• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia - Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Atas Hak Informasi Terhadap Produk Kecantikan Impor Menurut Uu No. 8 Tahun 1999 (Studi Pada Innovation Store Sun Plaza Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "1. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia - Tinjauan Yuridis Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Atas Hak Informasi Terhadap Produk Kecantikan Impor Menurut Uu No. 8 Tahun 1999 (Studi Pada Innovation Store Sun Plaza Medan)"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN

PERAN BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN ATAS

PRODUK KECANTIKAN IMPOR DI INDONESIA

A. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia

1. Pengaturan Perlindungan Konsumen di Indonesia

Dalam membahas hukum konsumen di Indonesia, tidaklah lengkap apabila

tidak membahas terlebih dahulu sejarah perlindungan konsumen dan

pengaturannya, perlindungan konsumen merupakan suatu hal yang cukup baru di

dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Perkembangan perekonomian dan perdagangan yang sangat pesat telah

mendorong tumbuhnya sistem perlindungan konsumen, dengan kemajuan

teknologi telekomunikasi dan informasi, arus transaksi barang dan jasa semakin

luas melintasi batas-batas wilayah suatu negara, yang pada akhirnya konsumen

menghadapi berbagai jenis barang dan jasa yang beraneka ragam baik yang

berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.22

Jenis barang dan jasa yang beraneka ragam itu memang memberikan

kemudahan bagi konsumen dalam memilih, namun disisi lain memberikan

22

(2)

dampak negatif bagi penggunanya apabila produk tersebut mengakibatkan

kerugian bagi sipengguna.

Tumbuhnya perlindungan konsumen bermula dari adanya gerakan-gerakan

konsumen (consumers movement) diawal abad ke 19. Diikuti dengan dibentuknya

Liga Konsumen yang pertama kali di New York pada tahun 189123

Pada tahun 1960 berdiri sebuah organisasi konsumen bertaraf

Internasional bernama Internasional Organization of Consumer Union (IOCU)

yang di wakili dari berbagai Negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Belanda,

Australia dan Belgia.24 Di era tahun 1960-an Negara-negara lain mulai

membentuk Undang-undang Perlindungan Konsumen. Di Amerika Serikat banyak

peraturan yang telah berhasil diundangkan dan putusan-putusan hakim yang

dijadikan acuan dalam memperkuat perlindungan konsumen.25

Pada tahun 1962 Presiden AS John F Kennedy menyampaikan consumer

message yang terkenal dengan empat hak konsumen yaitu:26

a. Hak untuk mendapatkan keamanan

N.H.T Siahaan, Pelindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta : Pantai Rei, 2005), hal. 292

25

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta : Grasindo, 2000), hal.29

26

(3)

Di Indonesia sendiri, masalah perlindungan konsumen baru mulai

terdengar pada tahun 1970-an yang ditandai dengan lahirnya Yayasan Lembaga

Konsumen Indonesia (YLKI). Lembaga ini lahir karena pesatnya investasi di

Indonesia, baik dilakukan secara joint venture maupun melalui investasi dalam

negeri.27 YLKI pada awalnya hanya memperhatikan promosi untuk memperlancar

barang-barang dalam negeri, sampai akhirnya YLKI mengimbangi dengan

langkah-langkah pengawasan agar masyarakat tidak merasa dirugikan oleh pelaku

usaha dan produk yang dibeli kualitasnya terjamin.

Setelah Indonesia merdeka hingga tahun 1999, undang-undang di

Indonesia belum mengenal istilah perlindungan konsumen. Namun beberapa

peraturan perundang-undangan di Indonesia telah berusaha untuk memenuhi

unsur-unsur perlindungan konsumen namun tetap saja peraturan tersebut belum

memiliki ketegasan dan kepastian hukum tentang hak-hak konsumen.28

YLKI bersama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)

membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Namun

Rancangan Undang-Undang ini ternyata belum dapat memberi hasil, sebab

pemerintah mengkhawatirkan bahwa dengan lahirnya Undang-Undang

Perlindungan Konsumen akan menghambat laju pertumbuhan ekonomi.

Setelah dua puluh tahun diperjuangkan, DPR akhirnya melalui sidang

paripurna pada tanggal 30 Maret 1999 menyepakati Rancangan Undang-Undang

27

Ibid, hal. 301 28

(4)

(RUU) tentang perlindungan konsumen. Atas keaktifan YLKI dalam melindungi

konsumen baik secara nasional maupun internasional dan desakan masyarakat

Indonesia akhirnya dapat menghasilkan sebuah Undang-undang mengenai

perlindungan konsumen yaitu Undang-undang Nomor.8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen.

Sesuai dengan Pasal 1 Angka 1 UUPK “Perlindungan Konsumen adalah

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen. Perlindungan terhadap konsumen dipandang

secara materil maupun formil semakin terasa sangat penting.”

Mengingat semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang

merupakan bagian terpenting untuk kemajuan kehidupan manusia. Semakin

berkembangnya produktifitas jual beli semakin banyak pula permasalahan yang

menyangkut perlindungan konsumen. Mengingat konsumen sering berada diposisi

yang lemah. Upaya-upaya untuk memberikan perlindungan kepada konsumen

merupakan suatu hal penting yang harus segera dicari solusinya. Untuk itu

pemerintah tentu harus memberikan perhatian dan perlindungan besar kepada

konsumen berupa peraturan perundang-undangan.

