• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Parkir Terhadap Pencantuman Klausula Baku (Studi Kasus PT. Sky Parking)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perlindungan Konsumen Pengguna Jasa Parkir Terhadap Pencantuman Klausula Baku (Studi Kasus PT. Sky Parking)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KONSUMEN PENGGUNA JASA DAN

PELAKU USAHA

A. Pengertian Konsumen

Praktis sebelum tahun 1999, hukum positif Indonesia belum mengenal

istilah konsumen. Namun demikian, hukum positif Indonesia berusaha untuk

menggunakan istilah yang pengertiannya berkaitan dengan konsumen. Variasi

penggunaan istilah yang berkaitan dengan konsumen tersebut mnegacu kepada

perlindungan konsumen, namun belum memiliki ketegasan dan kepastian hukum

tentang hak-hak konsumen.

Menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK), menyebutkan konsumen

adalah setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,

baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup

lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau

consument/konsument (Belanda). Secara harfiah arti kata consumer adalah setiap

orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti

(2)

Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai

atau konsumen.14

Perlakuan hukum yang lebih bersifat mengatur dan/atau mengatur dengan

diimbuhi perlindungan, merupakan pertimbangan tentang perlunya pembedaan

dari konsumen itu. Az. Nasution menegaskan beberapa batasan tentang

konsumen, yakni:15

1. Konsumen, adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa

digunakan untuk tujuan tertentu;

2. Konsumen antara, adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau

jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk

diperdagangkan (tujuan komersial);

3. Konsumen akhir, adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan

menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan

hidup pribadi, keluarga, dan/atau rumah tangga dan tidak untuk di

perdagangkan kembali (nonkomersial).

Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan oleh penulis dapat

disimpulkan bahwa konsumen adalah pihak yang memakai, membeli, menikmati,

menggunakan barang dan/atau jasa dengan tujuan untuk kepentingan pribadi,

keluarga, dan rumah tangganya. Menurut Pasal 1 ayat (2) UUPK dikenal istilah

konsumen akhir dan konsumen antara.

14

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta, Diadit Media, 2001, hlm. 3.

15

(3)

Konsumen akhir adalah penggunaan atau pemanfaatan akhir dari suatu

produk, sedangkan Konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu

produk sebagai bagian dari proses produksi lainnya. Maka dapat disimpulkan

bahwa pengertian konsumen dalam UUPK adalah Konsumen akhir.

Bagi konsumen akhir (selanjutnya disebut konsumen), mereka memerlukan

produk konsumen yang aman bagi kesehatan tubuh atau keamanan jiwa, serta

pada umumnya untuk kesejahteraan keluarga atau rumah tangganya. Karena itu

yang diperlukan adalah kaidah-kaidah hukum yang menjamin syarat-syarat aman

setiap produk konsumen berupa barang dan/atau jasa yang dilengkapi dengan

informasi yang benar, jujur, dan bertanggung jawab.

Karena pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan apa suatu

produk itu dibuat, bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang

dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaidah hukum yang dapat

melindungi. Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi menyeimbangkan

kedudukan konsumen dan pelaku usaha.16

Pengertian konsumen dalam UUPK diatas lebih luas dibanding dengan dua

(dua) rancangan undang-undang perlindungan konsumen lainnya, yaitu pertama

dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yang menyebutkan bahwa, Konsumen

adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi

16

(4)

kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk

diperdagangkan kembali.17

Sedangkan yang kedua dalam naskah final Rancangan Akademik

Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen yang disusun oleh Fakultas Hukum

Univeristas Indonesia bekerja sama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan

Perdagangan Departemen Perdagngan RI menentukan bahwa, konsumen adalah

setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak

untuk diperdagangkan.

