Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
AHMAD FARHAN SUBHI NIM : 1 0 9 0 4 4 1 0 0 0 4 3
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
Agama, Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syari’ah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H / 2014 M. vi + 94 halaman + 19 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui hukum menyelenggarakan dan menghadiri resepsi pernikahan. Karena masyarakat masih kurang memahami tentang hukum menyelenggarakan dan menghadiri resepsi pernikahan. Hakim Pengadilan Agama Bogor menjadikan batalnya resepsi pernikahan sebagai salah satu alasan dalam memutuskan perceraian sebagaimana yang terdapat dalam putusan Pengadilan Agama Bogor nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr. Penulis memilih obyek penelitian di Pengadilan Agama Bogor. Penulis ingin mengetahui pertimbangan hukum dan majlis hakim dalam memutuskan perkara batalnya resepsi pernikahan sebagai alasan perceraian.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif. Data diperoleh melalui buku atau literatur kepustakaan dan wawancara. Wawancara dilakukan dengan hakim Pengadilan Agama Bogor yang memutuskan perkara nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr terkait pertimbangan hukum hakim mengenai batalnya resepsi pernikahan yang dijadikan sebagai salah satu alasan diputusnya perceraian pada perkara tersebut.
Hasil penelitian menunjukan bahwa batalnya resepsi pernikahan menjadi salah satu variable yang menyebabkan ketidak harmonisan hubungan rumah tangga atau dengan kata lain sebagai salah satu pemicu terjadinya perceraian.
Kata kunci : Resepsi Pernikahan, Perceraian, Pengadilan Agama Bogor.
i
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, ungkapan rasa syukur senantiasa penulis panjatkan kepada
Allah Swt atas segala ni’mat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan penuh perjuangan dan usaha yang sebaik-baiknya. Untaian
shalawat beriringkan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad
Saw, seorang pemimpin ummat, penyelamat di dunia dan pemberi syafa’at di akhirat,
serta teriring pula salam kepada keluarga-Nya, para sahabat dan pengikut-Nya yang
senantiasa ta’at dan setia hingga hari kiamat.
Berbagai macam kesulitan dan hambatan turut menyertai langkah penulis
dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, namun langkah tersebut berakhir pada
suatu jalan kemudahan yang lahir berkat bantuan dan dukungan serta bimbingan dan
arahan yang berguna dari berbagai pihak, baik pihak luar maupun keluarga terdekat.
Dengan demikian, pada kesempatan yang baik ini penulis mengungkapkan
rasa terima kasih disertai dengan rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, M.A., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M., Dekan Fakultas Syariah
ii
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik, semoga beliau selalu
dalam lindungan dan kasih sayang Allah Swt.
5. Narasumber dan staff lembaga Pengadilan Agama Bogor, yang telah memberikan
izin serta membantu penulis dalam observasi dan wawancara terkait data yang
penulis perlukan dalam penelitian skripsi, khususnya kepada Drs. H. Mohammad
Yamin, S.H., M.H., selaku ketua Pengadilan Agama Bogor yang telah
memberikan izin kepada penulis dan Drs. M. Anshori, S.H., M.H., selaku hakim
yang telah bersedia menjadi narasumber dan memberikan informasi kepada
penulis.
6. Seluruh dosen Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah dan Hukum yang
telah memberikan ilmu dan pengetahuan selama penulis menuntut ilmu di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada para Pimpinan dan
Civitas Akademika Fakultas Syariah dan Hukum yang telah menyediakan fasilitas
belajar dan mengajar dengan baik. Serta Staff Perpustakaan, baik Perpustakaan
Utama maupun Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
menyediakan sarana perpustakaan dengan baik sehingga memudahkan penulis
iii
Ibunda Sri Mulyani, S.Pd.I tercinta, yang telah merawat, mengasuh dan mendidik
penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta memberikan dukungan, do’a
dan pengorbanan yang tak terhingga sehingga penulis bisa menjadi seperti
sekarang ini, rasa hormat dan terimakasih yang tiada tara untukmu ayah dan ibuku.
Juga untuk kedua adinda kembarku, Ahmad Syahrul Fadhil dan Ahmad Syahroni
Fadhil, yang telah memberikan do’a dan dukungan kepada penulis serta menjadi
motivasi bagi penulis agar bisa memberikan tauladan yang baik. Dan juga kepada
keluarga besar Kong. H. Abdullah bin H. Muhajir dan keluarga besar Kong. H.
Muhammad bin Manah yang senantiasa memberikan do’a dan dukungan kepada
penulis disetiap perkumpulannya.
8. Para guru, asatidz dan keluarga besar Pondok Pesantren Al-Islamiy As-Salafiy
Ar-Ridwan, khususnya kepada Abah K.H. Zainal Abidin, S.Ag, yang telah mendidik
dan membekali penulis ilmu agama dan dasar kepribadian yang baik,
mudah-mudahan ilmu yang telah diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis
dan dapat penulis berikan manfaat pula untuk orang banyak.
9. Teman-teman seperguruan dan seperjuangan konsentrasi Peradilan Agama
angkatan 2009. Khususnya kepada sahabat karib penulis, Helmi, Rouf, Fajar,
Ihsan, Yusuf, Fauzan, Fikri, Duray, Asep, Ridwan, Nurdian, Mufti, Qosim, Ahdi,
Jefri, Udin, Mamduh, Eni, Dewi, Nailul, dan yang lainnya. Juga kakak kelas
penulis yang telah bersedia menjadi teman berdiskusi dan bertukar informasi
iv
terjalin dengan baik walaupun terdapat jarak dan waktu diantara kita. Tak lupa
pula teman-teman berkumpul dan berdiskusi pada forum PALAPA, PUKKANSI
dan IBNU SINA 23, yang telah menjadi wadah bertukar fikiran dan informasi
khususnya mengenai persoalan pada skripsi penulis.
Kepada semua pihak yang telah banyak memberikan do’a dan dukungan
kepada penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung atau pun berupa moriil
maupun materiil. Hanyalah ucapan terima kasih dan do’a yang dapat penulis
ungkapkan, semoga semua itu dapat diterima sebagai amal baik disisi Allah Swt,
serta memperoleh balasan berupa pahala yang berlipat ganda.
Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan
penyempurnaan skripsi ini, mengingat banyak sekali kekurangan di dalamnya.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat, khususnya bagi penulis
dan umumnya bagi pembaca. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 28 Januari 2014.
v
KATA PENGANTAR ………. i
DAFTAR ISI ……… v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….. 8
C. Tujuan dan ManfaatPenelitian ………. 9
D. Review Studi Terdahulu ……….. 9
E. Metode Penelitian ……… 15
F. Sistematika Penulisan ……….. 19
BAB II PERCERAIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian ………. 21
B. Macam-Macam Perceraian ……….. 29
C. Alasan-Alasan Perceraian ……… 38
D. Prosedur Penyelesaian Perkara Perceraian ………... 40
BAB III RESEPSI PERNIKAHAN A. Pengertian Resepsi Pernikahan ………. 52
B. Dasar Hukum Resepsi Pernikahan ……… 54
C. Waktu Melaksanakan Resepsi Pernikahan ……… 56
vi
NOMOR 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr
A. Profil Pengadilan Agama Bogor ……… 63
B. Para Pihak dan Kedudukan Masalah ………. 72
C. Pertimbangan Hakim ………. 73
D. Amar Putusan Hakim ……… 78
E. Analisis Penulis ………. 79
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 86
B. Saran-saran ... 87
1
BAB 1 PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah
Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa makhluk lain,
dengan kata lain manusia secara individu mempunyai potensi untuk berhubungan
atau berinteraksi dengan makhluk lain yang ada di muka bumi, khususnya dengan
manusia lainnya. Di dalam proses ini terdapat beberapa aturan yang harus
diperhatikan agar terciptanya keharmonisan dalam bermasyarakat serta keseimbangan
antara satu dengan yang lain.
Salah satu aturan tersebut ialah perkawinan. Perkawinan sangat dibutuhkan
dalam kehidupan bermasyarakat guna melangsungkan kehidupan umat manusia serta
untuk menjadikan manusia senantiasa mengingat kepada Allah. Allah Swt berfirman
dalam QS. Al-Dzariyat (51) : 49
(
تايراذلا
(49: 51/
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”.
Allah sebagai Yang Maha Pencipta menjadikan manusia laki-laki dan
perempuan supaya manusia itu hidup sebagai suami istri, hidup berkeluarga, serta
membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu mesti adanya suatu
Selanjutnya al-Qur‟an menjelaskan di dalam QS. Al-Ra‟d (13) : 38
(
لا
دعر
(38: 13
/
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu)”.
Berdasarkan ayat di atas, dapat difahami bahwa berkeluarga itu termasuk
ajaran rasul-rasul sejak dahulu sampai rasul terakhir Nabi Muhammad Saw. Allah
Swt mengutus beberapa rasul sebelum Nabi Muhammad Saw dan memberikan
kepada mereka istri-istri dan keturunan.1
Adapun di dalam sabda Nabi Muhammad Saw dijelaskan :
ي َــ
َم ا
ْع َش
َر
َشلا
بـ َـــ
َبا
َم
ِن
ا ْست
َــ َط
ــــ ا
َع
ِم ْـــ
ُك
ُم
ْلابـ
ــــــَـ
َءا َة
َـف ْل
َيت َـ َز
َو
ْج
َفـ ِإن
َـ ُ
َأ َغ
ض
ِلـ ْل
َب َص
ِر
َو َأ
ْحــ
َصـ
ُن
ِلـ ْل
َفــ ْر
ِج
(
)ملسمو ىراخبلا اور
2Artinya: “ Hai para pemuda, barang siapa yang telah sanggup diantara kamu untuk melaksanakan perkawinan, maka hendaklah kawin, karena sesungguhnya dengan perkawinan itu dapat meredam pandangan (yang liar) dan lebih menjaga kehormatan”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadis di atas, dapat difahami bahwa bagi para pemuda yang telah
mampu menikah hendaknya melaksanakan pernikahan agar dapat menjaga
pandangan dari hal-hal yang tidak baik dan agar lebih menjaga kehormatan.
1
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet. III, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 14.
2
Dengan demikian, perkawinan adalah perintah Allah Swt yang diciptakan
bertujuan untuk melanjutkan keturunan dalam bentuk mewujudkan keluarga yang
sejahtera, di samping itu perkawinan juga bertujuan untuk menyalurkan rasa cinta dan
kasih sayang yang sah.3 Allah Swt juga mensyari‟atkan perkawinan agar supaya
hidup manusia didunia ini menjadi tentram.4
Menurut Prof. Abdul Rahman Ghazali, perkawinan berasal dari kata “kawin”
yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh,5 kebersamaan, berkumpul, dan menjalin ikatan
antara suami istri.6
Kata perkawinan dalam ilmu fiqh yakni nikâh atau zuwâj. Nikah secara
etimologis mempunyai dua makna, yakni makna sebenarnya (haqiqat) dan makna
kiasan (majaz). Makna yang sebenarnya dari nikah, ialah al-ḏammu, yang berarti
menghimpit, menindih atau berkumpul, sedangkan makna kiasannya ialah al-waṯ‟u
yang berarti setubuh atau aqad mengadakan suatu perjanjian perkawinan.7
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, diantaranya:
َالـ َز
عْرَش ُجاَو
ـــــ
ْقَعَوُا
ــــ
َعَضَو ٌد
ــــــ
َشلا ُ
ـــــــ
ِل ُعِرا
ــــ ُي
ْيِفــ
َتْمِتْسِا ُكْلِم َد
ــــــــــ
ِعا
ُجَرلا
ـــ
ِب ِل
ــ
َحَو ِةَأْرَمْلا
ـــ ل
3Haya binti Mubarok, Ensiklopedi Wanita Muslimah, Penerjemah Amir Hamzah Fachrudin, dkk, (Jakarta: Darul Falah, 2002), h. 97.
