BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah metode deskriptif yaitu suatu metode
dalam meneliti status, sekelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu
sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan
penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara
sistemmatis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antar fenomena yang diselidiki.( Moh. Nazir, 2005). Adapun variabel independen
dalam penelitian ini adalah sistem pembayaran non tunai yang diwakili oleh Alat
Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK). Variabel dependennya adalah inflasi
dan nilai tukar Rupiah (nilai Kurs).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada website Bank Indonesia. Jadwal Penelitian
dimulai bulan Maret 2014 sampai dengan selesai.
3.3 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan sebuah penjelasan yang digunakan dalam
penelitian ini beserta satuan matematik atas setiap variabel tersebut. Dibawah ini
Tabel 3.1 : Definisi Operasional
Variabel Definisi Variabel Parameter
Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK)
alat pembayaran yang berupa Kartu Kredit, Kartu Automated Teller Machine (ATM) Kartu Debet, Kartu Prabayar, dan atau yang disamakan dengan itu.
Jumlah/angka dalam jutaan rupiah
Inflasi meningkatnya harga- harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga yang dimaksud adalah apabila terjadi kenaikan harga barang- barang secara meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga)
Nilai Tukar (Kurs) tarif yang menunjukkan nilai tukar mata uang tertentu dengan mata uang lainnya
Rupiah
terhadap mata uang tertentu
3.4 Skala Pengukuran Variabel
Pada penelitian ini yang digunakan untuk masing-masing variabel adalah
sebagai berikut:
1. Inflasi, Angka Inflasi yang digunakan didasarkan pada indeks harga
konsumen (IHK), serta dinyatakan dalam bentuk persentase laju inflasi
dengan menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik Indonesia
mulai dari bulan Januari tahun 2011 sampai dengan Maret 2014.
2. Nilai Tukar (kurs), tarif yang menunjukkan nilai tukar mata uang tertentu
dengan mata uang lainnya dengan standar pengukuran rupiah (Rp). Dalam
penelitian ini penulis menganggunakan data nilai tukar rupiah terhadap
Dolar Amerika Serikat (U$).
3. Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), dalam penelitian in
total transaksi dari kartu debet dan ATM ditambah dengan total transaksi
dari kartu kredit yang dinyatakan dalam jutaan rupiah. Data yang digunakan
dari bulan Januari 2011 sampai dengan Maret 2014.
3.5 Jenis Data
Data yang dikumpulkan berupa data kuantitatif, yaitu data yang diukur
dalam suatu skala numerik. Sumber data penelitian ini merupakan data sekunder
dalam bentuk dokumentasi yang disajikan dalam format elektrik. Menurut Burhan
Bungin (2005:122), bahwa sumber sekunder adalah data yang diperoleh dari
sumber sekunder dari data yang kita butuhkan, misalnya data diperoleh dari badan
atau lembaga yang aktivitasnya mengumpilkan data atau keterangan yang relevan
dalam berbagai masalah. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data
penggunaan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), Inflasi dan nilai kurs
yang diperoleh dari website Bank Indonesia
3.6 Teknik Analisis
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan program computer
sofware Eviews 5.1.
3.7 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi
yang mendukung penelitian.
3.8 Model Analisis Data
Untuk menganalisa data dalam penelitian ini penulis menggunakan model
ekonometrik. Metode analisi data yang digunakan yaitu Fungsi Linear berganda
dengan meregresikan variabel-variabel yang ada dengan model kuadrat terkecil
biasa (Ordinary Leats Square/OLS). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
penggunaan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK), inflasi, nilai tukar
rupiah (kurs) dinyatakan dalam fungsi :
Y = f (X1,Xt-1) ... (1)
Dari fungsi (1) dapat dispesifikasikan dengan menggunakan autoregresif :
Y = α + β1X1+ β2X2 + µ ... (2)
Dimana :
Y = Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK)
α = Intercept
β1 = Koefisien Regresi Inflasi
β2 = Koefisien Regresi Nilai Tukar (Kurs)
X1 = Inflasi
X2 = Nilai Tukar (Kurs)
3.9 Uji Statistik
3.9.1 Uji Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi yang dinyatakan dengan R2 berfungsi untuk
menyatakan seberapa besar variabel-variabel bebas mampu menjelaskan
hubungan terhadap variabel terikat. Nilai R2 berkisar antara 0 sampai (0<R2<1).
Adapun kriteria pengujiannya yaitu :
1. Bila nilai R2 mendekati 1, hal ini berarti bahwa hubungan variabel inflasi
dan nilai tukar rupiah dengan variabel APMK adalah sempurna dan
positif, artinya apabila ada kenaikan tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah
maka akan menyebabkan kenaikan penggunaan APMK.
