• Tidak ada hasil yang ditemukan

FILSAFAT ISYRAQIYYAH Al-SUHRAWARDI MAKALAH Diajukan Untuk Memeneuhi Mata Kuliah Metode Studi Kalam, Filsafat, dan Tasawuf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "FILSAFAT ISYRAQIYYAH Al-SUHRAWARDI MAKALAH Diajukan Untuk Memeneuhi Mata Kuliah Metode Studi Kalam, Filsafat, dan Tasawuf"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

FILSAFAT ISYRAQIYYAH Al-SUHRAWARDI

MAKALAH

Diajukan Untuk Memeneuhi Mata Kuliah Metode Studi Kalam, Filsafat, dan Tasawuf

DOSEN PEMBIMBING;

DR. SRI MULYATI, M.A

DISUSUN OLEH;

HASRUL

(NIM: 21150340000010)

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN

(2)

A. Pendahuluan

Upaya untuk mengharmoniskan hubungan filsafat dengan agama diawali oleh Al-Kindi yang terjadi pada abad ke 3 H/9 M. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth) dan agama juga diwahyukan untuk menyampaikan kebenaran. Oleh karena filsafat dan agama menjadikan kebenaran sebagai tujuan, maka keduanya tidak mungkin bertentangan antara satu dengan lainnya. Harmonisasi antara filsafat dan agama selanjutnya diteruskan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Jika Al-Kindi banyak dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles, lain halnya dengan Al-Farabi dan Ibn Sina yang cenderung mengikuti aliran Neo-Platonisme.

Kegiatan tersebut sesungguhnya sudah nampak dalam diskusi Islam pada masa-masa awal. Ada banyak isu-isu rasional dalam berbagai penyataan yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw, sebagaimana juga di dalam al-Quran yang menegaskan pentingnya kehidupan intelektual serta menggunakan bentuk-bentuk inferensi silogistik dan logis tertentu. Maka tidak mengherankan jika Teolog-teolog Islam (matakallimun) sudah terlibat dalam serangkaian diskusi rasional dan deduktif sebelum dilakukan penerjemahan karya-karya filsafat ke dalam bahasa Arab.1 Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai bentuk sintesis terhadap pemikiran ini, sebagian filosof Muslim mencoba memperkenalkan wacana teosofi (gabungan filsafat dan tasawuf).

Wacana teosofi klasik dalam dunia Islam pertama sekali diperkenalkan oleh Abu Yazid al-Busthami. Nuansa filsafat yang mewarnai pemikiran sufistiknya terlihat dari gagasannya mengenai konsep ittihad (penyatuan). Wacana teosofi berikutnya diperkenalkan oleh Husein ibn Manshur al-Hallaj dengan konsep hulul-nya, yaitu menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya dan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya. Konsep hulul yang diprakarsai oleh al-Hallaj kemudian disistematisasikan oleh Ibn Arabi dengan kosep wahdat al-wujud (unity of existence), yaitu Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia menciptakan alam. Dalam cermin alam itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu.

Usaha untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi tiga tokoh di atas dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para filosof itu adalah Al-Suhrawardi. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-ishraqiyat) yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual. Berdasarkan aliran filsafat secara epistemologi, filsafat Al-Suhrawardi yang dikenal dengan iluminasi (al-ishraqiyat) mengambil coraknya tersendiri dengan pendekatan intuitif. Murtadha Muththari menyebutkan, selain filsafat ishraqiyat Suharawardi yang intuitif, terdapat corak filsafat yang telah mendahului sebelumnya, yaitu peripatetik (masysya’i) dengan figur utama Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd yang rasional, dan Wahdat al-Wujud oleh Ibnu Arabi yang sufistik, termasuk di dalamnya Al-Ghazali dengan corak religious-ortodok.2Adapun dalam tulisan ini hanya akan memberikan pemaparan mengenai filsafat iluminasi (al-ishraqiyat) yang dicetuskan oleh Al-Suhrawardi.

1 Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah (Bandung: Mizan, 2002), Cet. I, h. 57.