4
M. Hasan Ali, Berumah Tangga Dalam Islam, cet.I, (Jakarta: Siraja, 2003), h. 1-2.
5
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 7.
6Musfin As‟ad
dan H. Salim Basyarahil, Perkawinan dan Masalahnya, (Jakarta: Pustaka Al-Kausar, 1993), h. 17.
7
ْمِتْسِا
َرلاِب ِةَأْرَمْلا ِعاَت
ِلُج
Artinya: “Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk
membolehkan bersenang senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki”.8
Di Indonesia perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, yang mengatur segala sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan
perkawinan. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan memberikan pengertian tentang
perkawinan yaitu: “Ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.9
Kompilasi Hukum Islam juga memberikan pengertian perkawinan yang
dinyatakan dalam Pasal 2 sebagai berikut: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.10
Dalam perkawinan dikenal suatu prosesi yang dinamakan walîmatul „ursi atau
resepsi pernikahan. Prosesi ini dilakukan untuk memberitahu khalayak ramai bahwa
kedua mempelai telah menjadi suami istri, sekaligus sebagai rasa syukur keluarga
kedua belah pihak atas berlangsungnya pernikahan tersebut.11
8
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 8.
9
CST. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jilid. II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), h. 58.
10
Anggota IKAPI, kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2010), h. 7.
11
Dalam kaitannya dengan resepsi pernikahan, terdapat sebuah contoh kasus
yang terjadi di wilayah Pengadilan Agama Bogor, bahwasanya persoalan resepsi
pernikahan (dalam perkara ini yakni batalnya suatu resepsi pernikahan), menjadi
salah satu alasan diputusnya suatu perceraian.
Bagi umat muslim perceraian dikenal dengan istilah talak. Menurut Sayyid
Sabiq, talak adalah:
ِةــــَي ِجْوَزــلا ِةــــَق َََعْلا ُءاــَهْـنِإ َو ِجاَوَزــلا ِةـَطــــِباَر ٌلَح
Artinya: “Melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”.12
Wahbah az-Zuhaili berpendapat bahwa perceraian itu ialah terlepasnya ikatan
perkawinan, dan terputusnya hubungan diantara suami istri akibat salah satu dari
beberapa sebab.13
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai wujud
kodifikasi hukum Islam, telah mengklasifikasikan penyebab terjadinya suatu
perceraian. Didalam pasal 38 UU Perkawinan disebutkan yakni perceraian terjadi
dengan sebab:
1. Kematian salah satu pihak,
2. Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat,
12
Sayyid Sabiq, Fiqẖ al-Sunnah, Jilid II, (Beirut: Darul Fikri), h. 206.
13
3. keputusan Pengadilan.14
Kemudian dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan
setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.15 Dan di pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
ditegaskan pula bahwa untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu
antara suami isteri tidak akan hidup sebagai suami isteri.
Ketentuan ini dijelaskan kembali didalam penjelasan pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9
tahun 1975 dengan menyebutkan bahwasanya alasan-alasan yang dapat dipergunakan
untuk melaksanakan perceraian adalah:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemauannya.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang
membahayakan pihak lain.
14
H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet. III, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 74.
15
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
6. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.16
Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menambahkan alasan-alasan dalam
perceraian ini dengan penambahan dua alasan yaitu:
1. Suami melanggar taklik talak dan
2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan.17
Dengan demikian, terlihat jelas bahwa batalnya resepsi pernikahan
sebagaimana yang tertera di dalam putusan Pengadilan Agama Bogor dalam perkara
Nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr tidaklah termasuk salah satu dari alasan perceraian
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Berdasarkan uraian di atas, penulis akan memfokuskan bahasan skripsi ini
pada kasus tersebut dengan judul skripsi: “Batalnya Resepsi Pernikahan Sebagai
Alasan Perceraian (Analisis Yuridis Putusan Perkara Nomor
583/Pdt.G/2012/PA.Bgr)”.
16
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 248-249. Lihat pula Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
17
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Perceraian yang diajukan kepada Pengadilan Agama antaralain karena alasan
ekonomi dan nafkah, zina atau mabuk, kekejaman atau penganiyaan, selingkuh
dengan pihak ketiga, dan berbagai macam bentuk alasan lainnya. Dengan berbagai
macam alasan perceraian tersebut, maka penulis akan membatasi penulisan skripsi
ini pada kasus perceraian yang disebabkan batalnya resepsi pernikahan dan kasus
batalnya resepsi pernikahan ini adalah yang terdata di Pengadilan Agama Bogor.
2. PerumusanMasalah
Batalnya resepsi pernikahan sebagai alasan terjadinya perceraian, tidak
diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi pada
kenyataanya hakim Pengadilan Agama Bogor menjadikan batalnya resepsi
pernikahan sebagai salah satu alasan dalam memutuskan perceraian sebagaimana
yang terdapat dalam putusan Pengadilan Agama Bogor nomor
583/Pdt.G/2012/PA.Bgr.
Rumusan masalah tersebut penulis rangkum dalam beberapa pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah hukum menyelenggarakan dan menghadiri resepsi pernikahan?
2. Bagaimanakah pertimbangan hukum dan majlis hakim dalam memutuskan
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui hukum menyelenggarakan dan menghadiri resepsi pernikahan.
2. Mengetahui pertimbangan hukum dan majlis hakim dalam memutuskan perkara
batalnya resepsi pernikahan sebagai alasan perceraian.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini antara lain :
1. Memberikan masukan kepada pihak yang terkait, dalam hal ini yang dimaksud
adalah para pihak yang berkompetensi untuk mengkaji serta melegitimasi hukum
terkait resepsi pernikahan dan perceraian.
2. Membuka wawasan kepada masyarakat mengenai resepsi pernikahan.
3. Pengembangan kualitas diri dan pengetahuan di bidang hukum bagi penulis
terutama dibidang hukum perdata Islam.
4. Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian yang serupa di masa
mendatang.
5. Menambah literatur kepustakaan.
D.Review Studi Terdahulu
Penulis melakukan review studi terdahulu untuk memastikan perbedaan serta
menampakan posisi akademis dari penelitian yang dijalankan agar tidak mengulang
No Judul Skripsi Isi Pembeda
1.
