• Tidak ada hasil yang ditemukan

Batalnya Resepsi Pernikahan Sebagai Alasan Perceraian (Analisis Yuridis Putusan Perkara Nomor 583/Pdt.G/2012/Pa.Bgr)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Batalnya Resepsi Pernikahan Sebagai Alasan Perceraian (Analisis Yuridis Putusan Perkara Nomor 583/Pdt.G/2012/Pa.Bgr)"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

AHMAD FARHAN SUBHI NIM : 1 0 9 0 4 4 1 0 0 0 4 3

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)
(3)
(4)
(5)

Agama, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. vi + 94 halaman + 19 halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hukum menyelenggarakan dan menghadiri resepsi pernikahan. Karena masyarakat masih kurang memahami tentang hukum menyelenggarakan dan menghadiri resepsi pernikahan. Hakim Pengadilan Agama Bogor menjadikan batalnya resepsi pernikahan sebagai salah satu alasan dalam memutuskan perceraian sebagaimana yang terdapat dalam putusan Pengadilan Agama Bogor nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr. Penulis memilih obyek penelitian di Pengadilan Agama Bogor. Penulis ingin mengetahui pertimbangan hukum dan majlis hakim dalam memutuskan perkara batalnya resepsi pernikahan sebagai alasan perceraian.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Data diperoleh melalui buku atau literatur kepustakaan dan wawancara. Wawancara dilakukan dengan hakim Pengadilan Agama Bogor yang memutuskan perkara nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr terkait pertimbangan hukum hakim mengenai batalnya resepsi pernikahan yang dijadikan sebagai salah satu alasan diputusnya perceraian pada perkara tersebut.

Hasil penelitian menunjukan bahwa batalnya resepsi pernikahan menjadi salah satu variable yang menyebabkan ketidak harmonisan hubungan rumah tangga atau dengan kata lain sebagai salah satu pemicu terjadinya perceraian.

Kata kunci : Resepsi Pernikahan, Perceraian, Pengadilan Agama Bogor.

(6)

i





Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, ungkapan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kepada

Allah Swt atas segala ni’mat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan penuh perjuangan dan usaha yang sebaik-baiknya. Untaian

shalawat beriringkan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad

Saw, seorang pemimpin ummat, penyelamat di dunia dan pemberi syafa’at di akhirat,

serta teriring pula salam kepada keluarga-Nya, para sahabat dan pengikut-Nya yang

senantiasa ta’at dan setia hingga hari kiamat.

Berbagai macam kesulitan dan hambatan turut menyertai langkah penulis

dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, namun langkah tersebut berakhir pada

suatu jalan kemudahan yang lahir berkat bantuan dan dukungan serta bimbingan dan

arahan yang berguna dari berbagai pihak, baik pihak luar maupun keluarga terdekat.

Dengan demikian, pada kesempatan yang baik ini penulis mengungkapkan

rasa terima kasih disertai dengan rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M., Dekan Fakultas Syariah

(7)

ii

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik, semoga beliau selalu

dalam lindungan dan kasih sayang Allah Swt.

5. Narasumber dan staff lembaga Pengadilan Agama Bogor, yang telah memberikan

izin serta membantu penulis dalam observasi dan wawancara terkait data yang

penulis perlukan dalam penelitian skripsi, khususnya kepada Drs. H. Mohammad

Yamin, S.H., M.H., selaku ketua Pengadilan Agama Bogor yang telah

memberikan izin kepada penulis dan Drs. M. Anshori, S.H., M.H., selaku hakim

yang telah bersedia menjadi narasumber dan memberikan informasi kepada

penulis.

6. Seluruh dosen Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum yang

telah memberikan ilmu dan pengetahuan selama penulis menuntut ilmu di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada para Pimpinan dan

Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum yang telah menyediakan fasilitas

belajar dan mengajar dengan baik. Serta Staff Perpustakaan, baik Perpustakaan

Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

menyediakan sarana perpustakaan dengan baik sehingga memudahkan penulis

(8)

iii

Ibunda Sri Mulyani, S.Pd.I tercinta, yang telah merawat, mengasuh dan mendidik

penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta memberikan dukungan, do’a

dan pengorbanan yang tak terhingga sehingga penulis bisa menjadi seperti

sekarang ini, rasa hormat dan terimakasih yang tiada tara untukmu ayah dan ibuku.

Juga untuk kedua adinda kembarku, Ahmad Syahrul Fadhil dan Ahmad Syahroni

Fadhil, yang telah memberikan do’a dan dukungan kepada penulis serta menjadi

motivasi bagi penulis agar bisa memberikan tauladan yang baik. Dan juga kepada

keluarga besar Kong. H. Abdullah bin H. Muhajir dan keluarga besar Kong. H.

Muhammad bin Manah yang senantiasa memberikan do’a dan dukungan kepada

penulis disetiap perkumpulannya.

8. Para guru, asatidz dan keluarga besar Pondok Pesantren Al-Islamiy As-Salafiy

Ar-Ridwan, khususnya kepada Abah K.H. Zainal Abidin, S.Ag, yang telah mendidik

dan membekali penulis ilmu agama dan dasar kepribadian yang baik,

mudah-mudahan ilmu yang telah diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis

dan dapat penulis berikan manfaat pula untuk orang banyak.

9. Teman-teman seperguruan dan seperjuangan konsentrasi Peradilan Agama

angkatan 2009. Khususnya kepada sahabat karib penulis, Helmi, Rouf, Fajar,

Ihsan, Yusuf, Fauzan, Fikri, Duray, Asep, Ridwan, Nurdian, Mufti, Qosim, Ahdi,

Jefri, Udin, Mamduh, Eni, Dewi, Nailul, dan yang lainnya. Juga kakak kelas

penulis yang telah bersedia menjadi teman berdiskusi dan bertukar informasi

(9)

iv

terjalin dengan baik walaupun terdapat jarak dan waktu diantara kita. Tak lupa

pula teman-teman berkumpul dan berdiskusi pada forum PALAPA, PUKKANSI

dan IBNU SINA 23, yang telah menjadi wadah bertukar fikiran dan informasi

khususnya mengenai persoalan pada skripsi penulis.