Adanya undang-undang yang mengatur perlindungan konsumen tidak

dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha. Undang-undang

perlindungan konsumen justru mendorong iklim usaha yang sehat serta

mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan

(5)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

adalah payung hukum (Umbrella Act) bagi perlindungan konsumen. UUPK

sendiri di dalam penjelasannya menyebutkan sejumlah Undang-undang yang

dapat dikategorikan sebagai peraturan hukum sektoral.

Peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk memberikan

perlindungan keamanan, keselamatan, dan kesehatan kepada masyarakat

Indonesia saat ini dapat dijumpai dalam berbagai Undang-Undang, Peraturan

Pemerintah, dan berbagai Peraturan atau Keputusan Menteri dari berbagai

departemen, antara lain seperti:29

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 202, 203,

204, 205, 263, 364, 266, 382 bis, 383, 388 dsb.

Pasal-pasal tersebut mengatur pemidanaan dari perbuatan perbuatan:

1) Memasukkan bahan berbahaya ke dalam sumber air minum

umum

2) Menjual, menawarkan, menerimakan atau membagikan

barang yang dapat membahayakan jiwa atau kesehatan orang

3) Memalsukan surat

4) Melakukan persaingan curang

5) Melaukan penipuan terhadap pembeli

6) Menjual, menawarkan, atau menyerahkan makanan,

minuman dan obat-obat palsu.

b. Kitab undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal

1473-1512 dan Pasal 1320-1338.

Pasal-pasal tersebut mengatur perbuatan yang berkaitan dengan perlindungan kepada pembeli dan perlindungan kepada pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian.

c. Ordonansi Bahan-bahan Berbahaya Tahun 1949

Ordonansi yang menetukan larangan untuk setiap pemasukan, pembuatan, pengangkutan, persediaan, penjualan, penyerahan, penggunaan dan pemakaian bahan berbahaya yang bersifat racun atau berposisi racun terhadap kesehatan manusia.

29

(6)

d. Undang-undang tentang Obat Keras Tahun 1949

Undang-undang ini memberikan kewenangan pengawasan oleh pememrintah terhadap pemasukan, pengeluaran, pengangkutan bahan-bahan obat keras yang akan diproduksi atau diedarkan.

e. Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan

Undang-undang ini memberikan kewenangan pengawasan

pemerintah terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan. Undang-undang ini merupakan landasan untuk mengatur hal-hal seperti pengawasan produksi obat, pendaftaran makanan, minuman, dan obat, penandaan, cara berproduksi yang baik dan lain sebagainya. Undang-undang ini sebagai pengganti berbagai undang-undang yang mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan manusia.

f. Undang-undang No. 10 Tahun 1961 Tentang Barang

Undang-undang ini merupakan landasan untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan standar barang. Salah satu pelaksanaan undang-undang ini adalah terbitnya Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Indonesia (SNI).

g. Undang-undang No. 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal.

Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengelola standar-standar satuan, pelaksanaan tera dan tera ualng terhadap setiap alat ukur, takar, timbangan, dan perlengkapannya, termasuk kegiatan pengawasan, penyidikan serta pengenaan sanksi terhadap pihak-pihak yang di dalam melakukan setiap transaksi menggunakan satuan alat ukur yang tidak benar.

h. Undang-undang No. 22 Tahun 1954 tentang Undian

Undang-undang ini ditetapkan untuk mengatur kegiatan undian, dank arena bersifat umum, maka untuk melindungi kepentingan umum tersebut perlu adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga terjaminnya setiap janji pengelola peserta undian.

Untuk memberikan gambaran pengaturan hukum perlindungan konsumen

secara komprehensif dalam hukum positif Indonesia, maka peraturan tersebut

dikelompokkan menjadi aspek hukum keperdataan, hukum pidana, Hukum

Administrasi Negara dan Hukum Internasional.30

(7)

a. Hukum Keperdataan

Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat yaitu segala

hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.31 Dalam

arti yang lebih sempit dikatakan hukum perdata sebagai lawan hukum dagang.32

Kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum

antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan

konsumennya masing-masing termuat di dalam:33

1) KUHPerdata, terutama dalam Buku kedua, ketiga dan keempat

2) KUHD, Buku kesatu dan Buku kedua

3) Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat

kaidah-kaidah hukum bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.

Hak-hak dan kewajiban konsumen berkaitan dengan aspek keperdataan,

salah satunya adalah hal-hal yang berkaitan dengan perikatan. Hubungan hukum

antara konsumen dengan pelaku usaha umumnya dimulai melalui suatu

perikatan.34 Dalam perikatan karena perjanjian, para pihak bersepakat untuk

mengikatkan diri dan melaksanakan kewajiban masing-masing. Perjanjian itu pun

biasanya diisi dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak. Biasanya

dalam bentuk syarat baku atau tidak baku yang dibuat secara tertulis maupun tidak

tertulis. Dalam perjanjian tersebut dimuat pula ketentuan ganti rugi apabila salah

31

R. Subekti, Pokok-pokok hukum perdata, (Jakarta : Intermasa, 2001), hal.9 32

Ibid. 33

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal.69

34

(8)

satu pihak melakukan wanprestasi. Sehingga pihak yang merasa dirugikan dapat

menuntut pemenuhannya berdasarkan perjanjian tersebut.

Kata konsumen tidak ada diatur dalam KUHPerdata, namun kata-kata

seperti pembeli, penyewa dan siberutang digunakan di dalam KUHPerdata.

Berikut beberapa pasal di dalam KUHPerdata yang menyangkut dengan hukum

konsumen:35

1) Pasal 1235 (Jo. Pasal-pasal 1033, 1157, 1236, 1365, 1444, 1445,

1473, 1474, 1550, 1560, 1706, 1744)

Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik sampai pada saat penyerahan.