“KDRT Sebagai
Alasan Perceraian di
Pengadilan Agama
Tanggamus
Lampung”,Dhiaul
Fajri, 2009.
1. Menjadikan KDRT
sebagai topik utama
kajian.
2. Penelitian mengenai
kedudukan hukum
KDRT sebagai alasan
perceraian.
3. Penelitan terhadap
perkara yang terdapat
di Pengadilan Agama
Tanggamus Lampung.
1.Menjadikan batalnya
resepsi pernikahan
sebagai topik utama
kajian.
2.Penelitian mengenai
kedudukan hukum
batalnya resepsi
pernikahan sebagai
alasan perceraian.
3.Penelitan terhadap
perkara yang terdapat
di Pengadilan Agama
2.
Intervensi Orang Tua
Sebagai Faktor Pemicu
Perceraian (Studi
Analisis Putusan
Pengadilan Agama
Jakarta Barat).Eva
Muslimah, 2009.
1. Menjadikan intervensi
orang tua sebagai
topik utama kajian.
2. Penelitian mengenai
intervensi orang tua
sebagai faktor pemicu
perceraian.
3. Penelitan terhadap
perkara yang terdapat
di Pengadilan Agama
Jakarta Barat.
1.Menjadikan batalnya
resepsi pernikahan
sebagai topik utama
kajian.
2.Penelitian mengenai
kedudukan hukum
batalnya resepsi
pernikahan sebagai
alasan perceraian.
3.Penelitan terhadap
perkara yang terdapat
di Pengadilan Agama
3.
“Kekerasan Seksual
Sebagai Alasan
Perceraian (Analisis
Putusan No.
322/Pdt.G/2007/PA.JT)
.” Rahmat Hidayat,
2010.
1. Menjadikan
kekerasan seksual
sebagai topik utama
kajian.
2. Penelitian mengenai
kedudukan hukum
kekerasan seksual
sebagai alasan
perceraian.
3. Penelitan terhadap
perkara yang terdapat
di Pengadilan Agama
Jakarta Timur.
1. Menjadikan
batalnya resepsi
pernikahan sebagai
topik utama kajian.
2. Penelitian mengenai
kedudukan hukum
batalnya resepsi
pernikahan sebagai
alasan perceraian.
3. Penelitan terhadap
perkara yang
terdapat di
Pengadilan Agama
4.
Homoseksual Sebagai
Alasan Perceraian
(Analisis Putusan
Nomor:
838/Pdt.G/2009/PA.Dp
k dan Nomor:
211/Pdt.G/2009/PA.JT)
.Imam Hanafi, 2010.
1. Menjadikan homoseksual
sebagai topik utama
kajian.
2. Penelitian mengenai
kedudukan hukum
homoseksual sebagai
alasan perceraian.
3. Penelitan terhadap
perkara yang terdapat di
Pengadilan Agama
Depok dan Pengadilan
Agama Jakarta Timur.
1. Menjadikan batalnya
resepsi pernikahan
sebagai topik utama
kajian.
2. Penelitian mengenai
kedudukan hukum
batalnya resepsi
pernikahan sebagai
alasan perceraian.
3. Penelitan terhadap
perkara yang terdapat di
Pengadilan Agama
5.
Perselisihan Terus
Menerus Antara Suami
Isteri Akibat Turut
Campur Orang Tua
Sebagai Dasar Alasan
Perceraian (Kajian
Terhadap Putusan
Pengadilan Agama
Jakarta Timur No.
1164/Pdt.G/2008/PA.J
T).Ahmad Sauqi, 2010.
1. Menjadikan perselisihan
terus menerus antara
suami isteri sebagai topik
utama kajian.
2. Penelitian mengenai
kedudukan hukum
perselisihan terus
menerus antara suami
isteri akibat turut campur
orang tua sebagai alasan
perceraian.
3. Penelitan terhadap
perkara yang terdapat di
Pengadilan Agama
Jakarta Timur.
1. Menjadikan batalnya
resepsi pernikahan
sebagai topik utama
kajian.
2. Penelitian mengenai
kedudukan hukum
batalnya resepsi
pernikahan sebagai
alasan perceraian.
3. Penelitan terhadap
perkara yang terdapat di
Pengadilan Agama
E.Metode Penelitian.
Untuk memperoleh bahan yang diperlukan didalam penulisan skripsi ini,
penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Penelitian dan Pendekatan
Penelitian memiliki arti dan tujuan sebagai “suatu upaya pencarian” dan tidak
hanya merupakan sekedar pengamatan dengan teliti terhadap suatu obyek yang
terlihat kasat mata.18
Suatu penelitian ilmiah yang dilakukan oleh manusia bertujuan untuk
menyalurkan hasrat ingin tahunya yang telah mencapai taraf ilmiah, disertai dengan
suatu keyakinan bahwa setiap gejala akan dapat ditelaah dan dicari hubungan sebab
akibatnya, atau kecenderungan yang timbul, oleh karena itu, menurut H.L. Manheim,
bahwa suatu penelitian pada dasarnya usaha secara cermat dan teliti untuk
menyelidiki berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh suatu subjek ke dalam cara
berfikir ilmiah.19
Jenis penelitian yang diterapkan pada penyusunan skripsi ini adalah Penelitian
kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
argumentasi tertulis maupun lisan yang berasal dari orang atau pelaku yang diteliti.
Kemudian sifat dari penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian
18
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 27-28.
19
yang dilakukan untuk menggambarkan dan memberikan analisa terhadap kejadian
nyata dilapangan dari suatu obyek.20
Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu
pendekatan yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau
norma-norma dalam hukum positif.21
2. Sumber Data
1. Data Primer
Data primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan
hierarki peraturan undang-undang (sesuai dengan Undang-undang No.12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan),22 catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan
hakim.23 Dalam penelitian ini yakni:
a. Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan alasan-alasan
perceraian, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
20
Sudarwan Damin, Menjadi Peneliti Kualitatif: Ancaman Metodologi, Presentasi dan Publikasi Hasil Penelitian, cet.I, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 51.