2 Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam terj. Ach. Maimun S dari judul asli “Three

(3)

B. Biografi Al-Suhrawardi Al-Isyraq

1. Pribadi Al-Suhrawardi

Nama lengkapnya adalah Syibab al-Din Abu al Futuh Yahya ibn Habasy ibn Amirak Al-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/1153 M di Suhrawad (sebuah desa di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan. Saat ini masuk wilayah Aleppo, Suriah. Ia memiliki sejumlah gelar, di antaranya; syeikh Al-Isyraq (Bapak Pencerahan), Al-Hakim (Sang Bijak), Al-Syahid (Sang Martir), dan Al-Maqtul (yang terbunuh).3 Namun, Ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Maqtul, karena terkait dengan proses meninggalnya secara eksekusi. Disamping itu, gelar Al-Maqtul dipakai untuk membedakannya dengan dua tokoh Sufi yang memiliki nama yang sama dengan Al-Suhrawardi, yaitu Abu Al-Najib Al-Suhrawardi (w. 563 H/1163 M) pengarang kitab Adab al-Muridin dan Abu Hafs Syihab al-Din Al-Suhrawardi al-Baghdadi (w. 632 H/1234 M) pengarang buku Awarif al-Ma’arif.4

Al-Suhrawardi wafat pada tahun 587 H/1154 M dengan dihukum mati pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi. Saat itu, ia tinggal di Kota Halb dan Malik al-Zhahir putra Shalahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa di Halb ketika itu sangat dekat dengannya. Namun, para fuqaha memberikan kecaman terhadap beberapa pandangan aqidahnya. Pangeran kemudian melangsungkan suatu pertemuan dengan dihadiri para teolog maupun fuqaha. Setelah meminta meminta pendapat para fuqaha Halb yang meman menjatuhkan fatwa bahwa Al-Suhrawardi harus dibunuh, Malik al-Zhahir pun memutuskan agar Al-Suhrawardi dihukum gantung.5

Dikabarkan bahwa filsafata Al-Suhrawardi begitu mendalam. Bahkan kitab Thabaqat Al-Athibba menyebutkan Al-Suhrawardi sebagai salah seorang tokoh zamannya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu-ilmu filsafat, begitu memahami ushul fiqih, begitu cerdas fikirannya, dan begitu fasih ungkapan-ungkapannya.6

2. Pendidikan AL-Al-Suhrawardi

Al-Suhrawardi menerima pendidikan awalnya dari Majduddin al-Jili, yang juga guru dari Fakhruddin Al-Razi di Maraghah, kota yang menjadi terkenal ke seluruh dunia beberapa tahun berikutnya ketika Hulagu, penakluk dari Mongol, membangun observatorium terkenal di dekatnya dan mengumpulkan para astronom terkemuka saat itu di bawah pimpinann Nashir al-Din al-Thusi di kota tersebut.7 Saat ini wilayah Maraghah berada di kawasan Azerbaijan. Di tempat inilah ia belajar hokum dan teologi. Setelah itu, ia belajar filsafat dengan Fakhruddin Al Mardini.

Lalu beliau melanjutkan rihlahnya ke Isfahan, Iran Tengah mempelajari logika dengan Zhahiruddin Al Qari Al Farisi. Dalam bidang filsafat, Ia banyak dipengaruhi oleh filosof-filosof sebelumnya; Plato, Aristoteles, Plotinus, Al Farabi, Ibn Sina, Ibn

3 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 143. 4 A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 247.

5 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2001), Cet. I, h. 248. 6 A. Mustofa, Filsafat Islam, h. 248.

7 Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam terj. Ach. Maimun S dari judul asli “Three

(4)

Rusyd, dan Nashiruddin Al-Thusi. Setelah banyak melawat ke daerah-daerah tersebut, Suhrawadi pergi ke Persia untuk menekuni mistisme Islam. Ia tidak hanya mempelajari teori-teori dan metode-metode untuk menjadi sufi, akan tetapi ia langsung memprakteknya sebagai sufi sejati. Dia menjadi asketik, menjalani hidupnya dengan beribadah, berkontemplasi dan berfilsafat. Sebagai seorang sufi, Al-Suhrawardi banyak terpengaruh oleh pendahulunya, seperti Abu Yazid al-Bustami (w. 974M), Al-Hallaj (w.859), Al-Ghazali (w. 1111) dan Al-Mishri (w. 860). Pada akhirnya dalam dirinya terpadulah dua keahlian sekaligus yakni filsafat dan tasawuf. Sehingga ia berhasil melahirkan aliran iluminasi (al-ishraqiyat) yang menjadi aliran tandingan terhadap aliran peripatetis yang mendahuluinya.