2) Pasal 1236 (Jo. Pasal-pasal 1235, 1243, 1264, 1275, 1391, 1444,

1480)

Siberutang adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi, dan bunga kepada si berpiutang, jika ia membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau tidak merawatnya sepatutnya guna menyelamatkannya.

3) Pasal 1504 (Jo. Pasal-pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504 s.d

1511)

Si penjual diwajibkan menanggung terhadap cacat tersembunyi pada barang yang dijual, yang membuat barang itu tak sanggup untuk pemakaian yang dimaksudkan itu, sehingga seandainya pembeli mengetahui cacat itu, ia sama sekali tidak akan membeli barangnya, atau tidak akan membelinya selain dengan harga yang kurang.

Dengan adanya Undang-undang perlindungan konsumen, maka

kelemahan-kelemahan yang dulu ada pada hukum perdata sudah dapat diatasi.

Diantaranya perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha seperti

35

(9)

pemberian informasi yang benar dan jujur, memproduksi dan atau

memperdagangkan barang dan/atau jasa tertentu yang rusak atau cacat.36

b. Hukum Pidana

Hukum pidana termasuk ranah hukum publik. Dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana tidak ada disebut kata konsumen. Namun secara implisit

ada bebarapa pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen,

yaitu:37

1) Pasal 204: Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau

membagi-bagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

2) Pasal 359: Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya

orang lain, dianvam dengan pidana penjara palinng lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.

3) Pasal 383: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun

empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli: (1) karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat.

Diluar Kitab Undang-undang Hukum Pidana terdapat banyak sekali

ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen. Lapangan

pengaturan yang paling luas kaitannya dengan hukum perlindungan konsumen

36

AZ. Nasution, Op.Cit, hal.108 37

(10)

terdapat pada bidang kesehatan dan pengaturan hak-hak atas kekayaan

intelektual.38

c. Hukum Administrasi Negara

Hukum Administrasi Negara merupakan instrumen hukum publik yang

penting dalam perlindungan konsumen. Karena, sanksi-sanksi hukum perdata dan

pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi administratif. Sanksi

administratif ditujukan kepada pelaku usaha, baik produsen maupun pelaku usaha

lain yang mendistribusikan produknya.39

Didalam UUPK penerapan sanksi adminstratif berupa penetapan ganti rugi

cenderung menonjol, mengingat dengan adanya Pasal 60 UUPK yang mengatur

tentang kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang nota

bene bukan Pemerintah yang telah menerbitkan izin tersebut.40 Pencabutan izin

hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari produsen/penyalur. Dengan

demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi konsumen dan

mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Campur tangan administratif Negara

harus dilatarbelakangi iktikad baik untuk melindungi masyarakat dari bahaya41

38

Celina Tri Siwi, Op.Cit, hal. 82 39

Shidarta, Op.Cit, hal.117 40

Ibid, hal. 118 41

(11)

Sanksi administratif dianggap lebih efektif dibanding dengan sanksi

pidana atau perdata. Hal ini didukung dengan bebarapa alasan yaitu:42

1) Sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak,

dengan demikian para penguasa sebagai pihak pemberi izin tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak manapun. Sanksi administratif juga tidak perlu melalui proses pengadilan.

2) Sanksi perdata atau pidana seringkali tidak memberikan efek jera

bagi pelakunya. Ganti rugi yang dijatuhkan mungkin tidak sebarapa dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negatif produsen. Belum lagi dengan mekanisme penjatuhan putusan yang berbelit-belit dan membutuhkan proses yang lama.

2. Pengertian konsumen dan pelaku usaha

a. Konsumen

Suatu transaksi jual beli barang maupun jasa, selalu ada konsumen dan

pelaku usaha yang terlibat di dalamnya, baik perorangan, perkelompok, maupun

dalam bentuk perusahaan.

Konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

consument/konsument (Belanda). Konsumen merupakan definisi yuridis yang

banyak dipakai oleh masyarakat. Di dalam Pasal 1 Angka 2 UUPK, konsumen

adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”

42

(12)

Dari pengertian di Pasal 1 Angka 2 UUPK dapat ditarik unsur-unsur

konsumen yaitu:43

1) Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang

berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang”

sebetulnya menimbulkan keraguan-keraguan, apakah hanya orang

individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk

juga badan hukum (recht person).

2) Pemakai

Sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 1 Angka 2 UUPK kata

“pemakai menekankan, konsumen adalah konsumen akhir

(ultimate consumerI). Istilah pemakai dalam hal ini tepat

digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus

menunjukkan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu.

3) Barang dan/atau jasa

UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, dimanfaatkan oleh konsumen. Sementara jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atas prestasi yang disediakan bagi masyarakat

untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, pihak yang ditawarkan lebih dari satu orang.

4) Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia dipasaran. Sesuai dengan Pasal 9 Ayat (1) huruf e UUPK. Dalam perdagangan yang makin kompleks ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perumahan pengembangan perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi.

5) Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup

lain

Unsur ini diletakkan dalam definisi untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukkan untuk orang lain bahkan untuk makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan. Karena dari sisi teori kepentingan,

43

(13)

setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingan makhluk hidup lain.

6) Barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai Negara. Secara teoritis hal ini terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.