Kepada semua pihak yang telah banyak memberikan do’a dan dukungan

kepada penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung atau pun berupa moriil

maupun materiil. Hanyalah ucapan terima kasih dan do’a yang dapat penulis

ungkapkan, semoga semua itu dapat diterima sebagai amal baik disisi Allah Swt,

serta memperoleh balasan berupa pahala yang berlipat ganda.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan

penyempurnaan skripsi ini, mengingat banyak sekali kekurangan di dalamnya.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis

dan umumnya bagi pembaca. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 28 Januari 2014.

(10)

v

KATA PENGANTAR ………. i

DAFTAR ISI ……… v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….. 8

C. Tujuan dan ManfaatPenelitian ………. 9

D. Review Studi Terdahulu ……….. 9

E. Metode Penelitian ……… 15

F. Sistematika Penulisan ……….. 19

BAB II PERCERAIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ………. 21

B. Macam-Macam Perceraian ……….. 29

C. Alasan-Alasan Perceraian ……… 38

D. Prosedur Penyelesaian Perkara Perceraian ………... 40

BAB III RESEPSI PERNIKAHAN A. Pengertian Resepsi Pernikahan ………. 52

B. Dasar Hukum Resepsi Pernikahan ……… 54

C. Waktu Melaksanakan Resepsi Pernikahan ……… 56

(11)

vi

NOMOR 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr

A. Profil Pengadilan Agama Bogor ……… 63

B. Para Pihak dan Kedudukan Masalah ………. 72

C. Pertimbangan Hakim ………. 73

D. Amar Putusan Hakim ……… 78

E. Analisis Penulis ………. 79

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 86

B. Saran-saran ... 87

(12)

1

BAB 1 PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa makhluk lain,

dengan kata lain manusia secara individu mempunyai potensi untuk berhubungan

atau berinteraksi dengan makhluk lain yang ada di muka bumi, khususnya dengan

manusia lainnya. Di dalam proses ini terdapat beberapa aturan yang harus

diperhatikan agar terciptanya keharmonisan dalam bermasyarakat serta keseimbangan

antara satu dengan yang lain.

Salah satu aturan tersebut ialah perkawinan. Perkawinan sangat dibutuhkan

dalam kehidupan bermasyarakat guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta

untuk menjadikan manusia senantiasa mengingat kepada Allah. Allah Swt berfirman

dalam QS. Al-Dzariyat (51) : 49

















(

تايراذلا

(49: 51/

Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.

Allah sebagai Yang Maha Pencipta menjadikan manusia laki-laki dan

perempuan supaya manusia itu hidup sebagai suami istri, hidup berkeluarga, serta

membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu mesti adanya suatu

(13)

Selanjutnya al-Qur‟an menjelaskan di dalam QS. Al-Ra‟d (13) : 38

















































(

لا

دعر

(38: 13

/

Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)”.

Berdasarkan ayat di atas, dapat difahami bahwa berkeluarga itu termasuk

ajaran rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul terakhir Nabi Muhammad Saw. Allah

Swt mengutus beberapa rasul sebelum Nabi Muhammad Saw dan memberikan

kepada mereka istri-istri dan keturunan.1

Adapun di dalam sabda Nabi Muhammad Saw dijelaskan :

ي َــ

َم ا

ْع َش

َر

َشلا

بـ َـــ

َبا

َم

ِن

ا ْست

َــ َط

ــــ ا

َع

ِم ْـــ

ُك

ُم

ْلابـ

ــــــَـ

َءا َة

َـف ْل

َيت َـ َز

َو

ْج

َفـ ِإن

َـ ُ

َأ َغ

ض

ِلـ ْل

َب َص

ِر

َو َأ

ْحــ

َصـ

ُن

ِلـ ْل

َفــ ْر

ِج

(

)ملسمو ىراخبلا اور

2

Artinya: “ Hai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantara kamu untuk melaksanakan perkawinan, maka hendaklah kawin, karena sesungguhnya dengan perkawinan itu dapat meredam pandangan (yang liar) dan lebih menjaga kehormatan”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan hadis di atas, dapat difahami bahwa bagi para pemuda yang telah

mampu menikah hendaknya melaksanakan pernikahan agar dapat menjaga

pandangan dari hal-hal yang tidak baik dan agar lebih menjaga kehormatan.

1

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet. III, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 14.

2

(14)

Dengan demikian, perkawinan adalah perintah Allah Swt yang diciptakan

bertujuan untuk melanjutkan keturunan dalam bentuk mewujudkan keluarga yang

sejahtera, di samping itu perkawinan juga bertujuan untuk menyalurkan rasa cinta dan

kasih sayang yang sah.3 Allah Swt juga mensyari‟atkan perkawinan agar supaya

hidup manusia didunia ini menjadi tentram.4

Menurut Prof. Abdul Rahman Ghazali, perkawinan berasal dari kata “kawin”

yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan

hubungan kelamin atau bersetubuh,5 kebersamaan, berkumpul, dan menjalin ikatan

antara suami istri.6

Kata perkawinan dalam ilmu fiqh yakni nikâh atau zuwâj. Nikah secara

etimologis mempunyai dua makna, yakni makna sebenarnya (haqiqat) dan makna

kiasan (majaz). Makna yang sebenarnya dari nikah, ialah al-ḏammu, yang berarti

menghimpit, menindih atau berkumpul, sedangkan makna kiasannya ialah al-waṯ‟u

yang berarti setubuh atau aqad mengadakan suatu perjanjian perkawinan.7

Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, diantaranya:

َالـ َز

عْرَش ُجاَو

ـــــ

ْقَعَوُا

ــــ

َعَضَو ٌد

ــــــ

َشلا ُ

ـــــــ

ِل ُعِرا

ــــ ُي

ْيِفــ

َتْمِتْسِا ُكْلِم َد

ــــــــــ

ِعا

ُجَرلا

ـــ

ِب ِل

ــ

َحَو ِةَأْرَمْلا

ـــ ل

3

Haya binti Mubarok, Ensiklopedi Wanita Muslimah, Penerjemah Amir Hamzah Fachrudin, dkk, (Jakarta: Darul Falah, 2002), h. 97.