Dapat diketahui pengertian konsumen dalam UUPK lebih luas daripada

pengertian konsumen pada kedua Rancangan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yang telah disebutkan terakhir ini, karena dalam UUPK juga meliputi

pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain. Hal ini berarti bahwa

UUPK dapat memberikan perlindungan kepada konsumen yang bukan manusia

(hewan, maupun tumbuh-tumbuhan). Pengertian konsumen yang luas seperti ini,

sangat tepat dalam rangka memberikan perlindungan seluas-luasnya kepada

konsumen. Walaupun begitu masih perlu disemprunakan sehubungan dengan

penggunaan istilah “pemakai” demikian pula dengan eksistensi “badan hukum”

yang tampaknya belum masuk dalam pengertian tersebut.

Keadaan seimbang di antara para pihak yang saling berhubungan, lebih

menerbitkan keserasian dan keselarasan materiil, tidak sekedar formil, dalam

17

(5)

kehidupan masyarakat Indonesia sebagaimana dikehendaki olehb falsafah bangsa

dan negara ini.18

Pengertian Konsumen menurut Pasal 1 ayat (2) UUPK mengandung

unsur-unsur sebagai berikut:19

1. Setiap Orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus

sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Maksudnya adalah perorangan dan

termasuk juga badan usaha (badan hukum atau non badan hukum).

Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk pelaku usaha dalam

Pasal 1angka (3) UUPK, yang secara eksplisit membedakan kedua

pengertian(persoon)di atas, dengan menyebutkan kata-kata orang perseorangan

atau badan usaha. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen

itu sebatas pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga

badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum.20

UUPK tampaknya berusaha menghindari penggunaan kata produsen

sebagai lawan kata konsumen. Untuk itu, digunakan kata pelaku usaha yang

bermakna lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi

kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual, dan terminology lain yang

lazim diberikan. Bahkan, untuk kasus-kasus yang spesifik seperti dalam kasus

18

Az. Nasution, Ibid.

19

Shidarta, Op.cit, hlm. 4. 20

(6)

periklanan, pelaku usaha ini juga mencakup perusahaan media, tempat iklan itu

ditayangkan.21

2. Pemakai

Pasal 1 ayat (2) UUPK menegaskan bahwa UUPK menggunakan kata

pemakai untuk pengetian konsumen sebagai konsumen akhir (end user). Hal ini

disebabkan karena pengetian pemakai lebih luas, yaitu semua orang

mengkonsumsi barang dan/atau jasa untuk diri sendiri.

Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan

tersebut, sekalihus menunjukan, barang dan/atau jasa yang dipakai tidak serta

merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya sebagai konsumen tidak selalu harus

memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang

dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan

pelaku harus kontraktual (the privity of contract).22

Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper) tetapi semua

orang (perorangan atau badan usaha) yang mengonsumsi jasa dan/atau barang.

Jadi, yang paling penting terjadinya suatu transaksi konsumen (cosumer

transaction) berupa peralihan barang dan/atau jasa, termasuk peralihan

kenikmatan dalam menggunakannya.23

Mengartikan konsumen dalam arti sempit, seperti hanya sebagai orang yang

mempunyai hubungan kontraktual pribadi (in privity of contract) dengan produsen

21

Celina Tri Siwi Kristityanti, Op.cit, hlm. 27. 22

Shidarta, Op.cit, hlm 5. 23

(7)

atau penjual adalah cara pandang seperti itu telah ditinggalkan, walaupun baru

dilakukan pada awal abad ke-20. Konsumen tidak lagi diartikan sebagai pembeli

dari suatu barang dan/atau jasa, tetapi termasuk bukan pemakai langsung asalkan

ia memang dirugikan akibat penggunaan suatu produk.24

3. Barang dan/atau Jasa

Barang yaitu segala macam benda (berdasarkan sifatnya untuk

diperdagangkan) dan dipergunakan oleh konsumen. Jasa yaitu layan berupa

pekerjaan atau prestasi yang tersedia untuk digunakan oleh konsumen.