Menurut A.S Hornby, Gen.Ed istilah konsumen sendiri berasal dari kata

consumer (Inggris) yang artinya “setiap orang yang menggunakan barang.”44

Menurut Inosentius Samsul, konsumen adalah “pengguna atau pemakai akhir

suatu produk, baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui cara lain, seperti

pemberian, hadiah, dan undangan.”45

Batasan mengenai konsumen menurut AZ. Nasution adalah “setiap orang

yang mendapatkan secara sah dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk

semua kegunaan tertentu.” Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan

bahwa ada konsumen akhir dan bukan konsumen pemakai akhir. Sehingga

menurut AZ. Nasution konsumen dapat dibedakan menjadi tiga batasan, yaitu:46

1) Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau

jasa digunakan untuk tujuan tertentu;

2) Konsumen antara (intermediate consumer), adalah setiap orang

yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk diperdagangkan kembali juga dengan tujuan mencari keuntungan;

3) Konsumen akhir (ultimate consumer/end user), adalah setiap orang

yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan kehidupan pribadi, keluarga, orang lain, dan makhluk hidup lainnya dan tidak untuk diperdagangkan kembali dan/atau untuk mencari keuntungan kembali;

44

Zulham, Op.Cit, hal.15 45

Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2004) hal.34

46

(14)

Untuk konsumen antara barang dan/atau jasa itu adalah barang dan jasa

kapital, berupa bahan baku, bahan penolong ataupun komponen produk lainnya

yang pada akhirnya akan diproduksi oleh produsen. Sedangkan distributor atau

pedagang merupakan penjual yang menjual produk setengah jadi atau produk jadi

yang dijadikan sebagai dagangannya. Konsumen antara ini memperoleh barang

atau jasa tersebut di pasar industri ataupun pasar produsen.47

Barang dan/atau jasa bagi konsumen akhir adalah barang dan/atau jasa

yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau

rumah tangga. Barang dan/atau jasa konsumen akhir ini biasanya diperoleh di

pasar-pasar konsumen seperti pasar tradisional, supermarket, dan terdiri dari

barang dan/atau jasa yang umumnya digunakan di dalam rumah tangga.48

Berdasarkan konsep dan pandangan Islam, Muhammad dan Alimin

mendefinisikan konsumen sebagai “setiap orang, kelompok atau badan hukum

pemakai suatu harta benda atau jasa karena adanya hak yang sah, baik ia dipakai

untuk pemakai akhir ataupun untuk proses produksi selanjutnya.”49

Dari definisi di atas, dapat dilihat bahwa konsumen merupakan setiap

orang, kelompok, atau badan hukum atau perusahaan. Hal ini tentu saja

bertentangan dengan definsi konsumen menurut UUPK yang menyebutkan bahwa

konsumen hanyalah setiap orang dan tidak mencakup badan hukum atau

perusahaan.

47

Ibid, hal.14 48

Ibid. 49

(15)

Di dalam penjelasan Pasal 1 Angka 2 UUPK juga menyebutkan bahwa

definisi konsumen di dalam UUPK hanya untuk konsumen akhir saja. Yang

artinya, definisi konsumen di dalam UUPK tidak memuat mengenai badan hukum

atau perusahaan yang dapat menjadi konsumen antara, yaitu konsumen yang

menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk

lainnya.50

Pada Pasal 1 Ayat (2) UUPK ada istilah pemakai, yang menunjukkan

bahwa barang dan/atau jasa tidak harus sebagai hasil dari transaksi jual beli.51

Misalnya pelaku usaha memberikan parsel berisi produk makanan sebagai hadiah

lebaran kepada sipembeli karena sudah menjadi langganan ditokonya. Hal ini

bukan berarti bahwa sipembeli adalah pembeli, tetapi hanya sekedar pemakai dari

produk tersebut.

Meskipun ia tidak sebagai pembeli ataupun tidak ada hubungan kontrak

jual beli dengan pelaku usaha dari produk, apabila terjadi hal yang dapat

merugikan sipembeli atas produk tersebut makan pembeli dapat melakukan klaim.

Dengan demikian, hubungan konsumen dengan pelaku usaha tidak terbatas

hanya karena transaksi jual beli saja, melainkan lebih dari pada hal tersebut

seseorang dapat disebut sebagai konsumen.52

50

Ibid. 51

N.H.T Siahaan, Op.Cit, hal.24 52

(16)

b. Pelaku Usaha

Hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen biasanya selalu

dikaitkan dengan produk berupa barang dan/atau jasa yang diperjual belikan, baik

dari hasil teknologi maupun dari hasil pembuatan tangan (Hand made) seperti

batik, lukisan, dan karya seni lainnya.

Pelaku usaha adalah “setiap orang perseorangan atau badan usuaha, bak

yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”53

Pelaku usaha yang dimaksud didalam UUPK tidak hanya sebatas pabrikan

saja, tetapi juga mencakup para distributor, importir, dan pelaku usaha

periklanan.54

Disebutkan pelaku usaha karena pengertian konsumen dalam UUPK

sangat erat kaitannya dengan masalah ganti kerugian dari konsumen. Mengenai

pengertian pelaku usaha cukup luas, dijelaskan di dalam penjelasan Pasal 1 Angka

3 UUPK bahwa “pelaku usaha meliputi perusahaan, korporasi, Badan Usaha

Milik Negara (BUMN), koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.”

Dengan demikian, produsen atau pelaku usaha tidak hanya diartikan

sebagai pihak pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga

dikaitkan dengan peredaran atau penyampaian produk hingga sampai ketangan

konsumen. Sehingga produsen atau pelaku dapat diartikan secara luas.