21
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.
22
Dalam Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat 1 Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan presiden
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
23
2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
3) Kompilasi Hukum Islam.
b. Putusan Pengadilan Agama Bogor Nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr (telah
BHT).
2. Data sekunder
Data sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen resmi.24 Bahan hukum tersebut terdiri dari atas buku-buku teks yang
ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana,
komentar-komentar atas putusan pengadilan, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan
hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan tema skripsi ini.25
3. Data Tersier
Data tersier adalah data yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap
data primer dan data sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.26
3. Proses Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan
metode:
24
Ibid., h. 141.
25
Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 51.
26
1. Studi dokumentasi yaitu dengan melihat dan mencari hal-hal atau variabel berupa
catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen,
rapat, agenda, dan sebagainya.27
2. Wawancara, yakni suatu proses komunikasi interpersonal28 berupa tanya jawab
lisan antara dua orang atau lebih dengan cara bertatap muka langsung antara
pewawancara dengan orang yang diwawancarai.29
4. Analisis Data
Selanjutnya dalam analisis data pada skripsi ini penulis akan melakukan
kegiatan antara lain sebagai berikut:
1.Mengumpulkan data, yakni data-data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini
berupa data primer, sekunder maupun tersier.
2.Mengolah, menganalisis dan memberikan interpretasi terhadap data-data yang
telah dikumpulkan tersebut untuk dapat menjawab permasalahan yang telah
dirumuskan dalam penelitian ini dengan didukung oleh pandangan hakim
berdasarkan hasil wawancara penulis dengan hakim atau majlis hakim yang
memutuskan perkara Nomor 583/Pdt.G/2012/PA.Bgr tersebut.
27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h. 201.
28“Komunikasi Interpersonal
menunjuk kepada suatu makna berupa komunikasi dengan orang lain”. Agus M. Hardjana, Komunikasi Interpersonal dan Intrapersonal, (Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI), 2003), h. 110.
29
5. Tekhnik Penulisan.
Adapun dalam tekhnik penulisan pada skripsi ini penulis menggunakan
tekhnik dasar dalam penulisan karya ilmiah yang dalam hal ini berpedoman kepada
buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan.
Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari lima
bab, yang perinciannya sebagai berikut:
Bab pertama berisi tentang pendahuluan yang mencakup latar belakang
masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua menjelaskan tentang pengertian, dasar hukum dan alasan-alasan
perceraian, perbedaan antara cerai talak dengan cerai gugat serta menjelaskan
prosedur penyelesaian perkara perceraian.
Bab ketiga menjelaskan tentang pengertian dan dasar hukum resepsi
pernikahan, waktu melaksanakan resepsi pernikahan, serta kedudukan hukum dalam
memenuhi undanganresepsi pernikahan.
Bab keempat menjelaskan tentang profil Pengadilan Agama Bogor dan
menjelaskan pula mengenai para pihak, kedudukan masalah, pertimbangan hakim dan
amar putusan hakim dalam putusan Pengadilan Agama Bogor nomor
Bab kelima berisi tentang bagian akhir dari pembahasan skripsi ini yaitu
21
PERCERAIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Secara harfiyah perceraian berasal dari istilah bahasa arab yaitu berasal dari
kata ṯalaq atau iṯlâq yang artinya ialah lepas dari ikatannya, berpisah, bercerai,1 atau
melepas tali dan membebaskannya.2 Yakni yang dimaksud ialah lepasnya suatu
ikatan perkawinan,3 berakhirnya hubungan perkawinan,4 atau bubarnya hubungan
suami istri.5
Wahbah Az-Zuhaili menerangkan bahwa istilah perceraian menurut bahasa
yaitu furqah, yakni memiliki makna al-iftirâq (berpisah), jamak‟nya adalah furaq,
sedangkan menurut istilah ialah terlepasnya ikatan perkawinan, dan terputusnya
hubungan diantara suami istri akibat salah satu dari beberapa sebab.6
Termasuk diantara kalimat talak adalah kalimat nâqatun ṯâliqun, maksudnya,
dilepaskan dengan tanpa kekangan. Juga kalimat asîrun muṯṯaliqun, yang artinya
terlepas ikatannya dan terbebas darinya. Akan tetapi, tradisi mengkhususkan talak
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, cet. XIV, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 861.
2
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 255.
3
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. VI, (Jakarta: At-tahiriyyah, 1976), hal. 376.
4
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Cet. III, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 229. Lihat pula H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), h. 202.
5
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), h. 185.
6
dengan pengertian bebas pada terlepasnya ikatan secara indrawi pada orang yang
selain perempuan.7
Lafal talak telah ada sejak zaman jahiliah. Penduduk jahiliah
menggunakannya ketika melepas tanggungan, tetapi dibatasi tiga kali. Sebagaimana
hadis yang diriwayatkan dari Urwah bin Zubair RA, beliau berkata: “Dulunya
manusia mentalak istrinya tanpa batas dan bilangan.” Seseorang yang mentalak
istrinya, ketika mendekati habis masa menunggu, ia kembali kemudian mentalak lagi
begitu seterusnya, kemudian kembali lagi dengan maksud menyakiti wanita, maka
turunlah ayat dalam QS. Al-Baqarah (2) : 229 8
(229: 2/
ةرقبلا
)
ِناـَتَرَم ُقٰـلَطلا
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) hanya dua kali.”
Dalam riwayat lain, bahwasanya terdapat seorang laki-laki pada zaman
jahiliah mentalak istrinya kemudian kembali sebelum habis masa menunggu.
Andaikan wanita ditalak seribu kali, kekuasaan suami untuk kembali masih tetap ada.
Maka datanglah seorang wanita kepada Aisyah r.a., mengadu bahwa suaminya telah
mentalaknya dan kembali tetapi kemudian menyakitinya, kemudian Aisyah r.a.,
melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah Saw, maka turunlah firman Allah Swt
dalam QS. Al-Baqarah (2) : 229 9
7
Ibid, h. 318.
