrasi pasar beras tersebut akan dilihat melalui harga beras kualitas medium tingkat retail pada 26 propinsi di Indonesia, harga beras jenis IR-64 kualitas II dan kualitas

PROFIL REPRESENTASI MENTAL SISWA KETIKA MEMBACA GAMBAR REPRESENTASI KONVENSI DAN ISOMORFISME SPASIAL PADA MATERI SISTEM EKSKRESI MANUSIA.. Universitas Pendidikan

Peserta didik yang mengikuti program bisa mengikuti magang di perusahaan Mitra kerja lp3n sesuai dengan program yang diikuti.. RENCANA JANGKA