4

M. Hasan Ali, Berumah Tangga Dalam Islam, cet.I, (Jakarta: Siraja, 2003), h. 1-2.

5

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 7.

6Musfin As‟ad

dan H. Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 1993), h. 17.

7

(15)

ْمِتْسِا

َرلاِب ِةَأْرَمْلا ِعاَت

ِلُج

Artinya: “Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk

membolehkan bersenang senang antara laki-laki dengan perempuan dan

menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”.8

Di Indonesia perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, yang mengatur segala sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan

perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan memberikan pengertian tentang

perkawinan yaitu: “Ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.9

Kompilasi Hukum Islam juga memberikan pengertian perkawinan yang

dinyatakan dalam Pasal 2 sebagai berikut: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.10

Dalam perkawinan dikenal suatu prosesi yang dinamakan walîmatul „ursi atau

resepsi pernikahan. Prosesi ini dilakukan untuk memberitahu khalayak ramai bahwa

kedua mempelai telah menjadi suami istri, sekaligus sebagai rasa syukur keluarga

kedua belah pihak atas berlangsungnya pernikahan tersebut.11

8

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 8.

9

CST. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jilid. II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 58.

10

Anggota IKAPI, kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2010), h. 7.

11

(16)

Dalam kaitannya dengan resepsi pernikahan, terdapat sebuah contoh kasus

yang terjadi di wilayah Pengadilan Agama Bogor, bahwasanya persoalan resepsi

pernikahan (dalam perkara ini yakni batalnya suatu resepsi pernikahan), menjadi

salah satu alasan diputusnya suatu perceraian.

Bagi umat muslim perceraian dikenal dengan istilah talak. Menurut Sayyid

Sabiq, talak adalah:

ِةــــَي ِجْوَزــلا ِةــــَق َََعْلا ُءاــَهْـنِإ َو ِجاَوَزــلا ِةـَطــــِباَر ٌلَح

Artinya: “Melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”.12

Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa perceraian itu ialah terlepasnya ikatan

perkawinan, dan terputusnya hubungan diantara suami istri akibat salah satu dari

beberapa sebab.13

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai wujud

kodifikasi hukum Islam, telah mengklasifikasikan penyebab terjadinya suatu

perceraian. Didalam pasal 38 UU Perkawinan disebutkan yakni perceraian terjadi

dengan sebab:

1. Kematian salah satu pihak,

2. Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat,

12

Sayyid Sabiq, Fiqẖ al-Sunnah, Jilid II, (Beirut: Darul Fikri), h. 206.

13

(17)

3. keputusan Pengadilan.14

Kemudian dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan

setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak.15 Dan di pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

ditegaskan pula bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu

antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri.

Ketentuan ini dijelaskan kembali didalam penjelasan pasal 39 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9

tahun 1975 dengan menyebutkan bahwasanya alasan-alasan yang dapat dipergunakan

untuk melaksanakan perceraian adalah:

1. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang

sukar disembuhkan

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain di luar kemauannya.

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih

berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang

membahayakan pihak lain.

14

H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 74.

15

(18)

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.

6. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak

ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.16

Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menambahkan alasan-alasan dalam

perceraian ini dengan penambahan dua alasan yaitu:

1. Suami melanggar taklik talak dan

2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan.17

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa batalnya resepsi pernikahan

sebagaimana yang tertera di dalam putusan Pengadilan Agama Bogor dalam perkara

Nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr tidaklah termasuk salah satu dari alasan perceraian

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Berdasarkan uraian di atas, penulis akan memfokuskan bahasan skripsi ini

pada kasus tersebut dengan judul skripsi: Batalnya Resepsi Pernikahan Sebagai

Alasan Perceraian (Analisis Yuridis Putusan Perkara Nomor

583/Pdt.G/2012/PA.Bgr)”.

16

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 248-249. Lihat pula Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

17

(19)

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Perceraian yang diajukan kepada Pengadilan Agama antaralain karena alasan

ekonomi dan nafkah, zina atau mabuk, kekejaman atau penganiyaan, selingkuh

dengan pihak ketiga, dan berbagai macam bentuk alasan lainnya. Dengan berbagai

macam alasan perceraian tersebut, maka penulis akan membatasi penulisan skripsi

ini pada kasus perceraian yang disebabkan batalnya resepsi pernikahan dan kasus

batalnya resepsi pernikahan ini adalah yang terdata di Pengadilan Agama Bogor.

2. PerumusanMasalah

Batalnya resepsi pernikahan sebagai alasan terjadinya perceraian, tidak

diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi pada

kenyataanya hakim Pengadilan Agama Bogor menjadikan batalnya resepsi

pernikahan sebagai salah satu alasan dalam memutuskan perceraian sebagaimana

yang terdapat dalam putusan Pengadilan Agama Bogor nomor

583/Pdt.G/2012/PA.Bgr.

Rumusan masalah tersebut penulis rangkum dalam beberapa pertanyaan

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hukum menyelenggarakan dan menghadiri resepsi pernikahan?

2. Bagaimanakah pertimbangan hukum dan majlis hakim dalam memutuskan

(20)

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui hukum menyelenggarakan dan menghadiri resepsi pernikahan.

2. Mengetahui pertimbangan hukum dan majlis hakim dalam memutuskan perkara

batalnya resepsi pernikahan sebagai alasan perceraian.

Sedangkan manfaat dari penelitian ini antara lain :

1. Memberikan masukan kepada pihak yang terkait, dalam hal ini yang dimaksud

adalah para pihak yang berkompetensi untuk mengkaji serta melegitimasi hukum

terkait resepsi pernikahan dan perceraian.

2. Membuka wawasan kepada masyarakat mengenai resepsi pernikahan.

3. Pengembangan kualitas diri dan pengetahuan di bidang hukum bagi penulis

terutama dibidang hukum perdata Islam.

4. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian yang serupa di masa

mendatang.

5. Menambah literatur kepustakaan.

D.Review Studi Terdahulu

Penulis melakukan review studi terdahulu untuk memastikan perbedaan serta

menampakan posisi akademis dari penelitian yang dijalankan agar tidak mengulang

(21)

No Judul Skripsi Isi Pembeda

1.