Setelah itu, Al-Suhrawardi pergi mengembara ke pelosok Persia untuk menemui guru-guru sufi dan hidup secara asketis. Menurut Husein Nasr, Al-Suhrawardi memasuki putaran kehidupannya melalui jalan sufi dan cukup lama berkhalwat untuk mempelajari dan memikirkannya. Perjalanannya semakin melebar sehingga mencapai Anatoli dan Syiria. Dari Damaskus ia pergi ke Aleppo untuk berguru pada Syaffir Iftikhar al-Din, dan di kota ini Al-Suhrawardi menjadi terkenal sehingga para faqih menjadi iri dan mengecamnya.8

Petualangan hidupnya berakhir di Aleppo. Ia menetap di sana atas undangan Pangeran Malik al-Zahir (putra Salahuddin al-Ayyubi). Malik adalah tipe pemimpin yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Atas dasar inilah ia mengundang Al-Suhrawardi untuk sharing pemikirannya tentang filsafat dan tasawuf. Akan tetapi, hal ini tak bertahan lama, kondisi religio-sosial-politik ternyata tidak mendukungnya. Para fuqaha merasa tersaingi dengan pemikian Al-Suhrawardi yang telah mulai berpengaruh pada pemimpin mereka. Mereka melihat adanya keanehan dari pemikiran Suhrawadi, ditambah lagi dengan ajaran-ajaran ruhani yang dibawanya. Para fuqaha menyimpulkan, bahwa Suhrawadi sebagia tokoh yang berbahaya karena berpotensi merusak aqidah umat Islam. Akhirnya para fuqaha mendesak Pangeran Malik untuk menghukumi Al-Suhrawardi. Mereka berhasil mendesak Pangeran Malik atas dasar pertimbangan andil yang telah disumbangkan kalangan Fuqaha terhadap Negara. Dengan rasa terpaksa, Pangeran memasukkan Al-Suhrawardi kedalam penjara dan akhirnya dihukum mati.9

3. Karya-karya Al-Suharawardi

Suhrawadi merupakan sosok Filosof yang sangat produktif, tidak kurang dari 50 karya filsafat dan gnostik dalam bahasa Arab dan Persia. Sayyed Hossein Nasr mengelompokkan karya Al-Suhrawardi dalam 5 kategori;10

1. Pertama, membahas interpretasi dan modifikasi kembali ajaran peripatetik (bukunya: Hikmah Isyraqi, Muqawamat, talwihat dan Mutharahat).

2. Kedua,tentang filsafat yang disusun secara singkat (Hayakil al-Nur, Yazdan Syinakht, fi I’tiqad al hukama’, al-Lamahat).

8 Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, h. 128, Lihat juga; Haidar Baqir,

Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, h. 128-129.

9 Seyyed Husein Nasr, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis terj. Suharsono dan Djamaluddin

dari judul asli, “Theology, Philosophy, and Spirituality” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. II, h. 69.

(5)

3. Ketiga, karangan pendek yang bermuatan mistis dan berlambang yang sulit dipahami (Aql-i Surkh, al-Ghurabat Gharbiyyah, Lughat-i Muran dll).