UUPK mengartikan barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun

tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan

maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai,

dipergunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak menjelaskan

perbedaan istilah-istilah dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan.25

Sementara itu UUPK memberikan pengertian jasa diartikan sebagai setiap

layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat

untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian disediakan bagi masyarakat,

menunjukan bahwa jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus

lebih dari satu orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus

(tertutup) dan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut.26

24

Ibid.

25

Ibid, hlm. 29. 26

(8)

4. Yang Tersedia Dalam Masyarakat

Barang dan/atau jasa yang akan ditawarkan atau diperdagangkan telah

tersedia di pasaran, sehingga masyarakat tidak mengalami kesulitan untuk

mengkonsumsinya. Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat

itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen.27

5. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Makhluk Hidup Lain.

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain dan mahluk hidup. Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba

untuk memperluas pengertian kepentingan.

Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga,

tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntungkan bagi orang lain (di luar diri

sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain seperti hewan dan

tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari

kepentingannya.28

6. Barang dan/atau Jasa Itu Tidak Untuk Diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK dipertegas, yaitu hanya konsumen akhir

sehingga maksud dari pengertian ini adalah konsumen tidak memperdagangkan

barang dan/atau jasa yang telah diperolehnya, Namun untuk dikonsumsi sendiri.

Peraturan perundang-undangan negara lain, memberikan berbagai

perbandingan. Umumnya dibedakan antara konsumen antara dan konsumen akhir.

27

Celina Tri Siwi Kristityanti, op.cit, hlm. 29. 28

(9)

Dalam merumuskannya, ada yang secara tegas mendefinisikannya dalam

ketentuan umum perundang-undangan tertentu, ada pula yang termuat dalam pasal

tertentu bersama-sama dengan pengaturan sesuatu bentuk hubungan hukum.29

B. Hak dan Kewajiban Konsumen

Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh

karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi

yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekedar fisik, melainkan terlebih

hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen

sesungguhnya identic dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang

hak-hak konsumen.30

Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen, yaitu:31

1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);

2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to informed);

3. Hak untuk memilih (the right to choose); dan

4. Hak untuk didengar (the right to be heard).

Empat hak dasar ini diakui secara internasional dan dalam

perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam The

Internastional Organization of Consumers Unions (IOCU) menambahkan lagi

29

Shidarta, Op. cit, hlm. 9-10. 30

Celina Tri Siwi Kristityanti, Op. cit, hlm. 30. 31

(10)

beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan

ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.32

Menurut Pasal 4 UUPK terdapat delapan hak yang tertuang secara tegas,

sementara satu hak terakhir dirumuskan secara terbuka. Hak-hak konsumen

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan;

3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa;

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang

digunakan;

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya,

miskin dan status sosial lainnya;

32

(11)

8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian. Apabila

barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya; dan

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Selain terdapat pengaturan mengenai hak-hak konsumen juga terdapat

pengaturan mengenai kewajiban konsumen. Dalam memberikan perlindungan

hukum tidak hanya ditujukan kepada konsumen, akan tetapi juga harus

diperhatikan kewajiban dari konsumen yang merupakan hak bagi pelaku usaha

sehingga tidak merugikan pelaku usaha.

Hak konsumen ini perlu diketahui oleh masyarakat luas sebagai konsumen

untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap konsumen. Adanya

hak terdapat juga kewajiban-kewajiban konsumen sebagaimana yang tercantum di

Pasal 5 UUPK, yakni:

1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;

2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;

3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara

patut.

Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi

dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan

dan keselamatan, merupakan hal penting mendapat pengaturan.. Pentingnya

(12)

jelas pada label suatu produk, namun konsumen tidak membaca peringatan yang

telah disampaikan kepadanya.

Menyangkut kewajiban konsumen beriktikad baik hanya tertuju pada

transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena

bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat

melakukan transaksi dengan produsen. Berbeda dengan pelaku usaha

kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang

dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha).

Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakatai

dengan pelaku usaha adalah hal yang sudah biasa dan sudah semestinya demikian.

Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut adalah kewajiban

konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut. Kewajiban ini dianggap sebagai hal baru, sebab sebelum

diundangkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen hampir tidak

dirasakan adanya kewajiban secara khusus seperti ini dalam perkara perdata,

sementara dalam kasus pidana tersangka/terdakwa lebih banyak dikendalikan oleh

aparat kepolisian dan/atau kejaksaan. 33

Untuk dapat meminimalisir sengketa dalam menjalankan hak,

pelaksanaannya harus selalu beriringan dengan kewajiban. Tidak hanya sebatas

itu, kewajiban yang melekat harus dilaksanakan dari hati nurani sebagai manusia.

Dengan demikian, kerja sama dalam bertransaksi akan menjadi simbiosis

mutualisme dan bermanfaat bagi pihak lain diluar konsumen dan pelaku usaha itu

sendiri.

33

(13)

C. Pengetian Pelaku Usaha

Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPK, yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah

setiap orang perorangan badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun

bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan

dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama

melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

ekonomi.34

Penjelasan di dalam undang-undang yang termasuk pelaku usaha adalah

perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan

lain-lain:35

1. Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang manufaktur.

Merka ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari barang

yang mereka edarkan ke masyrakat, termasuk bila kerugian timbul akibat

cacatnya barang yang merupakan komponen suatu produk;

2. Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk;

3. Siapa saja yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-tanda lain

pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari suatu barang.

Kajian atas perlindungan terhadap konsumen tidak dapat dipisahkan dari

telah terhadap hak-hak dan kewajiban pelaku usaha. Berdasarkan Directive,

pengertian produsen atau pelaku usaha meliputi:36

34

Az. Nasution, Op.cit, hlm. 17. 35

Ibid.

36

(14)

Pada dasarnya apabila ditinjau dari status yuridisnya, maka badan usaha

dibedakan atas badan usaha yang termasuk badan hukum dan badan usaha yang

bukan badan hukum. Badan usaha yang berbentuk badan hukum, yang menjadi

subyek hukumnya adalah badan usaha itu sendiri. Pada badan usaha ini, harta

kekayaan perusahaan terpisah dari harta kekayaan pribadi para pengurus atau

anggotanya. Bentuk-bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum antara lain:

PT, Koperasi, dan Yayasan.

Badan usaha yang bukan badan hukum, yang menjadi subyek hukum disini

adalah orang-orang yang menjadi pengurusnya. Pada badan usaha ini harta

perusahaan bersatu dengan harta pribadi pengurus atau anggotanya. Bentuk badan

usaha ini adalah antara lain: firma, Cv atau Persekutuan Komanditer.

Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka (3) UUPK cukup luas karena

meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian

pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian

pelaku usaha dalam Masyrakat Eropa terutama Belanda, bahwa yang dapat

dikualifikasi sebagai produsen adalah: pembuat produk jadi (finished product);

penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan

dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namnya, tanda pengenal

tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk

tertentu; importer suatu produk dengan maksud dijualbelikan, disewakan,

(15)

pemasok (supplier), dalam hal identitas dari produsen atau importer tidak dapat

ditentukan.37

Dengan demikian tampak bahwa pelaku usaha yang dimaksudkan dalam

UUPK sama dengan cakupan produsen yang dikenal di Belanda, karena produsen

dapat berupa perorangan atau badan hukum.38

Dalam pengertian pelaku usaha tersebut, tidaklah mencakup eksportir atau

pelaku usaha diluar negeri, karena UUPK membatasi orang perseorangan atau

badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

Negara Republik Indonesia. Pengertian pelaku usaha yang bermakna luas

tersebut, akan memudahkan konsumen menuntut ganti kerugian.39

Pengertian pelaku usaha tesebut dapat dijabarkan menjadi beberapa

unsur/syarat, yaitu:40

1. Bentuk atau Wujud dari pelaku usaha, adalah:

a. Orang perorangan, yaitu setiap individu yang melakukan kegiatan

usahanya secara seorang diri.

b. Badan usaha, adalah kumpulan individu yang secara bersama-sama

melakukan kegiatan usaha. Badan usaha dapat dikelompokkan kedalam

dua kategori, yaitu Badan hukum dan Bukan badan hukum.