“KDRT Sebagai

Alasan Perceraian di

Pengadilan Agama

Tanggamus

Lampung”,Dhiaul

Fajri, 2009.

1. Menjadikan KDRT

sebagai topik utama

kajian.

2. Penelitian mengenai

kedudukan hukum

KDRT sebagai alasan

perceraian.

3. Penelitan terhadap

perkara yang terdapat

di Pengadilan Agama

Tanggamus Lampung.

1.Menjadikan batalnya

resepsi pernikahan

sebagai topik utama

kajian.

2.Penelitian mengenai

kedudukan hukum

batalnya resepsi

pernikahan sebagai

alasan perceraian.

3.Penelitan terhadap

perkara yang terdapat

di Pengadilan Agama

(22)

2.

Intervensi Orang Tua

Sebagai Faktor Pemicu

Perceraian (Studi

Analisis Putusan

Pengadilan Agama

Jakarta Barat).Eva

Muslimah, 2009.

1. Menjadikan intervensi

orang tua sebagai

topik utama kajian.

2. Penelitian mengenai

intervensi orang tua

sebagai faktor pemicu

perceraian.

3. Penelitan terhadap

perkara yang terdapat

di Pengadilan Agama

Jakarta Barat.

1.Menjadikan batalnya

resepsi pernikahan

sebagai topik utama

kajian.

2.Penelitian mengenai

kedudukan hukum

batalnya resepsi

pernikahan sebagai

alasan perceraian.

3.Penelitan terhadap

perkara yang terdapat

di Pengadilan Agama

(23)

3.

“Kekerasan Seksual

Sebagai Alasan

Perceraian (Analisis

Putusan No.

322/Pdt.G/2007/PA.JT)

.” Rahmat Hidayat,

2010.

1. Menjadikan

kekerasan seksual

sebagai topik utama

kajian.

2. Penelitian mengenai

kedudukan hukum

kekerasan seksual

sebagai alasan

perceraian.

3. Penelitan terhadap

perkara yang terdapat

di Pengadilan Agama

Jakarta Timur.

1. Menjadikan

batalnya resepsi

pernikahan sebagai

topik utama kajian.

2. Penelitian mengenai

kedudukan hukum

batalnya resepsi

pernikahan sebagai

alasan perceraian.

3. Penelitan terhadap

perkara yang

terdapat di

Pengadilan Agama

(24)

4.

Homoseksual Sebagai

Alasan Perceraian

(Analisis Putusan

Nomor:

838/Pdt.G/2009/PA.Dp

k dan Nomor:

211/Pdt.G/2009/PA.JT)

.Imam Hanafi, 2010.

1. Menjadikan homoseksual

sebagai topik utama

kajian.

2. Penelitian mengenai

kedudukan hukum

homoseksual sebagai

alasan perceraian.

3. Penelitan terhadap

perkara yang terdapat di

Pengadilan Agama

Depok dan Pengadilan

Agama Jakarta Timur.

1. Menjadikan batalnya

resepsi pernikahan

sebagai topik utama

kajian.

2. Penelitian mengenai

kedudukan hukum

batalnya resepsi

pernikahan sebagai

alasan perceraian.

3. Penelitan terhadap

perkara yang terdapat di

Pengadilan Agama

(25)

5.

Perselisihan Terus

Menerus Antara Suami

Isteri Akibat Turut

Campur Orang Tua

Sebagai Dasar Alasan

Perceraian (Kajian

Terhadap Putusan

Pengadilan Agama

Jakarta Timur No.

1164/Pdt.G/2008/PA.J

T).Ahmad Sauqi, 2010.

1. Menjadikan perselisihan

terus menerus antara

suami isteri sebagai topik

utama kajian.

2. Penelitian mengenai

kedudukan hukum

perselisihan terus

menerus antara suami

isteri akibat turut campur

orang tua sebagai alasan

perceraian.

3. Penelitan terhadap

perkara yang terdapat di

Pengadilan Agama

Jakarta Timur.

1. Menjadikan batalnya

resepsi pernikahan

sebagai topik utama

kajian.

2. Penelitian mengenai

kedudukan hukum

batalnya resepsi

pernikahan sebagai

alasan perceraian.

3. Penelitan terhadap

perkara yang terdapat di

Pengadilan Agama

(26)

E.Metode Penelitian.

Untuk memperoleh bahan yang diperlukan didalam penulisan skripsi ini,

penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Penelitian dan Pendekatan

Penelitian memiliki arti dan tujuan sebagai “suatu upaya pencarian” dan tidak

hanya merupakan sekedar pengamatan dengan teliti terhadap suatu obyek yang

terlihat kasat mata.18

Suatu penelitian ilmiah yang dilakukan oleh manusia bertujuan untuk

menyalurkan hasrat ingin tahunya yang telah mencapai taraf ilmiah, disertai dengan

suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab

akibatnya, atau kecenderungan yang timbul, oleh karena itu, menurut H.L. Manheim,

bahwa suatu penelitian pada dasarnya usaha secara cermat dan teliti untuk

menyelidiki berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu subjek ke dalam cara

berfikir ilmiah.19

Jenis penelitian yang diterapkan pada penyusunan skripsi ini adalah Penelitian

kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

argumentasi tertulis maupun lisan yang berasal dari orang atau pelaku yang diteliti.

Kemudian sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian

18

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 27-28.

19

(27)

yang dilakukan untuk menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kejadian

nyata dilapangan dari suatu obyek.20

Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu

pendekatan yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau

norma-norma dalam hukum positif.21

2. Sumber Data

1. Data Primer

Data primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan

hierarki peraturan undang-undang (sesuai dengan Undang-undang No.12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan),22 catatan-catatan

resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim.23 Dalam penelitian ini yakni:

a. Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan alasan-alasan

perceraian, yaitu:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

20

Sudarwan Damin, Menjadi Peneliti Kualitatif: Ancaman Metodologi, Presentasi dan Publikasi Hasil Penelitian, cet.I, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 51.

21

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.

22

Dalam Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat 1 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

23

(28)

2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

3) Kompilasi Hukum Islam.

b. Putusan Pengadilan Agama Bogor Nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr (telah

BHT).