2. Bila nilai R2 mendekati 0, hal ini berarti bahwa hubungan variabel inflasi
dan nilai tukar rupiah dengan penggunaan APMK adalah lemah atau tidak
ada hubungan, yang berarti apabila terjadi kenaikan atau penurunan pada
variabel inflasi dan variabel nilai tukar rupiah maka tidak akan
berpengaruh terhadap kenaikan atau penurunan penggunaan APMK.
3. Jika R2 mendekati -1, hal ini berarti bahwa hubungan variabel inflasi dan
nilai tukar rupiah dengan penggunaan APMK adalah sempurna dan
negatif, artinya apabila ada kenaikan padaa variabel inflasi dan variabel
nilai tukar rupiah maka akan menyebabkan adanya penurunan penggunaan
3.9.2 Uji F (F-test)
Untuk mengetahui kebenaran pengaruh nyata secara statistik diantara
inflasi dan nilai tukar rupiah secara bersama-sama terhadap APMK digunakan Uji
F (F-test), yaitu untuk menilai kualitas garis regresi yang dihasilkan.
F-hitung = R2/ (k-1)
(1-R2)/ (n-k)
Dimana :
R2 = Koefisien Determinasi
k = Banyaknya Variabel Bebas
n = Jumlah Sampel
H0 : β1= β2 = 0,
Ha : β1 ≠ β2≠ 0
H0 diterima jika Fhitung < Ftabel
Artinya bahwa tidak ada pengaruh nyata antara inflasi dan nilai tukar
rupiahterhadap APMK.
Ha diterima jika Fhitung < Ftabel
Artinya ada pengaruh nyata antara inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap
APMK.
3.9.3 Uji T (T-test)
Uji T (T-test) merupakan suatu pengujian yang dilakukan untuk mengetahui
apakah masing-masing variabel inflasi dan nilai tukar rupiah berpengaruh
Nilai t- hitung dapat diperoleh dengan rumus :
t-hitung =
Sbi (bi-b)
Dimana :
bi : Koefisien Variabel Bebas ke i
b : Nilai Hipotesis Nol
Sbi : Simpangan Baku dari Variabel Bebas ke-i
Hipotesis yang digunakan :
H0 : β1= β2 = 0,
Ha : β1 ≠ β2≠ 0
H0 diterima jika thitung < Ttabel
Artinya bahwa variabel inflasi dan nilai tukar rupiah tidak berpengaruh
nyata terhadap variabel APMK.
Ha diterima jika thitung < Ttabel
Artinya ada pengaruh nyata antara inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap
APMK.
3.10 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
3.10.1 Uji Multikolinieritas (Multikolinerarity test)
Uji multikolinoeritas digunakan untuk menguji terdapatnya hubungan
linier yang sempurna atau hampir sempurna antara inflasi dan nilai tukar rupiah
pengaruh antara variabel inflasi dan nilai tukar dalam persamaan regresi tersebut
tidak saling berkolerasi. Untuk mendeteksi multikolinieritas ini digunakan cara
regresi parsial.
Uji ini digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya korelasi (hubungan)
antar variabel bebas yang dapat diketahui melalui R2. Apabila R2 dari
masing-masing regresi dari variabel kemudian dibandingkan dengan nilai R2 model awal
maka didalam regresi parsial tersebut terdapat multikolinieritas.
3.10.2 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi digunakan untuk mengukur pengaruh silang antara
variabel pengganggu inflasi dan nilai tukar rupiah untuk menguji autokorelasi ini
menggunakan Langrange Multiplier Test (LM – Test).
Dengan membandingkan nilai X2hitung X2tabel dengan kriteria penilaian
sebagai berikut :
a. Jika nilai X2hitung > X2tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak
ada autokorelasi dalam model empiris yang digunakan ditolak.
b. Jika nilai X2hitung > X2tabel, maka hipotesis yang menyatakan bahwa tidak
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Perekonomian Indonesia tahun 2011-2014
Perekonomian Indonesia pada tahun 2011 menunjukkan daya tahan yang
kuat di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global, tercermin pada
kinerja pertumbuhan yang bahkan lebih baik dan kestabilan makroekonomi yang
tetap terjaga. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,5%, angka tertinggi
dalam sepuluh tahun terakhir, disertai dengan pencapaian inflasi pada level yang
rendah sebesar 3,79%. Peningkatan kinerja tersebut disertai dengan perbaikan
kualitas pertumbuhan yang tercermin dari tingginya peran investasi dan ekspor
sebagai sumber pertumbuhan, penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan,
serta pemerataan pertumbuhan ekonomi antardaerah yang semakin membaik.
(Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2011, Bank Indonesia)
Di sisi eksternal, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mengalami surplus
yang relatif besar dengan cadangan devisa yang meningkat dan nilai tukar rupiah
yang mengalami apresiasi. Di sektor keuangan, stabilitas sistem keuangan tetap
terjaga meski sempat terjadi tekanan di pasar keuangan pada semester II tahun
2011 sebagai dampak memburuknya krisis yang terjadi di kawasan Eropa dan
Amerika Serikat (AS). Dengan ketahanan ekonomi yang kuat dan risiko utang
luar negeri yang rendah, didukung oleh kebijakan makroekonomi yang tetap
pruden dan berbagai langkah kebijakan struktural yang terus ditempuh selama ini,
Fundamental ekonomi Indonesia yang kuat mampu meminimalkan
dampak dari gejolak ekonomi global. Ketidakpastian yang muncul akibat krisis
utang Eropa dan kekhawatiran terhadap prospek pemulihan perekonomian AS
telah memicu gejolak di pasar keuangan dan pelemahan pertumbuhan ekonomi
global tahun 2011. Dampak dari gejolak global tersebut ke Indonesia lebih banyak
dirasakan di pasar keuangan terutama pasar saham dan obligasi, sementara
dampak pada sektor riil relatif minimal.
Di sektor keuangan, penarikan modal luar negeri oleh sebagian investor
pada semester II tahun 2011 memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah, imbal
hasil obligasi Pemerintah, dan harga saham. Namun, dengan langkah-langkah
stabilisasi oleh Bank Indonesia dan Pemerintah, didukung oleh kuatnya
fundamental sektor keuangan dan terjaganya stabilitas makroekonomi, gejolak
pasar keuangan dapat dihindari. Di sektor riil, daya tahan perekonomian Indonesia
dari sisi eksternal didukung oleh diversifikasi pasar ekspor dengan semakin
besarnya perdagangan intra-regional di kawasan Asia dan semakin meningkatnya
peran foreign direct investment (FDI).
Dari sisi domestik, daya tahan ekonomi juga didukung oleh kuatnya daya
beli terkait dengan meningkatnya pendapatan dan struktur demografi yang
sebagian besar berada dalam usia produktif. Di samping fundamental ekonomi
yang kuat, respons kebijakan yang tepat mampu menopang ketahanan
perekonomian nasional. Bank Indonesia dan Pemerintah melakukan koordinasi
kebijakan dalam memperkuat fundamental ekonomi sekaligus memitigasi dampak
dan makroprudensial secara terukur dan pada waktu yang tepat telah berhasil
menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Bauran kebijakan tersebut
diterapkan melalui respons kebijakan suku bunga dan nilai tukar, serta kebijakan
makroprudensial dalam rangka pengelolaan aliran modal asing dan likuiditas
perbankan. Bauran kebijakan moneter dan makroprudensial tersebut juga
didukung oleh strategi komunikasi dalam rangka meningkatkan efektivitas
transmisi kebijakan moneter dan mengurangi ketidakpasti an pelaku pasar.
Dalam bidang perbankan, Bank Indonesia terus memperkuat ketahanan
perbankan, meningkatkan fungsi pengawasan, dan mendorong intermediasi yang
diarahkan pada sektor-sektor produktif. Dari sisi Pemerintah, kebijakan fiskal
diarahkan kepada peningkatan stimulus dengan tetap menjaga kesinambungan
fiskal. Secara sektoral, Pemerintah terus berupaya mendorong dan meningkatkan
kualitas pertumbuhan ekonomi melalui perbaikan iklim investasi, percepatan
pembangunan infrastruktur, peningkatan daya saing industri dan produk ekspor,
serta peningkatan ketahanan pangan nasional termasuk dalam rangka stabilisasi
harga. Koordinasi kebijakan antara Bank Indonesia dan Pemerintah untuk
meningkatkan daya tahan ekonomi dan stabilitas makro juga diperkuat melalui
implementasi Protokol Manajemen Krisis (PMK) dan pengendalian inflasi di
pusat dan daerah melalui forum Tim Pengendalian Inflasi (TPI) dan Tim
Pengendalian Inflasi Daerah (TPID).
Prospek ekonomi Indonesia tahun 2012 diprakirakan masih tetap kuat,
meskipun risiko yang berasal dari pelemahan ekonomi global masih tinggi.
inflasi diprakirakan dapat berada di kisaran sasaran 4,5% ± 1%. Pertumbuhan
ekonomi terutama bersumber dari perekonomian domestik dengan peran investasi
yang semakin meningkat. Pasar domestik yang besar, terjaganya stabilitas
makroekonomi, suku bunga yang rendah, perbaikan iklim investasi, dan status
investment grade merupakan faktor pendorong tingginya pertumbuhan investasi
ke depan. (Laporan Perekonomian Indonesia Tahun 2012, Bank Indonesia)
Sejalan dengan itu, arus modal masuk FDI diperkirakan akan meningkat
lebih tinggi sehingga surplus NPI akan tetap besar. Kondisi ini mendukung
tercapainya stabilitas nilai tukar rupiah dalam menghadapi risiko tingginya
gejolak arus modal. Meskipun demikian, risiko pelemahan ekonomi global dapat
menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung ke batas bawah kisaran
prakiraan apabila tidak ditempuh langkah-langkah stimulus baik dari sisi moneter
maupun fiskal.