4. Keempat, komentar dan terjamahan dari filasafat terdahulu (Risalah Al-Thair Ibn Sina), dan

5. Kelima, berupa serangkaian doa yang dikenal dengan al-Waridat wal Taqdisat. Karya-karya Al-Suhrawardi beberapa ditemukan dalam bahasa Arab, dan ada juga yang berbagasa Persia. Doktrin-doktrinnya ditulis dalam bahasa Arab, dan karya atau cerita simboliknya ditulis dalam bahasa Persia.11 Para orientalis dan sejarawan filsafat telah mengenali Al-Suhrawardi sebagai seorang tokoh penting dalam filsafat Islam pasca Ibn Sina. Carra de Vaux pada tahun 1902 dan Max Horten pada tahun 1912 masing-masing menulis satu esai tentangnya. Pada tahun 1929, Louis Massignon memberikan suatu klasifikasi tentang karya-karyanya. Otto Spies menyunting dan menerjemahkan beberapa alegori filosofis Al-Suhrawardi sepuluh tahun setelah itu.12

C. Pemikiran Filsafat Isyraqiyat Al-Suhrawardi

Al-Suhrawardi termasuk seorang filosof (filsuf) dan teosofi13 yang cukup terkenal. Ia hidup ketika filsafat dalam dunia Islam sedang berada pada posisi tidak menentu akibat serangan dari berbagai kelompok ortodoks. Dalam situasi demikian, ia tampil dengan filsafat cahaya (isyraqiyah) sebagai wahana pencerahan untuk mengharmonisasikan pertentangan-pertentangan itu. Ia membangun suatu metodologi pemikiran dari dua tradisi besar dalam sejarah Islam. Pertama; ia mengadopsi metode diskursif yang bercorak rasional-filosofis dari filsafat Helenistik, Persia kuno, dan dari dunia Islam sendiri. Kedua; ia juga mengadopsi tradisi tasawuf sebagai metode eksperiensial yang memiliki corak spiritualistik sufistik yang merupakan warisan dari tradisi tasawuf sebagaimana yang terdapat dalam dunia Islam, Zoroastrianisme, dan neo-Platonis.

Al-Suhrawardi menguraikan ajaran filsafatnya dengan sangat unik karena banyak menggunakan tamsil dan kisah dari kisah perumpamaan. Tidak dapat di elakan karya filsafatnya bercorak sastra. Ini merupakan ciri khas Timur, sebagaimana tampak dalam uraian ahli filsafat, seperti konfusius, lao Tze, dan Ibnu Sina. Bahkan Plato khususnya juga memaparkan ajaran filsafatnya dalam bentuk dialog. Namun, pemikiran Al-Suhrawardi lebih menarik lagi karena bersumber dari berbagai tradisi budaya serta. Sumber-sumber klasik pemikirannya meliputi kearifan Persia kuno, Yunani kuno pro Aristoteles, dan Arab Persia. Dari Persia kuno ia menggali pemikiran Gayamars, Faridun, Kay Khusraw. Dari tradisi Arab-Persia atau Islam, ia menentukan akar pemikirannya dalam tradisi hikmah Nabi Syis dan Nabi Idris a.s sampai Zunnun Al- Misri, Abu Sahl At-Tustari atau Mansur Al-Hallaj. Dari Yunani kuno ia menggali pemikiran tradisional Ordo Hermetiah (Hermetitisme) sampai Phytagoras dan Plato.14

11 Seyyed Husein Nasr, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis ter. Suharsono dan Djamaluddin

dari judul asli, “Theology, Philosophy, and Spirituality” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. II, h. 70.

12 Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, h. 128, Lihat juga; Haidar Baqir,

Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, h. 129-130.

13 Istilah teosof berasal dari bahasa Yunani Theos artinya Allah, dan Sophia artinya kebijaksanaan. Teosof

adalah orang yang berusaha mencari dan mengolah kecenderungan-kecenderungan dalam diri manusia dengan tujuan mencapai suatu visi tertentu tentang Allah [Lorens Bagus, Teosofi, dalam Kamus Filsafat, h. 1101.

(6)

1. Pengertian Isyraqiyat (Iluminasi)

Iluminasi berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu illuminare yang memiliki arti dalam bahaaa Indonesia yaitu menerangi.15 Dalam bahasa Arab, iluminasi disebut berasal dari kata ( ا ررشا- ق ررشي–ق ررشا) yang kemudian dibentuk dengan masdar Sina’i menjadi Isyraqiyyah ( ا ررررررشا), yang berarti terbit, bersinar, menyinari, menerangi.16 Hikmah Al-Suhrawardi terkenal dengan nama hikmah isyraqiah serta dinisbatkan pada isyraq, yang bermakna iluminasi (kasyf). Menurutnya, hikmah ini dikenal pula sebagai hikmah masyriqiah (kebijaksanaan timur), sebagaimana yang disebut-sebut Ibn Sina, yang dinisbatkan kepada para penduduk kawasan Timur, yaitu orang-orang Persia.