2. Kegiatan usaha tersebut harus didasarkan pada perjanjian; dan

(16)

3. Di dalam berbagai bidang ekonomi, Pengertian ini sangat luas bukan hanya

pada bidang produksi.

Melalui Penjabaran unsur/syarat pelaku usaha tersebut kita dapat melihat

bahwa pengertian pelaku usaha menurut UUPK sangat luas. Pelaku usaha

menurut UUPK bukan hanya produsen melainkan hingga pihak terakhir yang

menjadi perantara antara produsen dan konsumen, seperti agen, distributor dan

pengecer atau yang sering disebut konsumen perantara.

D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi para pelaku usaha dan

sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, maka

dituangkan hak-hak bagi pelaku usaha sebagaimana dituangkan pada Pasal 6

UUPK, yakni:

1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beritikad tidak baik;

3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen (24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen);

4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

(17)

Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai

tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, meunujukkan bahwa pelaku

usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau jasa yang

diberikannya kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut harga yang

berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama. Dalam praktek yang

biasa terjadi suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya lebih rendah daripada

barang yang serupa, maka para pihak menyepakati harga yang lebih murah.

Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini adalah harga yang wajar.41

Hak tentu tidak dapat dipisahkan dari kewajiban. Sebagai konsekuensi dari

hak konsumen dan sebagai penyeimbang hak pelaku usaha, adapun kewajiban

pelaku usaha diatur dalam pasal 7 UUPK, yakni :

1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan dan pemeliharaan;

3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriminatif;

4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

41

(18)

6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang

dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam UUPK tampak bahwa iktikad baik lebih ditekankan pada pelaku

usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya

sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beriktikad baik

dimulai sejak barang dirancang/diproduksi sampai pada tahap purna penjualan,

sebaliknya konsumen hanya beriktikad baik dalam melakukan transaksi

pembelian barang dan/atau jasa.42

Kewajiban pelaku usaha atas pentingnya penyampaian informasi yang benar

terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap

gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap

konsumen tersebut dapat berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa

instruksi.

Hak-hak pelaku usaha dapat ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang

membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh

konsumen, meskipun kerusakan timbul karena cacat pada produk, yaitu apabila:43

a. Produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan;

b. Cacat timbul di kemudian hari;

42

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. cit, hlm. 44 43

(19)

c. Cacat timbul setelah produk berada di luar control produsen;

d. Barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi;

e. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.

Di Amerika Serikat, faktor-faktor yang membebaskan produsen dari

tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen meliputi:44

a. Kelalaian si konsumen penderita;

b. Penyalahgunaan produk yang tidak terduga pada saat produk dibuat

(unforeseeable misuse);

c. Lewat jangka waktu penuntutan (daluarsa), yaitu 6 (enam) tahun setelah

pembelian, atau 10 (sepuluh) tahun sejak barang diproduksi;

d. Produk pesanan pemerintah pusat (federal);

e. Kerugian yang timbul (sebagian) akibat kelalaian yang dilakukan oleh

produsen lain dalam kerja sama produksi.

Hal ini tentu saja disebabkan kemungkinan terjadinya kerugian bagi

konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku

usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen

mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.45

Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan,

dan pemeliharaan disebabkan karena informasi di samping merupakan hak

konsumen juga kerena ketiadaan informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha

44

Ibid, hlm. 43. 45

(20)

merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan sangat

merugikan konsumen.

Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen

mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai

suatu produk tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat

berupa representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.46

Selain peringatan, instruksi yang ditujukan untuk menjamin efisiensi

penggunaan produk barang dan/atau jasa untuk mencegah timbulnya kerugian bagi

konsumen. Pencantuman informasi bagi konsumen yang berupa instruksi atau

petunjuk prosedur pemakaian suatu produk merupakan kewajiban bagi pelaku

usaha agar produknya tidak dianggap cacat. Sebaliknya, konsumen berkewajiban

untuk membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau

pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan.47

Seperti diketahui bahwa UUPK menetapkan tujuan perlindungan konsumen

antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk

maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian

barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha.

Sebagai upaya untuk menhindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa

tersebut, maka undang-undang menentukan bebagai larangan sesuai dengan Pasal

8 sebagai berikut :48

www.jurnalhukum.com, Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha,

(21)

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang

dan/atau jasa yang :

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan

dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket

barang tersebut;

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran

sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang

dan/atau jasa tersebut;

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,

gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam

label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana

pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label;

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat

nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan

(22)

usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan

harus di pasang/dibuat;

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang

dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

yang berlaku.

2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau

bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar

atas barang dimaksud.

3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang

rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan

informasi secara lengkap dan benar.

4. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang

memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari

peredaran.

Dalam ketentuan pasal 10 dan 11 UUPK, berkaitan dengan

larangan-larangan representasi yang tertuju pada perilaku pelaku usaha guna memastikan

produk yang diperjualbelikan di masyarakat diproduksi dengan jalan sesuai

dengan peraturan yang berlaku/tidak melanggar hukum.

Dalam ketentuan pasal 12 dan 13 ayat (1) UUPK masih berkaitan dengan

larangan yang tertuju pada cara-cara penjualan yang dilakukan melalui sarana

penawaran, promosi atau pengiklanan dan larangan untuk mengelabui atau

menyesatkan konsumen.

Pelaku usaha dalam menawarkan produknya ke pasaran, dilarang untuk

(23)

melakukan pengumuman di media massa terhadap hasil pengundian agar

masyarakat mengetahui hasil dari pengundian berhadiah tersebut, hal ini diatur

dalam ketentuan pasal 14 UUPK yang menyebutkan :

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk :

a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;

b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;

c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;

d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

Dalam memasarkan produknya, pelaku usaha dilarang untuk melakukan

cara-cara penjualan dengan cara tidak benar dapat mengganggu secara fisik

maupun psikis konsumen.

Hal ini diatur dalam ketentuan pasal 15 UUPK yang bunyinya Pelaku usaha

dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara

pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun

psikis terhadap konsumen.

E. Asas-asas Hukum Perlindungan Konsumen

Menurut Pasal 2 UUPK, asas perlindungan bagi konsumen adalah,

perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan,

(24)

Perlindungan hukum bagi konsumen diselenggarakan sebagai usaha

bersama berdasarkan asas-asas yang relevan dalam pembangunan nasional,

yaitu:49

1. Asas Manfaat

Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya

dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat

yang sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara

keseluruhan;

2. Asas Keadilan

Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat terwujud

secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku

usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;

3. Asas Keseimbangan

Asas keseimbangan yang dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan

antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil

dan spiritual;

4. Asas Keamanan dan Keselamatan

49

(25)

Asas keamanan dan keselamatan yang dimaksudkan agar memberikan

jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi; dan

5. Asas Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum yang dimaksudkan agar pelaku usaha dan konsumen

menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan

konsumen, sera negara menjamin kepastian hukum.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, perlindungan konsumen

bertujuan untuk melindungi konsumen dalam rangka pemenuhan kebutuhannya

sebagai konsumen dan tidak bertujuan untuk mematikan pelaku usaha, melainkan

menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitas produk dan

pelayanannya.

Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya,

tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah

bangsa Republik Indonesia.50

Asas-asas hukum perlindungan konsumen harus efisien dan tidak

menyimpang karena menurut Himawan bahwa “Hukum yang berwibawa adalah

50

(26)

hukum yang efisien, di bawah naungan mana seseorang dapat melaksanakan

hak-haknya tanpa ketakutan dan melaksanakan kewajibannya tanpa penyimpangan”.51

Selain asas-asas yang terkandung didalam perlindungan konsumen terdapat

juga tujuan perlindungan konsumen. Tujuan perlindungan konsumen juga diatur

dalam Pasal 3 UUPK, yaitu:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk

melindungi diri;

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya

dari akses negative pemakaian barang dan/atau jasa;

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan

menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan

infomasi;

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam

berusaha;

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,

keamanan, dan keselamatan konsumen.

Pasal 3 UUPK ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 2, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu

51

(27)

merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di

bidang hukum perlindungan konsumen.

Perlindungan konsumen merupakan tujuan dari usaha yang akan dicapai

atau keadaan yang diwujudkan. Oleh karena itu, tujuan perlindungan konsumen

perlu dirancang dan dibangun secara berencana dan dipersiapkan sejak dini.

Tujuan perlindungan konsumen mencakup aktivitas-aktivitas penciptaan dan

penyelenggaraan sistem perlindungan konsumen.52

Tujuan perlindungan konsumen disusun secara bertahap, mulai dari

penyadaran hingga pemberdayaan. Pencapaian tujuan perlindungan konsumen

tidak harus melalui tahapan berdasarkan susunan tersebut, tetapi dengan melihat

urgensinya. Misal, tujuan meningkatkan kualitas barang, pencapaian tidak harus

menunggu tujuan pertama tercapai adalah meningkatkan kesadaran konsumen.

Idealnya, pencapaian tujuan perlindungan konsumen dilakukan secara serempak.53

Perlindungan konsumen cenderung untuk memberikan keadilan bagi

konsumen yang selama ini masih dalam posisi yang lemah dari berbagai aspek.

Aspek-aspek tersebut antara lain :

a. Aspek tentang pengetahuan produk;

b. Bagaimana pemakaian yang tepat, isi dan sususan barang maupun jasa; dan

c. Aspek pengetahuan hukum mengenai upaya yang ditempuh untuk

mempertahankan hak.

52

Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2007, hlm. 40

53

(28)

Dengan kondisi demikian, kepentingan konsumen dapat terlindungi dari

praktek-praktek yang merugikan pihaknyamelalui hak gugat yang dimiliki

konsumen. Dengan dipatuhinya ketentuan-ketentuan dalam perlindungan

konsumen maka konsumen ditempatkan sebagai subjek yang memiliki hak

seimbang dengan pelaku usaha.54

54

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis data tersebut jelas bahwa dilihat dari indicator yang pertama yaitu komunikasi kepala desa dengan lembaga-lembaga dan unsur-unsur yang terkait di dalam

Adanya konflik dalam lingkungan belajar anak baik itu konflik dengan guru atau teman.. Ketika sudah masuk pada jam akhir subjek AB selalu bermain dengan teman

Aktivitas antimikroba pada ekstrak daging gonggong Bintan rebus bercangkang tebal yang mengandung protein histon sebagai pangan favorit di Bintan memiliki kemampuan

Penelitian ini merupakan upaya untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas III MI Al Islam Banding Kecamatan Bringin Kabupaten Semarang pada mata pelajaran

Beban yang menjadi gangguan pada sistem pengaturan level air steam drum berupa laju aliran uap yang keluar

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 62 ibu premenopause di Kelurahan Sengon dapat disimpulkan sebelum diberikan pendidikan kesehatan tentang paket

Observasi penelitian ini diarahkan pada aspek-aspek sosio-kultural dalam kehidupan masyarakat masyarakat Cina Benteng, antara lain mencakup permukiman masyarakat Cina

Berapa biaya yang dikeluarkan dalam sekali pemberian