Sementara itu, rencana kebijakan Pemerintah terkait dengan BBM
bersubsidi dan komoditas strategis lainnya dapat memberikan tekanan ke atas
terhadap perkembangan inflasi kedepan.
Dalam tahun 2012, Bank Indonesia telah mengoptimalkan peran bauran
kebijakan moneter untuk menjaga inflasi tetap berada di dalam kisaran sasarannya
serta mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka memitigasi risiko
perlambatan ekonomi global. Sementara di bidang perbankan, Bank Indonesia
akan meningkatkan efisiensi perbankan untuk mengoptimalkan kontribusinya
dalam perekonomian dengan tetap memperkuat ketahanan perbankan. Di samping
(financial inclusion). Di bidang sistem pembayaran, Bank Indonesia terus
meningkatkan efisiensi, keandalan, dan keamanan serta penerapan aspek
perlindungan konsumen, baik dalam sistem pembayaran nasional maupun
hubungan sistem pembayaran dengan luar negeri. Dengan langkah-langkah ini,
pertumbuhan ekonomi tahun 2012 diyakini dapat kembali berada di tengah
kisaran prakiraan.
Dalam jangka menengah, dengan perekonomian dunia yang diperkirakan
akan membaik dan kebijakan struktural yang terus dilakukan khususnya di bidang
investasi dan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi Indonesia mempunyai prospek
untuk tumbuh lebih tinggi dan berkesinambungan dengan stabilitas
makroekonomi yang terjaga. Perekonomian nasional diprakirakan akan tumbuh
mencapai 6,6%-7,4% dan inflasi yang semakin menurun dan menuju 4,0% ± 1%
pada tahun 2016.
Kinerja perekonomian Indonesia pada tahun 2012 cukup menggembirakan
di tengah perekonomian dunia yang melemah dan diliputi ketidakpastian.
Pertumbuhan ekonomi dapat dipertahankan pada tingkat yang cukup tinggi, yaitu
6,2%, dengan inflasi yang terkendali pada tingkat yang rendah (4,3%) sehingga
berada pada kisaran sasaran inflasi 4,5±1%. Di tengah menurunnya kinerja
ekspor, pertumbuhan ekonomi lebih banyak ditopang oleh permintaan domestik
yang tetap kuat. Hal ini didukung oleh kondisi ekonomi makro dan sistem
keuangan yang kondusif sehingga memungkinkan sektor rumah tangga dan sektor
usaha melakukan kegiatan ekonominya dengan lebih baik. Selain itu, kuatnya
terjadinya ketidakseimbangan neraca transaksi berjalan. (Laporan Perekonomian
Indonesia Tahun 2012, Bank Indonesia)
Perekonomian Indonesia pada tahun 2013 diprakirakan tumbuh lebih
tinggi, namun sejumlah risiko dan tantangan perlu diantisipasi. Sejalan dengan
membaiknya perekonomian dunia, terutama pada semester II 2013, perekonomian
Indonesia diprakirakan akan tumbuh sebesar 6,3-6,8% dengan inflasi tetap terjaga
sesuai dengan sasaran Bank Indonesia sebesar 4,5±1%. Permintaan domestik
diprakirakan tetap menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi. (Laporan
Perekonomian Indonesia Tahun 2013, Bank Indonesia)
Namun sejumlah tantangan dan risiko perlu diantisipasi untuk menjaga
stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan. Pertama, konsumsi BBM yang
terus meningkat di tengah semakin menurunnya produksi migas dalam negeri
akan terus meningkatkan impor migas dan beban subsidi sehingga semakin
menambah tekanan terhadap kesinambungan fiskal dan defisit transaksi berjalan.
Kedua, struktur perekonomian dengan ketergantungan impor yang tinggi
khususnya untuk barang modal dan bahan baku, dalam jangka pendek dapat
menimbulkan kerentanan terhadap keseimbangan eksternal ketika kegiatan
investasi terus mengalami peningkatan. Dengan latar belakang tersebut, kebijakan
Bank Indonesia akan diarahkan pada upaya pencapaian keseimbangan internal dan
eksternal.