Adapun hikmah orang-orang Persia tersebut didasarkan pada iluminasi, yaitu terbitnya cahaya rasional, kecemelangannya, dan kelimpahannya pada jiwa sewaktu jiwa menjadi bebas. Hikmah orang-orang Persia, seperti yang dikemukakan Quthbuddin al-Syirazi, memang didasarkan pada rasa dan iluminasi. Dan ini seperti halnya dengan orang-orang Yunani kuno, kecuali Aristoteles dan para pengikutnya, yang hikmahnya justru didasarkan pada pengkajian serta pembuktian, bukan selainnya.17

Adapun Al-Suhrawardi mengemukakan bahwa hikmah isyraqnya ini di dasarkan pada rasa, sebagaimana katanya: “apa yang kukemukakan (dalam hikmah al-Isyraqnya) ini tidak kuperoleh lewat pemikiran, tetapi kuperoleh lewat sumber lain. Dan aku pun segera mencari argumentasinya. Jika argumentasinya itu benar-benar telah pasti, sedikitpun aku tidak ragu terhadapnya sekalipun orang meragukannya.” Pemikiran isyraqiyat inilah menjadi ciri khas dalam pemikiran Al-Suhrawardi, dan sekaligus mewarnai pemikiran corak filsafat secara umum. Oleh karenanya, menurut Seyyed Hossein Nasr, filsafat Islam dalam makna sejatinya tidak berakhir dengan Ibnu Rusyd, tapi benar-benar dimulai setelah wafatnya, sebagaumana ajaran-ajaran Al-Suhrawardi mulai tersebar di kawasan Islam Timur. 18

2. Filsafat Isyraqiyat Al-Suhrawardi

Al-Suhrawardi dan doktrin-doktrinnya tak kelihatan selama satu generasi. Pemikiran tentang ajaran iluminasi diperlihatkan kembali dalam paruh abad 7 H/13 M, dalam bentuk komentar ulama oleh Muhammad al-Syahrazuri. Munculnya kembali ke permukaan atas pemikiran-pemikiran Al-Suhrawardi sebab ia telah mengukuhkan sesuatu yang baru. Pada saat yang sama dimensi intelektual primordial dalam Islam, menjadi suatu aspek permanen pada wacana intelektual Islam tetap bertahan sampai hari ini. Pengaruh pemikirannya dalam periode awal sangat ekstensif di Persia dan anak benua India.19

Penggunaan kata al-Ishraq (timur) dalam filsafat Al-Suhrawardi mengandung pengertian bahwa secara empiris cahaya pertama muncul dari matahari yang terbit dari timur, sedangkan dalam dunia akal (nonempiris) kata al-ishraq dimaksudkan sebagai

15 Lorens Bagus (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. p. 313-315.

16 Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 714. 17 A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 247.

18 Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam terj. Ach. Maimun S dari judul asli “Three

Muslim Sages : Avicenna-Suhrawardi-Ibn 'Arabi”, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), h. 103.

19 Seyyed Husein Nasr, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis ter. Suharsono dan Djamaluddin

(7)

saat munculnya pengetahuan sejati (makrifat) atau munculnya cahaya akal yang menembus jiwa, yang dirasakan ketika jiwa benar-benar terbebas dari pengaruh indrawi. dengan demikian kata al-ishraq dipergunakan sebagai simbol al-kashf (pancaran batin) dan al-mushahadah (penglihatan secara mistik). Dalam hal ini Al-Suhrawardi menggabungkan filsafat yang bersifat rasional dengan tasawuf yang dilakukan melalui latihan kejiwaan dan kontemplasi. Dengan kata lain, Al-Suhrawardi memadukan daya rasio (filsafat) dan rasa (tasawuf).20