8
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, h. 255.
9
(229: 2/
ةرقبلا
)
ِناـَتَرَم ُقٰـلَطلا
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) hanya dua kali.”
Adapun menurut istilah syara‟, talak adalah :
ِةــــَي ِجْوَزــلا ِةــــَق َََعْلا ُءاــَهْـنِإ َو ِجاَوَزــلا ِةـَطــــِباَر ٌلَح
Artinya: “Melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”.10
Imam Nawawi dalam bukunya Tahdzib sebagaimana dikutip oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, memberikan definisi talak yakni tindakan orang terkuasai terhadap suami yang terjadi tanpa sebab kemudian memutus
nikah.11
Menurut Abu Zakaria al-Anshari, talak ialah:
َح
ل
َع ْقـ
ِد
لاـ
َك
ِحا
ِب َل
ْف
ِظ
َطلا
ــ ََ
ِق
َو َنـ
ْح ِ
و ِ
Artinya: “Melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang semacamnya”.
Sedangkan menurut al-Jaziri, talak ialah:
ِإ َز َلا
ُة
لا
َك
ِحا
َأ
ْو ُـن
ْق
َص
ُنا
َح ل
ِ
ِب َل ْف
ظ
َْم
ُص
ْو
ص
Artinya: “Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya
dengan menggunakan lafadz atau kata tertentu.”
10
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 229. Lihat pula Sayyid Sabiq, Fiqhusunnah, Jilid II, (Beirut: Darul Fikri), h. 206.
11
Adapun arti yang dimaksud adalah menghilangkan ikatan perkawinan
sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya,
hal ini terjadi dalam talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan
perkawinan adalah berkurangnya hak talak bagi suami yang mengakibatkan
berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dari dua
menjadi satu, dan dari satu menjadi hilang hak dalam talak raj’i.12
Menurut hukum perdata, perceraian berasal dari bahasa Belanda yakni berasal
dari kata gescheiden yang berarti pemutusan hubungan suami istri dengan segala
konsekuensi hukumnya.13 Prof. Subekti, S.H., dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum
Perdata, memberikan sebuah definisi perceraian yakni ialah penghapusan perkawinan
dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.14
Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagaimana tercantum dalam
Pasal 117 mendefinisikan talak sebagai ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu penyebab putusnya perkawinan, dengan cara
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.15 KHI mensyaratkan
bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus disampaikan di hadapan sidang
Pengadilan Agama, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 115 yakni: “Perceraian
12
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 230.
13
Charlie Rudyat, Kamus Hukum, (T.tp, Tim Pustaka Mahardika, t.th), h. 122.
14
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. XXXIV, (Jakarta: Intermasa, 2010), h. 42.
15
hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.16
Senada dengan pasal 115 KHI diatas, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama juga menyatakan hal yang sama, sebagaimana yang
terdapat pada pasal 66 ayat (1) yakni: ”Seseorang suami yang beragama Islam yang
akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.”
Dari penjelasan perundangan di atas, dapat difahami bahwa
undang-undang telah mengatur bagi siapa saja yang ingin melangsungkan perceraian maka
dapat mengajukan permohonannya ke Pengadilan Agama berdasarkan alasan-alasan
yang dibenarkan oleh undang-undang.
Adapun demikian, kita harus meyakini bahwa perceraian adalah sesuatu yang
harus dihindari dalam suatu perkawinan meskipun perceraian merupakan bagian dari
hukum adanya perkawinan itu sendiri. Semakin kuat usaha manusia membangun
rumah tangganya, semakin mudah menghindarkan diri dari perceraian. Perceraian
mendatangkan kemudharatan, sedangkan sesuatu yang memudharatkan harus
ditinggalkan.17
Perceraian dilakukan karena mengandung unsur kemaslahatan. Perceraian
setidaknya merupakan alternatif yang lebih mendidik kedua belah pihak. Setelah
pernikahan seharusnya tidak ada perceraian, dan hanya kematian satu-satunya sebab
16
Ibid, h. 38.
17
dan alasan bagi terjadinya perceraian suami istri.18 Walaupun demikian kenyataan
menunjukan bahwa hubungan suami istri tidak selamanya dapat dipelihara secara
harmonis karena berbagai faktor atau sebab-sebab tertentu seperti konflik, ketidak
sepahaman, kecemburuan dan lain sebagainya.
Suatu konflik dapat lahir karena didasari atau didorong oleh emosi dan
konflik tidak akan ada dengan ketidakadaan emosi dalam hidup. Dalam hal
perkawinan, menghindari konflik dalam perkawinan dengan cara mengabaikannya
dapat menyebabkan retaknya hubungan suami istri dan bahkan perceraian.19
Menyelesaikan konflik antara suami dan istri dengan menempuh jalur
perceraian dapat memberikan waktu bagi masing-masing pihak untuk merenungkan
dan mempertimbangkan kembali kehidupan rumah tangganya. Mereka bebas untuk
meneruskan perceraian dan bebas pula untuk rukun kembali.20
Dengan demikian, perceraian harus dianggap sebagai suatu bencana. Akan
tetapi pada waktu-waktu tertentu ia adalah suatu bencana yang diperlukan.21
2. Dasar Hukum Perceraian
Al-Qur‟an memberikan penjelasan mengenai pertalian perkawinan dengan
istilah mitsaqan ghalî an (janji kokoh). Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Nisa (4):
21
18
Ibid, h. 186.
19
M. Thobroni dan Aliyah A. Munir, Meraih Berkah Dengan Menikah, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2010), h. 147.
20
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 186.
21
(21: 4/
: ءاس لا
)
ظا
ِل ْي
َغ
اـ قا
ِم ْي َث
ْمُكِْم
َن
ْذ
َخ
َو َأ
Artinya: “Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu janji yang kuat”.
Berdasarkan ayat di atas, maka syari‟at Islam menjadikan pertalian suami istri
dalam ikatan perkawinan sebagai pertalian yang suci dan kokoh. 22
Adapun dasar hukum disyariatkannya talak dalam al-Qur‟an, yakni
berdasarkan firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah (2) : 229
)
ةرقبلا
/
(229 : 2
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) hanya dua kali. Sesudah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang patut atau menceraikan (istrinya) dengan baik”.