Dalam hubungan ini, kebijakan Bank Indonesia diarahkan untuk mencapai
sasaran inflasi dan menjaga keseimbangan neraca pembayaran. Arah kebijakan
moneter akan ditempuh secara konsisten untuk mengarahkan inflasi tetap terjaga
dalam kisaran sasaran yang ditetapkan. Kedua, kebijakan nilai tukar akan
diarahkan untuk menjaga pergerakan rupiah sesuai dengan kondisi
fundamentalnya. Ketiga, kebijakan makroprudensial diarahkan untuk menjaga
kestabilan sistem keuangan. Keempat, penguatan strategi komunikasi kebijakan
untuk mendukung efektivitas kebijakan Bank Indonesia. Kelima, penguatan
koordinasi Bank Indonesia dan Pemerintah dalam mendukung pengelolaan
ekonomi makro dan stabilitas sistem keuangan.
Dalam perkembangannya, pada triwulan IV 2013, berbagai respons bauran
kebijakan dapat segera mengurangi tekanan pada stabilitas makroekonomi.
Tekanan inflasi berangsur-angsur dapat dikendalikan sehingga kembali pada pola
normalnya sejak September 2013. Kuatnya dampak kenaikan harga BBM
bersubsidi memang tidak dapat dihindari telah mendorong inflasi keseluruhan
tahun 2013 meningkat menjadi 8,4% dari 4,3% pada 2012, atau berada di atas
sasaran inflasi yang telah ditetapkan sebesar 4,5±1%. (Laporan Perekonomian
Indonesia Tahun 2013)
Namun, apabila dibandingkan dengan inflasi di tahun 2005 dan 2008 saat
harga BBM bersubsidi dinaikkan, inflasi 2013 masih berada di bawah 10%, lebih
rendah dibandingkan dengan inflasi tahun 2005 dan 2008 yang tercatat di atas
10%. Perkembangan positif ini dipengaruhi respons kebijakan Bank Indonesia
yang mengantisipasi kenaikan inflasi sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi
dan koordinasi kebijakan yang erat dengan Pemerintah dalam mengendalikan
Seperti tercermin pada perkembangan ekonomi triwulan IV 2013, respons
bauran kebijakan juga mulai mengarahkan ekonomi ke tingkat yang lebih
seimbang, namun tetap dibarengi penyesuaian ekonomi yang terkendali dan tidak
memberikan tekanan berlebih. Pada satu sisi, upaya menekan permintaan
domestik membuahkan hasil dengan termoderasinya konsumsi dan investasi yang
diikuti penurunan impor.
Di sisi lain, penyesuaian nilai tukar sesuai dengan fundamentalnya juga
kembali mendorong ekspor industri pengolahan yang sebelumnya mengalami
pelemahan. Dengan perkembangan ini, meskipun lebih lambat dari pertumbuhan
2012, pertumbuhan ekonomi Indonesia keseluruhan tahun 2013 tercatat 5,8%,
lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi peer countries. Pada sisi lain,
ekspor yang membaik dan impor yang menurun telah mendorong menurunnya
defisit transaksi berjalan secara signifikan menjadi 2% dari PDB pada triwulan IV
2013, jauh lebih rendah dari defisit transaksi berjalan pada triwulan-triwulan
sebelumnya.
Transaksi modal finansial juga mengalami perbaikan yang bersumber dari
penarikan pinjaman luar negeri korporasi, penarikan simpanan bank domestik di
luar negeri, dan arus masuk Penanaman Modal Asing Langsung yang tetap stabil.
Secara keseluruhan tahun 2013, defisit transaksi berjalan 2013 meningkat
dibandingkan dengan defisit tahun sebelumnya sehingga mencapai 3,3% dari
PDB, tetapi tidak setinggi perkiraan semula. Cadangan devisa dapat
dipertahankan pada tingkat yang cukup aman yaitu 99,4 miliar dolar AS atau
Pada awal tahun 2014, nilai tukar memiliki sedikit kenaikan namun inflasi
tidak berpengaruh signifikan, bahkan mengalami sedikit penurunan dari 8,38%
menjadi 8,22%. Melalui kebijakan yang diambil oleh bank Indonesia, sampai
bulan April 2014 angka inflasi dan nilai tukar rupiah dapat menurun untuk
mencapai kestabilan perekonomian secara global. Inflasi dapat ditekan hingga
mencapai angka 7,25% sampai akhir April 2014 bahkan nilai tukar berada pada
posisi Rp 11.379 perdolar US walau sempat mengalami kenaikan diakhir tahun
2013 dan awal tahun 2014.
4.2 Perkembangan Sistem Pembayaran 2011-2014
Sistem Pembayaran merupakan sistem yang berkaitan dengan pemindahan
sejumlah nilai uang dari satu pihak ke pihak lain. Media yang digunakan untuk
pemindahan nilai uang tersebut sangat beragam, mulai dari penggunaan alat
pembayaran yang sederhana sampai pada penggunaan sistem yang kompleks dan
melibatkan berbagai lembaga berikut aturan mainnya. Kewenangan mengatur dan
menjaga kelancaran sistem pembayaran di Indonesia dilaksanakan oleh Bank
Indonesia yang dituangkan dalam Undang Undang Bank Indonesia.