Berikut beberapa pokok pemikiran Al-Suhrawardi yang menjadi konsep dalam filsafat iluminasi (isyraqiyat)-nya:

a. Metafisika dan Cahaya

Inti filsafat iluminasi (isyraqiyat) adalah sifat dan penyebaran cahaya. Beberapa tokoh sufi menyebutkan Allah dengan cahaya, berdasarkan Q.S. Al Nur ayat 35. Sedangkan Al-Suhrawardi menyebut Allah dengan Nur al-Anwar. Cahaya merupakan esensi yang paling terang dan paling nyata, sehingga mustahi terdapat sesutau yang lebih terang dan lebih jelas pada cahaya. Oleh karena itu, cahaya pertama tidak memerlukan penyebab luar selain diri-Nya. Al-Suhrawardi mengikuti argumen yang dikemukan oleh Ibn sina dalam menjelaskan wajib al-wujud. Konsep terang dan gelap Al-Suhrawardi diadopsi dari konsep Tuhan dalam ajaran Zoroaster, hal itu tidak berarti bahwa prinsip yang dipakainya adalah sama persis, sebab pada kenyataannya terdapat perbedaaan yang menonjol antara penggunaan konsep terang dan gelap dalam ajaran Zoroaster dan Al-Suhrawardi. 21

Nur al-Anwar merupakan sumber semua gerak. Akan tetapi gerak cahaya disini bukan dalam arti perpindahan tempat. Menurut Al-Suhrawardi, gerakan itulah yang memiliki peran sentral bagi terbentuknya segala wujud yang ada. Dalam hal ini Al-Suhrawardi menegaskan bahwa semua pergerakan adalah atas kehendakNya dan pergerakan tersebut juga sebagai pangkal bagi terciptanya alam semesta. Proses penyebaran cahaya yang dikemukakan oleh Al-Suhrawardi tidaklah sama dengan teori emanasi neo-platonis dan filsuf peripatetik. Menurutnya, pancaran yang dihasilkan oleh sumber pertama tidak hanya terbatas hanya sepuluh, duapuluh, seribu, akan tetapi bisa mencapai jumlah yang banyak.22 Cahaya yang dihasilkan oleh cahaya yang berada di atasnya melalaui deret tangga vertikal, yang semakin jauh semakin berkurang. Seperti pada pancaran sinar matahari, semakin jauh semakin redup. Jadi pancaran cahaya yang dihasilkan melalui Isyraqi sangat tergantung pada intensitas sinar yang dipancarkan dari sumbernya.

b. Kosmologi

Al-Suhrawardi mengembangkan prinsip emanasi menjadi teori illuminasi (Isyraqi). Menurutnya, pancaran dari sumber pertama (Nur al-Anwar) akan berjalan terus sepanjang sumbernya tetap eksis. Konsekuensinya, alam semesta akan selalu ada selama Tuhan ada, dan prinsip ini akan menimbulkan paham adanya dualisme keqadiman (alam dan Tuhan). Akan tetapi Al-Suhrawardi menegaskan bahwa antara

20 Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, h. 128, Lihat juga; Haidar Baqir,

Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, h. 131-132.

(8)

alam dan Tuhan adalah dua hal yang berbeda sama sekali. Dalam hal ini, ia mengumpamakan hubungan antara matahari dan sinarnya, matahari sebagai sumber cahaya jelas berbeda dengan sinar yang dihasilkannya.23

Proses illuminasi akan tetap berlangsung terus-menerus. Dalam proses itu menunjukkan adanya suatu garis vertical yang tak putus, yang sekaligus menghubungan seluruh rangkaian besar emansi dengan prinsip pertamanya dalam suatu kesatuan wujud yang ketat, yang kemudian memunculkan garing penghubung horizontal. Pada garis horizontal ini muncul keragaman, esensi, spesies dan individu. Garis vertical melambangkan tatanan batin, sedangkan garis horizontal melambangkan tatanan lahirnya. Alur perkembangan konsep kosmologi Al-Suhrawardi tebagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, dalam kitab Hayakil Al Nur, ia mengemukakan 3 jenis alam yaitu Alam Aql, Alam Jiwa dan Alam Materi. Tahap kedua, pemikirannya dituangkan dalam Hikmah Al Isyraq, Ia menambahkan alam yang keempat yaitu Alam Mitsal.24