Ayat tersebut dijadikan sebagai dasar hukum disyari‟atkannya talak
berdasarkan pendapat Wahbah Az-Zuhaili di dalam kitabnya Fiqih Islam Wa
Adillatuhu.23
Pada dasarnya, talak terhukumi makruh sesuai sabda Rasulullah Saw: 24
َعــ
ْبا ِنـ
ــــ
َع َرَمُع ِن
ـ
ِبَلا ِنـ
ـــ
َص ي
ـــ
ّللا ىّل
ـ
ْيَلَع ُ
ــــ
َلَس َو ِ
ــ
َق َمـ
ــــــ
:لا
َغْـبَأـ
َْلا ُض
ـــــ
ََ
ٰلِإ ِل
ــــ
ّللا ى
ـ ِ
ُق َََطلَا
)مكالاو دواد وبا اور(
25Artinya: “Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw bersabda: Perbuatan halal yang
paling dibenci Allah Swt adalah talak” (HR. Abu Dawud dan Al-Hakim).
22
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, cet. III, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 211-212.
23
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah Abdul Hayyie al-kattani, dkk, h. 318.
24
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 249.
25
Hal demikian menurut Wahbah az-Zuhaili merupakan dasar hukum
disyariatkannya talak berdasarkan sunnah yang berasal dari sabda Rasulullah Saw,
dan beliau menjelaskan bahwa terdapat sabda Rasulullah Saw lainnya yang juga
merupakan dasar hukum disyariatkannya talak, yakni :26
َخَأ ْنَمِل ُق َََطلا اَََِإ
ِقاَسلاِب َذ
)
نطقرادلاو جام نبا اور
(
27
Artinya: “Sesungguhnya talak dimiliki oleh orang yang memiliki hak untuk menyetubuhi”. (HR. Ibnu Majah dan ad-Daruquthni).
Ulama Syafi‟iyah (penganut madzhab Syafi‟i) dan Hanabilah (penganut
madzhab Hambali) berpendapat tentang hukum talak secara rinci. Menurut mereka
talak terkadang wajib dan terkadang haram dan sunah.28
Ulama Hanabilah memperinci hukum talak sebagai berikut :29
1. Talak wajib, misalnya talak dari hakam perkara syiqâq, yakni perselisihan suami
istri yang sudah tidak dapat didamaikan lagi, dan kedua pihak memandang
perceraian sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan persengketaan mereka.
Termasuk pula talak dari orang yang melakukan ila’, terhadap istrinya setelah
lewat waktu empat bulan.
2. Talak haram, yaitu talak yang tidak diperlukan atau yang bukan karena hajat,
karena akan merugikan diri suami dan istri serta melenyapkan maslahat yang dapat
26
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, penerjemah Abdul Hayyie al-kattani, dkk, h. 318.
27
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid I, (Kairo: Daar Ihya al-Kutub al-„Arabiyyah, t.th), h. 672.
28
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, h. 258.
29
diperoleh sepasang suami istri tanpa ada hajat, keharamannya seperti merusak
harta.
Dalam hal ini ulama Syafi‟iyah berbeda pendapat, menurut mereka hal demikian
termasuk sebagai talak makruh dengan alasan bahwa talak dibenci tanpa ada hajat,
namun Rasulullah Saw menyebutnya sebagai barang halal. Dikarenakan talak
menghilangkan nikah yang mengandung banyak kemaslahatan yang dianjurkan,
maka talak ini termasuk talak makruh.30
3. Talak mubah, yaitu talak yang terjadi hanya apabila diperlukan, misalnya karena
istri sangat buruk pergaulannya atau tidak dapat diharapkan adanya kebaikan dari
pihak istri.
4. Talak mandub atau sunah, yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang sudah
keterlaluan dalam melanggar perintah-perintah Allah Swt, misalnya meninggalkan
sholat atau kelakuannya sudah tidak dapat diperbaiki lagi.
B. Macam-Macam Perceraian
1. Perceraian Ditinjau dari Segi Ada atau Tidaknya Kemungkinan Mantan Suami
Merujuk Kembali Mantan Istri.31
Menurut tinjauan ini, perceraian atau talak terbagi menjadi dua macam, yaitu:
1) Talak ẖaj’i, yaitu talak dimana suami masih mempunyai hak untuk merujuk
kembali istrinya, setelah talak itu dijatuhkan dengan lafal-lafal tertentu, dan
istri benar-benar sudah digauli.32
30
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat: Khitbah, Nikah dan Talak, Penerjemah H. Abdul Majid Khon, h. 258.
31
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam QS. Al-Thalaq (65) : 1
(
قَطلا
/
56
:
1
(
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya Dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang
baru”.
Yang dimaksud dengan “menghadapi iddah yang wajar” dalam ayat tersebut
adalah hendaklah istri-istri itu ditalak ketika suci dan belum dicampuri.
Adapun yang dimaksud “perbuatan keji” adalah apabila istri melakukan
perbuatan-perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar
dan sebagainya. Dan adapun yang dimaksud dengan “sesuatu yang baru”
adalah keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaknya baru
dijatuhkan sekali atau dua kali.33
32
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, h. 231.
33
Hal tersebut sebagaimana yang telah Allah Swt jelaskan di dalam QS.
Al-Baqarah (2) : 229
)
ةرقبلا
/
(229 : 2
Artinya: ”Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang
yang zalim”.
Dengan demikian jelaslah bahwa suami boleh merujuk istrinya kembali yang
telah ditalak sekali atau dua kali selama mantan istrinya itu masih dalam masa
iddah, atau dengan kata lain terjadi hanya pada talak pertama dan kedua saja.34
2) Talak Ba’in, adalah talak yang memisahkan sama sekali hubungan suami istri.35 Dapat diartikan pula sebagai talak yang tidak dapat dirujuk oleh suami
34
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 197.