Dalam menjalankan mandat tersebut, BI mengacu pada empat prinsip
kebijakan sistem pembayaran, yakni keamanan, efisiensi, kesetaraan akses dan
perlindungan konsumen. Aman berarti segala risiko dalam sistem pembayaran
seperti risiko likuiditas, risiko kredit, risiko fraud harus dapat dikelola dan
dimitigasi dengan baik oleh setiap penyelenggaraan sistem pembayaran. Prinsip
digunakan secara luas sehingga biaya yang ditanggung masyarakat akan lebih
murah karena meningkatnya skala ekonomi. Kemudian prinsip kesetaraan akses
yang mengandung arti bahwa BI tidak menginginkan adanya praktek monopoli
pada penyelenggaraan suatu sistem yang dapat menghambat pemain lain untuk
masuk. Terakhir adalah kewajiban seluruh penyelenggara sistem pembayaran
untuk memperhatikan aspek-aspek perlindungan konsumen.
Sementara itu dalam kaitannya sebagai lembaga yang melakukan
pengedaran uang, kelancaran sistem pembayaran diejawantahkan dengan
terjaganya jumlah uang tunai yang beredar di masyarakat dan dalam kondisi yang
layak edar atau biasa disebut clean money policy.
Nilai transaksi transfer dana yang melalui sistem pembayaran selama
periode laporan tahun 2010 meningkat dibanding tahun sebelumnya. Untuk nilai
transaksi pembayaran selama tahun 2010 mencapai 58,05 ribu triliun atau
meningkat 27,8% dibandingkan tahun 2009. Sementara itu volume transaksi
pembayaran mencapai 2,14 miliar transaksi atau meningkat 15,46%.
Untuk mendukung lancarnya aktivitas pembayaran, inovasi-inovasi baru
dalam sistem pembayaran banyak tercipta sebagai dampak positif dari
perkembangan teknologi informasi. Hal ini tentunya bertujuan untuk memberikan
kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat pengguna. Namun demikian,
diperlukan suatu kebijakan dari Bank Indonesia untuk selalu menjaga dan
meningkatkan keamanan dan efisiensi dalam penyelenggaraan sistem pembayaran
dengan tetap memperhatikan pemenuhan aspek perlindungan konsumen.
sistem pembayaran di tahun 2010. Persiapan mengahadapi era integrasi ekonomi
di kawasan ASEAN melalui MEA terus dilakukan dan menjadi faktor utama
dalam penguatan infrastruktur sistem pembayaran, baik sistem pembayaran yang
diselenggarakan oleh Bank Indonesia maupun oleh pihak di luar Bank Indonesia.
Selama periode laporan, kebijakan penguatan infrastruktur untuk
meningkatkan keamanan dan efisiensi sistem pembayaran ditempuh oleh Bank
Indonesia dengan melakukan beberapa pengembangan, antara lain pengembangan
mekanisme Payment-versus-Payment (PvP) pada Sistem Bank Indonesia Real
Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS), Sistem Kliring Nasional Bank
Indonesia (SKNBI) melalui penyempurnaan implementasi close to real time
Failure to Settle (FtS) pada mekanisme kliring debet dan persiapan penyusunan
standar nasional untuk kartu ATM/Debet berbasis chip, dan inisiasi penyusunan
standar nasional uang elektronik.
Dari tahun 2008 sampai April 2014, terjadi lonjakan yang signifikan
terhadap permintaan dan pemakaian APMK sebagai bagian dari pembayaran non
tunai. Untuk itu semakin banyak pula pihak bank maupun instrumen ekonomi
yang menggunakan APMK ini sebagai langkah efisiensi dan kemudahan para
konsumennya.
Berdasarkan dari sumber infobank 2010 dan www.mediaindonesia.com,
dari 47 ribu mesin, BRI memiliki mesin ATM terbanyak yaitu 11111 mesin dan
Bank Mandiri telah menyebarkan 10361 mesin ATM. Pemilik mesin ATM ketiga
Sampai tahun 2012, sudah 47 ribu mesin ATM yang tersebar di seluruh
Indonesia dengan transaksi per harinya sebesar Rp. 7 triliun dan transaksi per
mesin per harinya adalah Rp. 157 juta. Hal ini menunjukkan bahwa bank juga
semakin giat melakukan inovasi sehingga masyarakat banyak beralih dari
pembayaran tunai ke pembayaran non tunai termasuk didalamnya APMK.