2. Data sekunder

Data sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen resmi.24 Bahan hukum tersebut terdiri dari atas buku-buku teks yang

ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana,

komentar-komentar atas putusan pengadilan, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan

hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan tema skripsi ini.25

3. Data Tersier

Data tersier adalah data yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap

data primer dan data sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.26

3. Proses Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan

metode:

24

Ibid., h. 141.

25

Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 51.

26

(29)

1. Studi dokumentasi yaitu dengan melihat dan mencari hal-hal atau variabel berupa

catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen,

rapat, agenda, dan sebagainya.27

2. Wawancara, yakni suatu proses komunikasi interpersonal28 berupa tanya jawab

lisan antara dua orang atau lebih dengan cara bertatap muka langsung antara

pewawancara dengan orang yang diwawancarai.29

4. Analisis Data

Selanjutnya dalam analisis data pada skripsi ini penulis akan melakukan

kegiatan antara lain sebagai berikut:

1.Mengumpulkan data, yakni data-data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini

berupa data primer, sekunder maupun tersier.

2.Mengolah, menganalisis dan memberikan interpretasi terhadap data-data yang

telah dikumpulkan tersebut untuk dapat menjawab permasalahan yang telah

dirumuskan dalam penelitian ini dengan didukung oleh pandangan hakim

berdasarkan hasil wawancara penulis dengan hakim atau majlis hakim yang

memutuskan perkara Nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr tersebut.

27

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 201.

28“Komunikasi Interpersonal

menunjuk kepada suatu makna berupa komunikasi dengan orang lain”. Agus M. Hardjana, Komunikasi Interpersonal dan Intrapersonal, (Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), 2003), h. 110.

29

(30)

5. Tekhnik Penulisan.

Adapun dalam tekhnik penulisan pada skripsi ini penulis menggunakan

tekhnik dasar dalam penulisan karya ilmiah yang dalam hal ini berpedoman kepada

buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan.

Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari lima

bab, yang perinciannya sebagai berikut:

Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang mencakup latar belakang

masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua menjelaskan tentang pengertian, dasar hukum dan alasan-alasan

perceraian, perbedaan antara cerai talak dengan cerai gugat serta menjelaskan

prosedur penyelesaian perkara perceraian.

Bab ketiga menjelaskan tentang pengertian dan dasar hukum resepsi

pernikahan, waktu melaksanakan resepsi pernikahan, serta kedudukan hukum dalam

memenuhi undanganresepsi pernikahan.

Bab keempat menjelaskan tentang profil Pengadilan Agama Bogor dan

menjelaskan pula mengenai para pihak, kedudukan masalah, pertimbangan hakim dan

amar putusan hakim dalam putusan Pengadilan Agama Bogor nomor

(31)

Bab kelima berisi tentang bagian akhir dari pembahasan skripsi ini yaitu

(32)

21

PERCERAIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Secara harfiyah perceraian berasal dari istilah bahasa arab yaitu berasal dari

kata ṯalaq atau iṯlâq yang artinya ialah lepas dari ikatannya, berpisah, bercerai,1 atau

melepas tali dan membebaskannya.2 Yakni yang dimaksud ialah lepasnya suatu

ikatan perkawinan,3 berakhirnya hubungan perkawinan,4 atau bubarnya hubungan

suami istri.5

Wahbah Az-Zuhaili menerangkan bahwa istilah perceraian menurut bahasa

yaitu furqah, yakni memiliki makna al-iftirâq (berpisah), jamak‟nya adalah furaq,

sedangkan menurut istilah ialah terlepasnya ikatan perkawinan, dan terputusnya

hubungan diantara suami istri akibat salah satu dari beberapa sebab.6

Termasuk diantara kalimat talak adalah kalimat nâqatun ṯâliqun, maksudnya,

dilepaskan dengan tanpa kekangan. Juga kalimat asîrun muṯṯaliqun, yang artinya

terlepas ikatannya dan terbebas darinya. Akan tetapi, tradisi mengkhususkan talak

1

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, cet. XIV, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 861.

2

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 255.

3

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. VI, (Jakarta: At-tahiriyyah, 1976), hal. 376.

4

H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet. III, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 229. Lihat pula H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 202.

5

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 185.

6

(33)

dengan pengertian bebas pada terlepasnya ikatan secara indrawi pada orang yang

selain perempuan.7

Lafal talak telah ada sejak zaman jahiliah. Penduduk jahiliah

menggunakannya ketika melepas tanggungan, tetapi dibatasi tiga kali. Sebagaimana

hadis yang diriwayatkan dari Urwah bin Zubair RA, beliau berkata: “Dulunya

manusia mentalak istrinya tanpa batas dan bilangan.” Seseorang yang mentalak

istrinya, ketika mendekati habis masa menunggu, ia kembali kemudian mentalak lagi

begitu seterusnya, kemudian kembali lagi dengan maksud menyakiti wanita, maka

turunlah ayat dalam QS. Al-Baqarah (2) : 229 8

(229: 2/

ةرقبلا

)

ِناـَتَرَم ُقٰـلَطلا

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) hanya dua kali.”

Dalam riwayat lain, bahwasanya terdapat seorang laki-laki pada zaman

jahiliah mentalak istrinya kemudian kembali sebelum habis masa menunggu.

Andaikan wanita ditalak seribu kali, kekuasaan suami untuk kembali masih tetap ada.

Maka datanglah seorang wanita kepada Aisyah r.a., mengadu bahwa suaminya telah

mentalaknya dan kembali tetapi kemudian menyakitinya, kemudian Aisyah r.a.,

melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw, maka turunlah firman Allah Swt

dalam QS. Al-Baqarah (2) : 229 9

7

Ibid, h. 318.

8

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, h. 255.

9

(34)

(229: 2/

ةرقبلا

)

ِناـَتَرَم ُقٰـلَطلا

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) hanya dua kali.”