35
kecuali dengan pernikahan baru walaupun dalam masa iddah,36 dan
pernikahan tersebut lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.37
Talak ba‟in, ada dua macam:
a) Talak Ba’in Sughra, yaitu talak yang berakibat hilangnya kepemilikan
hak mantan suami untuk merujuki mantan istrinya baik dalam masa
„iddah atau setelah habis masa „iddah, akan tetapi tidak menghilangkan
kehalalan mantan suami untuk kawin kembali dengan mantan istri
melalui akad nikah baru (rukun dan syarat pernikahan baru). Yang
termasuk dalam kategori talak ba’in sughra adalah:
a. Talak sebelum berkumpul, yakni yang dijatuhkan oleh suami terhadap
istri yang antara keduanya belum pernah terjadi dukhul
(persetubuhan).
b. Talak khulu’, yaitu talak dengan pergantian harta.
c. Talak karena „aib (cacat badan), karena salah seorang dipenjara, talak
karena penganiayaan atau semacamnya.38
b) Talak Ba’in Kubra, yaitu talak yang mengakibatkan hilangnya
kepemilikan hak rujuk kepada mantan suami untuk merujuki mantan
istrinya baik dalam masa „iddah atau setelah habis masa „iddah, serta
menghilangkan kehalalan mantan suami untuk kawin kembali dengan
mantan istri, kecuali setelah mantan istri kawin dengan laki-laki lain dan
36
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 193.
37
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 198.
38
berkumpul (bersetubuh) dengan suami baru tersebut serta telah bercerai
secara wajar dan telah selesai menjalankan iddahnya.39 Prosedur tersebut
tidak boleh dilakukan dengan rekayasa sebagaimana dalam nikah
muẖallil.40
Dalam hal ini, al-Qur‟an menjelaskan di dalam QS. Al-Baqarah (2) : 230
)
ةرقبلا
/
(230 : 2
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah,
diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui”.
Berdasarkan ayat tersebut, dapat difahami bahwa yang termasuk ke dalam
kategori talak ba’in kubra ialah talak yang terjadi pada talak yang ketiga
dari talak-talak yang telah dijatuhkan oleh suami kepada istri.41
2. Perceraian Ditinjau dari Segi Waktu Dijatuhkannya Talak.42
Dalam hal ini, perceraian atau talak terbagi menjadi tiga macam:
39
Ibid, h. 199.
40
Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarga, h. 194.
41
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 199.
42
1) Talak Sunni, yakni talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya sesuai
dengan tuntunan sunnah, atau dengan kata lain talak yang berjalan sesuai
dengan ketentuan agama.43 yaitu yang memenuhi empat syarat:
a. Istri sudah pernah digauli. Jika talak dijatuhkan terhadap istri yang belum
pernah digaui, maka tidak termasuk talak sunni.
b. Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yakni suci dari haid,
menurut „ulama Syafi‟iyah, perhitungan iddah bagi wanita berhaid ialah tiga
kali suci, bukan tiga kali haid.
Adapun Talak terhadap istri yang telah lepas haid (menopause), atau belum
pernah haid atau sedang hamil atau talak karena suami meminta tebusan
(khulu‟) atau ketika istri sedang dalam keadaan haid, maka itu semua tidak
termasuk talak sunni.
c. Talak dijatuhkan oleh suami kepada istri ketika si istri dalam keadaan suci,
baik di permulaan, pertengahan maupun di akhir masa suci, walaupun
beberapa saat lalu datang haid.
d. Suami tidak pernah menggauli istrinya selama masa suci tepat di mana
suami menjatuhkan talak. Talak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri
dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, maka tidak termasuk
talak sunni.
2) Talak Bid’i, yakni talak yang menyalahi ketentuan agama.44 dapat diartikan
pula sebagai talak yang tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah
43
atau tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni.45 Beberapa contoh talak yang
termasuk talak bid’i antara lain :
a. Talak yang dijatuhkan terhadap istri pada waktu haid (menstruasi), baik di
permulaan, di pertengahan, maupun di akhir.
b. Talak yang dijatuhkan istri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli pada
masa suci tersebut.
3) Talak Lâ Sunni Wa Lâ Bid’i, yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap istri
yang tidak termasuk kategori talaksunni dan talakbid’i, seperti:
a. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli.
b. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid atau telah lepas
dari haidnya (menopause).
c. Talak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil dalam akad nikah
yang sah.
3. Perceraian Ditinjau dari Tegas atau Tidaknya Kata-Kata yang Digunakan Dalam
Menjatuhkan Talak.46
Dalam hal ini, perceraian atau talak terbagi dua :
1) Talak Sarih, yaitu talak yang dijatuhkan dengan kata-kata yang jelas dan tegas,
dapat difahami sebagai pernyataan talak atau cerai seketika diucapkan. Imam
Syafi‟i mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk talak sharih ada
44
Ibid, h. 193.
45
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 194.
46
tiga macam, yaitu talak, cerai dan sarah, karena ketiga kata itu disebut dalam
Al-Qur‟an dan Hadits.
Adz-Zahiriyah berpendapat bahwa talak tidak jatuh kecuali dengan
mempergunakan salah satu dari tiga kata tersebut di atas, karena syara‟ telah
mempergunakan kata-kata tersebut dan karena talak adalah perbuatan ibadah
maka diisyaratkan dengan kata-kata yang telah ditetapkan oleh syara‟.
Beberapa contoh talak sharih ialah seperti suami berkata kepada istrinya :
a. “Engkau saya talak sekarang juga, atau engkau saya cerai sekarang juga”.
b. “Engkau saya firaq sekarang juga, atau engkau saya pisahkan sekarang
juga”.
c. “Engkau saya sarah sekarang juga, atau engkau saya lepas sekarang juga”.
Apabila suami menjatuhkan talak terhadap istrinya dengan talak sharih, maka
menjadi jatuhlah talak itu dengan sendirinya, sepanjang ucapannya itu
dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri.
2) Talak Kinâyah, yaitu talak yang dijatuhkan dengan kata-kata yang bersifat
sindiran atau sa