4.3 Gambaran Umum Alat Pembayaran dengan menggunakan Kartu (APMK) di Indonesia
Menurut Undang-undang Repulik Indonesia Nomor 23 tahun 1999 yang
telah diubah menjadi Undang-undang Nomor 3 tahun 2004, yang berisi tentang
tugas dan wewenang Bank Indoesia untuk memastikan penggunaan dimasyarakat
berjalan dengan aman, efisien dan mudah dalam hal pembayaran tunai dan non
tunai.
Di sisi sistem pembayaran non tunai, sebagaimana international common
practice sistem pembayaran di Indonesia diklasifikasikan menjadi sistem
pembayaran yangbersifat Systemically Important Payment System (SIPS), System
Wide Important Payment System (SWIPS) dan sistem pembayaran yang bukan
sebagai SIPS dan SWIPS.SIPS adalah sistem yang memproses transaksi-transaksi
pembayaran yang bernilai besar dan apabila terjadi kegagalan dalam sistem
pembayaran ini dapat menyebabkan terjadinya systemic risk yang dapat
menimbulkan gangguan terhadap stabilitas sistem keuangan, contohnya adalah
Sementara itu SWIPS adalah sistem pembayaran yang digunakan oleh
masyarakat luas, yang apabila terganggu, misalnya karena seringnya terjadi
system breakdown atau adanya fraud akan mengakibatkan ketidaknyamanan
masyarakat dan pada gilirannya dapat menimbulkan turunnya kepercayaan
masyarakat atas sistem dan alat-alat pembayaran yang diproses melalui sistem
tersebut. Di Indonesia yang termasuk dalam kategori SWIPS adalah Sistem
Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) dan penyelenggaraan alat pembayaran
dengan menggunakan kartu (APMK). Sementara, sistem pembayaran yang bukan
sebagai SIPS dan SWIPS contohnya adalah money remittance.
Kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu (APMK)
merupakan bagian dari perkembangan sistem pembayaran non tunai. Yang
termasuk dalam APMK adalah aktivitas penggunaan instrumen pembayaran
menggunakan kartu seperti kartu ATM, kartu kredit, kartu debet. Transaksi
pembayaran dengan menggunakan instrumen APMK pada saat ini bersifat
account based, sehingga setelmen transaksi dilakukan pada level bank dengan
metode yang dipilih oleh masing-masing bank (penyelenggara) sesuai dengan
skala operasional jaringannya.
Perkembangan jumlah pemegang APMK mengalami peningkatan dari
waktu ke waktu baik disisi volume dan nilai transaksi. Perkembangan tersebut
diprediksikan terus berlangsung sejalan dengan semakin beragamnya
fasilitas/fungsi APMK. Dengan kemajuan teknologi dalam sistem pembayaran
dan keinginan perbankan untuk meningkatkan layanan kepada nasabah,
hanya untuk penarikan tunai atau pengecekan saldo namun juga dapat digunakan
untuk melakukan berbagai jenis pembayaran (misalnya pembayaran tagihan listrik
dan telpon, pebelian pulsa, belanja online dan lain-lain).
Menurut statistik Bank Indonesia, terjadi peningkatan yang signifikan
terhadap penggunaan APMK mulai dari tahun 2011 sampai April 2014.
Tabel 4.1 Perkembangan APMK tahun 2011 sampai April 2014
Pe r iode Ta h u n 2 0 1 1 Ta h u n
Kr e dit 14,785,382 14,817,168 15,091,684 15,124,109 15,150,829 15,100,335 15,209,803
Ka r t u ATM 3,623,992 4,533,187 6,292,164 6,314,019 6,443,526 6,512,880 6,591,572
Ka r t u ATM
+ D e be t 59,761,318 73,219,365 83,170,125 83,765,345 85,192,517 80,505,714 81,314,701
Sumber : Bank Indonesia
Dari tabel diatas dapat kita lihat bahwa dari tahun 2011 sampai April 2014
semakin maraknya penggunaan APMK selain di dorong oleh banyaknya mesin
ATM dan EDC (Electrinoc Data Captured), didorong pula oleh banyaknya
merchant APMK yang tersebar di kota-kota besar di Indonesia.
4.4 Hasil dan Analisa Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, digunakan untuk
mengetahui bagaimana pengaruh inflasi dan nilai tukar rupiah terhadap
Penggunaan Alat Pembayaran menggunakan Kartu (APMK) di Indonesia mulai
4.4.1 Analisis Koefisien Determinasi
Adapun hasil dari koefisien determinasi (R2) dalam penelitian ini adalah
0,81 maka hal ini menunjukkan bahwa R2 mendekati 1 yang berarti bahwa adanya
hubungan antara variabel inflasi dan nilai tukar rupiah dengan variabel APMK
yang bersifat positif dan sempurna, artinya apabila ada kenaikan tingkat inflasi
dan nilai kurs maka akan menyebabkan kenaikan penggunaan APMK.