Adapun menurut istilah syara‟, talak adalah :

ِةــــَي ِجْوَزــلا ِةــــَق َََعْلا ُءاــَهْـنِإ َو ِجاَوَزــلا ِةـَطــــِباَر ٌلَح

Artinya: “Melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”.10

Imam Nawawi dalam bukunya Tahdzib sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, memberikan definisi talak yakni tindakan orang terkuasai terhadap suami yang terjadi tanpa sebab kemudian memutus

nikah.11

Menurut Abu Zakaria al-Anshari, talak ialah:

َح

ل

َع ْقـ

ِد

لاـ

َك

ِحا

ِب َل

ْف

ِظ

َطلا

ــ ََ

ِق

َو َنـ

ْح ِ

و ِ

Artinya: “Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya”.

Sedangkan menurut al-Jaziri, talak ialah:

ِإ َز َلا

ُة

لا

َك

ِحا

َأ

ْو ُـن

ْق

َص

ُنا

َح ل

ِ

ِب َل ْف

ظ

َْم

ُص

ْو

ص

Artinya: “Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya

dengan menggunakan lafadz atau kata tertentu.”

10

H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 229. Lihat pula Sayyid Sabiq, Fiqhusunnah, Jilid II, (Beirut: Darul Fikri), h. 206.

11

(35)

Adapun arti yang dimaksud adalah menghilangkan ikatan perkawinan

sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya,

hal ini terjadi dalam talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan

perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan

berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua

menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak dalam talak raj’i.12

Menurut hukum perdata, perceraian berasal dari bahasa Belanda yakni berasal

dari kata gescheiden yang berarti pemutusan hubungan suami istri dengan segala

konsekuensi hukumnya.13 Prof. Subekti, S.H., dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum

Perdata, memberikan sebuah definisi perceraian yakni ialah penghapusan perkawinan

dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.14

Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana tercantum dalam

Pasal 117 mendefinisikan talak sebagai ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, dengan cara

sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.15 KHI mensyaratkan

bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus disampaikan di hadapan sidang

Pengadilan Agama, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 115 yakni: “Perceraian

12

H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 230.

13

Charlie Rudyat, Kamus Hukum, (T.tp, Tim Pustaka Mahardika, t.th), h. 122.

14

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. XXXIV, (Jakarta: Intermasa, 2010), h. 42.

15

(36)

hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama

tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.16

Senada dengan pasal 115 KHI diatas, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

tentang Peradilan Agama juga menyatakan hal yang sama, sebagaimana yang

terdapat pada pasal 66 ayat (1) yakni: ”Seseorang suami yang beragama Islam yang

akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk

mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.”

Dari penjelasan perundangan di atas, dapat difahami bahwa

undang-undang telah mengatur bagi siapa saja yang ingin melangsungkan perceraian maka

dapat mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama berdasarkan alasan-alasan

yang dibenarkan oleh undang-undang.

Adapun demikian, kita harus meyakini bahwa perceraian adalah sesuatu yang

harus dihindari dalam suatu perkawinan meskipun perceraian merupakan bagian dari

hukum adanya perkawinan itu sendiri. Semakin kuat usaha manusia membangun

rumah tangganya, semakin mudah menghindarkan diri dari perceraian. Perceraian

mendatangkan kemudharatan, sedangkan sesuatu yang memudharatkan harus

ditinggalkan.17

Perceraian dilakukan karena mengandung unsur kemaslahatan. Perceraian

setidaknya merupakan alternatif yang lebih mendidik kedua belah pihak. Setelah

pernikahan seharusnya tidak ada perceraian, dan hanya kematian satu-satunya sebab

16

Ibid, h. 38.

17

(37)

dan alasan bagi terjadinya perceraian suami istri.18 Walaupun demikian kenyataan

menunjukan bahwa hubungan suami istri tidak selamanya dapat dipelihara secara

harmonis karena berbagai faktor atau sebab-sebab tertentu seperti konflik, ketidak

sepahaman, kecemburuan dan lain sebagainya.

Suatu konflik dapat lahir karena didasari atau didorong oleh emosi dan

konflik tidak akan ada dengan ketidakadaan emosi dalam hidup. Dalam hal

perkawinan, menghindari konflik dalam perkawinan dengan cara mengabaikannya

dapat menyebabkan retaknya hubungan suami istri dan bahkan perceraian.19

Menyelesaikan konflik antara suami dan istri dengan menempuh jalur

perceraian dapat memberikan waktu bagi masing-masing pihak untuk merenungkan

dan mempertimbangkan kembali kehidupan rumah tangganya. Mereka bebas untuk

meneruskan perceraian dan bebas pula untuk rukun kembali.20

Dengan demikian, perceraian harus dianggap sebagai suatu bencana. Akan

tetapi pada waktu-waktu tertentu ia adalah suatu bencana yang diperlukan.21

2. Dasar Hukum Perceraian

Al-Qur‟an memberikan penjelasan mengenai pertalian perkawinan dengan

istilah mitsaqan ghalî an (janji kokoh). Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Nisa (4):

21

18

Ibid, h. 186.

19

M. Thobroni dan Aliyah A. Munir, Meraih Berkah Dengan Menikah, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010), h. 147.

20

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 186.

21

(38)

(21: 4/

: ءاس لا

)

ظا

ِل ْي

َغ

اـ قا

ِم ْي َث

ْمُكِْم

َن

ْذ

َخ

َو َأ

Artinya: “Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu janji yang kuat”.

Berdasarkan ayat di atas, maka syari‟at Islam menjadikan pertalian suami istri

dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh. 22

Adapun dasar hukum disyariatkannya talak dalam al-Qur‟an, yakni

berdasarkan firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah (2) : 229



















)

ةرقبلا

/

(229 : 2

Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) hanya dua kali. Sesudah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang patut atau menceraikan (istrinya) dengan baik”.

Ayat tersebut dijadikan sebagai dasar hukum disyari‟atkannya talak

berdasarkan pendapat Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitabnya Fiqih Islam Wa

Adillatuhu.23

Pada dasarnya, talak terhukumi makruh sesuai sabda Rasulullah Saw: 24

َعــ

ْبا ِنـ

ــــ

َع َرَمُع ِن

ـ

ِبَلا ِنـ

ـــ

َص ي

ـــ

ّللا ىّل

ـ

ْيَلَع ُ

ــــ

َلَس َو ِ

ــ

َق َمـ

ــــــ

:لا

َغْـبَأـ

َْلا ُض

ـــــ

ََ

ٰلِإ ِل

ــــ

ّللا ى

ـ ِ

ُق َََطلَا

)مكالاو دواد وبا اور(

25

Artinya: “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Perbuatan halal yang

paling dibenci Allah Swt adalah talak” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim).