c. Jiwa

Konsep jiwa Suhrawadi tidak jauh berbeda dengan pandangan para filosof peripatetik. Ia lebih cenderung mengikuti konsep yang telah disempurnakan oleh para filosof muslim. Seperi konsep jiwa Ibn Sina semakin lengkap dan sempurna. Al-Suhrawardi menuangkan pemikirannya tentang jiwa dalam magnum opusnya Hikmah Al Isyraq, misalnya tentang barzakh, mimpi, ma’ad dan kenabian. Kedua dalam kitab Hayakil al-Nur, misalnya argument-argument yang membuktikan adanya jiwa, daya-daya jiwa, karakter-karakternya, sumber-sumber jiwa dan nasib jiwa setelah terlepas dari jasad.

Menurut Al-Suhrawardi, jiwa manusia melimpah dari pemberinya dalam satu waktu yang bersamaan dengan jasad yang menampungnya. Jika alam semesta merupakan hasil rentetan illuminasi dari Allah dan emansi dari-Nya, jiwa juga akan sampai pada kesempurnaan melalui perantaraan illuminasi. Dalam hal ini Al-Suhrawardi menegaskan bahwa jiwa individual tak dapat dipandang sudah ada sebelum keberadaan fisiknya.25

d. Teosofi

Dalam kaitannya dengan Suhrawadi adalah Hikmah al-Isyraq (oriental theosophy). Teosofi merupakan bentuk final dari pemikiran falsafi Al-Suhrawardi. Konsep ini serat dengan bahasa simbolik, seperti malaikat, barzakh, maghrib (barat) dan masyriq (timur). Sejumlah terminology yang tampak familiar dalam teosofinya, tidak boleh dipahami secara konvensional, akan tetapi harus dipahami secara simbolik pula. Isyraqiyyah merupakan hasil perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah Isyraqi sendiri sebagai symbol geografis, mengandung makna timur sebagai dunia cahaya. Sementara masyriq yang berarti tempat terbit matahari yang merefleksikan sumber cahaya.

23 Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2001), Cet. I, h.

131-132.

(9)

Dalam filosofi Al-Suhrawardi, istilah cahaya menggantikan penamaan akal. Dalam penjabarannya mengenai cahaya dan gelap, ia menyamakan keduanya dengan ruh dan materi. Menurut Al-Suhrawardi, cahaya dan gelap memiliki 2 jenis. Cahaya terbagi menjadi cahaya dalam realitas dirinya dan untuk dirinya sendiri, dan cahaya dalam dirinya sendiri sendiri tetapi untuk sesuatu yang lain. Kegelapan juga ada 2 jenis: pertama, kegelapan murni, yang disebut dengan substansi kabur. Kedua, kegelapan yang terdapat pada sesuatu yang lain. Disamping itu, Al-Suhrawardi memperkenalkan istilah barzakh (pembatas) merupakan symbol perantara dan penghubung antara yang nyata dan yang ghaib.26

D. Kesimpulan Filsafat Isyraqiyat Al-Suhrawardi

Secara singkat dari uraian di atas, disimpulkan bahwa prinsip filsafat Isyraqiyyah adalah mendapat kebenaran lewat pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis rasional. Dengan kata lain, prinsif dasar isyraqiyyah adalah mengetahui sama dengan memperoleh suatu pengalaman tentangnya, yang berarti intuisi langsung atas tabiat-tabiat apa yang diketahui. Lalu dinalisis secara diskursif demonstrasional setelah diraih secara total, intuitif, dan langsung.

Adapun, inti dari filsafat Ishraqiyat (iluminasi) adalah berangkat dari konsep cahaya, yang disebut Nur Al-Anwar oleh Al-Suhrawardi. Nur Al-Anwar dalam aliran filsafat ini merupakan sumber semua gerak yang memiliki peran sentral bagi terbentuknya segala wujud yang ada. Selanjutnya, Al-Suhrawardi mengembangkannya dengan memakai konsep emanasi. Menurut Al-Suhrawardi, emanasi tidak terbatas pada akal aktual (akal kesepuluh), tetapi terus beremanasi pada akal yang lebih banyak dan tidak bisa terhitung, selama cahaya dari cahaya-cahaya (Nur al-Anwar) terus menerus memancarkan cahaya murni kepada segala sesuatu yang ada dibawahnya.