Tabel 4.2 Hasil Regresi berganda
Sumber : Data olahan, Eviews 5.1
4.4.2 Hasil Uji F (F-test)
Hasil dari F –test dalam penelitian ini yaitu F hitung = 81,29 sedangkan nilai
F tabel = 7,31 maka hal ini berarti bahwa Ha diterima karena F hitung > F tabel . Hal ini
berarti bahwa ada pengaruh nyata antara variabel inflasi, nilai tukar rupiah
terhadap penggunaan APMK.
4.4.3 Hasil Uji T (T-test)
artinya ada pengaruh nyata antara inflasi dan nilai kurs terhadap penggunaan
APMK.
4.4.4 Hasil Uji Multikolinieritas
Hasil menunjukkan bahwa korelasi antar variabel cukup erat. Hal ini dapat
dilihat dari nilainya 0,72 dan 0,88. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan
linier yang hampir sempurna antara inflasi dan nilai kurs tersebur secara
individual terhadap penggunaan APMK.
Tabel 4.3 Hasil uji Multikolinieritas
Sumber : Data Olahan Eviews 5.1
4.4.5 Hasil Uji Autokorelasi
Pengujian Autokorelasi digunakan untuk mengetahui pengaruh silang
antara variabel pengganggu inflasi dan nilai tukar. Dalam pengujian ini hasil dari
Durbin-Watson Stat adalah 0,217 sedangkan nilai X2tabel adalah 4,08 hal ini
berarti ada autokorelasi pada model regresi diatas.
4.5 Pembahasan
Seiring dengan berkembangnya inovasi dari pihak perbankan di Indonesia
menyababkan banyak masyarakat yang beralih dari pembayaran tunai kepada
pemabayaran non tunai. Karena selain aman dan mudah dibawa kemana-mana,
tren juga merupakan salah satu faktor pendukungnya. Hal ini ternyata mambawa
perputaran uang, namun ternyata hal ini juga memiliki pengaruh yang positif
terhadap nilai tukar dan inflasi yang terjadi selama tahun 2011 sampai April 2014.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka dapat disimpulkan
bahwa peningkatan pembayaran menggunakan kartu memiliki pengaruh terhadap
inflasi dan nilai tukar rupiah. Hal ini terbukti hasil uji statistik yang menunjukkan
hasil R square yang mencapai 81%. Angka ini menunjukkan bahwa APMK
memiliki pengaruh sebesar 81% terhadap kenaikan inflasi dan nilai tukar rupiah
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Kehadiran alat pembayaran non tunai bagi perekonomian memberikan
manfaat peningkatan efisiensi dan produktifitas keuangan yang mendorong
aktivitas sektor riil pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana diindikasikan oleh
peningkatan velocity of money. Inovasi dalam alat pembayaran non tunai dapat
menimbulkan komplikasi dalam penggunaan target kuantitas dalam pengendalian
moneter. Dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa kehadiran alat
pembayaran non tunai menggunakan kartu dapat mempengaruhi inflasi dan nilai
tukar rupiah. Semakin banyak masyarakat menggunakan APMK secara langaug
mempercepat proses perputaran uang.
1. Meningkatnya transaksi APMK berpengaruh positif terhadap inflasi,
karena dari hasil regresi sebesar 0,81 menunjukkan bahwa adanya
hubungan positif antara APMK dan Inflasi. Hal ini berarti bila APMK naik
maka akan diikuti oleh kenaikan inflasi. Karena bila jumlah uang yang
beredar dimasyakat meningkat akan menyebabkan inflasi.
2. Dilihat dari hasil regresi terhadap ketiga variabel yaitu APMK, Inflasi dan
nilai tukar rupiah adalah 0,81 hal ini menunjukkan ada keterkaitan yang
kuat antara ketiga variabel tersebut. Kenaikan transaksi APMK diikuti
juga oleh kenaikan nilai tukar rupiah(kurs). Karena transaksi dalam negeri
5.2 Saran
Dari hasil penelitian ini, terlihat jelas bahwa ada pengaruh positif yang
antara penggunaan APMK, nilai tukar dan inflasi. Maka Bank Indonesia sebagai
lembaga yang ditunjuk oleh negara dalam hal pengendalian kebijakan moneter
hendaknya lebih melihat pada perputaran uang yang semakin cepat sehingga
mengambil kebijkan yang tepat.
1. Mengatur kebijakan pengadaan APMK dan mengontrol perputaran uang
sehingga kenaikan transaksi APMK tidak berdampak terhadap inflasi dan
Bank Indonesia melalui kebijkan APMK dapat menekan angka inflasi.
2. Mengatur kebijkan dan pengawasan APMK agar kenaikan transaksi