22

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet. III, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 211-212.

23

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah Abdul Hayyie al-kattani, dkk, h. 318.

24

H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 249.

25

(39)

Hal demikian menurut Wahbah az-Zuhaili merupakan dasar hukum

disyariatkannya talak berdasarkan sunnah yang berasal dari sabda Rasulullah Saw,

dan beliau menjelaskan bahwa terdapat sabda Rasulullah Saw lainnya yang juga

merupakan dasar hukum disyariatkannya talak, yakni :26

َخَأ ْنَمِل ُق َََطلا اَََِإ

ِقاَسلاِب َذ

)

نطقرادلاو جام نبا اور

(

27

Artinya: “Sesungguhnya talak dimiliki oleh orang yang memiliki hak untuk menyetubuhi”. (HR. Ibnu Majah dan ad-Daruquthni).

Ulama Syafi‟iyah (penganut madzhab Syafi‟i) dan Hanabilah (penganut

madzhab Hambali) berpendapat tentang hukum talak secara rinci. Menurut mereka

talak terkadang wajib dan terkadang haram dan sunah.28

Ulama Hanabilah memperinci hukum talak sebagai berikut :29

1. Talak wajib, misalnya talak dari hakam perkara syiqâq, yakni perselisihan suami

istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi, dan kedua pihak memandang

perceraian sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan persengketaan mereka.

Termasuk pula talak dari orang yang melakukan ila’, terhadap istrinya setelah

lewat waktu empat bulan.

2. Talak haram, yaitu talak yang tidak diperlukan atau yang bukan karena hajat,

karena akan merugikan diri suami dan istri serta melenyapkan maslahat yang dapat

26

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah Abdul Hayyie al-kattani, dkk, h. 318.

27

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid I, (Kairo: Daar Ihya al-Kutub al-„Arabiyyah, t.th), h. 672.

28

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, h. 258.

29

(40)

diperoleh sepasang suami istri tanpa ada hajat, keharamannya seperti merusak

harta.

Dalam hal ini ulama Syafi‟iyah berbeda pendapat, menurut mereka hal demikian

termasuk sebagai talak makruh dengan alasan bahwa talak dibenci tanpa ada hajat,

namun Rasulullah Saw menyebutnya sebagai barang halal. Dikarenakan talak

menghilangkan nikah yang mengandung banyak kemaslahatan yang dianjurkan,

maka talak ini termasuk talak makruh.30

3. Talak mubah, yaitu talak yang terjadi hanya apabila diperlukan, misalnya karena

istri sangat buruk pergaulannya atau tidak dapat diharapkan adanya kebaikan dari

pihak istri.

4. Talak mandub atau sunah, yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang sudah

keterlaluan dalam melanggar perintah-perintah Allah Swt, misalnya meninggalkan

sholat atau kelakuannya sudah tidak dapat diperbaiki lagi.

B. Macam-Macam Perceraian

1. Perceraian Ditinjau dari Segi Ada atau Tidaknya Kemungkinan Mantan Suami

Merujuk Kembali Mantan Istri.31

Menurut tinjauan ini, perceraian atau talak terbagi menjadi dua macam, yaitu:

1) Talak ẖaj’i, yaitu talak dimana suami masih mempunyai hak untuk merujuk

kembali istrinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu, dan

istri benar-benar sudah digauli.32

30

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, h. 258.

31

(41)

Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS. Al-Thalaq (65) : 1





































































(

قَطلا

/

56

:

1

(

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang

baru”.

Yang dimaksud dengan “menghadapi iddah yang wajar” dalam ayat tersebut

adalah hendaklah istri-istri itu ditalak ketika suci dan belum dicampuri.

Adapun yang dimaksud “perbuatan keji” adalah apabila istri melakukan

perbuatan-perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar

dan sebagainya. Dan adapun yang dimaksud dengan “sesuatu yang baru”

adalah keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaknya baru

dijatuhkan sekali atau dua kali.33

32

H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 231.

33

(42)

Hal tersebut sebagaimana yang telah Allah Swt jelaskan di dalam QS.

Al-Baqarah (2) : 229













































































)

ةرقبلا

/

(229 : 2

Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi

dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang

yang zalim”.

Dengan demikian jelaslah bahwa suami boleh merujuk istrinya kembali yang

telah ditalak sekali atau dua kali selama mantan istrinya itu masih dalam masa

iddah, atau dengan kata lain terjadi hanya pada talak pertama dan kedua saja.34

2) Talak Ba’in, adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami istri.35 Dapat diartikan pula sebagai talak yang tidak dapat dirujuk oleh suami

34

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 197.

35

(43)

kecuali dengan pernikahan baru walaupun dalam masa iddah,36 dan

pernikahan tersebut lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.37

Talak ba‟in, ada dua macam:

a) Talak Ba’in Sughra, yaitu talak yang berakibat hilangnya kepemilikan

hak mantan suami untuk merujuki mantan istrinya baik dalam masa

„iddah atau setelah habis masa „iddah, akan tetapi tidak menghilangkan

kehalalan mantan suami untuk kawin kembali dengan mantan istri

melalui akad nikah baru (rukun dan syarat pernikahan baru). Yang

termasuk dalam kategori talak ba’in sughra adalah:

a. Talak sebelum berkumpul, yakni yang dijatuhkan oleh suami terhadap

istri yang antara keduanya belum pernah terjadi dukhul

(persetubuhan).

b. Talak khulu’, yaitu talak dengan pergantian harta.

c. Talak karena „aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, talak

karena penganiayaan atau semacamnya.38

b) Talak Ba’in Kubra, yaitu talak yang mengakibatkan hilangnya

kepemilikan hak rujuk kepada mantan suami untuk merujuki mantan

istrinya baik dalam masa „iddah atau setelah habis masa „iddah, serta

menghilangkan kehalalan mantan suami untuk kawin kembali dengan

mantan istri, kecuali setelah mantan istri kawin dengan laki-laki lain dan

36

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 193.