53

Pasal 1 angka 3 UUPK 54

(17)

Menurut Janus Sidabalok, produsen adalah “mereka yang terkait dengan

proses pengadaan hasil industri hingga sampai ke tangan konsumen. Mereka

adalah pabrik (pembuat), distributor, eksportir, atau importer, dan pengecer, baik

yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum.”55

Pelaku usaha sebagai penyelenggara usaha adalah pihak yang harus

bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan

oleh usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang

produsen.56

3. Asas-asas hukum konsumen

Dalam setiap peraturan perundang-undangan, selalu ada asas-asas atau

prinsip-prinsip yang mendasari diterbitkannya peraturan perundang-undangan

tersebut. Asas-asas hukum tersebut merupakan sebuah fondasi suatu

undang-undang dan peraturan pelaksananya. Apabila asas-asas dikesampingkan, maka

runtuhlah bangunan undang-undang itu dan segenap peraturan pelaksanaanya.57

Undang-undang perlindungan konsumen memiliki batasan yang terdiri

dari asas-asas dan tujuan agar bisa memberikan arahan dalam implementasinya

untuk melindungi konsumen atas pemenuhan barang dan/atau jasa. Dalam Pasal 2

55

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2011), hal.16

56

Ibid, hal.17 57

(18)

UUPK disebutkan bahwa “perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan,

keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.”

a. Asas Manfaat

Maksud asas ini adalah untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat

sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara

keseluruhan.

b. Asas Keadilan

Asas ini dimaksudkan agar pertisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan

secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan

pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya

secara adil.

c. Asas Keseimbangan

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan kesimbangan antara kepentingan

konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material atau spiritual.

d. Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan

keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan

pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini

menghendaki adanya jaminin hukum bahwa konsumen akan memperoleh

manfaat dari produk yang akan dikonsumsi, dan sebaliknya bahwa produk

itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta

(19)

e. Asas Kepastian Hukum

Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati

hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggraan perlindungan

kosnumen, serta Negara menjamin Kepastian Hukum.

Asas kepastian hukum disejajarkan dengan asas efiensi karena hukum

yang berwibawa berarti hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang

dapat melaksanakan hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya

tanpa penyimpangan.58

Perlindungan konsumen bagaikan sekeping uang logam yang memiliki dua

sisi yang berbeda. Satu sisi merupakan sisi konsumen dan sisi yang satunya

merupakan sisi pelaku usaha, dan kedua sisi tersebut saling berhubungan satu

sama lain.59

Pada asas keempat dalam Pasal 2 UUPK tidak disebutkannya kepentingan

pelaku usaha pada asas yang keempat yaitu asas keamanan, dan keselamatan

konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa perwujudan kepentingan ini tidak boleh

semata-mata dimanipulasi oleh motif “prinsip ekonomi pelaku usaha” yaitu

mendapatkan keuntungan yang besar dengan modal yang kecil. Yaitu dengan

mengabaikan keamanan dan keselamatan konsumen dalam mengonsumsi produk

barang dan/atau jasa.60

58

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 33

59

Yusuf Shofie, Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2008), hal.154

(20)

4. Hak dan kewajiban konsumen

Perlindungan konsumen erat kaitannya dengan perlindungan hukum.

Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar perlindungan

fisik melainkan yang melakukan hak-haknya yang bersifat abstrak.61

a. Secara umum dikenal ada 4 (empat) hak dasar konsumen yang diakui

internasional, yaitu:

1) Hak untuk mendapatkan keamanan (the right of safety)

2) Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)

3) Hak untuk memilih (the right to choose)

4) Hak untuk didengar (the right to he heard)

b. Hak-hak konsumen diatur dalam Pasal 4 UUPK, hak-hak konsumen itu

sebagai berikut:62

1) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

2) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa;

4) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

5) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secar patut;

6) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

8) hak untuk mendapatkan kompensasi, gantu rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

61

Shidarta, Op.Cit, hal.19 62

(21)

9) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan.atau jasa mengandung arti bahwa barang dan/atau jasa yang digunakan

oleh konsumen telah mendapatkan jaminan keamanan dan keselamatan secara

jasmani dan rohani. UUPK mewajibkan pelaku usaha untuk menjamin keamanan

dan keselamatan barang dan/atau jasa diberikan. Dan mewajibkan kepada

konsumen untuk meningkatkan kepedulian atas informasi suatu produk yang

aman. Dengan demikian, pelaku dan konsumen harus saling perduli dan

mendukung keamanan dan keselamatan konsumen sehingga dapat

menguntungkan semua pihak.

Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan,

bagi konsumen golongan menengah ke atas mungkin tidak mempunyai masalah

dalam menentukan pilihan, namun masalah ini terjadi pada masyarakat golongan

menengah kebawah yang kemampuan daya belinya relatif rendah, dan

pengetahuan yang kurang tentang suatu barang dan/atau jasa. Hal ini dapat

menyebabkan konsumen akan memilih produk apasaja yang mampu ia beli tanpa

mengetahui mutu dari produk tersebut.

Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa. Informasi yang benar, lengkap, dan jujur

merupakan suatu kewajiban pelaku usaha yang harus disertakan atau dijelaskan

dalam suatu produk. Hal ini sangat penting, agar menghindarkan kekeliruan

(22)

Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa

yang digunakan. Hal-hal yang dapat merugikan konsumen dapat disampaikan

kepada pelaku usaha. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya harus

dimanfaatkan agar konsumen tidak dirugikan. Sebaliknya, pelaku usaha harus

bersedia mendengar, dan menyelesaikan perihal yang telah dikeluhkan oleh

konsumen.

Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secar patut. Apabila ada permasalahan yang

dirasakan oleh konsumen tidak mendapatkan tanggapan yang layak, maka

konsumen dapat melakukan penyelesaian hukum termasuk advokasi. Dengan kata

lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari pihak yang

merugikannya.

Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen. Mendapatkan

pembinaan merupakan salah satu hal penting. Mengingat kurangnya kesadaran,

pengetahuan, kepedulian dan kemampuan konsumen. Hal ini dimaksudkan agar

konsumen lebih mandiri dan lebih peduli terhadap barang dan/jasa yang

dikonsumsi atau digunakan. Sehingga tidak menimbulkan kerugian dikemudian

hari bagi konsumen itu sendiri.

Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif. Hak ini dimaksudkan, agar tidak ada pembedaan atau diskriminasi

berdasarkan agama, suku, budaya, daerah, pendidikan, kaya atau miskin seseorang

dalam memperlakukan konsumen. Sehingga semua lapisan masyarakat Indonesia

(23)

Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau

tidak sebagaimana mestinya. Hak ini dimaksudkan untuk pemulihan keadaan

apabila terjadi kerugian yang dialami oleh konsumen. Termasuk di dalamnya

kerugian materi, maupun kerugian fisik.

Selain hak-hak yang disebutkan diatas, ada juga hak-hak untuk dilindungi

dan akibat negatif persaingan curang dan hak untuk mendapatkan lingkungan

hidup yang baik dan sehat. Sebenarnya persaingan curang diperuntukkan untuk

pelaku usaha, namun kompetisi yang tidak sehat antar pelaku usaha dalam jangka

waktu yang panjang dapat memberikan dampak negatif bagi konsumen karena

yang menjadi sasaran pelaku usaha adalah konsumen itu sendiri.63

Membahas tentang hak, tentu harus juga membahas tentang kewajiban.

Adanya kewajiban konsumen dimaksudkan untuk mengimbangi hak konsumen.

Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 UUPK yaitu:64

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan.atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. Hal ini

dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan atau pemanfaatan

63

Shidarta, Op.Cit, hal. 22 64

(24)

suatu produk. Kewajiban ini menuntut konsumen untuk lebih perduli akan

keselamatan diri sendiri dalam penggunaan suatu produk dan tidak hanya

menyalahkan pelaku usaha saja apabila timbul suatu kerugian.

Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

Hal ini berkaitan pada saat transaksi pembelian barang dan/atau jasa, karena

kemungkinan dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi

dengan produsen.65

Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen harus

membayar sesuai kesepakatan dengan pelaku usaha. Mengikuti upaya

penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Maksudnya,

konsumen harus bersikap kooperatif dalam mengikuti penyelesaian hukum

sengketa konsumen agar cepat diselesaikan dan tidak berbelit-belit. Kewajiban ini

dianggap sebagai hal baru, sebab belum diundangkannya UUPK hampir tidak

dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti dalam perkara perdata,

sementara dalam kasus pidana tersangka/terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh

aparat kepolisian.66

65

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 49 66

(25)

5. Hak dan kewajiban pelaku usaha

Hak dan kewajiban konsumen harus seimbang dengan hak dan kewajiban

pelaku usaha agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Hak dan kewajiban

konsumen harus dihormati oleh para pihak begitu pula dengan kewajiban pelaku

usaha yang harus ditaati dan dilaksanakan.

Hak pelaku usaha sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UUPK adalah:67

a. Hak untuk meneriman pembayaran yang sesuai dengan

kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen

yang beritikad tidak baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum

bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya.

Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai menunjukkan bahwa pelaku

usaha harus memberikan harga yang wajar dan tidak dapat menuntut lebih banyak

jika kondisi barang dan/atau jasa yang diberikannya kepada konsumen tidak atau

kurang memadai menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau

jasa yang sama.

Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik. Selain konsumen, pelaku usaha juga berhak mendapatkan

perlindungan dari aparat pemerintah. Karena, tidak hanya pelaku usaha saja yang

67

(26)

dapat merugikan konsumen, tetapi konsumen juga dapat merugikan pelaku usaha

karena iktikad yang tidak baik.

Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen. Dalam proses penyelesaian sengketa konsumen,

pelaku usaha berhak melakukan pembelaan diri, baik diri sendiri maupun melalui

kuasa hukum.

Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan. Hak ini dimaksudkan agar pelaku usaha tidak mendapatkan

kerugian yang besar, dan rehabilitasi nama baik merupakan salah satu bentuk

penyelesaian sengeka konsumen. Namun harus benar-benar dibuktikan bahwa

pelaku usaha tidak merugikan konsumen.

Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya. Hak-hak yang diatur di dalam Undang-undang lain tetapi harus diingat

bahwa UUPK tetap sebagai payung hukum bagi semua aturan lainnya berkenaan

dengan perlindungan konsumen.68

68

(27)

Sedangkan kewajiban pelaku usaha tertuang di dalam Pasal 7 UUPK

yaitu:69

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan dan melayani konsumen secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas

kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian

Pelaku usaha harus beritikad baik sesuai dengan Pasal 1338 Ayat (3)

KUHPerdata. Dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beriktikad baik dalam

melakukan kegaiatan usahanya, sedangkan konsumen beriktikad baik dalam

melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.70

Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta member penjelasan penggunaan, perbaikan,

dan pemeliharaan. Informasi merupakan hal sangat penting, karena dengan tidak

adanya informasi suatu produk, dapat memberikan kerugian konsumen.

Pemberian informasi pun harus diberikan dengan jelas benar dan jujur.

69

Pasal 7 UUPK 70

(28)

Memperlakukan dan melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif. Pelaku usaha tidak boleh memilih-milih dalam memperlakukan dan

melayani konsumen. Maksud dari tidak boleh memilih-milih adalah tidak boleh

melihat konsumen dari suku, ras, bangsa, agama, dan kekayaannya.

Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang

berlaku. Barang dan/atau jasa yang diberikan pelaku usaha harus memiliki standar

mutu yang telah diatur. Bagi produk kecantikan haruslah lulus uji dari BPOM

terlebih dahulu.

Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang

yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan. Hal ini perlu dilakukan oleh pelaku

usaha sebagai bahan percobaan / tester. Karena, dengan pelaku usaha memberikan

tester kepada konsumen, dapat memudahkan konsumen untuk memilih produk

yang cocok untuk dirinya.

Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan. Memberikan ganti rugi merupakan salah satu bentuk tanggung

jawab pelaku usaha kepada konsumen yang merasa dirugikan akibat penggunaan

barang dan/atau jasa, sehingga sangatlah perlu sebelum melakukan transaksi

(29)

pemakaian kepada konsumen, dan harus memeriksa barang dan/atau jasa sebelum

diperdagangkan.

Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Pelaku usaha dituntut untuk bersikap jujur saat memberikan informasi suatu

barang dan/atas jasa yang diberikan, sehingga konsumen tidak merasa dirugikan

karena tidak sesuai dengan yang perjanjikan.

Salah satu kewajiban pelaku usaha yang sangat penting adalah

penyampaian informasi yang benar, jelas dan jujur. Kekeliruan dalam

memberikan informasi akan memberikan gambaran yang salah dan

membahayakan bagi konsumen sebagai pengguna barang dan/atau jasa.

6. Hubungan Transaksi antara Konsumen degan Pelaku Usaha

Penerapan tahapan transaksi memberikan manfaat agar dengan mudah

mencari akar permasalahan dan mencari penyelesaiannya apabila terjadi sengketa

(30)

Adapun tahap-tahap transaksi konsumen dibagi dalam 3 bentuk tahapan

antara lain;

a. Tahap Pra transaksi konsumen

Tahap pra transaksi biasanya ditandai dengan penawaran oleh penjual

kepada calon pembelinya, dan konsumen masih mencari keterangan dimana

barang atau jasa kebutuhannya dapat ia peroleh, berapa harga dan apa pula

syarat-syarat yang harus ia penuhi, serta mempertimbangkan berbagai fasilitas atau

kondisi dari transaksi ia inginkan.71

Biasanya dalam menawarkan produk barang dan/atau jasa pelaku usaha

menggunakan iklan sebagai sarana promosi dagangannya. Berbagai cara

penawaran akan dilakukan pelaku usaha agar produknya laku habis, namun pelaku

usaha dilarang mengelabui konsumen saat menawarkan produknya.

Berdasarkan Pasal 10 UUPK, pelaku usaha dalam penawaran barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar mengenai:

1) harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;

2) kegunaan suatu barang dan/atau jasa;

3) kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu

barang dan/atau jasa;

4) tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;

5) bahaya penggunaan barang dan/atau jasa

Pelaku usaha periklanan juga diatur di dalam Pasal 17 UUPK, yaitu pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:

1) mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan,

kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;

71

(31)

2) mengelabui jaminan / garansi terhadap barang dan/atau jasa;

3) memuat informasi yang keliru, salah atau tidak tepat mengenai

barang dan/atau jasa;

4) tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang

dan/atau jasa;

5) mengekploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang

berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;

6) melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan

perundang-undangan mengenai periklanan

Pelaku usaha dalam melakukan penawarannya dilarang menipu atau

mengelabui calon pembeli, dan harus memberikan informasi yang benar dan jujur

mengenai kondisi barang dan/atau jasa yang ditawarkan.

b. Tahap Transaksi konsumen

Tahap transaksi konsumen sering disebut dengan transaksi yang

sesungguhnya, karena pada tahap inilah pelaku usaha dan konsumen mecapai

kesepakatan mengenai barang dan/atau jasa. Pada tahap ini transaksi peralihan

suatu barang telah terjadi. Konsumen dalam hal ini sudah terikat dengan berbagai

persyaratan pembayaran, harga, dan sebagainya.

Hal-hal yang penting dan perlu mendapat perhatian oleh pelaku usaha

maupun konsumen adalah terpenuhinya syarat-syarat sahnya perjanjian yang

diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata.

Adapun syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320

KUHPerdata adalah:

1) Sepakat mereka yang mengikat dirinya;

(32)

3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal

Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah perjanjian syarat baku atau

klausula baku yang dibuat secara sepihak. Perjanjian syarat baku yang dibuat

secara sepihak sering menimbulkan permasalahan pada tahap transaksi ini.

Klausula baku diatur dalam Pasal 1 Angka 10 UUPK yaitu “setiap aturan

atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih

dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen

dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

Perlu dikhawatirkan terdapat klausula baku yang dibuat oleh pelaku usaha

yang isinya merupakan klausula yang mengandung kondisi membatasi atau

bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang seharusnya dibebankan

kepada pelaku usaha, namun UUPK telah mengatur masalah ini dan tertuang di

dalam Pasal 18 Jo Pasal 62 yaitu:

1) Pelaku usaha dilarang memuat klausula baku dalam perjanjian atau

dokumen apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. pelaku usaha berhak menolak pengembalian barang yang dibeli

konsumen;

c. pelaku usaha berjak menolak pengembalian uang pembelian

barang dan/atau jasa;

d. pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan tindakan secara sepihak yang berkaitan dengan pembelian secara angsuran;

e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang

atau jasa yang dibeli;

f. member hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat

(33)

g. menyatakan bahwa konsumen member kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

2) Letak atau bentuknya sulit dilihat atau sulit dimengerti konsumen;

3) Klausula baku yang sesuai dengan kriteria Ayat (1) a-h, Ayat (2) batal

demi hukum

4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula bakunya dengan aturan ini.

c. Tahap Purna transaksi

Pada tahap pasca transaksi ini tidak berarti bahwa hubungan antara

konsumen dengan pelaku usaha sudah selesai, di tahap ini konsumen biasanya

sudah menerima dan memanfaatkan produk dan/atau jasa yang dibelinya.