Dengan demikian, dalam isyraqiyyah wujud mempunyai hierarki-hierarki, dari yang paling atas sampai yang terbawa. Hanya saja kalau dalam filsafat emanasi setiap tingkat diidentikkan dengan intelek, maka dalam filsafat isyraqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut diidentikkan dengan nur (cahaya). Konsep filsafat Ishraq yang digagasnya memberikan kesimpulan akhir bahwa semua makhluk merupakan bagian dari cahaya Tuhan yang melimpah yang menembus semua celah segala yang ada. Sehingga menimbulkan persepsi bahwa Tuhan dengan segala makhluk itu satu (wihdatul wujud).

Nampak bahwa gagasan-gagasan filsafat Al-Suhrawardi dipengaruhi oleh beberapa aliran pemikiran. Di antara aliran-aliran tersebut ialah pertama; tasawuf, khususnya tasawuf Al-Ghazali dan tasawuf Al-Hallaj, kedua; peripatetisme, khususnya pemikiran ibn Sina, ketiga; Neoplatonisme dan Phytagoreanisme, yaitu paham filsafat Yunani yang lebih bersifat mistis, keempat; Hermenisme, yakni pemikiran-pemikiran yang biasa disandarkan kepada naskah-naskah Corpus Hermeticus yang dikembangkan oleh Hermes; kelima; kepercayaan Zoroasterian Persia, karena Zoroasterianisme mengembangkan suatu sistem pemikiran yang berbasis pertentangan antara cahaya dan kegelapan, sementara filsafat wujud Al-Suhrawardi juga berbasis kepada hal yang sama, atau pencerahan (isyraqiyah/iluminasi).

(10)

DAFTAR PUSTAKA

A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997.

Baqir, Haidar. Buku Saku Filsafat Islam, Cet. I, Bandung: Mizan, 2005.

Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, Cet. I, Bandung: Mizan, 2001.

Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam, Cet. I, Bandung: Mizan, 2005.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.

Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997.

Muthahhari, Murtadha Filsafat Hikmah, Cet. I, Bandung: Mizan, 2002.

Nasr, Seyyed Hossein. Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam terj. Ach. Maimun S dari judul asli “Three Muslim Sages : Avicenna-Al-Suhrawardi-Ibn 'Arabi”, Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.

Nasr, Seyyed Husein. Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis ter. Suharsono dan Djamaluddin dari judul asli, “Theology, Philosophy, and Spirituality”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam, Cet. 1, Bandung : Pustaka Setia, 2009.

Referensi

Dokumen terkait

Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan upaya yang perlu dilakukan untuk Pengembangan Kawasan Pertanian di Kabupaten Sigi, yang meliputi: (1) tata ruang termasuk

Dari penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya, diketahui bahwa Masjid Al Irsyad merupakan seb uah ban gunan modern di Indonesia dengan desain bangunan yang unik

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah membuat suatu sistem perpustakaan baru yang nantinya akan dibandingkan dengan sistem

Dengan demikian model regresi ini sudah layak dan benar serta dapat disimpulkan bahwa variabel pengaruh Disiplin, Profesionalisme, Karakteristik secara simultan

Konstruksi perkerasan jalan terdiri dari lapis permukaan, lapis pondasi atas, lapis pondasi bawah dan tanah dasar. Lapis permukaan biasanya terdiri dari campuran

Penggunaan Bisnis model yang tepat mendukung organisasi dalam menciptakan inovasi, BNI Syariah sebagai salah satu Bank Syariah di Indonesia melakukan sebuah

Menu utama ini akan dipaparkan mengikut kategori yang ditetapkan oleh sistem iaitu untuk pengguna biasa, staf PTJ, ketua seksyen dan ketua jabatan... 8 PPKT,

(2007) menunjukkan bahwa terdapat 18 jenis Anura di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), sedangkan khusus di Sungai Cibeureum terdapat enam jenis Anura. Penelitian