37

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 198.

38

(44)

berkumpul (bersetubuh) dengan suami baru tersebut serta telah bercerai

secara wajar dan telah selesai menjalankan iddahnya.39 Prosedur tersebut

tidak boleh dilakukan dengan rekayasa sebagaimana dalam nikah

muẖallil.40

Dalam hal ini, al-Qur‟an menjelaskan di dalam QS. Al-Baqarah (2) : 230

























































)

ةرقبلا

/

(230 : 2

Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,

diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.

Berdasarkan ayat tersebut, dapat difahami bahwa yang termasuk ke dalam

kategori talak ba’in kubra ialah talak yang terjadi pada talak yang ketiga

dari talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami kepada istri.41

2. Perceraian Ditinjau dari Segi Waktu Dijatuhkannya Talak.42

Dalam hal ini, perceraian atau talak terbagi menjadi tiga macam:

39

Ibid, h. 199.

40

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 194.

41

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 199.

42

(45)

1) Talak Sunni, yakni talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya sesuai

dengan tuntunan sunnah, atau dengan kata lain talak yang berjalan sesuai

dengan ketentuan agama.43 yaitu yang memenuhi empat syarat:

a. Istri sudah pernah digauli. Jika talak dijatuhkan terhadap istri yang belum

pernah digaui, maka tidak termasuk talak sunni.

b. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yakni suci dari haid,

menurut „ulama Syafi‟iyah, perhitungan iddah bagi wanita berhaid ialah tiga

kali suci, bukan tiga kali haid.

Adapun Talak terhadap istri yang telah lepas haid (menopause), atau belum

pernah haid atau sedang hamil atau talak karena suami meminta tebusan

(khulu‟) atau ketika istri sedang dalam keadaan haid, maka itu semua tidak

termasuk talak sunni.

c. Talak dijatuhkan oleh suami kepada istri ketika si istri dalam keadaan suci,

baik di permulaan, pertengahan maupun di akhir masa suci, walaupun

beberapa saat lalu datang haid.

d. Suami tidak pernah menggauli istrinya selama masa suci tepat di mana

suami menjatuhkan talak. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri

dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, maka tidak termasuk

talak sunni.

2) Talak Bid’i, yakni talak yang menyalahi ketentuan agama.44 dapat diartikan

pula sebagai talak yang tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah

43

(46)

atau tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni.45 Beberapa contoh talak yang

termasuk talak bid’i antara lain :

a. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid (menstruasi), baik di

permulaan, di pertengahan, maupun di akhir.

b. Talak yang dijatuhkan istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli pada

masa suci tersebut.

3) Talak Lâ Sunni Wa Lâ Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istri

yang tidak termasuk kategori talaksunni dan talakbid’i, seperti:

a. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.

b. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid atau telah lepas

dari haidnya (menopause).

c. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil dalam akad nikah

yang sah.

3. Perceraian Ditinjau dari Tegas atau Tidaknya Kata-Kata yang Digunakan Dalam

Menjatuhkan Talak.46

Dalam hal ini, perceraian atau talak terbagi dua :

1) Talak Sarih, yaitu talak yang dijatuhkan dengan kata-kata yang jelas dan tegas,

dapat difahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan. Imam

Syafi‟i mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk talak sharih ada

44

Ibid, h. 193.

45

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 194.

46

(47)

tiga macam, yaitu talak, cerai dan sarah, karena ketiga kata itu disebut dalam

Al-Qur‟an dan Hadits.

Adz-Zahiriyah berpendapat bahwa talak tidak jatuh kecuali dengan

mempergunakan salah satu dari tiga kata tersebut di atas, karena syara‟ telah

mempergunakan kata-kata tersebut dan karena talak adalah perbuatan ibadah

maka diisyaratkan dengan kata-kata yang telah ditetapkan oleh syara‟.

Beberapa contoh talak sharih ialah seperti suami berkata kepada istrinya :

a. “Engkau saya talak sekarang juga, atau engkau saya cerai sekarang juga”.

b. “Engkau saya firaq sekarang juga, atau engkau saya pisahkan sekarang

juga”.

c. “Engkau saya sarah sekarang juga, atau engkau saya lepas sekarang juga”.

Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan talak sharih, maka

menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya, sepanjang ucapannya itu

dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri.

2) Talak Kinâyah, yaitu talak yang dijatuhkan dengan kata-kata yang bersifat

sindiran atau sa

Referensi

Dokumen terkait

4.2.4 Penggunan Produk Mudharabah pada Bank BNI Syariah di Jakarta Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat pada gambar 3 bahwa respon responden pada pengunaan produk

Dalam musyawarah yang dihadiri oleh Kepala Desa Wates, Kepala Desa Undaan Lor, serta beberapa warga yang tergabung dalam kelompok tani tersebut salah satunya menghadirkan

Pada penelitian ini untuk proyek risiko tinggi juga selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Ade Setiawan, dkk karena dia menyebutkan bahwa pelaksanaan

Menurut Chanon & Potnam (1934) dalam Christopher (1960) pada kodisi optimum telur tersebut dapat disimpan selama enam bulan dengan angka kematian yang rendah

No. Sedangkan teknik analisis data untuk subjek ujicoba menggunakan skala Guttman yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Hasil Penelitian dan Pengumpulan Data

Kompetensi yang tercakup dalam unit kompetensi ini harus diujikan secara konsisten pada seluruh elemen dan dilaksanakan pada situasi pekerjaan yang sebenarnya ditempat kerja

Rasio Anak-Wanita (Child-Woman Ratio) merupakan ukuran fertilitas yang diperoleh dari sensus penduduk (Palmore 1978, diacu dalam Hadi 2008), CWR ini dinyatakan dengan rasio

Pengujian ketiga variabel bebas X (NPL, LAR, dan LDR) berpengaruh signifikan terhadap variabel Keputusan Pemberian Kredit (Y) sehingga hipotesis yang diajukan terbukti.