Pada saat pemanfaatan, konsumen mulai menilai barang dan/atau jasa

tersebut. Apabila konsumen merasa puas, biasanya konsumen akan terus

menggunakan barang dan/atau jasa tersebut, tanpa harus repot-repot mencari

barang dan/atau jasa yang lain. Pelaku usaha pun akan merasa senang dan

diuntungkan karena konsumen puas dengan barang dan/atau jasa yang diberikan.

Sebaliknya, keadaan akan menjadi berbeda apabila konsumen merasa tidak

puas dengan pemanfaatan barang tersebut atau jasa yang diberikan oleh pelaku

usaha. Konsumen merasa tidak puas apabila barang dan/atau jasa tersebut

merugikan dirinya. Biasanya, konsumen akan mengajukan keluhan kepada pelaku

usaha tersebut. Disinilah pentingnya tanggung jawab pelaku usaha dari purna

transaksi itu, pelaku usaha harus tetap mendengarkan keluhan konsumen,

(34)

B. Peran Badan Pengawas Obat dan Makanan di Indonesia

1. Pengertian Badan Pengawas Obat dan Makanan

Produk kecantikan tidak bisa terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi. Semakin banyak produk yang berkembang dan beredar di pasaran,

semakin banyak pula konsumen yang merasa dirugikan karena efek buruk dari

penggunaan produk tersebut. Hal itu seringkali terjadi bukan hanya produk yang

tidak cocok dikulit, melainkan karena bahan-bahan yang digunakan adalah bahan

kimia yang berbahaya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu lembaga yang dapat

mengawasi dan memperhatikan mengenai obat dan makanan yang dikonsumsi

oleh konsumen.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (selanjutnya disebut dengan

BPOM) merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang

bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di Indonesia. Fungsi dan

tugas badan ini menyerupai fungsi dan tugas Food and Drug

Administration (FDA) di Amerika Serikat.72 BPOM merupakan lembaga

pemerintah pusat sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor

103 Tahun 2001 yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintah tertentu

dari Presiden serta bertanggung jawab langsung kepada presiden.73 BPOM

72

Badan Pengawas Obat dan Makanan

http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pengawas_Obat_dan_Makanan (diakses pada tanggal 23 Januari 2015)

73

(35)

dibentuk ditingkat pusat, sedangkan ditingkat daerah dibentuk Unit Pengelola

Teknis Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan.74

2. Fungsi dan Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan

Keberadaan BPOM didasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 103

Tahun 2001 tentang Kedudukan, Fungsi, Kewenangan, susunan Organisasi dan

Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah diubah

dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005.

Dalam Pasal 67 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang

Kedudukan, Fungsi, Kewenangan, susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga

Pemerintah Non Departemen, fungsi dari BPOM antara lain:

a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang

pengawasan Obat dan Makanan;

b. Pelaksanaan kebijakan tertentu dibidang pengawasan Obat dan

Makanan;

c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas Badan

POM;

d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap

kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan Obat dan Makanan;

e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di

bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata

laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian,

perlengkapan,dan rumah tangga.

Mengenai tugas dan wewenang dari BPOM yang lebih spesifik diatur

dalam Keputusan Menteri Kesehatan dan Menteri Pendayagunaan Apatur Negara

74

(36)

Nomor 264A/MENKES/SKB/VII/2003/ dan Nomor 02/SKB/M.PAN/7/2003

tentang Tugas, Fungsi, dan Kewenangan di Bidang Pengawasan Obat dan

Makanan.

Pada Pasal 69 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang

Kedudukan, Fungsi, Kewenangan, susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga

Pemerintah Non Departemen, kewenangan BPOM sebagai berikut:

a. Penyusunan secara nasional secara maksro di bidangnya;

b. Perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung

pembangunan secara makro;

c. Penetapan sistem informasi di bidangnya;

d. Penetapan persyaratan penggunaan bahan tambahan (zat adiktif)

tertentu untuk makanan dan penetapan pedoman pengawasan peredaran obat dan makanan;

e. Pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan

industry farmasi;

f. Penetapan pedoman penggunaan konservasi, pengembangan

pengawasan tanaman obat.

Struktur organisasi BPOM berdasarkan Keputusan Kepala Badan

Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan, BPOM terdiri

dari tiga ke Deputi yang membidangi:75

a. Pengawasan produk terapetik, narkotika, psikotropika, dan zak adiktif.

b. Pengawasan obat tradisional, kosmetik produk kompelen/suplemen.

c. Pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya.

75

Referensi

Dokumen terkait

Lihat Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosio%gi Hukum, (Jakarta : PT.. 3) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, dilarang

”Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap d okumen dan/atau

Persamaan ketentuan hukum Islam dan UUPK adalah pelaku usaha dilarang memberikan informasi yang tidak benar mengenai produk/barang yang diperjualbelikan, dilarang

(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau

Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 10 huruf c UUPK yang menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan

Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, terutama dari penyampaian informasi yang tidak benar, tidak jelas, dan tidak jujur melalui media

Larangan bagi pelaku usaha periklanan Pasal 17 Perilaku yang dilarang berdasarkan Pasal 17 UUPK yang mengatur tentang pelaku usaha, periklanan, menandai akhir dari daftar tindakan